1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian. Pada latar belakang dibahas mengenai isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian serta alasan penulis mengangkat tema penelitian. Rumusan masalah berisikan pertanyaan-pertanyaan yang akan dibahas berkaitan dengan isu yang diteliti, sehingga nantinya akan terlihat gambaran mengenai tujuan dan manfaat dari penelitian ini. 1.1 Latar Belakang Kinerja perusahaan dan apa saja faktor yang mempengaruhinya telah menjadi fokus penelitian dibidang strategic management selama puluhan tahun terakhir. Terdapat berbagai sudut pandang yang digunakan peneliti untuk menjelaskan kinerja perusahaan tersebut. Misalnya menggunakan sudut pandang eksternal yang lebih menekankan pada sisi lingkungan industri perusahaan seperti paradigma SCP (Structure-Conduct-Performance) (Bain, 1959) dan Five Force Model (Porter, 1981), atau menggunakan sudut pandang internal yang lebih menekankan pada sisi sumberdaya internal yang dimiliki perusahaan seperti Core Competence of Corporation (Hamel dan Prahalad, 1990) dan Resource Based View (Barney, 1991). Namun, penelitian-penelitian tersebut hanya menekankan pada satu sisi saja. Untuk mendapatkan pemahaman lebih baik mengenai kinerja perusahaan diperlukan penggunaan sudut pandang yang lebih komprehensif, misalnya dengan memandang
15
Embed
BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88981/potongan/S2-2015... · pemimpin untuk asumsi atau persepsi atas ... Variasi seharusnya diukur menggunakan Indeks Blau
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian. Pada latar belakang dibahas mengenai isu-isu yang
berkaitan dengan tema penelitian serta alasan penulis mengangkat tema penelitian.
Rumusan masalah berisikan pertanyaan-pertanyaan yang akan dibahas berkaitan
dengan isu yang diteliti, sehingga nantinya akan terlihat gambaran mengenai tujuan
dan manfaat dari penelitian ini.
1.1 Latar Belakang
Kinerja perusahaan dan apa saja faktor yang mempengaruhinya telah menjadi
fokus penelitian dibidang strategic management selama puluhan tahun terakhir.
Terdapat berbagai sudut pandang yang digunakan peneliti untuk menjelaskan kinerja
perusahaan tersebut. Misalnya menggunakan sudut pandang eksternal yang lebih
menekankan pada sisi lingkungan industri perusahaan seperti paradigma SCP
(Structure-Conduct-Performance) (Bain, 1959) dan Five Force Model (Porter, 1981),
atau menggunakan sudut pandang internal yang lebih menekankan pada sisi
sumberdaya internal yang dimiliki perusahaan seperti Core Competence of
Corporation (Hamel dan Prahalad, 1990) dan Resource Based View (Barney, 1991).
Namun, penelitian-penelitian tersebut hanya menekankan pada satu sisi saja. Untuk
mendapatkan pemahaman lebih baik mengenai kinerja perusahaan diperlukan
penggunaan sudut pandang yang lebih komprehensif, misalnya dengan memandang
2
sisi internal seperti sumber daya dan sisi eksternal perusahaan seperti lingkungan
industri secara bersamaan.
Manajemen puncak perusahaan merupakan sumberdaya internal yang juga
menjadi penentu kinerja perusahaan. Hal ini sesuai dengan Upper Echelon Theory
yang dikemukakan oleh Hambrick dan Mason (1984) yang menyatakan bahwa
pilihan-pilihan yang diambil oleh organisasi seperti pilihan strategis dan
implementasi strategi ditentukan oleh orang-orang yang memiliki peran besar dalam
organisasi, yaitu para manager atau pimpinannya. Pilihan strategis yang diambil oleh
pimpinan tersebut akhirnya akan menentukan kinerja organisasi itu sendiri.
Hambrick dan Mason (1984) juga menjelaskan bahwa terkadang pemimpin
puncak akan menerima informasi dengan jumlah yang sangat banyak yang melebihi
kemampuan mereka untuk menggunakan informasi-informasi tersebut sebagai dasar
untuk pengambilan keputusan, sehingga pemimpin akan cenderung menyaring
informasi yang penting berdasarkan batasan rasional mereka. Hal ini dikenal dengan
istilah Bounded Rationality. Dalam penyaringan informasi ini, batasan rasionalitas
seperti batasan kognitif, nilai, pengalaman dan keyakinan akan menjadi dasar bagi
pemimpin untuk asumsi atau persepsi atas informasi-informasi tersebut. Kemudian,
setelah melalui penyaringan tersebut informasi akan diinterpretasikan menjadi
persepsi manajerial dan keputusan strategis akan diambil berdasarkan persepsi
manajerial ini. Keputusan yang diambil inilah yang kemudian akan menentukan
pertumbuhan perusahaan sehingga dapat dikatakan bahwa pemimpin memiliki peran
yang sangat penting dalam perusahaan (Finkelstein et al., 2009)
3
Dalam Upper Echelon Theory (Hambrick dan Mason, 1984) juga dinyatakan
bahwa karakteristik dan fungsi dari Tim Manajemen Puncak (TMP) memiliki potensi
yang lebih besar untuk memprediksi dampak organisasional dibanding CEO secara
individu. Proses pengambilan keputusan terdiri dari beberapa tahapan yang sistematis
dan proses kompleks yang melibatkan interaksi antar pemimpin puncak (Finkelstein
et al., 2009). Kompleksitas dalam proses pengambilan keputusan tersebut dapat
memunculkan ambiguitas jika sekumpulan pemimpin organisasi memiliki
heterogenitas dalam hal nilai, keyakinan, kognitif atau perbedaan karakteristik
lainnya (Finkeilstein et al., 2009). Untuk mengatasi permasalahan ini, para pemimpin
harus melakukan koalisi yang efektif dalam mereduksi efek negatif dan mengambil
manfaat dari heterogenitas dalam bentuk tim manajemen puncak (Finkeilstein et al.,
2009).
Dalam berbagai penelitian mengenai TMP perusahaan secara umum
membahas bagaimana pengaruh komposisi atau keberagaman individu di dalam tim
berdampak pada kinerja organisasi. Beberapa peneliti menemukan bahwa semakin
tinggi diversitas dalam TMP akan mendorong kinerja yang positif (Bantel dan
Jackson, 1989; Hambrick et al., 1996; Bunderson dan Sutclife, 2002; Bunderson,
2003). Namun beberapa peneliti menemukan sebaliknya, heterogenitas TMP
berdampak negatif pada kinerja perusahaan (Knight et al., 1999; Wei et al., 2005).
Dengan adanya perbedaan hasil temuan dalam penelitian-penelitian tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa temuan penelitian mengenai topik ini belum konsisten
(Harrison dan Klein, 2007). Harisson dan Klein (2007) menyatakan bahwa
4
ketidakkonsistenan hasil tersebut disebabkan oleh defenisi diversitas yang masih
belum jelas baik secara konseptual maupun operasional yang digunakan oleh peneliti-
peneliti sebelumnya seperti yang terangkum dalam Tabel 1.1. sehingga hal tersebut
berakibat pada argumentasi teori yang keliru serta berujung pada penarikan
kesimpulan penelitian yang kabur mengenai dampak diversitas.
Tabel. 1.1
Definisi Diversitas Pada Penelitian Terdahulu
No. Peneliti, Tahun Definisi
1 Hambrick, Cho dan
Chen (1996)
Variation in members characteristics
2 Jackson et al. (2003) The distribution of personal attributes among
interdependent members of a work unit.
3 Harrison dan Sin
(2005)
The collective amount differences among members
within a social unit.
4 Roberge dan Van Dick
(2010)
Differences between individuals on any attributes
that may lead to the perception that another person is
different from the self.
5 Van Knippenberg dan
Schippers (2012)
Group chracteristic that reflects the degree to which
there are objective or subjective differences among
members.
Sumber: Diolah (2015)
Harrison dan Klein (2007) membagi diversitas menjadi tiga bentuk yaitu
diversitas sebagai separation (sebaran), variety (variasi), dan disparity (disparitas)
seperti pada Tabel 1.2. Diversitas sebagai sebaran adalah perbedaan dan keragaman
antar anggota di dalam suatu kelompok terhadap satu continuum horizontal pada satu
atribut tertentu. Perbedaan ini mengindikasikan posisi masing-masing anggota
terhadap atribut tersebut seperti perbedaan nilai, orientasi, dan kepercayaan.
5
Diversitas sebagai variasi adalah keragaman antar anggota yang bersifat kualitatif
atau kategorikal seperti gender dan pendidikan. Terakhir, disparitas adalah perbedaan
antar anggota dalam tim dalam hal konsentrasi kepemilikan aset atau sumber daya
sosial seperti upah, kekuasaan, dan status.
Tabel. 1.2
Definisi dan Tipe Diversitas Menurut Harrison dan Klein (2007)
No. Tipe Diversitas Definisi dan Sinonim
1 Separation Composition of Differences in (lateral) position or
opinion among unit members, primarily of value,
belief, or attitude; disagreement, or opposition.
2 Variety Composition of differences in kind, source, or
category of relevant knowledge or experience among
unit members; unique, or distinctive information.
3 Disparity Composition of (vertical)differences in proportion of
socially valued assets or resources held among unit
members; inequality or relative concentration.
Sumber: Harrison dan Klein (2007)
Ketiga kategori diversitas tersebut memiliki definisi konseptual yang berbeda
dan berimplikasi pada dasar teori, operasionalisasi dan metode pengukuran yang
berbeda (Harrison dan Klein, 2007). Kemudian, mereka berpendapat bahwa masing-
masing bentuk diversitas memiliki efek yang berbeda terhadap organisasi. Diversitas
sebagai sebaran merupakan perbedaan posisi antara satu anggota dengan anggota
lainnya. Diversitas jenis ini diprediksi dapat meningkatkan konflik antar individu,
mengurangi kohesi dalam tim, dan mereduksi kepercayaan antar anggota tim
(Harrison dan Klein, 2007). Sedangkan diversitas variasi mencerminkan diversitas
informasi, yaitu perbedaan pengetahuan dan sumber informasi utama antara satu
6
anggota dengan anggota lainnya. Diversitas variasi dapat meningkatkan kreatifitas,
inovasi, kualitas keputusan yang lebih baik, meningkatkan konflik pekerjaan,
meningkatkan fleksibilitas (Harrison dan Klein, 2007). Kemudian, diversitas sebagai
disparitas merefleksikan perbedaan dalam kepemilikan sumberdaya organisasi dan
sumberdaya sosial di dalam tim. Jenis diversitas ini diprediksi dapat meningkatkan
kompetisi antar anggota di dalam tim, perilaku menyimpang bahkan keluar dari tim
(Harrison dan Klein, 2007)
Selain berbeda secara fundamental, pengelompokan diversitas tersebut juga
berbeda dalam pengukuran. Harrison dan Klein (2007) menyatakan diversitas sebagai
sebaran seharusnya diukur dengan standar deviasi atau Mean Eucledian Distance.
Variasi seharusnya diukur menggunakan Indeks Blau atau Teachman. Sedangkan
disparitas diukur menggunakan Coefficient of variation atau Gini Coefficient.
Harrison dan Klein (2007) juga mengatakan bahwa jenis diversitas yang
berbeda, terutama diversitas dalam kategori pengelompokan definisi konseptual yang
berbeda memiliki konsekuensi yang berbeda pula. Penggabungan diversitas antara
diversitas sebaran, variasi, dan disparitas ke dalam satu konstruk tunggal dan
mengembangkan satu mekanisme teori yang sama untuk setiap variabel diversitas
akan semakin mengaburkan efek diversitas tim terhadap kinerja perusahaan, terutama
diversitas dengan definisi konseptual berbeda (Harrison dan Klein, 2007). Lebih
lanjut, seperti yang digambarkan pada Tabel 1.3 Harrison dan Klein (2007)
menyarankan peneliti untuk melakukan studi secara terpisah terhadap masing-masing
kategori diversitas yang berbeda secara konseptual.
7
Tabel. 1.3
Operasionalisasi dan Dampak Diversitas Menurut Harrison dan Klein (2007)
No. Tipe Diversitas Operasionalisasi Pengukuran Prediksi Dampak
1 Separation Standar deviation
Mean Euclidean distance
Menurunkan kohesi,
meningkatkan konflik
interpersonal,
ketidakpercayaan,
menurunkan kinerja
2 Variety Blau’s Index
Teachman Index’s
Meningkatkan kreatifitas,
inovasi, kualitas keputusan,
konflik kerja, fleksibilitas
tim
3 Disparity Coefficient of variation
Gini Coefficient
Meningkatkan kompetisi
antar tim, mengurangi input
anggota, berpotensi
melakukan tindakan
penyimpangan, keluar dari
tim
Sumber: Harrison dan Klein (2007)
Pada penelitian terdahulu terdapat ketidakjelasan konseptualisasi diversitas
yang akan diukur. Misalnya, Certo et al. (2006) yang menghipotesiskan dampak
diversitas latar fungsional, pendidikan, dan tenure secara global ke dalam satu
mekanisme hipotesis. Padahal variabel-variabel tersebut sebenarnya memiliki metode
pengukuran yang berbeda-beda. Variabel latar fungsional diukur dengan Indeks Blau,
artinya variabel tersebut memiliki definisi konseptual berupa diversitas variasi.
Sedangkan variabel lainnya diukur menggunakan coefficient of variation yang
seharusnya bersifat diversitas disparitas (Harrison dan Klein, 2007). Secara bersama-
8
sama, variabel-variabel tersebut diprediksi berpengaruh positif terhadap kinerja dalam
satu argumentasi hipotesis.
Isu lainnya terkait topik ini adalah penggunaan variabel mediasi dalam
menjelaskan efek diversitas terhadap output organisasi. Lawrence (1997)
menyarankan peneliti untuk mengelaborasi variabel-variabel yang mungkin menjadi
mediator atau moderator dalam menjelaskan efek diversitas demografi. Certo et al.
(2006) juga menyatakan bahwa penelitian yang menguji variabel demografis TMP
sebaiknya memasukkan intervening variable dalam hubungan antara TMP dan
kinerja perusahaan. Pfeffer (1983) dalam Smith et al. (1994) dan Knight et al. (1999)
berpendapat bahwa variabel proses merupakan variabel yang penting dalam
menjelaskan kinerja. Olson et al. (2006) dan Goll et al. (2008) menunjukkan bahwa
usaha dalam mengelaborasi variabel-variabel mediasi memberikan penjelasan yang
lebih baik. Penelitian mereka membuktikan bahwa R-square model dengan variabel
mediasi lebih baik dari pada model dengan hubungan langsung.
Tabel. 1.4
Variabel-variabel Mediasi Pada Penelitian Terdahulu
No. Peneliti, Tahun Variabel mediasi
1 Smith et al. (1994) Integrasi sosial dan proses komunikasi.
2 Knight et al. (1999) Proses grup
3 Simons et al. (1999) Debat
4 Bunderson dan Sutclife (2002) Berbagi informasi
5 Li dan Hambrick (2005) Konflik emosional dan disintegrasi perilaku
Sumber: Diolah (2015)
9
Penelitian yang bersifat process-oriented telah menghasilkan pemahaman
penting mengenai mekanisme yang menghubungkan faktor demografis TMP dan
outcome organisasional, mekanisme tersebut diantaranya adalah strategi (Certo et al.,
2006). Seperti dalam Tabel 1.4, pada penelitian terdahulu variabel mediasi hanya
sering berfokus pada bagaimana diversitas TMP mempengaruhi perilaku sosial.
Misalnya Smith et al. (1994) yang menggunakan integrasi sosial dan proses
komunikasi sebagai variabel mediasi. Kemudian Knight et al. (1999) menggunakan
proses grup dan Li dan Hambrick (2005) menggunakan konflik emosional dan
disintegrasi perilaku sebagai variabel mediasi. Karenanya masih sedikit bukti empiris
mengenai bagaimana fungsi kognitif yang dimiliki manajer puncak menjadi penentu
strategi perusahaan. Adanya kesenjangan penelitian ini cukup mengejutkan
mengingat gagasan sentral dari Upper Echelon Theory menyatakan bahwa
keistimewaan manajer puncak cukup kuat untuk mempengaruhi pilihan strategis
dalam perusahaan (Hambrick dan Mason, 1984). Variabel mediasi yang diyakini
cukup berkontribusi besar terhadap kinerja adalah pilihan strategis seperti strategic
isomorphism atau kecenderungan untuk menyamakan bentuk khususnya strategi
dengan organisasi lain dalam lingkungan industri yang tercermin dari strategic
conformity (Deephouse, 1996; Deephouse, 1999; Garcia dan Sabate, 2010). Beberapa
peneliti mengemukakan bahwa sejauh mana para pengambil keputusan
mempertimbangkan berbagai alternatif secara komprehensif akan menghasilkan
keputusan strategis yang lebih baik. Konsep ini berkaitan erat dengan Upper Echelon
10
Theory dimana para pemimpin perusahaan memiliki peran besar dalam menentukan
keputusan strategi organisasi (Hambrick dan Mason, 1984).
Dalam melakukan kegiatannya untuk mencapai kinerja yang diinginkan,
organisasi tentu saja bersentuhan dengan banyak pihak. Setiap tindakan yang
dilakukan organisasi akan mendapat respon dari lingkungan eksternal organisasi.
Dalam lingkungan yang memiliki regulasi yang cukup ketat seperti itu mungkin
organisasi tidak dapat dengan leluasa melakukan pilihan strategis. Terkadang pilihan
strategis yang dilakukan oleh TMP bisa saja adalah bentuk respon terhadap
lingkungan karena adanya aturan-aturan yang membatasi tindakan organisasi. Lebih
lanjut, karena batasan-batasan dan bounded rationality yang dimiliki, akhirnya TMP
lebih memilih untuk melakukan pilihan strategis yang relatif sama dengan organisasi
lain dan rata-rata industri.
Menurut Institutional Theory yang diperkenalkan oleh DiMaggio dan Powell
(1983) tindakan untuk menyamakan bentuk ini disebut dengan Isomorphism. Menurut
Institutional theory kegiatan strategis didefinisikan sebagai hal yang bersifat sosial
dan normatif. Motif tindakan ini berasal dari kecenderungan aktor untuk memperoleh
legitimasi atas kegiatan tersebut, karena efektivitas tindakan ini dinilai oleh banyak
konstituen seperti pemegang saham, pelanggan, pemerintah, dan kelompok-kelompok
kepentingan publik yang menilai kesesuaian atau legitimasi kegiatan strategis dari
sudut pandang mereka sendiri. Jadi, dengan menyamakan pilihan strategis yang
dianggap sesuai oleh konstituen dan kemudian dapat mencapai kinerja yang sesuai
rata-rata industri atau bahkan melebihi, TMP sebagai aktor dalam pilihan strategis
11
organisasi akan mencapai legitimasi dan lebih dipandang dalam lingkungan industri
tersebut. Secara spesifik Deephouse (1996) menyebut kecenderungan untuk
menyamakan strategi ini dengan istilah strategic isomomorphism yang dapat
diartikan sebagai sejauh mana strategi organisasi menyerupai strategi konvensional
atau strategi normal dalam suatu industri.
Industri perbankan adalah salah satu industri yang cukup representatif terkait
konsep yang telah dijelaskan sebelumnya. Industri ini dianggap sesuai mengingat
industri perbankan adalah industri yang sangat teregulasi dimana kegiatan dalam
industri diawasi dan diatur dengan ketat oleh pemerintah melalui lembaga otoritas
tertentu seperti bank sentral dan lembaga lainnya. Di Indonesia industri perbankan
diawasi dan diatur oleh lembaga pemerintah seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK). Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia
No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang Republik Indonesia No. 3
Tahun 2004 tentang Bank Indonesia dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menyatakan bahwa BI dan OJK
memiliki wewenang untuk memberikan izin, mengatur, mengawasi dan memberikan
sanksi kepada usaha yang bergerak dalam industri perbankan.
Adanya lembaga pemerintah seperti BI dan OJK yang menjalankan fungsi
seperti itu tentu saja akan membuat perusahaan melalui TMP akan berusaha untuk
mencapai legitimasi. Salah satu cara untuk mencapai legitimasi berdasarkan
institutional theory adalah dengan menyamakan bentuk dengan perusahaan yang ada
dalam lingkungan industri agar perusahaan dapat sesuai dengan aturan-aturan
12
kelembagaan, regulasi, norma, dan ekspektasi konstituen tersebut. Porter (1998)
dalam Barreto dan Fuller (2006) menyatakan bahwa industri perbankan adalah
industri yang sangat dibanjiri oleh imitasi, seperti ketika satu bank menggunakan
suatu strategi seperti internet banking maka bank lain akan melakukan hal yang sama.
Artinya industri perbankan merupakan industri yang penuh dengan proses
isomorphism. Selain itu, konteks ini dinilai sesuai karena telah diuji secara empiris
pada beberapa penelitian sebelumnya (Deephouse, 1996; Deephouse, 1999; Garcia
dan Sabate, 2010)
Dengan demikian, penelitian mengenai konsep pada konteks ini memerlukan
perhatian yang lebih detail terhadap masing-masing variabel diversitas yang akan
diteliti terutama diversitas yang berbeda secara konseptual. Dalam penelitian ini
penulis akan menggunakan strategic isomorphism sebagai variabel mediasi untuk
melihat hubungan antara diversitas tim manajemen puncak dan kinerja organisasi.
1.2 Perumusan Masalah
Terdapat beberapa masalah utama yang menjadi fokus pada penelitian ini.
Pertama, Adanya temuan yang tidak konsisten pada hasil penelitian terdahulu
mengenai dampak diversitas tim manajemen puncak. Hasil temuan yang tidak
konsisten tersebut adalah akibat dari tidak sesuainya definisi dan operasionalisasi
yang digunakan terkait diversitas itu sendiri. Lebih lanjut, operasionalisasi diversitas
yang digunakan terkadang tidak sesuai dengan diversitas yang didefinisikan.
Penelitian ini berusaha mengatasi ketidakkonsistenan hasil penelitian sebelumnya
13
tersebut dengan menggunakan definisi dan operasionalisasi diversitas sesuai dengan
definisi dan operasionalisasi yang dijelaskan oleh Harrison dan Klein (2007).
Kedua, dalam lingkungan industri yang cukup teregulasi, perusahaan
khususnya tim manajemen puncak tidak dapat dengan bebas melakukan pilihan
strategis. Adanya aturan dan tuntutan dari konstituen membuat perusahaan mengikuti
regulasi agar dapat memperoleh legitimasi dan mencapai kinerja yang baik dalam
lingkungan industri. Dengan menyamakan bentuk dengan perusahaan lain, khususnya
kesamaan dalam strategi akan membantu perusahaan mencapai hal tersebut. Sesuai
dengan Upper Echelon Theory (Hambrick dan Mason, 1984) yang menyatakan
bahwa pilihan strategis merupakan keputusan yang berhubungan langsung dengan
tim manajemen puncak maka strategic isomorphism ini sendiri tentu adalah pilihan
strategis yang diputuskan oleh tim manajemen puncak. Penelitian yang dilakukan
oleh Finkelstein dan Hambrick (1990) dan Deephouse (1999) memperlihatkan
bagaimana strategic conformity sebagai cerminan dari strategic isomorphism
memberikan dampak pada kinerja perusahaan. Lebih lanjut strategic conformity
sebagai pilihan strategis yang dilakukan tim manajemen puncak dapat memediasi
hubungan antara karakteristik tim manajemen puncak tersebut dengan kinerja
perusahaan. Oleh karena itu, penelitian ini akan melihat:
1. Apakah diversitas karakteristik demografi tim manajemen puncak
berpengaruh pada strategic isomorphism?
14
2. Apakah diversitas karakteristik demografi tim manajemen puncak
berpengaruh pada kinerja perusahaan?
3. Apakah strategic isomorphism berpengaruh pada kinerja perusahaan?
4. Apakah strategic isomorphism memediasi hubungan antara diversitas
karakteristik demografi tim manajemen puncak dengan kinerja perusahaan?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis hubungan antar
variabel yang ada dalam penelitian ini. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menguji hubungan diversitas karakteristik demografi tim manajemen puncak
dan strategic isomorphism.
2. Menguji hubungan diversitas karakteristik demografi tim manajemen puncak
dan kinerja perusahaan.
3. Menguji hubungan strategic isomorphism dan kinerja perusahaan.
4. Menguji strategic isomorphism sebagai variabel mediasi antara diversitas
karakteristik demografi tim manajemen puncak dan kinerja perusahaan.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Aspek Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi perkembangan ilmu
manajemen khususnya manajemen strategik terkait Upper Echelon Theory dan
Institutional Theory. Kemudian, penelitian ini diharapkan dapat memperlihatkan
bagaimana pengaruh diversitas karakteristik Tim Manajemen Puncak dalam
15
melakukan pilihan strategis khususnya strategic isomorphism terhadap kinerja
perusahaan.
2. Aspek Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi praktisi manajemen untuk
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan strategi.
Khususnya tentang bagaimana perusahaan menemukan konfigurasi bentuk Tim
Manajemen Puncak yang tepat agar bisa memperoleh legitimasi dan mencapai kinerja