BAB IPendahuluan
A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini banyak kita dengar istilah pemakzulan dan
impeachment di media massa. Dimana pemakzulan dan impeachment ini
dipahami dalam satu arti sebagai pemberhentian Presiden dan/ atau
wakil presiden. Sebenarnya impeachment itu hanya merupakan salah
satu tahap dalam pemakzulan. Permasalahan pemakzulan dan
impeachment sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Bahkan di
negara kita Indonesia pernah beberapa kali terjadi pemakzulan dan
impeachment terhadap presiden. Pemakzulan dan impeachment sudah
diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945), namun dengan perkembangan ketatanegaraan menuju
prinsip-prinsip negara demokrasi modern yang menghendaki konstitusi
UUD 1945 dilakukan perubahan (Amandemen), proses pemakzulan itupun
mengalami perubahan pula. Berdasarkan itu pula, makalah ini akan
membahas tentang pemakzulan yang berangkat dari UUD 1945 baik
sebelum maupun sesudah mengalami amandemen dan peraturan
perundang-undangan sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari konstitusi
tersebut.Pada era modern saat ini mulai berkembang istilah
Pemakzulan, walau sebenarnya sejak dahulu sudah ada istilah ini
atau biasa disebut impeachment, namun dengan seiring perkembangan
zaman Pemakzulan pun mulai banyak diperbincangkan.Ada pro dan
kontra mengenai keberadaan dari Pemakzulan ini. Dibeberapa Negara,
Pemakzulan ada yang di perbolehkan dan ada pula yang melarangnya
pemakzulan itu dilaksanakan. Di Indonesia sendiri Pemakzulan sudah
pernah terjadi pada saat rezim kepemimpinan Abdurrahman Wahid namun
sekarang kembali ramai diperbincangkan setelah mencuatnya kasus
Bank Century, pada kasus ini Wakil Presiden Indonesia yaitu Bapak
Boediono didesak oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia untuk dimakzulkan, terkait kasus Bank Century yang telah
melibatkan nama Wakil Presiden tersebut. Untuk lebih jelasnya,
disini akan dibahas semua tentang Pemakzulan secara lengkap dan
jelas.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme Pemakzulan Kepala Negara di Indonesia?2.
Bagaimana Pemakzulan dalam sudut pandang Islam?
BAB IIPEMBAHASAN
A. Mekanisme Pemakzulan Presiden di IndonesiaPemakzulan berbeda
dengan impeachment. Impeachment sendiri merupakan tuduhan atau
dakwaan yang pada prosesnya tidak mesti berakhir atau turunnya
presiden, sedangkanmakna pemakzulan yang berasal dari bahasa Arab
secara etimologis berarti penyingkiran pengasingan, penyendirian,
dan sejenisnya.Pemakzulan ini mengandung kata dasar makzul yang
berarti berhenti memegang jabatan; turun tahta. Sedangkan
pemakzulan itu sendiri mengandung kata proses menurunkan dari
tahta. Persepsi kita tentang makna istilah ini akan rancu lagi jika
ditinjau dari istilah fikih (ilmu hukum Islam). Turun dari takhta,
kekuasaan, atau jabatan tidak mengenal makzul (asal kata
pemakzulan).Tapi nuzul, manzul, dan tanazul adalah derivasi dari
asal kata kerja nazala (turun atau jatuh).[footnoteRef:2] Jadi
pemakzulan ini merupakan hasil akhir dari prospek impeachment
tersebut. [2:
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2010/12/27/perubahan-makna-pemakzulan/]
Di dalam sistem pemerintahan sendiri mekanisme dalam pemakzulan
itu berbeda-beda. Dimana secara umum sistem pemerintahan ada 2,
yaitu sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan
presidensial. Di dalam kedua sistem ini pun proses memakzulkan
pemimpin itu berbeda. Di sistem pemerintahan parlementer,
pemakzulan pemimpinnya dilakukan melalui mosi tidak percaya yang
diajukan oleh parlemen, kemudian parlemen itu sendiri bisa langsung
memakzulkan pemimpin tersebut. Pemakzulan di sistem parlementer ini
dibilang terlalu menonjolkan alasan-alasan dan pertanggungjawaban
politik daripada sekadar alasan perbuatan melanggar hukum pidana
karena tidak mempunyai pedoman dasar hukum yang kuat sehingga bisa
memakzulkan seorang pemimpin secara sepihak seperti ada tidak
kesenangan terhadap pemimpin atau semacamnya sehingga pemimpin
tersebut bisa mudah di makzulkan. Berbeda dengan mekanisme
pemakzulan dalam sistem pemerintahan presidensial, dimana di sistem
pemerintahan ini proses pemakzulan pemimpin lebih spesifik dan
mempunyai pedoman dasar hukum yang kuat dalam memakzulkan pemimpin
tersebut. Ketika seorang pemimpin melakukan kesalahan, tidak
semudah itu menjatuhkannya tetapi harus di periksakesalahannya
secara hukum di Mahkamah Konstitusi baru bisa memakzulkan pemimpin
tersebut. Presiden dalam sistem pemerintahan presidensil memiliki
kedudukan yang kuat terhadap parlemen, tidak dapat dijatuhkan
karena alasan-alasan politik atau mosi tidak percaya seperti pada
sistem pemerintahan parlementer, kecuali atas dasar alasan
pelanggaran hukum yang jelas. Sebelum amandemen, sistem presidensil
tidak mengenal check and balances. Kedaulatan ditangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR yang dianggap sebagai penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia. Check and balances mengacu pada variasi
aturan prosedur yang memungkinkan satu cabang kekuasaan membatasi
cabang kekuasaan lainnya. Hal ini dilakukan dengan cara pembagian
kekuasaan dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif (Dewan
Perwakilan Rakyat), kekuasaan eksekutif (Presiden) dan kekuasaan
yudikatif (Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung).Sebelum di
amandemen proses pemakzulan dalam sistem pemerintahan Indonesia itu
bisa di bilang belum jelas mekanismenya dalam memakzulkan seorang
pemimpin. Belum ada aturan UUD 1945 yang mengatur secara tegas.
Dimana dalam proses pemakzulan tersebut hanya melalui proses
dakwaan (impeachment) yang di keluarkan oleh DPR kemudian langsung
diusulkan kepada MPR, kemudian MPR yang akan mengambil keputusan
atas dasar pendakwaan dari DPR. Kebanyakan dakwaan tersebut
berdasarkan isu-isu politik yang berkembang dan belum berasaskan
hukum dalam pengambilan keputusan pemakzulan, selain itu bisa
dimungkinkan karena ada rasa tidak senang atau tidak suka dengan
cara kepemimpinannya presiden/pemimpin tersebut bisa di makzulkan.
MPR memiliki kekuasaan tertinggi dalam Negara. Logikanya, MPR dapat
mengambil keputusan memakzulkan presiden jika presiden memang
benar-benar tidak dapat mempertanggung jawabkan pelaksanaan
kekuasaan pemerintahan negara didepan MPR.Ketentuan pemakzulan
presiden, kemudian diatur secara lebih detail dan terarah baik
alasan maupun mekanismenya dalam ketetapan MPR yang secara hirarkis
pada saat itu berada dibawah undang-undang dasar dan diatas
undang-undang.[footnoteRef:3] [3: Hamdan Zoelva, Pemakzulan
Presiden di Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2011), Hal.86]
Mekanisme pemakzulan berdasarkan ketetapan tersebut berawal dari
pengawasan DPR terhadap presiden yang telah menyimpulkan bahwa
presiden tersebutsungguh-sungguh melanggar Garis Besar Haluan
Negara (GBHN). Pelanggaran haluan negara ini tergantung dari
pendapat subjektif DPR. Dan yang dimaksud haluan Negara disini
adalah seluruh pasal UUD 1945 yang terkait dengan tugas, kewajiban,
dan tanggung jawab presiden. Kemudian DPR dapat memberikan
memorandum yang pertama kepada presiden untuk mengingatkan kepada
presiden bahwa telah melakukan pelanggaran. Dan jika sampai tiga
bulan setelah penyerahan memorandum, presiden tidak menanggapi
memorandum yang telah disampaikan oleh DPR tersebut, DPR berhak
mengirim memorandum yang kedua kepada presiden. Apabila dalam waktu
satu bulan setelah dikeluarkannya memorandum tersebut presiden
masih tidak menanggapinya, maka DPR dapat meminta MPR untuk
mengadakan sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban
presiden. Di sidang istimewa tersebut presiden wajib untuk
memberikan pertanggungjawabannya.
Sidang istimewa yang diadakan oleh MPR untuk meminta
pertanggungjawaban presiden
MPR
Meminta sidang istimewa kepada MPR jika presiden tersebut tidak
menanggapinya
skema mekanisme pemakzulan sebelum amandemen
DPR menyampaikan memorandum kedua kepada presiden selama satu
bulan
DPR
DPR menyampaikan memorandum pertama kepada presiden selama tiga
bulan
Sedangkan setelah pengamandemenan UUD 1945 yang ke3 disinilah
baru secara kompleks dan jelas di jelaskan mengenai hukum peraturan
pemakzulan di Indonesia. Dimana alasan presiden dapat dimakzulkan
dimuat di dalam pasal 7A yang berisi presiden dan/atau wakil
presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas
usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden.
Sedangkan di pasal 7B tentang mekanisme pemakzulannya, yang berisi
Usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dapat diajukan
oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan
permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan
pelanggaran hukun berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
dan/atau pendapat bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden .Mekanisme
yang tercantum didalam pasal 7B ini berawal dari usulan
pemberhentian presiden dari DPR. Namun usul ini hanya dapat
dilakukan melalui sidang paripurna yang dihadiri paling sedikit 2/3
dari anggota DPR dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 dari anggota
DPR yang hadir. Permohonan diajukan oleh DPR atas dugaan
pelanggaran yang dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden
untuk selanjutnya paling lama Sembilan puluh hari setelah
permohonan DPR diterima oleh MK, maka MK wajib memeriksa,
mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil
presiden telah melakukan pelanggaran. Dimana MK ini melaksanan
proses dakwaan yang diajukan oleh DPR berdasarkan atas hukum
ketatanegaraan Republik Indonesia.Setelah MK memutuskan bahwa
presiden dan/atau wakil presiden bersalah maka DPR mengadakan
sidang paripurna untuk meneruskan proses pemberhentian presiden
dan/atau wakil presiden kepada MPR. Selanjutnya, MPR wajib
menggelar sidang untuk memutuskan usul DPR untuk memberhentikan
presiden dan/atau wakil presiden tersebut paling lambat tiga puluh
hari sejak MPR menerima usul dari DPR. Keputusan MPR untuk
memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden diambil dalam rapat
yang dihadiri oleh paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota dan
disetujui oleh paling sedikit 2/3 dari jumlah anggota MPR yang
hadir.Sebelum pemberhentian, presiden dan/atau wakil presiden
memiliki hak untuk menyampaikan penjelasan di depan sidang yang
diadakan MPR.Berkaitan dengan kedudukan putusan MK, UUD 1945 tidak
mengatur secara tegas bahwa putusan MK wajib dijalankan oleh DPR.
UUD 1945 justru mengatur bahwa keputusan hukum oleh MK dijalankan
oleh keputusan politik, yaitu keputusan MPR yang diambil dengan
mekanisme voting oleh anggota MPR. Namun ketika MK secara hukum
telah memutuskan presiden dan/atau wakil presiden bersalah namun
mayoritas suara di MPR tidak mendukung pemberhentian presiden
dan/atau wakil presiden sehingga suara yang diambil kurang dari 2/3
maka keputusan MK tidak bisa dijalankan, dan pada akhirnya presiden
dan/atau wakil presiden tidak dapat diberhentikan.Inilah masalah
yang mungkin terjadi didalam mekanisme pemakzulan. Dimana prosesnya
yang panjang dan menggunakan sistem voting iniyang memungkinkan ada
permainan politik dibaliknya.
MPR mengadakan sidang
DPR mengadakan sidang
skema mekanisme pemakzulan sesudah amandemenMK memeriksa,
mengadili dan memutus pendapat DPR
DPR melakukan penyelidikan
Seperti yang kita ketahui di Indonesia telah terjadi 2 kasus
pemakzulan yaitu pada masa pemerintahan presiden Soekarno dan pada
masa pemerintahan Abdurrahman wahid (Gusdur). 1. Pemakzulan
Presiden SoekarnoProses pemakzulan Presiden Soekarno diawali dengan
pidato pertanggungjawabannya yang disampaikan dihadapan Sidang Umum
ke-IV MPRS pada tanggal 22 Juni 1966. Lalu, MPRS menanggapinya
dengan mengeluarkan Ketetapan MPRS No.V/MPRS/1966 yang isinya
meminta kepada Presiden Soekarno untuk melengkapi laporan
pertanggung jawabannya yang terkait dengan peristiwa G30S/PKI
kepada MPRS, namun Presiden Sukarno hanya menyampaikan surat
pelengkapan pidato Nawaksara kepada pimpinan MPRS pada10 Januari
1967. Akibatnya pimpinan MPRS meragukan Presiden Soekarno dalam
keharusannya memberikan pertanggungjawaban kepada MPRS sebagaimana
amanat ketetapan MPRS No. V/1996. Karena itu berdasarkan UUD 1945.
Pasal 1 ayat (2), Pasal 4, serta Pasal 9 ( mengenai sumpah jabatan
Presiden Republik Indonesia ) Presiden di anggap telah lalai dan
tidak memenuhi ketentuan-ketentuan konstitusionil.Berdasarkan Surat
Perlengkapan Pidato Nawaksara dan laporan lengkap hasil
penyelidikan yuridis perkara Mahmilub, DPR-GR meyampaikan Resolusi
tentang Persidangan Istimewa kepada MPRS yang pada intinya meminta
pimpinan MPRS untuk mmengadakan persidangan MPRS paling lambat
bulan Maret 1967, dan meminta kepada pengemban Ketetapan MPRS No.
IX/ 1966 untuk mmemberikan keterangan-keterangan dalam bidang
Istimewa MPRS tersebut serta meminta pimpinan MPRS menjadikan
memorandum DPR sebagai acara pokok dalam Sidang Istimewa.Untuk
menindaklanjuti resolusi DPR-GR, pimpinan MPRS memutuskan untuk
menyelenggarakan persidangan istimewa MPRS tanggal 7-11 Maret 1967,
dengan acara pokok membahas Resolusi dan Memorandum DPR-GR tanggal
9 Febbruari 1967serta menentukan tindakan-tindakan konstitusional
selanjutnya dan pengesahan keputusan-keputusan MPRS tentang
hasil-hasil kerja panitia-panitia Ad Hoc MPRS. Pada tangal 20
Februari 1967 Presiden Soekarno mengumumkan penyerahan kekuasaan
kepada Jenderal Soekarno pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966
yang ditindaklanjuti dengan penyerahan kekuasaan de facto di Istana
Negara pada keesokan harinya. Walaupun demikian, Sidang Istimewa
MPRS tetap saja dilaksanakan sesuai jadwal yang telah diputuskan.
Pada sidang itulah kekuasaan Presiden Soekarno dicabut, yaitu
memakzulan Presiden Soekarno dari jabatannya.Dari penjelasan di
atas, dapat disimpulkan bahwa pemakzulan Presiden Soekarno bukan
berdasarkan dari alasan yuridis atau hukum melainkan kebutuhan
kondisi politik yang didorong dengan berbagai tekanan dan kekuatan
politik saat itu.
2. Pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus dur)Dimasa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid sering melakukan pergantian
menteri dan mengeluarkan berbagai pernyataan serta kebijakan yang
kontroversial, kondisi ini membuat kekuatan politik yang menaikan
Presiden Abdurrahman Wahid melakukan perlawanan, sehingga beliau
kehilangan dukungan di DPR. Kedudukan beliau semakin terpuruk saat
timbulnya kasus penyalahgunaan dana-dana Bulog (Buloggate), dan
penyalahgunaan dana bantuan sultan Brunei (Bruneigate). Berdasarkan
kasus tersebut beliau terancam dimakzulkan ketika hampir setengah
anggota DPR (236 orang) mengusulkan untuk menyelidiki kasus
Buloggate dan Bruneigate sehingga DPR membentuk Pansus pada tanggal
5 September 2000.Pansus meyelesaikan tugas dan melaporkannya di
sidang paripurna yang diadakan DPR. Dan hasil dari pansus itu
diterima oleh DPR karena mayoritas suara di dalam sidang tersebut.
Kemudian DPR menyampaikan memorandum I kepada Presiden Abdurrahman
Wahid untuk mengingatkan beliau bahwa beliau telah melanggar haluan
Negara. Namun Presiden menolak memorandum I. Menurut Presiden belum
jelas ada pelanggaran hukum yang dilakukannya karena masih berupa
dugaan, disisi lain DPR sudah memvonis Preisden telah melanggar
haluan Negara. Dalam kurun waktu tiga bulan setelah dikeluarkan
Memorandum I, Presiden harus memperbaiki kebijakan dan kinerja agar
jangan sampai terjadi lagi hal-hal yang membuat DPR menganggap
bahwa Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan Negara. Akan
tetapi, menurut DPR dalam jangka waktu tersebut tidak ada perbaikan
kinerja dan perubahan kebijakan Presiden, bahkan terjadi
pelanggaran-pelanggaran baru terhadap haluan Negara oleh Presiden,
antara lain:1. Pernyataan Presiden kalau dia mundur, maka lima
daerah, yaitu Aceh, Maluku, Riau, Irian Jaya, dan Madura akan
melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.2.
Pernyataan Presiden, jika DPR dan MPR tidak mendukung, Presiden
masih didukung oleh rakyat.3. Presiden tidak cepat tanggap dan
melakukan pembiaran terhadap peristiwa yang menimpa masyarakat
Madura di Sampit dan Palangkaraya Kalimantan Tengah.4. Pernyataan
Presiden, akan terjadi pemberontakan nasional, apabila Presiden
diberhentikan.5. Selaku Presiden tidak melakukan apa pun yang
semestinya dilakukan terhadap peristiwa kerusuhan massa di Jawa
Timur pada Februari 2001, bahkan menyatakan DPR sebagai biang kerok
kerusuhan tersebut.[footnoteRef:4] [4: Ibid Hal 153]
Berdasarkan pelanggaran-pelanggaran baru Presiden, DPR kembali
mengeluarkan memorandum II. Pada memorandum II ini Presiden tetap
tidak memberikan jawaban tetapi hanya mengirimkan laporan kinerja
Pemerintah yang telah dilaksanakan Presiden. Terhadap respon
Presiden atas memorandum II, fraksi-fraksi DPR pada umumnya
menyatakan tidak ada perubahan perilaku atau kebijakan dalam waktu
satu bulan setelah disampaikannya memorandum kedua. Tindakan DPR
selanjutnya adalah melakukan voting yang hasilnya 80% jumlah
anggota DPR menyatakan perlu melanjutkan memorandum II dengan
meminta MPR melaksanakan Sidang Istimewa untuk meminta
pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid.Berdasarkan surat
permintaan DPR, MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa untuk meminta
pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid. Akan tetapi,
Presiden secara tegas menolak untuk menyampaikan pertanggungjawaban
dihadapan Sidang Istimewa MPR dan mengumumkan maklumat Presiden
yang berisi, anatara lain:1. Membekukan MPR dan DPR, mengembalikan
kedaulatan ketangan rakyat dan mengambil tindakan, serta menyusun
badan yang diperlukan menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu
satu tahun.2. Menyelamatkan reformasi total dari hambatan
unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil
menunggu putusan Mahkamah Agung.3. Pemerintah kepada seluruh
jajaran TNI atau Polri untuk menyelamatkan langkah-langkah keamanan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menyerukan kepada seluruh
rakyat Indonesia untuk tetap tenang serta menjalankan kehidupan
sosial ekonomi seperti biasa.[footnoteRef:5] [5: Ibid 160]
Pada rapat Paripurna kedua MPR RI Presiden Abdurrahman Wahid
dimakzulkan melalui pemungutan suara yang disetujui 591 orang
anggota dari 591 orang anggota DPR yang hadir.Sampai saat ini,
pemakzulan terhadap Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman
Wahid masih menimbulkan pro dan kontra dalam perspektif politik dan
hukum karena ketidakjelasan pengkaidahan dalam UUD 1945 dan
instrument hukum ketatanegaraan lainnya. Oleh karena itu, paska
amandemen UUD 1945 telah diatur ketentuan yang berkaitan dengan
pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden, yaitu Presiden tidak
lagi dapat diberhentikan dengan mekanisme politik. Di samping itu,
ketentuan mekanisme pemakzulan dalam UUD 1945 pasca amandemen
merupakan wujud penguatan terhadap sistem pemerintahan presidensil,
yaitu Presiden dan/atau Wakil Presiden ketika dalam masa jabatannya
tetap dapat melaksanakan tugas dan kewajiban kenegaraan sampai
akhir jabatan. Sehingga DPR dan MPR tidak dapat berbuat
sewenang-wenang dalam menjatuhakan Presiden dan/atau Wakil Presiden
yang hanya dengan alasan politik.
B. Pemakzulan Dalam Sudut Pandang IslamMenurut Ibnu Abi Rabi al
Ghazali, dan Ibn Taimiyah, kekuasaan kepala Negara itu merupakan
mandat dari Allah yang diberikan kepada hamba-hamba pilihan-Nya.
Dengan kata lain, sumber kekuasaan kepala Negara itu berasal dari
Tuhan, bukan dari rakyat. Karena itu, rakyat tidak dapat
memberhentikannya di tengah jalan atau sebelum masa jabatannya
berakhir. Bagi penganut pendapat ini kepala Negara baru berhenti
dari jabatannya atau baru bisa diganti dengan figur lain setelah ia
meninggal dunia.Berbeda dengan ketiga tokoh yang nama-namanya
disebutkan diatas, Al-Mawardi sebaliknya berpendapat, kekuasaan
atau kedaulatan kepala Negara itu berasal dari rakyat melalui
kontak sosial, bukan dari Tuhan. Senada dengan pendapat al-Mawardi,
Abd al-Karim Zaidan, sebagaimana disinggung sebelumnya, menyatakan,
sumber kekuasaan kepala Negara itu berasal dari rakyat, bukan dari
Tuhan. Karena kekuasaan atau kedaulatan kepala Negara berasal dari
rakyat, maka sewaktu-waktu, bila rakyat menghendaki, kedaulatan
yang di peroleh kepala Negara itu dapat ditarik kebali. Dengan kata
lain, bila sewaktu-waktu rakyat menghendaki, seorang kepala Negara
dapat diberhentikan di tengah jalan dan dapat diganti dengsn figur
lain sebelum masa jabatannya yang ditentukan berakhir. Hal itu
menurut M. Din Syamsuddin, bisa dilakukan dalam keadaan darurat dan
dengan alasan-alasan yang kuat.[footnoteRef:6] [6: Din Syamsuddin,
Dalam Keadaan Darurat Pemimpin Bisa Diturunkan, dalam media
Indonesia, Rabu, 28 febuari 2001, hal. 168]
Alasan yang memperbolehkan pemakzulan imam/ khalifah/ kepala
Negara itu, menurut al-Mawardi ada dua. Pertama, karena ia
mengalami perubahan dalam status moral (akhlak), secara teknis
sebut saja pelanggaran terhadap norma-norma keadilan (adalah ).
Perubahan ini ada dua macam, yakni:1. Perubahan moral yang
berkaitan dengan jasmaniah; yakni, kalau ia menuruti keinginan atau
kebutuhan jasmaniah secara keterlaluan, mengumbar nafsu seks dan
menghina secara terang-terangan kepada aturan syariat. Kalau
demikian halnya, maka tak ada pilihan lain, imam harus dipecat.2.
Perubahan moral yang berkaitan dengan aqidah. Maksudnya, kalau imam
memiliki pendapat atau buah pikiran yang bertolak belakang dengan
prinsip-prinsip agama, atau memutar balikkan sejumlah pendapat
untuk menghapuskan sejumlah prinsip yang sudah disepakati,maka imam
bisa disingkirkan dari jabatannya. Dalam hal ini termasuk
orang-orang dari dinasti Buwaihiyah, Syiah, dan Fathimiyyah yang
masing-masing mengklaim sebagai yang paling berhak terhadap
kekhalifahan.
Kedua, jika terjadi perubahan dalam diri imam. Dalam hal ini ada
tiga hal: 1) hilang indra jasmani; 2) hilang/cacat organ tubuh, dan
3) hilang kemampuan mengawasi dan memimipin rakyat.
1) Di antarakekurangan yang timbul dari indra jasmani, ada dua
hal yng penting yang menyebabkan seseorang tidak pantas lagi
memangku jabatan imam, yakni hilanh ingatan dan hilang penglihatan.
Hilang ingatan sudah jelas dan tidak perlu dipertimbangkan. Tetapi
hilag penglihatan sudah sejak lama menjadi bahan perbincangan dalam
sejarah islam. Kebiasaan yang dipakai untuk merusak mata adalah
dengan besi panas, yang tujuannya adalah mencegah seseorang
menduduki tahta kerajaan, sebagaimana yang sering dilakukan
dilingkungan kekaisran Byzantium. Menurut para fuqaha muslim isu
ini merupakan tambahan instrumen kezaliman di wilayah Timur.
Diduga, pengaruh dasyat praktik kotor ini telah membutakan dua
lusinan khalifah Abbasiyah sehingga mereka turun tahta. Berdasarkan
hal di atas para fuqaha berpendapat bahwa seorang yang buta tidak
berhak memberikan kesaksian atau duduk sebagai hakim dalam suatu
perkara, dan lebih tidak berhak lagi memimipin Negara.2) Hilang
atau cacat organ-organ tubuhnya. Yang dimaksud cacat disini adalah
seperti imam kehilangan dua tangan dan kakinya sehingga tidak
memungkinkan baginya untuk mengendalikan roda pemerintahan dengan
baik. Tetapi kalau cacatnya itu ringan, maka tidaklah menjadi soal.
Begitu pula kalau impoten, sebab Allah memuji Nabi Zakaria yang
impoten.3) Hilang wibawa sehingga imam tidak dapat menjalankan
tugasnya dengan sempurna. Ini terdiri dari dua macam:a. Wibawa imam
terkalahkan oleh asisten dan penasehatnya sehingga ia berada di
ujung telunjuk penasehatnya (bawahannya). Bisa jadi, nantinya
pelanggaran imam terhadap syariat pun ditutup-tutup oleh
bawahannya. Kriteria ini dikemukakan dengan maksud untuk
menghindari terjadinya pemberontakan (kemarahan) rakyat. Dalam
keadaan seperti ini, ada dua alternatif bagi imam, yakni kalau dia
tak mampu melepaskan belenggu dari telunjuk bawahannya sehingga ia
menyimpang dari aturan syara, maka dia akan dipecat. Tetapi kalau
dia berhasil melepaskan diri dari belenggu itu, yang dalam hal ini
dia boleh meminta bantuan berupa nasehat dan lain-lain kepada orang
lain, sehingga ia kembali bisa melaksanakan kewajibannya dengan
baik, maka ia boleh meneruskan jabatan imam.Prinsip ini dikemukakan
oleh al-Mawardi karena menimbang adanya desakan situasi politik di
masa itu di mana dinasti Abbasiyah yang telah berkuasa selama dua
abad berada dalam ancaman dari Dinasti Buwaihiyah. Dalam kata lain,
di waktu itu terdapat suatu kontradiksi yang tajam dalam bidang
kekuasaan antara dinasti Buwaihiyah dengan dinasti Abbasiyah. Usaha
al-Mawardi, karenanya, merupakan suatu langkah awal untuk mengatasi
kemelut de fakto kedua kekuasaan tersebut; dalam usaha tesebut
al-Mawardi mengambil jalan tengah untuk mengalihkan kontradiksi
yang menyolok tersebut.Jika ada Amir (gubernur) yang absolut atau
perampas kekuasaan, Amir bil Istila, menyatakan kesetiaannya kepada
khalifah dan berjanji akan memelihara kewibawaan kekhalifahan,
memelihara hukum-hukum syariah, dan bekerja sama dengan imam dalam
memerangi musuh-musuh islam, maka khaifah akan mengakui
kekuasaannya dan menganugrahkannya piagam (kekuasaan) kepadanya
secara formal dan terbuka.Khalifah akan mengetahui keabsolutan dan
benar atau tidaknya janji si Amir itu. Walaupun keputusan tersebut
(yakni, imam mencoba memberikan jabatan formal kepada amir)
bertentangan dengan tradisi yang ada, misalnya, namun tetap
dipandang legal atau sah disebabkan darurat dan mengingat
pentingnya memelihara hukum-hukum syariat. Teori itu dikemukakan
oleh al-Mawardi dengan maksud, di satu sisi sebagai upaya untuk
memperkokoh kekuasaan Dinasti Abbasiyah, dan di sisi lain sebagai
peringatan bagi Dinasti Buwaihiyah. Maksud peringatan di sini
adalah bahwa kalau Buwaihiyah mau coba-coba menentang Dinasti
Abbasiyah maka tentu dinasti Abbasiyah akan memberikan tindakan
kepadanya, dengan bantuan Dinasti Ghaznawiyyah yang mempunyai
hubungan baik dengan Dinasti Abbasiyah. Sehubungan dengan hal ini
al-Mawardi mengatakan bahwa untuk kasus perebutan kekuasaan tidak
dikenal kompromi.Jadi jelas, sebagaimana telah dikatakan tadi,
al-Mawardi mengeluarkan teori tersebut dipengaruhi oleh situasi
politik atau kemelut antara Dinasti Abbasiyah dengan Dinasti
Buwaihiyah. Hanya sayangnya, dalam hal ini telah terdapat
penyimpangan dari konsepsi imamah yang orisinal seperti yang telah
diterapkan oleh Umar Ibn Khattab dahulu. Prinsip yang telah
dikemukakan al-Mawardi tersebut selanjutnya dikontribusikan ke
dalam suatu teori politik yang efek negatifnya mendorong
orang-orang yang ambisius terhadap kekuasaan untuk mampu bertahan
lama dalam kekuasaannya sekalipun memerintah secara bengis dan
curang. Singkat kata, prinsip tersebut, yang tadinya dimaksudkan
al-Mawardi sebagai sumbangan bagi dinasti Abbaasiyah, ternyata oleh
generasi Dinasti Abbasiyah. Selanjutnya disalahgunakan, sehingga
spirit demokrasi islam yang orisional nyaris punah.b. Jika imam
tertangkap oleh musuh. Dalam keadaan demikian semua kaum muslim
wajib berusaha untuk membebaskannya. Sekalipun ia tertawan musuh
kalau masih memungkinkan memegang kekuasaan, maka ia masih tetap
dipandang sebagai imam. Tetapi klau tidak ada kemungkinan untuk
bebas, maka boleh dipilih orang lain untuk mewakilinya. Dan kalau
sama sekali tidak ada kemungkinan bebas (karena terbunuh
misalnuya), maka dia dipandang lepas dari jabatannya sebagai imam
dan pemilian imam baru harus segera dilaksanakan. Tetapi, kalau
kaum pemberontak yang menangkap imam itu muslim dan mereka belum
mengangkat imam yang baru, maka imam yg tertangkap itu tetap di
anggap sebagai imam dan berhak menunjuk wakilnya atau wakilnya itu
ditunjuk oleh ahlul ahli wal aqdi. Sedangkan jika kaum pemberontak
telah mengangkat imam yang baru, maka ahlul ahli wal aqdi harus
segera memilih imam baru pula, sebagai pengganti imam yang
tertangkap itu.
Sama seperti al-Mawardi, Taqi al-Din al-Nabhani juga
berpendapat, kepala Negara dapat diberhentikan di tengah jalan atau
sebelum masa jabatannya yang ditentukan berakhir.Seorang
khalifah/kepala Negara, tegas al-Nabhani, secara otomatis akan
diberhentikan, manakala terjadi perubahan keadaan di dalam dirinya
dengan perubahan yng lansung mengeluarkannya dari jabatan khalifah,
namun menurut syara dia tidak boleh melanjutkan
jabatannya.Perbedaan diantara kedua keadaan ini adalah bahwa pada
keadaan yang pertama, khalifah tidak boleh ditaati sejak teradinya
perubahan keadaan pada dirinya. Sedangkan pada keadaan kedua,
khalifah harus tetap ditaati sampai dia benar-benar telah
berhentikan.Perubahan-perubahan yang secara otomatis mengeluarkan
khalifah dari jabatan kekhalifahan itu ada tiga hal,. Pertama,
kalau khalifah murtad dari islam. Dalam pandangan al-Nabhani, islam
bukan hanya menjadi syarat pertama dlam pengangkatan seseorang
sebagai kholifah, tapi sekaligus juga sebagai syarat untuk bisa
terus memegang jabatan khalifah. Karena itu seorang kepala Negara
yang murtad dari islam wajib segera diberhentikan.Untuk
menjustifikasi pendapat tersebut al-Nabhani memajukan dua ayat
al-Quran sebagai berikut.
Pertama, firman Allah SWT: Dan Allah sekali-kali tidak akan
member jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang
yang beriman.( QS. An-Nisa :141 )Kedua, firman Allh SWT: Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya,
dan ulil amri di antara kamu.( QS. An-Nisa : 59).Kedua, kalau
khalifah gila total ( parah ) yang tidak bisa disembuhkan. Hal itu,
karena memang akal merupakan salah satu syart pengangkatan jabatan
khalifah, di samping hal itu juga merupakan syarat keberlangsungan
akad ( syurut istimrar). Hal ini, menurut al-Nabhani, berdasarkan
sabda Nabi yang berbunyi sebagai berikut, telah diangkat pena itu
atas tigaorang yaitu atas anakkecil hingga ia dewasa ( baligh ),
atas orang tidur hingga ia bangun, dan atas orang gila hingga ia
sembuh. Siapa saja, yang diangkat pena atasnya, mak dia, tegas
al-Nabhani, tentu lebih tidak boleh lagi.Ketiga, kalau khlifah di
tahan musuh yang kuat, yang dia tidak mungkin bisa melepaskan diri
dari tawanan tersebut, bahkan tidak bisa bebas. Karena dengan
begitu, di tidak mampu untuk memberikan instruksi secara penuh, bik
berupa perintah maupun larangan, dalam urusan-urusan kaum muslim,
sehingga statusnya seperti tidak ada.Dalam ketiga keadaan tersebut
itulah, menurut al-Nabhani.Khalifah bisa dikeluarkan dari jabatan
khlafah dan dengan sendirinya diberhentikan seketika, sekalipun
pembrhentiannya belum belum di putuskan sehingga hukum menaatinya
ketika itu tidak lagi menjai wajib.Dan semua perintah dari orang
yang termasuk dalam katagori salah satu sifat khalifah tersebut
tidak wajib dilaksanakan.Hanya saja, pembuktian diantara ketiga
sifat tersebut ada atau tidak, harus diperhatikan terlebih dahulu.
Dan pembuktian itu semata-mata dilakukan oleh mahkamah mazdalim,
sehingga mahkamah inilah yang memutuskan apakah orang yang
bersangkutan telah dinilai eluar atau tidak, sehingga kaum muslim
bisa mengangkat khalifah yang lain.[footnoteRef:7] [7: al-Nabhani,
: Sistem Pemerintahan Islam dan Realitas Doktrin Sejarah Empirik,
hal. 137 ]
Alasan yang membenarkan pemakzulan ( impeachment ) imam/
khalifah. Menurut Din Syamsuddin, antara lain: menyimpang dari
keadilan, kehilangan panca indra atau organ tubuh yang lain,
kehilangan kebebasan bertindak karena telah dikuasai oleh
orang-orang dekatnya, tertawan, atau menjadi fasik, yaitu terjatuh
kedalam kecenderugan syahwat, semisal melakukan
perselingkuhan.Penyimpangan dari keadilan, kata Din Syamsuddin,
adalah persoalan esensial atas kepemimpinan, karena misi utama
kepemimpina dalam islam adalah menegakkan keadilan. Karen itu,
kepala Negara yang sudah tidak lagi berpihak pada keadilan dapat
dicopot dari jabatannya. Selain itu, kekurangan indarwi juga dapat
dijadikan salah satu alasan pemecatan seorang kepala Negara dari
jabatannya, sebab kekuatan indrawi merupakan medium untuk
mengetahui realitas. Seseorang kepala Negara yang tidak memiliki
kekuatan indrawi, tegas Din Syamsuddin, tidak akan pernah dapat
mengetahui realitas di sekitarnya dengan objektif dan
proposional.[footnoteRef:8] [8: proposal Syamsuddin,2001,
hal.181]
Dalam pasal 33 A Model Of Islamic Constitution ( contoh
Konstitusi Islam ) yang disusun oleh Dewan Islam Eropa pada
Desember 1983, terdapat dua alasandilakukannya impeachment kepala
Negara, yaitu: 1) secara sengaja melanggar ketentuan-ketentuan
konstitusi, dan 2) tanpa alasan melanggar syariat.Pasal 110 ayat 4
dan 5 konstitusi Irn 1979 juga menyebutkan dua alasan pemecatan
kepala Negara atas presiden Iran, yaitu: 1) bersalah melanggar
tugas-tugas konstitusionalnya, dan 2) memiliki ketidaksempurnaan
politik untuk memimpin Negara.[footnoteRef:9] [9: Moten, Ilmu
Politik Islam, hal.145 dan 149]
Abdul Rashid Motn, mengemukakan tiga alasan pemberhentian kepala
Negara , yaitu : 1) jika ia menjadi budak nafsunya, 2) mencemooh
larangan-larangan syariat, dan 3) terjadi perubahan dalam watak
fisiknya sehingga tidak memungkinkannya menjalankan fungsi
kepemimpinan sebagai kepala Negara.Komisi anshari Pakistan yang
dibentuk oleh mantan presiden Pakistan, Zaiaul-Haq, pada juli 1983,
memajukan empat alasan untuk melakukan impeachment kepala Negara ,
yaitu: 1) melawan syariat, 2) melanggar hukum, 3) melakukan dosa
besar, dan 4) kehilangan kualifikasi tertentu yang semula
menjdikannya layak untuk menduduki jabatan kepala Negara.Bila
pendapat-pendapat di atas dijadikan satu sama lain, maka minimal
ditemukan 12 alasan melakukan impeachment kepala Negara islam,
yaitu:1. Melanggar syariat2. Melanggar konstitusi3. Melanggar
hukum4. Menyimpang dari keadilan5. Kehilangan panca indra atau
organ-organ tubuh lainnya6. Keilangan wibawa dan kebebasan
bertindak karena telah dikuasai orang-orang dekatnya7. Tertawan
musuh8. Menjadi fasik atau jatuh ke dalam kecenderungan syahwat,
semisal berselingkuh9. Mengganti kelamin10. Menderita sakit gila
atau cacat mental11. Menderita sakit keras yang tidak lagi ada
harapan sembuh Murtad dari islamPemakzulan dalam sistem
pemerintahan parlementer lebih mudah karena proses pemakzulan bisa
dilakukan dengan hanya melalui mosi tidak percaya dari badan
parlemen, sehingga pemimpin dapat dimakzulkan kapan saja. Sedangkan
dalam sistem pemerintahan presidensil proses pemakzulan harus
melalui proses yang panjang yaitu dengan terlebih dahulu dibuktikan
bahwa presiden yang akan dimakzulkan terbukti bersalah menurut
hukum, tidak hanya bisa dengan alasan konspirasi politik seperti
halnya dalam sistem parlementer.Pelanggaran terhadap sesuatu yang
dipersyaratkan yang memungkinkan pemakzulan seorang kepala daerah,
sesuai dengan ketentuan yang pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad
saw. Namun demikian kalau seorang pemimpin hanya melakukan sesuatu
yang tidak disukai oleh kebanyakan umatnya, tetapi tidak melanggar
ketentuan yang menjadi persyaratan, maka tidak dibenarkan untuk
memakzulkan kepalala daerah tersebut. Alasannya sangat jelas ialah
agar ada kepastian dan tidak menimbulkan kondisi yang tidak
diharapkan.Seharusnya kalau kepala daerah benar benar melakukan
korupsi, mekanisme pemakzulannya harus jelas dan tidak perlu harus
ada konspirasi politik seperti yang terjadi di negara-negara
parlementer. Dalam sistem pemerintahan di negara-negara parlementer
tentu sering terjadi pemakzulan, karena hanya dengan mengajukan
mosi tidak percaya parlemen kepada perdana menteri, perdana menteri
tersebut bisa saja dengan cepat dimakzulkan, padahal yang dilakukan
perdana menteri tersebut tidak melanggar hukum atau persyaratan
sama sekali, justru pemakzulan seperti ini jelas menjadi haram
dalam hukum islam.Tetapi justru yang perlu segera untuk dibenahi
ialah mekanisme pemakzulan tersebut, agar tidak terlalu berbelit
dan sulit dilaksanakan. Karena kalau masih seperti saat ini sangat
rentan dengan konspirasi politik dan bahkan sangat tergantung
kepada kemampuan dan kekuatan yang bersangkutan untuk bermain atau
juga sangat tergantung kemauan beberapa orang dalam partai
politik.Sehingga tetap tidak kondusif bagi pemerintahan yang bersih
dan kredibel.Islam dapat membenarkan pemakzulan seorang kepala
daerah dengan syarat memang benar benar telah melanggar sumpah
ataupun persyaratan yang telah ditentukan sebelumnya. Karena hal
tersebut akan memberikan jaminan terselenggaranya pemerintahan yang
bertanggung jawab.Jadi yang terpenting sesungguhnya ialah bagaimana
mengatur mekanisme yang jelas, mudah dilaksanakan, dan tidak
bertele-tele, tentang kemungkinan pemakzulan pimpinan, termasuk
kepala daerah.Firman Allah: C. Pemakzulan di zaman khulafaur
rasyidin (Utsman bin Affan).Berdasarkansejarah yang mahsyur kita
dengar di zaman kekhalifahan Utsman bin affan ini
pergolakan-pergolakan dan fitnah-fitnah terhadap kepemimpianan
beliau mulai ramai bermunculan. Di balik kebijakan beliau yang luar
biasa seperti berhasil menaklukan bangsa romawi yang di pimpin oleh
Muawiyah bin abu Sufyan dan berhasil di bentuk angkatan laut yang
sangat kuat. Di balik semua ini timbul berbagai macam fitnah dan
yang paling menonjol adalah fitnah ketika Utsman bin Affan
mengangkat Gubernur yang berasal dari kerabatnya, walaupun sudah
dijelaskan mengapa beliau memilih kerabat sebagai Gubernur namun
tetap saja fitnah tersebut. Disinilah awal mula pemakzulan terjadi
di zaman khulafau rasyidin ada, dimana untuk menghindari fitnah/
syubhat yg semakin besartimbul Utsman bin affan memakzulkan satu
per satu dimakzulkan dan hanya menyisakan 3 kerabat dari 5 kerabat
yang beliau angkat pada saat itu.Singkat cerita ketika di zaman
utsman bin affan mulai muncul fitnah-fitnah tentang kekhalifahan
utsman khususnya para khawarij dimana mereka mengatakan bahwa
Utsman melakukan nepotisme dengan mengangkat sanak keluarganya
sebagai gubernur namun Utsman menampik hal tersebut karena beliau
mengangkat gubernur tersebut sesuai dengan kapabilitas yang mereka
miliki kemudian ditampik dengan fakta utsman hanya mengangkat lima
orang dari kerabatnya dari 26 gubernur yang di angkat. Dan beliau
ra mengangkatnya tidak secara bersamaan. Ke 5 kerabat yang beliau
angkat terdiri dari:1. Muawiyah bin abu sufyan2. Abdullah bin Saad
bin Abu as-Sarah3. Al-Walid bin Uqbah4. Said bin al-Ash5. Abdullah
bin AmirHal ini yang mengawali timbulnya fitnah tersebut dan
terjadi pemakzulan terhadap Gubernur yang berasal dari kerabatnya
untuk menghindari fitnah yang semakin besar. Untuk menghindari
fitnah yang semakin besar beliau memakzulkan satu persatu gubernur
yang berasal dari kerabatnya tersebut. Beliau menakzulkan al-walid
bin Uqbah kemudian sebelum wafat Said bin al-Ash juga dimakzulkan
beliau.Selain itu juga , Pemakzulan (pemberhentian) berdasarkan
kitab al imanu udzma di jelaskan yang berhak memecat pemimpin
adalah ahlul ahli wal Aqdi (rijarul syura) yang menunjuk 6 orang
"Ahlul Halli wal Aqdi" atau ada yang menyebutnya Dewan Formatur,
mereka sahabat paling berkompeten di mata Umar. Anggotanya: Ali bin
Abi Thalib, Utsman bin Affan, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin
Awwam, Abdurrahman bin 'Auf dan Saad bin Abi Waqash
BAB IIIPenutupA. Kesimpulan1. Mekanisme pemakzulan Presiden
dan/atau Wakil Presiden di Indonesia memiliki perbedaan antara
sebelum amandemen dan setelah amandemen. Sebelum amandemen
pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia dimulai
dari proses impeachment oleh DPR yang kemudian langsung diajukan
kepada MPR, lalu MPR yang akan mengambil keputusan atas dasar
pendakwaan dari DPR, serta di dalam mekanisme pemakzulannya belum
berasaskan hukum yang jelas dalam aturannya. Sedangkan mekanisme
pemakzulan setelah amandemen dimulai dari dakwaan oleh DPR yang
harus diajukan kepada MK, dimana MK wajib memeriksa, mengadili dan
memutuskan apakah dakwaan DPR diterima atau ditolak sesuai dengan
hukum ketatanegaraan RI. Setelah MK memutuskan dakwaan tersebut
maka DPR menyelenggarakan sidang Paripurna untuk meneruskan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
Selanjutnya MPR wajib menggelar sidang Paripurna untuk memutuskan
usul DPR untuk pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul DPR. Keputusan
pemberhentian di MPR dilakukan dengan cara voting oleh anggota MPR.
Sebelum pemberhentian, Presiden dan/atau Wakil Presiden mempunyai
hak menyampaikan penjelasan didepan siding Paripuna MPR.2. Dalam
pandangan islam pemakzulan diperbolehkan selama prosesnya jelas dan
menurut hukum pemimpin tersebut memang telah melanggar
persyaratannya karena itu harus dimakzulkan. Namun, jika dalam
proses pemakzulan tersebut melalui konspirasi politik dimana sang
pemimpin akan dimakzulkan dengan alasan mosi tidak percaya dari
suatu lembaga padahal pemimpin tersebut tidak melanggar ketentuan
hukum yang berlaku maka hal ini diharamkan dalam islam.B.
SaranMenurut kami sebaiknya tata cara pemakzulan di Indonesia lebih
dipertegas dan lebih jelas agar pemakzulan presiden memiliki dasar
hukum yang kuat sehingga keputusan untuk memakzulkan presiden di
Indonesia tidak bersifat subjektif. Dan memberikan kesempatan bagi
presiden yang dimakzulkan untuk melakukan pembelaan atas dirinya
sendiri.Meluruskan pandangan masyarakat mengenai pengertian
pemakzulan dan perbedaannya dengan impeachment agar masyarakat
lebih terbuka wawasannya bahwa impeachment itu tidak pasti di
makzulkan sedangkan pemakzulan sudah pasti melalui proses
impeachment.
PERTANYAAN
1. Laila RamadianaApakah ada sistem pemerintahan presidensil
yang tidak menggunakan sistem pemakzulan, jika tidak lalu bagaimana
cara pemberhentiannya. Apa yang membedakan pemakzulan di Indonesia
dengan Negara lain?
Tanggapan:Menurut kami, semua sistem pemerintahan presidensil
menggunakan sistem pemakzulan dalam pemberhentian
pemimpinnya.Selain sistem pemerintahan presidensil, cara untuk
memberhentikan pemimpinnya melalui mosi tidak percaya yang
diterapkan saat Indonesia masih menggunakan sistem pemerintahan
parlementer.
2. Joni RolisMungkinkah seorang presiden yang sudah pernah
dimakzulkan dapat dipilih kembali?
Tanggapan:Menurut kami, sebelum amandemen belum ada hukum yang
mengatur secara jelas syarat-syarat calon presiden, sehingga
presiden yang pernah dimakzulkan dapat mencalonkan kembali sebagai
presiden.Sedangkan setelah amandemen telah ditetapkan syarat-syarat
calon presiden yang tercantum dalam pasal 6 ayat 1 yang diantaranya
berbunyi: ditetapkan syarat-syarat untuk menjadi calon presiden
atau wakil presiden Indonesia:a. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa.b. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela.c. Tidak pernahdi
hukum penjara karena melakukan tindak pidana, maka berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. d.
Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan keputusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun
atau lebih.Sehingga presiden yang pernah mengalami pemakzulan tidak
dimungkinkan untuk mencalonkan diri kembali sebagai presiden.
DAFTAR PUSTAKA
Adam,Asvi Warman.Membongkar Manipulasi Sejarah.Jakarta: Kompas,
2009. Ash-Shaalabi,Muhammad. 2012. Muawiyah bin Abu Sufyan. Bogor:
Pustaka Darul Haq.Ghoffar, Abdul. 2009. Perbandingan Kekuasaan
Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara
Maju. Jakarta: Kencana.Hakim,M. Nipan Abdul dan Muhammad Zakki.
2000. Gus Dur Sang Penakluk Tanpa Ngasorake. Surabaya:
LEPKISS.Jakarta :Pusat penelitian dan pengkajian sekretariat
jenderal dan kepaniteraan MahkamahKonstitusi Republik
Indonesia.Machmud, Amir .Pembangunan Politik Dalam Negeri
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia, 1987.Mujar, Ibnu Syarif Khamami
Zada.2008. Fiqih Siyasah-doktrin dan pemikiran politikislam,171-172
islam. Jakarta: Erlangga.Qamaruddin khan. 2002. Negara al-Mawardi.
Bandung: Pustaka.Ramage, Douglas E. 2002.Percaturan Politik di
Indonesia, Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi. Jogjakarta:
MATABANGSA.Syaikh Imam Al Qurthubi; penerjemah, Dudi Rosyadi,
Nashirul Haq, Fathurrahman. 2008. Tafsir Al-Qurthubi. Jakarta :
Pustaka Azzam.Wardaya, Baskara T. Membongkar Supersemar.
Yogyakarta: Galang Press, 2007.Winarno,Yudho. 2005.Mekanisme
Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.Zoelva, Hamdan.
2011. Pemakzulan Presiden di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.31