1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Studi psikolinguistik dapat menjelaskan hubungan antara landasan biologis dan perkembangan bahasa pada anak. Salah satu hal yang dapat dijelaskan dalam studi psikolinguistik adalah masalah gangguan berbahasa. McCormic dan Schiefelbusch (dalam Sidiarto, 1991:135) mengemukakan faktor-faktor yang menyebabkan gangguan berbahasa ialah sebagai berikut. 1. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berkaitan dengan motorik, misalnya anak dengan Cerebal Pasly. 2. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan defisit sensorif, misalnya anak dengan gangguan pendengaran. 3. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan kerusakan pada susunan syaraf pusat, misalnya afasia. 4. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan disfungsi emosional-sosial yang berat, misalnya psikosis, skisofrenia, dan autis. 5. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan gangguan kognitif, misalnya anak retardasi mental.
25
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72143/potongan/S1-2014... · dan perkembangan bahasa pada a nak. ... Dari data di atas diindikasikan adanya
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Studi psikolinguistik dapat menjelaskan hubungan antara landasan biologis
dan perkembangan bahasa pada anak. Salah satu hal yang dapat dijelaskan dalam
studi psikolinguistik adalah masalah gangguan berbahasa. McCormic dan
Schiefelbusch (dalam Sidiarto, 1991:135) mengemukakan faktor-faktor yang
menyebabkan gangguan berbahasa ialah sebagai berikut.
1. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berkaitan dengan motorik, misalnya anak
dengan Cerebal Pasly.
2. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan defisit sensorif,
misalnya anak dengan gangguan pendengaran.
3. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan kerusakan pada
susunan syaraf pusat, misalnya afasia.
4. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan disfungsi
emosional-sosial yang berat, misalnya psikosis, skisofrenia, dan autis.
5. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan gangguan kognitif,
misalnya anak retardasi mental.
2
Gangguan berbahasa tersebut adalah gangguan berbahasa yang dapat terjadi
pada anak tunagrahita. Penelitian ini difokuskan pada pembahasan mengenai
gangguan berbahasa yang terjadi pada anak tunagrahita. Tunagrahita merupakan
istilah yang digunakan untuk menyebut anak atau orang yang memiliki kemampuan
intelektual di bawah rata-rata atau bisa juga disebut dengan retardasi mental (Smart,
2010:49).
Anak tunagrahita termasuk ke dalam golongan anak yang mengalami
gangguan berbahasa. Gangguan berbahasa yang dialami oleh anak tunagrahita
tergantung pada tingkatannya. Penelitian mengenai gangguan berbahasa pada anak
tunagrahita tingkat ringan dan sedang pernah dilakukan oleh Baihaqqi (2011) dalam
tesis yang berjudul “Kompetensi Fonologis Anak Penyandang Retardasi Mental di
SLB C Negri 1 dan 2 Yogyakarta”. Adapun ulasan penelitiannya ialah sebagai
berikut.
Tingkat Tunagrahita Fonem Kata Ujaran Nomor Data
Kemampuan fonologi S1 (tingkat sedang) /s/ Tas /ta/ 5
Kemampuan fonologi S8 (tingkat ringan) - - - -
Dari data di atas diindikasikan adanya bentuk-bentuk kesalahan fonologis
pada subjek yang mengalami tunagrahita pada tingkat sedang, sedangkan subjek yang
mengalami tunagrahita pada tingkat ringan tidak mengalami kesalahan pengucapan
pada satu/dua kata. Penelitian tersebut dilakukan pada 10 subjek penelitian. Fokus
penelitian dilakukan untuk mengetahui kemampuan fonologisnya.
3
Selain penelitian tersebut, penelitian lain pernah ditulis oleh Astuti (2012)
dalam skripsi berjudul “Pemerolehan Bahasa Studi Kasus Anak Tunagrahita Usia
Empat Tahun”. Dalam skripsinya Astuti meneliti pemerolehan bahasa pada anak
tunagrahita tingkat sedang. Adapun ulasan skripsinya ialah sebagai berikut.
Makna Ujaran Konteks Keterangan
Mau Makan [ňim ňim] waktu sarapan, Toni minta makan
Penggelembungan Makna
Makanan
[ňim ňim]
Menunjukkan makanan, respon atas pertanyaan "itu apa?"
Data di atas menunjukkan anak tunagrahita melakukan penggelembungan
makna dan cenderung mengalami defisit dalam kosakata. Penelitian tersebut
dilakukan pada subjek penelitian yang mengalami tunagrahita pada tingkat sedang.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, peneliti memilih
melakukan penelitian pada anak tunagrahita tingkat ringan. Berikut ini contoh data
kemampuan berbahasa pada subjek penelitian yang mengalami tunagrahita pada
tingkat ringan.
Tanggal Tuturan Konteks 6/2/2014 Z : “Mba, ki lho Mba, besok dibeliin
pasang bongkar ya!”.
Saat ngobrol
Tabel 1. Contoh Data Tuturan Subjek Penelitian
Data tersebut menunjukkan subjek tidak mengalami kesalahan fonologis,
morfologis, dan sintaksis. Hal ini dimungkinkan karena tunagrahita yang dialami
subjek terjadi setelah kelahiran, yakni saat berusia 4,5 tahun sehingga pada usia
4
sebelum subjek mengalami tunagrahita, subjek telah melewati masa pemerolehan
fonem dengan baik. Pada tataran semantik yang diperoleh dari tuturan subjek tersebut
menunjukkan bahwa subjek dapat menyusun kalimat secara benar sesuai dengan
fungsinya, akan tetapi dalam tuturan tersebut juga menunjukkan subjek memiliki
kecenderungan untuk menggunakan istilah kebahasaan yang berbeda dari bahasa
anak normal. Sementara pada tataran pragmatis utamanya dalam prinsip kerja sama
subjek melakukan penyimpangan maksim relevansi. Adapun bentuk penyimpangan
semantis yang dilakukan subjek penelitian ialah sebagai berikut.
Tanggal Tuturan Konteks 4/2/14 Pak A : “Sekarang siapa yang pernah
nabung?” S : “Aku di celengan” Z : “Pak A, tapi kelek ku kecut “
Saat menanyakan pertanyaan yang terdapat di dalam modul
Tabel 2. Contoh Data Tuturan Subjek Penelitian
Data di atas menunjukkan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
penyimpangan pada tataran semantis dan kompetensi pragmatisnya. Pembahasan
tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik data yang ditemukan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan rumusan masalah dalam
penelitian ini ialah sebagai berikut.
1.1.1 apa sajakah penyimpangan semantik yang terdapat dalam tuturan subjek
penelitian?
5
1.1.2 bagaimana kompetensi pragmatis subjek penelitian yang meliputi:
a. jenis-jenis tindak tutur yang dikuasai subjek penelitian
b. pelaksanaan dan penyimpangan prinsip kerja sama dalam tuturan subjek
penelitian.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan tujuan dalam
penelitian ini ialah sebagai berikut.
1) mengklasifikasi penyimpangan dalam semantik dalam tuturan subjek
penelitian.
2) menjelaskan kompetensi pragmatik subjek penelitian yang meliputi:
a. jenis-jenis tindak tutur yang dikuasi subjek penelitian
b. pelaksanaan dan penyimpangan prinsip kerja sama dalam tuturan subjek
penelitian.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat praktis dan manfaat
teoretis. Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
perkembangan keilmuan di bidang psikolinguistik khususnya gangguan berbahasa
pada anak tunagrahita; di bidang semantik, khususnya pergeseran makna, idiom, dan
gejala lupa-lupa ingat, di bidang pragmatik, khususnya jenis tindak tutur dan prinsip
6
kerja sama. Pembahasan mengenai gangguan berbahasa pada anak tunagrahita
umumnya menjadi kajian dalam studi psikologi, tetapi pembahasan tersebut hanya
dilakukan di bagian permukaan saja.
Secara praktis, penelitian ini diharapakan mampu memberikan gambaran
kepada masyarakat mengenai gangguan berbahasa yang terdapat pada anak
tunagrahita tingkat ringan sehingga dapat memberikan contoh model komunikasi
yang tepat. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pemahaman bahwa ilmu
linguistik dapat diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berada dalam disiplin ilmu psikolinguitik karena analisisnya
mengenai kompetensi berbahasa pada anak tunagrahita. Namun, tidak semua
kompetensi linguistik dibahas dalam penelitian ini karena yang dibahas adalah
kompetensi semantis dan pragmatis. Dari tinjauan semantis analisis dilakukan
berdasarkan penyimpangan semantis yang terdapat dalam tuturan subjek penelitian.
Sementara dari tinjauan pragmatis analisis dilakukan berdasarkan kompetensi jenis
tindak tutur dan pelaksanaan dan penyimpangan prinsip kerja sama.
Penelitian ini merupakan pengaplikasian ilmu hibrid antara psikolinguistik,
semantik, dan pragmatik. Dari pandangan psikolinguistik, penelitian ini berkaitan
dengan gangguan berbahasa yang dialami oleh anak tunagrahita tingkat ringan,
pandangan semantik, dilihat dari pergeseran makna, idiom, dan gejala lupa-lupa
7
ingat, sedangkan di bidang pragmatik dilihat dari jenis tindak tutur yang mampu
diproduksi subjek penelitian, serta pelaksanaan dan pelanggaran prinsip kerja sama
yang digunakan subjek penelitian untuk berkomunikasi.
Objek material yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari tuturan
subjek penelitian, sedangkan objek formalnya adalah psikolinguistik yang berkaitan
dengan gangguan berbahasa, semantik yang berkaitan dengan kemampuan subjek
untuk memahami makna, dan pragmatik yang berkaitan dengan jenis dan bentuk
tindak tutur yang mampu diproduksi subjek serta penggunaan prinsip kerja sama
Lokasi pengambilan data dilakukan di SLB Negeri 1 Bantul dan rumah
subjek. Alasan peneliti memilih SLB Negeri 1 Bantul memperhatikan kemudahan
jangkauan terhadap lokasi penelitian tersebut. Selain itu, SLB tersebut merupakan
SLB terbesar dan terlengkap di Yogyakarta yang menaungi segala jenis anak
berkebutuhan khusus. Peneliti juga melakukan pengambilan data di rumah subjek
untuk memperoleh kemelimpahan data. Pengambilan data dilakukan pada 3—7
Februari 2014.
1.6 Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai bahasa pada anak tunagrahita pernah dilakukan oleh
Lutfi Baihaqi (2011) dalam tesis “Kompetensi Fonologis Anak Penyandang Retardasi
Mental di SLB C Negri 1 dan 2 Yogyakarta”. Dari penelitian tersebut, diketahui
bahwa kemampuan menghasilkan fonem pada penyandang retardasi mental, pola
8
penyimpangan serta letak pemulihannya secara fonologis cukup rendah. Subjek
dalam penelitian tersebut tidak dapat mengujarkan lebih dari dua kata dengan
pelafalan yang jelas. Bentuk penyimpangan fonologi berupa penghilangan fonem,
penghilangan suku kata dan penambahan suku kata. Bentuk penyimpangan yang
terjadi pada setiap anak tidak sama dan dapat terjadi secara berulang.
Astuti (2012) dalam skripsi “Pemerolehan Bahasa : Studi Kasus Anak
Tunagrahita Usia Empat Tahun” memaparkan bahwa subjek sudah menguasai semua
jenis vokal dan sejumlah bunyi konsonan, selain itu subjek melakukan penyimpangan
berupa substitusi, penambahan fonem, delesi, reduplikasi, dan penghilangan silabe
awal. Subjek penelitian telah menguasai satuan kebahasaan yang berupa kata, frasa,
dan kalimat tunggal. Dibandingan dengan pemerolehan bahasa anak normal,
penelitian ini menunjukkan bahwa subjek mengalami defisit kebahasaan cukup besar.
Penelitian dalam bahwa bidang pragmatik, khususnya dalam pemerolehan
bahasa pada anak pernah dilakukan oleh Prabowo (2009) “Pemerolehan Tindak
Tutur anak usia 36 bulan Studi Kasus Brilliant Mahardika Sudarwanto” Probowo
memaparkan aneka jenis tindak tutur yang digunakan subjek dalam tuturan dan
strategi tindak tutur seperti apa yang digunakan untuk menyusun tuturan tersebut.
Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa aspek psikologi anak memengaruhi tindak
tutur dan strategi pengujaran yang digunakan oleh anak. Tuturan anak usia 36 bulan
masih sangat sederhana. Tentunya hal ini berpengaruh pada strategi pengujaran yang
digunakan anak.
9
Sudartinah (2010) dalam tesisnya “Analisis Pragmatik Terhadap Tuturan
Anak Usia Dua Tahun (Studi Kasus Pada Shihab Fatin Alvan” dari penelitian tersebut
diketahui bahwa anak usia dua tahun telah menguasai tindak tutur representatif,
direktif, ekspresif, dan komisif, akan tetapi kemunculan tindak tutur eskpresif dan
komisif masih sangat jarang ditemukan. Tuturan langsung yang mampu diproduksi
adalah dengan modus beita, tanya dan perintah sudah dapat dikuasai, sedangkan
tuturan tidak langsung dengan modus berita yang bermuatan perintah juga sudah
dikuasai tetapi intensitas kemunculannya masih sangat jarang. Bentuk kesederhanaan
anak usia dua tahun dapat terlihat dari struktur yang sederhana, gestur, intonasi,
pemakaian kata, dan panjang tuturan.
Surani (2012) dalam skripsi “Bahasa Pengasuhan Dalam Bahasa Indonesia
Kajian Psikopragmatik” bahwa orang dewasa menggunakan berbagai jenis tindak
tutur ketika berkomunikasi dengan anak-anak, tetapi sengaja menghindari tindak tutur
yang sulit dipahami agar komunikasi dapat dipahami. Dalam penelitian tersebut juga
dikemukakan bahwa orang dewasa juga menerapkan prinsip kerja sama yang
didasarkan pada pengetahuan psikolinguistik dan pragmatik. hal ini dilakukan agar
komunikasi orang dewasa dengan anak-anak dapat terjalin dengan baik.
Penelitian terkait kemampuan bahasa pada tunagrahita di bidang psikologi
yaitu, penelitian Rahayu (2001) dalam tesis yang berjudul “Hubungan Motivasi
Ekstrinsik dengan Penguasaan Tugas-Tugas Perkembangan di Sekolah pada Siswa
Tunagrahita mampu didik (SLTPLB)“ mengemukakan korelasi komponen-komponen
10
motivasi ekstrinsik terhadap penguasaan tugas-tugas perkembangan. Dalam
penelitian tersebut terdapat fakta adanya hubungan negatif antara motivasi ekstrinsik
dan penguasaan tugas-tugas perkembangan di sekolah. Semakin rendah motivasi
ekstrinsik, semakin tinggi penguasaan tugas-tugas perkembangan. Jadi, ada hubungan
negatif yang signfikan antara motivasi ekstrinsik (mudah, bantuan, pernyataan) dan
penguasaan keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan yang
umum. Semakin rendah motivasi ekstrinsik, semakin tinggi penguasaan tugas
tersebut.
Purwanto (2005) dalam tesis “Efektivitas Bimbingan Kesadaran Fonemik
dengan Metode Analisis untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Permulaan
Anak Tunagrahita” meneliti kemampuan membaca yang dimiliki oleh pada anak
tunagrahita yang dilakukan di SLB Kartini Temanggung. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa hanya 40 dari 225 anak tunagrahita yang memiliki kemampuan
membaca. Hal ini terjadi karena metode klasikal yang digunakan untuk mengajar
membaca kurang maksimal.
Berdasarkan sejumlah penelitian yang telah diuraikan pada penjelasan
tersebut, penelitian mengenai kemampuan berbahasa pada anak tunagrahita masih
perlu diteliti agar dapat dikembangkan.
1.7 Landasan Teori
1.7.1 Ihwal Tunagrahita
11
Tunagrahita bukan sebuah penyakit, melainkan sebuah keadaan seseorang
yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata sehingga memiliki
keterbatasan dalam integrasi sosial dan pergaulan. Perbedaan yang paling mendasar
anak normal dengan anak tunagrahita terletak pada tingkat kecerdasan. Anak
tunagrahita pada umumnya memiliki tingkat kecerdasan atau IQ yang berada di
bawah rata-rata. Biasanya tingkat intelegensi anak yang mengalami tunagrahita di
bawah 70 Smart (2010:50)
1.7.1.1 Tingkat Tunagrahita
Kemampuan anak tunagrahita dibedakan berdasarkan tingkat kecerdasan yang
dimiliki. Berikut ini klasifikasi tunagrahita menurut Smart (2010:50—51).
1) Ringan (moron atau debil)
Anak tunagrahita tingkat ringan memiliki tingkat kecerdasan atau IQ antara 50
sampai 70. Pada umumnya anak tunagrahita tingkat ringan mengalami kesulitan
dalam belajar dan lebih sering tinggal kelas
2) Sedang (imbisil)
Anak tunagrahita tingkat sedang memiliki tingkat kecerdasan atau IQ antara 35
sampai 50. Kebanyakan anak tunagrahita tingkat sedang mengalami kerusakan
otak dan yang menyebabkan anak mengalami keterlambatan keterampilan verbal
dan sosial.
3) Sedang-berat (profound)
12
Anak tunagrahita tingkat sedang berat memiliki tingkat kecerdasan atau IQ antara
20 sampai 35. Anak tunagrahita pada tingkat ini mengalami abnormalitas fisik
bawaan dan kontrol sensori motor yang terbatas.
4) Berat (severe)
Anak tunagrahita berat memiliki IQ sangat rendah, yaitu di bawah 19. Banyak
anak yang pada tingkat ini mengalami cacat fisik dan kerusakan syaraf serta tidak
jarang pula hingga meninggal.
1.7.1.2 Karakteristik Anak Tunagrahita
Anak tunagrahita mengalami masalah hampir dalam semua fungsi kehidupan.
Smart (2010:49) mengemukakan karakteristik yang dimiliki anak tunagrahita adalah
sebagai berikut.
1) Keterbatasan Intelegensi
Kemampuan belajar anak sangat kurang, terutama yang bersifat abstrak, seperti
membaca dan menulis serta belajar dan berhitung sangat terbatas. Anak tidak
mengerti apa yang sedang dipelajari atau anak cenderung belajar dengan membeo.
2) Keterbatasan Sosial
Anak tunagrahita mengalami hambatan dalam mengurus dirinya sendiri dalam
kehidupan masyarakat sehingga anak membutuhkan bantuan anak memiliki
13
ketergantungan yang besar kepada orangtua, yaitu selalu harus dibimbing dan
diawasi.
3) Keterbatasan Fungsi Mental Lainnya
Anak tunagrahita memerlukan waktu yang lebih lama ketika beradaptasi dengan
lingkungan yang baru dikenalnya
1.7.2 Gangguan Berbahasa
McLean dan Synder (dalam Sunardi dan Sunaryo, 2006:191) menemukan
bahwa anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam keterampilan berbahasa, meliputi
morfologi, sintaksis, dan semantik. Dalam di bidang semantik anak tunagrahita
cenderung kesulitan dalam menggunakan kata benda, sinonim, penggunaan kata sifat,
dan dalam pengelompokkan hubungan antara objek dengan ruang, waktu, kualitas,
dan kuantitas.
Bernstein dan Tiegerman (dalam Sidiarto, 1991:139) menyatakan bahwa pada
diri anak yang terbelakang mental (retardasi mental, tunagrahita) disfungsi otak
bersifat difus, sehingga kemampuannya berkurang dalam hampir semua fungsi yang
mendasari belajar. Anak-anak ini belajar dengan tempo yang lebih lambat sehingga
informasi yang ditangkap juga berkurang. Jadi, bukan hanya perkembangan bicara
dan bahasanya yang terlambat, tetapi juga perkembangan lainnya, seperti
perkembangan motorik, kognitif, dan sosialnya terlambat.
14
Menurut Bernstein dan Tigerman (dalam Sidiarto, 1991:139) ciri-ciri
gangguan berbahasa yang dialami anak tunagrahita adalah (a) penggunaan kalimat
yang lebih pendek dan sederhana, dengan bentuk yang lebih primitif disertai dengan
artikulasi, (b) penggunaan arti kata yang lebih konkret, dan (c) penggunaan yang
lebih sedikit dari beberapa fungsi semantik, seperti keterangan tempat dan waktu.
1.7.3 Semantik
Semantik adalah cabang ilmu bahasa yang membicarakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan makna satuan lingual, baik kata, frase, maupun kalimat (Wijana,
2009:64). Berikut ini bentuk-bentuk penyimpangan semantik yang dilakukan oleh
subjek penelitian adalah sebagai berikut.
1.7.3.1 Perluasan Makna
Bahasa selalu mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi
karena penutur bahasa tersebut melakukan pembaharuan dalam rangka mengikuti
perkembangan zaman. Wijana (1995:52) membagi empat perubahan bahasa menjadi
empat, yaitu perubahan meluas, perubahan menyempit, perubahan makna membaik,
dan perubahan makna memburuk. Dalam memahami makna kata, seseorang anak
akan melakukan penggelembungan makna atau penciutan makna. Hal ini disebabkan
anak belum memahami suatu konsep makna kebahasaan secara utuh.
15
1.7.3.2 Kesalahan Idiom
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari
makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun gramatikal (Chaer, 2012:296).
Idiom dapat digunakan untuk mengidentifikasikan suatu kata tertentu dengan ciri
tertentu tanpa harus menyelaraskan suatu kata tertentu dengan konsep yang dicirikan
suatu objek tertentu.
1.7.3.4 Gejala Lupa-Lupa Ingat
Dardjowidjojo (2012:154) gejala lupa-lupa ingat memiliki pola-pola tertentu
yang cenderung dilakukan orang. Adapun pola-pola tersebut adalah sebagai berikut.
a. Jumlah suku kata selalu benar.
b. Bunyi awal kata itu juga benar.
c. Hasil akhir kekeliruan itu mirip dengan kata yang sebenarnya.
Dalam berkomunikasi seseorang memiliki kemungkinan untuk lupa akan hal
yang ingin dikatakannya. Hal ini disebabkan karena suatu konsep yang mirip pada
suatu kata sehingga hal tersebut menyebabkan seseorang mengalami kesalahan atau
bahkan kegagalan untuk menggunakan kata yang diinginkan.
1.7.3.3 Pengubahan Fonem
Dalam masa belajar membaca seorang anak memiliki kencenderungan untuk
mengubah, menukar, bahkan menghilangkan huruf dalam suatu kata. Hal ini
merupakan suatu gejala bahasa yang dialami dalam proses pembelajaran. Gejala
16
bahasa merupakan masalah kebahasaan yang berkaitan dengan bentuk kata. Gejala
bahasa berhubungan dengan proses penambahan, penghilangan, pertukaran, dan
pengubahan fonem pada sebuah kata (Wijana,1995:27).
1.7.4 Pragmatik
Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa
secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam
berkomunikasi. Jadi, makna yang dikaji dalam ilmu pragmatik adalah makna yang
terikat konteks (context dependent) atau dengan kata lain mengkaji maksud penutur
(Wijana, 1995: 2).
1.7.4.1 Jenis Tindak Tutur
Searle (Rohmadi, 2004: 34) mengklasifikasikan jenis dan bentuk tindak tutur
menjadi lima, yaitu tindak tutur representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan
deklaratif. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.
1) Tindak tutur representatif merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya
kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya. Tindak tutur jenis ini juga disebut
dengan tindak tutur asertif, misalnya menyatakan, menuntut, mengakui,
menunjukkan, melaporkan, memberikan kesaksian, menyebutkan, dan
berspekulasi,
2) Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra
tutur melakukan tindakan sesuai apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tindak
17
tutur direktif disebut juga dengan tindak tutur impositif, misalnya meminta,