Top Banner
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Maskulinitas merupakan konsep tentang peran sosial, perilaku dan makna- makna tertentu yang dilekatkan pada laki-laki di waktu tertentu (Kimmel dan Aronson, 2003:503). Artinya, maskulitas merupakan wacana yang cair. John Beynon (2002) dalam Masculinities and Cultures menjelaskan terjadinya pergeseran konsep maskulinitas. Ia menyebut istilah imperial masculinities untuk menjelaskan wacana maskulinitas tradisional abad 19 di mana laki-laki mengutamakan unsur-unsur fisik dan spiritual. Tahun 1980an konstruksi tersebut berubah hingga Beynon menyebutnya sebagai new man, yaitu laki-laki yang mengayomi dan memuja dirinya (nurturer and narcissist). Munculnya laddish masculinity tahun 1990 merupakan reaksi atas laki-laki narsistik yang dieksploitasi oleh media. Fenomena new lad menggambarkan laki-laki berperilaku buruk dan tidak peduli pada kecaman orang lain atas perilaku mereka. Wacana maskulinitas yang berbeda pada waktu berbeda adalah konstruksi hegemonik yang berelasi dengan pihak-pihak yang berkuasa saat itu. Bagaimana di Indonesia? Memahami maskulinitas di Indonesia dapat mengacu pada representasi maskulinitas di media-media Indonesia. Konsep maskulinitas yang bergeser dari waktu ke waktu terlihat dalam film, misalnya. penelitian Intan Paramadhita (2007) tentang film-film bertema nasionalisme di era Orde Baru dan pasca Orde Baru menunjukkan maskulinitas yang berbeda pada sosok hero. Hero di sinema Orde Baru direpresentasikankan lewat tokoh jenderal
50

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

Aug 19, 2018

Download

Documents

vanngoc
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Maskulinitas merupakan konsep tentang peran sosial, perilaku dan makna-

makna tertentu yang dilekatkan pada laki-laki di waktu tertentu (Kimmel dan

Aronson, 2003:503). Artinya, maskulitas merupakan wacana yang cair. John

Beynon (2002) dalam Masculinities and Cultures menjelaskan terjadinya

pergeseran konsep maskulinitas. Ia menyebut istilah imperial masculinities untuk

menjelaskan wacana maskulinitas tradisional abad 19 di mana laki-laki

mengutamakan unsur-unsur fisik dan spiritual. Tahun 1980an konstruksi tersebut

berubah hingga Beynon menyebutnya sebagai new man, yaitu laki-laki yang

mengayomi dan memuja dirinya (nurturer and narcissist). Munculnya laddish

masculinity tahun 1990 merupakan reaksi atas laki-laki narsistik yang

dieksploitasi oleh media. Fenomena new lad menggambarkan laki-laki

berperilaku buruk dan tidak peduli pada kecaman orang lain atas perilaku mereka.

Wacana maskulinitas yang berbeda pada waktu berbeda adalah konstruksi

hegemonik yang berelasi dengan pihak-pihak yang berkuasa saat itu.

Bagaimana di Indonesia? Memahami maskulinitas di Indonesia dapat

mengacu pada representasi maskulinitas di media-media Indonesia. Konsep

maskulinitas yang bergeser dari waktu ke waktu terlihat dalam film, misalnya.

penelitian Intan Paramadhita (2007) tentang film-film bertema nasionalisme di era

Orde Baru dan pasca Orde Baru menunjukkan maskulinitas yang berbeda pada

sosok hero. Hero di sinema Orde Baru direpresentasikankan lewat tokoh jenderal

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

2

dengan menghadirkan maskulinitas ala militer dan priyayi. Sementara hero di

periode pasca Orde Baru tampil dengan meminjam model maskulinitas dari

budaya popular Amerika yang sensitif, rapuh, dan seringkali plin-plan.

Mendiskusikan sejarah maskulinitas di Indonesia menjadi menarik jika

mengamati majalah Hai sebagai majalah remaja laki-laki tertua dan satu-satunya

di Indonesia. Majalah Hai terbit pertama kali tahun 1977 dan masih terus bertahan

hingga kini. Hal tersebut menjadikan Hai sebagai satu-satunya majalah remaja

laki-laki di Indonesia yang mampu hidup dalam jangka waktu yang cukup lama.

Jika dibandingkan dengan majalah-majalah gaya hidup lain yang terbit di

Indonesia, Hai menjadi salah satu majalah yang mampu bertahan lama. Gadis

sebagai majalah remaja sebenarnya juga berusia cukup lama, bahkan terbit lebih

dulu dari Hai. Gadis terbit pertama kali tahun 1973. Namun berbeda dengan Hai,

Gadis sejak awal menargetkan remaja perempuan sebagai pembacanya. Untuk

majalah di segmen laki-laki, Hai menjadi majalah tertua, bahkan lebih tua

dibandingkan majalah laki-laki dewasa yang pernah ada di Indonesia. Majalah

gaya hidup laki-laki dewasa yang cukup lama eksis adalah Popular. Majalah ini

pertama kali terbit pada tahun 1987.

Melampaui tiga dekade, penerbitan Hai dilatarbelakangi oleh berbagai

situasi dan peristiwa yang terjadi di Indonesia. Atas dasar itulah Hai menjadi

sarana yang sesuai untuk melihat bagaimana maskulinitas ditampilkan dari dekade

yang berbeda. Majalah Hai hadir dengan konstruksi maskulinitas yang dinamis.

Tahun 1980an artikel-artikel majalah Hai tidak lepas dari wacana

maskulinitas yang militeristik. Rubrik tentang militer tidak terlewatkan, seperti

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

3

Green Barets, pasukan khusus Angkatan Darat Amerika Serikat atau Pesawat

Panavia Tornado yang merupakan properti militer. Maskulinitas ala militer

berhubungan dengan kekerasan dan merupakan maskulinitas tradisional yang

disimbolkan oleh kekuatan otot. Otot menjadi atribut penting bagi remaja laki-

laki, misalnya dalam artikel: “Agar Sekuat Stallone” (21/3/1989), atau “Agar

Perkasa Seperti Arnold” (5/3/1989).

Citra laki-laki di majalah Hai edisi tahun 1990an mulai bergeser. Hai

memuat tulisan tentang gaya hidup remaja lewat rubrik-rubrik musik, film, olah-

raga, fashion, tempat nongkrong dan hiburan lain, baik lokal maupun dari luar

negeri, misalnya liputan konser-konser band Amerika, rilis film Hollywood

terbaru, atau liputan liga sepakbola Eropa dan basket Amerika. Remaja laki-laki

juga semakin peduli dengan penampilannya. Misalnya artikel “Biang Kerok

Rambut Rontok” (17/3/1991) memberikan tips untuk menjaga kesehatan rambut.

Tahun 2000an, majalah Hai memunculkan deviant masculinities1 yang

menjadi resistensi laki-laki terhadap wacana tunggal di masa Orde Baru. Hal-hal

yang dianggap menyimpang di masa Orde Baru menjadi bisa diterima. Misalnya

dalam artikel “Kisah Si Landak, Si Cutbrai dan Si Hipster” (28/2/2005) yang

membahas tentang modifikasi seragam sekolah. Seragam sekolah menjadi

propaganda untuk mendukung kekuasaan pemerintah Orde Baru. Dalam artikel

tersebut peraturan seragam sekolah yang membuat ketentuan bahwa celana untuk

1Meminjam istilah yang digunakan oleh Marshal Clark (2004) untuk mengkontraskan dengan apa

yang disebut sebagai „real men‟. Dalam Men, Masculinities, and Symbolic Violence in Recent

Indonesian Cinema, Clark menjelaskan bahwa maskulinitas dalam sinema pasca Orde Baru

merupakan upaya untuk menolak dan melawan konstruksi tunggal atas maskulinitas di era Orde

Baru. ‘Deviant’ masculinities atau menyimpang dalam pengertian ini adalah menyimpang dari apa

yang telah dikonstruksi oleh pemerintah Orde Baru.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

4

siswa laki-laki tidak boleh ketat, kemeja harus dimasukkan ke dalam celana, dan

bersepatu hitam dianggap membuat “gerah” karena tidak mengikuti tren masa

kini. Akhirnya Hai memberi jalan keluar lewat permak seragam sekolah, misalnya

melonggarkan celana bagian bawah tapi ketat di pinggang, kemeja ketat, atau

sepatu sneakers menjadi alternatif.

Sebagai majalah remaja laki-laki, Hai memiliki konstruksi dinamis atas

maskulinitas remaja laki-laki. Untuk itu kajian maskulinitas remaja menjadi

menarik untuk dilakukan. Berbicara tentang maskulinitas selalu dihubungkan

dengan konstruksi tentang laki-laki dewasa. Fiske menjelaskan remaja laki-laki

seolah-olah diperingatkan untuk berperilaku lebih dewasa dari usianya untuk

dapat menjadi laki-laki (1991:201). Konstruksi maskulinitas yang dibangun

merupakan gambaran laki-laki dewasa. Remaja merupakan kategori usia yang

berada pada masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, sehingga

remaja laki-laki dan laki-laki dewasa sejatinya memiliki karakter berbeda yang

berimplikasi pada konstruksi maskulinitas yang berbeda. Jika maskulinitas

hegemonik adalah maskulinitas untuk laki-laki dewasa, yaitu laki-laki yang aktif,

dominan, dan lebih mengutamakan rasionalitas daripada emosi, lalu

bagaimanakah maskulinitas remaja?

Sejak edisi perdana yang terbit pada 5 Januari 1977 dan seterusnya Hai

tetap eksis dalam industri majalah di Indonesia. Dengan menyasar segmen remaja,

terutama remaja SMP dan SMU dengan kisaran usia 12-19 tahun2

.Hai

2Remaja merupakan kategori sosial yang merujuk pada usia di luar usia wajib belajar enam tahun,

yaitu sekitar 12-17 tahun (dalam Webster, 2010:26). Penjelasan tentang remaja akan dibahas lebih

lanjut dalam bab III.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

5

menawarkan gaya hidup remaja, mulai dari film, musik, pendidikan, fashion,

teknologi, olahraga, otomotif, hobi, psikologi, pendidikan seks, komik atau cerita

pendek yang berkisah tentang dunia dan kehidupan sehari-hari khas remaja.

Majalah Hai menjadi produk unik karena menjadi satu-satunya majalah

bersegmen remaja laki-laki. Ketika bermunculan majalah-majalah gaya hidup

remaja, seperti Gadis, Kawanku, Aneka, Mode dan sebagainya, Hai tetap

mempertahankan segmennya untuk remaja laki-laki.

Sebagai majalah dengan identitas produk bacaan untuk remaja laki-laki,

Hai memiliki gambaran dan definisi remaja laki-laki. Majalah Hai memiliki peran

yang cukup besar dalam menawarkan bentuk-bentuk maskulinitas remaja di

artikel-artikelnya. Mengutip penelitian Suzie Handajani (2010:240) tentang

maskulinitas majalah gaya hidup laki-laki, termasuk majalah Hai, ia berargumen,

lewat majalah Hai, para pembaca remaja dipersiapkan untuk “menjadi laki-laki”,

majalah Hai memberikan ruang bagi remaja untuk memainkan perannya sebagai

laki-laki di masyarakat dalam scope yang lebih kecil, yaitu dunia remaja.

Majalah gaya hidup remaja laki-laki menjadi media yang menawarkan

imaji-imaji tentang maskulinitas remaja atau bagaimana menjadi remaja laki-laki.

Untuk itu majalah merupakan sarana yang tepat untuk melihat bagaimana wacana

tentang maskulinitas remaja mengingat majalah merupakan produk budaya dan

teks budaya yang sangat penting. Sebagai sebuah teks, majalah merupakan

sumber referensi bagi struktur, relasi dan proses sosial (Fairclough, 1995:208).

Majalah Hai menjadi sarana yang tepat untuk melihat bagaimana maskulinitas

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

6

remaja dipahami sebagai sebuah praktik sosial. Sebagai majalah gaya hidup

remaja laki-laki, Hai merepresentasikan konsep tentang laki-laki (remaja), relasi

laki-laki dengan perempuan atau laki-laki lain, dan bagaimana maskulinitas

dipahami sebagai bagian dari budaya yang selalu berproses secara dinamis. Untuk

memahami maskulinitas dalam majalah Hai sebagai teks budaya tidak mungkin

dilepaskan dari konteks sosial, politik dan budaya.

Majalah Hai yang berproduksi selama lebih dari tiga dekade telah

melewati dinamika sosial, politik, dan budaya. Merujuk pada John Beynon (2002)

bahwa “masculinity is composed of many masculinities”, di mana maskulinitas

selalu berelasi dengan kultur, historis, lokasi geografis, dan waktu, maka

dinamika konteks sosial, politik, dan budaya yang melatarbelakangi produksi

majalah Hai melahirkan wacana maskulinitas remaja yang juga dinamis.

Sebagai majalah mingguan, majalah Hai menerbitkan lebih dari 1000 edisi

dengan rubrik yang beragam, misalnya tentang sekolah, hobi, seks, pacaran, dan

sebagainya. Untuk membatasi jumlah edisi dan rubrik yang ada, maka penelitian

ini memfokuskan pada rubrik tentang seksualitas.

Persoalan maskulinitas sering dikaitkan dengan perkembangan seksual

yang terjadi pada laki-laki. Seksualitas, bukan hanya persoalan erotisme, namun

merujuk pada seluruh aspek kehidupan dan keberadaan manusia yang bersifat

erotis seperti hasrat, praktik, hubungan dan identitas (Jackson, 2006:106). Dalam

konteks maskulinitas, seksualitas mendiskusikan relasi laki-laki dan perempuan.

Seksualitas laki-laki (male sexuality) menjelaskan praktik relasi tersebut.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

7

Persoalan seksualitas yang cenderung ditutup-tutupi justru menarik

perhatian remaja yang berada dalam proses pencarian identitas. Apalagi usia

remaja merupakan usia pubertas di mana remaja menjadi makhluk seksual yang

ditandai oleh kematangan alat seksual dan fungsi reproduksi mereka. Tidak

adanya diskusi terbuka tentang seksualitas mengakibatkan remaja mencari

informasi dari berbagai sumber, seperti majalah. Yayasan Lembaga Konsumen

Indonesia (YLKI) bekerjasama dengan Universitas Negeri Jakarta mengadakan

penelitian tentang persepsi seks bebas dan kesehatan reproduksi siswa SMU di

DKI Jakarta pada tahun 2002. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh data

bahwa sumber informasi seksual utama para responden diperoleh lewat televisi

dan majalah (Effendy dan Makhfudli, 2009:223).

Wacana seksualitas remaja laki-laki mengalami pergeseran dinamis dalam

majalah Hai. Perilaku seksual misalnya, mengalami perubahan yang disebabkan

oleh semakin terbukanya informasi tentang seks, perubahan peran gender, dan

semakin diterimanya tujuan seks untuk tujuan rekreasi (Negara, 2005:9). Dalam

artikel-artikel tentang seks tahun 1990an, Hai menyebut perilaku seksual sebagai

suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan setelah menikah. Namun, tahun

2000an terjadi perubahan. Misalnya dalam majalah Hai edisi 4/3/2002 yang

mengangkat laporan utama soal seks di luar nikah. Majalah Hai mulai

mewacanakan bahwa aktivitas seks di luar nikah adalah hal yang biasa terjadi di

kalangan remaja di Indonesia.

Pergeseran wacana seksualitas remaja laki-laki yang dibangun Hai berelasi

dengan konteks sosial, politik, dan budaya yang terjadi di Indonesia pada tahun

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

8

1990an dan 2000an. Setidaknya ada tiga faktor yang melatarbelakangi terjadinya

pergeseran wacana tersebut.

Yang pertama adalah terjadinya perubahan rezim. Pada tahun 1998 terjadi

peristiwa bersejarah, yaitu runtuhnya kekuasaan Orde Baru yang telah berkuasa

selama 32 tahun. Pergantian rezim pemerintahan bukanlah semata-mata persoalan

politik, namun juga berpengaruh pada persoalan-persoalan yang lain. Pergantian

rezim menjadi milestone berubahnya ideologi, termasuk ideologi gender.

Perubahan ini tidak serta merta terjadi, namun sudah dimulai beberapa tahun

sebelumnya. Demikian pula yang terjadi pasca tahun 1998 yang bukan berarti

berakhirnya ideologi gender di masa Orde Baru. Namun kebijakan-kebijakan

pasca Orde Baru mampu membawa perubahan-perubahan, sebut saja dicabutnya

SIUPP, kebijakan keterwakilan 30% perempuan di bidang politik, atau

disahkannya UU penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tahun 2004

merupakan contoh produk pasca Orde Baru yang menandai perubahan ideologi

gender di era pasca Orde Baru.

Pada periode Orde Baru ideologi gender dikontrol oleh negara.

Kepentingan negara adalah dalam rangka pembentukan identitas nasional di mana

perempuan disimbolkan sebagai penjaga utama (Alimi, 2004:76). Fungsi dan

peran perempuan dibatasi di wilayah domestik sesuai dengan fungsi

reproduksinya. Upaya tersebut dilakukan pemerintah Orde Baru untuk

membendung dan memanipulasi kekuatan politik perempuan secara sosial, politik

dan ekonomi, sehingga negara melakukan manipulasi secara ideologis. Misalnya

dengan melekatkan label-label perempuan adalah “pilar bangsa”, perempuan

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

9

hendaknya berpartisipasi dalam pembangunan tanpa melupakan kodratnya

sebagai istri dan ibu. Negara mendefinisikan perempuan untuk melayani suami,

keluarga, dan negara yang dilembagakan lewat kegiatan PKK dan Dharma

Wanita. Penekanan pada fungsi reproduktif ini mendorong penyebutan ideologi

gender Orde Baru sebagai ideologi state ibuism (Suryakusuma, 2011:10-11).

Kategori gender tersebut disosialisasikan sedemikian rupa sehingga seolah-olah

merupakan kodrat laki-laki dan perempuan yang tidak terbantahkan. Ruang publik

adalah milik laki-laki karena laki-laki adalah kepala rumah tangga yang memiliki

peran sebagai pencari nafkah. Negara lalu memberikan legitimasi bagi laki-laki

untuk melakukan kontrol dan pengawasan terhadap perilaku dan seksualitas

perempuan (Wieringga, 2003:72). Intervensi negara dalam mendefinisikan peran

gender tersebut dalam rangka menjaga stabilitas negara.

Persoalan seksualitas juga dikendalikan oleh negara. Misalnya kebijakan

negara tentang Keluarga Berencana yang mengharuskan perempuan untuk

membatasi kelahiran merupakan bentuk intervensi negara atas tubuh dan alat

reproduksi perempuan (Alimi, 2004:79). Keluarga adalah representasi negara di

mana kekuatan negara ditentukan keluarga atau rumah tangga yang kuat. Inilah

yang mendorong negara mengatur kehidupan keluarga dan perilaku seksual warga

negara. Pemerintah Orde Baru melakukan konstruksi terhadap ideologi informal,

yaitu ideologi gender dan seksual dengan mendefinisikan laki-laki dan perempuan

dalam peran-peran yang sempit, terbatas dan stereotip dengan tujuan stabilitas

nasional (Suryakusuma, 2004). Di era ini pula, heteroseksual menjadi satu-

satunya orientasi seksual yang sesuai dengan semangat modernitas yang dianut

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

10

oleh pemerintah Orde Baru (Alimi, 2004:77). Selain itu seksualitas dikaitkan

dengan fungsi prokreasi.

Ideologi gender berimplikasi pada kerja media yang merepresentasikan

ideologi dominan yang dimunculkan dalam penggunaan bahasa, baik bahasa

tulisan maupun visual dalam setiap produknya. Ideologi gender dapat ditemukan

pada bagaimana media menampilkan persoalan gender dan seksualitas dalam

kontennya. Sementara media adalah aparatus beroperasinya pengetahuan-

pengetahuan, termasuk ideologi gender. Sebagai aparatus, media memiliki dan

menjalankan ideologi tertentu. Althuser (1970) menjelaskan bagaimana media

menjadi manifestasi ideologi negara (Ideological State Apparatuses), bahwa

media berperan sebagai bagian dari aparatus negara (dalam Barker, 2009:46).

Inilah yang terjadi pada rezim Orde Baru, di mana negara memiliki kuasa yang

dominan atas media, sehingga ideologi gender yang diproduksi oleh negara

direpresentasikan lewat media.

Penelitian Krishna Sen (1998) tentang femininitas dalam sinema Orde

Baru menunjukkan bahwa film drama dan cerita percintaan identik dengan film

perempuan. Hal ini dikaitkan dengan apa yang menjadi “kodrat wanita” yang

ditanamkan di era Orde Baru, bahwa perempuan berfungsi sebagai ibu yang

bertanggung jawab pada urusan rumah tangga atau keluarga. Inilah yang menjadi

wacana dominan dalam narasi film-film tersebut. Penelitian Thamrin Amal

Tomagola (1990) tentang majalah wanita menyimpulkan bahwa majalah wanita

menyebarkan ideologi dominan yang dianjurkan pemerintah, yaitu sebagai

pendukung laki-laki karena wanita berurusan pada lima hal, yaitu pigura

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

11

(kesehatan dan kecantikan), pilar (pengelolaan keluarga dan rumah tangga),

peraduan (masalah seksual dalam perkawinan), pinggan (masak memasak), dan

pergaulan (etika pergaulan) (dalam Suryakusuma, 1998:114).

Runtuhnya Suharto membawa konsekuensi pada perubahan konstruksi

peran gender. Berakhirnya era Orde Baru menggeser pemahaman ideologi gender

yang tidak lagi terpusat pada kekuasaan negara karena muncul wacana-wacana

alternatif tentang gender dan seksualitas. Penelitian Leonie Schmidt (2012)

tentang representasi perempuan dalam film yang diproduksi pasca Orde Baru

menunjukkan bahwa perempuan dideskripsikan dalam dua performa: perempuan

muda atau wanita karier yang mandiri, ambisius dan memiliki hasrat seksual.

Faktor yang kedua adalah perkembangan teknologi komunikasi dan

informasi yang cepat yang dimulai pada akhir tahun 1980an.Perkembangan

teknologi media elektronik dimulai dengan menjamurnya kepemilikan antena

parabola pada tahun 19833. Selain itu, kebijakan privatisasi stasiun televisi di

Indonesia pada bulan November 1988 memberikan kesempatan pada khalayak

dalam mengkonsumsi televisi. Kebijakan tersebut menyebabkab munculnya

stasiun-stasiun televisi swasta, seperti RCTI, SCTV, TPI, ANTEVE dan Indosiar.

Teknologi lain yang fenomenal dan tak bisa dipungkiri mampu merubah

kehidupan masyarakat Indonesia adalah berkembangnya internet4

di negara-

3Beberapa laporan menyebutkan bahwa hingga pertengahan tahun 1980an kepemilikan antene

parabola di Indonesia menunjukkan pertumbuhannya yang tercepat di antara negara-negara Asia.

Hingga akhir dekade diperkirakan angka kepemilikan antene parabola mencapai 25.000 (dalam

Sen dan Hill, 2000:117). 4Internet memungkinkan munculnya media-media baru dengan karakteristik yang sangat berbeda

dengan media-media di era sebelumnya. Media-media yang dikenal dengan media baru

memungkinkan pengguna berperan sebagai produser dan konsumen sekaligus. Karakteristik inilah

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

12

negara Asia, termasuk Indonesia pada akhir tahun 1980an dan awal tahun 1990an.

Pertumbuhan internet diikuti dengan munculnya telepon seluler dengan

kemampuannya yang meningkat dengan sangat cepat. Dalam waktu yang cepat

pula, telepon seluler menjadi bagian dari gaya hidup remaja.

Penggunaan teknologi komunikasi dan informasi yang menjamur

membuka arus informasi berupa nilai-nilai dan gaya hidup remaja dari luar negeri,

terutama dari Amerika. Informasi-informasi tersebut diterima dengan cukup bebas

dan sangat cepat oleh pada remaja di Indonesia. Misalnya saja stasiun-stasiun

televisi swasta menampilkan dominasi konten asing dalam program-programnya.

RCTI di awal siarannya, 90% programnya merupakan program impor sementara

sisanya adalah tayangan relay dari TVRI (Sen dan Hill, 2000:120).

Arus informasi dari luar negeri memuluskan masuknya informasi tentang

persoalan seksualitas. Paham keterbukaan seksualitas yang dianut negara-neraga

Eropa dan Amerika akibat dari revolusi seksual tahun 1960an mulai dikenal oleh

para remaja di Indonesia. Revolusi seksual telah mengeser fungsi seks dari

prokreatif menuju fungsi rekreatif. Hal ini meningkatkan angka premarital seksual

di Amerika. Pada tahun 1988, 25,6% remaja berusia 15 tahun telah mulai aktif

secara seksual. Angka ini meningkat sebesar 4,6% dibandingkan yang terjadi di

tahun 1970. Sedangkan pada remaja yang berusia 19 tahun, angkanya melonjak

menjadi 75,9%, meningkat sebesar 50% dari tahun 1970 (dalam Sadli, 2010: 98).

Gerakan perempuan yang menyuarakan persamaan hak perempuan juga

turut merubah wacana tentang seksualitas. Perempuan menyadari bahwa dirinya

yang merubah kehidupan masyarakat, yang semula hanya sebagai konsumen pasif media menjadi

konsumen yang juga berperan sebagai penyedia isi (content provider).

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

13

bukan sebagai objek seksual, namun menjadi pihak yang memiliki hak yang sama

dengan laki-laki untuk mengejar kepuasan seksual. Laporan lain di Amerika

menyebutkan bahwa di akhir tahun 1980an, perempuan yang aktif secara seksual

maupun yang masih perawan memiliki harga diri yang sama (Sadli, 2010:98).

Akibat semakin terbukanya akses informasi dari luar, wacana seks

alternatif hingga kesadaran gender yang terjadi di level global pengaruhnya juga

sampai di Indonesia. Dominasi wacana seksualitas oleh negara mulai menghadapi

resistensi. Gerakan feminisme dan terbitnya Jurnal Perempuan tahun 1990an

menjadi contoh berkembangnya wacana alternatif tentang seksualitas.

Iklim politik demokratis pasca runtuhnya Orde Baru tahun 1998

mendorong keterbukaan informasi, termasuk informasi seksualitas. Dihapusnya

SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers)5 mendorong bermunculannya sejumlah

media dengan konten seksualitas sebagai sajian utama. Globalisasi mendorong

semakin intens dan terbukanya komunikasi dan interaksi global. Munculnya

media-media franchise barat, seperti Cosmopolitan (1997) atau FHM (2003)

membuka kesempatan gaya dan tren di barat diadopsi dan dikonsumsi masyarakat

Indonesia. Perlahan tapi pasti, persoalan seksualitas muncul di ranah publik. Jika

seksualitas sebelumnya jarang didiskusikan, maka pada periode ini seksualitas

muncul di ruang publik, dan menjadi komoditas.

Hal itu menunjukkan semakin permisifnya masyarakat kelas menengah

perkotaan terhadap persoalan seksualitas. Sesuatu yang dianggap tabu kini lebih

5Di periode orde baru SIUPP menjadi alat pemerintah untuk memberangus pers yang dianggap

membahayakan stabilitas pemerintah. Dicabutnya SIUPP di masa pemerintahan Habibie yang

menggantikan Suharto menciptakan euphoria kebebasan berekspresi dan berpendapat dengan

menerbitkan sejumlah media cetak, seperti surat kabar dan majalah..

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

14

terbuka diperbincangkan. Seks bebas menjadi bagian gaya hidup remaja. Selain

aktivitas seks yang semakin permisif, keterbukaan seksualitas. wacana kesetaraan

dan hak asasi manusia telah mendorong kelompok gay dan waria tampil di ruang

publik walaupun stigma yang dilekatkan pada kelompok ini belum berubah.

Faktor yang ketiga adalah berlakunya Islamisasi di Indonesia sejak tahun

1990an. Suharto mulai kehilangan dukungan dari kelompok militer, sehingga ia

melirik Islam sebagai kekuatan potensial untuk menyokong pemerintahannya.

Dukungan atas Islam sebagai gerakan sosial politik semakin kuat pada

pemerintahan pasca Suharto yang ditandai oleh munculnya berbagai organisasi

Islam. Adanya kesempatan bagi kelompok-kelompok Islam untuk menunjukkan

kekuatannya telah memunculkan kembali semangat untuk merepresi seksualitas.

Gerakan anti pornografi, anti berpacaran hingga seks bebas, sweeping terhadap

kelompok-kelompok gay dan waria adalah bentuk represi tersebut.

Majalah Hai sebagai sebuah produk sejarah yang hadir selama lebih dari

tiga dekade juga tidak lepas dari pengaruh ideologi gender yang selalu berubah.

Perubahan gender tidak bisa dilepaskan dari adanya kontestasi gagasan-gagasan

gender yang dipicu oleh perubahan rezim kekuasaan, dalam hal ini institusi

pemerintah, perkembangan teknologi dan media, juga agama. Ideologi maskulin

sebagai bagian ideologi gender yang melihat bagaimana posisi laki-laki dalam

struktur, relasi dan posisi sosial yang dinamis akan mempengaruhi kerja redaksi

majalah Hai yang tercermin dalam produksi teks-teksnya tentang seksualitas.

Dengan kata lain, perubahan dari rezim Orde Baru ke periode yang lebih

terbuka dan demokratis, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi,

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

15

termasuk media, serta proses Islamisasi telah berperan dalam perubahan wacana

maskulinitas dan seksualitas, dalam hal ini adalah pada diskusi tentang seksualitas

yang dikonstruksi secara diskursif di dalam teks majalah Hai. Perubahan-

perubahan tersebut mempengaruhi pemahaman media atas ideologi gender. Atas

dasar argumentasi tersebut, maka penelitian ini dibuat.

1.2. Rumusan Masalah

Produksi wacana seksualitas laki-laki mengalami perubahan secara

historis, artinya media menampilkan wacana seksualitas remaja laki-laki yang

berbeda dari waktu ke waktu. Perubahan rezim kuasa pada periode yang berbeda,

perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta proses Islamisasi

berimplikasi pada berlakunya wacana seksualitas remaja laki-laki yang berbeda.

Berdasarkan pemahaman tersebut, maka penelitian ini melihat dinamika wacana

seksualitas remaja laki-laki yang diproduksi oleh majalah Hai. Pertanyaan-

pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah wacana seksualitas remaja laki-laki yang diproduksi oleh

majalah Hai?

2. Diskursus-diskursus apakah yang turut membentuk produksi wacana

seksualitas remaja laki-laki tersebut ?

3. Konteks sosial, politik, dan budaya seperti apa yang mempengaruhi produksi

wacana seksualitas remaja laki-laki dalam majalah Hai?

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

16

I.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengkaji

bagaimana wacana seksualitas remaja laki-laki dikonstruksi dan direpresentasikan

oleh majalah Hai dengan asumsi bahwa adanya perubahan rezim pemerintahan

Orde Baru dan pasca Orde Baru, perkembangan teknologi komunikasi dan

informasi, serta proses Islamisasi turut membentuk wacana tersebut. Dengan

demikian penelitian ini bertujuan menghasilkan analisis tentang produksi wacana

seksualitas remaja laki-laki dalam majalah Hai. Penelitian ini juga bertujuan

untuk melihat diskursus-diskursus apakah yang turut membentuk produksi

wacana tersebut. Selanjutnya penelitian ini menganalisis dan mengidentifikasi

konteks sosial, politik dan budaya seperti apa yang mendorong dinamika wacana

seksualitas remaja laki-laki.

I.4. Tinjauan Pustaka

Kajian akademik tentang gender di Indonesia telah berkembang. Namun

demikian, kajian tentang maskulinitas di Indonesia sampai saat ini masih sedikit

jumlahnya. Salah satunya adalah riset maskulinitas yang dilakukan oleh Pam

Nilan, seorang Indonesianis asal Australia. Nilan (2009a) meneliti tentang

maskulinitas dan anak muda. Misalnya Contemporary Masculinities and Young

Men in Indonesia. Ia menjelaskan bahwa anak-anak muda Indonesia berada dalam

tekanan untuk menjadi laki-laki di dalam dua domain, yaitu domain religius dan

sekuler; bagaimana menjadi warga negara yang baik dan memberikan dukungan

bagi keluarga serta memenuhi citra-citra fantasi mereka atas hipermaskulinitas

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

17

global sebagai laki-laki yang kuat, keras, dan heroik. Hal ini menunjukkan

maskulinitas di Indonesia masih berorientasi pada bentuk-bentuk hegemonic

masculinities. Relasi antara anak muda dan hipermaskulinitas mendorong Nilan

untuk melakukan penelitian berikutnya yang dirangkum dalam beberapa tulisan

yang berjudul Researching Masculinities and Violence in India and Indonesia dan

The Gang, Violence and The Life Course for Indonesian Youth. Yang pertama

Nilan (2009b) melihat kekerasan yang terjadi di Indonesia dan India, dan

menyimpulkan bahwa kekerasan dilakukan laki-laki karena didorong oleh

konstruksi sosial yang menekankan laki-laki untuk mempertahankan

kehormatannya dalam memperoleh respek atas status kelaki-lakiannya.

Ketidaksetaraan akses memperoleh pendidikan dan pekerjaan menjadi pemicu

kekerasan tersebut. Pada tulisan kedua Nilan (2010) lebih fokus pada konteks

Indonesia dengan melihat fenomena gang-gang anak muda di Jawa Tengah, mulai

dari gang sekolah, gang milisi sipil, dan kelompok-kelompok jihad. Nilan

berargumen bahwa tawuran yang kerap dilakukan geng-geng anak muda

merupakan bagian dari ritual yang dilakukan di masa transisi menuju kedewasaan

maskulin mereka. Penelitian Nilai di tiga tulisan tersebut memfokuskan pada

budaya kekerasan sebagai bagian dari maskulitas anak muda (hipermaskulinitas).

Dengan memfokuskan pada persoalan kekerasan, Nilan mengabaikan persoalan-

persoalan lain yang juga menjadi bagian dari budaya anak muda.

Penelitian dalam konteks media atau bagaimana maskulinitas

direpresentasikan lewat media massa di Indonesia dilakukan oleh Marshal Clark

(2010) juga seorang Indonesianis asal Australia yang dirangkum dalam buku yang

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

18

berjudul Maskulinitas:Culture, Gender and Politics in Indonesia. Dalam buku itu,

Clark mendiskusikan konstruksi maskulinitas dalam beberapa novel, sinema,

iklan televisi, dan puisi. Clark menjelaskan bahwa periode Orde Baru dan pasca

Orde Baru memberikan pengaruh pada bagaimana maskulinitas diproduksi. Clark

melihat kecenderungan maskulinitas yang direpresentasikan dalam media pasca

Orde Baru sebagai apa yang disebut sebagai the crisis for Indonesian masculinity

yang menandakan mulai memudarnya dominasi laki-laki atas perempuan.

Misalnya dalam sinema, ia melihat sosok laki-laki rapuh, keji, atau gila dalam

film Kuldesak; dalam iklan televisi laki-laki digambarkan sebagai pihak yang

konyol dan tampak bodoh ketika disandingkan dengan perempuan yang intelek;

atau dalam novel laki-laki menjadi sosok anti-hero. Wacana laki-laki yang

demikian merupakan bentuk resistensi atas wacana laki-laki yang dibentuk di

rezim orde baru. Penelitian Clark ini menegaskan asumsi bahwa konstruksi atas

maskulinitas selalu memiliki interrelasi dengan konteks sosial dalam periode

konstruksi tersebut. Walaupun meneliti maskulinitas yang direpresentasikan di

berbagai media pasca Orde Baru, Clark melewatkan bagaimana representasi

maskulinitas di dalam majalah.

Penelitian maskulinitas lainnya dilakukan oleh Intan Paramadhita (2007)

dalam tulisannya Contesting Indonesian Nationalism and Masculinity On Cinema.

Seperti judulnya, Paramadhita mencoba membandingkan bagaimana maskulinitas

dikaitkan dengan persoalan nasionalisme yang dikonstruksi dalam film Indonesia

di era Orde Baru yang menampilkan maskulinitas ala militer dan priyayi dan

pasca Orde Baru yang merujuk pada maskulinitas barat yang sensitif, rapuh dan

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

19

tidak tegas. Tulisan ini menarik karena membandingkan bagaimana konstruksi

maskulinitas dalam rezim yang berbeda, relevan dengan tesis yang dibangun oleh

Beynon seperti yang dijelaskan di awal bab ini. Namun, perbandingan yang

dilakukan Paramadhita menjadi tidak pas mengingat kedua film yang dianalisis

mendeskripsikan sosok laki-laki yang berbeda. Dalam film Pemberontakan

G30S/PKI yang diproduksi di era Orde Baru, maskulinitas direpresentasikan lewat

sosok jenderal yang notabene laki-laki dewasa. Sementara di film Gie yang

diproduksi pasca Orde Baru, maskulinitas direpresentasikan lewat sosok

mahasiswa yang identik dengan anak muda6.

Penelitian ini bertujuan untuk memperkaya kajian maskulinitas dalam

media di Indonesia. Jika selama ini penelitian lebih banyak di ranah audiovisual

seperti film dan iklan televisi, penelitian ini melihat bagaimana konstruksi

maskulinitas dalam majalah. Setiap media memiliki bentuk konstruksi yang

berbeda. John Beynon dalam Masculinities and Culture(2002) membuat tabel

tentang bagaimana konsep maskulinitas yang berbeda pada setiap media, misalnya

di media cetak seperti surat kabar, majalah dan tabloid melihat karakter laki-laki

dominan, sementara di film, televisi, dan video, internet dan radio, maskulinitas

muncul dengan berbagai paradoks. Atas dasar itulah, maka diperlukan kajian di

berbagai media untuk melihat bagaimana setiap media menampilkan wajah

maskulinitas, dan penelitian ini menitikberatkan pada majalah.

Majalah merupakan artefak budaya yang berisi wawasan tentang makna-

makna dan praktik sosial. Berkaitan dengan maskulinitas, majalah laki-laki

6Mengutip Webster (2010), anak muda merujuk pada individu yang berusia menjelang 20an dan

awal 20an. Usia mahasiswa relevan dengan istilah anak muda.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

20

mampu menjadi sarana yang dapat diterima bagi pembacanya karena majalah

mengeksplorasi aspek-aspek maskulinitas yang lebih intim daripada media yang

lain, terutama fitur-fitur yang berkaitan dengan relasi dan perilaku laki-laki. Hal

ini dijelaskan oleh Nick Stevenson, Peter Jackson, and Kate Brooks (2000:367)

dalam tulisannya yang berjudul The Politics of ‘New’ Men’s Lifestyle Magazine.

Penyebabnya antara lain karena majalah memposisikan pembaca sebagai teman

yang posisinya setara dengan penulis. Tulisan Mary Jane Kehily (1999) tentang

majalah remaja yang berjudul More Sugar?: Teenage Magazines, Gender

Displays, and Sexual Learning menjelaskan hal yang sama. Majalah remaja

sangat populer dan dapat menjadi jendela bagi kehidupan anak muda. Untuk itu,

majalah remaja menjadi sumber kultural bagi anak muda, di mana mereka dapat

berbagi (talk with and think with). Faktor kedekatan merupakan kelebihan majalah

yang tidak dimiliki oleh media yang lain. Majalah mampu menceritakan tentang

perilaku, sifat, penampilan, bahkan relasi laki-laki dengan perempuan atau laki-

laki lain secara lebih terbuka, intim dan dua arah karena melibatkan pembaca.

Dengan demikian, majalah menjadi media yang mampu memberikan jawaban atas

konstruksi maskulinitas dan seksualitas.

Penelitian maskulinitas dalam majalah gaya hidup dilakukan Suzie

Handajani (2010) berjudul Selling Alternative Masculinities: Representations of

Masculinities in Indonesian Men’s Lifestyles Magazines. Lewat majalah tersebut

dapat dilihat bagaimana representasi laki-laki Indonesia. Ia melihat

kecenderungan majalah laki-laki menjadi sarana untuk merepresentasikan

alternative masculinity. Namun Handajani hanya meneliti maskulinitas di majalah

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

21

laki-laki dalam konteks masa kini. Ia tidak meneliti bagaimana dinamika

konstruksi yang dibangun oleh media pada periode yang berbeda yang justru

menjadi kekuatan dalam penelitian ini.

Selain mendiskusikan maskulinitas, tulisan ini juga memfokuskan pada

persoalan seksualitas remaja laki-laki. Kajian-kajian tentang seksualitas remaja

antara lain pernah ditulis oleh Henry Giroux (1998) dalam Teenage Sexuality,

Body Politics and the Pedagogy of Display. Dalam tulisan tersebut dijelaskan

bahwa remaja merupakan hasrat fantasi dan kepentingan dari dunia orang dewasa.

Untuk itu, remaja perlu ditundukkan hasrat dan perilakunya lewat wacana-wacana

yang dibuat oleh orang dewasa, termasuk seksualitas. Salah satu bagian yang

menarik dalam tulisan tersebut adalah tentang bagaimana seksualitas remaja

direpresentasikan di dalam media. Giroux menjelaskan bahwa seksualitas remaja

di dalam media ditampilkan sebagai komoditas atau sebagai masalah. Tubuh

remaja menjadi objek kontradiksi, antara perspektif progresif dan konservatif.

Giroux mencontohkan kontroversi yang terjadi pada kampanye iklan Calvin Klein

dan gambaran suram tentang remaja urban di film Kids. Bagaimana remaja

ditampilkan dalam kedua media tersebut dianggap sebagai komodifikasi tubuh

remaja dan promosi atas kemerosotan dan keliaran seksualitas remaja. Giroux

menganggap representasi remaja di kedua media tersebut merupakan upaya

pedagogis untuk melawan gagasan konservatif tentang seksualitas remaja. Tulisan

Giroux menjelaskan bagaimana seksualitas remaja tidak terlepas dari pertarungan

kepentingan-kepentingan dari orang dewasa.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

22

Penelitian ini secara khusus memfokuskan seksualitas remaja di media,

dalam hal ini majalah. Wacana seksualitas remaja dalam majalah gaya hidup yang

ditujukan untuk remaja dikemas dalam kerangka pendidikan seks bagi remaja. Hal

ini relevan dengan apa yang dijelaskan oleh Giroux di atas bahwa media menjadi

sarana untuk memberikan edukasi pada remaja tentang seks. Untuk itu, di bagian

Tinjauan Pustaka ini, peneliti perlu ikut memasukkan beberapa kajian-kajian

yang berkaitan dengan materi pendidikan seks untuk memahami wacana

seksualitas yang dibangun tentang lewat materi-materi pendidikan seks. Kajian-

kajian tentang pendidikan seks bagi remaja yang menjelaskan bagaimana

seksualitas remaja dipahami telah banyak dilakukan, meskipun tidak spesifik

menganalisis pendidikan seks remaja yang dilakukan oleh remaja.

Tulisan Louisa Allen (2011) dalam bukunya yang berjudul Young People

and Sexuality Education: Rethinking Key Debates menjelaskan tentang

analisisnya pada materi pendidikan seks untuk remaja yang dilakukan oleh

berbagai institusi, seperti agama (dalam hal ini gereja), sekolah, Lembaga

Swadaya Masyarakat, pemerintah, dan media. Ketika berbagai institusi

menjelaskan tentang pendidikan seks, maka yang terjadi dalam pendidikan seks

itu sendiri adalah kontestasi berbagai kepentingan pihak-pihak yang berada di

dalam institusi-insititusi tersebut. Allen menjelaskan ada tiga wacana yang

dibangun dalam pendidikan seks, yaitu wacana moral rights yang mengacu pada

pendekatan seksualitas normatif; wacana sexual liberalism atau gagasan untuk

menerima aktivitas seks di luar pemahaman seks yang tradisional, heteroseksual

dan relasi monogami atau perkawinan dengan mengusung tema pengalaman

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

23

seksual sebagai hak remaja; dan wacana health pragmatism yang

memperjuangkan hak remaja untuk mendapatkan informasi yang memadai

tentang seks untuk kepentingan kesehatan warga negara.

Untuk konteks di Indonesia, penelitian tentang materi pendidikan seks

remaja pernah dilakukan oleh Dede Oetomo dan Brigitte M. Holzner (2004).

Tulisan keduannya yang berjudul Youth, Sexuality and Sex Education Messages in

Indonesia: Issues of Desire and Control, berisi penjelasan tentang diskursus

pendidikan seks remaja dengan menganalisis konten pendidikan seks yang

dilakukan oleh institusi-insitusi penyelenggara pendidikan seks untuk remaja di

Indonesia. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa pendidikan seks untuk remaja

menjelaskan seks sebagai hal yang menakutkan dan berbahaya sehingga harus

direpresi. Selain itu beberapa materi pendidikan seks justru menampilkan wacana

seks sebagai materi yang perlu diketahui oleh remaja sehingga seks bisa

dipraktikkan dengan bertanggung jawab. Pada prinsipnya, dalam kurikulum

pendidikan seks remaja terdapat dua diskursus seks yang berbeda, yaitu wacana

yang melarang dan mengintimidasi perilaku seksual yang menitikberatkan pada

pendekatan legal-moral; dan wacana bahwa segala hal yang berkaitan dengan seks

merupakan hak asasi warga negara. Di satu sisi wacana seks yang dibangun

berdasarkan mekanisme legal moral menganggap bahwa seks itu ilegal bagi

remaja Sedangkan wacana yang kedua tidak menganggap seks sebagai hal yang

terlarang, dan justru permisif.

Dalam tulisan itu juga dijelakan bahwa wacana tentang kesehatan

reproduksi berada di antara kedua wacana tersebut. Di dalam wacana yang

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

24

melarang dan mengintimidasi seks, perspektif medis dan kesehatan reproduksi

dilibatkan dalam rangka menjelaskan akibat-akibat dari perilaku yang permisif

terhadap seks, seperti kehamilan tidak diinginkan, aborsi, penyakit menular

seksual hingga HIV/AIDS. Yang menarik dari penelitian Holzner dan Oetomo

tersebut adalah, institusi penyelenggara pendidikan seks ternyata tidak berpihak

pada salah satu wacana saja. Misalnya, dalam penelitian tersebut disebutkan

bahwa PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) selaku organisasi non

pemerintah yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi membangun wacana

seks yang prohibitive dan non-prohibitive sekaligus. PKBI secara tegas

mengatakan “tidak” pada premarital seks yang menyebabkan kehamilan tak

diinginkan, penyakit menular seksual, berpotensi dilakukannya tindakan kriminal

yang mampu merusak kehidupan seseorang. Dalam website PKBI juga dijelaskan

bahwa seks adalah hal yang sakral dan hanya memiliki fungsi prokreatif.

Sementara, di sisi lain PKBI juga menekankan hak remaja untuk memperoleh

layanan kontrasepsi, terlepas dari marital status-nya. Sayangnya, Holzner dan

Oetomo tidak menjelaskan lebih lanjut tentang adanya wacana ganda tersebut.

Namun paling tidak, data yang disampaikan menunjukkan adanya kontestasi

wacana dalam penyusunan materi dalam pendidikan seks.

Seksualitas remaja seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang

membahayakan sehingga harus dikontrol dan direpresi. Seks bebas menjadi

fenomena yang mengkhawatirkan di kalangan remaja. Pengaruh barat menjadi

kambing hitam dari ketakutan-ketakutan orang dewasa atas maraknya seks bebas

sebagai “seksualitas baru”. Hal tersebut dijelaskan oleh Claire Harding (2008)

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

25

dalam tulisannya yang berjudul The Influence of the 'Decadent West': Discourses

of the Mass Media on Youth Sexuality in Indonesia. Harding melakukan analisis

atas beberapa majalah Islam untuk remaja, buku-buku panduan seks yang berbasis

Islam, poster-poster sosialisasi program Keluarga Berencana dan Undang-

Undang yang berkaitan dengan seksualitas remaja. Hasilnya, Harding

menjelaskan bahwa media-media tersebut memberikan informasi pada remaja

tentang informasi yang komprehensif, akurat, dan faktual tentang kesehatan

seksual dan reproduksi. Namun, wacana dominan yang dibangun dalam media-

media tersebut adalah wacana seks yang prohibitif. Seks bagi remaja adalah

sesuatu yang tidak sehat. Hal tersebut disampaikan lewat informasi-informasi seks

yang menakutkan bagi remaja. Selain itu, media-media tersebut menyebutkan

bahwa salah satu ancaman yang membahayakan bagi remaja adalah pengaruh

barat, dengan menjelaskan barat sebagai sesuatu yang tunggal. Penelitian Harding

pada akhirnya menghasilkan wacana seks yang tunggal, yaitu prohibitif. Hal ini

berbeda dengan penjelasan Holzner dan Oetomo. Tunggalnya wacana seks

disebabkan karena media yang menjadi objek analisis kurang beragam.

Sama seperti minimnya kajian-kajian tentang maskulinitas di Indonesia,

kajian seksualitas yang memfokuskan pada remaja laki-laki juga relatif belum

banyak. Penelitian tentang seksualitas remaja yang ada lebih banyak menyoroti

seksualitas perempuan atau female sexuality. Misalnya penelitian Lyn Parker

(2014) yang berjudul The Moral Panic About The Socializing Of Young People In

Minangkabau. Di dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa seks dan pergaulan

bebas dianggap mengancam kesehatan moral kaum muda, terutama perempuan di

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

26

Sumatera Barat. Penelitian Handajani (2005) tentang majalah remaja putri yang

berjudul Globalizing Local Girls: The Representation of Adolescents in

Indonesian Female Teen Magazines juga membahas tentang konten seksualitas

sebagai salah satu bagian dari penelitiannya tersebut. Kedua penelitian tersebut

memiliki benang merah yang menjelaskan bahwa relasi perempuan dan seks

adalah negatif. Maksudnya adalah seks digambarkan sebagai hal terlarang bagi

perempuan. Misalnya Handajani menjelaskan bahwa deskripsi tentang seksualitas

perempuan dalam artikel majalah remaja putri banyak dipandu oleh pendekatan

moral. Parker juga menyebutkan bahwa moral panic tentang kebebasan seksual

menjadi ancaman yang serius bagi remaja perempuan.

Sementara itu Giety Tambunan (2006) membandingkan konstruksi female

sexuality dan male sexuality dalam penelitiannya tentang film Virgin dan Jomblo.

Dalam tulisannya yang berjudul The Representation of ‘The Holy Virgin’ in the

Urban Society Teenage Sexuality in Two Indonesian Movies: ‘Virgin’ and

‘Jomblo’, Tambunan menjelaskan standar ganda dalam hal virginitas laki-laki dan

perempuan. Bagi laki-laki derajat yang lebih tinggi ditujukan bagi mereka yang

aktif secara seksual dan menjalin hubungan dengan banyak perempuan,

Tambunan menyebutnya sebagai The Role Model. Sementara untuk perempuan

justru sebaliknya, perempuan yang aktif secara seksual dianggap sebagai

perempuan yang diposisikan sebagai The Whore atau pelacur. Penelitian ini

menunjukkan bagaimana seksualitas remaja laki-laki dan perempuan ditampilkan

secara berbeda di media. Sayangnya, penelitian ini tidak mengeksplor lebih lanjut

tentang faktor-faktor penyebab perbedaan tersebut.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

27

Richard Dyer (1993:89) mengatakan,“male sexuality is a bit like air-you

breathe it in all the time, but you are not aware of it all times.” Hal tersebut

mengindikasikan seksualitas remaja laki-laki relatif jarang dibicarakan karena

dianggap biasa dan tidak bermasalah. Baik seksualitas remaja laki-laki maupun

perempuan dijelaskan lewat perspektif laki-laki, sehingga menghasilkan

pemahaman yang berbeda tersebut. Seksualitas remaja perempuan dalam

perspektif laki-laki perlu untuk dikontrol. Media menjadi salah satu sarana untuk

menyaksikan bagaimana kontrol tersebut berlaku. Merujuk penjelasan Dyer

tersebut, bisa dipahami jika pada akhirnya kajian terhadap seksualitas remaja

perempuan lebih banyak dilakukan dibandingkan seksualitas remaja laki-laki.

Salah satu kajian tentang seksualitas remaja laki-laki dalam konteks

Indonesia pernah ditulis oleh Ben Murtagh (2011). Ia melakukan analisis pada

film, novel dan video klip yang menjadi soundtrack film Coklat Strawberry, yang

menjelaskan tentang fenomena homoseksual di kalangan remaja. Dalam

tulisannya yang berjudul Coklat Strawberry: Satu Roman Indonesia dalam Tiga

Rasa, Murtagh menemukan bahwa homoseksual dijelaskan ke dalam tiga media

tersebut secara berbeda. Dalam novelnya, kisah pasangan gay dijelaskan secara

lebih gamblang dan Murtagh melihat bagaimana kehidupan gay yang diceritakan

dalam novel tidak banyak berbeda dengan kultur gay yang ada di Indonesia.

Namun dalam filmya, Murtagh menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara

representasi realitas dan media massa tentang kehidupan gay di Indonesia. Dalam

film, gay diceritakan berasal dari kelas sosial atas, dan kultur gay yang

dimunculkan adalah kultur gay yang disebut Murtagh sebagai kultur gay global

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

28

yang berbeda dengan kultur gay lokal. Sementara dalam video klip lagu Di Sini

Untukmu yang dinyanyikan oleh Ungu yang menjadi soundtrack film Coklat

Strawberry justu tidak menceritakan bahwa film itu berkisah tentang cinta di

antara gay. Yang muncul adalah dalam video klip adalah kisah cinta straight,

antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan temuannya tersebut, Murtagh

menyimpulkan bahwa media-media di Indonesia menunjukkan sikap ambivalensi

dalam menjelaskan homoseksual. Tulisan Murtagh merupakan kontribusinya

dalam kajian tentang seksualitas remaja laki-laki di Indonesia. Namun kajian

seksualitas remaja laki-laki yang dianalisis hanya berfokus pada tema

homoseksual, sementara masih banyak tema-tema lain dalam ranah seksualitas

remaja laki-laki yang belum dieksplor.

Dari beberapa kajian akademis tentang maskulinitas di Indonesia, terlihat

bahwa penelitian komprehensif tentang dinamika wacana maskulinitas remaja

yang secara spesifik memfokuskan pada persoalan seksualitas dalam majalah

belum ada. Bagaimana persoalan maskulinitas dan seksualitas sebagai wacana

yang bergerak dan bergeser dari periode waktu yang berbeda dan

direpresentasikan dalam majalah merupakan tema yang belum pernah dibahas

secara mendalam. Penelitian ini bertujuan mengisi kekosongan tersebut, selain

juga untuk melengkapi kajian-kajian yang ada tentang maskulinitas di Indonesia.

1.5. Landasan Teori

1.5.1. Remaja Dan Maskulinitas

Persoalan remaja dan anak muda (youth) dalam kajian budaya telah

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

29

menempati posisi penting sejak diterbitkannya buku Resistance Through Rituals

karya Stuart Hall dan Tony Jefferson (1976). Anak muda tidak lagi didefinisikan

secara biologis sebagai sebuah posisi sosial tertentu akibat perkembangan usia

mereka, namun anak muda sendiri merupakan suatu konstruksi sosial yang

berubah, pada waktu dan kondisi tertentu (Parsons dalam Barker, 2009:338).

Menurut Hebdige, anak muda direpresentasikan dengan resistensi, misalnya lewat

hooligan sepak bola atau geng motor yang identik dengan kekerasan dan

penyimpangan; dan sebagai konsumen dari fashion, gaya, musik dan aktivitas

hiburan lainnya (Barker, 2009:341).

Perubahan wacana remaja yang dipahami secara taken for granted sebagai

masa transisi dari anak-anak menuju usia dewasa dimulai pada masa setelah

perang dunia antara tahun 1945-1955. Saat itu remaja dan anak muda lebih

dipahami sebagai kategori budaya yang ditandai dengan kecenderungan pada gaya

tertentu, selera pada musik dan keterlibatan mereka pada pola-pola konsumsi

(Bennet, 2001:7). Pada era inilah remaja dan anak muda menjadi target konsumsi.

Pasca perang dunia, ekonomi mengalami perkembangan yang membawa pada

pertumbuhan konsumerisme. Channey (1996) menjelaskan pada masa itu

konsumerisme lazim dilakukan siapa saja, termasuk remaja dan anak muda. Pihak

industri menyadari remaja dan anak muda adalah pasar potensial, sehingga

menjadikan mereka sebagai komoditas. Remaja dan anak muda akhirnya

diasosiasikan dengan aktivitas hiburan dan budaya popular.

Di Indonesia, anak muda yang identik dengan hiburan dan budaya popular

merupakan upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa Orde Baru. Pemerintah

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

30

sengaja membakukan istilah “remaja” untuk menjauhkan anak muda dari

persoalan politik. Anak muda yang sebelumnya disebut “pemuda” memiliki

konotasi politis yang berarti aktivis atau pejuang. Ben Anderson (2006) menyebut

istilah “pemuda” di era pemerintahan Sukarno mengacu pada istilah pejuang yang

melawan kolonialisasi. Pemuda menghabiskan waktu mengikuti organisasi

pemuda, mahasiswa dan partai politik. Di era Orde Baru, makna “pemuda”

bergeser menjadi sekelompok anak muda yang menyelesaikan persoalan tanpa

mengindahkan hukum yang berlaku (main hakim sendiri), melakukan kekerasan,

dan merupakan urban terrorist (Taylor, 2003:376).

Penggunaan istilah “remaja” membawa konsekuensi pada konotasi anak

muda apolitis dengan gaya hidup di luar persoalan-persoalan sosial dan politik,

seperti fashion atau musik (Siegel, 1986:224). Pertumbuhan ekonomi tahun

1970an ikut mendorong proses tersebut sehingga menciptakan gaya hidup baru

bagi anak muda Indonesia. Keberadaan remaja tidak lagi diperhitungkan oleh

pemerintah karena ruang lingkup mereka yang terbatas pada dua domain yang

menjauhkan mereka dari kekuasaan pemerintah, yaitu domain resmi yang

diarahkan oleh orang tua mereka, dan domain tidak resmi yang merupakan

wahana ekspresi mereka sebagaimana terlihat dalam budaya popular, seperti lagu

pop, atau film (Shiraisi, 2009:252-253).

Sebagai kelas sosial yang apolitis dan konsumtif, tidak mengherankan jika

remaja memiliki media habit yang tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa remaja

usia 8-18 tahun menghabiskan waktu hampir 8,5 jam dalam sehari untuk

mengkonsumsi media. Mulai usia 8 tahun, remaja meluangkan waktunya sekitar

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

31

4,5 jam untuk menatap layar media, seperti TV, DVD, atau film, sementara

sisanya untuk mengkonsumsi media audio, media cetak, video games, dan

komputer (Kirsh, 2010:13). Berdasarkan data tersebut, media massa menjadi salah

satu sarana dalam proses identifikasi peran, performance, dan identitas kelas-kelas

dalam masyarakat, baik berdasarkan gender, etnis maupun usia. Media massa

memperkuat konstruksi identitas dan peran yang disosialisasikan oleh orang tua

dan guru. Misalnya, laki-laki maskulin adalah laki-laki heteroseksual. Media

menekankan role model menjadi laki-laki heteroseksual yang mendorong para

remaja untuk menjadi demikian.

Maskulinitas oleh Connell (2000:29) didefinisikan sebagai bentuk praktik

gender yang merupakan konstruksi sosial. Maskulinitas mengacu pada tubuh laki-

laki secara langsung maupun simbolis yang bukan ditentukan oleh biologis laki-

laki. Bagi Connell (2005:71), maskulinitas dipahami dalam arena reproduktif

untuk menjelaskan bahwa tubuh bukanlah sesuatu yang tetap dan ditentukan

secara biologis, namun melewati suatu proses historis. Maskulinitas diletakkan

pada relasi gender, yaitu praktik yang melibatkan laki-laki dan perempuan dan

berimplikasi pada pengalaman jasmaniah, sifat, dan kultur. Morgan (dalam

Beynon, 2002:7) menjelaskan “what is masculinity is what men and women do

rather than what they are”, maskulinitas adalah apa yang dilakukan laki-laki dan

perempuan. Sebagai konstruksi, maskulinitas bukan hanya milik laki-laki, namun

bisa juga dilekatkan pada perempuan.

Laki-laki dan maskulinitas seolah-olah saling terkait. Hal tersebut tidak

lepas dari anggapan bahwa keduanya dipengaruhi oleh asumsi-asumsi biologis

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

32

sebagai standar menjadi laki-laki. Laki-laki normal, yaitu laki-laki agresif, aktif

secara seksual, atau rasional merupakan sesuatu yang natural. Lionel Tiger (2005)

dalam bukunya yang cukup fenomenal Men in Groups menawarkan teori

maskulinitas yang berbasis pada ide bahwa laki-laki berasal dari spesies pemburu.

Tubuh laki-laki merupakan pembawa maskulinitas natural yang diproduksi oleh

proses evolusi, sehingga laki-laki mewarisi gen-gen maskulinitas, yaitu

kecenderungan laki-laki yang agresif, ataupun kompetitif. Akibatnya, jika laki-

laki tidak punya karakteristik tertentu, dia dianggap bukan laki-laki yang

sesungguhnya. Laki-laki homoseksual dianggap bukan “the real man” karena

memiliki penyimpangan hormonal-hormonal tertentu yang membuatnya berbeda

dari laki-laki yang dianggap normal.

Pemahaman ini bertentangan dengan maskulinitas berdasarkan pendekatan

budaya bahwa laki-laki dan maskulinitas bukan suatu konsep universal dan tidak

terikat waktu (Brittan, 1989:1). Maskulinitas adalah konstruksi budaya, historis

dan geografis. Hal tersebut berimplikasi pada kompleksnya definisi maskulinitas.

Menurut Kimmell (2005:25), maskulinitas adalah sekumpulan makna yang selalu

berubah tentang hal-hal yang berhubungan dengan laki-laki (manhood) sehingga

memiliki definisi berbeda pada setiap orang dan waktu yang berbeda.

Definisi tersebut ditentukan oleh referensi tertentu yang diterima dan

dipercaya individu di waktu tertentu. Dalam kultur yang didominasi oleh norma

heteroseksualitas, laki-laki didefinisikan sebagai individu yang memiliki orientasi

seksual kepada perempuan. Ia menerima konstruksi tersebut agar ia diterima oleh

pihak lain di sekitarnya. Namun, kepercayaan ini tidak mutlak dan berlangsung

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

33

sepanjang jaman. Pengaruh berbagai ideologi dan wacana tidak terelakkan dan hal

tersebut bisa memodifikasi kepercayaan akan norma heteroseksualitas.

Dengan demikian tak ada definisi maskulinitas yang universal bahkan

orisinal (Reeser, 2010:18). Jika bodybuilder menyebut Arnold Schwarzenegger,

seorang aktor film action, sebagai ikon laki-laki maskulin, maka mereka menjadi

duplikat Schwarzenegger dengan menampilkan otot-otot tubuhnya layaknya

Schwarzenegger. Schwarzenegger sendiri mungkin duplikat laki-laki lain,

Hercules dalam mitologi Yunani kuno misalnya. Antara Schwarzenegger, para

bodybuilder, atau Hercules adalah berbeda dari bentuk yang “orisinal”.

Maskulinitas yang ditampilkan adalah hybrid. Selalu ada reproduksi maskulinitas

di mana satu bentuk tertentu dimodifikasi menjadi bentuk-bentuk lain. Tubuh ala

Schwarzenegger direproduksi di Indonesia menjadi tubuh berotot seperti Ade Rai

misalnya, sebagai ikon bodybuilder Indonesia.

Variasi konstruksi memunculkan maskulinitas plural seiring pluralnya

masyarakat yang terbagi dalam beberapa dimensi, seperti ras, etnis, agama, kelas

sosial, usia, status, tingkat pendidikan dan sebagainya. Akibatnya, relasi antara

masing-masing tipe maskulinitas menjadi kompleks. Untuk itu, Connell (2005:77-

79) membagi pola maskulinitas berdasarkan praktik dan relasi antar tipe-tipe

maskulinitas tersebut, yaitu hegemonic dan subordinated masculinity.

Hegemonic masculinity mengacu pada konstruksi maskulinitas yang

dibangun oleh kultur yang berkuasa. Pola ini menjadi legitimasi dalam kultur

patriarki yang menjamin posisi dominan laki-laki atas perempuan. Saat rezim

berganti, rezim baru mengkonstruksi hegemoni baru. Ketika rezim militer

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

34

berkuasa, maskulinitas ala militer menjadi hegemonik. Runtuhnya rezim militer

yang digantikan rezim industri, membuat maskulinitas baru muncul seiring

dengan kepentingan kelompok industri, yaitu maskulinitas ala metroseksual.

Subordinated masculinity sebagai oposisi merepresentasikan laki-laki yang

tersubordinasi dalam masyarakat. Misalnya gay yang terdiskriminasi dan

tereksklusi secara politik, hukum, dan ekonomi.

Dinamika maskulinitas di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari relasi

antara hegemonic dan subordinated masculinity. Hegemonic masculinity adalah

sekelompok orang yang menjalankan kepemimpinan patriarki dan diwakili oleh

figur “bapak”. “Bapak” adalah simbol laki-laki yang memiliki kekuasaan atas

perempuan dan anak-anaknya. Dalam politik Orde Baru, “bapak” menguasai

pengikut-pengikut loyalnya yang disebut dengan anak buah, model relasi tersebut

lalu diistilahkan dengan bapakism (Pye dan Pye, 1985:306). Bapakism merupakan

sosok priyayi Jawa kelas atas menjadi sosok maskulin ideal. Suharto menasbihkan

diri sebagai figur “bapak” dengan menyebut dirinya sebagai “bapak

pembangunan”. Ia tidak hanya memiliki kekuasaan penuh atas anak-anak dan

istrinya atau laki-laki yang berada di bawah dominasinya, namun juga berkuasa di

sektor bisnis, dan juga negara. Suharto kembali menanamkan hegemoni bahwa

kekuasaan yang dimilikinya adalah semata-mata sebagai kodrat dari Tuhan yang

tidak bisa dipertanyakan (Clark, 2004:118). Sikapnya yang tenang dan berwibawa

menunjukkan kualitas akal atau logika rasional atas nafsu. Karakter ini menjadi

referensi laki-laki ideal yang berlawanan dengan karakter pemuda dengan

gerakannya yang lebih didorong oleh nafsu daripada logika (Nilan et. al., 2009a).

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

35

Hegemonic masculinity dalam kultur Indonesia menekankan pada sikap dan

kewibawaan di dalam diri, disebut Nilan sebagai moral/personal self regulation,

yang berbeda dengan konsep hegemonic masculinity ala barat yang menekankan

pada aspek-aspek fisik atau corporeal self regulation (Nilan et. al., 2007:10).

Handajani (2010:78) menyebutkan kelompok anak muda, seperti

mahasiswa, elit dan kelas menengah, yang memiliki ikatan dan kepentingan yang

sama, yaitu untuk melawan opresi patriarki sebagai subordinated masculinity.

Kelompok ini disebut sebagai pemuda. Gerakan pemuda dimulai sejak Sumpah

Pemuda tahun 1928. Sejak itu gerakan dan organisasi kepemudaan bergerak

dalam ranah sosial dan politik dan berkaitan dengan nasionalisme dalam rangka

mewujudkan kemerdekaan dan perubahan kehidupan negara yang lebih baik.

Gerakan tersebut terus berkembang hingga era pemerintahan Sukarno, sempat

terhenti di era Orde Baru akibat represi dari pemerintahan Suharto, lalu muncul

lagi tahun 1998 menumbangkan era Orde Baru.

Contoh lainnya adalah gay dan remaja. Jika figur “bapak” sebagai

hegemonic masculinity menunjukkan maskulinitas yang didefinisikan dalam

kerangka heteronormativitas dan seksualitas prokreatif, maka subordinated

masculinity berada di luar itu. Remaja laki-laki dianggap aseksual karena belum

terikat perkawinan. Seksualitas prokreatif hanya mengakui seksualitas dalam

hubungan perkawinan. Program KB Lestari menjadi upaya negara untuk

meregulasi seksualitas warga negara yang memberi implikasi bagi laki-laki dan

perempuan yang menikah. Menurut Sushartami (2010:149), program ini

menempatkan perempuan lajang bukan sebagai “real women” atau perempuan

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

36

yang sesungguhnya. Hal yang sama juga berlaku bagi laki-laki lajang. Remaja

laki-laki atau laki-laki lajang menjadi kategori yang tidak dikenal secara seksual

oleh negara. Mereka lalu mencari ruang untuk mengidentifikasi makna-makna

seksual yang relevan bagi mereka, antara lain lewat media massa.

1.5.2. Wacana Seksualitas Laki-Laki: Konstruksi Sosial Atas Seksualitas dan

Maskulinitas

Maskulinitas sebagai kategori gender dikaitkan dengan perkembangan

seksual laki-laki. Seksualitas merupakan relasi laki-laki terhadap perempuan.

Relasi tersebut tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik, namun juga

merupakan sebuah tindakan yang melibatkan kesenangan, sensasi, keintiman, rasa

cinta, saling menjaga dan ketergantungan (Sprecher dan McKinney dalam

Pearson, West dan Turner, 1995:8). Sebagai tindakan yang melibatkan relasi antar

jenis kelamin, seksualitas mengatur peran seksual antara laki-laki dan perempuan.

Misalnya laki-laki berada pada pihak yang ekspresif dalam menampilkan

seksualitasnya, sementara perempuan justru seksualitasnya dikontrol dan dibatasi

(Pearson, West, dan Turner, 1995:9).

Seperti maskulinitas, seksualitas merupakan konstruksi sosial. Hal tersebut

dijelaskan oleh Kimmel (2005:141) sebagai berikut, “That we are sexual is

determined by a biological imperative towards reproduction, but how we are

sexual-where, when, how often, with whom and why-has to do with cultural

learning, with meaning transmitted in cultural setting”. Penjelasan Kimmel

tersebut menekankan bahwa seksualitas bukan semata-mata dorongan biologis,

namun lebih ditentukan oleh proses sosialisasi yang spesifik pada waktu dan

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

37

kultur tertentu. Hal itu menyebabkan seksualitas menjadi cair dan selalu berubah

dari waktu ke waktu.

Seksualitas ditentukan oleh gender. Bagi laki-laki, maskulinitas atau

definisi budaya atas manhood menentukan konstruksi seksualitas. Lewat

pemahaman maskulinitas, seksualitas dikonstruksi. Melalui seksualitas identitas

gender seseorang dikonfirmasi. Gender mengkonfirmasi seksualitas dan

seksualitas menginformasikan gender. Sebagai konstruksi, seksualitas dibentuk

dan diproduksi di dalam wacana. Wacana menurut Foucault adalah “a group of

statements which provide a language for talking about—a way of representing

knowledge about—a particular topic at a praticular historical moment” (dalam

Hall, 1997:44). Inti dari pernyataan Foucault tersebut adalah bahwa wacana terdiri

dari pernyataan-pernyataan yang menjelaskan hal-hal tertentu pada periode waktu

tertentu. Persoalan relasi kekuasaan terjadi saat wacana dibentuk. Adanya

dominasi dan kontrol menyebabkan tidak ada definisi tetap untuk menjawab apa

dan bagaimana seksualitas. Wacana tidak pernah stabil dan bersifat situasional.

Wacana tentang seksualitas dipengaruhi oleh siapa yang berkuasa pada ruang dan

waktu tertentu. Dalam penjelasannya tentang power/knowledge, Foucault

menyebutkan relasi antara power dan knowledge dalam masyarakat moderen.

Knowledge tidak hanya merupakan bentuk dari power, namun power juga terlibat

pada bagaimana knowledge diberlakukan (Hall, 2002:48-49).

Penjelasan di atas menggarisbawahi bahwa wacana seksualitas dibentuk

lewat seperangkat aturan yang menentukan praktik wacana tersebut. Pada titik

inilah beroperasi proses inklusi dan eksklusi. Wacana seksualitas berelasi dengan

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

38

sistem yang menempatkan apa yang dianggap patut dan tidak, benar dan salah,

normal atau menyimpang yang didefinisikan lewat makna-makna yang beroperasi

di dalamnya.

Wacana seksualitas beroperasi dalam sistem norma heteroseksual dan

kultur patriarki yang mengklasifikasikan secara tegas laki-laki dan perempuan

dalam relasi tertentu. Norma ini meletakkan laki-laki dan maskulinitas sebagai

sentral kekuasaan serta mengatur hubungan seksual yang melibatkan jenis

kelamin yang berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan. Yang dianggap normal

adalah laki-laki maskulin. Sementara homoseksual atau hubungan seksual yang

melibatkan jenis kelamin yang sama, laki-laki dengan laki-laki atau perempuan

dengan perempuan dianggap sebagai orientasi seksual yang tidak normal. Laki-

laki homoseksual adalah laki-laki lemah yang tidak normal sehingga

dieksklusikan dan diberi label tidak maskulin.

Beroperasinya rezim wacana atas seksualitas memunculkan apa yang

disebut oleh Ken Plummer (2005) sebagai hegemonic male sexuality. Apa dan

bagaimana laki-laki ditentukan oleh penis baik secara fisik maupun simbolis.

Penis bukan semata-mata ciri biologis laki-laki, namun merupakan simbol atas

kekuatan dan dominasi laki-laki. Beberapa persoalan yang ditimbulkan oleh penis,

seperti ukuran atau kemampuan dan ketahanan untuk ereksi menjadi standar

seksualitas laki-laki.

Berdasarkan pandangan hegemonik, laki-laki aktif secara seksual. Sistem

patriarki yang melegalkan praktik dominasi laki-laki atas perempuan

mengakibatkan relasi yang timpang, termasuk perbedaan peran seksual yang tidak

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

39

setara. Laki-laki berperan sebagai pelaku dan perempuan sebagai gatekeeper.

Ketidaksetaraan peran seksual menghasilkan konstruksi bahwa laki-laki lebih

seksual daripada perempuan. Laki-laki meningkatkan perilaku seksualnya untuk

menunjukkan kelaki-lakiannya, sementara perempuan harus mengontrol perasaan

seksualnya agar tak dianggap hina (Kimmel, 2005:5). Hal itu membenarkan laki-

laki sebagai konsumen aktivitas seks, seperti pornografi, striptease, prostitusi dan

sebagainya. (Plummer, 2005:179).

David Leverenz (1991) menjelaskan bahwa “ideologies of manhood have

functioned primarily in relation to the gaze of male peers and male authority”

(dalam Kimmel, 2005:33). Seksualitas laki-laki juga berdasarkan pada pengakuan

laki-laki lain atas kelaki-lakiannya. Kelaki-lakian atau manhood ditunjukkan

lewat persetujuan laki-laki lain (homosocial enactment), bukan dari perempuan

karena dianggap memiliki posisi lebih rendah. Hal ini mendorong kompetisi di

antara laki-laki.

Jika maskulinitas merupakan homosocial enactment, maka yang terjadi

kemudian adalah ketakutan terhadap laki-laki lain atau homophobia. Homophobia

merupakan ketakutan bahwa laki-laki lain akan membuka kedoknya,

melemahkan, dan mengungkapkan bahwa ia bukanlah laki-laki sejati(Leverenz

dalam Kimmel, 2005:35). Homophobia berarti laki-laki takut dianggap gay,

sehingga mereka selalu menunjukkan ketertarikan seksual dan perilaku seksual

mereka pada perempuan.

Di luar wacana hegemonik, terdapat kondisi ketika laki-laki

mempraktikkan tindakan menyimpang dan memunculkan crisis of masculinity,

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

40

yaitu kondisi di mana laki-laki merasa terancam dengan maskulinitasnya (Payne

dalam Christy, 2011:3). Laki-laki merasa tidak menjadi laki-laki seutuhnya karena

berbeda dengan role model-nya. Ini adalah efek penerimaan ideologi maskulin

yang menjustifikasi dan menaturalkan dominasi laki-laki (Brittan, 1989:4)

sehingga mengeksklusikan laki-laki yang kehilangan dominasinya, termasuk

dominasi secara seksual.

1.5.3. Maskulinitas dan Seksualitas Hegemonik dalam Majalah Gaya Hidup

Laki-Laki

Bethan Benwell (2003:7) menjelaskan adanya hubungan yang intim dan

sarat kuasa antara maskulinitas dan budaya populer. Majalah gaya hidup laki-laki

adalah bagian dari budaya populer yang merepresentasikan maskulinitas dan

menjadi situs sirkulasi, negosiasi, dan kontestasi makna-makna tentang

maskulinitas. Hal tersebut relevan dengan penjelasan Du Gay et. al. (2001:11)

bahwa media-dalam hal ini adalah majalah gaya hidup laki-laki-adalah artefak

budaya yang menunjukkan praktik-praktik sosial. Dengan demikian, materi dalam

majalah gaya hidup laki-laki menjadi referensi bagaimana maskulinitas dan

seksualitas laki-laki dipahami dan dipraktikkan.

Connell (1987, 2005) menyebutkan bahwa tidak ada maskulinitas

hegemonik yang tunggal. Dengan demikian, representasi maskulinitas, termasuk

seksualitas laki-laki dalam majalah gaya hidup laki-laki tidak pernah seragam.

Gagasan tentang laki-laki, mencakup penampilan fisik, karakter, hobi, dan relasi

dengan perempuan dan laki-laki lain, ditampilkan secara dinamis.

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

41

Majalah gaya hidup laki-laki muncul pertama kali di Inggris pada tahun

1935 dengan nama Men Only. Dalam editorial salah satu edisi majalah tersebut

dituliskan, “We don’t want women readers. We won’t have women reader. It

sought bright articles on current male topics”7

. Majalah ini sejak awal

membedakan produknya dari majalah-majalah perempuan yang sudah lebih dulu

ada. Kontennya didominasi artikel bertopik maskulinitas heroik dan lukisan

berwarna yang menggambarkan perempuan telanjang. Pada perkembangan

selanjutnya, majalah ini mempertahankan foto-foto nudis, yang diikuti majalah

Playboy di Amerika tahun 1953. Barbara Einrich (dalam Gill, 2007:206)

menyebutkan bahwa kedua majalah tersebut bukan sekedar menjual tubuh

perempuan, namun juga sebagai peneguhan identitas laki-laki heteroseksual.

Tahun 1950an merupakan tahun-tahun pasca perang dunia dan menjadi

dekade yang menandai hubungan yang erat antara maskulinitas dan

konsumerisme (Gill, 2007:206). Kapitalisme pasca perang dunia merubah

logikanya lewat produksi berbagai kebutuhan dengan menciptakan pencitraan-

pencitraan yang dikemas sedemikian rupa. Logika ini melahirkan industri-industri

barang dan jasa baru yang dipromosikan lewat iklan-iklan. Bujukan-bujukan iklan

melahirkan konsumerisme. Fenomena ini juga melanda laki-laki yang diwujudkan

lewat pencitraan-pencitraan dalam majalah gaya hidup. Majalah Playboy

misalnya, disebut Einrich sebagai kitab suci laki-laki yang individualis, hedonis,

dan konsumtif. Laki-laki ini lahir dari perpecahan kelas yang dimunculkan

7Dalam Men’s Magazines: An A to Z,

http://www.magforum.com/mens/mensmagazinesatoz8.htm#333.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

42

kapitalisme. Mereka memberontak peran konservatif laki-laki sebagai pencari

nafkah dan pemimpin keluarga (Gill, 2007:206).

Majalah gaya hidup laki-laki semakin banyak bermunculan pada tahun

1980an. Sebut saja GC, Arena, i-D, Blitz, The Face dan sebagainya. Majalah-

majalah ini dikenal sebagai style magazine, yaitu majalah yang memfokuskan

pada gaya berbusana dan produk-produk untuk tubuh. Kehadiran majalah-majalah

ini berpengaruh pada dua hal (Gill, 2007:207): pertama, laki-laki menjadi target

baru bagi produk-produk fashion dan kosmetik. Pada periode sebelumnya, produk

fashion dan kosmetik identik dengan perempuan. Munculnya majalah-majalah ini

menunjukkan bahwa laki-laki menjadi pasar potensial bagi produk-produk

tersebut. Kedua, majalah-majalah tersebut menghadirkan representasi

maskulinitas yang baru. Beynon (2002) menyebut maskulinitas baru sebagai laki-

laki baru (new man).

Laki-laki baru merujuk pada laki-laki di era 1980an yang merupakan

perkembangan dari maskulinitas era sebelumnya yang menjauh dari atribut-atribut

maskulinitas tradisional dan patriarki (Beynon, 2002:99). Laki-laki baru

merupakan laki-laki pengayom (nurturer) dan laki-laki pemuja dirinya

(narcissist). Laki-laki pengayom muncul sekitar tahun 1970-1980an sebagai

respon atas gerakan feminisme yang memperjuangan kesadaran untuk menjadi

laki-laki yang lebih perhatian, mengayomi, dan bersedia berbagi di arena

domestik. Laki-laki pendukung gerakan ini berasal dari kelompok menengah ke

atas, berpendidikan tinggi dan intelek.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

43

Laki-laki pemuja dirinya berkembang seiring budaya konsumerisme yang

muncul sejak akhir Perang Dunia II. Generasi hippies di tahun 1950-1960an yang

identik dengan fashion dan musik menjadi awal berkembangnya budaya narsistik

di kalangan laki-laki. Posisi perempuan sebagai objek tatapan disaingi oleh laki-

laki. Laki-laki yang ditatap oleh perempuan atau juga oleh laki-laki lainnya mulai

diterima secara sosial. Artinya laki-laki menjadi objek seksual dan komersial.

Sean Nixon (dalam Beynon, 2002:103) menyebutkan tiga faktor yang mendorong

hal tersebut, yaitu menjamurnya outlet fashion untuk laki-laki, munculnya

representasi visual laki-laki dalam iklan dan televisi, serta berkembangnya style

magazine untuk laki-laki.

Konsep laki-laki baru mulai mendapatkan resistensi di tahun 1990an

dengan munculnya representasi laki-laki yang lain yang dikenal sebagai new lad

atau laddish masculinity. Laddish masculinity mengacu pada laki-laki yang

berperilaku buruk dan tidak peduli pada kecaman orang lain atas perilaku mereka.

Munculnya model maskulinitas ini merupakan reaksi atas laki-laki yang narsistik

dan eksploitasi media terhadap laki-laki, juga pada perempuan yang semakin

asertif. Tipikal laki-laki laddish berakar pada musik pop dan sepak bola yang

identik dengan sifat laki-laki yang keras, kasar, dan macho. Laddish masculinity

mengembalikan laki-laki pada konsep homososialitas, di mana laki-laki banyak

menghabiskan waktu luang bersama teman-temannya untuk bersenang-senang

dengan menonton pertandingan bola atau musik, menenggak bir dan bersikap

serta berperilaku yang merendahkan perempuan.

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

44

Walaupun mengkritik komodifikasi laki-laki narsistik, bukan berarti laki-

laki laddish terbebas dari komersialisasi. Laki-laki tipe ini juga menjadi label

konsumerisme dengan tampilan yang macho, tak lepas dari bola dan musik serta

minuman keras, obat terlarang dan perempuan dalam konteks pornografi (Beynon,

2002:118). Bentuk komersialisasi ini yang lalu tampak pada kemunculan majalah

gaya hidup laki-laki di tahun 1990an, seperti Loaded, FHM, dan Maxim.

Majalah-majalah yang disebut sebagai lads mags atau “new men’s lifestyle

magazines” (Stevenson et. al, 2000) menolak konsep new man. Editorial Loaded

edisi Juli 1995 memuat tulisan, “grooming is for horses”, sebuah serangan

terhadap ide narsisitik yang ditawarkan new man (Gill, 2007:210). Selain itu lad

mags menganggap konsep new man sebagai gagasan yang tidak otentik. Laki-laki

ditampilkan bak objek pemasaran produk untuk menarik perhatian perempuan.

Gagasan ini dianggap menduplikasi gagasan perempuan sebagai bagian strategi

pemasaran produk-produk fashion dan kecantikan, sementara konsep lad justru

lebih jujur, terbuka dan otentik (Gill, 2007:211).

Selain melawan konsep new man, majalah-majalah lad juga dipahami

sebagai bentuk reaksi atas feminisme. Gill (2007:211) menyebut bahwa laki-laki

dalam majalah-majalah lad berperspektif misoginis dan bersikap layaknya

predator terhadap perempuan. Imelda Whelehan (dalam Gauntlett, 2002:166)

menyatakan bahwa majalah-majalah lad telah mengesampingkan pesan-pesan

feminis, menjadikan perempuan sebagai objek seksual, mengabaikan perubahan-

perubahan peran gender yang terjadi, bahkan mengemasnya menjadi sebuah

lelucon. Dalam hal perubahan peran gender di mana perempuan dapat

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

45

menjalankan perannya di ranah maskulin, majalah-majalah lad menyatakan

bahwa peran-laki-laki justru semakin maskulin.

Perlawanan-perlawanan tersebut menggambarkan upaya majalah-majalah

lad untuk kembali pada konstruksi laki-laki konservatif. Hal tersebut ditunjukkan

lewat kembalinya performa fisik laki-laki yang berotot sebagai penampilan laki-

laki ideal. Meski demikian, majalah-majalah lad justru menunjukkan beberapa

ambivalensi. Misalnya, di satu sisi majalah-majalah lad mengakomodasi gagasan-

gagasan gender progresif, namun tetap berupaya untuk kembali pada dominasi

laki-laki atas perempuan (Stevenson et. al, 2000; Benwell, 2003). Contoh lainnya

adalah dalam hal berelasi dengan perempuan dan laki-laki lainnya. Stevenson et.

al (2000:373) mengutip Sean O‟Hogan, seorang jurnalis, menjelaskan ketika new

lad berhubungan dengan perempuan, maka ia terinspirasi pada gagasan nurturer

yang dipahami dalam konsep new man. Namun ketika berelasi dengan laki-laki

lain, maka ia kembali menjadi new lad yang menekankan homososialitas.

Majalah-majalah lad banyak menggunakan lelucon atau kalimat humoris,

bahkan untuk topik-topik serius. Stevenson et. al (2000) melihatnya sebagai upaya

untuk mengajak pembaca agar tak terlalu serius merespon hal-hal penting. Fokus

pada lelucon dan humor membawa ambivalensi lain. Benwall (2003) mengatakan

bahwa ketika menjelaskan sesuatu yang sifatnya heroik, dengan gaya bahasa yang

humoris malah justru menunjukkan bahwa majalah-majalah ini adalah anti-heroik.

Pemaparan di atas menggarisbawahi beragamnya konstruksi maskulinitas

dan seksualitas laki-laki dalam majalah gaya hidup laki-laki. Munculnya konsep

baru tidak serta merta menghilangkan konsep lama. Meski beragam, konstruksi

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

46

tentang laki-laki berada dalam kerangka norma heteronormatif. Maskulinitas dan

seksualitas laki-laki juga tetap setia pada budaya patriarki yang mengakui

superioritas laki-laki.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis sebagai pisau

analisis. Analisis teks dilakukan pada artikel dan rubrik seksualitas majalah Hai

yang terbit pada periode Orde Baru dan pasca Orde Baru untuk melihat wacana

seksualitas remaja laki-laki. Fairclough (2000) menyebut wacana meliputi

penggunaan bahasa dalam bentuk tulisan dan verbal, juga aktivitas semiotik, yang

meliputi citra visual dan bentuk-bentuk komunikasi nonverbal. Ia mengemukakan

tiga dimensi analisis: teks, sebagai rekaman peristiwa dan berfungsi

mengkomunikasikan fakta tertentu; praktik diskursif, tentang proses produksi dan

konsumsi teks; dan praktik sosiokultural yang melihat teks sebagai bagian dari

praktik sosial dan budaya tertentu.

Penelitian ini melihat bagaimana seksualitas remaja laki-laki dipahami dan

dipraktikkan dalam konteks budaya dan masyarakat yang dipengaruhi sistem

sosial, politik, dan budaya yang berlaku pada periode tertentu. Wacana seksualitas

remaja laki-laki adalah teks yang berkaitan dengan praktik diskursif, dalam hal ini

bagaimana pemahaman ideologi gender redaksi majalah Hai; dan praktik

sosiokultural, yaitu konteks sosial, politik, dan budaya pada saat artikel-artikel

tersebut diproduksi.

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

47

1.6.2. Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian ini adalah artikel dan rubrik seksualitas majalah

Hai yang terbit tahun 1995-2004 sebagai periode transisi Orde Baru ke pasca

Orde Baru. Pada periode ini pula terjadi perkembangan teknologi media dan

komunikasi yang cepat serta berlangsungnya proses Islamisasi. Rentang waktu

tersebutdapat menggambarkan dinamika wacana seksualitas remaja laki-laki.

Topik yang diteliti meliputi seks, identitas dan peran gender, orientasi seksual,

erotisisme, kenikmatan, kemesraan, dan reproduksi. Artikel dan rubrik yang

diteliti berjumlah 52 judul.

Majalah Hai mulai berani menyebut istilah “seks” pada artikel dan rubrik

bertema seksualitas di bulan Februari 1996 untuk menggantikan istilah “Pergaulan

Sehat” di edisi-edisi sebelumnya. Adanya pemahaman peneliti bahwa sebuah

perubahan bukanlah sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, mendorong peneliti

memutuskan untuk meneliti artikel dan rubrik seksualitas dalam majalah Hai yang

terbit pada tahun 1995 hingga 2004. Rentang waktu 10 tahun dianggap oleh

peneliti sudah cukup menggambarkan dinamika diskusi seksualitas selama

periode transisi.

1.6.3. Teknik Analisis Data

Dengan melihat bahasa sebagai wacana dan praktik sosial, maka analisis

tidak hanya dilakukan terhadap teks, namun juga terhadap relasi antara teks,

proses dan kondisi sosialnya, baik kondisi konteks situasional maupun kondisi

struktur institusional dan sosial yang lebih luas (Fairclough; 2001:21). Dalam

Page 48: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

48

menganalisis dinamika wacana seksualitas laki-laki majalah Hai dilakukan tahap-

tahap berikut:

1. Tahap deskripsi menitikberatkan pada identifikasi properti formal teks. Bahasa

tidak semata-mata mengkomunikasikan pesan, namun juga membawa makna

tertentu. Makna-makna itulah yang akan digali sehingga ditemukan dinamika

wacana seksualitas laki-laki tersebut. Langkah-langkahnya adalah:

a. Mengumpulkan artikel dan rubrik yang membahas topik-topik seksualitas.

b. Melakukan kategorisasi tema, antara lain perilaku seksual (seperti pacaran

dan penyimpangan seksual), seks bebas, atau orientasi seksual

(homoseksual).

c. Data yang terkumpul dianalisis dengan memfokuskan pada kata-kata,

diksi, metafora, struktur kalimat, paradoksalitas, dan gaya bahasa.

2. Tahap interpretasi menitikberatkan relasi antara teks dan interaksi atau melihat

teks sebagai produk dari proses produksi dan sumber dari proses interpretasi,

peneliti melakukan analisis untuk melihat tujuan mengapa teks tertentu dipilih

untuk ditampilkan. Untuk itu intertekstualitas dan interdiskursivitas menjadi

perhatian. Misalnya analisis terhadap kebijakan-kebijakan redaksional majalah

Hai untuk melihat relasi antara ideologi gender redaksi majalah Hai dengan

produksi wacanaseksualitas laki-laki dalam artikel-artikel majalah Hai.

3. Tahap eksplanasi menitikberatkan relasi teks dan konteks sosial, dilakukan

analisis terhadap praktik sosial untuk melihat konteks sosiokultural yang

melatarbelakangi produksi teks seksualitas dalam majalah Hai. Misalnya

Page 49: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

49

analisis terhadap kebijakan pemerintah, tren media, atau isu-isu sosial yang

terjadi saat produksi teks.

1.7. Sistematika Penulisan Disertasi

Penulisan disertasi ini disusun berdasarkan sistematika penulisan berikut:

Bab I. Pendahuluan

Pada bab ini dijelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan metode penelitian.

Bab II. Kompleksitas Wacana Seksualitas Laki-Laki di Indonesia

Bab ini memaparkan konteks penelitian ini, yaitu bagaimana wacana

seksualitas laki-laki di Indonesia. Wacana tersebut dipengaruhi oleh pergantian

rezim politik yang berimplikasi pada perubahan ideologi gender, perkembangan

teknologi komunikasi dan informasi, serta Islamisasi.

Bab III. Memasarkan Seks Untuk Remaja Ala Majalah Hai

Di bab III dijelaskan tentang majalah Hai yang menjadi objek penelitian

ini. Pembahasan tentang majalah Hai meliputi: identitas Hai dan potensi pasar

remaja laki-laki, membayangkan remaja anti kemapanan, konten seks untuk

remaja sebagai konten edukatif yang menghibur, dan pasang surut rubrik dan

artikel seksualitas.

Bab IV. Ambivalensi Wacana Seksualitas Remaja Laki-Laki: Antara

Konservatisme dan Liberalisme Seksual

Bab IV menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu tentang

wacana seksualitas remaja laki-laki yang dibangun oleh majalah Hai. Hai

mempraktekkan berlakunya wacana seksualitas remaja laki-laki yang ambivalen

Page 50: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/98004/potongan/S3-2016... · PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... Seksualitas, bukan hanya persoalan

50

dan berada di antara konservatisme dan liberalisme seksual. Penjelasan atas hal

tersebut dibagi dalam empat tema: wacana seks “jalan tengah”, politik kenikmatan

seksual, perbedaan gender dalam praktik seksual, dan promosi anti-homoseksual.

Bab V. Politik Seksual Majalah Hai

Bab V berisi penjelasan tentang hal-hal yang mempengaruhi Hai dalam

memproduksi wacana seksualitas remaja laki-laki, yaituisu-isu tentang kontrol,

emansipasi dan medis dalam konten seksualitas, serta praktek komodifikasi seks.

Bab VI. Kesimpulan

Bab ini menyampaikan gagasan peneliti atas penelitian yang telah

dilakukan, berikut hal-hal yang belum dieksplorasi untuk dilakukan pada

penelitian berikutnya.