BAB IPENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANGKondisi gawat darurat yang menuntut tindakan
tepat dan cepat dalam menangani pasien dengan tujuan live saving
menimbulkan banyak dilema moral dan etik dalam mengambil tindakan.
Tak jarang terjadi kesalahan yang berujung perkara, baik bagi pihak
rumah sakit ataupun bagi keluarga pasien, sehingga dibutuhkan aspek
legal yang menjelaskan standar atau batasan tertentu dalam
menangani pasien gawat darurat ini. Dengan harapan dapat mengurangi
kesalahan atau hal lain yang tidak diharapkan, baik oleh pemberi
layanan atau penerima layanan.Perawat adalah pelayan kesehatan lini
pertama yang akan menerima pasien sehingga perawat memiliki taggung
jawab yang cukup besar dalam area kegawat daruratan. Beberapa
laporan menunjukkan adanya kelalaian perawat dalam menangani pasien
kritis. Hal ini tentunya akan mempengaruhi citra layanan kesehatan
juga membahayakan pasien yang selanjutnya akan menyebabkan konflik
dengan keluarganya. Atas penjelasan tersebut kami, penulis,
bermaksud untuk mengangkat tema Isu Legal dalam Keperawatn Kritis
dengan harapan pembaca, khususnya mahasiswa keperawatan, memahami
peran serta tanggung jawabnya secara legal dalam menangani pasien
kritis.
1.2 RUMUSAN MASALAH1.2.1 Bagaimana tanggung jawab legal praktek
keperawatan gawat darurat?1.2.2 Apa undang-undang kesehatan terkait
kegawat daruratan?1.2.3 Bagaimana dengan kasus
pengabaian/negligence dan malpraktek dalam area kegawat
daruratan?1.2.4 Bagaimana Undang-undang keperawatan menjelaskan
terkait keperawatan gawat darurat?
1.3 TUJUAN PENULISAN1.3.1 Tujuan UmumTujuan umum dari penyusunan
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Kegawat
Daruratan Sistem I1.3.2 Tujuan Khusus1.3.2.1 Untuk mengetahui
bagaimana tanggung jawab legal perawat dalam area kegawat
daruratan1.3.2.2 Untuk mengetahui undang-undang kesehatan terkait
kegawat daruratan1.3.2.3 Untuk mengetahui pandangan terkait
pengabaian/negligence dan malpraktek dalam area kegawat
daruratan1.3.2.4 Untuk mengetahui standar yang ditetapkan
undang-undang keperawatan dalam area gawat darurat.
1.4 MANFAAT PENULISANManfaat yang diharapkan dari penyusunan
makalah ini adalah pembaca dapat memahami beberapa hal
berikut:1.4.1 Tanggung jawab legal keperawatan gawat darurat1.4.2
Undang-undang kesehatan terkait kegawat daruratan1.4.3
Pengabaian/negligence dan malpraktek dalam area kegawat
daruratan1.4.4 Standar undang-undang keperawatan dalam area kegawat
daruratan.
BAB IIPEMBAHASAN
2.1 Tanggung jawab legal praktek keperawatan gawat darurat2.1.1
Pengertian Tanggung Jawab dan tanggung gugatTanggung jawab
(responsibilitas) adalah eksekusi terhadap tugas- tugas yang
berhubungan dengan peran tertentu dari perawat.Penerapan ketentuan
hukum (eksekusi) terhadap tugas-tugas yang berhubungan dengan peran
tertentu dari perawat, agar tetap kompeten dalam Pengetahuan, Sikap
dan bekerja sesuai kode etik (ANA, 1985).Tanggung jawab perawat
secara umum: 1. Menghargai martabat setiap pasien dan keluarganya2.
Menghargai hak pasien untuk menolak prosedur pengobatan dan
melaporkan penolakan tersebut kepada dokter dan orang-orang yang
tepat.3. Menghargai hak pasien dan keluarganya dalam hal
kerahasiaan informasi4. Apabila didelegasikan oleh dokter menjawab
pertanyaan-pertanyaan pasien dan memberikan informasi5.
Mendengarkan pasien secara seksama dan melaporkan hal-hal penting
kepada orang yang tepat.
Sementara tanggung gugat (akuntabilitas) adalah
mempertanggungjawabkan perilaku dan hasil-hasilnya termasuk dalam
lingkup peran profesional seseorang sebagaimana tercermin dalam
laporan pendidik secara tertulis tentang perilaku tersebut dan
hasil-hasilnya. Baik terhadap dirinya sendiri, pasien, profesi,
sesama karyawan dan masyarakat.Akuntabilitas bertujuan untuk:1.
Mengevaluasi praktisi-praktisi profesional baru dan mengkaji ulang
praktisi-praktisi yang sudah ada2. Mempertahankan standar perawatan
kesehatan3. Memberikan fasilitas refleksi profesional, memikirkan
etis dan pertumbuhan pribadi sebagai bagian yang profesional
perawatan kesehatan.4. Memberikan dasar untuk keputusan
etisTanggung gugat dalam transaksi terapeutik :1. Contractual
LiabilityTanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya
kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati2.
Vicarious LiabilityTanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang
dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya3.
Liability in TortTanggung gugat atas perbuatan melawan hukum
Tanggung gugat pada setiap proses keperawatan:1. Tahap
pengkajianPerawat bertanggung gugat mengumpulkan data atau
informasi, mendorong partisipasi pasien dan penentuan keabsahan
data yang dikumpulkan.2. Tahap diagnosa keperawatanPerawat
bertanggung gugat terhadap keputusan yang dibuat tentang
masalah-masalah kesehatan pasien seperti pertanyaan diagnostik. 3.
Tahap perencanaanPerawat bertanggung gugat untuk menjamin bahwa
prioritas pasien juga dipertimbangkan dalam menetapkan prioritas
asuhan.4. Tahap implementasiPerawat bertanggung gugat untuk semua
tindakan yang dilakukannya dalam memberikan asuhan keperawatan.5.
Tahap evaluasiPerawat bertanggung gugat untuk keberhasilan atau
kegagalan tindakan keperawatan.2.1.2 Penerapan Tanggung Jawab dan
Tanggung Gugat1. KontrakAda 2 jenis kontrak yang paling banyak
dilakukan dalam keperawatan:a. Kontrak antara perawat dengan pihak
/ insitusib. Kontrak antara perawat dengan pasienKontrak dinyatakan
sah apabila memenuhi syarat :a. Ada persetujua antara pihak-pihak
yang membuat perjanjianb. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat
perjanjianc. Ada suatu hal tertentu dan atau suatu sebab yang
halal2. Tanggung jawab hukum perawat dalam prakteka. Menjalankan
pesanan dokter dalam hal medis4 hal yang harus ditanyakan perawat
untuk melindungi mereka secara hukum :a) Tanyakan setiap pesanan
yang diberikan dokterb) Tanyakan setiap pesanan bila kondisi pasien
telah berubahc) Tanyakan dan catat pesanan verbal untuk mencegah
kesalahan komunikasid) Tanyakan pesanan terutama bila perawat tidak
pengalamanb. Melaksanakan intervensi keperawatan mandiria) Ketahui
pembagian tugas merekab) Ikuti kebijaksanaan dan prosedur yang
ditetapkan ditempat kerjac) Selalu identifikasi pasien, terutama
sebelum melaksanakan intervensi utamad) Pastikan bahwa obat yang
benar diberikan dengan dosis, waktu dan pasien yang benare) Lakukan
setiap prosedur secara tepatf) Catat semua pengkajian dan perawatan
yang diberikan dengan tepat dan akuratg) Catat semua kecelakaan
mengenai pasienh) Jalin dan pertahankan hubungan saling percaya
yang baik dengan pasieni) Pertahankan kompetensi praktek
keperawatanj) Mengetahui kekuatan dan kelemahan perawatk) Sewaktu
mendelegasikan tanggung jawab keperawatan pastikan orang yang
diberikan delegasi tugas mengetahui apa yang harus dikerjakan dan
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkanl) Selalu
waspada saat melakukan intervensi keperawatan2.1.2 Peran fungsi
perawat dalam penanganan kasus emergency Peran perawat di bagian
emergency telah mengalami perubahan dalam kaitannya dengan
perkembangan beberapa tahun terakhir ini yaitu meningkatnya
penggunaan bagian emergency oleh mereka yang memerlukan pengobatan
dan meningkatnya kepuasan terhadap pelayanan yang diberikan serta
mampu menekan angka kematian dan kecatatan pada kasus emergency.
Perawat-perawat di bagian emergency mempunyai ketrampilan sebagai
berikut : 1. Mengkaji dan menentukan priorotas (penyeleksi: pasien
yang memerlukan pengobatan segera) 2. Menangani pasien-pasien yang
menpunyai resiko dan kecemasan yang tinggi.3. Ketrampilan teknik
yang khusus (memberi cairan per parutral Defrilator, resusitasi
intubasi, mengoperasikan alat-alat monitoring)4.
Menginterprestasikan hasil pemeriksaan laboratorium dan EKG serta
tindakan-tindakan yang diperlukan
2.1.3 Batasan & Prinsip Penanganan Gawat DaruratBatasan
:Pasien gawat darurat adalah pasien yang secara tiba-tiba/mendadak
dalam keadaan gawat artinya akan hilang nyawanya atau anggota
tubuhnya bila tidak segera ditolong Prinsip :Apabila dalam waktu
melebihi batas toleransi, sel tidak mendapatkan oksigen maka akan
terjadi kematian sel. Oleh karena itu prinsip menolong, agar tdk
terjadi kematian adalah mengusahakan agar oksigenasi sel terlaksana
dengan baik.sistematika langkah-langkah pokok1. menentukan tingkat
kesadaran2. menguasai & membebaskan jalan nafas3. bantuan
pernafasan2.1.4 Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat DaruratDi USA
dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan
perundang-undangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin
tersebut terutama diberlakukan dalamfase pra-rumah sakit untuk
melindungi pihak yang secara sukarela beritikad baik menolong
seseorang dalam keadaan gawat darurat. Dengan demikian seorang
pasien dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untuk
kecederaan yang dialaminya. Dua syarat utama doktrin Good Samaritan
yang harus dipenuhi adalah: 1. Kesukarelaan pihak penolong.
Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan atau keinginan
pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun.
Bila pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya, maka
doktrin tersebut tidak berlaku.2. Itikad baik pihak penolong.
Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang dilakukan
penolong. Hal yang bertentangan dengan itikad baik misalnya
melakukan trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah keterampilan
penolong. Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien
menggugat tenaga kesehatan karena diduga terdapat kekeliruan dalam
penegakan diagnosis atau pemberian terapi maka pihak pasien harus
membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab
kerugiannya/cacat(proximate cause). Bila tuduhan kelalaian tersebut
dilakukan dalam situasi gawat darurat maka perlu dipertimbangkan
faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut terjadi. Jadi,
tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan
dengan tenaga kesehatan yang berkualifikasi sama, pada pada situasi
dan kondisi yang sama pula. Setiap tindakan medis harus mendapatkan
persetujuan dari pasien (informed consent). Hal itu telah diatur
sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal 53
ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat darurat di mana
harus segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar
dan tidak didampingi pasien, tidak perlu persetujuan dari siapapun
(pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal
persetujuan tersbut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka
lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam
medis.
2.2 Undang-undang kesehatan terkaitPeraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan pelayanan gawat darurat adalah UU No 23/1992
tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis, dan Peraturan Menteri Kesehatan
No.159b/1988 tentang Rumah Sakit.Ketentuan tentang pemberian
pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur dalam pasal 51
UU No.29/ 2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter
wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan.
Selanjutnya, walaupun dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan tidak
disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara tersirat
upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak
setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal
4). Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa Pemerintah bertugas
menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh
masyarakat termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang mampu.
Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik
yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta).
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan
pelayanan gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu
persyaratan ijin rumah sakit. Dalam pelayanan gawat darurat tidak
diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian
pelayanan. Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal
pelayanan fase pra-rumah sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan
pelayanan gawat darurat untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam
Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/ 1988 tentang Rumah Sakit, di
mana dalam pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk
menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari.
Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik.
Secara umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum
adalah pasal 7 UU No.23/1992 tentang Kesehatan, yang harus
dilanjutkan dengan pengaturan yang spesifik untuk pelayanan gawat
darurat fase pra-rumah sakit. Bentuk peraturan tersebut seyogyanya
adalah peraturan pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di
luar sector kesehatan.2.2.1 Landasan Hukum Pelayanan Gawat
Darurata) UU NO 9 Tahun 1960 Pokok Kesehatan b) UU NO 6 Tahun 1963
Tenaga Kesehatan c) UU NO 29 Tahun 2004 Praktik Kedokterand) UU NO
24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencanae) UU NO 36 Tahun 2009
Kesehatan f) UU NO 44 TAHUN 2009 Rumah sakit g) PP NO 32 TAHUN 1996
Tenaga Kesehatan h) PP NO 51 Tahun 2009 Pekerjaan Kefarmasiani)
Berbagai Peraturan Menteri Kesehatan
2.2.2 Fungsi aspek hukum dan legalitas pelayanan gawat darurat
bagi perawat :1. Hukum Menyediakan kerangka kerja untuk menetapkan
tindakan asuhan keperawatan gawat darurat. 2. Hukum juga memberikan
penjelasan tentang tanggung jawab perawat gawat darurat yang
berbeda dari tanggung jawab tenaga kesehatan lainnya3. Hukum dapat
membantu perawat gawat darurat menetapkan batas batas tindakan
keperawatan mandiri (otonomi profesi) 4. Hukum membantu keperawatan
dalam menjaga standar asuhan keperawatan yang dibuat oleh profesi
keperawatan.5. Aspek aspek Hukum dan perlindungan hukum Pelayanan
Gawat Darurat oleh profesi keperawatan.6. Dalam Undang-undang Rumah
Sakit Nomor 44 tahun 2009 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat (1)
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat Inap, Rawat Jalan dan
Rawat Darurat. Ini membuktikan bahwa rumah sakit wajib memberikan
pelayanan gawat darurat kepada pasien atau penderita dengan arti
kata setiap rumah sakit wajib memiliki sarana, pra sarana dan SDM
dalam pengelolaan pelayanan gawat darurat, ini membuktikan adanya
kepastian hukum dalam pelayanan gawat darurat di rumah sakit.7.
Gawat darurat adalah suatu kondisi klinik yang memerlukan pelayanan
medis. Gawat 8. Darurat medis adalah suatu kondisi dalam pandangan
penderita, keluarga, atau siapapun yang bertanggung jawab dalam
membawa penderita ke rumah sakit memerlukan pelayanan medis segera.
Penderita gawat darurat memerlukan pelayanan yang cepat, tepat,
bermutu dan terjangkau. (Etika dan Hukum Kesehatan, Prof. Dr.
Soekijo Notoatmojo 2010). 9. Kepmenkes RI Nomor
1239/Menkes/SK/XI/2001 Tentang Registrasi dan Praktik Keperawatan,
Pasal 20, Dalam darurat yang mengancam jiwa seseorang/pasien,
perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar
kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 15, Pelayanan dalam
keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditujukan untuk
penyelamatan jiwa. 10. Permenkes Nomor RI HK.02.02.MENKES/148/2010,
tentang regitrasi dn izin praktik keperawatan Pasal 10 Ayat (1),
Dalam darurat yang mengancam jiwa seseorang/pasien, perawat
berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangannya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, Pasal 11 poin (a) Perawat
berhak Memperoleh perlindungan hukum. 11. Permenkes Nomor
152/Menkes/Per/IV/2007 Tentang Izin dan penyelenggaran Praktik
Kedokteraan dan kedokteran Gigi, BAB III Pasal 15 Ayat (I), Dokter
dan dokter Gigi dapat memberilan pelimpahan suatu tindakan
kedokteran dan tindakan kedokteran gigi, kepada perawat, bidan atau
tenaga kesehatn lainnya secara tertulis.
2.3 Pengabaian dan malpraktek2.3.1 Definisi malpraktekAda
berbagai macam pendapat dari ahli mengenai pengertian malpraktek.
Namun mereka sepakat untuk merumuskan penggunaan istilah medical
malpractice (malpaktek medik) sebagaimana disebutkan dibawah ini :
a. John D. Blum memberikan rumusan tentang medical malpractice
sebagai bentuk kelalaian profesi dalam bentuk luka atau cacat yang
dapat diukur yang terjadinya pada pasien yang mengajukan gugatan
sebagai akibat langsung dari tindakan dokter (Ibid, Amir, Amri,
1997).b.Black Law Dictionary merumuskan malpraktek sebagai
perbuatan jahat dari seorang ahli, kekurangan dalam keterampilan
yang dibawah standar, atau tidak cermatnya seorang ahli dalam
menjalankan kewajibannya secara hukum, praktek yang jelek atau
ilegal atau perbuatan yang tidak bermoral (Ibid, Amir, Amri,
1997).Dari beberapa pengertian tentang malpraktek medik diatas
semua ahli sepakat untuk mengartikan malpraktek medik sebagai
kesalahan tenaga kesehatan yang karena tidak mempergunakan ilmu
pengetahuan dan tingkat keterampilan sesuai dengan standar
profesinya yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka atau cacat
atau bahkan meninggal dunia. Adapun yang dimaksud dengan tenaga
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No.32
Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, dalam pasal 2 ayat (1) terdiri
dari :a. Tenaga medis b. Tenaga keperawatanc. Tenaga kefarmasian d.
Tenaga kesehatan masyarakat e. Tenaga gizi f. Tenaga keterapian
fisik g. Tenaga keteknisan medis.2.3.2 Jenis-Jenis Malpraktek
Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik menjadi
dua bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan
malpraktek yuridis (yuridical malpractice), ditinjau dari segi
etika profesi dan segi hokum (Ibid, Amir, Amri, 1997).a. Malpraktek
Etik Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan
melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya
sebagai tenaga kesehatan. b. Malpraktek Yuridis Soedjatmiko
membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu
malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal
malpractice) dan malpraktek administratif (administrative
malpractice) (Ibid, Amir, Amri, 1997):1) Malpraktek Perdata (Civil
Malpractice) Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal
yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi)
didalam transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya
perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), sehingga
menimbulkan kerugian kepada pasien.Adapun isi daripada tidak
dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa : (Ibid, Amir, Amri,
1997):a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib
dilakukan. b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan, tetapi terlambat melaksanakannya. c. Melakukan apa yang
menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak sempurna dalam
pelaksanaan dan hasilnya. d.Melakukan apa yang menurut
kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan Sedangkan untuk perbuatan
atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa
syarat seperti (Ibid, Amir, Amri, 1997):a. Harus ada perbuatan
(baik berbuat maupun tidak berbuat). b. Perbuatan tersebut
melanggar hukum (tertulis ataupun tidak tertulis). c. Ada kerugian
d.Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan
melanggar hukum dengan kerugian yang diderita. e. Adanya kesalahan
(schuld) Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti
rugi) karena kelalaian tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat
membuktikan adanya empat unsur berikut (Ibid, Amir, Amri, 1997):a.
Adanya suatu kewajiban tenaga kesehatan terhadap pasien. b. Tenaga
kesehatan telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim
dipergunakan. c. Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang
dapat dimintakan ganti ruginya. d. Secara faktual kerugian itu
diesbabkan oleh tindakan dibawah standar. Namun adakalanya seorang
pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tenaga
kesehatan (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi res ipsa
loquitor yang artinya fakta telah berbicara. Contoh dari malpraktek
perdata, misalnya seorang dokter yang melakukan operasi ternyata
meninggalkan sisa perban didalam tubuh si pasien. Setelah diketahui
bahwa ada perban yang tertinggal kemudian dilakukan operasi kedua
untuk mengambil perban yang tertinggal tersebut.Dalam hal ini
kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan tidak
menimbulkan akibat negatif yang berkepanjangan terhadap
pasien.2)Malpraktek Pidana Malpraktek pidana terjadi apabila pasien
meninggal dunia atau mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang
hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya perawatan
terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
Malpraktek pidana ada tiga bentuk yaitu (Ibid, Amir, Amri,
1997):a.Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional),
misalnya pada kasus aborsi tanpa indikasi medis, tidak melakukan
pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada
orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan
yang tidak benar. b.Malpraktek pidana karena kecerobohan
(recklessness), misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis
atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan
tanpa disertai persetujuan tindakan medis. c. Malpraktek pidana
karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau kematian
pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang
hati-hati. 3)Malpraktek Administratif Malpraktek administrastif
terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap
hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan
praktek keperawatan tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan
tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya, menjalankan
praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek
tanpa membuat catatan medik. 2.3.3 Teori-Teori Malpraktek Ada tiga
teori yang menyebutkan sumber dari perbuatan malpraktek yaitu
(Ibid, Amir, Amri, 1997):a. Teori Pelanggaran Kontrak Teori ini
berprinsip bahwa secara hukum seorang tenaga kesehatan tidak
mempunyai kewajiban merawat seseorang bilamana diantara keduanya
tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara tenaga kesehatan
dengan pasien. Hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien baru
terjadi apabila telah terjadi kontrak diantara kedua belah pihak
tersebut. Sehubungan dengan adanya hubungan kontrak pasien dengan
tenaga kesehatan ini, tidak berarti bahwa hubungan tenaga kesehatan
dengan pasien itu selalu terjadi dengan adanya kesepakatan bersama.
Dalam keadaan penderita tidak sadar diri ataupun keadaan gawat
darurat misalnya, seorang penderita tidak mungkin memberikan
persetujuannya. Dalam hal ini persetujuan atau kontrak tenaga
kesehatan pasien dapat diminta dari pihak ketiga, yaitu keluarga
penderita yang bertindak atas nama dan mewakili kepentingan
penderita. Apabila hal ini juga tidak mungkin, misalnya dikarenakan
penderita gawat darurat tersebut datang tanpa keluarga dan hanya
diantar oleh orang lain yang kebetulan telah menolongnya, maka demi
kepentingan penderita, menurut perundang-undangan yang berlaku,
seorang tenaga kesehatan diwajibkan memberikan pertolongan dengan
sebaik-baiknya yang secara hukum telah dianggap sebagai perwujudan
kontrak tenaga kesehatan-pasien.
b. Teori Perbuatan Yang Disengaja Teori kedua yang dapat
digunakan oleh pasien sebagai dasar untuk menggugat tenaga
kesehatan karena perbuatan malpraktek adalah kesalahan yang dibuat
dengan sengaja (intentional tort), yang mengakibatkan seseorang
secara fisik mengalami cedera (asssult and battery) c. Teori
Kelalaian Teori ketiga menyebutkan bahwa sumber perbuatan
malpraktek adalah kelalaian (negligence). Kelalaian yang
menyebabkan sumber perbuatan yang dikategorikan dalam malpraktek
ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu kelalaian yang
dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat (culpa
lata). Untuk membuktikan hal yang demikian ini tentu saja bukan
merupakan tugas yang mudah bagi aparat penegak hukum. Disamping itu
terdapat beberapa teori yang juga dapat dijadikan pegangan untuk
mengadakan pembelaan apabila petugas kesehatan menghadapi tuntutan
malpraktek. Teori-teori itu adalah (Ibid, Amir, Amri, 1997):a.
Teori Kesediaan Untuk Menerima Resiko (Assumption Of Risk) Teori
ini mengatakan bahwa seorang tenaga kesehatan akan terlindung dari
tuntutan malpraktek, bila pasien memberikan izin atau persetujuan
untuk melakukan suatu tindakan medik dan menyatakan bersedia
memikul segala resiko dan bahaya yang mungkin timbul akibat
tindakan medik tersebut. b. Teori Pasien Ikut Berperan Dalam
Kelalaian (Contributory Negligence) Adalah kasus dimana tenaga
kesehatan dan pasien dinyatakan oleh pengadilan sama-sama melakukan
kelalaian. c. Perjanjian Membebaskan Dari Kesalahan (Exculpatory
Contract) Cara lain bagi tenaga kesehatan untuk melindungi diri
dari tuntutan malpraktek adalah dengan mengadakan suatu perjanjian
atau kontrak khusus dengan penderita, yang berjanji tidak akan
menuntut tenaga kesehatan atau rumah sakit bila terjadi misalnya
kelalaian malpraktek. Namun begitu hasilnya sangat tergantung pada
penilaian pengadilan. d. Peraturan Good SamaritanSebagaimana yang
dijelaskan sebelumnya teori ini menyatakan seorang tenaga kesehatan
yang memberikan pertolongan gawat darurat dengan tujuan murni
(setulus hati) pada suatu peristiwa darurat dibebaskan dari
tuntutan hukum malpraktek kecuali jika terdapat indikasi terjadi
suatu kelalaian yang sangat mencolok. e. Pembebasan Atas Tuntutan
(Releas) Yaitu suatu kasus dimana pasien membebaskan tenaga
kesehatan dari seluruh tuntutan malpraktek, dan kedua belah pihak
bersepakat untuk mengadakan penyelesaian bersama. Hal ini hanya
dapat dilaksanakan sepanjang kesalahan tenaga kesehatan tersebut
menyangkut tanggungjawab perdata (masuk kategori hukum perdata),
misalnya wanprestasi, sebab dalam kasus ini hanya melibatkan kedua
belah pihak yang saling mengadakan kontrak atau janji saja. Dalam
hal ini apabila mereka ternyata dapat bersepakat untuk
menyelesaikan bersama dengan damai, itu lebih baik, karena sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai dalam penyelesaian kasus perdata,
yaitu adanya suatu perdamaian antara kedua belah pihak. Oleh karena
itu apabila telah terbukti tenaga kesehatan telah melakukan
malpraktek, maka hukum harus tetap diberlakukan. f. Peraturan
Mengenai Jangka Waktu Boleh Menuntut (Statute Of Limitation)
Menurut teori ini tuntutan malpraktek hanya dapat dilakukan dalam
jangka waktu tertentu, yang biasanya relatif lebih pendek daripada
tuntutan-tuntutan hukum yang lain. g. Workmens Compensation Bila
seorang tenaga kesehatan dan pasien yang terlibat dalam suatu kasus
malpraktek keduanya bekerja pada suatu lembaga atau badan usaha
yang sama, maka pasien tersebut tidak akan memperoleh ganti rugi
dari kasus malpraktek yang dibuat oleh tenaga kesehatan tersebut.
Hal ini disebabkan menurut peraturan workmens compensation, semua
pegawai dan pekerja menerima ganti rugi bagi setiap kecelakaan yang
terjadi di situ, dan tidak menjadi persoalan kesalahan siapa dan
apa sebenarnya penyebab cedera atau luka. Namun tetap saja apabila
tindakan tenaga kesehatan tersebut tidak sesuai dengan standar
profesi, maka teori-teori pembelaan tersebut tidak dapat dijadikan
alasan pembelaan baginya.
2.4 Pandangan oleh undang-undang keperawatanKegawat daruratan
dalam Undang-undang Perawat dimuat dalam Bab V, Bagian ke II,
Tentang Tugas dan Wewenang, pasal 35, yaitu sebagai berikut:1.
Dalam keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama, perawat
dapat melakukan tindakan medis dan pemberian obatsesuai dengan
kompetensinya2. Pertolongan pertama sebagaimana dimaksudkan dalam
pasal 1 bertujuan untuk menyelamatkan nyawa klien dan mencegah
kecacatan lebih lanjut3. Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 merupakan keadaan yang mengancam nyawa atau kecacatan
klien4. Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan
oleh perawat sesuai dengan hasil evaluasi berdasarkan keilmuannya5.
Ketentuan lebih lanjut mengenai keadaan darurat sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 diatur dengan peraturan menteri
BAB IIIKESIMPULAN
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN1