1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia terkadang melakukan kontak komunikasi antarbahasa yang menuntut penutur dan lawan tutur untuk dapat saling memahami satu sama lain. Saat ini, terdapat ribuan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, masyarakat internasional menggunakan bahasa Inggris sebagai lingua franca dalam berkomunikasi. Hal ini tentunya menuntut para penutur bahasa kedua untuk mengasah kemampuan berbahasanya supaya dapat berbicara sebaik penutur asli. Salah satu unit kebahasaan yang cukup sulit untuk dipelajari bagi pembelajar bahasa kedua adalah idiom. Idiom merupakan salah satu unit kebahasaan yang sering digunakan dalam berkomunikasi oleh masyarakat tutur di Amerika. Seperti halnya para penutur bahasa Indonesia, para penutur asli bahasa Inggris juga sering kali menggunakan idiom dalam percakapan sehari-hari, terutama dalam percakapan informal. Para pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau bahasa asing terkadang mengalami kendala dalam melakukan percakapan sehari-hari ketika berbicara dengan para penutur asli. Pada umumnya, mereka kesulitan dalam memaknai idiom bahasa Inggris yang digunakan oleh lawan tuturnya. Hal ini karena idiom tidak dapat diterjemahkan secara literal atau diterjemahkan sesuai dengan unsur-
33
Embed
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87458/potongan/S2-2015...bahasa Indonesia, para penutur asli bahasa Inggris juga sering kali menggunakan idiom
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial, manusia terkadang melakukan kontak komunikasi
antarbahasa yang menuntut penutur dan lawan tutur untuk dapat saling memahami
satu sama lain. Saat ini, terdapat ribuan bahasa yang digunakan untuk
berkomunikasi. Oleh karena itu, masyarakat internasional menggunakan bahasa
Inggris sebagai lingua franca dalam berkomunikasi. Hal ini tentunya menuntut
para penutur bahasa kedua untuk mengasah kemampuan berbahasanya supaya
dapat berbicara sebaik penutur asli. Salah satu unit kebahasaan yang cukup sulit
untuk dipelajari bagi pembelajar bahasa kedua adalah idiom.
Idiom merupakan salah satu unit kebahasaan yang sering digunakan dalam
berkomunikasi oleh masyarakat tutur di Amerika. Seperti halnya para penutur
bahasa Indonesia, para penutur asli bahasa Inggris juga sering kali menggunakan
idiom dalam percakapan sehari-hari, terutama dalam percakapan informal. Para
pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau bahasa asing terkadang
mengalami kendala dalam melakukan percakapan sehari-hari ketika berbicara
dengan para penutur asli. Pada umumnya, mereka kesulitan dalam memaknai
idiom bahasa Inggris yang digunakan oleh lawan tuturnya. Hal ini karena idiom
tidak dapat diterjemahkan secara literal atau diterjemahkan sesuai dengan unsur-
2
unsur pembentuknya. Keunikan ciri idiom ini menjadi salah satu alasan
ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian mengenai idiom.
Keterbatasan pemahaman mengenai idiom seperti yang telah dijelaskan di
atas dapat menyebabkan timbulnya gangguan dalam berkomunikasi
(communication breakdown). Penutur bahasa kedua atau bahasa asing terkadang
sulit untuk menciptakan kesalingpahaman (mutual intelligibility) dalam
berkomunikasi dengan lawan tutur karena pemahaman mereka yang terbatas
mengenai idiom bahasa Inggris dan maknanya. Communication breakdown
muncul dalam percakapan apabila idiom seperti what’s cooking?, what the hell!,
atau how do you do, dimaknai secara literal oleh lawan tutur. Lawan tutur
kemungkinan akan memberikan reaksi tutur yang tidak sesuai dengan maksud
tuturan, sebagai akibatnya komunikasi menjadi kurang berkualitas.
Ito (1993:2) menguraikan pengalaman pribadinya ketika berkomunikasi
dengan penutur asli di Amerika. Beliau sempat merasa bodoh dan kesulitan
memaknai isi dari percakapan ketika sedang berkomunikasi dengan penutur asli
karena lemahnya pemahamannya mengenai idiom yang sering digunakan dalam
komunikasi informal. Selain karena maknanya yang idiomatis, terdapat muatan
budaya dalam konstruksi idiom tersebut yang terkadang menjadi hambatan
pembelajar bahasa kedua dalam memahami maknanya. Lemahnya kemampuan
berbahasa semacam ini tentu saja mempengaruhi kemampuannya untuk
bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, Ito (1993) berasumsi
bahwa penelitian mengenai idiom bahasa Ingris diperlukan untuk mempermudah
para pembelajar bahasa Inggris dalam meningkatkan kemampuan berbahasanya.
3
Pendapat Ito (1993) di atas menyiratkan bahwa idiom merupakan salah
satu aspek kebahasaan yang penting untuk dipelajari bagi pembelajar bahasa
kedua. Selain dalam percakapan sehari-hari, idiom juga sering digunakan dalam
penulisan novel, naskah film, lirik lagu, puisi dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, semakin luas pemahaman seseorang mengenai idiom, maka kemampuan
berbahasanya akan semakin mirip dengan seorang penutur asli (native alike).
Idiom digunakan dalam novel berbahasa Inggris sebagai salah satu sarana
untuk menarasikan ide cerita dari para penulis novel. Idiom biasanya digunakan
dalam dialog antartokoh dalam novel atau dalam narasi. Idiom menjadi salah satu
unit kebahasaan yang digunakan sebagai perantara bagi penulis untuk
mengkomunikasikan idenya dengan pembaca novelnya. Selain itu, idiom juga
digunakan untuk menggiring pembaca masuk kedalam alur cerita dalam novel
sehingga pembaca dapat lebih mudah memahami cerita yang dinarasikan oleh
penulis novel, terutama dalam novel bahasa Inggris. Kebanyakan novel
disampaikan dengan menggunakan bahasa informal dan idiom merupakan salah
satu unit kebahasaan yang lazim ditemukan dalam tuturan informal. Dari hasil
pengamatan, ditemukan bahwa terdapat sejumlah idiom yang digunakan untuk
menarasikan cerita dalam novel The Kiss karya Elda Minger. Mengingat
maknanya yang terkadang sulit untuk diprediksi, para penutur perlu mempelajari
idiom secara mendalam supaya dapat memahami idiom dengan baik, khususnya
para penutur bahasa kedua. Hal ini karena idiom tidak dapat diterjemahkan secara
literal, seperti idiom pada contoh (1) yang di ambil dari novel The Kiss berikut ini.
4
Tabel 1.1 Penggunaan Idiom dalam Kalimat
No. Konteks Idiom dalam Kalimat Penerjemahan
(1) Dalam narasinya penulis
tengah menggambarkan
karakter Tess bahwa dia
tidak memiliki begitu
banyak kelebihan yang
bisa dibanggakan orang
tuanya kecuali sifatnya
yang penurut.
Not much had been
expected of her, except that
she toes the line.
(Minger, 2006:19)
Tak banyak yang
bisa diharapkan
darinya, kecuali
sifatnya yang
penurut.
(2) Ketika tengah berada di
bar, Brooke dan Tess
tanpa sengaja bertemu
dengan Will, teman
lama mereka, kemudian
Brooke bertanya tentang
kedatangan Will di kota
kecil mereka.
“...tell us what you’re
doing in our neck of the
woods.”……
(Minger, 2006:9)
”…. beri tahu
kami yang kamu
lakukan di kota
kecil kami.”
Pada contoh kalimat (1) di atas, idiom toe the line „penurut‟ tidak bisa
diterjemahkan secara literal menjadi „meraba garis (dengan jari kaki)‟. Sesuai
dengan karakteristik dari makna idiom, idiom ini memiliki makna idiomatis yang
berbeda dari unsur-unsur pembentuk idiom tersebut. Untuk dapat memahami
makna dari idiom ini tentunya pembelajar bahasa kedua atau bahasa asing perlu
mempelajarinya secara khusus mengingat maknanya yang tidak dapat
diidentifikasi dari unsur-unsur pembentuknya. Berdasarkan bentuknya, idiom
tersebut tergolong ke dalam idiom verbal sebab terbentuk dari verba toe „meraba‟
yang diikuti oleh objek the line „garis‟. Berdasarkan maknanya, idiom tersebut
tergolong ke dalam decoding idiom sebab makna idiomatisnya tidak dapat
diidentifikasi dari unsur pembentuknya. Idiom tersebut dimunculkan oleh penulis
guna menggambarkan karakter dari tokoh utama.
5
Kasus lainnya dapat dilihat pada contoh (2) dalam tabel 1.1. Idiom in our
neck of the woods „di kota kecil kami‟ pada contoh (2) yang dikutip dari novel The
Kiss merupakan idiom berbentuk frasa preposisi. Hal ini ditandai dengan adanya
frasa preposisi in „di‟ pada idiom di atas. Serupa dengan contoh (1), makna idiom
tersebut sepenuhnya tidak dapat diidentifikasi secara langsung. Frasa tersebut
tidak dapat dimaknai „di leher kayu kami‟ sebab frasa dalam kalimat tersebut
memiliki makna idiomatic „di kota kecil kami‟. Dengan demikian, idiom ini
digolongkan ke dalam kategori decoding idiom seperti contoh sebelumnya.
Penulis novel ini menggunakan idiom ini untuk menunjukkan latar tempat dalam
novel tersebut.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang idiom dengan menggunakan novel The Kiss sebagai objek
penelitian. Novel ini mengisahkan tentang kehidupan asmara pemuda di Amerika.
Adapun alasan pemilihan novel ini sebab: (1) terdapat banyak idiom yang
ditemukan dalam novel The Kiss; (2) dalam novel The Kiss terlihat penggunaan
idiom yang terikat dengan konteks tuturan; (3)melalui idiom, penulis
menggambarkan kehidupan masyarakat Amerika yang tertuang dalam alur cerita
dalam novel The Kiss; (4) cerita dalam novel The Kiss dekat dengan kehidupan
nyata sehingga melalui novel ini dapat diamati penggunaan idiom dalam
hubungan atau interaksi sosial masyarakat Amerika; serta (5) beberapa karya dari
penulis novel Romance ini merupakan karya-karya best seller.
Penelitian ini membahas beberapa hal terkait dengan penggunaan idiom
yang terdapat dalam novel The Kiss. Penelitian ini diawali dengan mengemukakan
6
bentuk dan makna dari idiom-idiom yang ditemukan dalam novel tersebut.
Pembahasan selanjutnya berkenaan dengan penggunaan idiom dalam unsur
intrinsik novel dan pembahasan terakhir berkaitan dengan alasan penggunaan
idiom dalam novel The Kiss. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
yang signifikan bagi masyarakat, khususnya para pembelajar bahasa Inggris
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang sudah diuraikan di atas, maka peneliti
merumuskan tiga rumusan masalah sebagai berikut ini.
1.2.1 Bagaimanakah bentuk dan makna idiom yang terdapat dalam novel The
Kiss?
1.2.2 Bagaimanakah penggunaan idiom pada unsur intrinsik novel The Kiss?
1.2.3 Mengapa penulis novel The Kiss menggunakan idiom dalam novelnya?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan jawaban dari rumusan masalah yang sudah
disusun dalam penelitian. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan penggunaan idiom bahasa Inggris yang terikat dengan konteks
kalimat dalam karya sastra berupa novel, khususnya novel The Kiss. Selain itu,
tujuan khusus dari penelitian ini tertuang dalam uraian berikut.
1.3.1 Mendeskripsikan bentuk dan makna idiom yang terdapat dalam novel The
Kiss.
7
1.3.2 Mendeskripsikan penggunaan idiom pada unsur intrinsik novel The Kiss.
1.3.3 Menjelaskan alasan mengenai penggunaan idiom bahasa Inggris dalam
novel The Kiss.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas penggunaan idiom yang terdapat dalam novel The
Kiss. Data yang digunakan dalam penelitian ini terbatas pada idiom yang terdapat
di dalam novel tersebut. Peneliti melakukan wawancara dengan Prof. Dr.
Soepomo Poedjosoedarmo mengenai karakteristik idiom untuk merumuskan
skema tentang idiom agar data yang dikumpulkan valid dan reliabel. Karakteristik
idiom ini dibahas lebih lanjut dalam subbab landasan teori.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bidang
linguistik, khususnya bagi para pembelajar bahasa Inggris baik secara teoretis
maupun secara praktis. Berikut ini adalah manfaat teoretis dan praktis dari
penelitian ini.
1.5.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat memperdalam pengetahuan
mengenai idiom dan penggunaannya dalam konteks kalimat, terutama mengenai
bentuk, makna, dan kedudukan idiom dalam karya sastra. Temuan dari penelitian
ini diharapkan dapat memberi tambahan informasi serta inspirasi bagi peminat
8
bahasa dan peneliti bahasa untuk mengkaji lebih lanjut mengenai idiom dan
penggunaannya dari berbagai dimensi linguistik.
1.5.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang
signifikan untuk para pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua maupun
sebagai bahasa asing, khususnya mengenai idiom bahasa Inggris. Hasil penelitian
ini diharapkan dapat menjadi referensi dan tambahan informasi bagi peneliti lain
yang tertarik untuk melakukan penelitian di bidang ini.
1.6 Tinjauan Pustaka
Sejumlah linguis telah melakukan penelitian mengenai idiom dalam
berbagai bahasa. Beberapa diantaranya adalah Hartati (2002) yang melakukan
penelitian mengenai idiom dalam bahasa Indonesia, Nurcholis (2008) yang
melakukan penelitian mengenai idiom dalam bahasa Arab (Nurcholis, 2008), Ito
(1993) yang telah melakukan penelitian mengenai idiom bahasa Inggris, dan
berbagai jenis penelitian lainnya. Tinjauan pustaka yang digunakan dalam
penelitian ini difokuskan pada penelitian-penelitian terdahulu mengenai idiom
dalam bahasa Inggris
Tinjauan pustaka yang pertama dirujuk dari disertasi Ito (1993) yang
berjudul The Study of Idioms and Its Application to ESL and Intercultural. Dalam
disertasinya, Ito (1993) menjelaskan kesulitan-kesulitan yang dihadapi penutur
bahasa kedua dalam memahami Idiom berbahasa Inggris. Penutur bahasa kedua
9
mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan penutur asli dalam situasi
informal karena gagal memahami makna idiom yang digunakan oleh penutur asli.
Akan tetapi dalam disertasinya Ito (1993) tidak menjelaskan secara terperinci
faktor-faktor budaya yang mempengaruhi masalah kebahasaan tersebut.
Sedikit berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian lain mengenai
idiom bahasa Inggris juga dilakukan oleh Budiawan (2014) dengan judul
“Penerjemahan Idiom Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia oleh Mahasiswa
Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris”. Penelitian ini secara khusus membahas
kendala-kendala penggunaan idiom bahasa Inggris oleh penutur bahasa kedua
terutama dalam ranah penerjemaahan idiom dan juga strategi penerjemahan yang
digunakan dalam menerjemah idiom. Pembahasan mengenai kendala dalam
memahami idiom dari kedua penelitian tersebut menginspirasi peneliti untuk
melakukan kajian mengenai idiom.
Masih dalam tataran yang sama, Susanti (2014) melakukan penelitian
dengan judul “Idiom Bahasa Inggris Berunsur Bagian Tubuh Manusia dan
Padanannya dalam Bahasa Indonesia”. Tesis ini membahas bentuk idiom dalam
bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, persamaan dan perbedaan idiom-idiom
tersebut, serta faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Hasil penelitian ini
menunjukkan adanya perbedaan faktor budaya yang mempengaruhi kesepadanan
idiom dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia tersebut.
Penelitian-penelitian tersebut merupakan penelitian lapangan dan pustaka
dengan sumber data yang berasal dari penutur bahasa Inggris serta kamus. Disisi
10
lain, beberapa peneliti telah melakukan penelitian mengenai idiom bahasa Inggris
yang terdapat dalam karya sastra seperti yang telah dilakukan oleh Akbar (2011)
dan Rahman (2013).
Dalam skripsinya yang berjudul Analysis Idiomatic Expression in Celine
Dion’s Song, Akbar (2011) mengkaji bentuk-bentuk idiom yang terdapat dalam
lirik lagu Celine Dion. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa lirik lagu
Celine Dion banyak menggunakan ujaran figuratif (Figurative of Speech).
Sementara itu, Rahman (2013) dalam skripsinya yang berjudul Analyzing Idiom in
the Movie: Pirates of the Carribian- the Dead Man’s Chest into Syntactical
Categorization mengkaji kategori sintaksis serta makna semantis dan pragmatis
idiom bahasa Inggris dalam film tersebut. Dalam penelitian ini, Rahman (2013)
menemukan adanya 38 idiom berbentuk klausa, 1 idiom berbentuk klausa
kepemilikan, dan 8 idiom berbentuk frasa. Keseluruhan idiom tersebut kemudian
dianalisis makna semantis dan pragmatisnya sehingga disimpulkan bahwa idiom-
idiom tersebut dimunculkan untuk menjembatani penggunaan bahasa oleh para
bajak laut yang memiliki perbedaan dialek dan latar belakang. Kedua penelitian
mengenai idiom tersebut menjadi acuan bagi peneliti untuk melakukan penelitian
dalam bidang yang sama, yakni penelitian mengenai idiom dalam karya sastra.
Setelah mempelajari beberapa pembahasan mengenai idiom dari penelitian
terdahulu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai idiom dalam
novel The Kiss karya Elda Minger. Novel ini dipilih sebab terdapat banyak idiom
yang digunakan oleh penulis dalam menguraikan unsur intrinsik dari novel
tersebut. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya
11
terletak pada batasan masalah yang digunakan peneliti. Penelitian ini hanya
meneliti idiom bahasa Inggris yang terdapat di dalam novel The Kiss.
1.7 Landasan Teori
Adapun landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 6
bagian, yakni (1) konsep idiom, (2) karakteristik idiom dan pembatasannya
dengan unit kebahasaan lain, (3) bentuk-bentuk idiom, (4) variasi leksikal dalam
idiom, (5) pemaknaan dalam idiom, serta (6) pragmatik dan aspek fungsional
idiom. Berikut ini merupakan uraian singkat mengenai landasan teori tersebut.
1.7.1 Konsep Idiom
Munculnya idiom dalam suatu bahasa biasanya dipengaruhi oleh latar
belakang budaya dari para penuturnya. Hockett (1958:303) menyatakan bahwa
pada bahasa-bahasa yang masih memiliki penutur, secara konstan akan muncul
idiom-idiom baru dalam kurun waktu tertentu. Sebagian idiom akan terus
digunakan dan sebagian yang lain akan punah. Dalam observasi yang
dilakukannya, beliau menemukan bahwa setiap bahasa memiliki polanya sendiri-
sendiri dalam menciptakan idiom-idiom baru. Hockett (1958) berpendapat bahwa
lahirnya suatu idiom dipengaruhi oleh bentuk kata (nonce-form) dan keadaan
lingkungan (circumstance) dari bahasa tersebut. Kedua hal ini juga dipengaruhi
oleh konteks pemaknaan idiom (defining context).
Lyons (1985:177) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan idiom
adalah sekumpulan ekspresi-ekspresi yang dipelajari sebagai suatu kesatuan yang
tidak dapat dianalisis secara literal dan hanya dipergunakan pada kesempatan
12
tertentu oleh penutur asli. Misalnya adalah penggunaan kalimat How do you do
yang tidak ditafsirkan sebagai kalimat introgatif seperti pada konstruksi kalimat
How are you? yang menuntut adanya jawaban berupa I’m fine.
Idiom digunakan untuk mengungkapkan sesuatu dengan susunan kata
khusus dan makna yang khusus (idiomatis) dalam suatu bahasa (lih. Alwasilah
(1983); Fernando (1996); Moon (1998); Langlotz (2006); Herbst (2010:134) dan
Chaer (2013)). Dengan kata lain, idiom digambarkan sebagai bentuk kesatuan dari
sekumpulan kata yang makna semantisnya sulit diidentifikasi (opaque) dan
memiliki struktur yang beku (fixed) (Langlottz, 2006:2). Makna konstruksi
idiomatis dapat berupa perluasan dari makna semantis dalam unsur-unsur
leksikalnya (makna literal) atau makna yang bersifat figuratif. Semakin tidak
sesuai antara bentuk konstruksi makna literal dan makna idiomatis, maka
konstruksi tersebut akan semakin samar maknanya (Langlottz, 2006:4).
Keraf (1985:109-110) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan idiom
adalah pola-pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang
umum, biasanya berbentuk frasa, sedangkan artinya tidak dapat diterangkan
secara logis atau secara gramatikal dengan bertumpu pada makna kata-kata yang
membentuknya. Untuk mengetahui maknanya, idiom-idiom ini harus dipelajari
selayaknya seorang penutur asli memahami makna dari idiom tersebut. Hal ini
disebabkan makna idiom tidak mungkin dipahami hanya dengan memperhatikan
makna leksikal kata-kata pembentuk idiom tersebut. Idiom bersifat tradisional dan
tidak bersifat logis. Oleh karena itu, bentuk-bentuk idiom hanya bisa dipelajari
13
dari pengalaman-pengalaman, bukan melalui peraturan-peraturan umum bahasa
atau grammar.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan idiom
merupakan kelompok kata atau unsur-unsur dari suatu bahasa yang memiliki
makna khusus dan tidak bisa diterjemahkan secara leksikal. Idiom-idiom tersebut
biasanya berbentuk kata, frasa, klausa maupun kalimat.
1.7.2 Idiom dan Batasannya dengan Unit Kebahasaan Lain
Dalam tata bahasa Inggris, idiom memiliki ciri tersendiri supaya mudah
diidentifikasi. Guna memahami karakteristik idiom ini maka perlu dibahas
terlebih dahulu mengenai hubungan idiom dengan unit kebahasaan yang lain.
1.7.2.1 Hubungan antara Idiom dengan Unit Kebahasaan Lain
Teori mengenai ini perlu dipahami lebih dalam oleh peneliti supaya data
yang dikumpulkan tidak tercampur dengan unit kebahasaan lain. Selain idiom,
terdapat beberapa unit kebahasaan lainnya yang memiliki makna idiomatis, seperti
metafora, proverb, dan lain sebagainya.
a. Idiom dan polisemi
Wijana dan Rohmadi (2008) mengatakan bahwa polisemi merupakan
sebuah bentuk kebahasaan yang memiliki berbagai macam makna. Perbedaan
antara makna yang satu dengan makna yang lain dapat ditelusuri atau dirunut
sehingga sampai pada satu kesimpulan bahwa makna-makna tersebut berasal dari
sumber yang sama. Ullmann (1977) mengemukakan bahwa tiga faktor utama yang
14
mempengaruhi polisemi antara lain mengenai (1) pergeseran penggunaan, (2)
spesialisasi makna, dan (3) penggunaan kiasan.
Penggunaan kosakata pada beberapa frasa idiomatis terkadang
mempengaruhi munculnya polisemi. Klappenbach dalam Moon (1998)
mengatakan bahwa 8 sampai 9 persen idiom bahasa Rusia bersifat polisemi
(polysemous), sementara data dari penelitian Moon (1998) sendiri menunjukkan
bahwa 5 persen dari idiom bahasa Inggris bersifat polisemi.
Nida (1975) membagi makna idiomatis ke dalam 3 bagian, yakni (1)
idioms-proper, (2) unitary complexes, dan (3) composites. Idiom (idioms-proper)
merupakan kombinasi kata yang memiliki struktur semantik literal dan nonliteral,
tetapi koneksi antara keduanya tidak dapat dideskripsikan sebagai penggambaran
dari proses tambahan. Contoh dari idioms-proper adalah spill the beans
„membocorkan rahasia‟, a white lie „kebohongan kecil‟, kick the bucket
‟meninggal dunia‟, dan lain sebagainya. Pada idiom a white lie „kebohongan
kecil‟, kata white dalam frasa tersebut tidak berkaitan dengan makna leksikalnya,
yakni salah satu jenis warna yang menyerupai salju atau susu. Makna dari kata
white dalam idiom tersebut berkaitan dengan hal baik atau tidak melukai.
Di sisi lain, unitary complexes terdiri atas dua atau lebih bentuk-bentuk
potensial bebas, yakni, kata-kata yang dikombinasikan sebagai satu keutuhan
secara berbeda dari kelas semantis kata intinya (head word). Contoh dari unitary
complexes adalah white house „gedung putih‟. Pada bagian ini, frasa white house
tidak bermakna rumah atau tempat tinggal berwarna putih, namun makna dari
15
frasa ini berkaitan dengan institusi politik di Amerika (kantor kepresidenan di
Amerika). Contoh lainnya adalah pineapple „nanas‟. Wujud dari kata majemuk
(compound) tersebut tidak berkaitan dengan nomina pine „cemara‟ dan apple
„apel‟, tetapi kata ini merujuk kepada satu bentuk nomina tersendiri, yakni
pineapple „nanas‟ (Nida, 1975:114).
Sementara itu, composites sedikit berbeda dengan unitary complexes. Kata
inti dalam composites memiliki kelas semantis yang sama dengan kombinasinya
secara keseluruhan, misalnya white oak „oak putih‟. White oak tidak merujuk pada
pohon oak berwarna putih. White oak merupakan nama dari salah satu spesies
pohon oak. Berbeda dengan pineapple yang sama sekali tidak memiliki kaitan
makna dengan pine „cemara‟ dan apple „apel‟, white oak masih berkaitan dengan
kata inti pembentuk frasa tersebut, yakni oak, sekalipun kata white dalam frasa
tersebut tidak berkaitan dengan makna literalnya. Frasa semacam ini disebut
composites (Nida, 1975:114).
b. Idiom dan Simile
Dalam bukunya yang berjudul “Diksi dan Gaya Bahasa”, Keraf (1985)
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan simile adalah perbandingan yang
bersifat eksplisit atau langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain.
Dalam bahasa Inggris, simile ditandai dengan penggunaan kata as „seperti‟ atau
like „seperti‟, misalnya like my mother „seperti ibuku‟ atau as sweet as sugar
„semanis gula‟. O‟Dell dan McCarthy (2003:6) menyatakan bahwa terdapat idiom
bergaya simile dalam bahasa Inggris (misalnya: right as rain „sepenuhnya baik-
baik saja‟), namun dalam bukunya yang berjudul English Idioms in Use, para
16
linguis tersebut tidak menjelaskan secara terperinci mengenai perbedaan simile
dengan idiom bergaya simile.
c. Idiom dan Metafora
Keraf (1985) mendefinisikan metafora sebagai semacam analogi yang
membandingkan dua hal secara langsung tetapi dalam bentuk yang singkat.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Kövecses (2002) mendefinisikan metafora
sebagai suatu pemahaman mengenai satu ranah konseptual tertentu dalam satu
ranah konseptual yang lain, misalnya life is a journey „hidup adalah sebuah
perjalanan‟. Lebih lanjut Kövecses (2002) menjelaskan bahwa metafora terdiri
atas dua ranah, yakni ranah sumber dan ranah target. Ranah konseptual yang
menggambarkan ungkapan metaforis untuk memahami ranah konseptual lainnya
disebut dengan ranah sumber (misalnya: journey „perjalanan‟). Sementara itu,
ranah konseptual yang dapat dipahami disebut dengan ranah target (misalnya: life
„hidup‟).
Dalam bukunya mengenai metafora, Kövecses (2002) menyebutkan bahwa
idiom dapat berupa metafora, misalnya saja seperti spill the beans „membocorkan
rahasia‟, rahasia dimetaforakan dengan menggunakan kata beans „buncis‟.
Meskipun demikian, tidak semua metafora merupakan idiom, misalnya seperti I
can ruin your life „saya bisa menghancurkan hidupmu‟ atau catch a bus „tepat
waktu (untuk jadwal keberangkatan bus)‟ seperti yang dijelaskan oleh Fernando
(1996:36) dalam bukunya yang berjudul Idioms and Idiomaticity.
Makna idiomatis bersifat arbitrer dan kearbitrerannya ini merujuk kepada
hubungan antara idiom dan makna figuratifnya. Kövecses (2002) menyatakan
17
bahwa sekali waktu idiom memiliki asal-usul metaforis (metaphorical origins).
Seiring berjalannya waktu dan penggunaannya yang terus-menerus dari generasi
ke generasi, idiom metaforis kehilangan kemetaforaannya dan berubah menjadi
metafora beku (death metaphor) dan makna figuratifnya kemudian secara
langsung ditetapkan dalam mental leksikon dan idiom ini bersifat non-
compositional (Kövecses, 2002). Sejalan dengan hal tersebut, Chomsky (1980)
berpendapat bahwa idiom dikonsepkan menjadi non-compositional sebab makna
figuratif dari frasa-frasa ini bukan merupakan fungsi-fungsi dari makna tiap
bagian individu dari kata-kata pembentuk frasa tersebut.
Mengenai kaitan antara metafora dengan idiom, Glucksberg (2001)
berpendapat bahwa meskipun idiom biasanya dianggap berbeda dengan metafora,
namun menurutnya idiom dan metafora tidak sepenuhnya berbeda. Lebih lanjut
lagi Glucksberg (2001) menjelaskan bahwa beberapa tipe idiom terlihat seperti
metafora, misalnya seperti skating on tiny ice „melakukan aktivitas yang
beresiko‟. Glucksberg (2001) menyebut idiom semacam ini dengan istilah quasi-
metaphorical idiom.
d. Idiom dan Proverb
Proverb merupakan bagian dari ungkapan tetap (fixed expressions) dalam
bahasa Inggris. O‟Dell dan McCarthy (2010) serta Kershen (1998) mendefinisikan
proverb sebagai pernyataan atau kalimat singkat berasal dari pengalaman
masyarakat tutur yang mengajarkan suatu nilai kehidupan atau memberikan
nasehat. Disisi lain, Schipper (2006) memberikan 4 skema mengenai definisi
proverb seperti berikut: (1) memiliki bentuk artistik yang tetap; (2) memiliki
18
fungsi evaluatif dan konservatif dalam masyarakat; (3) memiliki keabsahan yang
otoriter; serta (4) asal-usulnya bersifat anonim atau sulit dilacak.
Dari definisi dan skema tersebut terlihat bahwa terdapat perbedaan antara
proverb dengan idiom. Umumnya proverb berbentuk kalimat utuh, misalnya
where there is a will, there is a way „di mana ada keinginan, di situ ada jalan‟.
Selain itu, proverb biasanya dituturkan untuk menyampaikan suatu pesan seperti
nasihat, nilai-nilai kehidupan, larangan, dan lain sebagainya. Hal ini karena tema
proverb biasanya berkaitan dengan kebijaksanaan atau kearifan, misalnya every
cloud has a silver lining „setiap awan memiliki sebuah garis perak‟ (O‟Dell dan
McCarthy, 2010), yang bermakna selalu ada hal baik yang bisa dipetik dari setiap
situasi buruk yang dihadapai. Dapat disimpulkan bahwa sekalipun sama-sama
memiliki makna idiomatis, berdasarkan fungsinya proverb memiliki kekhususan
tersendiri dibandingkan dengan idiom pada umumnya.
1.7.2.2 Karakteristik Idiom
Dalam tata bahasa Inggris, idiom memiliki karakteristik tersendiri supaya
mudah diidentifikasi. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan skema
karakteristik idiom yang sudah dijelaskan oleh Prof. Dr. Soepomo
Poedjosoedarmo dalam wawancara yang telah dilakukan pada bulan April 2015.
Berikut ini merupakan skema karakteristik idiom yang telah dirumuskan.
a. Idiom memiliki makna idiomatis yang bersifat konvensional. Hal ini
sejalan dengan pendapat Langlotz (2006:3) yang berpendapat bahwa
makna idiom tidak dapat diperoleh dari makna literal konstituen
19
pembentuknya sebab maknanya mengalami perluasan atau bersifat
figuratif.
b. Idiom dapat disinonimkan dengan kosakata bermakna leksikal atau literal,
misalnya kick the bucket „menendang ember‟ dapat disinonimkan dengan
verba to die „mati‟.
c. Makna idiomatis idiom terikat dengan konteks kalimat. Frasa kick the
bucket „menendang ember‟ memiliki polisemi makna idiomatis dan makna
literal. Makna idiomatisnya akan muncul ketika terikat dengan konteks
kalimat. Pada konteks tertentu frasa ini akan melepaskan makna literalnya
„menendang ember‟ menjadi makna idiomatis „mati atau meninggal
dunia‟.
d. Diturunkan dari generasi ke generasi. Idiom-idiom dalam bahasa Inggris
atau bahasa lainnya merupakan ungkapan beku yang sudah digunakan
sejak dulu. Oleh karena itu, beberapa idiom menyimpan nilai-nilai budaya
yang harus dipelajari secara khusus. Misalnya adalah idiom kick the bucket
„menendang ember‟ yang menurut laman website www.phrases.org.uk.
Sudah digunakan kurang lebih sejak tahun 1785. Menurut asal-usulnya,
idiom tersebut dirujuk dari budaya masyarakat di zaman itu yakni apabila
hendak bunuh diri, mereka menggunakan seutas tali yang diikatkan pada
tiang untuk menggantung diri. Sebelum menggantung diri, mereka
menggunakan ember sebagai pijakan, kemudian menendang ember
tersebut supaya aksi bunuh diri mereka berhasil. Dari sinilah kemudian