1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sebagai hasil dari reformasi ekonomi yang dijalankan sejak akhir tahun 1978, Cina bergerak menjadi pemain utama dalam perekonomian dunia. Pembukaan pasar yang berujung pada pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina telah menimbulkan sebuah konsekuensi logis berupa kebutuhan akan jaminan pasokan energi yang semakin besar. 1 Hubungan antara energi dan pertumbuhan ekonomi menjadi hal yang sangat penting bagi Cina. Tanpa pengurangan kebutuhan energi secara masif, Cina membutuhkan konsumsi energi sebesar tiga kali lipat dari saat ini agar pertumbuhan ekonominya tetap berlanjut. 2 Pada tahun 2003, untuk pertama kalinya Cina menjadi konsumen minyak kedua terbesar di dunia. 3 Sepuluh tahun sebelumnya produksi minyak dalam negeri Cina telah stagnan dan ia menjadi negara pengimpor minyak sejak saat itu.Semakin meningkatnya kebutuhan Cina terhadap sumber energi telah mendorong negara ini untuk memastikan bahwa aliran pasokan energi tidak terganggu.Selama ini Cina telah menjalankan berbagai strategi dalam rangka memenuhi kebutuhan energinya. Dalam konteks ini, diversivikasi sumber energi bukan menjadi satu-satunya strategi Cina, tetapi keamanan distribusi sumber energi dari negara produsen ke Cina juga menjadi penting. Jalur darat dan jalur laut merupakan dua cara utama penyaluran energi Cina sehinggastrategi pengamanan jalur laut dan jalur darat mendapat perhatian yang besar dari pemerintah. Keamanan energi bagi Cina tidak hanya menyangkut kebijakan strategis dalam pencarian sumber-sumber energi, tetapi juga menjamin keamanan jalur transportasi energi tersebut. Adalah salah satu prioritas utama bagi pemerintah untuk memastikan terdapatnya free navigation disepanjang jalur transportasi laut dunia atau Sea Lines of Communications(SLOCs) yang membentang dari Timur Tengah hingga Laut Cina Selatan. 1 M. Sugiono, et.al.,Ketahanan Energi di Asia Pasifik dan Implikasinya Bagi Indonesia: Laporan Penelitian , Pusat Studi Energi UGM, Yogyakarta, 2010, p. 6. 2 J. Lewis, ‘Energy and Climate Goals of China’s 12th Five-Year Plan,’Center For Climate and Energy Solution (daring), March 2011, <http://www.c2es.org/international/key-country-policies/china/energy-climate- goals-twelfth-five-year-plan>, diakses pada 5 Juni 2014. 3 ‘China,’ U.S. Energy Information Administration(daring), 4 February 2014, <http://www.eia.gov/ countries/cab.cfm?fips=ch>, diakses pada 29 November 2014.
13
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81757/potongan/S1-2015... · mengatakan bahwa siapa saja yang mengkontrol Selat Malaka akan ... kerjasama
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sebagai hasil dari reformasi ekonomi yang dijalankan sejak akhir tahun 1978, Cina
bergerak menjadi pemain utama dalam perekonomian dunia. Pembukaan pasar yang
berujung pada pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina telah menimbulkan sebuah
konsekuensi logis berupa kebutuhan akan jaminan pasokan energi yang semakin besar.1
Hubungan antara energi dan pertumbuhan ekonomi menjadi hal yang sangat penting bagi
Cina. Tanpa pengurangan kebutuhan energi secara masif, Cina membutuhkan konsumsi
energi sebesar tiga kali lipat dari saat ini agar pertumbuhan ekonominya tetap berlanjut.2
Pada tahun 2003, untuk pertama kalinya Cina menjadi konsumen minyak kedua
terbesar di dunia.3 Sepuluh tahun sebelumnya produksi minyak dalam negeri Cina telah
stagnan dan ia menjadi negara pengimpor minyak sejak saat itu.Semakin meningkatnya
kebutuhan Cina terhadap sumber energi telah mendorong negara ini untuk memastikan
bahwa aliran pasokan energi tidak terganggu.Selama ini Cina telah menjalankan berbagai
strategi dalam rangka memenuhi kebutuhan energinya. Dalam konteks ini, diversivikasi
sumber energi bukan menjadi satu-satunya strategi Cina, tetapi keamanan distribusi sumber
energi dari negara produsen ke Cina juga menjadi penting. Jalur darat dan jalur laut
merupakan dua cara utama penyaluran energi Cina sehinggastrategi pengamanan jalur laut
dan jalur darat mendapat perhatian yang besar dari pemerintah.
Keamanan energi bagi Cina tidak hanya menyangkut kebijakan strategis dalam
pencarian sumber-sumber energi, tetapi juga menjamin keamanan jalur transportasi energi
tersebut. Adalah salah satu prioritas utama bagi pemerintah untuk memastikan terdapatnya
free navigation disepanjang jalur transportasi laut dunia atau Sea Lines of
Communications(SLOCs) yang membentang dari Timur Tengah hingga Laut Cina Selatan.
1M. Sugiono, et.al.,Ketahanan Energi di Asia Pasifik dan Implikasinya Bagi Indonesia: Laporan Penelitian,
Pusat Studi Energi UGM, Yogyakarta, 2010, p. 6. 2J. Lewis, ‘Energy and Climate Goals of China’s 12th Five-Year Plan,’Center For Climate and Energy
Solution (daring), March 2011, <http://www.c2es.org/international/key-country-policies/china/energy-climate-
goals-twelfth-five-year-plan>, diakses pada 5 Juni 2014. 3 ‘China,’ U.S. Energy Information Administration(daring), 4 February 2014, <http://www.eia.gov/
countries/cab.cfm?fips=ch>, diakses pada 29 November 2014.
Keamanantransportasi suplai energi di wilayah lautan yang kritis merupakan salah satu
prioritas utama kebijakan luar negeri Cina.4
Dalam China’s Energy Policy 2012, disebutkan bahwapenting bagi Cina “to ensure
the security of international energy transport routes and avoid geopolitical conflicts that
affect the world’s energy supply.”5Salah satu jalur perdagangan energi itu adalah Samudera
Hindia. Kepentingan pengamanan jalur perdagangan Cina di Asia Selatan telah memberikan
implikasi terhadap semakin meningkatnya pengaruh dan peran Cina di wilayah yang
berbatasan dengan Samudera Hindia tersebut. Menurut Shrikant Kondapalli, profesor di
Universitas Jawaharlal Nehru, Cina melakukan pembangunan di negara-negara kecil di
sekitar Samudera Hindia demi minyak. Sekitar 80% sumber minyak Cina berasal dari Timur
Tengah dan Afrika, yang seluruhnya ditransportasikan melewati Samudera Hindia.6 Paul
Smith dari U.S. Naval War College mengemukakan bahwa Samudera Hindia menjadi arena
strategis pada abad ke-21 ini. Cina melihat Samudera Hindia sebagai kunci dari kebangkitan
geopolitiknya, khususnya pada wilayah-wilayah yang menjadi jalur penghubung bagi
sumber energi yang berasal dari Timur Tengah dan Afrika. Jika Amerika Serikat (AS)
menjadikan Asia Pasifik sebagai poros politik luar negerinya saat ini, maka Cina
menjadikan wilayah Samudera Hindia sebagai poros baru dalam kebijakan luar negerinya.7
Dalam beberapa dekade terakhir, Cina telah menjalankan kebijakan strategis di Asia
Selatan sebagai usaha membangun jalur perdagangan baru. Cina secara masif meningkatkan
kerja sama dan membina hubungan maritim dengan Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh dan
Myanmar untuk membangun posisi yang lebih strategis dan melindungi jalur transportasi
energi. Negara-negara ini bernilai strategis bagi Cina karena dapat memberikan rute
transportasi energi yang lebih singkat melalui perjalanan darat ke wilayah Cina, di samping
melalui jalur konvensional pelayaran dunia. Mereka akan menjadi jalur penghubung yang
sangat penting antara Cina dan negara-negara yang kaya energi.
4J.R. Holmes &T. Oshihara, Chinese Naval Strategy in 21st Century: The Turn to Mahan, Routledge, Oxon,
2007, p.4. 5‘China’s Energy Policy 2012,’ Gov.cn (daring), <http://www.gov.cn/english/official/2012-
10/24/content_2250497_10.htm> diakses pada 20 November 2014. 6M. Devichand, ‘Is Chittagong one of China’s String of Pearls,’BBC News (daring), 10 May 2010,
<http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/8687917.stm>, diakses pada 5 Juni 2014. 7J.B. Miller, ‘China Making A Play at Bangladesh,’ Forbes (daring), 3 January 2014,
<http://www.forbes.com/sites/jonathanmiller/2014/01/03/china-making-a-play-at-bangladesh/>, diakses pada 5
Berdasarkan uraian di atas, penulis mengajukan pertanyaan penelitian: bagaimana
Cina menjalankan strategi politik luar negeri di Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, dan
Myanmar dalam konteks upaya pengamanan jalur transportasi suplai energi ?
1.3 Kerangka konseptual
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, penulis akan menggunakan konsep-
konsepketahanan energi, “strings of pearls”, dan prinsip “pembangunan damai” dalam
politik luar negeri Cina.
Ketahahan Energi
Xu Yi-Chong menjelaskan ketahanan energi sebagai “the security of an ‘adequate’
and ‘reliable’ energy supply at a ‘stable’ price.”8Ini sejalan dengan definisiInternational
Energy Agency(IEA):ketahanan energi adalah “uninterupted availability of energy
resources at an affordable price.”9 Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa mengamankan
pasokan energi merupakan perhatian utama bagi seluruh negara. Pengamanan suplai energi
ini juga melibatkan berbagai isu seperti tidak terganggunya akses pada sumber energi serta
keamanan transportasi dan stabilitas harga.10
Dalam rangka menjamin ketersediaan energi, salah satu strategi utama Cina adalah
menjalankan apa yang disebut sebagai ‘diplomasi minyak’ dan pencarian equity purchase
dengan cara “going out/go international.”11 Diversifikasi dan kebijakan “going out” sebagai
usaha menjamin suplai yang cukup bagi kebutuhan energi domestik Cina menimbulkan
sejumlah implikasi baru. Salah satunya adalah bagaimana Cina harus bersikap terhadap
keamanan jalur transportasi suplai energi. Mehdi P. Amineh dan Yang Guang berargumen
bahwa salah satu tantangan terpenting dalam ketahanan energi Cina adalah meningkatnya
ketergantungan terhadap impor dari pasar internasional. Peningkatan ini menempatkan
ketahanan energi Cina dalam ancaman atas transportasi energi dunia, baik itu rute navigasi
maupun jalur pipa. 12 Inisejalan dengan keterangan dalam China’s Energy Policy
8Xu Yi-Chong, ‘China’s Energy Security’, Australian Journal of International Affairs, vol. 60, no. 2, June
2006, p. 266. 9‘Energy Security,’International Energy Agency (daring), <http://www.iea.org/topics/energysecurity/>,
diakses pada 20 Juni 2014. 10Xu Yi-Chong, p. 266. 11Sugiono, et.al, p. 19. 12M.P. Amineh & Y. Guang, Secure Oil and Alternative Energy: The Geopolitics of Energy Paths of China
2012:“Marine transportation of petroleum and cross-border pipeline transmission of oil
and gas face ever-greater security risks.”13
Menurut Donna Nincic, terdapat dua ancaman dalam keamanan energi, yaitu ancaman
terhadap suplai minyak dan gas alam serta ancaman terhadap infrastruktur energi,
khususnya transportasi. Berbagai permasalahan seperti ancaman teroris di wilayah maritim,
pembajakan, dan sengketateritorial menjadi masalah yang sering terjadi. Ketika seluruh
permasalahan ini bergabung dan menimbulkan ancaman bagi pelayaran niaga, ia juga
menimbulkan ancaman terhadap keamanan akses terhadap energi.14 Ditegaskan oleh David
Zweig dan Bi Jianhai, “securing China’s energy needs does not just revolve around
obtaining them, but more importantly, the ability to get them home safely.”15 Dalam konteks
ini, ketersediaan sumber dan keamanan jalur transportasi telah menjadi perhatian utama
pemerintah Cina.16
Saat ini, keamanan energi berfokus kepada perlindungan seluruh rantai suplai energi.
Transportasi sebagai bagian dari rantai suplai energi menjadi hal yang penting. Kontrol
berbagai lokasi strategis merupakan bagian penting dalam transportasi internasional,
utamanya untuk mengurangi kemungkinan berbagai gangguan. 17 Akan halnya Cina,
Presiden Hu Jintao dalam Kongres PKC di tahun 2003 mendeskripsikan apa yang disebut
sebagai“Dilema Malaka.” Dilema Malaka merujuk kepada kecemasan dari pemerintah Cina
terhadap adanya kemungkinan kontrol di Selat Malaka oleh negara adidaya tertentu yang
dapat menimbulkan krisis bagi Cina.18Merespon uraian Hu tentang Dilema Malaka, China
Youth Daily mempublikasikan sebuah artikel yang menuturkan bahwa “tidak berlebihan jika
mengatakan bahwa siapa saja yang mengkontrol Selat Malaka akan memiliki kekuatan
terhadap rute energi Cina.”19
13‘China’s Energy Policy 2012.’ 14D.J. Nincic, ‘Troubled Waters: Energy Security as Maritime Security’, dalam G. Luft & A. Korin (eds.),
Energy Security Challenges in the 21st Century: A Reference Handbook, ABC-CLIO, California, 2009, p.31. 15D. Zweig &B. Jianhai, ‘China’s Global Hunt For Energy’, Foreign Affairs (daring), September
energy>, diakses pada 23 September 2014. 16Sugiono, et.al, p. 27. 17W. Anderson & J-P. Rodriguez, ‘Transborder/Cross-boder Transportation,’The Geography of Transport
Systems(daring),<http://people.hofstra.edu/geotrans/eng/ch5en/conc5en/ch5c1en.html>, diakses pada 23
September 2014. 18J.J. Blazevic, ‘Defensive Realism in Indian Ocean: Oil, Sea Lines, and Security Dilemma,’ China Security,
vol. 5, no. 3, 2009, p. 62. 19J.M. Smith, Cold Peace: China-India Rivalry in the Twenty Firs Century, Lexington Books, Maryland,
pada 7 Juni 2014. 27 Lihat ‘White Paper on Peaceful Development Road’, China.org.cn (daring), http://www.china.org.cn/
english/2005/Dec/152669.htm#1, diakses pada 20 November 2014. 28W.W-L. Lam, Chinese Politcs in the Era of Xi Jinping : Renaissance, Reform, or Retrogression?,
Routledge, New York, 2015, p. 200. 29W.W-L. Lam, p. 201.
2000 Cina telah menjadi negara pemberi investasi terbesar bagi negara-negara berkembang.
Melaluipurse diplomacy maka Cina banyak membangun aliansi strategis dalam politik dan
ekonomi dengan negara-negara berkembang.
Penulis akanberfokus mengindentifikasi kawasan tertentu yang menjadi salah satu
tujuan strategi “string of pearls”, yakni Asia Selatan – diwakili di sini oleh Pakistan, Sri
Lanka, Bangladesh, dan Myanmar. Keempat negara ini memiliki lokasi yang berbatasan
langsung dengan Samudera Hindia yang merupakan jalur pelayaran dunia serta memiliki
kedekatan wilayah dengan Cina. Penulis akan menunjukkan keberadaan,
motivasi,strategidan pengaruh Cina di negara-negara tersebut menurut konsepsi “string of
pearls”.
“Pembangunan Damai”
Salah satu prinsip dan tujuan utama politik luar negeri Cina adalah “pembangunan
damai.” Sebelum konsep ini muncul, sebelumnya ada “teori kebangkitan damai” yang
dipelopori oleh Wakil Ketua Central Party School Partai Komunis Cina (PKC) Zheng Bijian
pada Desember 2002. Dalam pidatonya yang berjudul The new road of China’s peaceful
rise and the future of Asia, Zheng menjelaskan bahwa jalan yang dibangun oleh Cina dalam
pembangunannya “bukan hanya jalan untuk mencapai kebangkitan, tetapi juga jalan yang
mematuhi perdamaian dan tidak mencari hegemoni.”30 Kemudian, pada Desember 2003,
saat berpidato di Universitas Harvard, Perdana Menteri Wen Jiabao menjadi pemimpin
senior pertama yang mendukung “kebangkitan damai” untuk dipublikasikan.
Pada 26 Desember 2003, saat mengikuti simposium peringatan 110 tahun kelahiran
Mao Zedong, Presiden Hu Jintao menekankan bahwa Cina “harus menekankan kepada jalur
kebangkitan damai, menjalin kerukunan dengan seluruh negara di dunia berdasarkan
prinsip-prinsipperdamaian, secara aktif membangun kerjasama dengan negara-negara di
dunia atas dasar kesetaraan dan keuntungan bersama, dan berkontribusi kepada nilai luhur
perdamaian dan pembangunan umat manusia.”31 Dalam konferensi pers Kongres Partai
Nasional ke-10 pada pertengahan Maret 2004, PM Wen menjelaskan tentang aspek-aspek
“kebangkitan damai” Cina.Namun, dalam konferensi Boao pada bulan April 2004Presiden
Hu menghindari frasa“kebangkitan damai” dan menggantinya dengan frasa“pembangunan
damai.” Sejak itu, “kebangkitan damai” menghilang dan Hu mendorong penggunaan konsep
30B.S. Glaser & E.S. Medeiros, ‘The Changing Ecology of Foreign Policy-Making in China: The Ascension
and Demise of the Theory of “Peaceful Rise”, The China Quarterly, no. 190, June 2007, p. 294. 31Glaser &Medeiros, p. 298.
10
“pembangunan damai,”yang secara perlahandiasosiasikan dengan “dunia yang harmonis”,
“win-win solution”, “demokratisasi hubungan internasional”, dan “penggunaan soft
diplomacy.” 32 Pada Desember 2005, Dewan Negara mengeluarkan laporan resmi yang
berjudul China’s Peaceful Development Road, dan menghindari penggunaan istilah
“kebangkitan damai.”33
Cina secara resmi menggunakan konsep “pembangunan damai” yang terdengar tidak
terlalu mengancam dan menggunakan frasa“harmoni” dalam membangun hubungan dengan
negara-negara yang memiliki kekuatan besar di dunia. Cina berupaya untuk meyakinkan
dunia bahwa ia sedang mempersiapkan diri untuk menjadi bagian dari sistem internasional
tanpa mengacaukan sistem internasional tersebut. Presiden Hu menjelaskan konsep
“pembangunan damai”lebih lanjut dalam pidatonya di Washington, D.C., pada tahun 2006.
Menurut Hu, Cina menganut paham “pembangunan damai”: Cina dengan tegas
berkomitmen untuk mengembangkan pembangunan di dalam negeri, memelihara
perdamaian dunia dan mempromosikan pembangunan umum internasional.34
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat, kebangkitan Cina mendapat
banyak perhatian dari dunia internasional. Secara umum dunia melihat kebangkitan Cina
sebagai sebuah peringatan. Dalam hal ekonomi, kebangkitan Cina dipandang sebagai
ancaman bagi sebagian pihak. Banyak pengamat Cina melihat bahwa kerangka besar
kebijakan luar negeri Cina dan strategi militernya bertujuan untuk mengontrol wilayah Asia-
Pasifik.35 Sementara itu, terdapat juga pihak yang memandang bahwa pembangunan damai
Cina memberikan efek positif sebagai sumber dari kesempatan dan kerjasama. Salah satu
negara yang memiliki persepsi positif itu adalah Pakistan.36
Melalui politik luar negeri “pembangunan damai”, dalam sistem internasional Cina
dituntut untuk mampu meningkatkan hubungan dalam bidang politik-keamanan, ekonomi,
dan sosial-budaya dengan negara lain, terutama negara-negara tetangganya. Pada Oktober
2013, Presiden Xi Jinping mengusulkan “the 21st Century Maritime Silk Road” atau 21shiji
32Glaser & Medeiros, p.299. 33Glaser & Medeiros, p. 295. Perubahan dari “kebangkitan damai” menjadi “pembangunan damai” ini
merupakan hasil pemikiran dari para pembuat kebijakan Cina yang berupaya untuk menghindari masalah-
masalah yang umumnya dialami oleh kekuatan-kekuatan yang baru saja bangkit, seperti Jepang, Jerman, dan
Uni Soviet. Untuk menghindari penggunaan frasa yang dapat memicu provokasi, pemilihan slogan diplomatik
itu diubah menjadi “pembangunan damai.” 34D.K. Davis, Modern World Leaders: Hu Jintao, Chelsea House Publishers, New York, 2007, p.74. 35Z. Wang, ‘The Perception Gap Between China and Its Neighbors,’The Diplomat (daring), 6 August
2014,<http://thediplomat.com/2014/08/the-perception-gap-between-china-and-its-neighbors/>, diakses pada 21
September 2014. 36I.A. Lodhi, ‘Pakistan: Perception and Responses of an All-weather Friend,’ dalamS.D. Muni & T.T. Yong
(eds.), A Resurgent China: South Asian Perspectives, Routledge, New Delhi, 2012, p. 155.
haishang sichouzhiludalam perjalanannya di Asia Tenggara.37Dahulu Maritime Silk Road
dibentuk oleh Jendral Zheng He sebagai bagian dari tujuh perjalanannya melewati
Samudera Hindia selama masa Dinasti Ming (1368-1644).Dalam ekspedisinya ia
membangun legitimasi Cina sebagai kekuatan maritim, dan sekarang Cina membentuk
sebuah inisiatif baru dengan mengambil rute Maritiem Silk Road tersebut. Merentang
sepanjang Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Barat, “Maritime Silk Road”
dapat disebut sebagai upaya Cina untuk memperoleh kepentingan di negara-negara
tetangganya di selatan. 38 Cina membangun kehadirannya melalui Maritime Silk Road
dikarenakan kepentingan ekonomi dan besarnya perhatian Cina terhadap ketahanan energi.
Cina berupaya membangun institusi-institusi yang dapat menjamin stabilitas dan
konektivitas disepanjang jalur palayaran internasional, utamanya Samudera Hindia dan Laut
Cina Selatan.Maritime Silk Roadmenekankan pada kerjasama ekonomi dan
keamanandengan memperkuat “ekonomi maritim, kerjasama teknis dan ilmu pengetahuan.”
Perjanjian bilateral dan konsultasi diplomatik yang damai juga dilakukan oleh Cina. Hal ini
memainkan peranan yang besar dalam hubungan Cina di wilayah selatan.
Kebijakan ‘good-neighbor’ dalam Maritime Silk Road juga memacu banyak kerja
sama yang dilakukan Cina dengan negara-negara tetangganya. Usulan Cina dalam konsep
ini dapat menghubungkan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, sekaligus merupakan
bagian dari propaganda Cina untuk meyakinkan kepada dunia akan “pembangunan
damai.”39
Mohan Malik berargumen bahwa “Maritime Silk Road , a means for Beijing to extend
its influence along critical sea lines and to reassure its neighbors of its benign intention as
well as to deter adversaries.”40 Melalui implementasi agenda geoekonomi dan geopolitik
ini maka Cina berekspektasi bahwa seluruh negara-negara tetangganya di wilayah Asia akan
ikut dalam ‘a community of common destiny’.41 Melalui politik luar negeri “pembangunan
37S. Tiezzi, ‘Maritime Silk Road vs. String of Pearls,’ The Diplomat (daring), 13 February 2014,
<http://thediplomat.com/2014/02/the-maritime-silk-road-vs-the-string-of-pearls/>, diakses pada 22 September
2014. 38M.D. Swaine, ‘Chinese Views and Commentary on Periphery Diplomacy,’ China Leadership Monitor
(daring), no. 44, 2014, p. 31, <http://www.hoover.org/sites/default/files/research/docs/clm44ms.pdf>, diakses
pada 9 September 2014. 39K. Sibal, ‘China’s Maritime ‘silk road’ proposal are not as peaceful as they seem’, Dailymail(daring), 24
February 2014,<http://www.dailymail.co.uk/indiahome/indianews/article-2566881/Chinas-maritime-silk-road-
proposals-not-peaceful-seem.html>, diakses pada 22 September 2014. 40M. Malik, ‘The Indo-Pacific Maritime Domain : Challenges and Opportunities’, dalam M. Malik (ed.),
Maritime Security In The Indo-Pasific: Perspectives from China, India, and United States, Rowman &
Littlefield, Maryland, 2014, p. 19. 41D. Arase, ‘China’s Two Silk Roads: Implication For Southeast Asia (Amanded Version)’, ISEAS