1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra pada umumnya dipandang sebagai hasil imajinasi pengarang. Segala sesuatu yang ada di dalam sebuah karya sastra merupakan sesuatu yang diadakan melalui daya imajinasi pengarang. Artinya, segala sesuatu yang ada di dalam sebuah karya sastra bukan merupakan sesuatu yang empirik sebagaimana kenyataan yang ada dalam kehidupan. Karya sastra tidaklah identik dengan kehidupan, tetapi merupakan imitasi kehidupan yang telah diolah oleh pengarang dengan memasukkan unsur imajinasi ke dalam karya tersebut sehingga menjadi karya sastra yang diciptakan, bukan semata-mata kisah kehidupan nyata sehari-hari. Imajinasi yang hidup dan mengalir dalam proses penciptaan bergantung pada kepekaan pengarang dalam menangkap fenomena yang terjadi di sekelilingnya. Kepekaan pengarang tersebut biasanya berasal dari hal-hal yang ia lihat, dengar, dan rasakan sehingga dapat memengaruhi karyanya. Oleh karena itu, karya sastra sering dianggap sebagai potret kehidupan masyarakat yang terdapat di sekitar pengarang, atau bahkan merupakan kenyataan sosial (Wellek dan Warren, 1993:109). Menurut Lowell dan Arnold (via Wellek dan Warren, 1993:276—277), karya sastra merupakan seleksi kehidupan yang direncanakan dengan tujuan tertentu. Dengan daya imajinasi yang dimilikinya pengarang mencoba memasukkan berbagai tema dalam karya sastranya. Adapun tema yang diciptakan pengarang
22
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69747/potongan/S1-2014... · Karya Remy banyak mengandung unsur-unsur sejarah seperti Kembang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Karya sastra pada umumnya dipandang sebagai hasil imajinasi pengarang.
Segala sesuatu yang ada di dalam sebuah karya sastra merupakan sesuatu yang
diadakan melalui daya imajinasi pengarang. Artinya, segala sesuatu yang ada di
dalam sebuah karya sastra bukan merupakan sesuatu yang empirik sebagaimana
kenyataan yang ada dalam kehidupan. Karya sastra tidaklah identik dengan
kehidupan, tetapi merupakan imitasi kehidupan yang telah diolah oleh pengarang
dengan memasukkan unsur imajinasi ke dalam karya tersebut sehingga menjadi karya
sastra yang diciptakan, bukan semata-mata kisah kehidupan nyata sehari-hari.
Imajinasi yang hidup dan mengalir dalam proses penciptaan bergantung pada
kepekaan pengarang dalam menangkap fenomena yang terjadi di sekelilingnya.
Kepekaan pengarang tersebut biasanya berasal dari hal-hal yang ia lihat, dengar, dan
rasakan sehingga dapat memengaruhi karyanya. Oleh karena itu, karya sastra sering
dianggap sebagai potret kehidupan masyarakat yang terdapat di sekitar pengarang,
atau bahkan merupakan kenyataan sosial (Wellek dan Warren, 1993:109). Menurut
Lowell dan Arnold (via Wellek dan Warren, 1993:276—277), karya sastra
merupakan seleksi kehidupan yang direncanakan dengan tujuan tertentu.
Dengan daya imajinasi yang dimilikinya pengarang mencoba memasukkan
berbagai tema dalam karya sastranya. Adapun tema yang diciptakan pengarang
2
biasanya berupa tema-tema yang masih berhubungan dengan kehidupan manusia
sehari-hari, misalnya ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Selain itu, permasalahan
mengenai perempuan juga banyak diangkat ke dalam karya sastra seperti
ketidakadilan gender, pelacuran, penganiayaan, prostitusi, dan prasangka gender.
Ketidakadilan gender yang dialami perempuan termanifestasikan dalam
berbagai bentuk, antara lain, marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinasi
atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan streotipe negatif,
kekerasan dan, beban kerja yang berat. Hal tersebut didukung dengan adanya sistem
patriarki dan ideologi seksual. Dalam sistem patriarki, hubungan antara laki-laki dan
perempuan bersifat hierarkis, yakni kaum laki-laki berada pada kedudukan puncak
dan mendominasi kaum perempuan, sedangkan kaum perempuan berada pada
kedudukan di bawahnya atau subordinat. Keadaan tersebut membuat perempuan
tertindas oleh kaum laki-laki dalam segala hal. Ketidakadilan gender tersebut
melahirkan gerakan feminisme yang berjuang melawan ketertindasan yang dialami
perempuan oleh laki-laki.
Karya sastra merupakan salah satu alat yang bisa digunakan untuk
memperjuangkan hak-hak perempuan. Melalui karya sastra, pengarang
menyosialisasikan ide-ide feminis yang diperjuangkan dengan menempatkan tokoh-
tokoh perempuan (Sugihastuti, 1991:46). Dalam karya sastra Indonesia banyak sekali
terkandung unsur feminisme, antara lain, Layar Terkembang karya Sutan Takdir
Alisjahbana (1936), Belenggu karya Armijn Pane (1940), dan Saman karya Ayu
Utami (1998).
3
Di antara banyak pengarang (laki-laki) Indonesia yang mengangkat ide-ide
feminis dalam karya-karyanya terdapat nama Remy Sylado. Sastrawan Indonesia ini
lahir pada 12 Juli 1945 di Malino, Makassar, Sulawesi Selatan. Pengarang yang
terkenal dengan nama Remy Sylado ini mempunyai nama asli Jubal Anak Perang
yang disingkat menjadi Yapi Tambayong. Nama Remy Sylado mempunyai beberapa
nama samaran yaitu Dova Zila, Jubal Anak Perang Imanuel, Juliana C. Panda, dan
Alif Dana Munsy. Kiprahnya dimulai pada saat berumur 18 tahun. Selain menulis
novel, ia juga menulis cerpen, kritik, puisi, drama, kolom, esai, sajak, roman populer,
dramaturgi, bahasa, dan buku-buku musikologi. Ia pernah menjadi redaktur pelaksana
harian Tempo di Semarang pada tahun 1965. Sebelum bekerja di harian Tempo, ia
memulai karir sebagai wartawan majalah harian Sinar Indonesia pada 1963—1965,
kemudian menjadi redaktur majalah Aktuil di Bandung pada tahun 1970, dan menjadi
dosen di Akademi Sinematografi Bandung sejak tahun 1971, bahkan pernah menjadi
dosen di beberapa universitas di Jakarta. Remy yang kini tinggal di Bandung itu juga
menjadi Ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung dan Pendiri Padepokan
Teater Jakarta pada tahun 1980. Dalam karya-karyanya, Remy selalu memasukkan
unsur budaya yang di luar budayanya sendiri, seperti dalam novel Ca Bau Kan, yaitu
budaya Tionghoa.
Remy juga terkenal dengan karyanya yang berupa puisi mbeling. Puisi
mbeling merupakan hasil karyanya yang memberontak terhadap segala kemapanan
yang telah ada. Puisi ini dipublikasikan di majalah Aktuil pada Agustus 1972 di
4
Bandung dan di majalah Pop. Puisi tersebut sangat terkenal di masyarakat dengan
gaya bahasa yang nyentrik. Ia senang dipanggil penyair. Ia menganggap bakat seni
yang ada pada dirinya adalah anugerah yang diberikan Tuhan padanya dan ia selalu
mensyukuri hal yang diberikan Tuhan pada dirinya. Selain sebagai sastrawan, ia juga
dikenal sebagai munsyi atau ahli bahasa. Pada tahun 2004 Remy Sylado mendapat
Satya Lencana Kebudayaan karena sering mengenalkan istilah Indonesia yang jarang
dipakai, bahkan lebih mengarah ke bahasa dengan nuansa sejarah dan budaya dalam
karya-karya yang dihasilkan (Eneste, 2001:196). Selain penghargaan Satya Lencana
Kebudayaan, novel karya Remy yang berjudul Kerudung Merah Kirmiji mendapat
hadiah sastra Khatulistiwa Award.
Sebagai sastrawan, Remy Sylado telah menghasilkan beberapa karya, di
antaranya, ialah Gali Lobang Gila Lobang (1977), Kita Hidup Hanya Sekali (1977),
Ca Bau Kan (Hanya Sebuah Dosa) (1999), Kerudung Merah Kirmizi (2002),
Kembang Jepun (2003), Paris Van Java (2003), Sam Po Kong (2004), Menunggu
Matahari Melbourne (2004), Boulevard de Clicky: Agonia Cita Monyet (2006),
Mimi lan Mintuna (2007), dan Pangeran Diponegoro (2008).
Selain itu, Remy juga terkenal aktif menulis naskah drama. Beberapa karya
drama Remy di antaranya adalah Melati Buat Rima (1968), Orexas (1969), Wei Tjong
dan Siti Mudjenah (1969), Mesiah II (1970), Improptu I (1970), Genesis II (1972),
Testamentum (1973), Improptu II (1976), Tiga Tikus (1980), Untung Suropati (1980),
RW OI versus RW 02 (1980), Nabi Ibrahim (1982), Pinkan dan Marindas (1985),
5
Toar dan Lumimuut (1986), A.J.I (1989), Nabi Ayub (1996), Di Sebuah Sudut Taman
(1999), dan 19 Oktober (2005). Selain menulis novel dan naskah drama, Remy juga
sangat senang melukis.
Karya Remy banyak mengandung unsur-unsur sejarah seperti Kembang Jepun
yang berlatar penjajahan Jepang, Siau Ling yang berlatar belakang kehidupan kota
Semarang abad ke-15, Kerudung Merah Kirmizi berlatar belakang awal masa
reformasi, Paris Van Java berlatar belakang masyarakat Belanda di Indonesia ketika
menjajah Indonesia, Boulevard De Clicky: Agonia Cinta Monyet berlatar belakang
sosial masa pascaorde Baru (masa reformasi), dan Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah
Dosa) berlatar belakang zaman kolonial di lingkungan pedagang Tionghoa.
Salah satu karya Remy yang mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat
adalah Ca-Bau-Kan. Novel tersebut berlatar belakang zaman kolonial di lingkungan
pedagang Tionghoa dalam kurun waktu 1918—1951, yang ingin membantah
pandangan stereotipe bahwa keturunan Tionghoa tidak memiliki andil dalam sejarah
kemerdekaan Indonesia. Novel yang diterbitkan pada tahun 1999 tersebut tidak hanya
mengangkat masalah itu, tetapi Remy juga memberi sentuhan permasalahan
ketidakadilan gender. Adapun keistimewaan lain dalam novel Ca-Bau-Kan yang
selanjutnya akan disingkat CBK ini adalah pernah diangkat ke dalam layar lebar pada
tahun 2002 dengan disutradarai perempuan muda Nia Dinata. Film drama romantis
ini mendapat penghargaan Asia Pacific Film Festival ke-47, Seoul, Korea Selatan
(2002) yaitu penata artistik terbaik (Iri Supit) dan sutradara pendatang baru terbaik