Top Banner

of 46

BAB I. Makalah

Mar 08, 2016

Download

Documents

ayuagustin16

radiologi trauma kepala
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB I

PENDAHULUANTrauma kepala merupakan penyebab utama kematian di berbagai negara di dunia, terutama pada kelompok usia di bawah 40 tahun. Di negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan, frekuensi trauma kepala cenderung makin meningkat.1Trauma kepala didefiniskan sebagai trauma non degeneratif-non kongenital yang terjadi akibat trauma yang mencederai kepala yang kemungkinan berakibat gangguan kognitif, fisik, dan psikososial baik sementara atau permanen yang berhubungan dengan berkurang atau berubahnya derajat kesadaran. Mekanisme dari cedera kepala itu sendiri dapat berasal dari cedera langsung ke jaringan otak, rudapaksa luar yang mengenai bagian luar kepala (tengkorak) yang menjalar ke dalam otak, ataupun pergerakan dari jaringan otak di dalam tengkorak.1Trauma kepala berperan pada kematian akibat trauma, mengingat kepala merupakan bagian yang rentan dan sering terlibat dalam kecelakaan. Laki-laki 2 3 kali lebih sering dibandingkan wanita, terutama pada kelompok usia resiko tinggi (usia 15 24 tahun dan >75 tahun). Berdasarkan studi epidemiologi, kecelakaan sepeda motor dan violence-related injuries merupakan penyebab trauma kepala yang paling sering.1Pasien dengan trauma kepala memerlukan penegakan diagnosis sedini mungkin agar tindakan terapi dapat segera dilakukan untuk menghasilkan prognosa yang baik. Peranan diagnosa imajing juga diperlukan terutama pada pasien dengan tingkat resiko sedang-berat. Tujuan utama dari pemeriksaan imajing pada pasien trauma kepala adalah untuk mengkonfirmasi adakah cedera intrakranial yang berpotensi mengancam jiwa pasien bila tidak segera dilakukan tindakan.1Hadirnya modalitas imajing seperti CT scan telah merevolusi cara mengevaluasi diagnosa trauma kepala. Penelitian menunjukkan tindakan operasi pada trauma kepala berat dalam rentang waktu 4 jam pertama setelah kejadian, dapat menyelamatkan kurang lebih 70% pasien. Sebaliknya, tingkat mortalitas dapat naik sampai 90% bila tindakan intervensi dilakukan lebih dari 4 jam. Penegakan diagnosa trauma kepala diperoleh dengan pemeriksaan klinis awal yang diteliti dan tentu ditunjang oleh diagnosa imajing.1Fraktur maksila sendiri sebagai bagian dari trauma maxillofacial cukup sering ditemukan, walaupun lebih jarang dibandingkan dengan fraktur mandibula. Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab tersering fraktur maksila maupun fraktur wajah lainnya. Pada fraktur maksila juga dapat muncul berbagai komplikasi yang cukup berat, dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat mengakibatkan kecacatan dan kematian.2Trauma maxillofacial cukup sering terjadi. Hampir semua dokter baik itu dokter umum maupun dokter spesialis bedah mendapatkan pasien trauma wajah selama praktiknya. Dokter bedah plastik yang memiliki keahlian khusus dalam anatomi wajah, latar belakang estetika, dan keahlian dalam penyembuhan luka sering kali mendapatkan rujukan untuk menangani pasien trauma wajah.3Fraktur maksila juga dapat terjadi pada anak-anak, dengan peningkatan prevalensi seiring dengan meningkatnya usia anak terkait dengan peningkatan aktivitas fisik. Fraktur maksila pada anak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan orang dewasa baik itu dari segi pola, maupun treatment. Dengan demikian, adanya fraktur maxillofacial harus dapat didiagnosis dan ditangani dengan tepat dan akurat untuk menghindari gangguan pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya, mengingat adanya gangguan fungsional dan masalah estetika yang mungkin terjadi. 4BAB IITRAUMA KEPALAII.1. Anatomi Fisiologi Kepala dan BagiannyaII.1.1Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar, dan pericranium.5II.1.2Tulang Tengkorak

Anatomi normal tengkorak ditunjukkan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Masalah yang paling umum pada foto tengkorak polos adalah membedakan sutura tengkorak dari alur pembuluh darah dan fraktur. Sutura utama adalah koronal, sagital, dan lambdoid. Sebuah sutura juga berjalan dalam bentuk pelangi di atas telinga. Pada orang dewasa, sutura berbentuk simetris dan memiliki tepi yang sklerotik (sangat putih). Alur vaskular biasanya terlihat pada tampilan lateral dan meluas pada sisi posterior dan superior dari hanya di depan telinga. Alur vaskular tersebut merupakan gambaran dari Arteri Meningea Media, yang mana jika terjadi trauma kepala dapat menyebabkan arteri ini pecah, sehingga dapat menyebabkan terjadinya perdarahan epidural.5

Gambar 1.a Foto Polos Kepala dari Proyeksi Lateral.6

Gambar 1.b. Skematik Foto Polos Kepala Proyeksi Lateral (A) dan AP (B). 6

Gambar 2. Vaskularisasi pada Tulang Tengkorak.5II.1.3 Meningia

Gambar 3. Potongan Melintang Tulang Tengkorak dan Meningen.5Meningia merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang. Fungsi meningia yaitu melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil benturan atau getaran. Meningiaterdiri atas 3 lapisan, yaitu :a. Duramater (Lapisan sebelah luar)

Duramater adalah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan duramater propia di bagian dalam. Duramater pada tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior yang terletak diantara kedua hemisfer otak.5b. Arachnoid (Lapisan tengah)

Arachnoid adalah membran impermeabel halus yang meliputi otak dan terletak diantara piamater di sebelah dalam dan duramater di sebelah luar. Ruang sub arachnoid pada bagian bawah serebelum merupakan ruangan yang agak besar disebut sistermagna.5c. Piamater (Lapisan sebelah dalam)

Piamater merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak. Piameter berhubungan dengan arachnoid melalui struktur jaringan ikat. 5II.1.4Otak

Otak merupakan suatu organ tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat dari semua organ tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam rongga tengkorak (kranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Otak terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan batang otak (Trunkus serebri). Besar otak orang dewasa kira-kira 1300 gram, 7/8 bagian berat terdiri dari otak besar. 5

Gambar 4. Bagian Utama dari Otak.5a. Otak besar (cerebrum)

Otak besar adalah bagian terbesar dari otak dan terdiri dari dua hemispherium cerebri yang dihubungkan oleh massa substansia alba yang disebut corpus callosum. Setiap hemisfer terbentang dari os frontale sampai ke os occipitale, diatas fossa cranii anterior, media, dan posterior, diatas tentorium cerebelli. Hemisfer dipisahkan oleh sebuah celah dalam, yaitu fossa longitudinalis cerebri, tempat menonjolnya falx cerebri.5Otak mempunyai 2 permukaan, permukaan atas dan permukaan bawah. Kedua lapisan ini dilapisi oleh lapisan kelabu (substansia grisea) yaitu pada bagian korteks serebral dan substansia alba yang terdapat pada bagian dalam yang mengandung serabut saraf. Fungsi otak besar yaitu sebagai pusat berpikir (kepandaian), kecerdasan dan kehendak. Selain itu otak besar juga mengendalikan semua kegiatan yang disadari seperti bergerak, mendengar, melihat, berbicara, berpikir dan lain sebagainya.5b. Otak kecil (cerebellum)

Otak kecil terletak dibawah otak besar. Terdiri dari dua belahan yang dihubungkan oleh jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan pada kedua belahan dan menyampaikan rangsangan dari bagian lain. Fungsi otak kecil adalah untuk mengatur keseimbangan tubuh serta mengkoordinasikan kerja otot ketika bergerak.5c. Batang Otak (Trunkus serebri)

Batang otak terdiri dari :

1. Diensefalon

Bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebellum dengan mesensefalon, kumpulan dari sel saraf yang terdapat dibagian depan lobus temporalis terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap kesamping. Diensefalon ini berperan dalam proses vasokonstriksi (memperkecil pembuluh darah), respiratorik (membantu proses pernafasan), mengontrol kegiatan refleks, dan membantu pekerjaan jantung.5 2. Mesensefalon

Atap dari mesensefalon terdiri dari empat bagian yang menonjol ke atas, dua di sebelah atas disebut korpus kuadrigeminus superior dan dua disebelah bawah disebut korpus kuadrigeminus inferior. Mesensefalon ini berfungsi sebagai pusat pergerakan mata, mengangkat kelopak mata, dan memutar mata.53. Pons varoliPons varoli merupakan bagian tengah batang otak dan arena itu memiliki jalur lintas naik dan turun seperti otak tengah. Selain itu terdapat banyak serabut yang berjalan menyilang menghubungkan kedua lobus cerebellum dan menghubungkan cerebellum dengan korteks serebri.54. Medula Oblongata

Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang menghubungkan pons varoli dengan medulla spinalis. Medulla oblongata memiliki fungsi yang sama dengan diensefalon.5II.1.5 Cairan Serebrospinal

Cairan serebrospinal adalah hasil sekresi plexus khoroid. Cairan ini bersifat alkali, bening mirip plasma dengan tekanannya 60-140 mmH2O. Sirkulasi cairan serebrospinal yaitu cairan ini disalurkan oleh plexus khoroid ke dalam ventrikel-ventrikel yang ada di dalam otak. Cairan itu masuk ke dalam kanalis sentralis sumsum tulang belakang dan juga ke dalam ruang subaraknoid melalui celah-celah yang terdapat pada ventrikel keempat. Setelah itu cairan ini dapat melintasi ruangan di atas seluruh permukaan otak dan sumsum tulang belakang hingga akhirnya kembali ke sirkulasi vena melalui granulasi araknoid pada sinus sagitalis superior. Oleh karena susunan ini maka bagian saraf otak dan sumsum tulang belakang yang sangat halus terletak diantara dua lapisan cairan. Dengan adanya kedua bantalan air ini maka sistem persarafan terlindungi dengan baik. Cairan serebrospinal ini berfungsi sebagai buffer, melindungi otak dan sumsum tulang belakang dan menghantarkan makanan ke jaringan sistem persarafan pusat. 5II.1.6Tekanan Intra Kranial (TIK)

Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu perfusi otak dan akan memacu terjadinya iskemia. Tekanan intrakranial normal pada saat istirahat adalah 10 mmHg. Tekanan intrakranial yang lebih dari 20 mmHg khususnya bila berkepanjangan dan sulit diturunkan akan menyebabkan hasil yang buruk kepada penderita.5Doktrin Monro-Kellie

Doktrin Monro-Kellie adalah suatu konsep sederhana namun penting sekali dapat menerangkan pengertian dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume total intrakranial harus selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin membesar. Oleh karena itu segera setelah cedera kepala, suatu massa perdarahan dapat membesar sementara tekanan intrakranial masih tetap normal. Namun bila batas penggeseran cairan serebrospinal dan darah intravaskuler terlampaui maka tekanan intrakranial akan mendadak meningkat dengan cepat.7Doktrin Monro-Kellie(kompensasi intrakranial terhadap massa yang berkembang):

Votak + VCSS + Vdarah + Vmassa = Konstan

Dalam Doktrin Monro-Kellie, dijelaskan bahwa volume isi intrakranial akan selalu konstan. Bila terdapat penambahan massa seperti adanya hematoma akan menyebabkan tergesernya CSS dan darah vena keluar dari ruang intrakranial dengan volume yang sama, TIK akan tetap normal. Namun bila mekanisme kompensasi ini terlampaui maka kenaikan jumlah massa yang sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK yang tajam. 7Kurva Volume-Tekanan menjelaskan bahwa isi intrakranial dapat mengkompenasi sejumlah massa baru intrakranial, seperti perdarahan subdural atau epidural sampai pada titik tertentu. Bila volume masa perdarahan ini telah mencapai 100-150 ml, akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang sangat cepat dan akan menyebabkan penghentian aliran otak. 7II.2Trauma KepalaII.2.1Definisi

Trauma kepala atau trauma kepala adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak.8 Menurut Brain Injury Association of America, trauma kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.7II.2.2Patofisiologi

Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala. Lesi jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri. Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada tiga jenis keadaan yaitu, kepala diam dibentur benda yang bergerak, kepala yang bergerak membentur benda yang diam, dan kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain dibentur oleh benda yang bergerak. 7

Dalam mekanisme trauma kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup. Contre coup dan coup pada trauma kepala dapat terjadi kapan saja pada orang orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Trauma kepala pada coup disebabkan hantaman otak bagian dalam pada sisi yang terkena sedangkan contre coup pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan.7

Berdasarkan patofisiologinya trauma kepala dibagi menjadi trauma kepala primer dan trauma kepala sekunder. Trauma kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera, dan ini merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal. 7

Trauma kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari trauma kepala primer dan lebih merupakan fenomena metabolik. Pada penderita trauma kepala berat, pencegahan trauma kepala sekunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan penderita. Penyebab trauma kepala sekunder antara lain penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo atau hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intrakranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi.7II.2.3Tingkat Keparahan Trauma kepala dengan Skala Koma Glasgow (SKG) Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma kepala, gangguan kesadaran dinilai secara kuantitatif pada setiap tingkat kesadaran. Bagian-bagian yang dinilai adalah: 1. Proses membuka mata (Eye Opening)

2. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)

3. Reaksi bicara (Best Verbal Response)

Pemeriksaan tingkat keparahan trauma kepala disimpulkan dalam suatu tabel Skala Koma Glasgow (SKG). 7Tabel 1. Skala Koma Glasgow7Eye Opening(E)

Mata terbuka dengan spontan

4

Mata membuka setelah diperintah3

Mata membuka setelah diberi rangsang nyeri2

Tidak membuka mata1

Best Motor Response (M)

Menurut perintah 6

Dapat melokalisir nyeri 5

Menghindari nyeri 4

Fleksi (dekortikasi) 3

Ekstensi (decerebrasi) 2

Tidak ada gerakan 1

Best Verbal Response (V)

Menjawab pertanyaan dengan benar 5

Salah menjawab pertanyaan 4

Mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai 3

Mengeluarkan suara yang tidak ada artinya 2

Tidak ada jawaban 1

Berdasarkan Skala Koma Glasgow, trauma kepala dibagi atas:

1. Trauma kepala Ringan

Trauma kepala ringan adalah trauma kepala dengan SKG 14-15 dimana tidak dijumpai keadaan hilangnya kesadaran (< 30 menit), pasien dapat mengeluh pusing dan nyeri kepala, pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala serta tidak adanya kriteria cedera sedang-berat. 72. Trauma kepala Sedang

Trauma kepala sedang adalah trauma kepala dengan SKG 9-13. Pasien mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana. Dapat dijumpai konkusi, amnesia pasca-trauma, muntah, kejang serta tanda kemungkinan fraktur kranium (Battle sign, mata rabun, otorea, atau rinorea cairan serebrospinal). 73.Trauma kepala Berat

Trauma kepala berat adalah trauma kepala dengan SKG 3-8 dimana terdapat penurunan derajat kesadaran secara progresif (koma). Pada keadaan ini dapat dijumpai tanda neurologis fokal, serta trauma kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium. Hampir 100% trauma kepala berat dan 66% trauma kepala sedang menyebabkan cacat yang permanen. Pada trauma kepala berat terjadinya cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder apabila proses patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan dihentikan.7II.2.4Fraktur Tulang KepalaFraktur tulang kepala atau tengkorak dapat terjadi pada atap maupun dasar tengkorak, dapat berbentuk garis atau bintang, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan kita untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eyes sign), ekimosis retroaurikular (battles sign), kebocoran cairan serebrospinal dari hidung (rhinorrhea) atau dari telinga (otorrhea) dan gangguan fungsi saraf kranialis VII (fasialis) dan VII (gangguan pendengaran) yang mungkin timbul segera atau beberapa hari paska trauma kepala.7II.2.5Perdarahan IntrakranialII.2.5.1 Perdarahan Subgaleal

Subgaleal hematoma adalah perdarahan antara periosteum dan galea aponeurosis. Sebagian besar terjadi karena tindakan vaccum pada saat persalinan (ventouse assisted delivery), dimana terjadi ruptur pada vena emissary (penghubung antara dural sinus dan vena scalp) yang menyebabkan akumulasi darah dibawah aponeurosis dan di permukaan periosteum. Subgaleal hematoma juga sering terjadi pada trauma kepala, perdarahan intrakranial, atau fraktur tengkorak. Hal-hal tersebut tidak berhubungan secara signifikan dengan tingkat keparahan perdarahan subgaleal.7II.2.5.2 Perdarahan Epidural Perdarahan epidural adalah perdarahan antara tulang kranial dan duramater, yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media. Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru setetelah hematoma bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami mual dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin menurun (biasanya somnolen), disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontralateral.7II.2.5.3 Perdarahan Subdural Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terletak diantara duramater dan arakhnoid. Perdarahan subdural merupakan perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi. Karakteristik perdarahan subdural biasanya dibagi berdasarkan ukuran, lokasi dan lama kejadian.7a. Perdarahan subdural akut

Secara umum perdarahan subdural akut terjadi dibawah 72 jam dan biasanya pasien dalam keadaan koma. Gejala klinis perdarahan subdural akut dapat berupa pusing, mual, bingung, penurunan kesadaran, sulit berbicara, henti napas dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.7b. Perdarahan subdural subakut

Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi dari hari ketiga hingga minggu ketiga setelah cedera.7c. Perdarahan subdural kronis

Perdarahan subdural kronis biasanya terjadi setelah 21 hari atau lebih. 25 hingga 50 persen dari pasien yang menderita perdarahan subdural kronis tidak memiliki riwayat trauma kepala, biasanya trauma kepala yang terjadi adalah trauma kepala ringan. Gejala klinis dari perdarahan ini dapat berupa penurunan kesadaran, pusing, kesulitan berjalan atau keseimbangan, disfungsi kognitif atau hilang ingatan, perubahan kepribadian, defisit motorik, kejang, dan inkontinensia.7

II.2.5.4 Perdarahan SubarachnoidPerdarahan subarachnoid adalah ekstravasasi darah ke dalam rongga subaraknoid yang terdapat di antara lapisan piamater dan membran araknoid. Etiologi yang paling sering dari perdarahan subaraknoid non traumatik adalah pecahnya aneurisma intrakranial (berry aneurism). Gejala klinisnya biasanya tampak sepuluh hingga dua puluh hari setelah terjadinya ruptur. Gejala yang paling sering berupa sakit kepala, nyeri daerah orbital, diplopia, gangguan penglihatan, gangguan sensorik dan motorik, kejang, ptosis, disfasia.7II.2.5.5 Perdarahan Intraventrikular Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak. Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral.7II.2.5.6 Perdarahan IntraserebralPerdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak yang semakin lama semakin banyak dan menimbulkan tekanan pada jaringan otak sekitar. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan konfusi dan letargi. Gejala klinis biasanya timbul dengan cepat bergantung pada lokasi perdarahan. Gejala yang paling sering adalah sakit kepala, nausea, muntah, letargi atau konfusi, kelemahan mendadak atau kebas pada wajah, tangan atau kaki yang biasanya pada satu sisi, hilangnya kesadaran, hilang penglihatan sementara, dan kejang.7BAB III

INTERPRETASI RADIOLOGIS PADA TRAUMA KEPALA

III.1Indikasi Pemeriksaan Radiologis

Tidak semua pasien dengan cedera kepala membutuhkan pemeriksaan neuroradiologis. Penelitian menunjukkan bahwa kurang dari 10% pasien dengan cedera kepala ringan ternyata memiliki hasil yang positif pada pemeriksaan CT scan, dimana kurang dari 1% yang membutuhkan intervensi. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada sejumlah kecil pasien yang diuntungkan dengan pencitraan radiologis.6Pasien harus diperiksa secara klinis dan diagnosis dibuat berdasarkan apakah pada pemeriksaan fisik dan riwayat perjalanan penyakit menunjukkan cedera kepala sedang hingga berat atau cedera kepala ringan. CT, MRI, atau radiografi tengkorak tidak diperlukan untuk pasien berisiko rendah. Risiko rendah didefinisikan sebagai mereka yang tidak menunjukkan gejala atau hanya pusing, sakit kepala ringan, kulit kepala lecet, atau hematoma, usia lebih dari 2 tahun, dan tidak memiliki temuan yang berisiko sedang ataupun tinggi.6Pasien dengan resiko sedang adalah mereka yang memiliki salah satu kondisi berikut: riwayat penurunan tingkat kesadaran beberapa waktu ataupun setelah terjadi cedera kepala, sakit kepala berat atau progresif, kejang pasca-trauma, muntah terus menerus, multipel trauma, cedera wajah yang serius, tanda-tanda dari fraktur tengkorak basilar (hemotympanum, raccoon eyes, rinorrea atau otorrea), dugaan kekerasan pada anak, gangguan perdarahan, atau usia lebih muda dari 2 tahun.9Pasien berisiko tinggi adalah mereka dengan salah satu kondisi berikut: temuan neurologis fokal, pasien dengan derajat kesadaran berdasarkan GCS dengan skor 8 atau kurang, dipastikannya terdapat penetrasi tengkorak, gangguan metabolik, keadaan postictal, atau penurunan atau depresi tingkat kesadaran (tidak berhubungan dengan narkoba, alkohol , atau obat-obatan depresan pada system saraf pusat lainnya). Jika terdapat cedera sedang atau berat dan pasien dengan kondisi neurologis yang tidak stabil, CT scan harus dilakukan untuk menyingkirkan adanya hematoma. Jika pasien dengan kondisi neurologis yang stabil, MR scan lebih digunakan untuk mencari cedera dengan penekanan parenkim. Dalam cedera kepala ringan (tanpa kehilangan kesadaran atau defisit neurologis), pasien dapat hanya diobservasi. Jika sakit kepala terus-menerus terjadi setelah trauma, CT scan harus dilakukan.9III.2Foto Polos Kepala

Foto polos kepala hanya menunjukkan ada tidaknya patah tulang, dan tidak mampu menghasilkan visibilitas yang baik pada otak atau adanya darah untuk menunjukkan cedera intrakranial. Adanya patah tulang tengkorak tanpa kelainan neurologis tidak begitu signifikan. Patah tulang tengkorak yang ditentukan berdasarkan pemeriksaan foto polos kepala pada pasien dengan cedera kepala ringan telah dilaporkan dengan angka sangat rendah, mulai dari 1,9% hingga 4,3%. Patah tulang tengkorak tidak selalu berarti cedera intrakranial yang signifikan, meskipun tidak adanya patah tulang tengkorak, pasien dapat memiliki kelainan patologis yang signifikan pada intrakranialnya. 6Foto polos kepala sangat membantu pada pasien yang dicurigai tidak cedera akibat kecelakaan, patah tulang tengkorak depresi, cedera kepala akibat penetrasi oleh benda asing, atau trauma kepala pada anak-anak kurang dari 2 tahun,walaupun tanpa gejala neurologis. 6 III.2.1 Fraktur pada Tulang Tengkorak

Pemeriksaan foto polos kepala untuk melihat pergeseran (displacement) fraktur tulang tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial. Fraktur pada tengkorak dapat berupa fraktur impresi (depressed fracture), fraktur linear, dan fraktur diastasis (traumatic suture separation). Fraktur impresi biasanya disertai kerusakan jaringan otak dan pada foto terlihat sebagai garis atau dua garis sejajar dengan densitas tinggi pada tulang tengkorak (Gambar 9.a). Fraktur linear harus dibedakan dari gambaran pembuluh darah normal atau dengan garis sutura interna, yang tidak bergerigi seperti sutura eksterna. Garis sutura interna bersifat superimposisi pada sutura yang bergerigi, sedangkan fraktur akan menyimpang dari itu di beberapa titik. Selain itu, pada foto polos kepala, fraktur ini terlihat sebagai garis radiolusen, paling sering di daerah parietal (Gambar 9.a). Garis fraktur biasanya lebih radiolusen daripada pembuluh darah dan arahnya tidak teratur. Fraktur diastasis lebih sering pada anak-anak dan terkihat sebagai pelebaran sutura (Gambar 9.a).7

Gambar 5. Gambaran Fraktur Impresi (kiri), Fraktur Linear (tengah), dan Fraktur Diastasis (kanan) pada Foto Polos Kepala.6A. Mastoid

Tulang temporal merupakan bagian paling kompleks dari keseluruhan struktur tubuh kita. Pemeriksaan gangguan pada tulang temporal secara konvensional masih berlaku di seluruh dunia.10CT dan MRI saat ini sudah menjadi salah satu metode pencitraan radiologi untuk sebagian besar penyakit pada telinga dan bila ada kerusakan pada tukang temporal. Pada penyakit pengikisan tulang, seperti otitis media kronik dengan kolesteatom, CT dengan pengaturan jendela tertentu akan memberikan sumber informasi yang akurat. CT dengan penggunaan cairan kontras yang disuntikan pada vena telah digunakan secara terus menerus pada pemeriksaan cerebellopontine angle masses. Peralatan pencitraan lain untuk tulang temporal ini meliputi superlatif angiography.10Ada tiga jenis proyeksi radiologik yang paling sering dan cukup bermamfaat serta dapat mudah dibuat dengan memakai alat rontgen yang tidak terlalu besar untuk menilai tulang temporal, yaitu:

1. Posisi Schuller

Posisi ini menggambarkan penampakan lateral dari mastoid. Pada posisi ini perluasan pneumatisasi mastoid serta struktur trabekulasi dapat tampak dengan lebih jelas. Posisi ini juga memberikan informasi dasar tentang besarnya kanalis auditorius ekterna.11

Gambar 6. Posisi Schuller112. Posisi OwenPosisi ini juga menggambarkan penampakan lateral mastoid. Umumnya posisi owen dibuat untuk memperlihatkan kanalis auditorius eksternus, epitimpanikum, bagian-bagian tulang pendengaran, dan sel udara mastoid. 11

Gambar 7. Posisi Owen113. Posisi Chausse III

Posisi ini merupakan penampakan frontal mastoid dan ruang telingan tengah. Posisi ini merupakan posisi tambahan setelah pemeriksaan posisi lateral mastoid. Posisi ini merupakan posisi radiologik konvensional yang paling baik untuk pemeriksaan telinga tengah terutama untuk pemeriksaan otitis kronik dan kolesteatom.11

Gambar 8. Posisi Chausse III11Mastoiditis akut Gambaran dini mastoid akut adalah perselubungan ruang telinga tengah dan sel udara mastoid, bila proses inflamasi terus berlanjut akan terjadi perselubungan yang difus pada kedua daerah tersebut. Pada masa permulaan infeksi biasanya strukrur trabekula dan dan sel udara mastoid masih utuh, tapi kadang-kadang dengan adanya edema mukosa dan penumpukan cairan seropurulen, maka terjadi kekaburan penampakan trabekulasi sel udara mastoid. Bersama dengan progesifitas infeksi, maka akan terjadi demineralisasi diikuti dengan dekstruksi trabekula dimana pada proses mastoid yang hebat akan terjadi penyebaran kearah posterior menyebabkan tromboplebitis kearah posterior.11Jika terjadi komplikasi intrakranial pada daerah fosa kranii posterior atau media, maka pemeriksaan CT merupakan pemeriksaan terpilih untuk mendeteksi hal tersebut dimana pada pemeriksaan CT dapat ditemui defek tulang dengan lesi intrakanial.11

Gambar 9. Mastoiditis Akut.11Mastoiditis Kronik Gambaran radiologik pada mastoiditis kronik terdiri atas perselubungan yang tidak homogen pada daerah antrum mastoid dan sel udara mastoid, serta perubahan yang bervariasi pada struktur trabekulasi mastoid. Proses inflamasi pada mastoid akan menyebabkan penebalan struktur trabekulasi diikuti demineralisasi trabekula, pada saat ini yang tampak pada foto adalah perselubungan sel udara mastoid dan jumlah sel udara yang berkurang serta struktur trabekula yang tersisa tampak menebal.11Jika proses inflamasi terus berlangsung, maka akan terlihat obliterasi sel udara mastoid dan biasanya mastoid akan terlihat sklerotik. Kadang-kadang lumen antrum mastoidikum dan sisa sel udara mastoid akan terisi jaringan granulasi sehingga pada foto akan terlihat pula sebagai perselubungan.11

Gambar 10. Mastoiditis Kronik.11B. Sinus Paranasal

Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang dikelilingi oleh tulang yang tidak dapat terakses secara langsung oleh pemeriksaan klinikal semata, kecuali dengan meningkatkan penemuan teleskop. Secara tradisional, film konvensional merupakan pilihan pencitraan terbaik pada pemeriksaan paranasal sinus. Akan tetapi, secara perlahan CT mulai menggantikan pencitraan konvensional ini sebagai peralatan utamanya.9MRI merupakan metode pencitraan yang paling baik pada pemeriksaan sekitar dan komplikasi intrakranial dari penyakit radang sinus. Dibandingkan dengan CT, MRI lebih mampu memberikan visualisasi yang lebih baik bagi jaringan lunak, tapi tidak dapat dengan mudah menunjukan bagian yang terdapat batas cortical air-bone. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa CT masih menempati urutan prioritas pada pencitraaan paranasal sinus ini.10Pada pasien-pasien dengan keluhan klinis khas yang mengarah pada dugaan adanya sinusitis, antara lain pilek, nyeri kepala, nafas berbau, atau kelainan-kelainan lain pada sinus paranasal misalnya mukokel, pembentukan cairan dalam sinus-sinus, atau tumor, trauma sekitar sinus paranasal, diperlukan informasi mengenai keadaan sinus tersebut.9Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk mengevaluasi sinus paranasal adalah:

- Pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas

- Pemeriksaan tomogram

- Pemeriksaan CT-Scan

Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli radiologi dapat memberikan gambran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan patologis pada sinus paranasal dan struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan diagnosis yang lebih dini.9Pemeriksaan Foto kepala

Pemeriksaan foto polos kepala adalah pemeriksaan yang paling baik dan paling utama untuk mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-unsur tulang dan jaringan lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal.kelainan jaringan lunak, erosi tulang kadang sulit di evaluasi. Pemeriksaan ini dari sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal.9

Semua pemeriksaan harus dilakukan dengan proteksi radiasi yang baik, arah sinar yang cukup teliti dan digunakan fokal spot yang kecil. Posisi pasien yang paling baik adalah posisi duduk. Apabila dilakukan pada posisi tiduran, paling tidak posisi Waters dilakukan pada posisi duduk. Diusahakan untuk memperoleh hasil yang dapat mengevaluasi adanya air fluid level dalam sinus- sinus. Apabila pasien tidak dapat duduk, dianjurkan untuk melakukan foto lateral dengan film diletakkan pada posisi kontralateral dengan sinar X horizontal. 5

Pemeriksaan kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas berbagai macam posisi, antara lain:

a. Foto kepala posisi anterior-posterior ( posisi Caldwell)

Foto ini diambil pada posisi kepala menghadap kaset, bidang midsagital kepala tegak lurus pada film.5 Posisi ini didapat dengan meletakan hidungdan dahi diatas meja sedemikian rupa sehingga garis orbito-meatal (yang menghubungkan kantus lateralis mata dengan batas superior kanalis auditorius eksterna) tegak lurus terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah 15 derajat kraniokaudal dengan titik keluarnya nasion.12

Gambar 11.a Gambaran posisi Caldwell.13

Gambar 11.b Foto Caldwell.9b. Foto kepala lateral

Foto lateral kepala dilakukan dengan kaset terletah sebelah lateral dengan sentrasi diluar kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksila berhimpit satu sama lain.14

Gambar 12. Gambaran posisi lateral.13c. Foto kepala posisi WatersPosisi ini yang paling sering digunakan. Pada foto waters, secara ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maksilaris. Maksud dari posisi ini adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah antrum maksila sehingga kedua sinus maksilaris dapat dievaluasi seluruhnya. Hal ini didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus medial mata dan tragus membentuk sudut lebih kurang 37 derajat dengan film. Foto waters umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat menilai daerah dinding posterior sinus sphenoid dengan baik.9

Gambar 13.a Gambaran posisi waters.13

Gambar 13.b Foto Waters.9

Gambar 13.c Rontgen posisi waters dengan mulut terbuka.9d. Foto kepala posisi SubmentoverteksPosisi submentoverteks diambil dengan meletakkan film pada verteks, kepala pasien menengadah sehingga garis infraorbito meatal sejajar dengan film. Sentrasi tegak lurus kaset dalam bidang midsagital melalui sella tursika ke arah verteks. Banyak variasu-variasi sudut sentrasi pada posisi submentoverteks, agar supaya mendapatkan gambaran yang baik pada beberapa bagian basis kranii, khususnya sinus frontalis dan dinding posterior sinus maksilaris.9

Gambar 14.a Gambaran posisi Submentoverteks.9

Gambar 14.b Foto kepala posisi Submentoverteks.9e. Foto Rhese Posisi rhese atau oblik dapat mengevaluasi bagian posterior sinus etmoid, kanalis optikus dan lantai dasar orbita sisi lain.9

Gambar 15. Foto Rhese.9f. Foto proyeksi TownePosisi towne diambil denga berbagai variasi sudut angulasi antara 30-60 ke arah garis orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-kira 8 cm di atas glabela dari foto polos kepala dalam bidang midsagital. Proyeksi ini adalah posisi yang paling baik untuk menganalisis dinding posterior sinus maksilaris, fisura orbita inferior, kondilus mandibularis, dan arkus zigomatikus posterior.9

Gambar 16. Foto proyeksi Towne.9III.3 CT scan (Computerized Tomography, CT) Kepala

III.3.1Indikasi CT scan pada Trauma KepalaDengan CT scanisi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma kepala, fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya. Indikasi pemeriksaan CT scanpada kasus trauma kepala adalah seperti berikut:1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.

2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.

3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.

4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran.

5. Sakit kepala yang hebat.

6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak.

7. Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.

Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat seluruh struktur anatomis kepala, dan merupakan alat yang paling baik untuk mengetahui, menentukan lokasi dan ukuran dari perdarahan intrakranial.9III.3.2Interpretasi Gambaran CT Scan pada Trauma Kepala

III.3.2.1 Fraktur Tulang Kepala

Fraktur pada dasar tengkorak seringkali sukar dilihat. Fraktur dasar tengkorak (basis kranii) biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan teknik Jendela Tulang (bone window) untuk mengidentifikasi garis frakturnya. Fraktur dasar tengkorak yang melintang kanalis karotikus dapat mencederai arteri karotis (diseksi, pseuoaneurisma ataupun trombosis) perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan angiography cerebral.9

Gambar 17. Gambaran Fraktur Basis Kranii pada CT Scan Kepala.9Pada Gambar 10, memperlihatkan gambaran fraktur tulang temporal petrous kiri, yang melibatkan telinga tengah (panah kecil). Dapat dilihat juga adanya gambaran sedikit udara pada fossa posterior dari tulang tengkorak (panah terbuka).9III.3.2.2 Perdarahan EpiduralHematoma epidural didefinisikan sebagai perdarahan ke dalam ruang antara duramater, yang tidak dapat dipisahkan dari periosteumtengkorak dan tulang yang berdekatan.9Hematoma epidural biasanya dapat dibedakan dari hematoma subdural dengan bentuk bikonveks dibandingkan dengan crescent-shape dari hematoma subdural. Selain itu, tidak seperti hematoma subdural, hematoma epidural biasanya tidak melewati sutura. Hematoma epidural sangat sulit dibedakan dengan hematoma subdural jika ukurannya kecil. Dengan bentuk bikonveks yang khas,elips, gambaran CT scan padahematoma epidural tergantung pada sumber perdarahan, waktu berlalu sejak cedera, dan tingkat keparahan perdarahan. Karena dibutuhkan diagnosis yang akurat dan perawatan yang cepat, diperlukan pemeriksaan CT scan dengan cepat dan intervensi bedah saraf.9Pada Gambar 11, pasien mengalami kecelakaan kendaraan bermotor, terlihat peningkatan kepadatan (hiperdens) di daerah lenticular pada CT Scan aksial non kontras di wilayah parietalis kanan. Ini biasanya terjadi akibat pecahnya arteri meningeal media. Sedikit perdarahan juga terlihat di lobus frontal kiri (perdarahan intraserebral).9

Gambar 18. Gambaran Perdarahan Epidural pada CT Scan Kepala Non-kontras.9III.3.2.3 Perdarahan SubduralSebelum CT scan dan teknologi pencitraan magnetik (MRI), hematoma subdural didiagnosis hanya berdasarkan efek massa, yang digambarkan sebagai perpindahan dari pembuluh darah pada angiogram atau sebagai kalsifikasi kelenjar hipofisis pada foto polos kepala. Munculnya CT scan dan MRI telah menjadi pilihan diagnosik rutin bahkan untuk perdarahan kecil.9Temuan CT scan dalam hematoma subdural tergantung pada lamanya perdarahan (Gambar 11).9Pada fase akut, hematoma subdural muncul berbentuk bulan sabit, ketika cukup besar, hematoma subdural menyebabkan pergeseran garis tengah. Pergeseran dari gray matter-white matter junction merupakan tanda penting yang menunjukkan adanya lesi.7

Gambar 19. Gambaran Perdarahan Subdural pada CT Scan.9Jika ditemukan hematoma subdural pada CT scan, penting untuk memeriksa adanya cedera terkait lainnya, seperti patah tulang tengkorak (Gambar 14), kontusio intra parenkimal, dan darah pada subaraknoid (Gambar 14). Adanya cedera parenkim pada pasien dengan hematoma subdural adalah faktor yang paling penting dalam memprediksi hasil klinis mereka.9

Gambar 20. Gambaran Perdarahan Subdural dengan Fraktur Tengkorak (kiri) dan Perdarahan Subdural disertai Perdarahan Subarakhnoid (kanan).9III.3.2.4 Perdarahan Subaraknoid

Pada CT scan, perdarahan subaraknoid (SAH) terlihat mengisi ruangan subaraknoid yang biasanya terlihat gelap dan terisi CSF di sekitar otak. Rongga subaraknoid yang biasanya hitam mungkin tampak putih di perdarahan akut. Temuan ini paling jelas terlihat dalam rongga subaraknoid yang besar.9

Gambar 21. Gambaran Perdarahan Subarakhnoid pada CT Scan Kepala.9Ketika CT scan dilakukan beberapa hari atau minggu setelah perdarahan awal, temuan akan tampak lebih halus. Gambaran putih darah dan bekuan cenderung menurun, dan tampak sebagai abu-abu. Sebagai tambahan dalam mendeteksi SAH, CT scan berguna untuk melokalisir sumber perdarahan.9III.3.2.5 Perdarahan IntraserebralPerdarahan intraserebral biasanya disebabkan oleh trauma terhadap pembuluh darah, timbul hematoma intraparenkim dalam waktu -6 jam setelah terjadinya trauma. Hematoma ini bisa timbul pada area kontralateral trauma. Pada CT scan sesudah beberapa jam akan tampak daerah hematoma (hiperdens), dengan tepi yang tidak rata.9

Gambar 22. Gambaran Perdarahan Intraserebral pada CT Scan Kepala.9III.3.2.6 Perdarahan Intraventrikular

Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak. Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral (Gambar 18).Pada perdarahan intraventrikular akan terlihat peningkatan densitas dari gambaran CT scan kepala. Jika terlambat ditangani, perdarahan intraventrikular akan menyebabkan terjadinya ventrikulomegali pada sistem ventrikel (hidrosefalus) dari gambaran CT scan.9

Gambar 23. Gambaran Perdarahan Intraserebral disertai Perdarahan Intraventrikular pada CT Scan Kepala.9BAB IVINTERPRETASI RADIOLOGIS PADA TRAUMA WAJAHAnatomi WajahSecara konseptual kerangka wajah terdiri dari empat pasang dinding penopang (buttress) vertikal dan horizontal. Buttress merupakan daerah tulang yang lebih tebal yang menyokong unit fungsional wajah (otot, mata, oklusi dental, airway) dalam relasi yang optimal dan menentukan bentuk wajah dengan cara memproyeksikan selubung soft tissue diatasnya. Vertical buttresses terdiri dari sepasang maksilari lateral (+ dinding orbital lateral) atau zygomatic buttress, maksilari medial (+ dinding orbital medial) atau nasofrontal buttress, pterygomaxillary buttress, dan posterior vertical buttress atau mandibular buttress. Horizontal buttresses juga terdiri dari sepasang maksilari tranversal atas (+ lantai orbital), maksilari transversal bawah (+ palatum), mandibular transversal atas dan mandibular tranversal bawah.15

Gambar 24. Kerangka wajah.15Maksila terbentuk dari dua bagian komponen piramidal iregular yang berkontribusi terhadap pembentukan bagian tengah wajah dan bagian orbit, hidung, dan palatum. Maksila berlubang pada aspek anteriornya untuk menyediakan celah bagi sinus maksila sehingga membentuk bagian besar dari orbit, nasal fossa, oral cavity, dan sebagian besar palatum, nasal cavity, serta apertura piriformis. Maksila terdiri dari badan dan empat prosesus; frontal, zygomatic, palatina, adan alveolar. Badan maksila mengandung sinus maksila yang besar. Pada masa anak-anak, ukuran sinus ini masih kecil, tapi pada saat dewasa ukuran akan mebesar dan menembus sebagian besar struktur sentral pada wajah.3 Fraktur tulang muka dapat dibagi 2 kelompok, yaitu : dapat terjadi pada satu tulang atau dapat terjadi pada beberapa tulang. Fraktur-fraktur ini meliputi:

fraktur tulang nasal ; dimana terjadi gangguan aliran dari sinus-sinus kekavum nasi

fraktur tulang frontal

fraktur arkus zigomatikus : dimana terlibat sinus makasilaris

fraktur yang meliputi etmoid/ maksilaris atau keduanya

pada foto polos kepala gambaran yang tampak hanya garis fraktur dan perselubungan satu atau dua sisi sinus. Sedangkan pemeriksaann CT-Scan dapat memperlihatkan gambaran herniasi.9Fraktur kompleks yang sering terjadi adalah : 9 fraktur naso-orbital, dapat disebabkan oleh benturan kuat pada dasar hidung yang menekan tulang nasal kebelakang sehingga menyebabkan sinus etmoidalis kolap. Pada foto polos AP sukar dinilai, pada foto lateral dapat dilihat fraktur pada tulang nasal dimana tulang nasal tertekan kedalam dan perselubungan pada sinus etmoidalis. Pemeriksaann CT-Scan khususnya irisan koronal, dapat memperlihatkan secara tepat kolap sinus etmoid.

fraktur trimalar, sering terjadi pada olah raga tinju dimana terdapat pukulan keras pada tulang zigomatikus. Fraktur dapat ditegakkan dengan pemotretan posisi Water dan pemeriksaan CT-Scan. fraktur Le Fort, fraktur komplek tulang-tulang muka yang sering terlihat pada kecelakaan. Pemeriksaan foto polos muka dan CT-Scan dapat memperlihatkan luasnya daerah yang terkena, dan tulang-tulang apa saja yang fraktur.9 Klasifikasi

Berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Rene Le Fort, terdapat tiga pola fraktur maksila, yaitu Le Fort I, II, dan III. Selain fraktur Le Fort, terdapat pula fraktur alveolar, dan vertikal atau sagital maupun parasagital.16 Gambar 25. Fraktur Le Port I,II,& III.15a) Fraktur Le Fort IFraktur Le Fort I dikenal juga dengan fraktur Guerin yang terjadi di atas level gigi yang menyentuh palatum, meliputi keseluruhan prosesus alveolar dari maksila, kubah palatum, dan prosesus pterigoid dalam blok tunggal. Fraktur membentang secara horizontal menyeberangi basis sinus maksila.1 Dengan demikian buttress maksilari transversal bawah akan bergeser terhadap tulang wajah lainnya maupun cranium.15b) Fraktur Le Fort IIPukulan pada maksila atas atau pukulan yang berasal dari arah frontal menimbulkan fraktur dengan segmen maksilari sentral yang berbentuk piramida. Karena sutura zygomaticomaxillary dan frontomaxillary (buttress) mengalami fraktur maka keseluruhan maksila akan bergeser terhadap basis cranium.15c) Fraktur Le Fort IIISelain pada pterygomaxillary buttress, fraktur terjadi pada zygomatic arch berjalan ke sutura zygomaticofrontal membelah lantai orbital sampai ke sutura nasofrontal. Garis fraktur seperti itu akan memisahkan struktur midfasial dari kranium sehingga fraktur ini juga disebut dengan craniofacial dysjunction. Maksila tidak terpisah dari zygoma ataupun dari struktur nasal. Keseluruhan rangka wajah tengah lepas dari basis kranium dan hanya disuspensi oleh soft tissue.3d) Fraktur AlveolarBagian dentoalveolar dari maksila dapat mengalami fraktur akibat pukulan langsung maupun secara tidak tidak langsung pada mandibula. Sebagian dari prosesus alveolar dapat mengalami fraktur.16e) Fraktur Maksila Sagital atau VertikalFraktur sagital biasanya dihubungkan dengan fraktur maksila lainnya. Fraktur seperti ini dapat meningkatkan lebar arkus denta dan wajah, dimana cukup sulit untuk ditangani.16Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan Radiologi. Pada kecurigaan fraktur maksila yang didapat secara klinis, pemeriksaan radiologi dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto polos, namun CT scan merupakan pilihan untuk pemeriksaan diagnostik. Teknik yang dipakai pada foto polos diantaranya; waters, caldwell, submentovertex, dan lateral view. Jika terjadi fraktur maksila, maka ada beberapa kenampakan yang mungkin akan kita dapat dari foto polos. Kenampakan tersebut diantaranya; opasitas pada sinus maksila, pemisahan pada rima orbita inferior, sutura zygomaticofrontal, dan daerah nasofrontal. Dari film lateral dapat terlihat fraktur pada lempeng pterigoid. Diantara pemeriksaan CT scan, foto yang paling baik untuk menilai fraktur maksila adalah dari potongan aksial. Namun potongan koronal pun dapat digunakan untuk mengamati fraktur maksila dengan cukup baik. Adanya cairan pada sinus maksila bilateral menimbulkan kecurigaan adanya fraktur maksila.16 Dibawah ini merupakan foto CT scan koronal yang menunjukkan fraktur Le Fort I,II, dan III bilateral. Dimana terjadi fraktur pada buttress maksilari medial dan lateral di superior maupun inferior (perpotongan antara panah hitam dan putih). Perlu dilakukan foto CT scan aksial untuk mengkonfirmasi diagnosis dengan mengamati adanya fraktur pada zygomatic arch dan buttress pterigomaksilari.15 Gambar 26. CT Scan Koronal.15 Banyaknya komponen tulang yang terlibat dalam fraktur maksila, membuat klasifikasi ini cukup sulit untuk diterapkan. Untuk memudahkan tugas dalam mengklasifikasikan fraktur maksila, terdapat tiga langkah yang bisa diterapkan. Pertama, selalu memperhatikan prosesus pterigoid terutama pada foto CT scan potongan koronal. Fraktur pada prosesus pterigoid hampir selalu mengindikasikan bahwa fraktur maksila tersebut merupakan salah satu dari tiga fraktur Le Fort.16 Untuk terjadinya fraktur Le Fort, prosesus pterigoid haruslah mengalami disrupsi.15 Ke- dua, untuk mengklasifikasikan fraktur tipe Le Fort, perhatikan tiga struktur tulang yang unik untuk masing-masing tipe yaitu; margin anterolateral nasal fossa untuk Le Fort I, rima orbita inferior untuk Le Fort II, dan zygomatic arch untuk Le Fort III. Jika salah satu dari tulang ini masih utuh, maka tipe Le Fort dimana fraktur pada tulang tersebut merupakan ciri khasnya, dapat dieksklusi. Ke-tiga, jika salah satu tipe fraktur sudah dicurigai akibat patahnya komponen unik tipe tersebut, maka selanjutnya lakukan konfirmasi dengan cara mengidentifikasi fraktur-fraktur komponen tulang lainnya yang seharusnya juga terjadi pada tipe itu.16 Skema dibawah ini menunjukkan komponen unik untuk masing-masing tipe Le Fort. Pada Le Fort I, margin anterolateral nasal fossa (tanda panah) mengalami fraktur, struktur ini tetap utuh pada Le Fort II dan III. Sedangkan pada Le Fort II, rima orbita inferior (tanda panah) yang mengalami fraktur, tapi utuh pada Le Fort I dan III. Pada Le Fort III, yang mengalami fraktur adalah zygomatic arch (tanda panah) namun utuh pada Le Fort I dan II.16 Gambar 27. Komponen Unik Masing-masing Tipe Le Fort.41