1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki kekayaan alam dan budaya. Bali memiliki daya tarik tersendiri dengan pesona etnik yang memuat sosial budaya masyarakat yang khas, dimana simbol-simbol serta mengandung nilai, norma, dan tradisi termuat dalam tubuh masyarakat Bali. Masyarakat Bali meyakini bahwa agama adalah budaya dan budaya adalah agama. Kontruksi seperti ini merupakan hasil proses adaptasi terhadap alam yang diolah untuk keberlangsungan hidup yang biasanya terimplementasikan melalui kegiatan bertani yang kemudian dengan teguh memegang prinsip untuk memelihara keberlanjutan. Bali telah mengokohkan kebudayaan sebagai dasar pembangunan, termasuk dalam hal pertanian yang berbasis kelembagaan. Kelembagaan pertanian sangat menentukan keberhasilan pembangunan pertanian itu sendiri, utamanya yang terletak di pedesaan akan bermanfaat untuk pengembangan sosial ekonomi petani, aksesibilitas pada modal, aksesibilitas pada informasi pertanian, infrastuktur, pasar, dan inovasi pada pertanian. Keberadaan dari kelembagaan pertanian juga akan mempermudah bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lain dalam memberikan penguatan serta memfasilitasi petani.
28
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/49068/2/BAB I.pdfSetiap institusi sosial tersebut memiliki personel, seperangkat norma, nilai, aktivitas, teknologi, serta fungsi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki kekayaan
alam dan budaya. Bali memiliki daya tarik tersendiri dengan pesona etnik yang
memuat sosial budaya masyarakat yang khas, dimana simbol-simbol serta
mengandung nilai, norma, dan tradisi termuat dalam tubuh masyarakat Bali.
Masyarakat Bali meyakini bahwa agama adalah budaya dan budaya adalah
agama. Kontruksi seperti ini merupakan hasil proses adaptasi terhadap alam
yang diolah untuk keberlangsungan hidup yang biasanya terimplementasikan
melalui kegiatan bertani yang kemudian dengan teguh memegang prinsip untuk
memelihara keberlanjutan.
Bali telah mengokohkan kebudayaan sebagai dasar pembangunan,
termasuk dalam hal pertanian yang berbasis kelembagaan. Kelembagaan
pertanian sangat menentukan keberhasilan pembangunan pertanian itu sendiri,
utamanya yang terletak di pedesaan akan bermanfaat untuk pengembangan
sosial ekonomi petani, aksesibilitas pada modal, aksesibilitas pada informasi
pertanian, infrastuktur, pasar, dan inovasi pada pertanian. Keberadaan dari
kelembagaan pertanian juga akan mempermudah bagi pemerintah dan
pemangku kepentingan lain dalam memberikan penguatan serta memfasilitasi
petani.
2
Kelembagaan (social institution) merupakan keseluruhan pola ideal,
organisasi, maupun aktivitas yang berpusat pada lingkungan kebutuhan dasar
masyarakat yang selalu bertujuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan
masyarakat sehingga Lembaga tersebut memiliki fungsi. Institusi sosial juga
merupakan konsep yang berpadu dengan struktur, yang berarti tidak saja
melibatkan pola aktivitas yang lahir melalui segi sosial guna memenuhi
kebutuhan manusia, tetapi juga pola organisasi guna melaksanakannya
(Roucek dan Warren dalam Anantanyu, 2011:102).
Setiap individu memiliki kebutuhan fisiologis (physiological need), dan
untuk memperoleh kebutuhan tersebut setiap kelompok dimana individu
berkumpul dalam suatu organisasi sosial atau kelembagaan akan
mengembangkan institusi agar para anggotanya dapat memperoleh kebutuhan
fisiologis. Institusi itu hadir sebagai hasil dorongan kebudayaan dari setiap
kelompok untuk melayani anggotanya yang ingin memperoleh empat
kebutuhan dasar (instrumental needs) yaitu economy, social control,
education, dan political organization. Setiap institusi sosial tersebut memiliki
personel, seperangkat norma, nilai, aktivitas, teknologi, serta fungsi (Murphy
dalam Liliweri, 2014: 2-3).
Kelembagaan petani adalah lembaga petani yang berada di kawasan
institusi lokal yang berupa organisasi keanggotaan atau kerjasama yaitu petani-
petani yang tergabung dalam kelompok kerjasama. Kelembagaan ini meliputi
pengertian yang luas, yaitu selain mencakup pengertian organisasi petani, juga
aturan main (role of game) atau aturan perilaku yang menentukan pola tindakan
3
dan hubungan sosial, termasuk kesatuan sosial sebagai wujud kongkrit dari
lembaga itu sendiri (Uphoff dalam Anantanyu, 2011: 102).
Kelembagaan petani tertua yang terdapat di Bali sekaligus sebagai
sebuah warisan budaya adalah kelembagaan organisasi “subak”. Subak
merupakan organisasi petani lahan basah yang mendapatkan air irigasi dari satu
sumber bersama, memiliki satu atau lebih pura bedugul yang digunakan untuk
memuja Dewi Sri, sebagai manifestasi Tuhan selaku Dewi kesuburan, serta
memiliki kebebasan untuk mengatur rumah tangganya sendiri, maupun dalam
berhubungan dengan pihak luar (Sutawan, 1986).
Subak juga merupakan perkumpulan para petani tradisional sebagai
pengelola irigasi sawah dalam suatu kawasan tertentu yang memiliki sumber
air tertentu, pura, dan otonom (Windia dkk, 2015). Kemudian, Korn (dalam
Sirtha, 2016: 1) meninjau subak melalui tiga aspek yaitu: 1) aspek religius
dalam wujud pura subak sebagai tempat krama (warga) subak melakukan
persembahyangan kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2) aspek sosial berupa
kegiatan krama subak dalam rapat yang mengatur pembagian air, pola tanam,
upacara, dan kekayaan subak; 3) aspek fisik berupa bangunan-bangunan,
kekayaan materiil seperti tanah persawahan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan Gusti Nata selaku
pemandu di Musium Subak Kabupaten Tabanan Bali dikatakan bahwa subak
sebenarnya sudah ada sejak tahun 882 M yang ditemukan pada sebuah prasasti
yang bernama Prasasti Sukawana. Pada prasasti tersebut terdapat sebuah kata
“huma” yang artinya sawah dan kata “perlak” yang artinya tegalan. Pada
sebuah prasasti bebetin di tahun 989 M juga disebutkan kata “undagi lancang,
4
undagi batu, dan undagi pengarung”. Dimana makna dari kata-kata tersebut
adalah tukang mencari batu, tukang membuat perahu, dan tukang membuat
naungan atau terowongan air.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur kehidupan bertani dalam bercocok
tanam padi di Bali, banyak dimuat di dalam Sastra Purana Sri dan Aji Pari.
Subak jika dilihat dari unsur pemujaan (Pura) diklasifikasi sebagai Pura
Swagina (Fungsional), dengan demikian subak merupakan suatu bentuk ikatan
profesi sebagai petani sawah. Paparan terkait subak ini memberikan ciri tentang
keberadaan subak sebagai organisasi profesi petani sawah, yang terbentuk dari
kesadaran sendiri, mengusahakan, melakukan pengaturan air, melakukan
pengaturan bercocok tanam, dan lain-lain. Dijiwai pula oleh agama yang dianut
dan perkembangannya melalui suatu proses yang panjang, secara turun
temurun dan sambung-menyambung yang lanjut mentradisi hingga saat ini.
Sistem subak sebagai lembaga sosial, setidaknya dapat memainkan
beberapa fungsi penting yang beragam (multi-functional roles). Fungsi subak
diklasifikasikan menjadi fungsi internal dan eksternal. Adapun fungsi internal
subak adalah sebagai pelaksana kegiatan ritual, pendistribusian air irigasi,
penanganan konflik, pemeliharaan jaringan irigasi dan bangunan fisik lainnya.
Sedangkan fungsi eksternal subak yaitu sebagai penyangga atau pendukung
ketahanan pangan, pelestari kebudayaan, pelestari lingkungan, dan penyangga
nilai-nilai tradisional. (Sudarta dan Dharma, 2013).
Perkembangan modernisasi seperti saat ini tidak dapat dipungkiri
bahwa kini subak telah benar-benar mengalami desakan dan keterancaman.
Sistem irigasi yang berlandaskan sosio-kultural seperti halnya subak memang
5
memiliki kelemahan juga seperti ketidakmampuannya dalam melawan
intervensi yang datang dari eksternal (Pusposutardjo dan Wardhana, 1997: 13).
Prof. I Wayan Windia (dalam Suriyani, 2015) seorang guru besar
pertanian Universitas Udaya menyatakan bahwa persawahan di Bali saat ini
mengalami compang-camping karena banyak terjadi alih fungsi lahan. Hal ini
menyebabkan banyak sarana irigasi yang mengalami kerusakan dan tidak
berfungsi secara efektif. Pernyataan tersebut memperkuat bahwa fungsi-fungsi
vital subak lambat laun cukup mengalami pelemahan. Lahan pertanian terus
mengalami pengalihan fungsi lahan akibat semakin berkembang pesatnya
pariwisata di Bali dan pertumbuhan jumlah penduduk di Bali.
Pelemahan terhadap fungsi subak dapat di bagi menjadi 2 jenis yaitu:
1. Makro
Konteks makro disini adalah problematika yang disebabkan oleh
berkembangnya arus globalisasi dan kapitalisme di Indonesia. Problematika
tersebut memberikan dampak kepada kebijakan pemerintah baik pusat
maupun daerah yang berkomitmen untuk menjadikan Bali sebagai salah
satu destinasi wisata dunia terbesar di Asia melalui program pariwisatanya.
Tentu saja pada akhirnya menyebabkan pesatnya pertumbuhan jumlah
penduduk dan wisatawan asing di Bali. Kemudian, kini Bali juga
menggencarkan pembangunan untuk menopang pariwisata dalam bidang
sarana dan prasarana pendukung secara fisik seperti jalan, hotel, villa,
swalayan, restoran, perumahan, lahan kavlingan, dan sebagainya.
Konsekuensinya adalah sumber daya alam, termasuk lahan pertanian dan
air menjadi korban.
6
2. Mikro
Konteks mikro yang dimaksud adalah problematika yang disebabkan
oleh pesatnya perkembangan pariwisata di Bali, membuat pemuda Bali
lebih tertarik kepada sektor non pertanian. Sehingga hal tersebut berdampak
kepada eksistensi subak yang kini semakin terdesak dan terancam. Tak
sedikit pula petani yang beralih profesi ke non-petani karena merasa bahwa
sektor pariwisata lebih menjanjikan.
Fenomena ini pun telah meluas hingga ke Kabupaten Jembrana. Subak
yang terdapat di Kabupaten Jembrana menurut pemaparan dari informan
Kelian Subak Gede Jembrana adalah terdiri dari subak lahan basah (sawah)
sebanyak 14 subak, dan subak pertanian dilahan tegalan/kering (subak abian)
sebanyak 11 subak. Subak di Jembrana kini mengalami pengalihan fungsi lahan
yang lebih banyak digunakan untuk pembang unan infrastruktur perumahan.
Dalam catatan I Ketut Wisada (dalam Antara Bali News, 2015) dinyatakan
bahwa pada tahun 2002 luas lahan pertanian di Kabupaten Jembrana mencapai
13 ribu hektar, namun pada tahun 2011 hanya tinggal 6.856 hektar.
Berdasarkan data ini, dalam kurun waktu sepuluh tahun saja, lahan pertanian
di Kabupaten Jembrana menyusut sekitar 50 persen. Kemudian (dalam Radar
Bali, 2017) dinyatakan pula bahwa pada awalnya luas lahan sawah tercatat
6.856 hektare, namun dari data hasil survei terakhir pada tahun 2016 lalu
terdata 6.775 hektar.
Data tersebut menunjukkan telah terjadi penyempitan luas lahan sawah
yang diakibatkan oleh pengalihan penggunaan lahan sawah menjadi lahan
bukan sawah atau lahan bukan untuk kegiatan pertanian. Sebagian besar
7
disebabkan karena industri pariwisata, pembangunan perumahan, pembuatan
kavlingan, maupun toko-toko. Kelian Subak Gede Jembrana sesuai dengan
pemaparannya pada saat wawancara, menyatakan jika sudah berusaha untuk
berdialog kepada pihak Pemerintah Kabupaten Jembrana terkait maraknya
pengalihan fungsi lahan di Kecamatan Jembrana. Namun, kurang mendapatkan
respon yang baik terkait permasalahan alih fungsi tersebut. Pengalihan fungsi
lahan yang marak terjadi di wilayah Subak Gede Jembrana seringkali tidak bisa
ditahan, hal tersebut dikarenakan adanya kepentingan politik yang bermain di
berbagai pihak baik masyarakat, pemerintah, dan investor.
Berada di tengah lemahnya kontrol subak oleh kepungan kapitalisme
dan arus globalisasi, terdapat Subak Babakan Bayu yang hingga kini masih
tetap eksis. Ditunjukkan melalui tiga keistimewaan yaitu: pertama, Subak
Babakan Bayu masih tetap eksis dengan menjalankan fungsi-fungsi yang
dimilikinya. Kedua, Subak Babakan Bayu masih mampu untuk menjalankan
kelembagaan dengan didasarkan kepada prinsip Tri Hita Karana. Prinsip yang
bermakna tiga penyebab kebahagiaan bagi umat hindu di Bali yaitu
Parakhyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), Pawongan (Hubungan
manusia dengan manusia), dan Palemahan (hubungan manusia dengan alam).
Ketiga, Subak Babakan Bayu memiliki krama (warga) subak yang
multikultural. Dimana cukup jarang dapat ditemui perbedaan agama di dalam
suatu kelembagaan organisasi subak di Bali. Walaupun terjadi perbedaan,
krama subak senantiasa harmonis dan bertoleransi dalam menjalankan
keorganisasian subak dan mensejahterakan kehidupan bersama selama ini.
8
Bertahannya Subak Babakan Bayu dalam menjaga eksistensinya di
tengah maraknya industrialisasi di Jembrana, serta banyaknya subak lainnya
yang telah mengalami pelemahan nilai-nilai dan fungsi subak, membuat
peneliti tertarik untuk memahami lebih dalam tentang bagaimana sistem
kelembagaan organisasi subak di Subak Babakan Bayu. Apabila mengetahui
maupun memahami lebih dalam terkait sistem kelembagaan subak, maka ini
akan berkontribusi besar dalam bidang tata kelola air (water governance)
sehingga dapat mengantisipasi konflik antara masyarakat dengan pemerintah,
ataupun antara organisasi kelembagaan subak dengan investor.
Memahami terkait kelembagaan dalam bidang tata kelola air di suatu
daerah merupakan hal yang sangat penting karena memiliki dampak kepada
kesejahteraan masyarakat. Seperti yang disampaikan oleh Horton dan Hunt
(dalam Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, 2004: 216) bahwa kelembagaan
memang merupakan suatu sistem hubungan sosial terorganisir yang dianggap
penting oleh masyarakat karena menjadi wadah mereka untuk mencapai suatu
tujuan bersama. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini akan difokuskan kepada
“Sistem Kelembagaan Organisasi Subak (Studi di Subak Babakan Bayu
Sangkaragung, Kabupaten Jembrana Bali).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalahnya adalah:
bagaimana sistem kelembagaan organisasi subak di Subak Babakan Bayu
Sangkaragung, Kabupaten Jembrana, Bali?
9
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dalam tentang sistem
kelembagaan organisasi subak di Subak Babakan Bayu Sangkaragung,
Kabupaten Jembrana, Bali.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini secara umum terbagi ke dalam dua kategori,
yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
pengembangan sosiologi, teori sistem sosial oleh Niklas Luhmann, dan teori
kelembagaan baru (new instutional theory) oleh Richard W. Scott yang
menjadi landasan teori untuk mengkaji tentang sistem kelembagaan organisasi
subak di Subak Babakan Bayu Sangkaragung, Kabupaten Jembrana, Bali.
Harapan dari penelitian ini yaitu mampu memberikan kajian dan analisis secara
komprehensif berdasarkan keilmuan sosiologi yang nantinya dapat bermanfaat
untuk banyak pihak.
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1 Manfaat bagi pemerintah
Hasil penelitian tentang sistem kelembagaan organisasi subak di Subak
Babakan Bayu Sangkaragung, Kabupaten Jembrana, Bali ini harapannya dapat
dijadikan rujukan, pertimbangan, dasar di dalam membuat kebijakan yang
10
berkaitan dengan pertanian di Jembrana Bali. Sehingga kelembagaan subak di
Jembrana akan tetap eksis sebagai warisan budaya Bali.
1.4.2.2 Manfaat bagi civitas akademika
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi
mahasiswa dan dosen sosiologi khususnya, sebagai penunjang keilmuan dan
mempertajam analisis terkait topik-topik yang diangkat dalam penelitian.
Terutama yang berkenaan dengan sistem kelembagaan organisasi subak di
Subak Babakan Bayu Sangkaragung, Kabupaten Jembrana, Bali.
1.4.2.3 Manfaat bagi anggota subak dan masyarakat
Hasil penelitian ini diharap kan dapat memberikan pengetahuan
maupun rujukan kepada petani sebagai anggota Subak Babakan Bayu di
Jembrana Bali. Penelitian ini juga di harapkan dapat menjadi sumber
pengetahuan bagi masyarakat secara umum, sehingga kesadaran untuk tetap
memegang teguh filosofi Tri Hita Karana dapat terjaga serta dapat
mempertahankan eksistensi subak itu sendiri.
1.5 Definisi Konsep
1.5.1 Sistem
Sistem merupakan kumpulan dari elemen-elemen yang berinteraksi
untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sistem menggambarkan suatu kejadian-
kejadian dan kesatuan yang nyata, seperti tempat, benda, dan orang-orang yang
betul-betul ada dan terjadi (Jogiyanto, 2005: 2).
11
1.5.2 Kelembagaan Organisasi
Kelembagaan adalah suatu pola organisasi yang berfungsi untuk
memenuhi berbagai keperluan manusia, yang lahir dengan adanya berbagai
budaya sebagai satu ketetapan untuk digunakan secara tetap, dengan tujuan
untuk memperoleh konsep kesejahteraan masyarakat, dan melahirkan satu
struktur yang dilakukan dengan menegakkan sanksi sosial. Kelembagaan
harus dapat memastikan bahwa sistem lingkungan dan sosial memiliki
stabilitas jangka panjang (Roucek dan Warren, 1984: 122 dan Bruce Tonn,
Mary English, dan Cheryl Travis, 2010: 167).
1.5.3 Subak
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali, Nomor
02/PD/DPRD/1972 tentang irigasi (pasal 4) yang dimaksud dengan subak
adalah masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio-agraris-religius,
yang secara historis didirikan sejak dahulu kala dan berkembang terus sebagai
organisasi penguasa tanah dalam bidang pengaturan air dan lain-lain untuk
persawahan dari suatu sumber air di dalam suatu daerah.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Penelitian tersebut menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif menurut Bogdan dan Taylor adalah sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan
individu tersebut secara holistic (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh
12
mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi
perlu memandangnya sebagai bagian dari sesuatu keutuhan (Moleong, 2007:4).
Penggunaan penelitian kualitatif relevan untuk menggambarkan
permasalahan penelitian yang diambil, serta dapat mendeskrisikan secara utuh
apabila menggunakan jenis penelitian kualitatif dimana jenis penelitian ini
mampu menggambarkan sebuah fenomena sosial secara holistic (menyeluruh)
utamanya yang terkait dengan penelitian ini yaitu mengenai Sistem
Kelembagaan Organisasi Subak (Studi di Subak Babakan Bayu, Sangkaragung,
Kabupaten Jembrana, Bali).
1.6.2 Pendekatan Penelitian
Penelitian yang memfokuskan kepada sistem kelembagaan organisasi
subak di Subak Babakan Bayu, Sangkaragung, Kabupaten Jembrana, Bali ini
merupakan penelitian dengan menggunakan pendekatan etnografi. Pendekatan
etnografi ini merupakan salah satu model penelitian yang mempelajari dan
mendeskripsikan peristiwa budaya, yang menyajikan pandangan hidup subjek
yang menjadi objek studi. Deskripsi tersebut diperoleh oleh peneliti dengan
cara berpartisipasi secara langsung dan lama terhadap kehidupan sosial subjek
penelitian (Duranti dalam Hanifah, 2010).
Etnografi merupakan potret suatu masyarakat yang mendeskripsikan
tentang keyakinan, bahasa, nilai-nilai, ritual, adat-istiadat, dan tingkah laku
sekelompok orang yang berinteraksi dalam suatu lingkungan sosial-ekonomi,
organisasi, religi, politik, dan geografis. Analisis etnografi bersifat induktif dan
dibangun berdasarkan perspektif orang-orang yang menjadi partisipan
penelitian (Fettermgn dalam Hanifah, 2010: 3).
13
Sumber: (Spradley dalam Hanifah, 2010: 13)
Gambar 1.1 Siklus Penelitian Etnografi
Penelitian etnografi berlangsung secara tidak linier, melainkan dalam
bentuk siklus. Berbagai tahapan dalam penelitian dengan pendekatan etnografi
seperti pengumpulan data, analisis data, dan interpretasi, dilakukan secara
simultan dan bisa diulang-diulang. Menurut Spradley (dalam Hanifah,
2010:13-14) siklus penelitian etnografi mencakup enam langkah yaitu: