BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Pengkajian terhadap rumpun bahasa Austronesia sudah dilakukan oleh para ahli linguistik sejak tahun 1784. Rentang waktu yang panjang itu rupanya belumlah cukup mematenkan pengklasifikasian secara umum mengenai rumpun bahasa Austronesia itu sendiri. Perdebatan terkait pencabangan masih kerap terjadi terutama pengelompokan terhadap bahasa Austronesia rumpun bahasa Melayu batasan nya masih belum jelas (Collins, 1983: 83). Hal ini kemudian dirumitkan lagi dengan belum terbitnya sebuah buku pun yang menyajikan sejarah bahasa Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura secara komprehensif dan ilmiah. Itulah kemudian klasifikasi dan pemetaan terhadap bahasa-bahasa yang ada di Indonesia menjadi sangat penting dan mendesak dilakukan. Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir abad ke-19, yang ditandai oleh unculnya dua penelitian yang dilakukan pada dua tempat (negara) yang berbeda dalam waktu yang relatif bersamaan. Penelitian yang pertama dilakukan di Jerman oleh Gustav Wenker pada tahun 1876 dan yang kedua dilakukan di Perancis oleh Jules Louis Gillieron pada tahun 1880 ( Moulton, 1969: 59). Kedua penelitian yang menjadi tonggak awal munculnya studi dialektologi tersebut secara umum bersifat diakronis (historis). Namun, oleh karena kedua penelitian itu disasarkan pada upaya pembuktian hukum perubahan bunyi yang dikemukakan kaum Neogrammarian, yang disebut dengan hukum bunyi tanpa kekecualian, maka segala kajian yang bersifat diakronis seperti hubungan dialekdialek/subdialek-subdialek dengan bahasa induk yang menurunkannya; hubungan antara dialek-dialek/subdialek-subdialek itu satu
24
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94552/potongan/s2-2015...Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Pengkajian terhadap rumpun bahasa Austronesia sudah dilakukan oleh para ahli linguistik
sejak tahun 1784. Rentang waktu yang panjang itu rupanya belumlah cukup mematenkan
pengklasifikasian secara umum mengenai rumpun bahasa Austronesia itu sendiri. Perdebatan
terkait pencabangan masih kerap terjadi terutama pengelompokan terhadap bahasa Austronesia
rumpun bahasa Melayu batasan nya masih belum jelas (Collins, 1983: 83). Hal ini kemudian
dirumitkan lagi dengan belum terbitnya sebuah buku pun yang menyajikan sejarah bahasa
Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura secara komprehensif dan ilmiah. Itulah kemudian
klasifikasi dan pemetaan terhadap bahasa-bahasa yang ada di Indonesia menjadi sangat penting
dan mendesak dilakukan.
Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir
abad ke-19, yang ditandai oleh unculnya dua penelitian yang dilakukan pada dua tempat (negara)
yang berbeda dalam waktu yang relatif bersamaan. Penelitian yang pertama dilakukan di Jerman
oleh Gustav Wenker pada tahun 1876 dan yang kedua dilakukan di Perancis oleh Jules Louis
Gillieron pada tahun 1880 ( Moulton, 1969: 59). Kedua penelitian yang menjadi tonggak awal
munculnya studi dialektologi tersebut secara umum bersifat diakronis (historis). Namun, oleh
karena kedua penelitian itu disasarkan pada upaya pembuktian hukum perubahan bunyi yang
dikemukakan kaum Neogrammarian, yang disebut dengan hukum bunyi tanpa kekecualian, maka
segala kajian yang bersifat diakronis seperti hubungan dialekdialek/subdialek-subdialek dengan
bahasa induk yang menurunkannya; hubungan antara dialek-dialek/subdialek-subdialek itu satu
sama lain, serta hubungan antara dialek-dialek/subdialek-subdialek itu dengan dialek-
dialek/subdialek-subdialek dari bahasa lain yang diduga ikut pula membentuk kejatian dialek-
dialek/subdialek-subdialek dari bahasa yang dteliti itu belum mendapat perhatian. Hal yang sama,
yang juga belum mendapat perhatian yang memadai dalam kedua kajian dialektologi di atas adalah
hal yang berkaitan dengan aspek sinkronis. Dalam hal ini yang dimaksudkan berkaitan dengan
bidang kajian linguistic yang dijadikan dasar kajiannya lebih ditekankan pada perbedaan bidang
fonologi daripada bidang linguistic lainnya, seperti bidang morfologi, sintaksis, leksikon, dan
semantic. Hal ini dapat dimaklumi karena sasarannya diutamakan pada pembuktian kebenaran
hukum perubahan bunyi yang diajukan kaum neogrammarian. Dalam pada itu pula , penentuan
status isolek sebagai dialek atau subdialek sepenuhnya tidak didasarkan pada perbedaan yang
terdapat pada semua bidang kajian linguistik di atas.
Selanjutnya, perkembangan penelitian dialektologi pasca Wenker dan Gillieron
memperlihatkan kecenderungan ke arah terbentuknya dua pola penelitian yang berbeda satu sama
lain. Yang pertama, penelitian yang hanya menekannkan aspek sinkronis dan yang kedua
penelitian yang tidak hanya menekankan aspek sinkronis, tetapi juga aspek diakronis. Penelitian
dialektologi dilakukan oleh Teew (1958) untuk bahasa Sasak di pulau Lombok yang menjadi
tonggak awal munculnya penelitian dialektologi di Indonesia merupakan contoh penelitian
dialektologi yang bersifat sinkronis. Tampaknya, dalam perkembangan selanjutnya penelitian
dialek geografis jenis ini mendapat tempat yang subur dalam penelitian dialektologi di Indonesia.
Hal ini berkat munculnya seorang ahli dialektologi yang berkebangsaan Indonesia yaitu
Ayatrohaedi dengan bukunya yang cukup dikenal pada kalangan dialektolog Indonesia adalah
Dialektologi: Sebuah Pengantar (1983)
Jika merujuk ke hasil pemetaan bahasa-bahasa di Indonesia yang dilakukan oleh Pusat
Bahasa, kini Badan Pembinaan, Pengembangan dan Perlindungan Bahasa (2008), dan oleh Grimes
(2000) dalam The Languages of The World, di Indonesia terdapat tidak kurang 698 buah bahasa
daerah dan dialeknya (dalam Masinambow dan Haenen: 2000). Bahasa daerah dan dialeknya itu
memiliki jumlah pemakai dan luas daerah pemakaian yang berbeda-beda. Ada yang jumlah
pemakainya sedikit misalnya bahasa Irian Jaya (Papua) dan Nusa Tenggara Timur (lihat
Ayatrohaedi, 1985:1)
Bahasa Muna (BM) adalah salah satu dari 698 bahasa daerah di Indonesia yang disebutkan
di atas yang pemakaian nya tidak hanya terdapat di Kabupaten Muna di Pulau Muna tetapi juga
tersebar/terdapat di Pulau Buton. Kajian geografi dialek terhadap bahasa Muna sama sekali belum
pernah dilakukan. Hal yang sama terjadi pula pada pemakaian bahasa Muna yang ada sebagai
daerah kantong (enclave) di pulau buton tidak pernah pula dilakukan penelitian sebelumnya.
Sejauh ini kerja penelitian terkait bahasa Muna hanya menjangkau identifikasi dan
pengklasifikasiannya saja yang sudah dilakukan oleh Summer Institute of Linguistik (SIL) pada
2006, dan Pusat Bahasa 2008. Menurut Van den Berg (1989), bahasa Muna terdiri atas tiga dialek
yaitu, (1) dialek Muna standar, (2) dialek Tiworo Kepulauan, dan (3) dialek selatan (daerah
Siompu dan Gulamas). Bahasa Muna juga terdapat di kabupaten/pulau Buton. Daerah-daerah
seperti Kamaru, Liabuku, Batauga, Siompu, Gu, Lakudo, Mawasangka, sebagian Lasalimu, Bungi,
sebagian Sampolawa adalah daerah-daerah di Buton yang bahasanya adalah merupakan varian
bahasa Muna. Daerah-daerah enklave Muna di Buton itu mengidentifikasi diri mereka sebagai
Pancana. Pancana adalah komunitas Muna yang tinggal di daerah periveral, daerah pinggiran
Muna, dan di pulau Buton bagian barat. statusPancana karena pengaruh bahasa Wolio yang lebih
berprestise dianggap sebagai bahasa minoritas. Dinamika Muna lebih diberi peluang untuk hidup
daripada bahasa lain disamping bahasa Wolio, karena peranan Muna sebagai benteng penjaga dan
penopang (Barata) kesultanan adalah hal lain yang mungkin bisa menunjang .
Menarik dicermati bahwa jika ditarik mundur kebelakang, pada masa dahulu, Muna adalah
sebuah kerajaan yang tunduk dan di bawah kontrol Kesultanan Buton. Dalam perspektif
Kesultanan Buton, Muna adalah sebuah Barata bersama-sama dengan Kulisusu di Utara, Tiworo
di Barat, dan Kaledupa di Timur. Barata adalah daerah penopang yang bertanggung jawab
menjaga keamanan dan melindungi Kesultanan dari gangguan bajak laut ataupun serangan musuh.
(lihat Zuhdi dalam labu rope labu wana, Sejarah Buton yang Terabaikan. 2005). Sebagai
Kesultanan, Buton mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa Wolio, tetapi dapat dilihat kini pada
daerah-daerah di Buton, bahasa Muna justru banyak sekali ditemukan khususnya pada daerah
pesisir pantai barat dan selatan pulau Buton serta pulau-pulau kecil di sekitar lepas pantai pulau
Buton seperti pulau Siompu, Kadatua, dan Talaga.
Charles E. Grimes and Barbara D. Grimes dalam Languages of South Sulawesi (1987: 59)
menyatakan bahwa rumpun Muna-Buton masuk dalam rumpun bahasa-bahasa di Sulawesi
Selatan. Sedangkan La Ode Sidu dkk menyebut bahasa Muna-Buton masuk dalam rumpun
Sulawesi tenggara. Penelitian lain yang dilakukan oleh Summer Institute of Linguistic (SIL) 2006
tidak menyebutkan adanya enklave Muna di Buton. SIL hanya mengidentfikasi dan kemudian
mengklasifikasi bahasa Muna dalam empat dialek, yaitu Muna Utara (daerah Tongkuno, Kabawo,
Lawa), Muna Selatan (daerah Gulamas), Muna Barat (daerah Lohia) Muna Timur (daerah Tiworo
Kepulauan).
Relasi historis menunjukan sangat dekatnya Enklave Muna di Pulau Muna, khususnya di
Muna Selatan (daerah Gu, Lakudo, Mawasangka atau diakronimkan Gulamas) dengan Siompu,
Talaga, Batauga, Kapontori, Todanga, sebagian Kamaru, Lipu, Liabuku, sebagian Sampolawa, dan
sebagian Lasalimu di Pulau Buton.
Untuk melihat hubungan antarbahasa sekerabat dalam telaah komparatif pada prinsipnya
dapat dibuktikan berdasarkan unsur-unsur warisan dari bahasa asal atau protobahasa. Secara
genetis pengelompokan bahasa dalam telaah komparatif dapat menyajikan keterangan tentang
hubungan historis bahasa-bahasa sekerabat secara khusus.
Cara kerja komparatif yang digunakan adalah bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
Prosedur metode komparatif yang bersifat kuantitatif ditempuh mengawali tahap rekonstruksi
protobahasa dengan menerapkan metode komparatif yang bersifat kualitatif.
Penelitian secara mendalam mengenai enklave bahasa Muna di Buton belum pernah
sebelumnya dilakukan, padahal tema mengenai ini sangat penting diteliti untuk mengetahui dan
memetakan secara visual daerah mana saja di kabupaten/pulau Buton yang masyarakatnya
memiliki bahasa yang merupakan varian bahasa Muna dan sekaligus malanjutkannya pada analisis
secara diakronis. Penelitian yang dilakukan oleh Summer Istitute Linguistic (SIL) 2006 dan Kantor
Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara 2008 hanya menyentuh sedikit saja mengenai ini, tidak masuk
menjangkau hal yang substansial. penelitian kedua lembaga itu baru sebatas pada pemetaan secara
visual saja atau baru secara sinkronis belum mencapai kajian secara diakronis.
Oleh karena itu, kajian terhadap sejumlah enklave Muna yang ada di pulau Buton dari
aspek dialektologi diakronis perlu dilakukan, selain untuk memperkaya pemahaman tentang
variasi bahasa Muna, diharapkan juga tersedianya kajian bahasa Muna secara komprehensif.
Dengan demikian, enclave-enklave Muna yang ada di Pulau Buton dapat turut diperhitungkan
dalam kajian linguistic diakronis (bandingkan dengan Collins, 1983 & 1994; Nothofer, 1995, dan
Fernandez, 1998).
Selain itu, yang menarik adalah penyebab perpindahan orang-orang Muna di pulau Buton
yang berbeda-beda tujuan kedatangan mereka. Ada beberapa bukti yang memperlihatkan secara
signifikan bahwa bahasa Muna juga digunakan di Pulau Buton terutama di Buton bagian Barat
dan Selatan. Sebenarnya kedatangan orang-orang Muna di Pulau Buton itu tidak terjadi secara
serentak, tetapi terjadi secara bertahap. Ditinjau dari perspektif sejarah, perpindahan orang Muna
ke pulau Buton melalui fase sejarah yang berbeda, disebabkan sejumlah faktor yang berbeda pula.
Jauh sebelum Mia Patamiana (si empat orang) datang di Pulau Buton yang kemudian
mendirikan kerajaan Wolio pada sekitar tahun 1300-an, pulau Buton telah berpenghuni manusia.
Adalah manusia-manusia asli tertua yang pernah hidup di dalam goa di daratan pulau Muna pada
sekitar 4000 SM melakukan migrasi ke Pulau Buton. Manusia-manusia yang pernah hidup dalam
goa ini kemudian berdiam tinggal di pulau Buton bagian barat dan selatan. Mereka inilah yang
kemudian menjadi muasal moyang leluhur dan menurunkan suku Wakaokili, suku Kalende, suku
Lipu, suku Lambusango, suku Kolagana, suku Lowu-Lowu, suku Wapancana, dan suku Todanga.
Belakangan suku-suku ini kemudian mengidentifiaksi diri mereka sebagai Pancana. (Mudjur,
2009:60)
Informasi historis yang lain menyebutkan bahwa berdasarkan teori mutakhir tentang
migrasi mahluk Homo Sapiens, dapat diperkirakan bahwa pulau Buton dan Muna sudah pernah
dihuni, atau paling tidak disinggahi oleh mahluk manusia sejak sekitar 50—30 ribu tahun yang
lalu. Kelompok Homo Sapiens yang bermigrasi keluar dari Afrika dan pergi menuju Asia Selatan,
Asia tenggara, dan lalu Australia inilah, dapat diperkirakan yang juga menjadi mahluk manusia
pertama yang ada di pulau Buton dan Muna. Namun migrasi manusia modern ini bukan merupakan
gelombang pertama dan terakhir dari persebaran mahluk manusia di permukaan bumi ini. Ini
merupakan gelombang terawal dan paling kuno dari persebaran mahluk manusia di kawasan asia
Tenggara dan benua Australia termasuk Pulau Buton dan Muna (lihat Maula dkk, 2011:11)
Pada sekitar 2500 SM (Zaman Neolitikum), gelombang migrasi berikutnya datang dari
Cina Selatan melalui Taiwan dan kepulauan Filipina, menuju kepulauan Indo-Melayu. Para migran
ini, yang berasal dari orang Mongoloid Selatan, umumnya dikenal sebagai orang-orang
Austronesia; mereka yang bermukim di kepulauan ini dan Pasifik juga dikenal sebagai Malayo-
Polynesian, untuk membedakan mereka dari kelompok Austronesia lain nya, orang-orang
Formosa, yang bermukim di Taiwan dan bahasanya telah berkembang secara berbeda.
Gelombang-gelombang migrasi Austronesia ini bermigrasi ke arah selatan dari Taiwan melalui
Filipina, dimana mereka kemudian terbagi menjadi dua cabang, (1) cabang yang pertama
meneruskan perjalanan ke arah selatan dan bermukim di Sulawesi dan Kalimantan. Dari
Kalimantan Utara, beberapa kelompok menyeberangi Laut Cina Selatan untuk bermukim di
Vietnam Selatan. Kelompok-kelompok lain melanjutkan perjalanan sampai ke Bali, Jawa,
Sumatera, dan Semenanjung Malaysia. Belakangan migrasi juga terjadi ke Madagaskar. (2) cabang
kedua bermigrasi ke timur dan bermukim di Maluku, dimana mereka terbagi menjadi dua
kelompok lagi, yang pertama terus ke Tonga, Samoa, dan Polinesia, sementara kelompok yang
kedua pergi ke barat dan bermukim di kepulauan Sunda Kecil. Cabang ini jugalah yang sangat
mungkin singgah dan bermukim di Pulau Buton dan Muna (Maula, 2011:14)
Dalam hal arus pergerakan migrasi ini, menarik memperhatikan kesimpulan para ahli,
sebagaimana ditulis oleh Christian Pelras berdasarkan analisis linguistik bahwa penghuni pertama
Austronesia di Sulawesi Selatan memiliki hubungan dengan mereka yang saat ini menghuni bagian
tengah dan tenggara Sulawesi. Mereka itu menggunakan bahasa yang tergolong ke dalam
kelompok bahasa Kaili-Pamona, Bungku-Mori, dan Muna-Wolio (Buton). Bahwa bahasa tersebut
merupaka substratum bagi bahasa-bahasa yang kini digunakan oleh penduduk Sulawesi Selatan
dapat dilihat dari analisis terhadap kata-kata tertentu yang masih ditemukan dalam bahasa
Makassar dan Toraja, serta bahasa Bugis kuno serta bahasa Bugis para pendeta bissu. (lihat Pelras
dalam Manusia Bugis).
Lebih lanjut Pelras menulis bahwa sebelum tarikh masehi, mereka yang tergolong ke dalam
kelompok penutur bahasa Muna-Buton yang keturunannya dewasa ini dapat ditemukan di daerah
Wotu (Luwu), Layolo (Selayar), Kalao (dekat Selayar), Muna, dan Wolio agaknya bermukim di
sekeliling pantai teluk Bone. Sedangkan kelompok penutur bahasa Pamona hidup berpencar di
pedalaman Semenanjung Sulawesi Selatan (Pelras, 2005:42—43)
Berdasarkan tinjauan sejarah dan linguistik di atas, dapat diasumsikan bahwa orang Muna
yang terdapat di beberapa enklave Muna di Pulau Buton menggunakan bahasa Muna dengan dialek
yang berbeda-beda. Sehubungan dengan itu, ada peluang untuk melakukan kajian yang mendalam
terhadap isolek-isolek Muna yang ada di Pulau Buton. Alasannya, karena selain belum adanya
kajian yang mendalam dan menyeluruh terhadap isolek-isolek itu melalui pendekatan linguistic
diakronis, sampai saat ini belum ditetapkan bahasa atau dialek apa sebenarnya yang dipakai oleh
desa-desa berpenutur bahasa Muna itu. Walaupun berdasarkan pengakuan sebagian besar penutur
di masing-masing enclave itu bahwa mereka adalah orang-orang Pancana yang muasalnya
datangnya dari pulau Muna. Perlu ditelusuri melalui kajian linguistik (dialektologi diakronis)
muasal mereka ketika terjadi migrasi dari daerah asalnya. Berdasarkan bukti dari uraian sejarah
seperti yang diungkapkan di atas, patron untuk menyimpulkan bahwa suatu bahasa berasal dari
satu bahasa atau kelompok bahasa belum dapat diandalkan dan dipakai sebagai pegangan karena
masih perlu dikaji eksistensi isolek-isolek tersebut melalui penelitian. Penelitian ini akan
memperjelas tidak hanya status bahasa daerah enklave Muna di pulau Buton tetapi juga bagaimana
awal mula mereka bermigrasi serta alasan-alasan mereka melakukan perpindahan itu.
1.2 Rumusan Masalah
Oleh karena alat komunikasi yang digunakan oleh penutur isolek di enckave-enklave Muna
di Pulau Buton diasumsikan bervariasi, maka sebelum pembicaraan terhadap hubungan isolek-
isolek itu dengan dialek-dialek bahasa Muna di Pulau Muna terlebih dahulu perlu dilakukan
identifikasi hubungan dan tingkat kekerabatan isolek-isolek itu dengan bahasa Muna dialek
Selatan (Gu-Mawasangka) dan bahasa Muna dialek Utara. Untuk memudahkan pembicaraan
dalam kajian ini penulis menggunakan istilah isolek yang lebih bersifat netral, karena status media
komunikasi yang digunakan oleh sejumlah enklave tersebut masih belum jelas apakah bahasa
ataukah dialek.
Pembicaraan terhadap sejumlah isolek-isolek tersebut harus diarahkan pada upaya
pembuktian secara linguistis dalam hal ini keeratan hubungan dan tingkat kekerabatan isolek-
isolek Muna di Pulau Buton dengan bahasa Muna dialek selatan atau Gu Mawasangka, dan bahasa
Muna di daerah Tongkuno (Muna tinggi). Hubungan isolek-isolek itu dengan dialek-dialek bahasa
Muna, dan pengaruh bahasa Muna dialek selatan di Pulau Muna. Dengan demikian permasalahn
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimana hubungan kekerabatan isolek-isolek Muna yang ada di pulau Buton dengan
dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara?
2. Bagaimana hubungan isolek-isolek Muna yang ada di Pulau Buton dengan dialek-dialek
bahasa Muna di Pulau Muna?
3. Bagaimanakah pengaruh bahasa Muna dialek Selatan (Gu-Mawasangka) terhadap isolek-
isolek Muna di Pulau Buton?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan hubungan isolek Muna di pulau Buton dengan
bahasa Muna, hubungan isolek-isolek Muna itu dengan dialek-dialek bahasa Muna, dan
pengaruh bahasa Muna terhadap isolek-isolek Muna di pulau Buton. Jadi tujuan penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan hubungan kekerabatan isolek-isolek Muna yang ada di pulau Buton
dengan dialek Selatan (Gu Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara
2. Mendeskripsikan hubungan isolek-isolek Muna yang ada di Pulau Buton dengan
dialek-dialek bahasa Muna di Pulau Muna; dan
3. Mendeskripsikan pengaruh bahasa Muna, dialek Selatan (Gu-Mawasangka), terhadap
isolek-isolek Muna di pulau Buton.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan teoritis dan praktis. Kegunaaan teoritis adalah adanya
gambaran yang memadai tentang hubungan kekerabatan isolek-isolek Muna di Pulau Buton
dengan dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara, hubungan isolek-isolek
Muna dengan dialek-dialek bahasa Muna, dan pengaruh dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan
bahasa Muna dialek Utara terhadap isolek-isolek itu.
Kegunaan praktis penelitian ini adalah dengan pengetahuan mengenai keadaan bahasa
yang diteliti, hubungan dengan bahasa-bahasa lain yang sekerabat dengannya diharapkan dapat
memberikan arah bagi penentuan kebijakan politik bahasa nasional khususnya dalam proses
pengembangan dan pembinaan bahasa. Dengan kata lain, menjadi bahan masukan bagi
pembangunan kebinekaantunggalikaan ke kebudayaan nasional Indonesia (lihat Danie, 1991: 8,
dalam Mahsun, 1994:9). Dengan demikian dapat dikatakan sebagai salah satu upaya ikut
memelihara bahasa daerah tersebut sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional. Hal lainnya
adalah sebagai bahan informasi bahwa bahasa-bahasa di Muna-Buton sekerabat yang itu kemudian
dapat menumbuhkan solidaritas bersama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
kedua daerah tersebut dengan membentuk satu provinsi baru tersendiri sebagaimana yang kini
sedang diupayakan yakni Provinsi Buton Raya, atau Provinsi Muna-Buton, atau Provinsi Sulawesi
Tenggara Kepulauan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian lapangan pendahuluan
dipahami bahwa di pulau Buton terutama di daerah pesisir barat dan selatan ditemukan beberapa
enklave Muna yaitu di Batauga, Lipu, Liabuku, Lowu-Lowu (ketiganya terdapat di Kota Bau-Bau,
wilayah pesisir barat pulau Buton), Kapontori, Barangka, Kamaru, Todanga, Matanauwe, dan
Kakenauwe (daerah di Barat Pulau Buton). Dari sekian banyak daerah enklave Muna tersebut
hanya enklave Liabuku, Lipu, dan Laompo yang dijadikan sasaran dalam penelitian ini. Mengenai
tidak diambilnya beberapa enklave lainnya, disebabkan enklave-enklave itu berasal/pindah dari
salah satu enklave yang telah dijadikan sasaran penelitian.
Penentuan hubungan kekerabatan antara isolek-isolek Muna di pulau Buton dengan bahasa
Muna dialek Selatan (Gu-Mawasangka) dan bahasa Muna dialek Utara mencakup penentuan
keeratan dan tingkat kekerabatan antara ketiganya. Penentuan keeratan hubungan dimaksudkan
untuk mendapatkan bukti secara linguistik-kualitatif keeratan hubungan isolek-isolek Muna di
pulau Buton dengan dialek Selatan (Gu-Mawasangka) dan bahasa Muna dialek Utara melalui
pendekatan Top Down Reconstruction. Hubungan kekerabatan ini diamati melalui sejumlah kata
kerabat yang ditemukan dalam ketiganya dan adanya keterwarisan dari bahasa awal yang lebih
tinggi darinya, baik yang berupa retensi maupun inovasi. Bahasa awal yang dimaksud adalah
Proto-Austronesia (PAN) pada tingkat yang lebih tinggi dan proto Muna-Buton pada tingkat yang
lebih rendah. Adapun penentuan tingkat kekerabatan dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran
apakah isolek Muna di pulau Buton lebih dekat hubungannya dengan dialek Selatan (Gu-
Mawasangka), ataukah bahasa Muna dialek Utara. Selanjutnya dalam penentuan itu dapat
dikatakan apakah hubungan isolek-isolek itu dengan kedua bahasa itu bersifat sebagai bahasa
(yang berbeda) atau hanya merupakan variasi (dialek) dari satu bahasa. Secara kuantitatif
penentuan tingkat kekerabatan menggunakan teknik leksikostatistik (lexsicostatistic), sedangkan
secara kualitatif dilakukan dengan memanfaatkan metode inovasi bersama (shared innovation) dan
retensi bersama (shared retention).
Selanjutnya kegiatan penentuan hubungan isolek-isolek Muna di pulau Buton dengan
bahasa Muna di pulau Muna selain mendapatkan gambaran yang memadai secara kualitatif yang
menjelaskan hubungannya dengan prabahasa Muna yang diasumsikan telah menurunkan dialek-
dialek bahasa Muna juga untuk mendapatkan gambaran baik secara kuantitatif maupun kualitatif
hubungan isolek-isolek itu dengan dialek-dialek bahasa Muna. Dalam hubungan ini Prabahasa
Muna dan klasifikasi dialek-dialek bahasa Muna yang dibuat oleh Berg lah yang akan
dimanfaatkan, karena selain penelitian ini merupakan penelitian terakhir, juga menggunakan teori
maupun metodologi mutakhir dibidang kajian dialektologi diakronis yang mencakup aspek
sinkronis dan aspek diakronis dalam bahasa Muna. Pembuktian secara kualitatif atas kedua
persoalan di atas ditekankan pada bidang fonologi dan leksikon.
Adapun pembicaraan tentang pengaruh Dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa
Muna dialek Utara terhadap enclave-enklave itu difokuskan pada pembicaraan unsur-unsur
kebahasaan dan penentuan tingkat pengaruh bahasa-bahasa itu terhadap masing-masing enklave
Muna tersebut.
1.6 Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai bahasa Muna sudah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu, baik
secara kolektif maupun secara individu. Pada umumnya penelitian bahasa Muna yang sudah
dilakukan itu bersifat sinkronis, sangat jarang, bahkan mungkin tidak pernah telah dilakukan
penelitian secara diakronis. Penelitian sinkronis terkait bahasa Muna sudh dilakukan oleh (1) Rene
van den Berg (1989) dengan judul A Grammar of the Muna Language. (2) J. A. Sande dkk (1986)
dengan judul Morfosintaksis Bahasa Muna. (3) Nurdin Yatim, dkk. (1986) dengan judul Morfologi
Kata Kerja Bahasa Muna.(4) La Ode Sidu Marafad (1986) dengan judul Hubungan Kata Ganti
Diri Bahasa Muna dengan Kata Ganti Diri Bahasa Indonesia. (5) La Ode Sidu Marafad, (1990)
dengan judul Fonologi Generatif Bahasa Muna. (6) La Ode Halaidi, (1986) dengan judul A Study
of Muna Language Affixes.
Di antara penelitian yang sudah dilakukan sebagaimana dituliskan di atas, penelitian
sinkronis yang agak relevan dengan tesis ini adalah penelitian yang dilakukan Sidu (1990) yang
berjudul Fonologi Generatif Bahasa Muna. Dalam temuan hasil penelitian nya, Sidu
menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fonologis yang diperlukan dalam menerangkan perubahan
realisasi fonologis menjadi realisasi fonetis dalam bahasa Muna sebanyak tujuh belas kaidah yang
terdiri atas kaidah bersifat wajib dan tak wajib. Kaidah-kaidah itu ialah kaidah alofon istrilisasi