Top Banner
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di Indonesia merupakan sesuatu yang menarik, mengingat eksistensi dari tiap-tiap komunitas agama yang ada mempunyai implikasi-implikasi politis, terutama dikaitkan dengan agama Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat negeri ini. Dalam komunitas Islam terdapat berbagai kelompok keagamaan yang masing-masing memiliki kecenderungan yang berbeda dalam setiap sikap dan tindakan sosial dan politiknya. Sikap dan tindakan dari setiap komunitas agama tersebut didasarkan pada kewajiban moral keagamaan dalam menciptakan kehidupan yang beradab. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam merupakan suatu organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang dakwah Islam, dengan orientasi gerakan pada pencerahan umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri. Dalam gerakan dakwahnya Muhammadiyah dikenal pula sebagai gerakan Islam yang mempunyai banyak wajah (Nakamura 1983: 226) dalam arti netral, yang menunjukkan bahwa gerakan Islam modernis ini tidak dapat ditilik hanya dari satu sisi dengan satu wajah tetapi memerlukan pendekatan yang holistik 1 . Sementara itu Alfian, menemukan peranan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu Islam di Indonesia, yakni 1 Muhammadiyah adalah nama dari organisasi (persyarikatan) Islam yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Jogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H. Bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1912 M. Kata “Muhammadiyah” dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw, yang mengandung arti sebagai pengikut Nabi Muhammad saw. Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah disebutkan bahwa “persyarikatan ini bernama Muhammadiyah, adalah gerakan Islam dan Dakwah amar ma’ruf nahi munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah”. Lihat: PP Muhammadiyah, Pedoman Bermuhammadiyah, (Yogyakarta: Badan Pendidikan Kader PP Muhammadiyah, Cetakan III-1996), hal. 39
46

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

Mar 07, 2019

Download

Documents

lamquynh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di Indonesia merupakan

sesuatu yang menarik, mengingat eksistensi dari tiap-tiap komunitas agama yang ada

mempunyai implikasi-implikasi politis, terutama dikaitkan dengan agama Islam yang

dianut oleh mayoritas masyarakat negeri ini. Dalam komunitas Islam terdapat

berbagai kelompok keagamaan yang masing-masing memiliki kecenderungan yang

berbeda dalam setiap sikap dan tindakan sosial dan politiknya. Sikap dan tindakan

dari setiap komunitas agama tersebut didasarkan pada kewajiban moral keagamaan

dalam menciptakan kehidupan yang beradab.

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam merupakan suatu organisasi

keagamaan yang bergerak dalam bidang dakwah Islam, dengan orientasi gerakan

pada pencerahan umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri. Dalam gerakan

dakwahnya Muhammadiyah dikenal pula sebagai gerakan Islam yang mempunyai

banyak wajah (Nakamura 1983: 226) dalam arti netral, yang menunjukkan bahwa

gerakan Islam modernis ini tidak dapat ditilik hanya dari satu sisi dengan satu wajah

tetapi memerlukan pendekatan yang holistik1. Sementara itu Alfian, menemukan

peranan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu Islam di Indonesia, yakni

1 Muhammadiyah adalah nama dari organisasi (persyarikatan) Islam yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Jogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H. Bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1912 M. Kata “Muhammadiyah” dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw, yang mengandung arti sebagai pengikut Nabi Muhammad saw. Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah disebutkan bahwa “persyarikatan ini bernama Muhammadiyah, adalah gerakan Islam dan Dakwah amar ma’ruf nahi munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah”. Lihat: PP Muhammadiyah, Pedoman Bermuhammadiyah, (Yogyakarta: Badan Pendidikan Kader PP Muhammadiyah, Cetakan III-1996), hal. 39

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

2

sebagai a religious reformist, agent of social changes, and a political force,

khususnya pada masa Kolonialisme2.

Sebagai gerakan pembaharuan keagamaan, Muhammadiyah tampil dalam

gerakan pemurnian dengan memberantas syirik, takhayul, bid’ah dan khurafat di

kalangan ummat Islam. Sebagai agen perubahan sosial, ia melakukan modernisasi

sosial dan pendidikan guna memberantas keterbelakangan umat Islam. Sebagai

kekuatan politik, Muhammadiyah memerankan diri selaku kelompok kepentingan.

Beberapa sisi dari wajah Muhammadiyah itu pada umumnya bermuara pada satu

predikat yakni gerakan tajdid, gerakan pembaharu, gerakan reformis atau modernis.

Gerakan pembaharuan itu merefleksikan upaya proses reislamisasi yang

terus menerus di kalangan kaum muslim yang meliputi proses: (1) upaya

mengembangkan pemahaman yang benar tentang praktik-praktik keagamaan dan

usaha-usaha yang diarahkan untuk pemurnian kepercayaan dan ritual Islam dari

pengaruh-pengaruh yang menyimpang; (2) penegasan kembali (reaffirmasi) ajaran-

ajaran pokok tentang urusan-urusan keduniaan; dan (3) Penafsiran terhadap Islam

yang memberikan dasar sebuah wawasan, bahwa Islam memiliki potensi dan

kemampuan untuk beradaptasi dan berubah3.

Meskipun Muhammadiyah dimaksudkan sebagai organisasi dakwah dan

pendidikan, bukan sebagai organisasi politik. Namun demikian tidak berarti bahwa

Muhammadiyah anti politik, karena bagaimana pun Muhammadiyah berkepentingan

dengan politik untuk mendukung dan melancarkan gerakan dakwahnya. Oleh karena

itu, dalam menghadapi perubahan politik, Muhammadiyah selalu berhati-hati dan

2 Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior Of A Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989), Hal. 5. 3 Ahmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis (Surabaya :LPAM, 2002), hal. 2.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

3

bersikap lentur, dengan tetap menjaga komitmen untuk mengutamakan bidang

dakwah, pendidikan dan kesejahteraan sosial.

Persinggungan Muhammadiyah dengan politik dapat ditelusuri antara lain

melalui Studi mengenai Muhammadiyah dan politik dengan mengambil fokus

tentang perilaku politik elite Muhammadiyah, dengan pertimbangan bahwa:

Pertama, Muhammadiyah melalui elit pimpinannya selama ini dikenal cukup luas

serta banyak menempati posisi dan peranan yang cukup penting dalam kehidupan

masyarakat dan bangsa Indonesia. Posisi dan peranan yang besar dari

Muhammadiyah dapat dicermati dari keberadaan organisasi Islam ini yang menurut

Peacock telah menjadi sebuah pergerakan Islam yang terkuat di Asia Tenggara4.

Kedua, melalui penelitian sosiologis dapat dijelaskan bagaimana kenyataan sosial

Muhammadiyah yang tercermin dalam perilaku para elitnya menunjukkan koherensi

atau inkonsistensi antara citra ideal dan ide kebajikan dengan dunia nyata yang boleh

jadi berjalan ke arah lain sebagaimana suatu kelaziman dalam kehidupan sosial

Muhammadiyah sejak kelahirannya tahun 1912 sampai sekitar tahun 1960-

an banyak dipimpin dan digerakkan oleh elite ulama yang memiliki latar belakang

pendidikan pesantren dengan pekerjaan sebagai pedagang (wiraswasta). Persentuhan

Muhammadiyah dengan politik di bawah kepemimpinan elite ulama tersebut antara

lain, sebagai contoh, pada masa pendudukan Jepang di bawah kepemimpinan K.H.

Mas Mansur yang menjadi tokoh Empat Serangkai (Bersama Soekarno, Mohammad

Hatta dan Ki Hadjar Dewantara), Muhammadiyah mengeluarkan keputusan

pelarangan melakukan saikeire di sekolah-sekolah dan dalam pertemuan-pertemuan

4James L.Peacock, Gerakan Muhammadiyah Memurnikan Ajaran Islam Di Indonesia (Jakarta: Cipta Kreatif, 1986), hal.26.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

4

Muhammadiyah5. selanjutnya Pasca Kemerdekaan, Muhammadiyah bersama NU

(Nahdatul Ulama) dan beberapa organisasi Islam lainnya ikut membidani partai

Islam Masyumi serta menjadi anggota istimewanya. Setelah NU keluar dari

Masyumi dalam tahun 1952, Muhammadiyah menjadikan Masyumi sebagai

“penyalur aspirasi politiknya”. Muhammadiyah banyak memberikan ide-ide maupun

tokoh-tokoh yang aktif pada partai Masyumi tahun 1950-an. Ketika Masyumi di

bubarkan Tahun 1960, Muhammadiyah terlibat lagi dalam politik dengan membidani

pendirian Parmusi di awal Orde Baru, meskipun akhirnya ternyata gagal6.

Belajar dari keterkaitan Muhammadiyah dengan partai Politik Masyumi

dan Parmusi, maka pada tahun 1971 Muhammadiyah mengambil sikap untuk

melepaskan diri dari keterkaitan dengan partai politik manapun. Sikap ini

diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah di Ujung Pandang, yang menyatakan

bahwa Muhammadiyah tidak akan berafiliasi dengan partai politik manapun, tetapi

para anggota Muhammadiyah bebas menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai

politik yang tidak merugikan Islam.

Wujud sikap netral Muhammadiyah terhadap politik praktis selama Orde

Baru oleh Din Syamsuddin (1995) , disebut dengan istilah “politik alokatif”

(Allocative Politics), yang mengandung arti bahwa aktivitas politik Muhammadiyah

diupayakan untuk menanamkan nilai-nilai tertentu di dalam kerangka ideologi

5 Saikeire artinya membungkuk ke arah matahari terbit untuk menghormat kepada Tenno Haika, gelar Kaisar Jepang, Lihat A. Syafii Maarif. “Muhammadiyah dan High Politics” dalam jurnal Ulumul Qur’an, No.2, Vol.VI, 1995, hlm.10. 6 Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997).

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

5

negara. Yang dimaksud dengan nilai-nilai tertentu adalah prinsip-prinsip Islam yang

ditanamkan ke dalam proses pembangunan berdasarkan Pancasila.7

Pada Periode Orde Baru ini, Muhammadiyah dipimpin oleh tokoh yang

berlatar belakang sebagai Pegawai Negeri (Departemen Agama) sekaligus sebagai

kiai tamatan pondok pesantren. Kehadiran elite ulama yang juga pegawai negeri

dalam Muhammadiyah tersebut tampak menonjol sejak masa kepemimpinan K.H.

AR. Fakhruddin yang cukup lama (22 tahun) yang diikuti oleh kecenderungan serupa

di jajaran kepemimpinan lainnya di tingkat pusat maupun wilayah dan daerah. Gejala

sosial ini dikenal sebagai kehadiran elite birokrat dalam Muhammadiyah8.

Bersamaan dengan kehadiran elite birokrasi dalam Muhammadiyah, pada sekitar

akhir dasawarsa 1970-an muncul elite baru yang lain, yakni para politisi yang sikap

dan afiliasi politiknya berada dalam jalur Golongan Karya yang identik dengan partai

pemerintah. Kehadiran elite politik Golkar dalam Muhammadiyah tersebut

berkembang bersamaan dengan pergeseran kehidupan sosial politik di tingkat makro

dalam percaturan politik umat Islam dengan terjadinya hubungan yang saling

akomodatif atau konvergensi antara Islam dan negara serta antara kelompok santri

dan abangan yang melahirkan situasi politik baru di Indonesia9.

Kehadiran elite birokrasi dan elite politisi baru tersebut dipandang

menumbuhkan kecenderungan sikap atau orientasi politik Muhammadiyah yang

semakin moderat, akomodatif, atau koperatif. Yaitu elite Muhammadiyah dan

7 M. Din Syamsuddin, “The Muhammadiyah Da’wah and Allocative Politics in the New Order”, dalam Studi Islamika Indonesia Journal For Islamic Studies, Vol.2.number 2, 1995, hlm.48. 8 H. Djarnawi Hadikusumo, Matahari-Matahari Muhammadiyah (yogyakarta: PT Persatuan, tanpa tahun). 9 Sejumlah karya ilmiah berupa buku, disertasi, tesis dan kajian lainnya telah menelaah tentang gejala politik Islam di era Orde Baru. Lihat karya Abdul Azis Taba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996). Sudirman Tebba, Islam Orde Baru: perubahan politik dan Kenegaraan (Jogyakarta: Tiara Wacana, cetakan I-1993).

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

6

Muhammadiyah secara kelembagaan jauh lebih dekat dengan kekuasaan

(pemerintah, negara) daripada dengan masyarakat. Tetapi berkembang pula

pandangan lain bahwa kehadiran elite birokrasi dan elite politisi dalam

Muhammadiyah membuka saluran dan peluang bagi Muhammadiyah dalam

mengembangkan akses politik bagi usaha pemberdayaan masyarakat melalui gerak

dakwah dan amal usaha.

Selanjutnya, memasuki era baru reformasi yang meluas dalam kehidupan

masyarakat dan bangsa Indonesia sejak kejatuhan rezim Soeharto pada 21 Mei 1998

yang diiringi oleh proses demokratisasi politik. Seperti lahirnya perombakan undang-

undang kepartaian, memberi peluang bagi kekuatan-kekuatan sosial dalam

masyarakat untuk membentuk partai politik. Seiring situasi tersebut, dalam

komunitas Muhammadiyah tumbuh pula perkembangan politik baru, yakni kehadiran

Prof. DR. M. Amien Rais di panggung politik nasional dengan mendirikan partai

politik yang bersifat terbuka (inklusif) yaitu Partai Amanat Nasional (PAN). Sejak

kelahiran PAN tumbuh dinamika politik baru dalam Muhammadiyah. Antara lain,

sebagian besar elite dan warga Muhammadiyah di berbagai tingkatan aktif sebagai

inisiator dan kemudian banyak di antaranya yang aktif sebagai pengurus atau

pimpinan PAN.

Sehubungan dengan perkembangan politik yang baru dalam

Muhammadiyah ini, maka penelitian tentang perilaku politik elite Muhammadiyah

pasca Orde Baru, menjadi kajian yang menarik untuk memberikan pengayaan

khasanah ilmu sosial dalam mempelajari salah satu gejala sosial, yakni mengenai

elite dan politik dalam Muhammadiyah melalui pendekatan sosiologi.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

7

1.2. Rumusan Masalah

Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagamaan, dan bukan organisasi

politik. Komitmen Muhammadiyah untuk lebih mengutamakan bidang dakwah,

pendidikan, dan kesejahteraan diwujudkan secara tegas; Muhammadiyah belum

pernah berubah menjadi organisasi politik atau partai politik. Namun ini bukan

berarti Muhammadiyah anti politik. Bahkan dari pemaparan di atas kita mendapatkan

gambaran keterlibatan Muhammadiyah dalam politik, melalui peran politik yang

dimainkan oleh elite Pimpinan Muhammadiyah.

Selanjutnya untuk mendapatkan gambaran empirik tentang Muhammadiyah

melalui perilaku konkret dari para elite pimpinannya, terutama dikaitkan dengan

dinamika politik yang semakin terbuka di era reformasi. Maka secara ringkas dapat

dirumuskan permasalahan yang hendak diteliti dan dikaji sebagai berikut:

1. Bagaimana profil elite dalam kepemimpinan Muhammadiyah di Makassar pasca

Orde Baru (1999-2004)?

2. Bagaimana kecenderungan perilaku politik elite Muhammadiyah di Makassar

pasca Orde Baru (1999-2004)?

1.3. Tujuan dan kegunaan Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

a) Menjelaskan secara umum profil elite Muhammadiyah dan kecenderungan

perilaku politik elite Muhammadiyah di Kota Makassar, pasca Orde Baru

tahun 1999-2004.

b) Menjelaskan rumusan dan kerangka konsepsional mengenai realitas sosial,

politik dan keagamaan dan hubungannya dengan motif yang mendasari

perilaku politik elite Muhammadiyah.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

8

c) Mengkaji faktor yang mempengaruhi kecenderungan perilaku politik elite

Muhammadiyah di Makassar dalam kaitannya dengan kehidupan politik pasca

Orde Baru tahun 1999-2004.

1.3.2. Kegunaan Penelitian

a) Memberi sumbangan kajian keilmuan mengenai perilaku politik, khususnya

mengenai perilaku politik elite Muhammadiyah di Makassar.

b) Hasil kajian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi

pimpinan dan warga Muhammadiyah, khususnya di Makassar.

1.4. Kerangka Dasar Teori

Kerangka teori yang akan digunakan dalam penelitian ini mencakup:

Teori Elite, untuk menelusuri tipologi elite yang dapat digunakan untuk

memetakan formasi elite Muhammadiyah di Makassar pasca Orde Baru.

Perilaku politik sebagai tindakan sosial, untuk membantu memahami secara

teoritis aspek-aspek tindakan politik sebagai bagian dari tindakan sosial.

Konsep elite dalam Islam dan elite dalam Muhammadiyah sebagai bagian dari

komunitas muslim dalam komunitas Islam sehingga dapat diketahui corak dari

masing-masing elite dalam Islam dan Muhammadiyah.

Perilaku politik elite Muhammadiyah yang memberikan gambaran

kecenderungan perilaku politik elite pemimpin Muhammadiyah dan pengaruh

elite dalam gerakan Muhammadiyah.

1.4.1. Kajian Tentang Elite

Studi tentang elite dalam ilmu sosial termasuk bidang studi yang menarik

dan menghimpun para pemikir dari pelbagai disiplin, kendati disadari bahwa teori

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

9

elite memiliki kelemahan tertentu sebagaimana teori-teori sosial lainnya10. Studi

tentang elite sebenarnya telah tumbuh sejak zaman Aristoteles, tetapi menjadi sebuah

kajian ilmiah yang mendalam dimulai terutama sejak era Vilfredo Pareto (1848-

1923), Gaetano Mosca (1858-1941) dan C. Wright Mills (1916-1962) ketika masing-

masing membahas mengenai “circulation of elites”, “the rulling class” dan “the

power elite”. Teori elite dibangun di atas pandangan atau anggapan bahwa

keberadaan elite, lebih-lebih elite politik, tidak dapat dielakkan dalam kehidupan

masyarakat modern yang kompleks11.

Dalam perspektif Weberian, studi tentang elite sebagai bahan kajian sosiologi

dapat diletakkan dalam kerangka pembahasan masalah tindakan sosial aktor dalam

kaitan dengan aktor lain yang memiliki makna-makna subyektif12, yang terkait dalam

struktur perilaku sosial dalam kehidupan sosial manusia, kelompok-kelompok dan

masyarakat sehingga terkait pula dengan fakta obyektif masyarakat dalam pandangan

Durkheimian13.

Struktur perilaku sosial atau tindakan sosial yang dikaji sosiologi dalam

hubungan dengan studi tentang elite terkait dengan struktur kepribadian, struktur

sosial, dan struktur kebudayaan yang melingkupi kehidupan para elite tersebut.

Secara khusus studi sosiologi tentang elite menjadi bagian dari wilayah kajian (main

areas) sosiologi politik, terutama menyangkut the study of political elites and

10 Suzanne Keller, Penguasa dan Kelompok Elit (Jakarta: Rajawali, 1995), hal.5. 11 David Jary & Julia Jary, Collins Dictionary of Sociology (Glasgow: Harper Collin Publisher, 1991), hal.188. 12 Weber seperti diikuti Ritzer menyatakan, “Sociology is a science concerning itself with the interpretative unserstanding of social action and thereby with a causal explanation of its course and consequence”. Lihat: George Ritzer, Sociological Theory (New York: McGraw-Hill, Inc., 1992), hal. 125. 13 Anthony Giddens, Sociology (Cambridge: Polity Press, 1993), hal. 4.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

10

masses14. Dalam sosiologi politik, teori tentang elite dikembangkan dalam kaitan

perjuangan politik untuk meraih posisi utama dari persaingan kekuasaan15.

Dalam pandangan Keller, studi tentang elite dapat memusatkan perhatian

pada empat hal. Pertama, anatomi elite berkenaan dengan siapa, berapa banyak dan

bagaimana para elite itu muncul. Kedua, fungsi elite berkenaan dengan apa

tanggungjawab sosial elite. Ketiga, pembinaan elite menyangkut tentang siapa yang

mendapatkan kesempatan menjadi elite, imbalan apa yang mereka terima dan

kewajiban-kewajiban apa yang menunggu mereka dan keempat, keberlangsungan

(bertahannya) elite berkenaan dengan bagaimana dan kenapa para elite itu dapat

bertahan serta bagaimana dan kenapa di antara mereka hancur atau tidak dapat

bertahan16.

Kartodirdjo, yang menyunting beberapa tulisan tentang elite menyimpulkan,

bahwa studi tentang elite dalam karya-karya klasik banyak menitikberatkan pada

pengaruh atau peranan yang besar dari kekuasaan kelompok elite. Sedangkan karya-

karya lain lebih mengungkapkan studi tentang elite dalam kaitan kesejahteraan dan

lingkungan kebudayaan tertentu yang menentukan jalan perkembangan masyarakat17.

Donald K. Emerson, sebagaimana dipaparkan dan dianalisis oleh Alfian

secara khusus melakukan studi tentang elite Indonesia, dengan memusatkan

perhatian pada pola-pola tingkah laku (konflik dan adaptasi) elite politik yang tetap

bertahan dalam kehidupan politik di lingkungan birokrasi dan legislatif. Studi

Emmerson itu melukiskan tentang bagaimana elite priyayi dan santri dalam

14 David Jary & Julia Jary, op.cit., hal. 479. 15 Maurice Duverger, Sosiologi Politik (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hal. 174. 16 Ibid., hal.31. 17 Sartono Kartodirdjo (ed), Elite dalam Perspektif Sejarah (Jakarta:LP3ES, 1983), hal. ix.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

11

percaturan politik di Indonesia, yang menggambarkan pengaruh kebudayaan politik

(political culture) dalam kehidupan elite politik18.

Penelitian Emmerson tentang elite di Indonesia itu membedakannya dari studi

tentang elite yang menekankan pada siapa-siapa yang perlu diperhitungkan dalam

proses pengambilan keputusan atau elite yang mendominasi peta kekuasaan politik,

yang sering dinilai sebagai studi tentang individu-individu elite yang tingkat

relevansinya bersifat jangka pendek.

Maka dalam studi tentang elite dengan fokus kajian pada masalah perilaku

politik elite Muhammadiyah sebagaimana dikembangkan dalam kajian ini, dianalisis

tentang pola perilaku politik elite Muhammadiyah dalam kaitan dengan faktor-faktor

struktur (konfigurasi) kekuasaan elite, kebudayaan politik elite dan kepentingan-

kepentingan elite dalam lingkungan kehidupan masyarakat di mana para elite itu

berada.

1.4.2. Akar Pengertian Elite Masyarakat

Istilah elite berasal dari bahasa Inggris “elite” yang juga berasal dari bahasa

Latin “eligere”, yang berarti memilih19. Istilah elite (elite) digunakan pada abad ke

tujuh belas untuk menyebut barang-barang dagangan yang mempunyai keutamaan

khusus, yang kemudian digunakan juga untuk menyebut kelompok-kelompok sosial

tinggi seperti kesatuan-kesatuan militer atau kalangan bangsawan atas20.

Elite adalah orang-orang yang sangat berbakat atau terbaik dalam

masyarakat. Dalam sosiologi istilah elite seringkali atau pada umumnya selalu

dikaitkan dengan elite politik (political elites). Pandangan sosiologi itu didasarkan

18 Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1978), hal. 275-276. 19 Suzana Keller, op.cit., hal. 3. 20T.B. Bottomore, “Kelompok Elit Dalam Masyarakat”, dalam Sartono Kartodirdjo (ed) Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 24.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

12

atas asumsi dari teori tentang elite, yang membagi atau membedakan anggota

masyarakat antara elite dan massa sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan dalam

kehidupan masyarakat modern yang kompleks. Menurut Etzioni sebagaimana dikutip

Keller, elite adalah kelompok aktor yang mempunyai kekuasaan21. Sehingga elite

dikatakan sebagai orang atau sekelompok orang yang memegang posisi terkemuka

dalam suatu masyarakat. Kehadiran elite dalam kehidupan masyarakat menurut

Mosca sebagaimana dipaparkan Bellamy melekat dengan watak sosial manusia,

bahwa keunggulan watak moral biasanya menang dalam jangka panjang atas

keunggulan jumlah dan kekuatan22.

Pola hubungan antara elite dan massa itu bersifat dinamis. Para elite bukan

hanya memposisikan dirinya di atas anggota masyarakat tetapi sekaligus berusaha

mempertahankan statusnya melalui sub-elite yang terdiri dari kelompok besar dari

kelas menengah baru, aparatur pemerintah, manajer, administratur, ilmuwan atau

kaum intelektual, yang menyediakan kader baru bagi elite di atasnya. Dalam kaitan

dengan pemerintahan, elite itu ada yang memerintah, artinya terlibat langsung dalam

pemerintah dan elite yang tidak memerintah, yang merupakan sisa yang besar dari

keseluruhan elite23.

Kedudukan (sosial) dan peran elite dalam kehidupan masyarakat bukanlah

sesuatu yang statis. Menurut Pareto bahwa setiap masyarakat diperintah oleh elite

yang komposisinya selalu berubah, yang disebut dengan sirkulasi elite, sehingga

tidak ada perimbangan sempurna yang memungkinkan suatu elite untuk berkuasa

21 Suzanne Keller, op.cit., hal. 3. 22 Richard Bellamy, Teori Sosial Modern: Perspektif Italy (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 9. 23 Albert Wijaya, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 63-64.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

13

selamanya dan sejarah menunjukkan bahwa sirkulasi elite itu berlangsung terus

menerus24.

Dalam struktur sosial masyarakat di Indonesia terdapat kelompok elite yang

memiliki kedudukan dan peran menentukan. Terdapat kaum bangsawan atau priyayi

dan elite agama seperti ulama atau kyai yang keduanya sering disebut sebagai elite

tradisional, yang berbeda dari elite baru yaitu elite birokrasi dan kaum intelegensia.

Kartodirdjo melihat, karena proses modernisasi sejak zaman kolonial terutama pada

awal abad ke-20, terjadilah pergeseran kedudukan dan peran elite dari elite

tradisional ke elite baru25.

Pada masa pasca kemerdekaan, muncul elite baru dari kalangan masyarakat

Indonesia baik era Orde Lama, lebih-lebih pada masa Orde Baru, yang tampil

sebagai “the rulling class” dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Elite

militer (tentara), elite birokrasi (pejabat pemerintah), pengusaha, cendekiawan

(intelektual, intelegensia), menempati posisi-posisi dan peran-peran strategis.

Modernisasi dan pembangunan yang berlangsung makin cepat pada Orde Baru, telah

melahirkan proses interaksi dan mobilitas sosial yang tinggi dalam kehidupan

masyarakat pada umumnya dan kaum elite pada khususnya yang memunculkan

posisi-posisi dan peran-peran sosial baru.

Menurut Kuntowijoyo, jika pada masa pra-kemerdekaan kaum priyayi dapat

memiliki kedudukan dan peranan sebagai abdi dalem dan abtenaar, kini muncul

priyayi baru yaitu para pegawai yang disebut sebagai elite birokrasi. Elite birokrasi

bahkan banyak terlibat aktif dalam kegiatan politik praktis26.

24 Richard Bellamy, op.cit., hal. 40. 25 Sartono Kartodirdjo, op.cit., 1983, hal. Viii. 26 Kuntowijoyo, Demokrasi dan Budaya Birokrasi (Yogyakarta: Bentang, 1994), hal. 177.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

14

Pergeseran kedudukan dan peran elite dalam kehidupan masyarakat

Indonesia, termasuk di lingkungan umat Islam dapat dirujuk pada gejala perubahan

pola kepemimpinan. Dalam perubahan sosial kepemimpinan tersebut tumbuh gejala

“floating Leaders”, yakni para pemimpin yang mengambang, yaitu tokoh-tokoh yang

tidak terjaring oleh lembaga-lembaga formal seperti tokoh agama, budaya dan tokoh

intelektual27.

1.4.3. Perilaku Politik Sebagai Tindakan Sosial Perilaku politik dalam sudut pandang sosiologi dapat dikategorisasikan sebagai

salah satu bentuk atau wujud perilaku sosial atau tindakan sosial, khususnya yang

berkaitan dalam kehidupan politik. Menurut Weber bahwa tindakan sosial (social

action) adalah tindakan yang memiliki makna subyektif (a subjective meaning) bagi

dan dari aktor pelakunya:

“…We shall speak of “action” insofar as the acting individual attaches a subjective meaning to his behavior be it overt, amission or acquiescene. Action is “social” insofar as it subjective meaning takes account of behavior and is thereby oriented in its course.”28

Tindakan sosial itu adalah seluruh perilaku manusia yang memiliki arti

subyektif dari yang melakukannya, baik yang terbuka maupun yang tertutup, yang

diutarakan secara lahir maupun secara diam-diam, yang oleh para pelakunya

diarahkan kepada tujuannya. Sehingga, tindakan sosial itu bukanlah perilaku yang

kebetulan, tetapi yang terstruktur atau memiliki pola tertentu dan makna-makna

tertentu.

27 Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985), hal. 98. 28 Max Weber (edited by Guenther Roth and Claus Wittich), Economy and Society (Berkeley: University of Columbia Press, 1978), hal. 4.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

15

Weber secara khsusus mengklasifikasikan tindakan sosial yang memiliki arti-

arti subyektif itu ke dalam empat tipe. Pertama, instrumentally rational

(zweckrational), yaitu tindakan yang ditentukan oleh harapan-harapan yang memiliki

tujuan untuk dicapai dalam kehidupan manusia yang tujuan dengan alat untuk

mencapai itu telah dirasionalisasikan dan dikalkulasikan sedemikian rupa untuk

dapat dikejar atau diraih oleh yang melakukannya. Kedua, value rational

(wertrational), yaitu tindakan yang didasari oleh kesadaran keyakinan mengenai

nilai-nilai yang penting seperti etika, estetika, agama dan niali-nilai lainnya yang

mempengaruhi tingkah laku manusia dalam kehidupannya. Ketiga, effectual

(especially emotional), yaitu tindakan yang ditentukan oleh kondisi kejiwaan dan

perasaan dari yang melakukannya dan keempat, tradisional, yaitu tindakan yang

ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan yang telah mendarah daging29.

Salah satu wujud dari perilaku sosial dalam kehidupan masyarakat ialah

perilaku politik. Perilaku politik ialah perilaku yang bersangkut paut dengan proses

politik, untuk membedakannya dari perilaku ekonomi, keluarga, agama, dan

budaya30. Sedangkan politik ialah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam

rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang

kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu31.

Para ilmuwan politik kontemporer berpandangan bahwa politik ialah proses

pembuatan keputusan dan pelaksanaan keputusan-keputusan yang mengikat bagi

suatu masyarakat32. Perilaku politik berarti suatu kegiatan yang berkenaan dengan

29 Max Weber, op.cit., hal. 24. 30 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1992), hal. 9 31 Ibid., hal.11. 32 Charles F. Andrain, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hal. 54.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

16

proses dan pelaksanaan keputusan politik dan yang melakukan kegiatan tersebut

ialah pemerintah dan masyarakat33. Warga negara memang tidak memiliki fungsi

menjalankan pemerintahan, tetapi mereka memiliki hak untuk mempengaruhi orang

yang menjalankan fungsi pemerintahan itu.

Di belakang setiap organisasi, kelompok dan lembaga-lembaga terdapat

beberapa individu konkret yang membuat pelbagai keputusan, karenanya individu

bukanlah subyek pasif yang semata-mata bereaksi terhadap nilai-nilai diluarnya dan

kondisi-kondisi struktural yang melingkupinya. Aktor-aktor itu tidak hanya

menerima peranan-peranan yang baru. Para aktor itu juga tidak hanya tanggap

terhadap struktur-struktur yang telah mapan, tetapi juga melakukan perubahan pada

kondisi-kondisi struktural itu. Karenanya dalam memahami segi kehidupan politik,

diperlukan dan menjadi penting untuk memberikan perhatian khusus pada nilai-nilai,

motivasi-motivasi dan persepsi individual dari para aktor itu34. individu sebagai

aktor dalam perilaku politiknya yang dipengaruhi oleh keyakinan-keyakinan itu

beroperasi melalui struktur-struktur politik untuk membuat kebijakan yang

mempunyai konsekuensi pada struktur, keyakinan dan individu35.

Perilaku politik adalah tindakan individual dan kelompok dalam melakukan

tindakan-tindakan politik36. Tingkah laku politik memiliki keterkaitan dengan

kesadaran dan tujuan politik dari aktor yang memainkannya. Bahkan tingkah laku

politik merupakan hasil dari pertemuan faktor-faktor struktur-struktur kepribadian,

33 Ramlan Surbakti, op.cit., hal. 131. 34 Charlef F. Andrain, op.cit., hal.14. 35 Ibid., hal. 17. 36 David E. Apter, Pengantar Analisa Politik (Jakarta:LP3ES, 1985), hal.24-26.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

17

keyakinan politik, tindakan politik individu dan struktur serta proses politik yang

menyeluruh37.

Demikian rumit keterkaitan antar faktor dan saling terkait antarfaktor yang

mempengaruhi perilaku politik seseorang atau sekelompok orang, dapat dicermati

dari adanya dua model analisis teori yang menelaah perilaku politik seperti yang

berkembang di Indonesia, yaitu pertama, model Geertz yang melihat pola perilaku

politik dengan orientasi sosio-religius santri dan abangan, dan kedua, model Jackson

yang melihat faktor pola hubungan antara pimpinan dan pengikut dalam perilaku

politik khususnya dalam Gerakan Darul Islam. Dalam pandangan sosiologis,

pengelompokan sosial mempengaruhi perilaku politik seseorang atau sekelompok

orang. Perilaku memilih suatu partai politik misalnya, dipengaruhi oleh latar

belakang sosial ekonomi, kelas sosial, agama dan ideologi38.

Tingkah laku politik tidak berdiri sendiri karena terkait dengan faktor-faktor

lain yang melekat dalam suatu sistem politik. Dalam sistem politik pada umumnya

terdapat empat faktor atau variable. Pertama, kekuasaan, yakni cara untuk mencapai

hal yang diinginkan antara lain melalui sumber-sumber di antara kelompok-

kelompok dalam masyarakat. Kedua, kepentingan, yakni tujuan-tujuan yang dikejar

oleh perilaku-perilaku atau kelompok politik. Ketiga, kebijakan, yakni hasil dari

interaksi antara kekuasaan dan kepentingan yang biasanya dalam bentuk perundang-

undangan dan keempat, budaya politik, yakni oerientasi subyektif dari individu

terhadap sistem politik39.

37 Ibid., hal. 276. 38 Afan Gaffar, “Javanesse Voters: A Case Study of Election Under A Hegemonic Party System”, Disertasi pada Ohio State University, 1988, hal. 6-7. 39 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1981), hal. 49.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

18

Perilaku politik yang dilakukan aktor dipengaruhi oleh empat faktor.

Pertama, lingkungan sosial politik tidak langsung seperti sistem politik, sistem

ekonomi, sistem budaya dan media massa. Kedua, lingkungan sosial politik langsung

yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, agama,

sekolah dan kelompok pergaulan. Ketiga, struktur kepribadian yang tercermin dalam

sikap individu dan keeempat, lingkungan sosial politik langsung berupa situasi, yaitu

keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan suatu

kegiatan40.

Jadi, perilaku politik elite dalam masyarakat dipengaruhi oleh faktor

personal-individual, faktor kekuasaan khususnya elite yang berpengaruh dalam

struktur komunitas elite, baik di tingkat mikro maupun makro dalam kehidupan

politik, faktor kepentingan dari setiap elite dan faktor budaya makro politik di mana

elite itu berada.

1.4.3.1. Faktor individual (personal/Kepribadian)

Menurut Lewin sebagaimana dikutip Andrain, perilaku manusia tergantung

pada interaksi antar aspek-aspek individual dan karakteristik-karakteristik situasi.

Variabel-variabel personal itu adalah pengalaman-pengalaman individual, warisan-

warisan genetik, persepsi, motivasi, tujuan, sikap, keterampilan dan pengetahuannya.

Sedangkan variable-variabel situasional terdiri atas keyakinan-keyakinan budaya

termasuk nilai-nilai dan norma, struktur-struktur sosial, faktor-faktor geografis dan

kemampuan teknologis41.

40 Ramlan Surbakti, op.cit., hal. 132-134. 41 Charles F. Andrain, op.cit.,hal. 200.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

19

Sikap politik individu merupakan pencerminan dari struktur kepribadian

seseorang. Sedangkan basis fungsional dari sikap politik individu yang terkait dalam

struktur kepribadian seseorang itu ialah faktor kepentingan, penyesuaian diri dan

pertahanan diri. Basis kepentingan menyangkut penilaian-penilaian seseorang

terhadap suatu obyek yang terkait dengan minat dan kebutuhan. Basis penyesuaian

diri menyangkut keinginan untuk sesuai atau selaras dengan sesuatu yang menjadi

obyek atau tujuan, sedangkan basis pertahanan diri berkenaan dengan keinginan

untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis seperti melakukan rasionalisasi,

proyeksi diri, idealisasi dan identifikasi42.

1.4.3.2. Faktor Struktur Kekuasaan

Setiap elite atau individu maupun kelompok-kelompok selalu memainkan

peranan aktif dalam politik adalah karena dorongan kemanusiaan yang tidak dapat

dihindarkan atau diabaikan untuk meraih kekuasaan dan karena para individu

menerima keharusan untuk melakukan sosialisasi dan penanaman nilai-nilai guna

menemukan ekspresi bagi pencapaian kekuasaan tersebut, maka upaya apapun

dilakukan untuk memindahkan penekanan dari para elite dan kelompok kepada

individu43.

Perilaku politik merupakan tindakan sosial untuk perjuangan kekuasaan.

Kekuasaan menurut Weber adalah:

“power is the probability that one actor within a social relatioship will be in a position to carry out his own will despite resistance, regardless of the basis on which this probability rests”44.

42 Ramlan Surbakti,op.cit., hal. 132. 43 Charles F. Andrain,op.cit., hal 200. 44 Max Weber, op.cit., hal 53.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

20

Mengenai aktor yang berkuasa, secara khusus Mills melakukan studi tentang

the Power Elite, yang menganalisis tentang struktur elite kekuasaan di Amerika

Serikat. Tesis Mills sebagaimana diulas Johnson menyatakan, bahwa mereka yang

menduduki posisi tingkat atas dalam institusi ekonomi, militer dan politik

membentuk kurang-lebih elite kekuasaan yang terintegrasi dan terpadu, yang

keputusan-keputusan penting yang dihasilkannya menentukan struktur dasar dan arah

kehidupan masyarakat45.

Keberadaan dan peranan elite tidak terlepas dari proses politik dan kekuasaan

dalam kehidupan suatu masyarakat di mana para elite itu berada. Putnam

mengemukakan adanya lima aspek keberadaan elite yang berkaitan dengan

kekuasaan politik, yaitu pertama, kekuasaan politik seperti halnya barang-barang

sosial lainnya didistribusikan dengan tidak merata. Kedua, pada hakekatnya orang

dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu mereka yang memiliki kekuasaan

politik penting dan mereka yang tidak memilikinya. Ketiga, secara internal elite itu

bersifat homogen, bersatu dan memiliki kesadaran kelompok, sehingga bukan

merupakan kumpulan individu yang saling terpisah. Keempat, elite itu mengatur

sendiri kelangsungan hidupnya dan keanggotaannya berasal dari lapisan masyarakat

yang sangat terbatas dan kelima kelompok elite itu pada hakekatnya bersifat

otonom46.

Komunitas atau kelompok elite sendiri memiliki struktur kekuasaan di dalam

dirinya, sehingga para ahli ilmu sosial menganalisis posisi dan peran elite dalam tiga

kategori, yaitu analisis posisi, reputasi dan keputusan. Pada level posisional, orang-

45 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta, Gramedia, jilid-2, 1990). 174. 46 Robert D. Putnam, “Studi Perbandingan Elite Politik”, dalam Mohtar Mas’oed & Colin MacAndrews (ed.), Perbandingan Sistem Politik (Yogyakata: Gadjah mada University Press, 1997), hal.78-79.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

21

orang yang menduduki posisi-posisi tinggi dalam organisasi atau lembaga-lembaga

cenderung secara politik berkuasa. Pada level reputasi terdapat kecenderungan

bahwa orang-orang yang memiliki reputasi tertentu memiliki kekuasaan secara

informal. Pada level keputusan, bahwa untuk mengetahui kekuasaan elite maka dapat

didefinisikan dari siapa yang paling menentukan dalam pengambilan keputusan47.

Dalam praktiknya, dimungkinkan sekali bahwa ketiga tipe stratifikasi elite itu,

yakni elite berdasarkan posisi, elite reputasi dan elite keputusan saling tumpah tindih

karena adanya pertautan masing-masing dalam posisi dan peran para elite itu

sehingga melahirkan kekuasaan elite yang terkonsentrasi.

Konsentrasi kekuasaan elite menurut Michels sebagaimana dikutip Johnson,

merupakan suatu gejala “hukum besi oligarkhi” (iron law of oligarchy), yakni

kecenderungan umum bagi kekuasaan untuk menjadi terkonsentrasi pada tangan elite

yang keputusan dan tindakannya secara bertahap diarahkan untuk mempertahankan

kekuasaan kaum elite tersebut lebih daripada meningkatkan kepentingan rakyat

jelata48.

Maka dalam mengkaji struktur kekuasaan elite sebagai faktor yang

mempengaruhi posisi dan peran para elite dalam suatu masyarakat atau komunitas

tertentu dapat diamati dua aspek atau sub-struktur kekuasaan elite. Pertama, pada

tingkat mikro kelompok elite sosial mana yang dianggap paling berkuasa atau

berpengaruh dalam struktur kekuasaan kelompok elite itu yang pada akhirnya

mempengaruhi posisi dan peran elite dalam kehidupan masyarakat yang

bersangkutan. Kedua, pada tingkat makro, kekuasaan elite apa saja yang tengah

47 Ibid., hal. 91-94. 48 Doyle Paul Johnson, op.cit., hal. 180.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

22

berkuasa dalam kehidupan sistem politik yang juga memungkinkan mempengaruhi

posisi dan peran para elite dalam kehidupan masyarakat di mana para elite itu berada.

1.4.3.3. Faktor Kepentingan

Menurut Lasswel sebagaimana dikutip Budiardjo, bahwa pada dasarnya setiap

manusia menginginkan adanya nilai-nilai, yang meliputi kekuasaan (power),

pendidikan/penerangan (enligtenment), kekayaan (wealth), kesehatan (wellbeing),

keterampilan (skill), kasih sayang (affection), kejujuran (rectitude) dan keadilan

(rechtchapen-heid), dan keseganan/respek (respect)49.

Kepentingan sebagai tujuan-tujuan yang dikejar oleh setiap aktor, merupakan

faktor penting dalam perilaku politik individual maupun kelompok, yang selalu

melekat dalam proses politik di mana pun dan kapan saja. Menurut Roy Macridis

sebagaimana diikuti Andrain, kepentingan merupakan kekuatan pendorong yang

utama bagi manusia dan tindakan manusia didasarkan atas pemilikan kepentingan.

Bahkan, konfigurasi kepentingan-kepentingan yang saling berjuang dan berlomba50.

Sistem politik adalah suatu mekanisme yang mengalokasikan nilai-nilai

otoritarif sebagaimana hal itu mempengaruhi distribusi dan penggunaan kekuasaan.

Pandangan senada diutarakan oleh Harold Lasswell, bahwa perilaku politik selalu

berorientasi pada nilai atau berusaha mencapai tujuan dan perilaku politik bertujuan

untuk menjangkau masa depan serta antisipasi dan berkaitan dengan masa lampau

dari para pelakunya51.

49 Miriam Budiardjo, op.cit., hal. 32. 50 Charles F. Andrain, op.cit., hal . 201. 51 Ibid., hal. 263.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

23

Tindakan sosial, termasuk di dalamnya perilaku politik, memiliki tujuan

tertentu. Dari kaitan tindakan sosial dan pencapaian tujuan itu maka sesuatu tindakan

sosial selain memiliki tujuan yang dicapai, juga memperhitungkan sumber-sumber

yang dimiliki untuk pencapaian tujuan ini, situasi yang mengelilingi para pelaku, dan

pilihan-pilihan cara guna mencapai tujuan tersebut52. Tujuan-tujuan itu melekat

dengan kepentingan politik, ekonomi, status sosial, kejiwaan dan kepentingan-

kepentingan lainnya yang bersifat agregasi atau penggabungan dari tujuan-tujuan

yang hendak diraih itu.

1.4.3.4. Faktor Budaya Politik

Emmerson berdasarkan hasil penelitiannya tentang elite Indonesia seperti

dikupas Alfian menunjukkan, bahwa kebudayaan politik elite menentukan pola-pola

tingkah laku politik dan sistem politik, bukan melalui siapa-siapa yang

diperhitungkan dengan proses pengambilan keputusan atau mendominasi pentas

kekuasaan politik53.

Kebudayaan politik sebagai orientasi nilai dan keyakinan politik yang melekat

dalam diri aktor, dapat dianalisa dalam beberapa tipe orientasi54. Pertama, orientasi

kognitif berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada sistem politik, peranan

dan segala kewajibannya serta input dan output dari sistem politik tersebut. Kedua,

orientasi afektif, berupa perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan

penampilannya. Ketiga, orientasi evaluatif, berupa keputusan-keputusan dan

52 Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hal. 48. 53 Alfian, op.cit., hal. 276-277 54 Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di

Lima Negara (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hal. 16.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

24

pendapat-pendapat tentang objek-objek politik yang secara tipikal melibatkan

kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.

Tipe-tipe kebudayaan politik itu secara aktual dapat dicermati dalam perilaku

partisipasi politik sebagai berikut: Pertama, kebudayaan politik partisipan, yakni

ditandai oleh orang-orang yang melibatkan diri dalam kegiatan politik seperti dalam

kegiatan pemungutan suara dan orang-orang tersebut memperoleh informasi yang

cukup tentang kehidupan politik. Kedua, kebudayaan politik subyek, yang ditandai

oleh orang-orang yang secara pasif patuh kepada pejabat-pejabat pemerintahan dan

kepada undang-undang, tetapi tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik seperti

kaum partisipan. Ketiga, kebudayaan politik parokial, yang diandai oleh orang-orang

yang sama sekali tidak menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan dan

politik55.

Sementara itu, Wijaya memetakan variable kebudayaan politik elite sebagai

berikut: Dari sifat budaya politik, yakni yang menyangkut orientasi nilai-nilai yang

bersifat pragmatik atau utopis; dari bentuk-bentuk budaya politik, yakni menyangkut

sikap terhadap tradisi dan perubahan dalam wujud pertama-tama sikap terbuka atau

tertutup; dari segi tingkat militansi apakah menunjukkan sikap politik yang toleran

atau fanatik; Dari segi peranan politik, yakni pertama, menyangkut pola

kepemimpinan apakah berupa pendorong inisiatif dan kebebasan kreatif atau

penuntut kepatuhan, kedua, dari sikap terhadap mobilitas apakah menjadi peminat

pada status-quo atau pada mobilitas, dan ketiga, berkenaan dengan kebijakan apakah

berorientasi pada kebijakan ekonomi atau non-ekonomi56.

55 Ibid., hal.42. 56 Albert Wijaya, op.cit., hal. 18.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

25

Jadi, kebudayaan politik merupakan orientasi keyakinan, nilai-nilai dan

pengetahuan yang mempengaruhi perilaku politik seseorang atau sekelompok orang

dalam beragam bentuk sikap, tindakan dan partisipasi politik.

1.4.4. Elite Dalam Komunitas Islam

Komunitas Islam sebagai suatu ikatan sosial yang menjadi dasar dari peranan

dan tempat seseorang dalam hubungan sosial, pertama-tama harus dilihat sebagai

komunitas yang memiliki komitmen sakral pada hubungan. Yang kedua sebagai

kenyataan sosiologis yang bersifat lokal sehingga menunjukkan sifatnya yang serba

fragmentaris57.

Dalam dinamika hubungan antara ajaran dan pemeluknya itu kemudian

muncul ketegangan-ketegangan hubungan umat Islam, termasuk perilaku para

elitenya. Dari ketegangan dalam kehidupan komunitas Islam semacam itu maka

lahirlah corak kepemimpinan atau elite Islam yang beragam. Hal ini dapat dianalisis

dari kelahiran tiga corak elite dalam kepemimpinan komunitas Islam, yaitu elite

ulama-bebas, elite pejabat-agama dan tokoh organisasi dan belakangan muncul elite

intelektual, yang mencerminkan gejala sosiologis dan kepemimpinan Islam di

Indonesia58.

Pola kepemimpinan Islam sebagai gejala sejarah atau sosiologis yang

mengalami perubahan atau pergeseran , menurut kuntowijoyo terjadi karena adanya

kecenderungan baru, yang berarti terjadi sirkulasi atau pergeseran posisi dan peran

elite di kalangan komunitas muslim59.

57 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah (Jakarta:LP3ES, cetakan ke-2, 1996), hal. 58. 58 Ibid., hal. 71. 59 Ibid., hal. 99.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

26

Kehadiran elite dalam kepemimpinan komunitas Islam di Indonesia

menunjukkan dialektika hubungan-hubungan sosial yang beragam dalam setiap

babakan sejarahnya, terutama dalam percaturan politik berkenaan dengan hubungan-

hubungan kekuasaan.

Pada masa Orde Baru, bahwa perilaku politik umat Islam yang terkait dengan

dialektika Islam dan negara itu. Pertama, tercermin dalam pola hubungan yang

bersifat antagonistik, yakni hubungan saling pertentangan yang berlangsung sekitar

tahun 1966 sampai tahun 1981, yang antara lain melahirkan gejala politik Islam

radikal. Pada periode ini hubungan umat Islam dan pemerintah sering diwarnai oleh

ketegangan dan konflik yang sangat keras. Kedua, hubungan yang bersifat

resiprokal-kritis (1982-1985), yang diwarnai oleh proses saling memahami posisi

masing-masing dan memunculkan hubungan saling menguntungkan tetapi tetap

kritis. Ketiga, pola hubungan akomodatif, yakni hubungan akomodasi yang

didasarkan pada saling memahami dan menguntungkan bagi kedua pihak. Hubungan

akomodatif ini berlangsung sejak diterimanya asas Pancasila dalam tubuh organisasi

kemasyarakatan ini setelah sebelumnya dialami oleh organisasi politik, yakni setelah

tahun 1985 dengan berlakunya Undang-Undang No. 8 tahun 198560.

Dalam dinamika hubungan Islam dan politik sebagaimana berkembang dalam

corak hubungan umat Islam dan pemerintah pada masa Orde baru itu, muncul

beragam kecenderungan pemikiran dan sikap kelompok –kelompok atau elite muslim

yang diwarnai oleh empat aliran61.

60 Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 240-278. 61 Ibid., hal.334.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

27

Pertama, kelompok pragmatis, yang menunjukkan sikap politik yang lebih

suka mengintegrasikan diri dengan kekuasaan dan bahkan masuk ke dalam struktur

kekuasaan itu dengan meninggalkan label ideologis dalam pemikiran. Kedua,

kelompok idealis yang memiliki sikap politik yang reseptif (mau menerima) dan

kompromis terhadap pemerintah sekalipun tidak selalu mengintegrasikan diri dalam

kekuasaan. Ketiga, kelompok tranformatif, yang menunjukkan komitmen pada

perubahan yang mendasar atau revolusioner. Keempat, kelompok prinsipalis, yang

menghendaki ditegakkannya prinsip-prinsip Islam yang sebenar-benarnya. Keempat

kelompok tersebut saling mengisi dan menguatkan dengan sistem penggolongan

yang bersifat longgar, sehingga sulit untuk mengidentifikasinya secara tegas.

Perilaku politik kelompok atau elite muslim dengan beragam kecenderungan

tersebut tampaknya diwarnai oleh konfigurasi pemikiran dan sikap dalam meyakini,

memahami dan mengamalkan agama (Islam) dalam kaitannya dengan politik yang

membawa pada persentuhan yang kompleks antara keduanya. Agama sebagai gejala

sosiologis tidak semata-mata menyangkut pengalaman keagamaan dalam kaitan

nilai-nilai transendental bagi pemeluknya, tetapi juga bersentuhan dengan

kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Dalam kenyataan sosiologis, menurut

Collins, hubungan antara agama dan kehidupan pemeluknya itu bersifat kompleks

dalam pola hubungan religion is “really” economics, politics is “really” religion,

and economics is “really” religion62.

Dalam masyarakat yang majemuk (plural societes), agama dan politik

seringkali bersentuhan dengan heterogenitas etnik dan golongan yang di Indonesia

62 Randall Collins, Weberian Sociological Theory (New York: Cambridge University Press, 1986), hal. 7.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

28

dikenal dengan istilah SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Menurut

Alford, “The connection between religion and politics arises as problem only in

nations which are not religiously homogeneous63.

Pola perilaku politik elite muslim dapat dicermati pula dalam beragam corak,

yang menunjukkan keragaman orientasi keyakinan dan pemikiran keislamannya

dalam menanggapi kenyataan kehidupan. Pada masa Orde Baru muncul antara lain

corak perilaku kaum idealis muslim dalam menanggapi pembangunan yang

sekaligus berpautan pula dengan perilaku politik masing-masing kelompok.

Pandangan politik kelompok-kelompok Islam tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, Pandangan kaum idealis. Kelompok ini berpandangan bahwa kaum

muslimin hendaknya terjun ke dalam arena politik dan mempunyai partai politik

sendiri untuk mengurus kepentingan Islam, dengan dalih bahwa manakala peran

tersebut tidak dimainkan maka kelompok-kelompok lain yang menjadi lawan politik

Islam akan menguasai nasib bangsa ini.

Kedua, pandangan kelompok pusat muslim. Kelompok ini berpandangan

bahwa prioritas politik umat Islam ialah mewujudkan integrasi dan persatuan dalam

kepemimpinan umat, sedangkan keterlibatan umat dalam politik partisan dipandang

oleh kelompok ini akan sia-sia dari segi tujuan-tujuan umat. Kelompok ini terdiri dari

banyak kaum reformis dan berpandangan bahwa pencapaian tujuan-tujuan sosio-

politik umat Islam hendaknya dicari dalam konteks keputusan-keputusan

konstitusional dan judisional yang diberikan oleh negara.

63 R.R. Alford, “Religion and Politics”, dalam Roland Robertson (ed.), Sociology of Religion (Middlisex-England:Penguin Books, 1971), hal. 321.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

29

Ketiga, pandangan kelompok pragmatis. Kelompok ini memiliki pandangan

agar umat Islam menempuh langkah-langkah praktis berupa konsentrasi pada satu

bidang pembangunan yang khusus dengan meninggalkan pandangan-pandangan

yang idealis dan tidak praktis. Kelompok ini juga menghendaki ditinggalkannya

politik lama yang diwarnai konflik pribadi dan konflik golongan serta menuntut

adanya peralihan kepemimpinan umat dari generasi tua ke generasi muda. Kelompok

ketiga inilah yang mendapat tempat dalam politik orde baru, sedangkan kelompok

pertama dan kedua banyak dicurigai dan menjadi tersisih dalam percaturan politik

pada dua dekade perjalanan Orde Baru64.

Keempat, sebagai varian lain dari tiga kelompok Islam tersebut, muncul

kelompok realistis-akomodasionis dan kaum modernis yang reformis65.

Dari beberapa corak perilaku politik Islam di Indonesia, khususnya pada

masa Orde baru, dapat dicermati adanya varian kecenderungan seperti ditunjukkan

oleh Muhammadiyah sebagai salah satu kekuatan sosial-keagamaan di Indonesia.

Muhammadiyah dalam hal ini menunjukkan sikap politik yang akomodatif-realistik

dari kalangan umat Islam lainnya. Sikap akomodatif-realistik ini merupakan

cerminan dari Muhammadiyah yang memandang Islam sebagai bersifat totalistik

mengenai kehidupan tetapi memilih pendekatan non-politik dan pendidikan dalam

mencapai tujuan melahirkan suatu masyarakat Islam. Sikap politik yang akomodatif-

realistis lebih diterima oleh kekuasaan dan merupakan masa depan yang dominan

64 Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim (Jakarta:Lingkaran Studi Indonesia, 1987), hal. 94-95. 65 Ibid., hal. 101.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

30

dari suatu simbiosis Islam dan penyesuaian-penyesuaian diri dengan Demokrasi

Pancasila di bawah hegemoni militer pada era Orde Baru itu66.

Dengan demikian, di dalam komunitas elite muslim, termasuk di dalamnya

elite Muhammadiyah terdapat heterogenitas pola orientasi politik-keagamaan yang

menunjukkan orientasi perilaku politik keagamaan yang radikal, idealis,

transformatif, akomodatif dan pragmatis dalam merespon dinamika kehidupan yang

tumbuh baik di lingkungan intern umat Islam maupun dalam kancah kehidupan

bangsa dan negara. Beragam corak perilaku politik-keagamaan tersebut terkait pula

dengan dinamika kelompok di tubuh umat Islam yang memiliki corak faham dan

basis sosial keagamaan yang heterogen.

1.4.5. Konsep Tentang Elite Muhammadiyah

Elite Muhammadiyah adalah orang-orang yang terkemuka yang menduduki

posisi teratas secara formal dan berperan dalam menentukan kebijakan organisasi di

lingkungan Muhammadiyah. Dengan mengikuti konsep-konsep dan analisis yang

dikembangkan oleh para ahli teori elite, maka fokus analisis tentang elite

Muhammadiyah dalam penelitian ini ialah analisis elite posisional, yakni elite yang

berada dalam puncak struktur organisasi formal Muhammadiyah. Namun, karena

kehidupan sosial dari elite Muhammadiyah itu dicari pula kaitannya dengan aspek

reputasi dan pengambilan keputusan yang tumbuh serta berkembang dalam

kehidupan komunitas elite Muhammadiyah.

66 Ibid., hal. 231.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

31

Elite yang menduduki posisi formal dan penting dalam struktur

kepemimpinan dan organisasi Muhammadiyah yang dijadikan bahan studi ialah elite

Muhammadiyah yang terdiri atas lima kelompok:

Pertama, elite ulama/agama, yakni elite Muhammadiyah yang secara khusus

memiliki bobot sebagai kyai atau tokoh agama.

Kedua, elite pengusaha/pedagang, yakni elite Muhammadiyah yang secara

khusus memiliki pekerjaan utama sebagai pengusaha, pedagang.

Keempat, elite birokrat/birokrasi, yakni elite Muhammadiyah yang secara

khusus memiliki pekerjaan utama sebagai pegawai negeri.

Kelima, elite swasta, yakni elite Muhammadiyah yang secara khusus

memiliki pekerjaan utama sebagai pegawai atau karyawan swasta.

Keenam, elite politisi, yakni elite Muhammadiyah secara khusus memiliki

kedudukan dan peran sebagai aktivis politik di PAN, PKS, PBB, Golkar, PPP, dan

partai lainnya.

Sedangkan karakteristik elite Muhammadiyah yang menjadi fokus kajian ini

ialah sebagai berikut: Pertama, latar belakang kehidupan elite dalam berbagai

aspeknya yang membentuk profil elite Muhammadiyah dalam hal pendidikan, usia,

etnik, pekerjaan, lingkungan pekerjaan dan sebagainya. Kedua, posisi dan peran

sosial elite di dalam Muhammadiyah maupun di luar Muhammadiyah. Ketiga,

pembentukan elite Muhammadiyah meliputi rekruitmen elite, tentang bagaimana

mereka menjadi elite Muhammadiyah, khususnya menyangkut pembinaan elite

Muhammadiyah. Keempat, menyangkut pola hubungan elite Muhammadiyah dengan

elite muslim lain dan elite lain dalam masyarakat untuk menggambarkan mobilitas

sosial elite.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

32

1.4.6. Perilaku Politik Elite Muhammadiyah

Perilaku politik elite Muhammadiyah adalah politik yang dilakukan oleh warga

negara yang dikategorikan sebagai elite atau tokoh terkemuka dalam

Muhammadiyah. Dengan demikian perilau politik elite Muhammadiyah dapat

dikonseptualisasikan sebagai tindakan-tindakan politik individual maupun kelompok

dari tokoh-tokoh organisasi Muhammadiyah dalam proses politik.

Perilaku politik elite Muhammadiyah secara khusus ditunjukkan oleh dua aspek

atau dimensi: Pertama, partisipasi politik dalam pemilu, termasuk di dalamnya

tindakan-tindakan untuk memobilisasi massa guna kepentingan politik tertentu.

Kedua, interaksi atau hubungan elite Muhammadiyah dengan pihak-pihak yang

memiliki akses pada keputusan politik, khususnya pemerintah dan kekuatan-

kekuatan politik di masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Asumsi dasar yang dikembangkan sebagai bangunan konsep dan teori tentang

perilaku politik elite Muhammadiyah ialah kecenderungan sikap moderat-akomodatif

yang selama ini melekat dan menjadi corak yang khas dari gerakan Muhammadiyah,

yakni perilaku politik kooperatif dan senantiasa ingin menjaga jarak dalam semangat

netralitas dalam watak gerakan kultural Muhammadiyah.

Orientasi perilaku politik elite Muhammadiyah dapat dikategorisasikan menjadi

tiga. Pertama, idealis, sikap politik yang cenderung menarik garis batas dengan

kekuasaan dan sampai batas tertentu menunjukkan sikap oposisi atau radikal

terhadap kekuasaan. Kedua, akomodasionis, yaitu sikap politik kompromistik atau

menyesuaikan diri dengan kekuasaan (pemerintah, negara) tetapi tidak dengan

mengintegrasikan diri dalam kekuasaan selain terbatas pada kerjasama yang saling

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

33

membutuhkan dengan tetap berpegang pada prinsip gerakan Muhammadiyah.

Ketiga, pragmatis, yaitu sikap politik mengintegrasikan diri dalam kekuasaan itu

dengan kecenderungan meninggalkan label ideologi Muhammadiyah67.

Ketiga pola atau corak perilaku politik elite Muhammadiyah yang bersifat

idealis, akomodatif dan pragmatis itu dikembangkan dari polarisasi sikap politik dari

ekstremitas antara pola perilaku yang antagonis di satu pihak dan pola perilaku yang

protagonis di pihak lain dengan titik tengah pada pola perilaku moderat. Corak

akomodatif berada dalam pola perilaku politik antagonis dan corak pragmatis berada

dalam pola perilaku protagonis.

1.4.6.1. Kekuasaan Elite Muhammadiyah

Kekuasaan elite Muhammadiyah berarti peran yang dilaksanakan atau

dimainkan oleh elite Muhammadiyah sesuai dengan posisinya atau mempengaruhi

orang-kelompok/pihak lain sehingga sesuai dengan tujuan atau kepentingan yang

dikehendaki. Dengan demikian pandangan Putnam, bahwa orang memiliki lebih

banyak kekuasaan dibandingkan dengan yang lainnya, maka terdapat tiga kategori

elite Muhammadiyah. Pertama, kekuasaan elite sebagai kemampuan untuk

mempengaruhi individu-individu lain termasuk anggota/massa. Kedua, kekuasaan

elite sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan organisasi dan

ketiga, kekuasaan sebagai kemampuan untuk melakukan alokasi nilai-nilai secara

otoritatif68.

Konsep operasional yang dipandang menentukan dan menjadi fokus kajian dari

faktor kekuasaan elite Muhammadiyah ialah struktur kepemimpinan Muhammadiyah

67 Haedar Nashir, Perilaku Politik Elite Muhammadiyah . Yogyakarta: Tarawang. Hal .50. 68 Putnam, op.cit., hal. 277.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

34

ialah kelompok elite mana saja yang paling berpengaruh dalam struktur

kepemimipianan Muhamadiyah yang pada akhirnya ikut mempengaruhi orientasi

politik Muhammadiyah dan gerakan Muhammadiyah pada umumnya dalam bidang

sosial kemasyarakatan dan pembaruan keagamaan. Konsep elite yang berkuasa (the

rulling class, the rulling elite atau the power elite) dirujukkan kepada pandangan

Mosca, Pareto, Mills dan Lasswell69.

1.4.6.2. Kebudayaan Elite Muhammadiyah

Merujuk pada tesis Emmerson seperti dibahas Alfian ahwa kebudayaan politik

mempengaruhi tingkah laku elite politik yang menjelma menjadi kebudayaan politik

elite dan dengan mengikuti konsep kebudayaan politik dari Apter, Almond dan

Wijaya, maka dikembangkan konsep tentang kebudayaan politik elite

Muhammadiyah sebagai berikut:

Kebudayaan politik Muhammadiyah dikonseptualisasikan sebagai pandangan

dan sistem nilai yang mempengaruhi tingkah laku politik dari elite Muhammadiyah.

Aspek-aspek kebudayaan politik elite Muhammadiyah meliputi: pertama, alam

pikiran warga Muhammadiyah tentang politik yang telah menjadi tradisi dalam

menentukan sikap politik. Kedua, pandangan-pandangan formal organisasi yang

menjadi acuan bagi tindakan warga Muhammadiyah dan ketiga, paham keagamaan

yang mempengaruhi perilaku kolektif warga Muhammadiyah.

Indikator utama dari variable atau dimensi kebudayaan politik elite

Muhammadiyah ialah orientasi pada khittah Muhammadiyah yang mengandung

69 Lihat beberapa karya berikut ini. T.B. Bottomore, “Kelompok Elit dan Masyarakat”, dalam Sartono Kartodirdjo, op.cit., (Jakarta:LP3ES, cetakan III-1990), hal 25. Suzanne Keller, op.cit.,hal. 23. Richard Bellamy,op.cit., hal 54.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

35

garis kebijakan organisasi yang menggambarkan netralitas dalam sikap politik

Muhammadiyah. Netralitas sikap politik Muhammadiyah sering disamakan dengan

budaya politik kooperatif atau akomodatif sebagaimana yang melekat dalam

organisasi ini sejak awal berdirinya sampai perkembangan masa-masa selanjutnya,

yang disebut pula sebagai tradisi politik Muhammadiyah yang kooperatif dengan

pemerintah yang berbeda dari politik non-kooperatif70.

1.4.6.3. Kepentingan Politik Elite Muhammadiyah

Kepentingan politik termasuk variabel dari empat variabel dalam sistem politik

(tiga variabel lainnya ialah kekuasaan, kebijakan, dan budaya politik71). Kepentingan

sebagai faktor dari perilaku politik didasarkan atas pandangan bahwa politik

merupakan kegiatan para elite dalam membuat dan melaksankan kebijakan umum,

yang terkait dengan apa yang disebut Easton sebagai kepentingan untuk

mengalokasikan nilai-nilai yang otoritatif dalam masyarakat baik yang bersifat ideal-

spiritual maupun material-jasmaniah72.

Dalam kaitannya dengan perilaku politik elite Muhammadiyah, kepentingan

politik ditunjukkan oleh aspek-aspek berikut: Pertama, kepentingan untuk

mengalokasikan nilai-nilai keagamaan (kepentingan dakwah) melalui proses politik.

Kedua, kepentingan untuk memperoleh akses ekonomi yang berkaitan dengan

pengembangan kegiatan-kegiatan organisasi dan amal-usaha Muhammadiyah.

Ketiga, kepentingan individual elite untuk melakukan mobilitas vertikal baik yang

bersifat politik, ekonomi maupun karir dalam jabatan tertentu.

70 H.S. Prodjokusumo, Pemasyarakatan Tradisi, Budaya, dan Politik Muhammadiyah (Jakarta, Perkasa, 1995), hal.107. 71 Miriam Budiardjo, op.cit., hal. 49. 72 Ramlan Surbakti, op.cit., hal. 6-7.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

36

Kepentingan politik elite Muhammadiyah terutama sekali dikaitkan dengan

membangun pola hubungan saling berkepentingan dengan kekuasaan dalam pola

linkage interest.

1.5. Kerangka Konseptual

Keterkaitan kerangka teori di atas dengan masalah yang akan diteliti, yaitu

elite Muhammadiyah. Dapat dikemukakan bahwa elite Muhammadiyah merupakan

orang-orang terkemuka, menduduki posisi strategis dalam kepengurusan (teratas

secara formal) dan berperan dalam menentukan dan menjalankan kebijakan

organisasi di lingkungan Muhammadiyah.

Mengikuti konsep-konsep dan analisis yang dikembangkan oleh para ahli

teori elite, maka fokus analisis tentang elite Muhammadiyah dalam penelitian ini

ialah analisis elite posisional, yaitu elite yang berada dalam puncak struktur

organisasi formal dalam hal ini kepengurusan Pimpinan Daerah Muhammadiyah

Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Namun karena kehidupan sosial ini sering bersifat

kompleks, maka aspek posisi elite dari Muhammadiyah itu dicari pula kaitannya

dengan aspek reputasi dan pengambilan keputusan yang tumbuh dan berkembang

dalam kehidupan komunitas elite Muhammadiyah.

Secara garis besar elite Muhammadiyah dibedakan atas dua, yaitu formal dan

informal. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh peranan, status, pengaruh

(ketokohan), dan jabatannya baik dalam struktur kepengurusan Muhammadiyah

maupun jabatan yang diemban di luar organisasi Muhammadiyah. Yang dimaksud

secara formal, yaitu elite Muhammadiyah dalam komposisi kepengurusan

Muhammadiyah, dalam hal ini unsur ketua, dan sekretaris, bendahara dan ketua

bidang yang dikenal sebagai pengurus harian Muhammadiyah. Sedangkan elite

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

37

Muhammadiyah di luar dari struktur kepengurusan Pimpinan Muhammadiyah adalah

tokoh Muhammadiyah yang memiliki peranan, status, dan pengaruh yang cukup

besar pada warga Muhammadiyah dan masyarakat pada umumnya.

Perilaku politik elite Muhamadiyah adalah politik yang dilakukan warga

negara yang dikategorikan sebagai elite atau tokoh terkemuka dalam organisasi

Muhammadiyah. Dengan demikian perilaku politik elite dapat dikonseptualisasikan

sebagai tindakan-tindakan politik individual maupun kelompok dari tokoh-tokoh

organisasi Muhammadiyah dalam proses politik.

Perilaku politik elite Muhammadiyah secara khusus ditunjukkan oleh dua

aspek atau dimensi: pertama, partisipasi politik dalam rangkaian penyelenggaraan

pemilu, termasuk usaha memobilisasi massa pendukung untuk tujuan politis. Kedua,

interaksi atau hubungan elite Muhammadiyah dengan pihak-pihak yang memiliki

akses pada keputusan politik, khususnya pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik

di masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.

1.6. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu

suatu metode yang bermaksud mengembangkan pengertian tentang individu dan

kejadian dengan memperhitungan konteks yang relevan. Landasan teoritis dari

penelitian kualitatif ini adalah pada fenomenologi sebagai orientasi atau perspektif

teoritis dalam memandang, mengarahkan pelaksanaan penelitian ini, yaitu dalam

kegiatan mengumpulkan dan menganalisa data penelitian. Pendekatan ini

mengutamakan pengalaman kesadaran subyek yang diteliti, yaitu perspektif orang

dalam atau perspektif pelaku.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

38

1.6.1. Batasan Ruang Lingkup Kajian

Ruang lingkup Kajian ini berfokus pada perilaku politik Elite

Muhammadiyah pada Pemilu Tahun 1999 dan Pemilu tahun 2004, dengan

pertimbangan bahwa pada masa tersebut Muhammadiyah berada dalam situasi yang

berbeda dari masa-masa sebelumnya. Muhammadiyah pada masa itu menghadapi

dilema dalam merespon situasi politik nasional. Muhammadiyah sesuai Khittahnya

tahun 1971 di Makassar, adalah organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan

yang tidak berafiliasi dengan partai politik dan organisasi mana pun. Namun, pasca

Orde Baru, Muhammadiyah dianggap bergeser dari Khittahnya tersebut dan

cenderung melakukan politik praktis, oleh karena banyak pimpinan Muhammadiyah

menjadi inisiator pembentukan partai politik dan menjadi pengurus partai politik.

Sebagian di antaranya memberikan dukungan terhadap PAN, dan sebagian

mendukung partai berazas Islam seperti PPP, PBB dan PKS. Namun di sisi lain

terdapat pula elite yang bersikap non-partisan, yaitu tetap mempertahankan sikap

sebagaimana Khittah Muhammadiyah 1971 yang tidak berafiliasi ke partai politik

manapun.

1.6.2. Daerah dan waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar, yang terletak di Provinsi Sulawesi

Selatan. Pemilihan lokasi dan setting sosial ini didasarkan pada beberapa alasan:

Pertama, Pada masa sebelum era reformasi, pada umumnya ulama, tokoh dan elite

pimpinan Muhammadiyah di Makassar cenderung tidak terlibat dalam kegiatan

politik praktis dan partai politik baik di PPP maupun Golkar. Mereka cenderung

mengurusi kegiatan sosial keagamaan organisasi Muhammadiyah, seperti amal usaha

di bidang pendidikan dan kesehatan, kegiatan tabligh, dan pengkaderan pimpinan

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

39

dan anggota. Namun pada era reformasi beberapa tokoh dan elite pimpinan

Muhammadiyah di Makassar mengambil peran sebagai inisiator dan deklarator

pendirian Partai Amanat Nasional. Dan kemudian sebagian berlanjut menjadi

pengurus dan pimpinan PAN.

Kedua, Kehadiran PAN yang didirikan Oleh M. Amien Rais, yang

merupakan tokoh Muhammadiyah, tidak serta merta menjadikan arus pilihan politik

elite dan warga Muhammadiyah mengarah Ke PAN. Beberapa Elite Muhammadiyah

menjadi deklarator dan pimpinan di Partai Keadilan, dan sebagian mendukung dan

simpatik ke PBB, dan juga ke PPP.

Ketiga, Pada masa Orde Baru, Sulawesi Selatan, khususnya Makassar adalah

basis kuat kekuasaan dan pengaruh Golkar, sehingga menarik untuk mencermati

bagaimana partai-partai yang baru terbentuk, termasuk PAN yang mengandalkan

basis Warga Muhammadiyah, dalam rangka membangun dan mengembangkan

eksistensinya di Makassar dan Sulawesi Selatan.

Keempat, Terkait dengan pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

tahun 2004, kehadiran Prof.Dr.H.M.Amien Rais yang berpasangan dengan Dr. Ir. H.

Siswono Yudo Husodo, dan tampilnya Drs. H. M. Jusuf Kalla sebagai calon Wakil

Presiden dari H. Susilo Bambang Yudoyono, juga merupakan hal yang menarik,

karena bagi kalangan elite Muhammadiyah, di satu sisi M. Amien Rais adalah tokoh

Muhammadiyah dan pimpinan PAN, tetapi di sisi lain H. Jusuf Kalla adalah putera

daerah bagi masyarakat Sulawesi Selatan dan merupakan tokoh yang kuat

pengaruhnya dalam pemerintahan dan masyarakat. Sedangkan di kalangan

Muhammadiyah sendiri, H. Jusuf Kalla dan Keluarganya dipandang sebagai keluarga

dan simpatisan Muhammadiyah yang peduli dan memiliki sumbangsih terhadap

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

40

kegiatan dan pembangunan amal usaha Muhammadiyah di Sulawesi Selatan.

Sehingga tampilnya kedua tokoh tersebut, sedikit banyak menimbulkan tarik-

menarik pilihan di kalangan elite dan warga Muhammadiyah Makassar.

Kelima, Muhammadiyah Makassar memiliki peran strategis dan penting

dalam gerakan dan pesebaran dakwah Islam dan menjadi pusat pengkaderan

pimpinan dan anggota Muhammadiyah di Kawasan Timur Indonesia. Oleh karena itu

respon Muhammadiyah dan elite Muhammadiyah di Makassar menghadapi situasi

politik pasca Orde baru, diduga juga akan berpengaruh pada kegiatan dakwah

maupun kecenderungan respon politik elite dan warga Muhammadiyah di kawasan

ini.

Waktu yang digunakan untuk melakukan penelitian ini sekitar satu tahun, yaitu

mulai Agustus 2005 sampai juli 2006. Waktu penelitian tersebut mencakup tahap

persiapan, tahap pengumpulan data primer dan sekunder, tahap analisa dan penulisan

tesis.

1.6.3. Penentuan Subyek Penelitian

Dalam mendapatkan informasi maupun data di lapangan, maka dipilih

beberapa informan sebagai subyek dalam penelitian ini. Informan dipilih sesuai

dengan tujuan penelitian, yaitu representatif dalam memberikan informasi yang

diperlukan sesuai dengan fokus dan tujuan penelitian.

Proses penentuan informan menggunakan metode snowball (bola salju), yaitu

memulai suatu identifikasi awal dari beberapa elite yang berpengaruh kemudian

menentukan siapa yang ditanya didapat dari mereka untuk mencalonkan orang lain

yang juga berpengaruh. Proses ini berlanjut sampai ditemukan beberapa orang

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

41

sebagai informan untuk diwawancarai secara mendalam hingga terpenuhinya data

yang diperlukan terkait penelitian ini.

Oleh karena Level analisis pada penelitian ini berfokus pada individu (aktor)

elite pimpinan Muhammadiyah di Makassar, maka dalam penentuan informan

dipertimbangkan beberapa hal; pertama, elite tersebut dipilih karena posisi sebagai

pimpinan dalam struktur organisasi Muhammadiyah Makassar atau biasa disebut

sebagai pengurus harian, antara waktu tahun 1995-2005, Kedua, dipilih sebagai

informan karena ketokohannya dalam Muhammadiyah, kepakarannya, peran dan

pengaruhnya, atau karena mempunyai informasi yang kaya mengenai tema kajian.

Ketiga, informan mewakili kategori elite yang ada dalam Muhammadiyah misalnya

kategori ulama, akademisi, birokrat, politisi. Keempat, informan mengetahui atau

mewakili suatu kategori orientasi politik misalnya dalam memandang hubungan

Muhammadiyah dan politik ada kelompok yang mempertahankan khittah;

akomodatif; pragmatis. Sementara dalam memilih partai politik misalnya kategori

yang berorientasi ideologis dan yang inklusif.

Berdasarkan kategori tersebut di atas maka subyek penelitian yang dijadikan

informan adalah sebagai berikut: pertama, beberapa Pengurus Harian Dewan

Pimpinan Daerah Muhammadiyah Makassar, yaitu: Drs. K.H. Baharuddin P, (Ketua

Pimpinan Daerah Muhammadiyah Makassar periode 1990-1995), Drs. H. M. Alwi

Uddin, M.Ag. (Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Makassar, periode

2000-2005), Drs. K.H. Djalaluddin Sanusi, (Wakil ketua I, Pimpinan Daerah

Muhammadiyah Makassar periode 2000-2005), H. Abd. Razak Muh. Tahir (Ketua

PD Muhammadiyah periode 1995-2000), Drs. H. Ali Parman, MA (Ketua Majelis

Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam).

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

42

Kedua, Dari kalangan elite/tokoh Muhammadiyah yang menjadi Pengurus

dan Pimpinan Partai Amanat Nasional, yaitu H. Iskandar Tompo (Legislator PAN

Kota makassar, sebelum menjadi ketua PAN Makassar beliau adalah Pimpinan pada

Pengurus Muhammadiyah Wilayah Sulawesi selatan), Mukhlis Panaungi, SH

(legislator PAN di DPRD Sul-Sel yang merupakan kader dari Angkatan Muda

Muhammadiyah), Drs. Usman Lonta, M.Pd. (Dosen pada Universitas

Muhammadiyah Makassar, Anggota Pemuda Muhammadiyah Makassar, dan

bergabung menjadi Pengurus PAN Daerah Sulawesi Selatan), Syamsuryadi P, S.Ag

(Anggota Pimpinan Daerah Muhammadiyah Makassar, kemudian menjadi sekretaris

eksekutif pada PAN Kota Makassar). Sedangkan Elite Pimpinan yang berafiliasi ke

PPP, yaitu Saudara Abang Akbar (anggota pengurus Pimpinan Daerah

Muhammadiyah Makassar dan sekaligus sekretaris eksekutif Pimpinan Daerah

Muhammadiyah Makassar). Selanjutnya, Elite yang menjadi deklarator pada Partai

Keadilan adalah Hasyim Ramlan (Muballigh dan Guru pada Pesantren

Muhammadiyah Darul Arqam Gombara).

Ketiga, dari kalangan angkatan muda Muhammadiyah, yaitu antara lain:

Muslimin, Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Tahun 2003-2005; Dahlan

Lamabawa (Ketua IMM tahun 1999-2000), juga merupkan muballigh

Muhammadiyah; Panca Nurwahidin (Ketua IMM tahun 1997-1999), juga sebagai

pengurus Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan pengajar pada AKPER

Muhammadiyah); Syawaluddin Shadiq Pengurus Pemuda Muhammadiyah dan dosen

pada Universitas Muhammadiyah Makassar; Alimuddin, anggota Pimpinan

Muhammadiyah Makassar dan muballigh Muhammadiyah; Abd. Azis Dhealy, S.Sos,

anggota Pemuda Muhammadiyah dan pimpinan pada perguruan Muhammadiyah.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

43

1.6.4. Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini secara umum dapat

dikelompokkan menjadi dua (2) yaitu data primer dan data sekunder. Data primer

adalah data-data yang dikumpulkan langsung pada saat penelitian lapangan,

sedangkan data sekunder adalah data-data yang diperoleh dari dokumen-dokumen

terkait dengan tema penelitian.

Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara, yaitu observasi, wawancara

mendalam (indepth interview) dan dokumentasi. Berikut ini dijelaskan penggunaan

ketiga teknik pengumpulan data tersebut, yaitu:

a. Melakukan observasi, yaitu pengamatan langsung terhadap objek penelitian.

Untuk memulai kegiatan penelitian dilakukan observasi pendahuluan dengan

melakukan pengamatan di lapangan untuk menjaring informasi awal,

mengidentifikasi, dan membangun gambaran awal permasalahan penelitian

tentang perilaku politik elite Muhammadiyah. fokus pengamatan adalah: a)

elite/tokoh Muhammadiyah yang menjabat sebagai pengurus harian Pimpinan

Daerah Muhammadiyah Makassar, b) elite/tokoh Muhammadiyah yang menjadi

pengurus/pimpinan pada partai politik. c) Tokoh pemuda/pimpinan organisasi

otonom Muhammadiyah yaitu Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Pemuda

Muhammadiyah.

Hasil pengamatan ini kemudian digunakan untuk merumuskan langkah-

langkah penelitian lebih lanjut. Pengamatan dilakukan antara lain dengan

melakukan kunjungan dan pengamatan pada aktivitas Pimpinan Daerah

Muhammadiyah Makassar di sekretariat Pimpinan Daerah Muhammadiyah,

demikian pula dilakukan di Gedung Muhammadiyah di mana berkantor

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

44

sekretariat organisasi otonom Muhammadiyah. Pengamatan juga dilakukan

melalui kunjungan silaturrahmi dan melakukan wawancara di rumah informan;

atau mengikuti pengajian dan temu alumni yang dilaksanakan dalam lingkungan

pimpinan dan warga Muhammadiyah.

Observasi ini dilakukan untuk melihat langsung situasi, aktivitas,

lingkungan dan kehidupan keseharian berkaitan dengan elite Pimpinan

Muhammadiyah yang dijadikan sebagai subyek dan informan dalam penelitian

ini.

b. Melakukan wawancara mendalam (indepth interview), yaitu wawancara

mendalam kepada elite pimpinan Muhammadiyah yang terkait dengan

permasalahan yang sedang diteliti. Tujuannya adalah untuk mengetahui

pandangan, sikap dan/atau tindakan mereka yang berkaitan dengan tema

penelitian.

Wawancara mendalam dilakukan terhadap elite pimpinan

Muhammadiyah yang telah dipilih sebagai informan berdasarkan penelusuran

yang telah dilakukan sebelumnya, yang terdiri dari lima (5) orang tokoh/elite

pimpinan Muhammadiyah yang sedang menjabat sebagai pimpinan harian pada

periode sekitar tahun 1998-2005. Lima orang Pimpinan ini dipilih karena

dipandang memahami dan terlibat langsung dalam kegiatan Muhammadiyah

pada periode tersebut dan bersesuaian dengan waktu yang tercakup dalam

penelitian ini. Di samping itu juga dilakukan wawancara terhadap lima (5) orang

dari pimpinan Angkatan Muda Muhammadiyah, serta enam (6) orang elite

Muhammadiyah yang kemudian menjadi pengurus pada partai Politik.

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

45

c. Mengumpulkan dokumen, yaitu pengumpulan data dari dokumen-dokumen yang

terkait dengan tema penelitian ini. Dokumen-dikumen tersebut berupa hasil

penelitian, rencana dan laporan kegiatan Muhammadiyah, kebijakan dan

keputusan organisasi Muhammadiyah baik yang dimuat dalam Berita Resmi

Muhammadiyah; jurnal Tarjih Muhammadiyah; dan Buletin Wawasan Kader,

buku, Berita dan opini tentang Muhammadiyah di media massa. Dokumen-

dokumen tersebut digunakan untuk melengkapi hasil observasi dan wawancara

mendalam.

1.6.5. Analisis Data

Analisa data dilakukan secara induktif, yaitu data dianalisis secara deskriptif

yang sebagian besar berasal dari wawancara mendalam terhadap informan. Catatan

penelitian dianalisa untuk memperoleh tema dan pola-pola yang dideskripsikan dan

diillustrsikan dengan kutipan-kutipan pendapat yang menggambarkan pandangan

subyek yang diteliti, yang mencakup apa yang dipikirkan, dinyatakan dan dilakukan

oleh elite Muhammadiyah, yang merupakan penggambaran dari motif dan dorongan

untuk memilih suatu tindakan yang dianggap paling sesuai dengan situasi konkret

yang terjadi dalam persyarikatan Muhammadiyah, ketika merespon situasi politik

nasional dan lokal yang sedang berubah. Selain menggunakan sumber data primer,

digunakan pula data sekunder, dari dokumen hasil keputusan organisasi, studi yang

pernah dilakukan sebelumnya dan publikasi berita di media massa.

Dari analisis data tersebut dibuat abstraksi kategori konseptual beserta aspek-

aspek atau unsur-unsur pada kategori tersebut, disertai dengan indikator-indikator

bagi munculnya kategori tersebut, sehingga hasil analisis dapat memunculkan

deskripsi baru yang dapat menjelaskan tentang perilaku politik elite Muhammadiyah

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81388/potongan/S2-2015... · Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di ... Muhammadiyah sebagai

46

di Makassar berkaitan dengan kecenderungan sikap politik organisasi

Muhammadiyah dalam merespon kondisi politik pasca Orde Baru.