BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan Malioboro merupakan salah satu kawasan wisata yang sangat terkenal di Kota Yogyakarta. Pesonanya tidak hanya dikenal oleh wisatawan lokal, tetapi juga oleh para wisatawan asing yang sering berkunjung kesana. Malioboro sudah ada sejak 200-an tahun yang lalu dan menjadi saksi bisu perjalanan Kota Yogyakarta dari waktu ke waktu. Hal ini menjadikan Malioboro sebagai kawasan strategis yang memiliki nilai sejarah, budaya, dan nilai filosofis Yogyakarta yang melekat didalamnya. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta disebutkan bahwa Kawasan Malioboro merupakan kawasan strategis citra kota. Citra Kota Yogyakarta adalah citra yang melekat kepada Kota Yogyakarta yang mencerminkan aspek pendidikan, perjuangan, pariwisata, dan pelayanan jasa yang berbasis budaya. Hal itu berarti kawasan Malioboro merupakan salah satu kawasan strategis yang mencerminkan aspek-aspek yang melekat pada citra Kota Yogyakarta. Sedangkan maksud dari kawasan strategis dalam RTRW Kota Yogyakarta yaitu wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, budaya, dan/atau lingkungan. Berbeda dengan Malioboro pada zaman dahulu, saat ini kawasan Malioboro telah tumbuh menjadi sebuah kawasan yang padat. Berbagai kegiatan ada di Malioboro mulai dari kegiatan jasa dan perdagangan, kegiatan wisata, serta seni
19
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/110629/potongan/S1-2017... · 1.1 Latar Belakang ... juga naik 200 persen dari biasanya pada saat libur Nyepi,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kawasan Malioboro merupakan salah satu kawasan wisata yang sangat
terkenal di Kota Yogyakarta. Pesonanya tidak hanya dikenal oleh wisatawan lokal,
tetapi juga oleh para wisatawan asing yang sering berkunjung kesana. Malioboro
sudah ada sejak 200-an tahun yang lalu dan menjadi saksi bisu perjalanan Kota
Yogyakarta dari waktu ke waktu. Hal ini menjadikan Malioboro sebagai kawasan
strategis yang memiliki nilai sejarah, budaya, dan nilai filosofis Yogyakarta yang
melekat didalamnya. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta
disebutkan bahwa Kawasan Malioboro merupakan kawasan strategis citra kota.
Citra Kota Yogyakarta adalah citra yang melekat kepada Kota Yogyakarta yang
mencerminkan aspek pendidikan, perjuangan, pariwisata, dan pelayanan jasa yang
berbasis budaya. Hal itu berarti kawasan Malioboro merupakan salah satu kawasan
strategis yang mencerminkan aspek-aspek yang melekat pada citra Kota
Yogyakarta. Sedangkan maksud dari kawasan strategis dalam RTRW Kota
Yogyakarta yaitu wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kota terhadap ekonomi, sosial,
budaya, budaya, dan/atau lingkungan.
Berbeda dengan Malioboro pada zaman dahulu, saat ini kawasan Malioboro
telah tumbuh menjadi sebuah kawasan yang padat. Berbagai kegiatan ada di
Malioboro mulai dari kegiatan jasa dan perdagangan, kegiatan wisata, serta seni
budaya. Malioboro yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan filosofis ini menjadi
daya tarik tersendiri untuk berbagai kalangan. Mulai dari kalangan wisatawan dan
pengunjung yang berwisata, kalangan PKL, Juru Parkir, Juru andong, dan becak
yang menyediakan kebutuhan para wisatawan, serta kalangan swasta yang
mendirikan pertokoan serta hotel disana. Mereka semua memiliki kepentingan yang
beragam di Malioboro. Dalam penelitian Joko Winarno yang berjudul Dinamika
Peran Stakeholder dalam Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima,
disebutkan bahwa “Menurut pengamat ekonomi, Malioboro adalah sebuah CBD
(Central Business District) di Kota Yogyakarta. CBD akan mengalami
penumpukan karena masyarakat memperebutkan fasilitas umum yang
dimilikinya”(Winarno, 2004:5). Saat ini hal tersebut sudah terjadi, contohnya
fasilitas trotoar di Malioboro lebih banyak digunakan untuk area Parkir dan PKL
berjualan daripada fungsi utamanya yaitu sebagai area untuk para pejalan kaki. Hal
ini menyebabkan wisatawan pejalan kaki hanya mendapatkan sedikit tempat untuk
berjalan. Melihat kondisi Malioboro saat ini, Pemerintah Propinsi DIY dan
Pemerintah Kota Yogyakarta melakukan perencanaan untuk penataan Malioboro.
Namun demikian, menata sebuah kawasan kompleks seperti Malioboro bukanlah
suatu hal yang mudah. Hal ini tercermin dari banyaknya gejolak yang muncul
selama proses perencanaan tersebut berlangsung.
1.1.1. Kawasan Malioboro sebagai Pusat Berbagai Kegiatan
Kawasan Malioboro merupakan pusat berbagai kegiatan, mulai dari
perdagangan dan jasa, pelayanan masyarakat, wisata, dan sosial budaya. Di
Malioboro terdapat banyak komunitas. Secara garis besar berikut komunitas-
komunitas yang ada di Malioboro (Data UPT Malioboro, 2014).
• Bidang pedagangan (sekitar 2680 orang) terdiri dari pengusaha,
pedagang kaki lima makanan, pedagang kaki lima non kuliner.
• Bidang transportasi (sekitar 1400 orang) yang terdiri dari Juru andong,
becak, dan Parkir.
• Bidang pariwisata (sekitar 300 orang) yaitu hotel, seniman, guide, dan
usaha jasa pariwisata lainnya.
Berbagai komunitas tersebut melakukan kegiatan di Malioboro setiap
harinya dan berkembang menjadi semakin “sibuk” saat ini. Banyaknya toko-toko
yang berderet di sepangjang Jalan Malioboro dan Jalan A.Yani serta para PKL yang
mendirikan lapak dagangan menjadi bukti bahwa Malioboro merupakan pusat
perdagangan dan jasa. Mereka menjadikan Malioboro sebagai tempat untuk
mencari penghasilan sehari-hari. Sebagian besar dari mereka menjual berbagai
kebutuhan para wisatawan yang berkunjung ke Malioboro, yaitu barang dan
makanan khas Yogyakarta.
Wisatawan yang berkunjung ke Malioboro dapat dikatakan cukup banyak.
Pada harihari tertentu, wisatawan yang berkunjung ke Malioboro bisa naik secara
drastis. Pada libur Hari Raya Idul Fitri tahun 2015, H-7 Lebaran pengunjung naik
500 persen dibandingkan dengan hari-hari biasa (Radar Jogja,2015). Wisatawan
juga naik 200 persen dari biasanya pada saat libur Nyepi, Maret 2015 lalu
(Rusqiyati,2015). Selain itu pada hari-hari biasa, Malioboro juga menjadi tempat
yang sering dikunjungi.
Bukan hanya para pedagang dan wisatawan yang memiliki kepentingan di
Malioboro. Malioboro juga kerap dijadikan tempat untuk atraksi seni budaya.
Mereka dari kalangan budayawan maupun seniman seringkali menggelar pameran
hasil karya seninya di sepanjang Malioboro. Tiap tahun, banyak event budaya yang
diselenggarakan di Malioboro. Kegiatan seni dan budaya ini juga menjadi salah satu
daya tarik wisata bagi para wisatawan untuk berkunjung ke Malioboro. Selain itu,
di Malioboro juga terdapat kepatihan yang merupakan tempat pemerintahan
Propinsi DIY yang semakin melengkapi fungsinya sebagai pusat berbagai kegiatan.
Berbagai kegiatan yang ada di Malioboro ini sudah ada sejak dulu. Jadi dapat
dikatakan bahwa kegiatan wisata, perdagangan, serta kegiatan lainnya sudah
menjadi kegiatan tetap yang dilakukan di Malioboro.
1.1.2. Masalah Kemacetan dan Kesemrawutan di Kawasan Malioboro
Sebagai sebuah kawasan yang menjadi pusat berbagai kegiatan, Malioboro
tidak lepas dari permasalahan. Malioboro saat ini sudah menunjukkan kondisi yang
semakin kompleks. Masalah kemacetan dan kesemrawutan menjadi masalah utama
yang dapat dilihat secara langsung di Malioboro. Masalah kemacetan sering terjadi
ketika jumlah pengunjung Malioboro tinggi. Misalnya ketika hari libur dan ada
event penting atau atraksi seni budaya di Malioboro. Sebagian besar dari mereka
menggunakan kendaraan bermotor sehingga menyebabkan tingginya angka
kendaraan bermotor. Tingginya jumlah pengunjung yang menggunakan kendaraan
bermotor ini membuat jalan di Kawasan Malioboro sesak. Berdasarkan data dari
Kepala UPT Malioboro, volume kendaraan di Jalan Malioboro mencapai 0,8 jika
titik ambang jenuhnya berada pada angka 1 (Sudiaman,2015).
Kemacetan yang terjadi di Malioboro tidak hanya pada hari-hari libur atau
ketika ada atraksi seni budaya yang selalu menarik wisatawan untuk berkunjung ke
sana. Kemacetan juga kerap terjadi di hari-hari biasa pada waktu-waktu tertentu
seperti ketika malam hari. Beberapa faktor yang ditengarai menjadi penyebab
kemacetan di Malioboro yakni tingginya jumlah kendaraan bermotor yang melewati
Malioboro, banyaknya para pejalan kaki yang menyeberang bukan pada zebra
cross, serta bus dan kendaraan umum yang menurunkan penumpang tidak pada
tempatnya. Puncak tingginya angka kendaraan yang melewati
Malioboro terjadi pada pukul 12.00-13.00 dan 18.30-19.30, sedangkan
jumlah para pejalan kaki yang menyeberang tidak pada zebra cross sekitar 73%.1
Faktor-faktor itulah yang kerap kali membuat jalanan di Malioboro terlihat padat
dan berujung pada kemacetan.
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya yaitu kesemrawutan dan
ketidaktertiban di kawasan Malioboro. Kondisi yang semrawut ini dapat dilihat di
sisi timur maupun barat Malioboro. Lapak dagangan PKL berdekatan satu sama
lain, baik itu PKL kuliner maupun non kuliner. Para PKL yang ada di sisi barat
harus berbagi tempat dengan para wisatawan yang berjalan kaki. Mereka
menggunakan trotoar sebagai tempat dagangannya. Hal ini berdampak pada kondisi
yang sesak serta menyebabkan wisatawan pejalan kaki berdesakdesakan diantara
lapak PKL tersebut. Kondisi ini juga terjadi di sisi timur jalan. Di sisi timur jalan
ini, bukan hanya PKL yang memenuhi area pejalan kaki, tetapi juga ditambah
1 Cholis Aunurrohman, 2007. Malioboro : Soal Pembangunan Kawasan Pejalan Kaki dan Dusta
Proyek-Proyek di Sana
dengan area Parkir yang penuh dengan sepeda motor. Para wisatawan juga harus
berbagi area dengan PKL serta sepeda motor yang diParkir.
Sebagai perhitungan, lebar jalan di Kawasan Malioboro sekitar 25 meter, 10
meter di sebelah timur untuk pejalan kaki, PKL, dan Parkir, 7 meter sisi tengah
untuk jalur kendaraan bermotor, 3 meter devider untuk alternatif pejalan kaki, dan
5 meter di sisi barat.2 Dapat dilihat bahwa jalan selebar 10 meter di sebelah timur
harus dibagi untuk area pejalan kaki, tempat Parkir, dan PKL. Sebenarnya ini
merupakan suatu hal yang dilematis. Are za Parkir serta PKL yang ada di
trotoar muncul untuk memenuhi kebutuhan dari para wisatawan. Namun demikian,
keberadaannya di tengah area pejalan kaki, dapat membuat kenyamanan para
wisatawan terganggu. Kondisi Malioboro yang demikian ini suatu saat dapat
menimbulkan ketidaknyamanan bagi para wisatawan yang berkunjung ke sana.
Terlepas dari kondisi yang semrawut ini, Malioboro saat ini masih menjadi
daya tarik yang kuat bagi para wisatawan terutama wisatawan dari luar untuk
berkunjung ke sana.
Wisatawan yang berkunjung ke Kota Yogyakarta masih memiliki mindset
Malioboro-sentris. Namun demikian, bukan tidak mungkin jika kondisi Malioboro
saat ini dibiarkan begitu saja suatu saat dapat menurunkan tingkat kenyamanan para
wisatawan.
1.1.3. Kebijakan Penataan Malioboro menjadi Kawasan Pedestrian
Dalam mewujudkan rencana penataan Malioboro, pemerintah sudah
memiliki arah penataan yaitu menjadikan Malioboro sebagai kawasan pedestrian.
2 Data UPT Malioboro,2014.
Dalam RTRW Kota Yogyakarta pasal 80 ayat 2 yang berbunyi “Jalan
Mangkubumi, Jalan Malioboro, Jalan Ahmad Yani diarahkan untuk area khusus
pejalan kaki (pedestrian)”. Jalan Mangkubumi, jalan Malioboro, dan Jalan Ahmad
Yani terletak di Kawasan Malioboro. Saat ini penataan Malioboro menjadi
kewenangan Pemerintah Propinsi DIY karena dalam UU Keistimewaan Malioboro
merupakan bagian dari sumbu filosofis yang tercantum dalam pilar tata ruang.
Pemerintah Propinsi DIY yang memiliki wewenang penuh dalam merumuskan
konsep penataan Malioboro. Selain itu, Pemprov yang akan membiayai penataan di
sana. Rencananya, seluruh pembiayaan akan menggunakan Dana Keistimewaan
(Danais), sedangkan untuk sosialisasi menjadi wewenang Pemkot Jogja.3 Hal ini
diperkuat dengan hasil wawancara dengan Kepala UPT Malioboro yang
mengatakan bahwa Pemprov DIY memiliki wewenang dalam hal pembiayaan dan
penataan fisik perencanaan sedangkan Pemkot Yogyakarta berwenang untuk
menangani masalah sosial.4 Saat ini, kebijakan penataan Malioboro menjadi
kawasan pedestrian sudah memiliki grand desain penataan yang belum disahkan.
Mewujudkan Malioboro menjadi kawasan pedestrian berarti menyediakan
ruang bagi para pejalan kaki. Sekitar 60% pejalan kaki yang ada di Malioboro
merupakan wisatawan yang berkunjung ke sana.5 Melalui adanya kebijakan
pedestrianisasi Malioboro, pemerintah berusaha memberikan pelayanan bagi
mereka para pejalan kaki tersebut. Namun hal ini ternyata cukup sulit mengingat
3 Radar Jogja (admin), 2014, Percepat Penataan Kawasan Malioboro, dikutip dari