29 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian ini dilakukan tidak terlepas dari hasil penelitian-penelitian terdahulu yang pernah dilakukan. Penelitian terdahulu ini sebagai tolak ukur dan acuan untuk mengkaji suatu fenomena sosial yang memiliki relevansi antara penelitian ini dan penelitian terdahulu, selain itu juga sebagai konsep yang dapat memudahkan peneliti dalam menentukan langkah-langkah yang sistematis untuk penyusunan penelitian ini. Adapun hasil-hasil penelitian yang dijadikan perbandingan tidak terlepas dari topik penelitian yaitu terkait sistem kelembagaan organisasi subak. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No Penulis dan Judul Penelitian Temuan dalam Penelitian 1 Penulis: Rachmad K Dwi. Susilo, MA (2011) Judul: Co-Management Air Minum Untuk Kesejahteraan Masyarakat: Kasus di Sebuah Desa di Jawa Timur Pengelolaan sumber daya air minum dipraktikkan oleh para pelaku di Desa Bumiaji melalui organisasi yang bernama HIPPAM (Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum). Terdapat tiga fase yang telah dilalui di dalam menjalankan organisasi tersebut yaitu: fase pembentukan organisasi, fase penataan organisasi, dan fase pengembangan jaringan sosial. Terdapat beberapa keunggulan dalam co- management air minum oleh HIPPAM seperti keberlanjutan sistem pelayanan pelanggan yang terstandar, jaminan keberlangsungan organisasi, ikut memberdayakan organisasi-organisasi
33
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/49068/3/BAB II.pdf · Timbul Baru Kabupaten Gianyar. Adapun penelitian ini memfokuskan kepada aspek sistem kelembagaan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
29
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian ini dilakukan tidak terlepas dari hasil penelitian-penelitian
terdahulu yang pernah dilakukan. Penelitian terdahulu ini sebagai tolak ukur
dan acuan untuk mengkaji suatu fenomena sosial yang memiliki relevansi
antara penelitian ini dan penelitian terdahulu, selain itu juga sebagai konsep
yang dapat memudahkan peneliti dalam menentukan langkah-langkah yang
sistematis untuk penyusunan penelitian ini. Adapun hasil-hasil penelitian yang
dijadikan perbandingan tidak terlepas dari topik penelitian yaitu terkait sistem
kelembagaan organisasi subak.
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No Penulis dan Judul
Penelitian
Temuan dalam Penelitian
1 Penulis:
Rachmad K Dwi. Susilo,
MA (2011)
Judul:
Co-Management Air
Minum Untuk
Kesejahteraan
Masyarakat: Kasus di
Sebuah Desa di Jawa
Timur
Pengelolaan sumber daya air minum
dipraktikkan oleh para pelaku di Desa
Bumiaji melalui organisasi yang bernama
HIPPAM (Himpunan Penduduk Pemakai
Air Minum). Terdapat tiga fase yang telah
dilalui di dalam menjalankan organisasi
tersebut yaitu: fase pembentukan
organisasi, fase penataan organisasi, dan
fase pengembangan jaringan sosial.
Terdapat beberapa keunggulan dalam co-
management air minum oleh HIPPAM
seperti keberlanjutan sistem pelayanan
pelanggan yang terstandar, jaminan
keberlangsungan organisasi, ikut
memberdayakan organisasi-organisasi
30
desa lain, dan demokratisasi pengelolaan
sumber daya air. Kemudian terdapat pula
kelemahan yaitu: belum berkembangnya
HIPPAM sebagai organisasi
pemberdayaan masyarakat, struktur
birokratis yang masih bias elit, pola
jaringan sosial yang belum kuat dan belum
berhasilnya co-management melakukan
fungsi integrasi.
Relevansi
Persamaan:
Penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti terkait
dengan sistem kelembagaan masyarakat yang mengatur air untuk
tercapainya kesejahteraan masyarakat, dan meneliti terkait bagaimana
pengurus lembaga dalam menjalankan kelembagaan sesuai dengan
fungsinya.
Perbedaan:
Perbedaan di antara penelitian ini yaitu penelitian terdahulu lebih
memfokuskan kepada aspek model co-management air minum oleh
HIPPAM di Jawa Timur, sedangkan penelitian ini adalah memfokuskan
kepada sistem kelembagaan yang terdapat pada organisasi subak Babakan
Bayu di Kecamatan Jembrana Bali, yang dikelola oleh dua umat beragama
dengan pendekatan kualitatif etnografi dengan melihat pada aspek sistem
sosial, aspek regulatif, normatif, maupun kultural-kognitif.
2 Penulis:
Wayan Windia,
Suprodjo Pusposutardjo,
Nyoman Sutawan, Putu
Sudira, dan Sigit
Supadmo Arif (2012)
Jurnal SOCA (Socio-
Economic Of Agriculture
and Agribusiness) Vol.5,
No.3
Judul:
Sistem Irigasi Subak
Dengan Landasan Tri
Hita Karana (THK)
Sebagai Teknologi
Penelitian terdahulu menjelaskan bahwa
subak sebagai suatu sistem irigasi
merupakan teknologi sepadan yang telah
menyatu dengan sosio-kultural masyarakat
setempat. Kesepadan teknologi sistem
subak ditunjukkan oleh anggota subak
tersebut melalui pemahaman terhadap
pemanfaatan air irigasi yang berlandaskan
dengan Tri Hita Karana. Pemahaman dan
filosofi tersebut menyatu dengan cara
membuat bangunan fisik irigasi, cara
mengoperasikan, koordinasi pelaksanaan
operasi dan pemeliharaan yang dilakukan
oleh Pekaseh, bentuk kelembagan, dan
informasi untuk pengelolaannya.
31
Sepadan Dalam
Pertanian Beririgasi
Relevansi
Persamaan:
Penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti terkait
dengan sistem kelembagaan subak yang berlandaskan dengan Tri Hita
Karana.
Perbedaan:
Terdapat perbedaan di antara penelitian ini yaitu penelitian terdahulu lebih
memfokuskan kepada aspek subak yang menjalankan keorganisasian dengan
berlandaskan Tri Hita Karana dan teknologinya, dan dilaksanakan di subak
Timbul Baru Kabupaten Gianyar. Adapun penelitian ini memfokuskan
kepada aspek sistem kelembagaan yang terdapat pada subak Babakan Bayu
di Kecamatan Jembrana baik dari aspek regulatif, normatif, maupun kultural-
kognitif sesuai dengan pandangan Richard Scott dan konsep sistem sosial
oleh Niklas Luhmann.
3 Penulis:
Anak Agung Eka
Suwarnata (2014) Jurnal
Seminar Nasional Riset
Inovatif II. Dosen
LPPM, Universitas
Mahendradatta,
Denpasar.
Judul:
Keberlanjutan Sistem
Subak di Perkotaan,
Kasus Subak
Anggabaya, Di Kawasan
Kelurahan Penatih,
Kecamatan Denpasar
Utara, Kota Denpasar.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu
didapatkan bahwa keberlanjutan Subak
Anggabaya dalam penerapan Tri Hita
Karana masih kurang baik dan
mengancam eksistensi subak. Hal tersebut
dilihat melalui nilai penerapan konsep Tri
Hita Karana hanya sebesar 24,28%.
Terdapat beberapa elemen di dalam
penerapan Tri Hita Karana yang masih
belum dilaksanakan secara optimal oleh
Subak Anggabaya, misalnya belum adanya
aktivitas tambahan ekonomi, belum
sepenuhnya sadar dengan larangan-
larangan dalam lembaga subak, belum ada
kesepakatan subak agar tidak terjadi alih
fungsi lahan sawah, masih belum
sepenuhnya mampu membuat bangunan
irigasi, belum ada tokoh panutan dari pihak
akademisi atau pemerintah, lingkungan
internal belum kompak, dan masih banyak
krama subak yang belum peham terkait
dengan masalah sifat tanah, informasi
32
curah hujan, bahaya polusi, dan
pemantauan subak belum maksimal.
Relevansi
Persamaan:
Relevansi penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah sama-sama
meneliti terkait dengan sistem kelembagaan subak, dan permasalahan yang
dihadapi oleh kelembagaan subak di era modern ini.
Perbedaan:
Perbedaan di antara penelitian ini yaitu penelitian terdahulu lebih
memfokuskan kepada bagaimana keberlanjutan subak yang dilihat dari
aspek penerapan Tri Hita Karana dan dilaksanakan di subak Anggabaya
Kota Denpasar. Adapun penelitian ini memfokuskan kepada sistem
kelembagaan yang terdapat pada Subak Babakan Bayu Kecamatan Jembrana
baik dari aspek regulatif, normatif, maupun kultural-kognitif sesuai dengan
pandangan Richard Scott dan konsep sistem sosial oleh Niklas Luhmann.
4 Penulis:
I Gusti Ayu Armini
(2013) Jurnal Balai
Pelestarian Nilai Budaya
Bali, NTB, NTT. Vol4
No.1
Judul:
Toleransi Masyarakat
Multi Etnis dan
Multiagama dalam
Organisasi Subak di Bali.
Masyarakat Bali yang beragama hindu
selaku mayoritas mengedepankan aspek
toleransi, sebaliknya masyarakat etnis lain
(non-hindu) mampu beradaptasi dengan
keadaan sekitarnya. Namun di balik
kedemokratisan yang terdapat di subak
tersebut, tampak adanya unsur-unsur
dominasi dalam beberapa hal terutama
pada lembaga subak masyarakat multietnis
dan multiagama. Contoh nyatanya yaitu
adanya dominasi dalam tataran fisik,
kelembagan, dan upacara subak. Kondisi
demikian dalam jangka waktu lama bisa
menimbulkan konflik internal yang
mengarah kepada disintegrasi dan
perpecahan di masyarakat. Oleh karena itu,
perlu dilaksanakan berbagai kebijakan
yang dapat mengakomodir semua
kepentingan tanpa meninggalkan aspirasi
dan kepentingan pihak minoritas.
33
Relevansi
Persamaan:
Penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti terkait
dengan sistem organisasi subak termasuk pula terkait dengan aspek
perbedaan multiagama di dalamnya.
Perbedaan:
Terdapat perbedaan di antara penelitian ini yaitu penelitian terdahulu lebih
memfokuskan kepada aspek bagaimana masyarakat multietnis dan
multiagama dalam berorganisasi di subak. Penelitian tersebut juga
dilaksanakan di beberapa subak yang terdapat di Bali yang
diklasifikasikannya menjadi 4 etnis yaitu etnis Bali Aga (Bali mula), Bali
Datara, Loloan, dan Nyama Selam, ditambah pula dengan beberapa kalangan
masyarakat beragama non hindu lainnya. Adapun penelitian ini adalah
memfokuskan kepada seluruh aspek sistem kelembagaan yang terdapat pasa
subak Babakan Bayu baik dari aspek regulatif, normatif, maupun kultural-
kognitif temasuk pula kepada bagaimana pengurus yang multiagama yang
ada di dalam Subak Babakan Bayu menjalankan sistem kelembagaan di
subak sesuai dengan fungsinya.
5 Judul:
The Effect Of Regional
Development on The
Sustainability of Local
Irrigation System (A
Case Of Subak System in
Badung Regency, Bali
Province).
Penulis:
I Putu Sriartha,
Suratman, Sri Rum
Giyarsih (2015) Forum
Geografi Indonesian
Journal Of Spatial and
Regional Analysis,
Vol.29 (1) 31-40
Hasil penelitian terdahulu dapat
disimpulkan bahwa pengembangan
kawasan dalam bentuk perkotaan dan
pengembangan pariwisata berjalan sangat
cepat yang mengakibatkan keterancaman
keberlanjutan sistem kontrol air di Subak.
Tingkat distribusi spasial Subak
membentuk pola cluster dengan nilai yang
berbeda antara zona dekat, zona transisi,
dan zona jauh dari pusat pariwisata.
Komponen Tri Hita Karana menjadi
elemen utama terhadap perlindungan subak
sebagai alat untuk mengontrol fungsi lahan
basah dan memastikan bahwa air irigasi
selalu memadai. Terdapat 5 faktor
pembangunan daerah yang sangat
mempengaruhi keberlanjutan subak yaitu:
a. Jarak wilayah subak menjadi pusat
pariwisata.
b. Jalan
c. Fasilitas ekonomi
d. Kepadatan populasi
34
e. Persentase non pertanian keluarga.
Kelima faktor tersebut memberikan
kontribusi 87,8% untuk keberlanjutan
subak, sedangkan sisanya 12,2% dijelaskan
oleh faktor lain di luar ruang lingkup
penelitian.
Relevansi
Persamaan:
Penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti terkait
dengan kelembagaan organisasi subak termasuk pula terkait subak yang
menjadikan prinsip Tri Hita Karana sebagai elemen utama terhadap
perlindungan subak.
Perbedaan:
Terdapat perbedaan di antara penelitian ini yaitu penelitian terdahulu lebih
memfokuskan kepada bagaimana pengaruh pembangunan daerah terhadap
keberlanjutan subak di Kabupaten Badung Bali, sedangkan penelitian ini
lebih memfokuskan kepada sistem kelembagaan subak Babakan Bayu dari
aspek regulatif, normatif, maupun kultural-kognitif sesuai dengan
pandangan Richard Scott dan sistem sosial oleh Niklas Luhmann.
6 Judul:
A Case Study Of
Balinese Irrigation
Management:
Institutional Dynamics
and Challenges.
Penulis:
Rachel P Lorenzen, MSc
and Stephan Lorenzen,
MA.
Full Paper For 2nd
Southeast Asian Water
Forum, 29 August – 3
September 2005, Bali,
Indonesia.
Berdasarkan penelitian terdahulu dapat
disimpulkan bahwa subak adalah sistem
irigasi rumit yang merupakan bagian dari
asosiasi pengguna air tradisional. Subak
juga merupakan kelembagaan sosial-
keagamaan yang mengatur kegiatan yang
berkaitan dengan penanaman padi. Ini
termasuk alokasi dan distribusi air operasi
dan pemeliharaan infrastruktur fisik, serta
resolusi konflik dan agama upacara dalam
wilayah geografis yang jelas. Subak telah
diakui secara luas untuk beroperasi secara
efisien untuk memasukkan praktik
pertanian baru, dan untuk beradaptasi
dengan eksternal perubahan di masu lalu.
Namun, saat ini sistem kelembagaan subak
kembali ditantang baik dari internal
maupun tekanan eksternal. Permasalahan
yang terjadi di subak seperti naiknya harga
tanah, pekerjaan yang lebih baik di luar
35
sektor pertanian (terlebih kepada
pariwisata), dan meningkatnya biaya hidup
di Bali.
Relevansi
Persamaan:
Penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti terkait
dengan kelembagaan organisasi subak.
Perbedaan:
Perbedaan di antara penelitian ini yaitu penelitian terdahulu memfokuskan
kepada pengelolaan irigasi Bali dengan melihat dinamika dan tantangan
kelembagaan Subak secara umum. Sedangkan penelitian ini lebih
memfokuskan kepada sistem kelembagaan subak Babakan Bayu dengan
pendekatan kualitatif etnografi dan melihat dari aspek regulatif, normatif,
maupun kultural-kognitif sesuai dengan pandangan dari Richard Scott dan
konsep sistem sosial Niklass Luhmann.
2.2 Tinjauan Pustaka
2.2.1 Sistem
Ditinjau secara etimologis, istilah sistem berasal dari Bahasa Yunani
yaitu systema yang artinya, sehimpunan dari bagian atau komponen yang saling
terhubung satu sama lain secara teratur secara keseluruhan. Pengertian sistem
mengalami perkembangan dan menunjukkan ke dalam beberapa arti yaitu:
pertama sistem berguna untuk menunjukkan sehimpunan ide atau gagasan yang
tersusun, terorganisasi , dan membentuk suatu kesatuan yang logis. Kedua,
sistem digunakan untuk menunjuk sekelompok atau sehimpunan atau kesatuan
dari benda tertentu yang memiliki hubungan secara khusus. Ketiga, sistem
yang digunakan dalam arti metode atau tata cara (Narwoko dan Suyanto, 2010:
123).
36
Terdapat suatu karakteristik pada setiap sistem, dimana sistem selalu
terdiri dari unsur-unsur yang saling terhubung sebagai satu kesatuan.
Karakteristik sistem yang lebih rinci yaitu sebagai berikut: Pertama, sistem
terdiri dari banyak bagian atau komponen. Kedua, komponen sistem saling
terhubung satu sama lain dalam suatu pola saling ketergantungan.Ketiga,
keseluruhan sistem lebih dari sekadar penjumlahan dari komponen-
komponennya (Narwoko dan Suyanto, 2010: 124).
Sistem sebagai juga menunjukkan kepada adanya interdependesi
antara bagian-bagian, proses-proses, dan komponen-komponen yang mengatur
hubungan-hubungan tersebut. Masalah interdependesi antar komponen dalam
sistem menjadi kajian pokok bahasan di sosiologi. Interdependesi berarti, tanpa
keikutsertaaan salah satu bagian atau komponennya saja, maka hubungan
tersebut akan mengalami suatu goncangan (Talcott Parsons dalam Narwoko
dan Suyanto, 2010: 124).
2.2.2 Kelembagaan Organisasi
Kata “kelembagaan” merupakan padanan dari kata Inggris
“institution” atau lebih tepatnya “social institution”, sedangkan “organisasi”
padanan dari “organization” atau “social organization”. Meskipun kedua kata
ini sudah dikenal secara umum oleh masyarakat, namun pengertian dalam
sosiologi mengalami perbedaan. Kata “institution” sudah dikenal sejak awal
perkembangan ilmu sosiologi yaitu sekitar abad ke 19. Frasa seperti “capital
institution” dan “family institution” telah terdapat dalam tulisan August Comte
(Mitchell, 1968).
37
Pada sisi lain, terdapat konsep “social organization” yang sering
menimbulkan perdebatan diantara ahli sosiologi. Persoalannya adalah adanya
perbedaan pada tekanan di masing-masing orang yang sering mempertukarkan
penggunaannya. Konsep institution paling sering mengalami kekeliruan dalam
penerjemahan menjadi kata kelembagaan, sedangkan kata lembaga
diterjemahkan persis sebagai organisasi (Syahyuti, 2011: 7).
Perkembangan teori kelembagaan pun dirangkum oleh Richard Scott
dengan menyatakan bahwa "the existing literature is a jungle of conflicting
conceptions, divergent underlying assumptions, and discordant voices”. Selo
Soemardjan dan Soemardi juga menyatakan bahwa hingga saat itu belum
menemukan istilah yang tepat serta mendapat pengakuan secara umum di
kalangan sarjana sosiologi dalam menerjemahkan istilah “social institution”.
Bahkan terdapat pula yang menerjemahkan sebagai “pranata sosial” dan
“bangunan sosial” (Soemardjan dan Soemardi, dalam Syahyuti, 2011: 8).
Terjadinya ketidaksepahaman tersebut sejatinya dapat diuraikan
dengan melihat objek apa yang sesungguhnya menjadi perhatian. Perlu
diketahui, bahwa objek ini pada hakikatnya mengkaji dua hal yang berbeda
dengan dua istilah yang saling tidak konsisten. Dua istilah tersebut adalah
aspek kelembagaan dan organisasi. Menurut hasil penelusuran secara
kronologis, terlihat bahwa mulanya kedua objek tersebut berbaur kemudian
menjadi terpisah (Mitchel, 1968: 172-173). Penyebabnya adalah karena
banyaknya sosiolog yang lebih cenderung memilih satu istilah saja di dalam
menerangkan sebuah fenomena sosial. Para sosiolog memilih sitilah institution
saja atau organization saja, hingga pada akhirnya di awal tahun 1950-an
38
terjadilah sebuah perubahan yang menjadikan istilah institution semakin
terfokus kepada aspek perilaku, nilai, dan norma, Sedangkan organization
lebih terfokus kepada struktur.
Terdapat beberapa pandangan ahli terkait dengan kelembagaan. Max
Weber (1914) melihat lembaga dalam aspek studi birokrasi dan bagaimana
birokrasi memengaruhi cara berperilaku masyarakat. Kemudian, Sumner
melihat bahwa sebuah lembaga mengandung konsep baik berupa ide, notion,
doktrin, interest, dan sebuah struktur. Adapun Cooley melihat pada kesaling
hubungannya antara individu dengan lembaga dalam konteks self dan
structure. Sementara Durkheim melihat lembaga sebagai sebuah sistem simbol
yang berisikan kepercayaan, pengetahuan, dan otoritas moral (Syahyuti, 2011:
10).
Pakar sosiolog klasik juga memberikan perhatiannya kepada norma
sebagai pembentuk perilaku. Menurut Talcott Parsons, lembaga merupakan
sistem norma yang mengatur relasi antar individu (Scott, 2008). Kemudian,
Durkheim juga memperhatikan nilai dan norma sebagai aspek penting untuk
dikaji pada lembaga. Durkheim (1968) menyatakan “... Integrasi sosial dan
regulasi melalui persetujuan terkait nilai dan moral”. Kemudian Soekanto
(1999) juga menyatakan bahwa lembaga merupakan sebuah jelmaan dari
kesatuan norma yang diwujudkan dalam suatu hubungan antar manusia
(Syahyuti, 2011: 10).
Pada perkembangan yang lebih baru, lembaga mulai dilihat dari aspek
pengetahuan. Salah satunya adalah pakar sosiologi Bourdieu, dengan
perjuangan simboliknya ia mendeskripsikan bagaimana kekuatan kelompok
39
dapat menekan kerangka pengetahuan dan konsepnya mengenai sebuah realitas
sosial terhadap pihak lain (Ritzer, 1996; Perdue, 1986). Lembaga juga dilihat
oleh Berger dan Luckmann yang lebih memfokuskan kepada aspek pola
perilaku guna mencapai kebutuhan (Syahyuti, 2011: 11).
Sikap yang membedakan kelembagaan dan organisasi secara tegas
juga disampaikan oleh L.Broom dan Selznick yang menyatakan bahwa
organisasi adalah “... Pola hubungan individu dan kelompok dan identitas itu
sebagai salah satu dari dua sumber dasar tatanan dalam kehidupan sosial, yang
lain adalah norma dan nilai-nilai.”. Adapun Wilson juga menyampaikan
gagasannya yang menurutnya organisasi yaitu “berfokus pada struktur
daripada perilaku, sebuah organisasi individu seperti rumah sakit, atau sekolah
umum dapat disebut sebagai institusi ” (Mitchell, 1986).
2.2.2.1 Pengertian Kelembagaan atau Lembaga
Pengertian kelembagaan banyak mengalami perbedaan, walaupun
para sosiolog telah memberikan batasan-batasan tertentu tetapi masih sering
terjadi tumpang tindih diantara peneliti sosial. Namun, hal tersebut nampak
pada lima penekanan istilah kelembagan berikut ini:
1. Kelembagaan berkenaan dengan aspek sosial permanen. Kelembagaan
didefinisikan sebagai norma atau prosedur yang ditetapkan. Kadang-kadang
merupakan praktik untuk merujuk pada apa pun yang secara sosial didirikan
sebagai sebuah institusi (Cooley dalam Soemardjan dan Soemardi, 1964:
75). Kelembagaan menurut Uphoff (1986: 9) adalah sesuatu yang berkenaan
40
dengan sesuatu yang berjalan dengan waktu yang lama. Norma dan perilaku
merupakan batasannya, sedangkan struktur adalah istilah perilaku yang
diturunkan melalui konsep norma, sehingga norma berada pada level yang
lebih tinggi. Johnson (1960: 48) juga berpendapat bahwa perilaku selain
dipengaruhi oleh “culture” juga oleh chemical, physical, genetic, dan
physiological.
2. Kelembagaan berkaitan dengan hal abstrak yang menentukan perilaku
individu dalam suatu sistem sosial. Seperti yang disampaikan oleh Cooley
(dalam Koentjaraningrat, 1977) tentang lembaga yang didalamnya termuat
public mind, atau wujud ideel, atau cultural. Nilai, norma, peraturan-
peraturan, ide, pengetahuan, kepercayaan dan moral adalah hal yang
termasuk di dalam kelembagaan.
3. Kelembagaan berkaitan dengan mores (tata kelakuan) yang telah mantap
berjalan lama di dalam kehidupan masyarakat. Koentjaraningrat
menyatakan bahwa terwujudnya suatu kelembagaan dipengaruhi oleh tiga
wujud kebudayaan, diantara yaitu: sistem norma dan mores, kelakuan
berpola, dan peralatan atau teknologi.
4. Kelembagaan dipahami kepada pola perilaku yang disetujui serta memiliki
sanksi. Chinoy berpendapat bahwa “sebuah kelembagaan adalah organisasi
yang konseptual dan pola perilaku yang dimanifestasikan melalui kegiatan
sosial dan produk materialnya. Dengan demikian, dapat dianggap sebagai
kelompok penggunaan sosial dan terdiri dari adat, folkways, adat istiadat,
dan kompleks sifat yang diatur secara sadar atau tidak, menjadi unit yang
berfungsi (dalam Soemardjan dan Soemardi, 1964: 68).
41
5. Kelembagaan yang dimaknai dengan cara-cara yang baku untuk
memecahkan permasalahan yang terdapat di dalam sistem sosial tertentu.
Seperti yang disampaikan oleh Hebding et al (1994: 407) bahwa
kelembagaan merupakan nilai-nilai yang melekat pada masyarakat, dimana
di dalamnya terjadi stabilitas, konsistensi, serta berfungsi sebagai
pengontrol dan pengatur fungsi perilaku.
Berdasarkan kelima pengertian para ahli terkait kelembagaan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa kelembagaan memiliki perhatian kepada perilaku
sosial yang dibangkitkan oleh norma-norma masyarakat. Kelembagaan juga
memusatkan perhatiannya kepada nilai-nilai dan tujuan yang mengacu pada
suatu prosedur, kepastian, dan panduan masyarakat untuk melaksanakan suatu
tindakan tertentu.
Kelembagaan pada dasarnya juga memiliki maksud serta tujuan yang
secara prinsipil tidak berbeda dengan norma sosial, karena lembaga sosial
sebenarnya memang produk dari norma sosial. Tujuan dari didirikannya
kelembagaan selain untuk mengatur agar kebutuhan hidup manusia dapat
terpenuhi secara memadai, juga sekaligus untuk mengatur agar kehidupan
sosial warga masyarakat bisa berjalan dengan tertib dan lancar sesuai dengan
kaidah yang berlaku.
Menurut Soerjono Soekanto (1970), kelembagaan di dalam masyarakat
dengan demikian harus dilaksanakan fungsi-fungsi berikut:
1. Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana bertingkah
laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhan
42
hidupnya. Dengan demikian lembaga sosial telah siap dengan berbagai
aturan atau kaidah-kaidah sosial yang dapat harus dipergunakan oleh setiap
anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
2. Menjaga keutuhan masyarakat dari ancaman perpecahan atau disintegrasi
masyarakat. Norma-norma sosial yang terdapat dalam lembaga sosial akan
berfungsi untuk mengatur pemenuhan kebutuhan kebutuhan hidup dari
setiap warganya secara adil atau memadai, sehingga dapat terwujudnya
kesatuan yang tertib.
3. Berfungsi untuk memberikan pegangan dalam mengadakan sistem
pengendalian sosial (social control). Sanksi-sanksi atas pelanggaran norma-
norma sosial merupakan sarana agar setiap warga masyarakat tetap konform
dengan norma-norma sosial itu, sehingga tertib sosial dapat terwujud.
Max Weber (dalam Rasyid Thaha, 2016) berpendapat bahwa
kelembagaan adalah suatu bentuk organisasi yang paling efisien dan rasional.
Hal itu digambarkan dengan menunjukkan apa yang menjadi karakteristik
kelembagaan yaitu:
1. Kewenangan yang berjenjang sesuai dengan tingkatan organisasi
2. Spesialisasi tugas, kewajiban, dan tanggung jawab
3. Posisi didesain sebagai jabatan
4. Penggantian dalam jabatan secara terencana
5. Jabatan bersifat impersonal
6. Suatu sistem aturan dan prosedur yang standar untuk menegakkan disiplin
dan pengendaliannya
7. Kualifikasi yang rinci mengenai individu yang akan memangku jabatan
43
8. Perlindungan terhadap individu dari pemecatan.
2.2.2.2 Pengertian Organisasi
Sama halnya dengan kelembagaan, pengertian “organisasi” memiliki
lima penekanan yang diberikan yaitu:
1. Organisasi adalah kesalinghubungan antar bagian guna mencapai suatu
kesatuan sosial baik pada suatu komunitas kecil, maupun sistem masyarakat
yang lebih besar. Organisasi juga didefinisikan oleh Herbert Spencer yaitu
memiliki kesalinghubungan baik berupa integrasi maupun diferensiasi yang
terjadi baik pada bidang politik, ekonomi, dan lainnya.
2. Organisasi juga dilihat melalui aspek peran, karena adanya
kesalinghubungan menjadi kebutuhan di dalam suatu organisasi sebab
setiap bagiannya memiliki peran yang berbeda. Seperti yang disampaikan
oleh Talcott Parsons bahwa sistem sosial diorganisasikan dalam kesadaran
bahwa masyarakat di dalam organisasi memiliki perbedaan secara
struktural. Struktur dan peran inilah yang menjadi fokus pada suatu
organisasi sosial.
3. Uphoff berpendapat bahwa organisasi adalah struktur peran yang diakui dan
diterima. Struktur yang dihasilkan dari interaksi peran dapat menjadi
kompleks atau sederhana ”(Uphoff, 1986: 8).
4. Organisasi juga menekankan kepada “tujuan” sebagai sesuatu yang pokok
dalam suatu organisasi sosial. Johnson (1960: 280) menyebut bahwa tujuan
sebagai spirit utama dalam suatu organisasi. Organisasi adalah suatu sistem
44
yang memiliki dua tujuan secara umum yaitu produktivitas dan memenuhi
kepuasan. Znaniecki (1945: 200) juga menyatakan bahwa organisasi pada
umumnya berarti sistem aksi manusia yang dinamis. Biasanya digunakan
untuk menunjukkan organisasi tindakan beberapa agen yang bekerja sama
untuk pencapaian tujuan bersama.
5. Organisasi juga mendapat perhatian dari Berelson dan Steiner (1964: 55-69)
yang menyatakan bahwa terdapat empat ciri yang dimiliki oleh organisasi
yaitu: formalitas, hierarki, besarnya dan kompleksnya, serta lamanya
(duration).
2.2.2.3 Rumusan Kelembagaan Organisasi Lebih Operasional
Konsep “kelembagaan” dan “keorganisasian” telah dipaparkan secara
ringkas dalam penjelasan sebelumnya, sehingga dapat dibedakan secara tegas
dan dapat dipahami makna dari kedua konsep tersebut. Seseorang akan dapat
menganalisa dengan lebih tajam dan sesuai realita yang ada. Dari berbagai
bacaan, konsep kelembagaan dan keorganisasian tersebut masih dapat dibagi
lagi menjadi dua bagian, yaitu aspek kelembagaan dan aspek keorganisasian.
Berikut dipaparkan perbedaan antara aspek kelembagaan dan aspek
keorganisasian dalam suatu analisis kelembagaan (Syahyuti, 2011: 11).
Tabel 2.2 Perbandingan Aspek Kelembagaan dan Aspek Keorganisasian
No Aspek Kelembagaan Aspek Keorganisasian
1 Fokus utama kepada perilaku
(perilaku sosial) atau tindakan
sosial.
Fokus utama kepada struktur
sosial.
45
2 Inti kajiannya adalah nilai (value),
norma (norm), dan aturan (rule)
Inti kajiannya adalah peran
(roles).
3 Aspek kajian lebih jauh tentang:
custom, folkways, mores, usage,
moral, kepercayaan, ide, gagasan,
keinginan, doktrin, orientasi,
kebutuhan, dll; serta perilaku
berupa pola-pola kelakuan, fungsi
dari tata kelakuan, kebutuhan, dll.
Aspek kajian lebih jauh tentang:
peran, aktivitas, integrasi sosial,
hubungan antar peran, struktur
umum, struktur kewenangan
kekuasaan,perbandingan struktur
tekstual dengan struktur riel,
hubungan kegiatan dengan
tujuan, aspek solidaritas, profil,
dan pola kekuasaan, dll.
4 Bentuk perubahan sosial bersifat
kultural
Bentuk perubahan sosial bersifat
struktural
5 Panjangnya waktu dalam proses
perubahan lebih lama
Perubahan dalam aspek
keorganisasian relatif lebih cepat
6 Bersifat lebih abstrak dan dinamis Lebih visual dan statis
7 Adakalanya dalam topik kajian
“proses sosial”
Berada dalam topik kajian
“struktur sosial”
Sumber: Syahyuti, 2011: 11.
Konsep kelembagaan dan organisasi merupakan hal penting dalam
sebuah analisis sosiologi. Seperti yang disampaikan oleh Taneko (dalam
Syahyuti, 2011: 11) menyatakan bahwa terdapat dua hal yang menjadi inti dari
analisis sosiologi yaitu stuktur dan dinamikanya. Konsep-konsep tersebut
mengalami perkembangan, dan kajian kelembagaan serta organisasi ini
menjadi lebih luas hamper seluas kajian sosiologi itu sendiri. Kedua aspek
tersebut bersifat saling melengkapi, oleh karena itu dengan mengkaji keduanya
baik kelembagaan maupun organisasi, analisa sosiologis terhadap suatu sistem
sosial menjadi lebih lengkap. Dengan pemahaman demikian, sudah
seharusnya bisa diterima jika keduanya dipandang sebagai satu kesatuan.
46
2.2.2.4 Interaksi Teori Kelembagaan dan Organisasi
Interaksi yang terjadi antara teori kelembagaan institutional theory)
dan teori organisasi pada akhirnya melahirkan sebuah teori baru yang
dinamakan dengan teori kelembagaan baru (new institutional theory). Seperti
dikatakan Richard Scott (2008) bahwa interaksi pada studi tentang
kelembagaan dan organisasi telah terjadi sejak tahun 1970-an, yang ditandai
tumbuhnya perhatian kepada pentingnya bentuk-bentuk organization form dan
organizational fields.
Banyak sekali terdapat tokoh-tokoh sosiologi yang berperan penting
dalam pembentukan dan pertalian kedua teori tersebut. Beberapa tokoh
tersebut yaitu Max Weber dengan teori birokrasi, Talcott Parsons dengan
kelembagaan kultural terhadap organisasi, Selznick yang mempelajari teori
kelembagaan terhadap organisasi, dan Herbert Simmon yang bekerjasama
dengan James G. March yang mempelajari sifat atau ciri rasionalitas pada
organisasi, (Scott, 2008), serta Victor Nee yang mempelajari tentang analisis
kelembagaan yang mempelajari tentang hubungan antara proses formal dan
informal pada lingkungan kelembagaan (Syahyuti, 2011: 12).
Riset yang dilakukan dalam konteks kelembagaan baru berkaitan
dengan pengaruh lembaga terhadap perilaku manusia melalui aturan (rules),
norma (norms), dan kultural-kognitif (cultural cognitive) yang dibangun dan
dipersepsikan oleh aktor. Sumbangan utama dari kelembagaan baru adalah
penambahan pengaruh dari pengetahuan (cognitive), dimana individu
bertindak karena persepsinya terhadap dunia sosial (Syahyuti, 2011: 13).
47
Menurut Scott (2008), teori kelembagaan baru adalah sebuah
pendekatan baru di dalam sosiologi organisasi yang memiliki akar teoritis dari
teori kognitif, teori kultural, etnometodologi, dan fenomenologi. Adapun pilar-
pilar sebagai unsur penyusun suatu kelembagaan menurut Scott terdiri dari tiga
unsur yaitu aspek regulatif, normatif, dan aspek kultural kognitif (Syahyuti,
2011: 13).
Gambar 2.1 Lembaga, organisasi, dan aktor individual
Organisasi merupakan sebuah arena sosial dimana masyarakat dapat
melakukan tindakan secara rasional (Selznick, dalam Scott, 2008). Organisasi
dibatasi dan dipandu oleh aturan-aturan, dan adanya organisasi akan
mempercepat tercapainya suatu kestabilan tindakan masyarakat. Hal tersebut
juga merupakan jiwa dasar dari suatu kelembagaan. Seperti yang disampaikan
oleh Nee (2005) bahwa lingkungan kelembagaan di kristalisasi dalam
organisasi. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kelembagaan dan organisasi merupakan konsep yang sangat bulat di dalam
Lembaga= norma + aturan +
cultural cognitif
Organisasi
Organisasi
48
sosiologi. Secara ringkas, untuk membantu memahami kedua konsep tersebut