Page 1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Maskulinitas merupakan konsep tentang peran sosial, perilaku dan makna-
makna tertentu yang dilekatkan pada laki-laki di waktu tertentu (Kimmel dan
Aronson, 2003:503). Artinya, maskulitas merupakan wacana yang cair. John
Beynon (2002) dalam Masculinities and Cultures menjelaskan terjadinya
pergeseran konsep maskulinitas. Ia menyebut istilah imperial masculinities untuk
menjelaskan wacana maskulinitas tradisional abad 19 di mana laki-laki
mengutamakan unsur-unsur fisik dan spiritual. Tahun 1980an konstruksi tersebut
berubah hingga Beynon menyebutnya sebagai new man, yaitu laki-laki yang
mengayomi dan memuja dirinya (nurturer and narcissist). Munculnya laddish
masculinity tahun 1990 merupakan reaksi atas laki-laki narsistik yang
dieksploitasi oleh media. Fenomena new lad menggambarkan laki-laki
berperilaku buruk dan tidak peduli pada kecaman orang lain atas perilaku mereka.
Wacana maskulinitas yang berbeda pada waktu berbeda adalah konstruksi
hegemonik yang berelasi dengan pihak-pihak yang berkuasa saat itu.
Bagaimana di Indonesia? Memahami maskulinitas di Indonesia dapat
mengacu pada representasi maskulinitas di media-media Indonesia. Konsep
maskulinitas yang bergeser dari waktu ke waktu terlihat dalam film, misalnya.
penelitian Intan Paramadhita (2007) tentang film-film bertema nasionalisme di era
Orde Baru dan pasca Orde Baru menunjukkan maskulinitas yang berbeda pada
sosok hero. Hero di sinema Orde Baru direpresentasikankan lewat tokoh jenderal
Page 2
2
dengan menghadirkan maskulinitas ala militer dan priyayi. Sementara hero di
periode pasca Orde Baru tampil dengan meminjam model maskulinitas dari
budaya popular Amerika yang sensitif, rapuh, dan seringkali plin-plan.
Mendiskusikan sejarah maskulinitas di Indonesia menjadi menarik jika
mengamati majalah Hai sebagai majalah remaja laki-laki tertua dan satu-satunya
di Indonesia. Majalah Hai terbit pertama kali tahun 1977 dan masih terus bertahan
hingga kini. Hal tersebut menjadikan Hai sebagai satu-satunya majalah remaja
laki-laki di Indonesia yang mampu hidup dalam jangka waktu yang cukup lama.
Jika dibandingkan dengan majalah-majalah gaya hidup lain yang terbit di
Indonesia, Hai menjadi salah satu majalah yang mampu bertahan lama. Gadis
sebagai majalah remaja sebenarnya juga berusia cukup lama, bahkan terbit lebih
dulu dari Hai. Gadis terbit pertama kali tahun 1973. Namun berbeda dengan Hai,
Gadis sejak awal menargetkan remaja perempuan sebagai pembacanya. Untuk
majalah di segmen laki-laki, Hai menjadi majalah tertua, bahkan lebih tua
dibandingkan majalah laki-laki dewasa yang pernah ada di Indonesia. Majalah
gaya hidup laki-laki dewasa yang cukup lama eksis adalah Popular. Majalah ini
pertama kali terbit pada tahun 1987.
Melampaui tiga dekade, penerbitan Hai dilatarbelakangi oleh berbagai
situasi dan peristiwa yang terjadi di Indonesia. Atas dasar itulah Hai menjadi
sarana yang sesuai untuk melihat bagaimana maskulinitas ditampilkan dari dekade
yang berbeda. Majalah Hai hadir dengan konstruksi maskulinitas yang dinamis.
Tahun 1980an artikel-artikel majalah Hai tidak lepas dari wacana
maskulinitas yang militeristik. Rubrik tentang militer tidak terlewatkan, seperti
Page 3
3
Green Barets, pasukan khusus Angkatan Darat Amerika Serikat atau Pesawat
Panavia Tornado yang merupakan properti militer. Maskulinitas ala militer
berhubungan dengan kekerasan dan merupakan maskulinitas tradisional yang
disimbolkan oleh kekuatan otot. Otot menjadi atribut penting bagi remaja laki-
laki, misalnya dalam artikel: “Agar Sekuat Stallone” (21/3/1989), atau “Agar
Perkasa Seperti Arnold” (5/3/1989).
Citra laki-laki di majalah Hai edisi tahun 1990an mulai bergeser. Hai
memuat tulisan tentang gaya hidup remaja lewat rubrik-rubrik musik, film, olah-
raga, fashion, tempat nongkrong dan hiburan lain, baik lokal maupun dari luar
negeri, misalnya liputan konser-konser band Amerika, rilis film Hollywood
terbaru, atau liputan liga sepakbola Eropa dan basket Amerika. Remaja laki-laki
juga semakin peduli dengan penampilannya. Misalnya artikel “Biang Kerok
Rambut Rontok” (17/3/1991) memberikan tips untuk menjaga kesehatan rambut.
Tahun 2000an, majalah Hai memunculkan deviant masculinities1 yang
menjadi resistensi laki-laki terhadap wacana tunggal di masa Orde Baru. Hal-hal
yang dianggap menyimpang di masa Orde Baru menjadi bisa diterima. Misalnya
dalam artikel “Kisah Si Landak, Si Cutbrai dan Si Hipster” (28/2/2005) yang
membahas tentang modifikasi seragam sekolah. Seragam sekolah menjadi
propaganda untuk mendukung kekuasaan pemerintah Orde Baru. Dalam artikel
tersebut peraturan seragam sekolah yang membuat ketentuan bahwa celana untuk
1Meminjam istilah yang digunakan oleh Marshal Clark (2004) untuk mengkontraskan dengan apa
yang disebut sebagai „real men‟. Dalam Men, Masculinities, and Symbolic Violence in Recent
Indonesian Cinema, Clark menjelaskan bahwa maskulinitas dalam sinema pasca Orde Baru
merupakan upaya untuk menolak dan melawan konstruksi tunggal atas maskulinitas di era Orde
Baru. ‘Deviant’ masculinities atau menyimpang dalam pengertian ini adalah menyimpang dari apa
yang telah dikonstruksi oleh pemerintah Orde Baru.
Page 4
4
siswa laki-laki tidak boleh ketat, kemeja harus dimasukkan ke dalam celana, dan
bersepatu hitam dianggap membuat “gerah” karena tidak mengikuti tren masa
kini. Akhirnya Hai memberi jalan keluar lewat permak seragam sekolah, misalnya
melonggarkan celana bagian bawah tapi ketat di pinggang, kemeja ketat, atau
sepatu sneakers menjadi alternatif.
Sebagai majalah remaja laki-laki, Hai memiliki konstruksi dinamis atas
maskulinitas remaja laki-laki. Untuk itu kajian maskulinitas remaja menjadi
menarik untuk dilakukan. Berbicara tentang maskulinitas selalu dihubungkan
dengan konstruksi tentang laki-laki dewasa. Fiske menjelaskan remaja laki-laki
seolah-olah diperingatkan untuk berperilaku lebih dewasa dari usianya untuk
dapat menjadi laki-laki (1991:201). Konstruksi maskulinitas yang dibangun
merupakan gambaran laki-laki dewasa. Remaja merupakan kategori usia yang
berada pada masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, sehingga
remaja laki-laki dan laki-laki dewasa sejatinya memiliki karakter berbeda yang
berimplikasi pada konstruksi maskulinitas yang berbeda. Jika maskulinitas
hegemonik adalah maskulinitas untuk laki-laki dewasa, yaitu laki-laki yang aktif,
dominan, dan lebih mengutamakan rasionalitas daripada emosi, lalu
bagaimanakah maskulinitas remaja?
Sejak edisi perdana yang terbit pada 5 Januari 1977 dan seterusnya Hai
tetap eksis dalam industri majalah di Indonesia. Dengan menyasar segmen remaja,
terutama remaja SMP dan SMU dengan kisaran usia 12-19 tahun2
.Hai
2Remaja merupakan kategori sosial yang merujuk pada usia di luar usia wajib belajar enam tahun,
yaitu sekitar 12-17 tahun (dalam Webster, 2010:26). Penjelasan tentang remaja akan dibahas lebih
lanjut dalam bab III.
Page 5
5
menawarkan gaya hidup remaja, mulai dari film, musik, pendidikan, fashion,
teknologi, olahraga, otomotif, hobi, psikologi, pendidikan seks, komik atau cerita
pendek yang berkisah tentang dunia dan kehidupan sehari-hari khas remaja.
Majalah Hai menjadi produk unik karena menjadi satu-satunya majalah
bersegmen remaja laki-laki. Ketika bermunculan majalah-majalah gaya hidup
remaja, seperti Gadis, Kawanku, Aneka, Mode dan sebagainya, Hai tetap
mempertahankan segmennya untuk remaja laki-laki.
Sebagai majalah dengan identitas produk bacaan untuk remaja laki-laki,
Hai memiliki gambaran dan definisi remaja laki-laki. Majalah Hai memiliki peran
yang cukup besar dalam menawarkan bentuk-bentuk maskulinitas remaja di
artikel-artikelnya. Mengutip penelitian Suzie Handajani (2010:240) tentang
maskulinitas majalah gaya hidup laki-laki, termasuk majalah Hai, ia berargumen,
lewat majalah Hai, para pembaca remaja dipersiapkan untuk “menjadi laki-laki”,
majalah Hai memberikan ruang bagi remaja untuk memainkan perannya sebagai
laki-laki di masyarakat dalam scope yang lebih kecil, yaitu dunia remaja.
Majalah gaya hidup remaja laki-laki menjadi media yang menawarkan
imaji-imaji tentang maskulinitas remaja atau bagaimana menjadi remaja laki-laki.
Untuk itu majalah merupakan sarana yang tepat untuk melihat bagaimana wacana
tentang maskulinitas remaja mengingat majalah merupakan produk budaya dan
teks budaya yang sangat penting. Sebagai sebuah teks, majalah merupakan
sumber referensi bagi struktur, relasi dan proses sosial (Fairclough, 1995:208).
Majalah Hai menjadi sarana yang tepat untuk melihat bagaimana maskulinitas
Page 6
6
remaja dipahami sebagai sebuah praktik sosial. Sebagai majalah gaya hidup
remaja laki-laki, Hai merepresentasikan konsep tentang laki-laki (remaja), relasi
laki-laki dengan perempuan atau laki-laki lain, dan bagaimana maskulinitas
dipahami sebagai bagian dari budaya yang selalu berproses secara dinamis. Untuk
memahami maskulinitas dalam majalah Hai sebagai teks budaya tidak mungkin
dilepaskan dari konteks sosial, politik dan budaya.
Majalah Hai yang berproduksi selama lebih dari tiga dekade telah
melewati dinamika sosial, politik, dan budaya. Merujuk pada John Beynon (2002)
bahwa “masculinity is composed of many masculinities”, di mana maskulinitas
selalu berelasi dengan kultur, historis, lokasi geografis, dan waktu, maka
dinamika konteks sosial, politik, dan budaya yang melatarbelakangi produksi
majalah Hai melahirkan wacana maskulinitas remaja yang juga dinamis.
Sebagai majalah mingguan, majalah Hai menerbitkan lebih dari 1000 edisi
dengan rubrik yang beragam, misalnya tentang sekolah, hobi, seks, pacaran, dan
sebagainya. Untuk membatasi jumlah edisi dan rubrik yang ada, maka penelitian
ini memfokuskan pada rubrik tentang seksualitas.
Persoalan maskulinitas sering dikaitkan dengan perkembangan seksual
yang terjadi pada laki-laki. Seksualitas, bukan hanya persoalan erotisme, namun
merujuk pada seluruh aspek kehidupan dan keberadaan manusia yang bersifat
erotis seperti hasrat, praktik, hubungan dan identitas (Jackson, 2006:106). Dalam
konteks maskulinitas, seksualitas mendiskusikan relasi laki-laki dan perempuan.
Seksualitas laki-laki (male sexuality) menjelaskan praktik relasi tersebut.
Page 7
7
Persoalan seksualitas yang cenderung ditutup-tutupi justru menarik
perhatian remaja yang berada dalam proses pencarian identitas. Apalagi usia
remaja merupakan usia pubertas di mana remaja menjadi makhluk seksual yang
ditandai oleh kematangan alat seksual dan fungsi reproduksi mereka. Tidak
adanya diskusi terbuka tentang seksualitas mengakibatkan remaja mencari
informasi dari berbagai sumber, seperti majalah. Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) bekerjasama dengan Universitas Negeri Jakarta mengadakan
penelitian tentang persepsi seks bebas dan kesehatan reproduksi siswa SMU di
DKI Jakarta pada tahun 2002. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh data
bahwa sumber informasi seksual utama para responden diperoleh lewat televisi
dan majalah (Effendy dan Makhfudli, 2009:223).
Wacana seksualitas remaja laki-laki mengalami pergeseran dinamis dalam
majalah Hai. Perilaku seksual misalnya, mengalami perubahan yang disebabkan
oleh semakin terbukanya informasi tentang seks, perubahan peran gender, dan
semakin diterimanya tujuan seks untuk tujuan rekreasi (Negara, 2005:9). Dalam
artikel-artikel tentang seks tahun 1990an, Hai menyebut perilaku seksual sebagai
suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan setelah menikah. Namun, tahun
2000an terjadi perubahan. Misalnya dalam majalah Hai edisi 4/3/2002 yang
mengangkat laporan utama soal seks di luar nikah. Majalah Hai mulai
mewacanakan bahwa aktivitas seks di luar nikah adalah hal yang biasa terjadi di
kalangan remaja di Indonesia.
Pergeseran wacana seksualitas remaja laki-laki yang dibangun Hai berelasi
dengan konteks sosial, politik, dan budaya yang terjadi di Indonesia pada tahun
Page 8
8
1990an dan 2000an. Setidaknya ada tiga faktor yang melatarbelakangi terjadinya
pergeseran wacana tersebut.
Yang pertama adalah terjadinya perubahan rezim. Pada tahun 1998 terjadi
peristiwa bersejarah, yaitu runtuhnya kekuasaan Orde Baru yang telah berkuasa
selama 32 tahun. Pergantian rezim pemerintahan bukanlah semata-mata persoalan
politik, namun juga berpengaruh pada persoalan-persoalan yang lain. Pergantian
rezim menjadi milestone berubahnya ideologi, termasuk ideologi gender.
Perubahan ini tidak serta merta terjadi, namun sudah dimulai beberapa tahun
sebelumnya. Demikian pula yang terjadi pasca tahun 1998 yang bukan berarti
berakhirnya ideologi gender di masa Orde Baru. Namun kebijakan-kebijakan
pasca Orde Baru mampu membawa perubahan-perubahan, sebut saja dicabutnya
SIUPP, kebijakan keterwakilan 30% perempuan di bidang politik, atau
disahkannya UU penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tahun 2004
merupakan contoh produk pasca Orde Baru yang menandai perubahan ideologi
gender di era pasca Orde Baru.
Pada periode Orde Baru ideologi gender dikontrol oleh negara.
Kepentingan negara adalah dalam rangka pembentukan identitas nasional di mana
perempuan disimbolkan sebagai penjaga utama (Alimi, 2004:76). Fungsi dan
peran perempuan dibatasi di wilayah domestik sesuai dengan fungsi
reproduksinya. Upaya tersebut dilakukan pemerintah Orde Baru untuk
membendung dan memanipulasi kekuatan politik perempuan secara sosial, politik
dan ekonomi, sehingga negara melakukan manipulasi secara ideologis. Misalnya
dengan melekatkan label-label perempuan adalah “pilar bangsa”, perempuan
Page 9
9
hendaknya berpartisipasi dalam pembangunan tanpa melupakan kodratnya
sebagai istri dan ibu. Negara mendefinisikan perempuan untuk melayani suami,
keluarga, dan negara yang dilembagakan lewat kegiatan PKK dan Dharma
Wanita. Penekanan pada fungsi reproduktif ini mendorong penyebutan ideologi
gender Orde Baru sebagai ideologi state ibuism (Suryakusuma, 2011:10-11).
Kategori gender tersebut disosialisasikan sedemikian rupa sehingga seolah-olah
merupakan kodrat laki-laki dan perempuan yang tidak terbantahkan. Ruang publik
adalah milik laki-laki karena laki-laki adalah kepala rumah tangga yang memiliki
peran sebagai pencari nafkah. Negara lalu memberikan legitimasi bagi laki-laki
untuk melakukan kontrol dan pengawasan terhadap perilaku dan seksualitas
perempuan (Wieringga, 2003:72). Intervensi negara dalam mendefinisikan peran
gender tersebut dalam rangka menjaga stabilitas negara.
Persoalan seksualitas juga dikendalikan oleh negara. Misalnya kebijakan
negara tentang Keluarga Berencana yang mengharuskan perempuan untuk
membatasi kelahiran merupakan bentuk intervensi negara atas tubuh dan alat
reproduksi perempuan (Alimi, 2004:79). Keluarga adalah representasi negara di
mana kekuatan negara ditentukan keluarga atau rumah tangga yang kuat. Inilah
yang mendorong negara mengatur kehidupan keluarga dan perilaku seksual warga
negara. Pemerintah Orde Baru melakukan konstruksi terhadap ideologi informal,
yaitu ideologi gender dan seksual dengan mendefinisikan laki-laki dan perempuan
dalam peran-peran yang sempit, terbatas dan stereotip dengan tujuan stabilitas
nasional (Suryakusuma, 2004). Di era ini pula, heteroseksual menjadi satu-
satunya orientasi seksual yang sesuai dengan semangat modernitas yang dianut
Page 10
10
oleh pemerintah Orde Baru (Alimi, 2004:77). Selain itu seksualitas dikaitkan
dengan fungsi prokreasi.
Ideologi gender berimplikasi pada kerja media yang merepresentasikan
ideologi dominan yang dimunculkan dalam penggunaan bahasa, baik bahasa
tulisan maupun visual dalam setiap produknya. Ideologi gender dapat ditemukan
pada bagaimana media menampilkan persoalan gender dan seksualitas dalam
kontennya. Sementara media adalah aparatus beroperasinya pengetahuan-
pengetahuan, termasuk ideologi gender. Sebagai aparatus, media memiliki dan
menjalankan ideologi tertentu. Althuser (1970) menjelaskan bagaimana media
menjadi manifestasi ideologi negara (Ideological State Apparatuses), bahwa
media berperan sebagai bagian dari aparatus negara (dalam Barker, 2009:46).
Inilah yang terjadi pada rezim Orde Baru, di mana negara memiliki kuasa yang
dominan atas media, sehingga ideologi gender yang diproduksi oleh negara
direpresentasikan lewat media.
Penelitian Krishna Sen (1998) tentang femininitas dalam sinema Orde
Baru menunjukkan bahwa film drama dan cerita percintaan identik dengan film
perempuan. Hal ini dikaitkan dengan apa yang menjadi “kodrat wanita” yang
ditanamkan di era Orde Baru, bahwa perempuan berfungsi sebagai ibu yang
bertanggung jawab pada urusan rumah tangga atau keluarga. Inilah yang menjadi
wacana dominan dalam narasi film-film tersebut. Penelitian Thamrin Amal
Tomagola (1990) tentang majalah wanita menyimpulkan bahwa majalah wanita
menyebarkan ideologi dominan yang dianjurkan pemerintah, yaitu sebagai
pendukung laki-laki karena wanita berurusan pada lima hal, yaitu pigura
Page 11
11
(kesehatan dan kecantikan), pilar (pengelolaan keluarga dan rumah tangga),
peraduan (masalah seksual dalam perkawinan), pinggan (masak memasak), dan
pergaulan (etika pergaulan) (dalam Suryakusuma, 1998:114).
Runtuhnya Suharto membawa konsekuensi pada perubahan konstruksi
peran gender. Berakhirnya era Orde Baru menggeser pemahaman ideologi gender
yang tidak lagi terpusat pada kekuasaan negara karena muncul wacana-wacana
alternatif tentang gender dan seksualitas. Penelitian Leonie Schmidt (2012)
tentang representasi perempuan dalam film yang diproduksi pasca Orde Baru
menunjukkan bahwa perempuan dideskripsikan dalam dua performa: perempuan
muda atau wanita karier yang mandiri, ambisius dan memiliki hasrat seksual.
Faktor yang kedua adalah perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi yang cepat yang dimulai pada akhir tahun 1980an.Perkembangan
teknologi media elektronik dimulai dengan menjamurnya kepemilikan antena
parabola pada tahun 19833. Selain itu, kebijakan privatisasi stasiun televisi di
Indonesia pada bulan November 1988 memberikan kesempatan pada khalayak
dalam mengkonsumsi televisi. Kebijakan tersebut menyebabkab munculnya
stasiun-stasiun televisi swasta, seperti RCTI, SCTV, TPI, ANTEVE dan Indosiar.
Teknologi lain yang fenomenal dan tak bisa dipungkiri mampu merubah
kehidupan masyarakat Indonesia adalah berkembangnya internet4
di negara-
3Beberapa laporan menyebutkan bahwa hingga pertengahan tahun 1980an kepemilikan antene
parabola di Indonesia menunjukkan pertumbuhannya yang tercepat di antara negara-negara Asia.
Hingga akhir dekade diperkirakan angka kepemilikan antene parabola mencapai 25.000 (dalam
Sen dan Hill, 2000:117). 4Internet memungkinkan munculnya media-media baru dengan karakteristik yang sangat berbeda
dengan media-media di era sebelumnya. Media-media yang dikenal dengan media baru
memungkinkan pengguna berperan sebagai produser dan konsumen sekaligus. Karakteristik inilah
Page 12
12
negara Asia, termasuk Indonesia pada akhir tahun 1980an dan awal tahun 1990an.
Pertumbuhan internet diikuti dengan munculnya telepon seluler dengan
kemampuannya yang meningkat dengan sangat cepat. Dalam waktu yang cepat
pula, telepon seluler menjadi bagian dari gaya hidup remaja.
Penggunaan teknologi komunikasi dan informasi yang menjamur
membuka arus informasi berupa nilai-nilai dan gaya hidup remaja dari luar negeri,
terutama dari Amerika. Informasi-informasi tersebut diterima dengan cukup bebas
dan sangat cepat oleh pada remaja di Indonesia. Misalnya saja stasiun-stasiun
televisi swasta menampilkan dominasi konten asing dalam program-programnya.
RCTI di awal siarannya, 90% programnya merupakan program impor sementara
sisanya adalah tayangan relay dari TVRI (Sen dan Hill, 2000:120).
Arus informasi dari luar negeri memuluskan masuknya informasi tentang
persoalan seksualitas. Paham keterbukaan seksualitas yang dianut negara-neraga
Eropa dan Amerika akibat dari revolusi seksual tahun 1960an mulai dikenal oleh
para remaja di Indonesia. Revolusi seksual telah mengeser fungsi seks dari
prokreatif menuju fungsi rekreatif. Hal ini meningkatkan angka premarital seksual
di Amerika. Pada tahun 1988, 25,6% remaja berusia 15 tahun telah mulai aktif
secara seksual. Angka ini meningkat sebesar 4,6% dibandingkan yang terjadi di
tahun 1970. Sedangkan pada remaja yang berusia 19 tahun, angkanya melonjak
menjadi 75,9%, meningkat sebesar 50% dari tahun 1970 (dalam Sadli, 2010: 98).
Gerakan perempuan yang menyuarakan persamaan hak perempuan juga
turut merubah wacana tentang seksualitas. Perempuan menyadari bahwa dirinya
yang merubah kehidupan masyarakat, yang semula hanya sebagai konsumen pasif media menjadi
konsumen yang juga berperan sebagai penyedia isi (content provider).
Page 13
13
bukan sebagai objek seksual, namun menjadi pihak yang memiliki hak yang sama
dengan laki-laki untuk mengejar kepuasan seksual. Laporan lain di Amerika
menyebutkan bahwa di akhir tahun 1980an, perempuan yang aktif secara seksual
maupun yang masih perawan memiliki harga diri yang sama (Sadli, 2010:98).
Akibat semakin terbukanya akses informasi dari luar, wacana seks
alternatif hingga kesadaran gender yang terjadi di level global pengaruhnya juga
sampai di Indonesia. Dominasi wacana seksualitas oleh negara mulai menghadapi
resistensi. Gerakan feminisme dan terbitnya Jurnal Perempuan tahun 1990an
menjadi contoh berkembangnya wacana alternatif tentang seksualitas.
Iklim politik demokratis pasca runtuhnya Orde Baru tahun 1998
mendorong keterbukaan informasi, termasuk informasi seksualitas. Dihapusnya
SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers)5 mendorong bermunculannya sejumlah
media dengan konten seksualitas sebagai sajian utama. Globalisasi mendorong
semakin intens dan terbukanya komunikasi dan interaksi global. Munculnya
media-media franchise barat, seperti Cosmopolitan (1997) atau FHM (2003)
membuka kesempatan gaya dan tren di barat diadopsi dan dikonsumsi masyarakat
Indonesia. Perlahan tapi pasti, persoalan seksualitas muncul di ranah publik. Jika
seksualitas sebelumnya jarang didiskusikan, maka pada periode ini seksualitas
muncul di ruang publik, dan menjadi komoditas.
Hal itu menunjukkan semakin permisifnya masyarakat kelas menengah
perkotaan terhadap persoalan seksualitas. Sesuatu yang dianggap tabu kini lebih
5Di periode orde baru SIUPP menjadi alat pemerintah untuk memberangus pers yang dianggap
membahayakan stabilitas pemerintah. Dicabutnya SIUPP di masa pemerintahan Habibie yang
menggantikan Suharto menciptakan euphoria kebebasan berekspresi dan berpendapat dengan
menerbitkan sejumlah media cetak, seperti surat kabar dan majalah..
Page 14
14
terbuka diperbincangkan. Seks bebas menjadi bagian gaya hidup remaja. Selain
aktivitas seks yang semakin permisif, keterbukaan seksualitas. wacana kesetaraan
dan hak asasi manusia telah mendorong kelompok gay dan waria tampil di ruang
publik walaupun stigma yang dilekatkan pada kelompok ini belum berubah.
Faktor yang ketiga adalah berlakunya Islamisasi di Indonesia sejak tahun
1990an. Suharto mulai kehilangan dukungan dari kelompok militer, sehingga ia
melirik Islam sebagai kekuatan potensial untuk menyokong pemerintahannya.
Dukungan atas Islam sebagai gerakan sosial politik semakin kuat pada
pemerintahan pasca Suharto yang ditandai oleh munculnya berbagai organisasi
Islam. Adanya kesempatan bagi kelompok-kelompok Islam untuk menunjukkan
kekuatannya telah memunculkan kembali semangat untuk merepresi seksualitas.
Gerakan anti pornografi, anti berpacaran hingga seks bebas, sweeping terhadap
kelompok-kelompok gay dan waria adalah bentuk represi tersebut.
Majalah Hai sebagai sebuah produk sejarah yang hadir selama lebih dari
tiga dekade juga tidak lepas dari pengaruh ideologi gender yang selalu berubah.
Perubahan gender tidak bisa dilepaskan dari adanya kontestasi gagasan-gagasan
gender yang dipicu oleh perubahan rezim kekuasaan, dalam hal ini institusi
pemerintah, perkembangan teknologi dan media, juga agama. Ideologi maskulin
sebagai bagian ideologi gender yang melihat bagaimana posisi laki-laki dalam
struktur, relasi dan posisi sosial yang dinamis akan mempengaruhi kerja redaksi
majalah Hai yang tercermin dalam produksi teks-teksnya tentang seksualitas.
Dengan kata lain, perubahan dari rezim Orde Baru ke periode yang lebih
terbuka dan demokratis, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi,
Page 15
15
termasuk media, serta proses Islamisasi telah berperan dalam perubahan wacana
maskulinitas dan seksualitas, dalam hal ini adalah pada diskusi tentang seksualitas
yang dikonstruksi secara diskursif di dalam teks majalah Hai. Perubahan-
perubahan tersebut mempengaruhi pemahaman media atas ideologi gender. Atas
dasar argumentasi tersebut, maka penelitian ini dibuat.
1.2. Rumusan Masalah
Produksi wacana seksualitas laki-laki mengalami perubahan secara
historis, artinya media menampilkan wacana seksualitas remaja laki-laki yang
berbeda dari waktu ke waktu. Perubahan rezim kuasa pada periode yang berbeda,
perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta proses Islamisasi
berimplikasi pada berlakunya wacana seksualitas remaja laki-laki yang berbeda.
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka penelitian ini melihat dinamika wacana
seksualitas remaja laki-laki yang diproduksi oleh majalah Hai. Pertanyaan-
pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah wacana seksualitas remaja laki-laki yang diproduksi oleh
majalah Hai?
2. Diskursus-diskursus apakah yang turut membentuk produksi wacana
seksualitas remaja laki-laki tersebut ?
3. Konteks sosial, politik, dan budaya seperti apa yang mempengaruhi produksi
wacana seksualitas remaja laki-laki dalam majalah Hai?
Page 16
16
I.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengkaji
bagaimana wacana seksualitas remaja laki-laki dikonstruksi dan direpresentasikan
oleh majalah Hai dengan asumsi bahwa adanya perubahan rezim pemerintahan
Orde Baru dan pasca Orde Baru, perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi, serta proses Islamisasi turut membentuk wacana tersebut. Dengan
demikian penelitian ini bertujuan menghasilkan analisis tentang produksi wacana
seksualitas remaja laki-laki dalam majalah Hai. Penelitian ini juga bertujuan
untuk melihat diskursus-diskursus apakah yang turut membentuk produksi
wacana tersebut. Selanjutnya penelitian ini menganalisis dan mengidentifikasi
konteks sosial, politik dan budaya seperti apa yang mendorong dinamika wacana
seksualitas remaja laki-laki.
I.4. Tinjauan Pustaka
Kajian akademik tentang gender di Indonesia telah berkembang. Namun
demikian, kajian tentang maskulinitas di Indonesia sampai saat ini masih sedikit
jumlahnya. Salah satunya adalah riset maskulinitas yang dilakukan oleh Pam
Nilan, seorang Indonesianis asal Australia. Nilan (2009a) meneliti tentang
maskulinitas dan anak muda. Misalnya Contemporary Masculinities and Young
Men in Indonesia. Ia menjelaskan bahwa anak-anak muda Indonesia berada dalam
tekanan untuk menjadi laki-laki di dalam dua domain, yaitu domain religius dan
sekuler; bagaimana menjadi warga negara yang baik dan memberikan dukungan
bagi keluarga serta memenuhi citra-citra fantasi mereka atas hipermaskulinitas
Page 17
17
global sebagai laki-laki yang kuat, keras, dan heroik. Hal ini menunjukkan
maskulinitas di Indonesia masih berorientasi pada bentuk-bentuk hegemonic
masculinities. Relasi antara anak muda dan hipermaskulinitas mendorong Nilan
untuk melakukan penelitian berikutnya yang dirangkum dalam beberapa tulisan
yang berjudul Researching Masculinities and Violence in India and Indonesia dan
The Gang, Violence and The Life Course for Indonesian Youth. Yang pertama
Nilan (2009b) melihat kekerasan yang terjadi di Indonesia dan India, dan
menyimpulkan bahwa kekerasan dilakukan laki-laki karena didorong oleh
konstruksi sosial yang menekankan laki-laki untuk mempertahankan
kehormatannya dalam memperoleh respek atas status kelaki-lakiannya.
Ketidaksetaraan akses memperoleh pendidikan dan pekerjaan menjadi pemicu
kekerasan tersebut. Pada tulisan kedua Nilan (2010) lebih fokus pada konteks
Indonesia dengan melihat fenomena gang-gang anak muda di Jawa Tengah, mulai
dari gang sekolah, gang milisi sipil, dan kelompok-kelompok jihad. Nilan
berargumen bahwa tawuran yang kerap dilakukan geng-geng anak muda
merupakan bagian dari ritual yang dilakukan di masa transisi menuju kedewasaan
maskulin mereka. Penelitian Nilai di tiga tulisan tersebut memfokuskan pada
budaya kekerasan sebagai bagian dari maskulitas anak muda (hipermaskulinitas).
Dengan memfokuskan pada persoalan kekerasan, Nilan mengabaikan persoalan-
persoalan lain yang juga menjadi bagian dari budaya anak muda.
Penelitian dalam konteks media atau bagaimana maskulinitas
direpresentasikan lewat media massa di Indonesia dilakukan oleh Marshal Clark
(2010) juga seorang Indonesianis asal Australia yang dirangkum dalam buku yang
Page 18
18
berjudul Maskulinitas:Culture, Gender and Politics in Indonesia. Dalam buku itu,
Clark mendiskusikan konstruksi maskulinitas dalam beberapa novel, sinema,
iklan televisi, dan puisi. Clark menjelaskan bahwa periode Orde Baru dan pasca
Orde Baru memberikan pengaruh pada bagaimana maskulinitas diproduksi. Clark
melihat kecenderungan maskulinitas yang direpresentasikan dalam media pasca
Orde Baru sebagai apa yang disebut sebagai the crisis for Indonesian masculinity
yang menandakan mulai memudarnya dominasi laki-laki atas perempuan.
Misalnya dalam sinema, ia melihat sosok laki-laki rapuh, keji, atau gila dalam
film Kuldesak; dalam iklan televisi laki-laki digambarkan sebagai pihak yang
konyol dan tampak bodoh ketika disandingkan dengan perempuan yang intelek;
atau dalam novel laki-laki menjadi sosok anti-hero. Wacana laki-laki yang
demikian merupakan bentuk resistensi atas wacana laki-laki yang dibentuk di
rezim orde baru. Penelitian Clark ini menegaskan asumsi bahwa konstruksi atas
maskulinitas selalu memiliki interrelasi dengan konteks sosial dalam periode
konstruksi tersebut. Walaupun meneliti maskulinitas yang direpresentasikan di
berbagai media pasca Orde Baru, Clark melewatkan bagaimana representasi
maskulinitas di dalam majalah.
Penelitian maskulinitas lainnya dilakukan oleh Intan Paramadhita (2007)
dalam tulisannya Contesting Indonesian Nationalism and Masculinity On Cinema.
Seperti judulnya, Paramadhita mencoba membandingkan bagaimana maskulinitas
dikaitkan dengan persoalan nasionalisme yang dikonstruksi dalam film Indonesia
di era Orde Baru yang menampilkan maskulinitas ala militer dan priyayi dan
pasca Orde Baru yang merujuk pada maskulinitas barat yang sensitif, rapuh dan
Page 19
19
tidak tegas. Tulisan ini menarik karena membandingkan bagaimana konstruksi
maskulinitas dalam rezim yang berbeda, relevan dengan tesis yang dibangun oleh
Beynon seperti yang dijelaskan di awal bab ini. Namun, perbandingan yang
dilakukan Paramadhita menjadi tidak pas mengingat kedua film yang dianalisis
mendeskripsikan sosok laki-laki yang berbeda. Dalam film Pemberontakan
G30S/PKI yang diproduksi di era Orde Baru, maskulinitas direpresentasikan lewat
sosok jenderal yang notabene laki-laki dewasa. Sementara di film Gie yang
diproduksi pasca Orde Baru, maskulinitas direpresentasikan lewat sosok
mahasiswa yang identik dengan anak muda6.
Penelitian ini bertujuan untuk memperkaya kajian maskulinitas dalam
media di Indonesia. Jika selama ini penelitian lebih banyak di ranah audiovisual
seperti film dan iklan televisi, penelitian ini melihat bagaimana konstruksi
maskulinitas dalam majalah. Setiap media memiliki bentuk konstruksi yang
berbeda. John Beynon dalam Masculinities and Culture(2002) membuat tabel
tentang bagaimana konsep maskulinitas yang berbeda pada setiap media, misalnya
di media cetak seperti surat kabar, majalah dan tabloid melihat karakter laki-laki
dominan, sementara di film, televisi, dan video, internet dan radio, maskulinitas
muncul dengan berbagai paradoks. Atas dasar itulah, maka diperlukan kajian di
berbagai media untuk melihat bagaimana setiap media menampilkan wajah
maskulinitas, dan penelitian ini menitikberatkan pada majalah.
Majalah merupakan artefak budaya yang berisi wawasan tentang makna-
makna dan praktik sosial. Berkaitan dengan maskulinitas, majalah laki-laki
6Mengutip Webster (2010), anak muda merujuk pada individu yang berusia menjelang 20an dan
awal 20an. Usia mahasiswa relevan dengan istilah anak muda.
Page 20
20
mampu menjadi sarana yang dapat diterima bagi pembacanya karena majalah
mengeksplorasi aspek-aspek maskulinitas yang lebih intim daripada media yang
lain, terutama fitur-fitur yang berkaitan dengan relasi dan perilaku laki-laki. Hal
ini dijelaskan oleh Nick Stevenson, Peter Jackson, and Kate Brooks (2000:367)
dalam tulisannya yang berjudul The Politics of ‘New’ Men’s Lifestyle Magazine.
Penyebabnya antara lain karena majalah memposisikan pembaca sebagai teman
yang posisinya setara dengan penulis. Tulisan Mary Jane Kehily (1999) tentang
majalah remaja yang berjudul More Sugar?: Teenage Magazines, Gender
Displays, and Sexual Learning menjelaskan hal yang sama. Majalah remaja
sangat populer dan dapat menjadi jendela bagi kehidupan anak muda. Untuk itu,
majalah remaja menjadi sumber kultural bagi anak muda, di mana mereka dapat
berbagi (talk with and think with). Faktor kedekatan merupakan kelebihan majalah
yang tidak dimiliki oleh media yang lain. Majalah mampu menceritakan tentang
perilaku, sifat, penampilan, bahkan relasi laki-laki dengan perempuan atau laki-
laki lain secara lebih terbuka, intim dan dua arah karena melibatkan pembaca.
Dengan demikian, majalah menjadi media yang mampu memberikan jawaban atas
konstruksi maskulinitas dan seksualitas.
Penelitian maskulinitas dalam majalah gaya hidup dilakukan Suzie
Handajani (2010) berjudul Selling Alternative Masculinities: Representations of
Masculinities in Indonesian Men’s Lifestyles Magazines. Lewat majalah tersebut
dapat dilihat bagaimana representasi laki-laki Indonesia. Ia melihat
kecenderungan majalah laki-laki menjadi sarana untuk merepresentasikan
alternative masculinity. Namun Handajani hanya meneliti maskulinitas di majalah
Page 21
21
laki-laki dalam konteks masa kini. Ia tidak meneliti bagaimana dinamika
konstruksi yang dibangun oleh media pada periode yang berbeda yang justru
menjadi kekuatan dalam penelitian ini.
Selain mendiskusikan maskulinitas, tulisan ini juga memfokuskan pada
persoalan seksualitas remaja laki-laki. Kajian-kajian tentang seksualitas remaja
antara lain pernah ditulis oleh Henry Giroux (1998) dalam Teenage Sexuality,
Body Politics and the Pedagogy of Display. Dalam tulisan tersebut dijelaskan
bahwa remaja merupakan hasrat fantasi dan kepentingan dari dunia orang dewasa.
Untuk itu, remaja perlu ditundukkan hasrat dan perilakunya lewat wacana-wacana
yang dibuat oleh orang dewasa, termasuk seksualitas. Salah satu bagian yang
menarik dalam tulisan tersebut adalah tentang bagaimana seksualitas remaja
direpresentasikan di dalam media. Giroux menjelaskan bahwa seksualitas remaja
di dalam media ditampilkan sebagai komoditas atau sebagai masalah. Tubuh
remaja menjadi objek kontradiksi, antara perspektif progresif dan konservatif.
Giroux mencontohkan kontroversi yang terjadi pada kampanye iklan Calvin Klein
dan gambaran suram tentang remaja urban di film Kids. Bagaimana remaja
ditampilkan dalam kedua media tersebut dianggap sebagai komodifikasi tubuh
remaja dan promosi atas kemerosotan dan keliaran seksualitas remaja. Giroux
menganggap representasi remaja di kedua media tersebut merupakan upaya
pedagogis untuk melawan gagasan konservatif tentang seksualitas remaja. Tulisan
Giroux menjelaskan bagaimana seksualitas remaja tidak terlepas dari pertarungan
kepentingan-kepentingan dari orang dewasa.
Page 22
22
Penelitian ini secara khusus memfokuskan seksualitas remaja di media,
dalam hal ini majalah. Wacana seksualitas remaja dalam majalah gaya hidup yang
ditujukan untuk remaja dikemas dalam kerangka pendidikan seks bagi remaja. Hal
ini relevan dengan apa yang dijelaskan oleh Giroux di atas bahwa media menjadi
sarana untuk memberikan edukasi pada remaja tentang seks. Untuk itu, di bagian
Tinjauan Pustaka ini, peneliti perlu ikut memasukkan beberapa kajian-kajian
yang berkaitan dengan materi pendidikan seks untuk memahami wacana
seksualitas yang dibangun tentang lewat materi-materi pendidikan seks. Kajian-
kajian tentang pendidikan seks bagi remaja yang menjelaskan bagaimana
seksualitas remaja dipahami telah banyak dilakukan, meskipun tidak spesifik
menganalisis pendidikan seks remaja yang dilakukan oleh remaja.
Tulisan Louisa Allen (2011) dalam bukunya yang berjudul Young People
and Sexuality Education: Rethinking Key Debates menjelaskan tentang
analisisnya pada materi pendidikan seks untuk remaja yang dilakukan oleh
berbagai institusi, seperti agama (dalam hal ini gereja), sekolah, Lembaga
Swadaya Masyarakat, pemerintah, dan media. Ketika berbagai institusi
menjelaskan tentang pendidikan seks, maka yang terjadi dalam pendidikan seks
itu sendiri adalah kontestasi berbagai kepentingan pihak-pihak yang berada di
dalam institusi-insititusi tersebut. Allen menjelaskan ada tiga wacana yang
dibangun dalam pendidikan seks, yaitu wacana moral rights yang mengacu pada
pendekatan seksualitas normatif; wacana sexual liberalism atau gagasan untuk
menerima aktivitas seks di luar pemahaman seks yang tradisional, heteroseksual
dan relasi monogami atau perkawinan dengan mengusung tema pengalaman
Page 23
23
seksual sebagai hak remaja; dan wacana health pragmatism yang
memperjuangkan hak remaja untuk mendapatkan informasi yang memadai
tentang seks untuk kepentingan kesehatan warga negara.
Untuk konteks di Indonesia, penelitian tentang materi pendidikan seks
remaja pernah dilakukan oleh Dede Oetomo dan Brigitte M. Holzner (2004).
Tulisan keduannya yang berjudul Youth, Sexuality and Sex Education Messages in
Indonesia: Issues of Desire and Control, berisi penjelasan tentang diskursus
pendidikan seks remaja dengan menganalisis konten pendidikan seks yang
dilakukan oleh institusi-insitusi penyelenggara pendidikan seks untuk remaja di
Indonesia. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa pendidikan seks untuk remaja
menjelaskan seks sebagai hal yang menakutkan dan berbahaya sehingga harus
direpresi. Selain itu beberapa materi pendidikan seks justru menampilkan wacana
seks sebagai materi yang perlu diketahui oleh remaja sehingga seks bisa
dipraktikkan dengan bertanggung jawab. Pada prinsipnya, dalam kurikulum
pendidikan seks remaja terdapat dua diskursus seks yang berbeda, yaitu wacana
yang melarang dan mengintimidasi perilaku seksual yang menitikberatkan pada
pendekatan legal-moral; dan wacana bahwa segala hal yang berkaitan dengan seks
merupakan hak asasi warga negara. Di satu sisi wacana seks yang dibangun
berdasarkan mekanisme legal moral menganggap bahwa seks itu ilegal bagi
remaja Sedangkan wacana yang kedua tidak menganggap seks sebagai hal yang
terlarang, dan justru permisif.
Dalam tulisan itu juga dijelakan bahwa wacana tentang kesehatan
reproduksi berada di antara kedua wacana tersebut. Di dalam wacana yang
Page 24
24
melarang dan mengintimidasi seks, perspektif medis dan kesehatan reproduksi
dilibatkan dalam rangka menjelaskan akibat-akibat dari perilaku yang permisif
terhadap seks, seperti kehamilan tidak diinginkan, aborsi, penyakit menular
seksual hingga HIV/AIDS. Yang menarik dari penelitian Holzner dan Oetomo
tersebut adalah, institusi penyelenggara pendidikan seks ternyata tidak berpihak
pada salah satu wacana saja. Misalnya, dalam penelitian tersebut disebutkan
bahwa PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) selaku organisasi non
pemerintah yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi membangun wacana
seks yang prohibitive dan non-prohibitive sekaligus. PKBI secara tegas
mengatakan “tidak” pada premarital seks yang menyebabkan kehamilan tak
diinginkan, penyakit menular seksual, berpotensi dilakukannya tindakan kriminal
yang mampu merusak kehidupan seseorang. Dalam website PKBI juga dijelaskan
bahwa seks adalah hal yang sakral dan hanya memiliki fungsi prokreatif.
Sementara, di sisi lain PKBI juga menekankan hak remaja untuk memperoleh
layanan kontrasepsi, terlepas dari marital status-nya. Sayangnya, Holzner dan
Oetomo tidak menjelaskan lebih lanjut tentang adanya wacana ganda tersebut.
Namun paling tidak, data yang disampaikan menunjukkan adanya kontestasi
wacana dalam penyusunan materi dalam pendidikan seks.
Seksualitas remaja seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang
membahayakan sehingga harus dikontrol dan direpresi. Seks bebas menjadi
fenomena yang mengkhawatirkan di kalangan remaja. Pengaruh barat menjadi
kambing hitam dari ketakutan-ketakutan orang dewasa atas maraknya seks bebas
sebagai “seksualitas baru”. Hal tersebut dijelaskan oleh Claire Harding (2008)
Page 25
25
dalam tulisannya yang berjudul The Influence of the 'Decadent West': Discourses
of the Mass Media on Youth Sexuality in Indonesia. Harding melakukan analisis
atas beberapa majalah Islam untuk remaja, buku-buku panduan seks yang berbasis
Islam, poster-poster sosialisasi program Keluarga Berencana dan Undang-
Undang yang berkaitan dengan seksualitas remaja. Hasilnya, Harding
menjelaskan bahwa media-media tersebut memberikan informasi pada remaja
tentang informasi yang komprehensif, akurat, dan faktual tentang kesehatan
seksual dan reproduksi. Namun, wacana dominan yang dibangun dalam media-
media tersebut adalah wacana seks yang prohibitif. Seks bagi remaja adalah
sesuatu yang tidak sehat. Hal tersebut disampaikan lewat informasi-informasi seks
yang menakutkan bagi remaja. Selain itu, media-media tersebut menyebutkan
bahwa salah satu ancaman yang membahayakan bagi remaja adalah pengaruh
barat, dengan menjelaskan barat sebagai sesuatu yang tunggal. Penelitian Harding
pada akhirnya menghasilkan wacana seks yang tunggal, yaitu prohibitif. Hal ini
berbeda dengan penjelasan Holzner dan Oetomo. Tunggalnya wacana seks
disebabkan karena media yang menjadi objek analisis kurang beragam.
Sama seperti minimnya kajian-kajian tentang maskulinitas di Indonesia,
kajian seksualitas yang memfokuskan pada remaja laki-laki juga relatif belum
banyak. Penelitian tentang seksualitas remaja yang ada lebih banyak menyoroti
seksualitas perempuan atau female sexuality. Misalnya penelitian Lyn Parker
(2014) yang berjudul The Moral Panic About The Socializing Of Young People In
Minangkabau. Di dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa seks dan pergaulan
bebas dianggap mengancam kesehatan moral kaum muda, terutama perempuan di
Page 26
26
Sumatera Barat. Penelitian Handajani (2005) tentang majalah remaja putri yang
berjudul Globalizing Local Girls: The Representation of Adolescents in
Indonesian Female Teen Magazines juga membahas tentang konten seksualitas
sebagai salah satu bagian dari penelitiannya tersebut. Kedua penelitian tersebut
memiliki benang merah yang menjelaskan bahwa relasi perempuan dan seks
adalah negatif. Maksudnya adalah seks digambarkan sebagai hal terlarang bagi
perempuan. Misalnya Handajani menjelaskan bahwa deskripsi tentang seksualitas
perempuan dalam artikel majalah remaja putri banyak dipandu oleh pendekatan
moral. Parker juga menyebutkan bahwa moral panic tentang kebebasan seksual
menjadi ancaman yang serius bagi remaja perempuan.
Sementara itu Giety Tambunan (2006) membandingkan konstruksi female
sexuality dan male sexuality dalam penelitiannya tentang film Virgin dan Jomblo.
Dalam tulisannya yang berjudul The Representation of ‘The Holy Virgin’ in the
Urban Society Teenage Sexuality in Two Indonesian Movies: ‘Virgin’ and
‘Jomblo’, Tambunan menjelaskan standar ganda dalam hal virginitas laki-laki dan
perempuan. Bagi laki-laki derajat yang lebih tinggi ditujukan bagi mereka yang
aktif secara seksual dan menjalin hubungan dengan banyak perempuan,
Tambunan menyebutnya sebagai The Role Model. Sementara untuk perempuan
justru sebaliknya, perempuan yang aktif secara seksual dianggap sebagai
perempuan yang diposisikan sebagai The Whore atau pelacur. Penelitian ini
menunjukkan bagaimana seksualitas remaja laki-laki dan perempuan ditampilkan
secara berbeda di media. Sayangnya, penelitian ini tidak mengeksplor lebih lanjut
tentang faktor-faktor penyebab perbedaan tersebut.
Page 27
27
Richard Dyer (1993:89) mengatakan,“male sexuality is a bit like air-you
breathe it in all the time, but you are not aware of it all times.” Hal tersebut
mengindikasikan seksualitas remaja laki-laki relatif jarang dibicarakan karena
dianggap biasa dan tidak bermasalah. Baik seksualitas remaja laki-laki maupun
perempuan dijelaskan lewat perspektif laki-laki, sehingga menghasilkan
pemahaman yang berbeda tersebut. Seksualitas remaja perempuan dalam
perspektif laki-laki perlu untuk dikontrol. Media menjadi salah satu sarana untuk
menyaksikan bagaimana kontrol tersebut berlaku. Merujuk penjelasan Dyer
tersebut, bisa dipahami jika pada akhirnya kajian terhadap seksualitas remaja
perempuan lebih banyak dilakukan dibandingkan seksualitas remaja laki-laki.
Salah satu kajian tentang seksualitas remaja laki-laki dalam konteks
Indonesia pernah ditulis oleh Ben Murtagh (2011). Ia melakukan analisis pada
film, novel dan video klip yang menjadi soundtrack film Coklat Strawberry, yang
menjelaskan tentang fenomena homoseksual di kalangan remaja. Dalam
tulisannya yang berjudul Coklat Strawberry: Satu Roman Indonesia dalam Tiga
Rasa, Murtagh menemukan bahwa homoseksual dijelaskan ke dalam tiga media
tersebut secara berbeda. Dalam novelnya, kisah pasangan gay dijelaskan secara
lebih gamblang dan Murtagh melihat bagaimana kehidupan gay yang diceritakan
dalam novel tidak banyak berbeda dengan kultur gay yang ada di Indonesia.
Namun dalam filmya, Murtagh menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara
representasi realitas dan media massa tentang kehidupan gay di Indonesia. Dalam
film, gay diceritakan berasal dari kelas sosial atas, dan kultur gay yang
dimunculkan adalah kultur gay yang disebut Murtagh sebagai kultur gay global
Page 28
28
yang berbeda dengan kultur gay lokal. Sementara dalam video klip lagu Di Sini
Untukmu yang dinyanyikan oleh Ungu yang menjadi soundtrack film Coklat
Strawberry justu tidak menceritakan bahwa film itu berkisah tentang cinta di
antara gay. Yang muncul adalah dalam video klip adalah kisah cinta straight,
antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan temuannya tersebut, Murtagh
menyimpulkan bahwa media-media di Indonesia menunjukkan sikap ambivalensi
dalam menjelaskan homoseksual. Tulisan Murtagh merupakan kontribusinya
dalam kajian tentang seksualitas remaja laki-laki di Indonesia. Namun kajian
seksualitas remaja laki-laki yang dianalisis hanya berfokus pada tema
homoseksual, sementara masih banyak tema-tema lain dalam ranah seksualitas
remaja laki-laki yang belum dieksplor.
Dari beberapa kajian akademis tentang maskulinitas di Indonesia, terlihat
bahwa penelitian komprehensif tentang dinamika wacana maskulinitas remaja
yang secara spesifik memfokuskan pada persoalan seksualitas dalam majalah
belum ada. Bagaimana persoalan maskulinitas dan seksualitas sebagai wacana
yang bergerak dan bergeser dari periode waktu yang berbeda dan
direpresentasikan dalam majalah merupakan tema yang belum pernah dibahas
secara mendalam. Penelitian ini bertujuan mengisi kekosongan tersebut, selain
juga untuk melengkapi kajian-kajian yang ada tentang maskulinitas di Indonesia.
1.5. Landasan Teori
1.5.1. Remaja Dan Maskulinitas
Persoalan remaja dan anak muda (youth) dalam kajian budaya telah
Page 29
29
menempati posisi penting sejak diterbitkannya buku Resistance Through Rituals
karya Stuart Hall dan Tony Jefferson (1976). Anak muda tidak lagi didefinisikan
secara biologis sebagai sebuah posisi sosial tertentu akibat perkembangan usia
mereka, namun anak muda sendiri merupakan suatu konstruksi sosial yang
berubah, pada waktu dan kondisi tertentu (Parsons dalam Barker, 2009:338).
Menurut Hebdige, anak muda direpresentasikan dengan resistensi, misalnya lewat
hooligan sepak bola atau geng motor yang identik dengan kekerasan dan
penyimpangan; dan sebagai konsumen dari fashion, gaya, musik dan aktivitas
hiburan lainnya (Barker, 2009:341).
Perubahan wacana remaja yang dipahami secara taken for granted sebagai
masa transisi dari anak-anak menuju usia dewasa dimulai pada masa setelah
perang dunia antara tahun 1945-1955. Saat itu remaja dan anak muda lebih
dipahami sebagai kategori budaya yang ditandai dengan kecenderungan pada gaya
tertentu, selera pada musik dan keterlibatan mereka pada pola-pola konsumsi
(Bennet, 2001:7). Pada era inilah remaja dan anak muda menjadi target konsumsi.
Pasca perang dunia, ekonomi mengalami perkembangan yang membawa pada
pertumbuhan konsumerisme. Channey (1996) menjelaskan pada masa itu
konsumerisme lazim dilakukan siapa saja, termasuk remaja dan anak muda. Pihak
industri menyadari remaja dan anak muda adalah pasar potensial, sehingga
menjadikan mereka sebagai komoditas. Remaja dan anak muda akhirnya
diasosiasikan dengan aktivitas hiburan dan budaya popular.
Di Indonesia, anak muda yang identik dengan hiburan dan budaya popular
merupakan upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa Orde Baru. Pemerintah
Page 30
30
sengaja membakukan istilah “remaja” untuk menjauhkan anak muda dari
persoalan politik. Anak muda yang sebelumnya disebut “pemuda” memiliki
konotasi politis yang berarti aktivis atau pejuang. Ben Anderson (2006) menyebut
istilah “pemuda” di era pemerintahan Sukarno mengacu pada istilah pejuang yang
melawan kolonialisasi. Pemuda menghabiskan waktu mengikuti organisasi
pemuda, mahasiswa dan partai politik. Di era Orde Baru, makna “pemuda”
bergeser menjadi sekelompok anak muda yang menyelesaikan persoalan tanpa
mengindahkan hukum yang berlaku (main hakim sendiri), melakukan kekerasan,
dan merupakan urban terrorist (Taylor, 2003:376).
Penggunaan istilah “remaja” membawa konsekuensi pada konotasi anak
muda apolitis dengan gaya hidup di luar persoalan-persoalan sosial dan politik,
seperti fashion atau musik (Siegel, 1986:224). Pertumbuhan ekonomi tahun
1970an ikut mendorong proses tersebut sehingga menciptakan gaya hidup baru
bagi anak muda Indonesia. Keberadaan remaja tidak lagi diperhitungkan oleh
pemerintah karena ruang lingkup mereka yang terbatas pada dua domain yang
menjauhkan mereka dari kekuasaan pemerintah, yaitu domain resmi yang
diarahkan oleh orang tua mereka, dan domain tidak resmi yang merupakan
wahana ekspresi mereka sebagaimana terlihat dalam budaya popular, seperti lagu
pop, atau film (Shiraisi, 2009:252-253).
Sebagai kelas sosial yang apolitis dan konsumtif, tidak mengherankan jika
remaja memiliki media habit yang tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa remaja
usia 8-18 tahun menghabiskan waktu hampir 8,5 jam dalam sehari untuk
mengkonsumsi media. Mulai usia 8 tahun, remaja meluangkan waktunya sekitar
Page 31
31
4,5 jam untuk menatap layar media, seperti TV, DVD, atau film, sementara
sisanya untuk mengkonsumsi media audio, media cetak, video games, dan
komputer (Kirsh, 2010:13). Berdasarkan data tersebut, media massa menjadi salah
satu sarana dalam proses identifikasi peran, performance, dan identitas kelas-kelas
dalam masyarakat, baik berdasarkan gender, etnis maupun usia. Media massa
memperkuat konstruksi identitas dan peran yang disosialisasikan oleh orang tua
dan guru. Misalnya, laki-laki maskulin adalah laki-laki heteroseksual. Media
menekankan role model menjadi laki-laki heteroseksual yang mendorong para
remaja untuk menjadi demikian.
Maskulinitas oleh Connell (2000:29) didefinisikan sebagai bentuk praktik
gender yang merupakan konstruksi sosial. Maskulinitas mengacu pada tubuh laki-
laki secara langsung maupun simbolis yang bukan ditentukan oleh biologis laki-
laki. Bagi Connell (2005:71), maskulinitas dipahami dalam arena reproduktif
untuk menjelaskan bahwa tubuh bukanlah sesuatu yang tetap dan ditentukan
secara biologis, namun melewati suatu proses historis. Maskulinitas diletakkan
pada relasi gender, yaitu praktik yang melibatkan laki-laki dan perempuan dan
berimplikasi pada pengalaman jasmaniah, sifat, dan kultur. Morgan (dalam
Beynon, 2002:7) menjelaskan “what is masculinity is what men and women do
rather than what they are”, maskulinitas adalah apa yang dilakukan laki-laki dan
perempuan. Sebagai konstruksi, maskulinitas bukan hanya milik laki-laki, namun
bisa juga dilekatkan pada perempuan.
Laki-laki dan maskulinitas seolah-olah saling terkait. Hal tersebut tidak
lepas dari anggapan bahwa keduanya dipengaruhi oleh asumsi-asumsi biologis
Page 32
32
sebagai standar menjadi laki-laki. Laki-laki normal, yaitu laki-laki agresif, aktif
secara seksual, atau rasional merupakan sesuatu yang natural. Lionel Tiger (2005)
dalam bukunya yang cukup fenomenal Men in Groups menawarkan teori
maskulinitas yang berbasis pada ide bahwa laki-laki berasal dari spesies pemburu.
Tubuh laki-laki merupakan pembawa maskulinitas natural yang diproduksi oleh
proses evolusi, sehingga laki-laki mewarisi gen-gen maskulinitas, yaitu
kecenderungan laki-laki yang agresif, ataupun kompetitif. Akibatnya, jika laki-
laki tidak punya karakteristik tertentu, dia dianggap bukan laki-laki yang
sesungguhnya. Laki-laki homoseksual dianggap bukan “the real man” karena
memiliki penyimpangan hormonal-hormonal tertentu yang membuatnya berbeda
dari laki-laki yang dianggap normal.
Pemahaman ini bertentangan dengan maskulinitas berdasarkan pendekatan
budaya bahwa laki-laki dan maskulinitas bukan suatu konsep universal dan tidak
terikat waktu (Brittan, 1989:1). Maskulinitas adalah konstruksi budaya, historis
dan geografis. Hal tersebut berimplikasi pada kompleksnya definisi maskulinitas.
Menurut Kimmell (2005:25), maskulinitas adalah sekumpulan makna yang selalu
berubah tentang hal-hal yang berhubungan dengan laki-laki (manhood) sehingga
memiliki definisi berbeda pada setiap orang dan waktu yang berbeda.
Definisi tersebut ditentukan oleh referensi tertentu yang diterima dan
dipercaya individu di waktu tertentu. Dalam kultur yang didominasi oleh norma
heteroseksualitas, laki-laki didefinisikan sebagai individu yang memiliki orientasi
seksual kepada perempuan. Ia menerima konstruksi tersebut agar ia diterima oleh
pihak lain di sekitarnya. Namun, kepercayaan ini tidak mutlak dan berlangsung
Page 33
33
sepanjang jaman. Pengaruh berbagai ideologi dan wacana tidak terelakkan dan hal
tersebut bisa memodifikasi kepercayaan akan norma heteroseksualitas.
Dengan demikian tak ada definisi maskulinitas yang universal bahkan
orisinal (Reeser, 2010:18). Jika bodybuilder menyebut Arnold Schwarzenegger,
seorang aktor film action, sebagai ikon laki-laki maskulin, maka mereka menjadi
duplikat Schwarzenegger dengan menampilkan otot-otot tubuhnya layaknya
Schwarzenegger. Schwarzenegger sendiri mungkin duplikat laki-laki lain,
Hercules dalam mitologi Yunani kuno misalnya. Antara Schwarzenegger, para
bodybuilder, atau Hercules adalah berbeda dari bentuk yang “orisinal”.
Maskulinitas yang ditampilkan adalah hybrid. Selalu ada reproduksi maskulinitas
di mana satu bentuk tertentu dimodifikasi menjadi bentuk-bentuk lain. Tubuh ala
Schwarzenegger direproduksi di Indonesia menjadi tubuh berotot seperti Ade Rai
misalnya, sebagai ikon bodybuilder Indonesia.
Variasi konstruksi memunculkan maskulinitas plural seiring pluralnya
masyarakat yang terbagi dalam beberapa dimensi, seperti ras, etnis, agama, kelas
sosial, usia, status, tingkat pendidikan dan sebagainya. Akibatnya, relasi antara
masing-masing tipe maskulinitas menjadi kompleks. Untuk itu, Connell (2005:77-
79) membagi pola maskulinitas berdasarkan praktik dan relasi antar tipe-tipe
maskulinitas tersebut, yaitu hegemonic dan subordinated masculinity.
Hegemonic masculinity mengacu pada konstruksi maskulinitas yang
dibangun oleh kultur yang berkuasa. Pola ini menjadi legitimasi dalam kultur
patriarki yang menjamin posisi dominan laki-laki atas perempuan. Saat rezim
berganti, rezim baru mengkonstruksi hegemoni baru. Ketika rezim militer
Page 34
34
berkuasa, maskulinitas ala militer menjadi hegemonik. Runtuhnya rezim militer
yang digantikan rezim industri, membuat maskulinitas baru muncul seiring
dengan kepentingan kelompok industri, yaitu maskulinitas ala metroseksual.
Subordinated masculinity sebagai oposisi merepresentasikan laki-laki yang
tersubordinasi dalam masyarakat. Misalnya gay yang terdiskriminasi dan
tereksklusi secara politik, hukum, dan ekonomi.
Dinamika maskulinitas di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari relasi
antara hegemonic dan subordinated masculinity. Hegemonic masculinity adalah
sekelompok orang yang menjalankan kepemimpinan patriarki dan diwakili oleh
figur “bapak”. “Bapak” adalah simbol laki-laki yang memiliki kekuasaan atas
perempuan dan anak-anaknya. Dalam politik Orde Baru, “bapak” menguasai
pengikut-pengikut loyalnya yang disebut dengan anak buah, model relasi tersebut
lalu diistilahkan dengan bapakism (Pye dan Pye, 1985:306). Bapakism merupakan
sosok priyayi Jawa kelas atas menjadi sosok maskulin ideal. Suharto menasbihkan
diri sebagai figur “bapak” dengan menyebut dirinya sebagai “bapak
pembangunan”. Ia tidak hanya memiliki kekuasaan penuh atas anak-anak dan
istrinya atau laki-laki yang berada di bawah dominasinya, namun juga berkuasa di
sektor bisnis, dan juga negara. Suharto kembali menanamkan hegemoni bahwa
kekuasaan yang dimilikinya adalah semata-mata sebagai kodrat dari Tuhan yang
tidak bisa dipertanyakan (Clark, 2004:118). Sikapnya yang tenang dan berwibawa
menunjukkan kualitas akal atau logika rasional atas nafsu. Karakter ini menjadi
referensi laki-laki ideal yang berlawanan dengan karakter pemuda dengan
gerakannya yang lebih didorong oleh nafsu daripada logika (Nilan et. al., 2009a).
Page 35
35
Hegemonic masculinity dalam kultur Indonesia menekankan pada sikap dan
kewibawaan di dalam diri, disebut Nilan sebagai moral/personal self regulation,
yang berbeda dengan konsep hegemonic masculinity ala barat yang menekankan
pada aspek-aspek fisik atau corporeal self regulation (Nilan et. al., 2007:10).
Handajani (2010:78) menyebutkan kelompok anak muda, seperti
mahasiswa, elit dan kelas menengah, yang memiliki ikatan dan kepentingan yang
sama, yaitu untuk melawan opresi patriarki sebagai subordinated masculinity.
Kelompok ini disebut sebagai pemuda. Gerakan pemuda dimulai sejak Sumpah
Pemuda tahun 1928. Sejak itu gerakan dan organisasi kepemudaan bergerak
dalam ranah sosial dan politik dan berkaitan dengan nasionalisme dalam rangka
mewujudkan kemerdekaan dan perubahan kehidupan negara yang lebih baik.
Gerakan tersebut terus berkembang hingga era pemerintahan Sukarno, sempat
terhenti di era Orde Baru akibat represi dari pemerintahan Suharto, lalu muncul
lagi tahun 1998 menumbangkan era Orde Baru.
Contoh lainnya adalah gay dan remaja. Jika figur “bapak” sebagai
hegemonic masculinity menunjukkan maskulinitas yang didefinisikan dalam
kerangka heteronormativitas dan seksualitas prokreatif, maka subordinated
masculinity berada di luar itu. Remaja laki-laki dianggap aseksual karena belum
terikat perkawinan. Seksualitas prokreatif hanya mengakui seksualitas dalam
hubungan perkawinan. Program KB Lestari menjadi upaya negara untuk
meregulasi seksualitas warga negara yang memberi implikasi bagi laki-laki dan
perempuan yang menikah. Menurut Sushartami (2010:149), program ini
menempatkan perempuan lajang bukan sebagai “real women” atau perempuan
Page 36
36
yang sesungguhnya. Hal yang sama juga berlaku bagi laki-laki lajang. Remaja
laki-laki atau laki-laki lajang menjadi kategori yang tidak dikenal secara seksual
oleh negara. Mereka lalu mencari ruang untuk mengidentifikasi makna-makna
seksual yang relevan bagi mereka, antara lain lewat media massa.
1.5.2. Wacana Seksualitas Laki-Laki: Konstruksi Sosial Atas Seksualitas dan
Maskulinitas
Maskulinitas sebagai kategori gender dikaitkan dengan perkembangan
seksual laki-laki. Seksualitas merupakan relasi laki-laki terhadap perempuan.
Relasi tersebut tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik, namun juga
merupakan sebuah tindakan yang melibatkan kesenangan, sensasi, keintiman, rasa
cinta, saling menjaga dan ketergantungan (Sprecher dan McKinney dalam
Pearson, West dan Turner, 1995:8). Sebagai tindakan yang melibatkan relasi antar
jenis kelamin, seksualitas mengatur peran seksual antara laki-laki dan perempuan.
Misalnya laki-laki berada pada pihak yang ekspresif dalam menampilkan
seksualitasnya, sementara perempuan justru seksualitasnya dikontrol dan dibatasi
(Pearson, West, dan Turner, 1995:9).
Seperti maskulinitas, seksualitas merupakan konstruksi sosial. Hal tersebut
dijelaskan oleh Kimmel (2005:141) sebagai berikut, “That we are sexual is
determined by a biological imperative towards reproduction, but how we are
sexual-where, when, how often, with whom and why-has to do with cultural
learning, with meaning transmitted in cultural setting”. Penjelasan Kimmel
tersebut menekankan bahwa seksualitas bukan semata-mata dorongan biologis,
namun lebih ditentukan oleh proses sosialisasi yang spesifik pada waktu dan
Page 37
37
kultur tertentu. Hal itu menyebabkan seksualitas menjadi cair dan selalu berubah
dari waktu ke waktu.
Seksualitas ditentukan oleh gender. Bagi laki-laki, maskulinitas atau
definisi budaya atas manhood menentukan konstruksi seksualitas. Lewat
pemahaman maskulinitas, seksualitas dikonstruksi. Melalui seksualitas identitas
gender seseorang dikonfirmasi. Gender mengkonfirmasi seksualitas dan
seksualitas menginformasikan gender. Sebagai konstruksi, seksualitas dibentuk
dan diproduksi di dalam wacana. Wacana menurut Foucault adalah “a group of
statements which provide a language for talking about—a way of representing
knowledge about—a particular topic at a praticular historical moment” (dalam
Hall, 1997:44). Inti dari pernyataan Foucault tersebut adalah bahwa wacana terdiri
dari pernyataan-pernyataan yang menjelaskan hal-hal tertentu pada periode waktu
tertentu. Persoalan relasi kekuasaan terjadi saat wacana dibentuk. Adanya
dominasi dan kontrol menyebabkan tidak ada definisi tetap untuk menjawab apa
dan bagaimana seksualitas. Wacana tidak pernah stabil dan bersifat situasional.
Wacana tentang seksualitas dipengaruhi oleh siapa yang berkuasa pada ruang dan
waktu tertentu. Dalam penjelasannya tentang power/knowledge, Foucault
menyebutkan relasi antara power dan knowledge dalam masyarakat moderen.
Knowledge tidak hanya merupakan bentuk dari power, namun power juga terlibat
pada bagaimana knowledge diberlakukan (Hall, 2002:48-49).
Penjelasan di atas menggarisbawahi bahwa wacana seksualitas dibentuk
lewat seperangkat aturan yang menentukan praktik wacana tersebut. Pada titik
inilah beroperasi proses inklusi dan eksklusi. Wacana seksualitas berelasi dengan
Page 38
38
sistem yang menempatkan apa yang dianggap patut dan tidak, benar dan salah,
normal atau menyimpang yang didefinisikan lewat makna-makna yang beroperasi
di dalamnya.
Wacana seksualitas beroperasi dalam sistem norma heteroseksual dan
kultur patriarki yang mengklasifikasikan secara tegas laki-laki dan perempuan
dalam relasi tertentu. Norma ini meletakkan laki-laki dan maskulinitas sebagai
sentral kekuasaan serta mengatur hubungan seksual yang melibatkan jenis
kelamin yang berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan. Yang dianggap normal
adalah laki-laki maskulin. Sementara homoseksual atau hubungan seksual yang
melibatkan jenis kelamin yang sama, laki-laki dengan laki-laki atau perempuan
dengan perempuan dianggap sebagai orientasi seksual yang tidak normal. Laki-
laki homoseksual adalah laki-laki lemah yang tidak normal sehingga
dieksklusikan dan diberi label tidak maskulin.
Beroperasinya rezim wacana atas seksualitas memunculkan apa yang
disebut oleh Ken Plummer (2005) sebagai hegemonic male sexuality. Apa dan
bagaimana laki-laki ditentukan oleh penis baik secara fisik maupun simbolis.
Penis bukan semata-mata ciri biologis laki-laki, namun merupakan simbol atas
kekuatan dan dominasi laki-laki. Beberapa persoalan yang ditimbulkan oleh penis,
seperti ukuran atau kemampuan dan ketahanan untuk ereksi menjadi standar
seksualitas laki-laki.
Berdasarkan pandangan hegemonik, laki-laki aktif secara seksual. Sistem
patriarki yang melegalkan praktik dominasi laki-laki atas perempuan
mengakibatkan relasi yang timpang, termasuk perbedaan peran seksual yang tidak
Page 39
39
setara. Laki-laki berperan sebagai pelaku dan perempuan sebagai gatekeeper.
Ketidaksetaraan peran seksual menghasilkan konstruksi bahwa laki-laki lebih
seksual daripada perempuan. Laki-laki meningkatkan perilaku seksualnya untuk
menunjukkan kelaki-lakiannya, sementara perempuan harus mengontrol perasaan
seksualnya agar tak dianggap hina (Kimmel, 2005:5). Hal itu membenarkan laki-
laki sebagai konsumen aktivitas seks, seperti pornografi, striptease, prostitusi dan
sebagainya. (Plummer, 2005:179).
David Leverenz (1991) menjelaskan bahwa “ideologies of manhood have
functioned primarily in relation to the gaze of male peers and male authority”
(dalam Kimmel, 2005:33). Seksualitas laki-laki juga berdasarkan pada pengakuan
laki-laki lain atas kelaki-lakiannya. Kelaki-lakian atau manhood ditunjukkan
lewat persetujuan laki-laki lain (homosocial enactment), bukan dari perempuan
karena dianggap memiliki posisi lebih rendah. Hal ini mendorong kompetisi di
antara laki-laki.
Jika maskulinitas merupakan homosocial enactment, maka yang terjadi
kemudian adalah ketakutan terhadap laki-laki lain atau homophobia. Homophobia
merupakan ketakutan bahwa laki-laki lain akan membuka kedoknya,
melemahkan, dan mengungkapkan bahwa ia bukanlah laki-laki sejati(Leverenz
dalam Kimmel, 2005:35). Homophobia berarti laki-laki takut dianggap gay,
sehingga mereka selalu menunjukkan ketertarikan seksual dan perilaku seksual
mereka pada perempuan.
Di luar wacana hegemonik, terdapat kondisi ketika laki-laki
mempraktikkan tindakan menyimpang dan memunculkan crisis of masculinity,
Page 40
40
yaitu kondisi di mana laki-laki merasa terancam dengan maskulinitasnya (Payne
dalam Christy, 2011:3). Laki-laki merasa tidak menjadi laki-laki seutuhnya karena
berbeda dengan role model-nya. Ini adalah efek penerimaan ideologi maskulin
yang menjustifikasi dan menaturalkan dominasi laki-laki (Brittan, 1989:4)
sehingga mengeksklusikan laki-laki yang kehilangan dominasinya, termasuk
dominasi secara seksual.
1.5.3. Maskulinitas dan Seksualitas Hegemonik dalam Majalah Gaya Hidup
Laki-Laki
Bethan Benwell (2003:7) menjelaskan adanya hubungan yang intim dan
sarat kuasa antara maskulinitas dan budaya populer. Majalah gaya hidup laki-laki
adalah bagian dari budaya populer yang merepresentasikan maskulinitas dan
menjadi situs sirkulasi, negosiasi, dan kontestasi makna-makna tentang
maskulinitas. Hal tersebut relevan dengan penjelasan Du Gay et. al. (2001:11)
bahwa media-dalam hal ini adalah majalah gaya hidup laki-laki-adalah artefak
budaya yang menunjukkan praktik-praktik sosial. Dengan demikian, materi dalam
majalah gaya hidup laki-laki menjadi referensi bagaimana maskulinitas dan
seksualitas laki-laki dipahami dan dipraktikkan.
Connell (1987, 2005) menyebutkan bahwa tidak ada maskulinitas
hegemonik yang tunggal. Dengan demikian, representasi maskulinitas, termasuk
seksualitas laki-laki dalam majalah gaya hidup laki-laki tidak pernah seragam.
Gagasan tentang laki-laki, mencakup penampilan fisik, karakter, hobi, dan relasi
dengan perempuan dan laki-laki lain, ditampilkan secara dinamis.
Page 41
41
Majalah gaya hidup laki-laki muncul pertama kali di Inggris pada tahun
1935 dengan nama Men Only. Dalam editorial salah satu edisi majalah tersebut
dituliskan, “We don’t want women readers. We won’t have women reader. It
sought bright articles on current male topics”7
. Majalah ini sejak awal
membedakan produknya dari majalah-majalah perempuan yang sudah lebih dulu
ada. Kontennya didominasi artikel bertopik maskulinitas heroik dan lukisan
berwarna yang menggambarkan perempuan telanjang. Pada perkembangan
selanjutnya, majalah ini mempertahankan foto-foto nudis, yang diikuti majalah
Playboy di Amerika tahun 1953. Barbara Einrich (dalam Gill, 2007:206)
menyebutkan bahwa kedua majalah tersebut bukan sekedar menjual tubuh
perempuan, namun juga sebagai peneguhan identitas laki-laki heteroseksual.
Tahun 1950an merupakan tahun-tahun pasca perang dunia dan menjadi
dekade yang menandai hubungan yang erat antara maskulinitas dan
konsumerisme (Gill, 2007:206). Kapitalisme pasca perang dunia merubah
logikanya lewat produksi berbagai kebutuhan dengan menciptakan pencitraan-
pencitraan yang dikemas sedemikian rupa. Logika ini melahirkan industri-industri
barang dan jasa baru yang dipromosikan lewat iklan-iklan. Bujukan-bujukan iklan
melahirkan konsumerisme. Fenomena ini juga melanda laki-laki yang diwujudkan
lewat pencitraan-pencitraan dalam majalah gaya hidup. Majalah Playboy
misalnya, disebut Einrich sebagai kitab suci laki-laki yang individualis, hedonis,
dan konsumtif. Laki-laki ini lahir dari perpecahan kelas yang dimunculkan
7Dalam Men’s Magazines: An A to Z,
http://www.magforum.com/mens/mensmagazinesatoz8.htm#333.
Page 42
42
kapitalisme. Mereka memberontak peran konservatif laki-laki sebagai pencari
nafkah dan pemimpin keluarga (Gill, 2007:206).
Majalah gaya hidup laki-laki semakin banyak bermunculan pada tahun
1980an. Sebut saja GC, Arena, i-D, Blitz, The Face dan sebagainya. Majalah-
majalah ini dikenal sebagai style magazine, yaitu majalah yang memfokuskan
pada gaya berbusana dan produk-produk untuk tubuh. Kehadiran majalah-majalah
ini berpengaruh pada dua hal (Gill, 2007:207): pertama, laki-laki menjadi target
baru bagi produk-produk fashion dan kosmetik. Pada periode sebelumnya, produk
fashion dan kosmetik identik dengan perempuan. Munculnya majalah-majalah ini
menunjukkan bahwa laki-laki menjadi pasar potensial bagi produk-produk
tersebut. Kedua, majalah-majalah tersebut menghadirkan representasi
maskulinitas yang baru. Beynon (2002) menyebut maskulinitas baru sebagai laki-
laki baru (new man).
Laki-laki baru merujuk pada laki-laki di era 1980an yang merupakan
perkembangan dari maskulinitas era sebelumnya yang menjauh dari atribut-atribut
maskulinitas tradisional dan patriarki (Beynon, 2002:99). Laki-laki baru
merupakan laki-laki pengayom (nurturer) dan laki-laki pemuja dirinya
(narcissist). Laki-laki pengayom muncul sekitar tahun 1970-1980an sebagai
respon atas gerakan feminisme yang memperjuangan kesadaran untuk menjadi
laki-laki yang lebih perhatian, mengayomi, dan bersedia berbagi di arena
domestik. Laki-laki pendukung gerakan ini berasal dari kelompok menengah ke
atas, berpendidikan tinggi dan intelek.
Page 43
43
Laki-laki pemuja dirinya berkembang seiring budaya konsumerisme yang
muncul sejak akhir Perang Dunia II. Generasi hippies di tahun 1950-1960an yang
identik dengan fashion dan musik menjadi awal berkembangnya budaya narsistik
di kalangan laki-laki. Posisi perempuan sebagai objek tatapan disaingi oleh laki-
laki. Laki-laki yang ditatap oleh perempuan atau juga oleh laki-laki lainnya mulai
diterima secara sosial. Artinya laki-laki menjadi objek seksual dan komersial.
Sean Nixon (dalam Beynon, 2002:103) menyebutkan tiga faktor yang mendorong
hal tersebut, yaitu menjamurnya outlet fashion untuk laki-laki, munculnya
representasi visual laki-laki dalam iklan dan televisi, serta berkembangnya style
magazine untuk laki-laki.
Konsep laki-laki baru mulai mendapatkan resistensi di tahun 1990an
dengan munculnya representasi laki-laki yang lain yang dikenal sebagai new lad
atau laddish masculinity. Laddish masculinity mengacu pada laki-laki yang
berperilaku buruk dan tidak peduli pada kecaman orang lain atas perilaku mereka.
Munculnya model maskulinitas ini merupakan reaksi atas laki-laki yang narsistik
dan eksploitasi media terhadap laki-laki, juga pada perempuan yang semakin
asertif. Tipikal laki-laki laddish berakar pada musik pop dan sepak bola yang
identik dengan sifat laki-laki yang keras, kasar, dan macho. Laddish masculinity
mengembalikan laki-laki pada konsep homososialitas, di mana laki-laki banyak
menghabiskan waktu luang bersama teman-temannya untuk bersenang-senang
dengan menonton pertandingan bola atau musik, menenggak bir dan bersikap
serta berperilaku yang merendahkan perempuan.
Page 44
44
Walaupun mengkritik komodifikasi laki-laki narsistik, bukan berarti laki-
laki laddish terbebas dari komersialisasi. Laki-laki tipe ini juga menjadi label
konsumerisme dengan tampilan yang macho, tak lepas dari bola dan musik serta
minuman keras, obat terlarang dan perempuan dalam konteks pornografi (Beynon,
2002:118). Bentuk komersialisasi ini yang lalu tampak pada kemunculan majalah
gaya hidup laki-laki di tahun 1990an, seperti Loaded, FHM, dan Maxim.
Majalah-majalah yang disebut sebagai lads mags atau “new men’s lifestyle
magazines” (Stevenson et. al, 2000) menolak konsep new man. Editorial Loaded
edisi Juli 1995 memuat tulisan, “grooming is for horses”, sebuah serangan
terhadap ide narsisitik yang ditawarkan new man (Gill, 2007:210). Selain itu lad
mags menganggap konsep new man sebagai gagasan yang tidak otentik. Laki-laki
ditampilkan bak objek pemasaran produk untuk menarik perhatian perempuan.
Gagasan ini dianggap menduplikasi gagasan perempuan sebagai bagian strategi
pemasaran produk-produk fashion dan kecantikan, sementara konsep lad justru
lebih jujur, terbuka dan otentik (Gill, 2007:211).
Selain melawan konsep new man, majalah-majalah lad juga dipahami
sebagai bentuk reaksi atas feminisme. Gill (2007:211) menyebut bahwa laki-laki
dalam majalah-majalah lad berperspektif misoginis dan bersikap layaknya
predator terhadap perempuan. Imelda Whelehan (dalam Gauntlett, 2002:166)
menyatakan bahwa majalah-majalah lad telah mengesampingkan pesan-pesan
feminis, menjadikan perempuan sebagai objek seksual, mengabaikan perubahan-
perubahan peran gender yang terjadi, bahkan mengemasnya menjadi sebuah
lelucon. Dalam hal perubahan peran gender di mana perempuan dapat
Page 45
45
menjalankan perannya di ranah maskulin, majalah-majalah lad menyatakan
bahwa peran-laki-laki justru semakin maskulin.
Perlawanan-perlawanan tersebut menggambarkan upaya majalah-majalah
lad untuk kembali pada konstruksi laki-laki konservatif. Hal tersebut ditunjukkan
lewat kembalinya performa fisik laki-laki yang berotot sebagai penampilan laki-
laki ideal. Meski demikian, majalah-majalah lad justru menunjukkan beberapa
ambivalensi. Misalnya, di satu sisi majalah-majalah lad mengakomodasi gagasan-
gagasan gender progresif, namun tetap berupaya untuk kembali pada dominasi
laki-laki atas perempuan (Stevenson et. al, 2000; Benwell, 2003). Contoh lainnya
adalah dalam hal berelasi dengan perempuan dan laki-laki lainnya. Stevenson et.
al (2000:373) mengutip Sean O‟Hogan, seorang jurnalis, menjelaskan ketika new
lad berhubungan dengan perempuan, maka ia terinspirasi pada gagasan nurturer
yang dipahami dalam konsep new man. Namun ketika berelasi dengan laki-laki
lain, maka ia kembali menjadi new lad yang menekankan homososialitas.
Majalah-majalah lad banyak menggunakan lelucon atau kalimat humoris,
bahkan untuk topik-topik serius. Stevenson et. al (2000) melihatnya sebagai upaya
untuk mengajak pembaca agar tak terlalu serius merespon hal-hal penting. Fokus
pada lelucon dan humor membawa ambivalensi lain. Benwall (2003) mengatakan
bahwa ketika menjelaskan sesuatu yang sifatnya heroik, dengan gaya bahasa yang
humoris malah justru menunjukkan bahwa majalah-majalah ini adalah anti-heroik.
Pemaparan di atas menggarisbawahi beragamnya konstruksi maskulinitas
dan seksualitas laki-laki dalam majalah gaya hidup laki-laki. Munculnya konsep
baru tidak serta merta menghilangkan konsep lama. Meski beragam, konstruksi
Page 46
46
tentang laki-laki berada dalam kerangka norma heteronormatif. Maskulinitas dan
seksualitas laki-laki juga tetap setia pada budaya patriarki yang mengakui
superioritas laki-laki.
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis sebagai pisau
analisis. Analisis teks dilakukan pada artikel dan rubrik seksualitas majalah Hai
yang terbit pada periode Orde Baru dan pasca Orde Baru untuk melihat wacana
seksualitas remaja laki-laki. Fairclough (2000) menyebut wacana meliputi
penggunaan bahasa dalam bentuk tulisan dan verbal, juga aktivitas semiotik, yang
meliputi citra visual dan bentuk-bentuk komunikasi nonverbal. Ia mengemukakan
tiga dimensi analisis: teks, sebagai rekaman peristiwa dan berfungsi
mengkomunikasikan fakta tertentu; praktik diskursif, tentang proses produksi dan
konsumsi teks; dan praktik sosiokultural yang melihat teks sebagai bagian dari
praktik sosial dan budaya tertentu.
Penelitian ini melihat bagaimana seksualitas remaja laki-laki dipahami dan
dipraktikkan dalam konteks budaya dan masyarakat yang dipengaruhi sistem
sosial, politik, dan budaya yang berlaku pada periode tertentu. Wacana seksualitas
remaja laki-laki adalah teks yang berkaitan dengan praktik diskursif, dalam hal ini
bagaimana pemahaman ideologi gender redaksi majalah Hai; dan praktik
sosiokultural, yaitu konteks sosial, politik, dan budaya pada saat artikel-artikel
tersebut diproduksi.
Page 47
47
1.6.2. Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian ini adalah artikel dan rubrik seksualitas majalah
Hai yang terbit tahun 1995-2004 sebagai periode transisi Orde Baru ke pasca
Orde Baru. Pada periode ini pula terjadi perkembangan teknologi media dan
komunikasi yang cepat serta berlangsungnya proses Islamisasi. Rentang waktu
tersebutdapat menggambarkan dinamika wacana seksualitas remaja laki-laki.
Topik yang diteliti meliputi seks, identitas dan peran gender, orientasi seksual,
erotisisme, kenikmatan, kemesraan, dan reproduksi. Artikel dan rubrik yang
diteliti berjumlah 52 judul.
Majalah Hai mulai berani menyebut istilah “seks” pada artikel dan rubrik
bertema seksualitas di bulan Februari 1996 untuk menggantikan istilah “Pergaulan
Sehat” di edisi-edisi sebelumnya. Adanya pemahaman peneliti bahwa sebuah
perubahan bukanlah sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, mendorong peneliti
memutuskan untuk meneliti artikel dan rubrik seksualitas dalam majalah Hai yang
terbit pada tahun 1995 hingga 2004. Rentang waktu 10 tahun dianggap oleh
peneliti sudah cukup menggambarkan dinamika diskusi seksualitas selama
periode transisi.
1.6.3. Teknik Analisis Data
Dengan melihat bahasa sebagai wacana dan praktik sosial, maka analisis
tidak hanya dilakukan terhadap teks, namun juga terhadap relasi antara teks,
proses dan kondisi sosialnya, baik kondisi konteks situasional maupun kondisi
struktur institusional dan sosial yang lebih luas (Fairclough; 2001:21). Dalam
Page 48
48
menganalisis dinamika wacana seksualitas laki-laki majalah Hai dilakukan tahap-
tahap berikut:
1. Tahap deskripsi menitikberatkan pada identifikasi properti formal teks. Bahasa
tidak semata-mata mengkomunikasikan pesan, namun juga membawa makna
tertentu. Makna-makna itulah yang akan digali sehingga ditemukan dinamika
wacana seksualitas laki-laki tersebut. Langkah-langkahnya adalah:
a. Mengumpulkan artikel dan rubrik yang membahas topik-topik seksualitas.
b. Melakukan kategorisasi tema, antara lain perilaku seksual (seperti pacaran
dan penyimpangan seksual), seks bebas, atau orientasi seksual
(homoseksual).
c. Data yang terkumpul dianalisis dengan memfokuskan pada kata-kata,
diksi, metafora, struktur kalimat, paradoksalitas, dan gaya bahasa.
2. Tahap interpretasi menitikberatkan relasi antara teks dan interaksi atau melihat
teks sebagai produk dari proses produksi dan sumber dari proses interpretasi,
peneliti melakukan analisis untuk melihat tujuan mengapa teks tertentu dipilih
untuk ditampilkan. Untuk itu intertekstualitas dan interdiskursivitas menjadi
perhatian. Misalnya analisis terhadap kebijakan-kebijakan redaksional majalah
Hai untuk melihat relasi antara ideologi gender redaksi majalah Hai dengan
produksi wacanaseksualitas laki-laki dalam artikel-artikel majalah Hai.
3. Tahap eksplanasi menitikberatkan relasi teks dan konteks sosial, dilakukan
analisis terhadap praktik sosial untuk melihat konteks sosiokultural yang
melatarbelakangi produksi teks seksualitas dalam majalah Hai. Misalnya
Page 49
49
analisis terhadap kebijakan pemerintah, tren media, atau isu-isu sosial yang
terjadi saat produksi teks.
1.7. Sistematika Penulisan Disertasi
Penulisan disertasi ini disusun berdasarkan sistematika penulisan berikut:
Bab I. Pendahuluan
Pada bab ini dijelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan metode penelitian.
Bab II. Kompleksitas Wacana Seksualitas Laki-Laki di Indonesia
Bab ini memaparkan konteks penelitian ini, yaitu bagaimana wacana
seksualitas laki-laki di Indonesia. Wacana tersebut dipengaruhi oleh pergantian
rezim politik yang berimplikasi pada perubahan ideologi gender, perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi, serta Islamisasi.
Bab III. Memasarkan Seks Untuk Remaja Ala Majalah Hai
Di bab III dijelaskan tentang majalah Hai yang menjadi objek penelitian
ini. Pembahasan tentang majalah Hai meliputi: identitas Hai dan potensi pasar
remaja laki-laki, membayangkan remaja anti kemapanan, konten seks untuk
remaja sebagai konten edukatif yang menghibur, dan pasang surut rubrik dan
artikel seksualitas.
Bab IV. Ambivalensi Wacana Seksualitas Remaja Laki-Laki: Antara
Konservatisme dan Liberalisme Seksual
Bab IV menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu tentang
wacana seksualitas remaja laki-laki yang dibangun oleh majalah Hai. Hai
mempraktekkan berlakunya wacana seksualitas remaja laki-laki yang ambivalen
Page 50
50
dan berada di antara konservatisme dan liberalisme seksual. Penjelasan atas hal
tersebut dibagi dalam empat tema: wacana seks “jalan tengah”, politik kenikmatan
seksual, perbedaan gender dalam praktik seksual, dan promosi anti-homoseksual.
Bab V. Politik Seksual Majalah Hai
Bab V berisi penjelasan tentang hal-hal yang mempengaruhi Hai dalam
memproduksi wacana seksualitas remaja laki-laki, yaituisu-isu tentang kontrol,
emansipasi dan medis dalam konten seksualitas, serta praktek komodifikasi seks.
Bab VI. Kesimpulan
Bab ini menyampaikan gagasan peneliti atas penelitian yang telah
dilakukan, berikut hal-hal yang belum dieksplorasi untuk dilakukan pada
penelitian berikutnya.