Page 1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Osteoporosis merupakan penurunan massa tulang yang menyebabkan
fraktur traumatik atau atraumatik, menjadi masalah besar pada perawatan
kesehatan karena beratnya konsekuensi fraktur pada pasien dan sistem perawatan.
(Indonesian Health Technology Assesment,2005 ; International Osteoporosis
Foundation, 2011)
Arti sesungguhnya untuk kata osteoporosis adalah “lubang di dalam tulang”,
merupakan deskripsi yang cukup akurat mengenai apa yang terjadi bila seseorang
mengalami kondisi ini. Pada osteoporosis , kualitas dan kepadatan jaringan tulang
di dalam tulang akan memburuk, sehingga terdapat lebih banyak ruangan kosong
di dalamnya dan tulang menjadi lebih rapuh. (Spencer dan Brown,2007)
Masalah utama bila seseorang memiliki tulang yang rapuh adalah tulang
tersebut lebih mudah patah daripada yang seharusnya. Hal ini berarti bahwa
kecelakaan atau jatuh ringan, yang secara normal tidak menyebabkan patah pada
tulang yang sehat, akan dapat menyebabkan patah tulang yang nyeri dan
melemahkan. Bahkan batuk yang keras dapat menyebabkan patah tulang
belakang. Sebagian besar orang dengan osteoporosis baru mengetahui bahwa
mereka mengalami penyakit ini saat foto rontgen menunjukkan bahwa mereka
mengalami patah tulang. Bila seseorang mengalami osteoporosis, maka tulang
yang paling beresiko mengalami patah tulang adalah tulang pergelangan tangan,
tulang panggul, dan tulang punggung (tulang belakang). (Spencer dan
Brown,2007 ; Tandra,2009)
Selain ketidaknyamanan yang jelas saat mengalami patah tulang, terdapat
beberapa cara bagaimana patah tulang dapat mempengaruhi kehidupan seseorang,
salah satunya mempengaruhi kesehatan mental individu tersebut berupa timbulnya
perasaan cemas akan risiko patah tulang selanjutnya serta merasa sendirian oleh
karena patah tulang menjadikan seseorang menjadi tidak bebas bergerak dan
Page 2
2
kehilangan kemandirian. Di samping itu, patah tulang akan menyebabkan tinggi
badan berkurang dan terbentuknya punggung yang membungkuk bahkan dapat
meningkatkan risiko kematian dini, terutama setelah patah tulang panggul atau
tulang punggung, akibat infeksi atau istirahat di tempat tidur yang lama sehingga
menyebabkan terjadinya pembekuan darah atau infeksi paru (pneumonia).
(Spencer dan Brown,2007 ; Tandra,2009)
Osteoporosis kebanyakan dijumpai pada orang usia lanjut, dan 80 persen
terjadi pada kaum wanita. Namun, oleh karena beberapa faktor menyebabkan
osteoporosis juga bisa timbul pada orang muda dan kaum pria. (Tandra,2009)
Konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok, konsumsi kalsium rendah, dan
gaya hidup yang tidak aktif hanyalah sedikit dari berbagai macam hal yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya osteoporosis. Pemakaian obat-obatan jenis
tertentu pun dapat mendasari terjadinya osteoporosis, salah satunya adalah
penggunaan kortikosteroid.
Setiap orang yang menggunakan kortikosteroid dalam dosis tinggi atau
jangka panjang beresiko mengalami osteoporosis. Osteoporosis merupakan efek
samping yang paling serius diantara berbagai efek samping yang dapat
diakibatkan oleh penggunaan kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid sendiri
tidak mungkin dapat dihindarkan khususnya pada penderita penyakit autoimun.
(Imboden,2007 ; Cosman,2009)
Fakta statistik menyatakan bahwa kini terdapat 200 juta penderita
osteoporosis di seluruh dunia, dimana satu diantara tiga wanita dan satu diantara
lima pria di atas 50 tahun adalah penderita osteoporosis. Prediksi pada tahun
2050, diperkirakan akan ada 6,3 juta patah tulang panggul setiap tahun di seluruh
dunia, yang lebih setengahnya terdapat di Asia. Di Indonesia data yang pasti
mengenai jumlah osteoporosis belum ditemukan. Data retrospektif osteoporosis
yang dikumpulkan di UPT Makmal Terpadu Imunoendokrinologi, FKUI dari
1690 kasus osteoporosis, ternyata yang pernah mengalami patah tulang femur dan
radius sebanyak 249 kasus (14,7%). Demikian pula angka kejadian pada patah
tulang panggul, tulang belakang, dan tulang pergelangan tangan di RSUD dr.
Soetomo Surabaya pada tahun 2001-2005, meliputi 49 dari total 83 kasus patah
Page 3
3
tulang panggul pada wanita usia lebih dari 60 tahun. Terdapat 8 dari 36 kasus
patah tulang belakang dan terdapat 53 dari 173 kasus patah tulang pergelangan
tangan, dimana sebagian besar terjadi pada wanita usia lebih dari 60 tahun dan
disebabkan oleh kecelakaan rumah tangga. Jumlah penderita osteoporosis di
Indonesia jauh lebih besar dari data terakhir Depkes yang mematok angka 19,7
persen dari seluruh penduduk. Catatan di beberapa kota seperti Jakarta, Surabaya,
Semarang, Bandung, dan Medan bahkan sudah mencapai 30 persen. (Indonesian
Health Technology Assesment,2005 ; Tandra,2009)
Sayangnya, hingga kini osteoporosis belum banyak mendapat perhatian.
Kalau pada kasus hipertensi hampir 90 persen penderita yang diobati, maka pada
tulang keropos tidak lebih dari 20 persen yang memperoleh pengobatan dengan
baik, dan yang lainnya diabaikan begitu saja. (Tandra,2009)
Berdasarkan data-data yang telah dipaparkan di atas, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian kepustakaan untuk mengetahui lebih dalam lagi
mengenai hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya osteoporosis,
terutama yang diinduksi oleh penggunaan kortikosteroid, beserta pengobatannya.
1.2. Rumusan Masalah
Karya tulis ilmiah ini akan membahas mengenai berbagai hal yang
berhubungan dengan penyakit osteoporosis, diantaranya :
1. Ada berapa jenis osteoporosis?
2. Bagaimana mekanisme terjadinya osteoporosis?
3. Apa saja faktor pencetus terjadinya osteoporosis?
4. Apa saja tanda dan gejala osteoporosis?
5. Bagaimana cara menegakkan diagnosa osteoporosis?
6. Bagaimana cara penanganan dan pencegahan yang baik dan terpadu
pada osteoporosis?
7. Sejauh mana kompetensi dokter umum dalam menangani kasus
osteoporosis?
Page 4
4
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui jenis-jenis osteoporosis.
2. Untuk mengetahui mekanisme terjadinya osteoporosis.
3. Untuk mengetahui apa saja faktor yang dapat mencetuskan terjadinya
osteoporosis.
4. Untuk mengenal tanda dan gejala dari osteoporosis.
5. Untuk mengetahui bagaimana cara menegakkan diagnosa osteoporosis.
6. Untuk mengetahui bagaimana cara mencegah terjadinya osteoporosis
dan bagaimana cara memberikan penanganan yang tepat.
7. Untuk mengetahui sejauh mana kompetensi seorang dokter umum
dalam menangani osteoporosis.
1.4. Manfaat Penulisan
1. Menambah pengetahuan pembaca khususnya mengenai cara-cara
menghindarkan diri dari faktor-faktor resiko terjadinya osteoporosis.
2. Menambah pengetahuan penulis tentang penyakit osteoporosis.
3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti tentang
penyakit osteoporosis.
Page 5
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI TULANG
2.1.1 Sistem Kerangka
Kerangka terdiri dari berbagai tulang dan tulang rawan. Tulang adalah
jaringan ikat yang bersifat kaku dan membentuk bagian terbesar kerangka serta
merupakan jaringan penunjang tubuh utama. Tulang rawan (cartilago) adalah
sejenis jaringan ikat yang bersifat lentur dan membentuk bagian kerangka tertentu
(misalnya cartilago costalis), perbandingan antara tulang dan tulang rawan dalam
kerangka berubah seiring dengan pertumbuhan tubuh; makin muda usia
seseorang, makin besar bagian kerangka yang berupa tulang rawan.(Moore dan
Agur,2002)
Kerangka aksial terdiri dari :
1. Tulang kepala (cranium)
2. Tulang leher (os hyoideum dan vertebrae cervivcales)
3. Tulang batang tubuh (costa, sternum, vertebra, dan sacrum)
Kerangka apendikular terdiri dari :
1. Tulang extremitas (lengan dan tungkai)
2. Tulang yang membentuk gelang bahu (pektoral)
3. Gelang panggul (Moore dan Agur,2002)
Dapat dibedakan dua jenis tulang, yakni substantia spongiosa dan
substantia compacta. Perbedaan antara kedua jenis tulang tadi ditentukan oleh
banyaknya bahan padat dan jumlah serta ukuran ruangan yang ada di dalamnya.
Semua tulang memiliki kulit luar dan lapisan substantia compacta yang meliputi
massa substantia spongiosa di sebelah dalam, kecuali bila massa substantia
spongiosa diubah menjadi cavitas medullaris (rongga sumsum). (Moore dan
Agur,2002)
Page 6
6
Tulang compacta tampak sebagai massa yang padat sedangkan tulang
spongiosa terdiri atas anyaman trabekula. Trabekula tersusun sedemikian rupa
sehingga tahan akan tekanan dan tarikan yang mengenai tulang. (Snell,2006)
2.1.2 Penggolongan Tulang
Tulang digolongkan menurut bentuknya :
Tulang panjang adalah tubular (misalnya humerus)
Tulang pendek adalah kuboidal dan hanya terdapat di pergelangan kaki
(tarsus) dan di pergelangan tangan (carpus)
Tulang pipih, umumnya berguna sebagai pelindung (misalnya tulang pipih
cranium melindungi otak)
Tulang tak beraturan dengan beraneka ragam (misalnya tulang wajah)
Tulang sesamoid (ossa sesamoidea), terbentuk dalam tendo tertentu [misalnya
patella] dan terdapat di tempat persilangan tendo dengan ujung tulang
panjang ekstremitas; tulang sesamoid melindungi tendo terhadap keausan
berlebih dan seringkali mengubah sudut tendo sewaktu menuju ke tempat
lekatnya. (Moore dan Agur,2002)
2.1.3 Ciri-ciri Tulang
Ciri-ciri khusus terjadi pada tempat lekat tendo, ligamentum dan fascia.
Ciri-ciri dan tanda istimewa pada tulang diberi nama :
Condylus : daerah persendian yang membulat (misalnya condylus lateralis
ossis femoris)
Crista : rigi pada tulang (misalnya crista iliaca)
Epicondylus : tonjolan di atas kondilus (misalnya epicondylus lateralis ossis
humeri)
Facies : permukaan licin dan datar yang merupakan tempat pertemuan dua
tulang
Foramen : lubang melalui tulang (misalnya foramen obturatum)
Fossa : lekuk atau daerah yang melesak (misalnya fossa infraspinata os
scapula)
Page 7
7
Linea : peninggian berupa garis (misalnya linea musculi solei)
Malleolus : tonjolan yang membulat (misalnya malleolus lateralis ossis
fibulae)
Incisura : takik pada pinggir tulang (misalnya incisura ischiadica major)
Protuberantia : penonjolan (misalnya protuberantia occipitalis externa)
Spina : tonjolan menyerupai duri (misalnya spina scapulae)
Processus spinosus : tonjolan yang menyerupai duri (misalnya processus
spinosus vertebrae)
Trochanter : peninggian besar yang tumpul (misalnya trochanter major
femoris)
Tuberculum : peninggian kecil (misalnya tuberculum majus humeri)
Tuberositas atau tuber : peninggian yang besar dan membulat,
pembengkakan (misalnya tuber ischiadicum). (Moore dan Agur,2002)
2.1.4 Perkembangan Tulang
Semua tulang berasal dari mesenkim (jaringan ikat luar embrional), tetapi
dibentuk dengan dua cara yang berbeda. Tulang berkembang melalui dua cara,
dengan mengganti mesenkim, atau dengan mengganti tulang rawan; susunan
histologis tulang selalu bersifat sama, baik tulang itu dikembangkan dari selaput
ataupun tulang itu berasal dari tulang rawan. (Moore dan Agur,2002 ;
Monkhouse,2007)
Model tulang mesenkimal terbentuk selama masa embrional dan mulai
mengalami penulangan (osifikasi) langsung pada masa fetal; cara
pembentukan tulang ini disebut penulangan membranosa.
Model tulang dalam bentuk tulang rawan yang terjadi pada masa fetal dari
mesenkim kemudian diganti dengan tulang pada sebagian besar model
bersangkutan; jenis perkembangan tulang demikian disebut penulangan
enkondrial. (Moore dan Agur,2002 ; Monkhouse,2007)
Badan (batang, tangkai) suatu tulang yang menulang dari suatu pusat
penulangan primer, disebut diafisis. Pusat penulangan sekunder terbanyak
terbentuk setelah kelahiran; bagian tulang yang mengalami penulangan melalui
Page 8
8
pusat sekunder demikian disebut epifisis. Bagian diafisis yang melebar dan
terletak paling dekat pada epifisis dikenal sebagai metafisis. Supaya pertumbuhan
memanjang dapat berlangsung, tulang yang berasal dari pusat sekunder dalam
kedua epifisis sampai ukuran tulang dewasa tercapai. Selama pertumbuhan tulang,
lempeng tulang rawan yang dikenal sebagai lempeng (tulang rawan) epifiseal,
terdapat antara diafisis dan kedua epifisis. Lempeng pertumbuhan ini akhirnya
diganti dengan tulang pada kedua sisinya, di sebelah diafisis dan di sebelah
epifisis. Tulang yang terbentuk pada proses peleburan (sinostosis) ini, terutama
bersifat padat dan dikenali sebagai garis epifiseal. Peleburan epifiseal pada tulang
berlangsung secara progresif dari masa akil balig sampai usia dewasa. (Moore dan
Agur,2002 ; Monkhouse,2007)
2.1.5 Tulang Rawan
Tulang rawan (cartilago) merupakan bentuk jaringan ikat yang sel-sel
dan serabut-serabutnya tertanam di dalam matriks yang berbentuk seperti agar-
agar. Matriks bertanggung jawab atas kekuatan dan kepegasan tulang rawan.
Kecuali pada permukaan sendi, tulang rawan diliputi oleh selapis membrana
fibrosa yang dinamakan perichondrium. (Snell,2006)
Terdapat tiga bentuk cartilago :
1. Cartilago hyalin mempunyai banyak matriks amorf yang mempunyai
indeks bias yang sama dengan serabut-serabut yang terbenam di dalamnya.
Selama masa anak-anak dan remaja, cartilago hyalin berperan penting pada
pertumbuhan tulang panjang (lempeng epiphysis terdiri atas cartilago
hyalin). Cartilago ini sangat tahan terhadap robekan dan meliputi hampir
seluruh permukaan sendi sinovial. Cartilago hyalin tidak dapat diperbaki
bila mengalami fraktur; tempat kerusakan diisi oleh jaringan fibrosa.
2. Cartilago fibrosa mempunyai banyak serabut fibrosa yang tertanam di
dalam sedikit matriks. Fibrocartilago ditemukan di dalam discus articularis
(misalnya pada articulatio temporomadibularis) dan pada permukaan sendi
clavicula dan mandibula. Bila rusak, fibrocartilago dapat memperbaiki
Page 9
9
dirinya sendiri secara lambat dengan cara yang sama dengan jaringan
fibrosa lainnya di dalam tubuh. (Snell,2006)
3. Cartilago elastis mempunyai banyak serabut elastis yang tertanam di dalam
matriks. Seperti yang dapat diduga, tulang rawan ini sangat fleksibel dan
ditemukan pada auricula, meatus acusticus externus, tuba auditiva, dan
epiglotis. Bila mengalami kerusakan tulang rawan ini dapat memperbaiki
dirinya sendiri dengan jaringan fibrosa. (Snell,2006)
Cartilago hyalin dan cartilago fibrosa cenderung mengalami kalsifikasi atau
malahan mengalami osifikasi pada kehidupan selanjutnya. (Snell,2006)
2.1.6 Vaskularisasi dan Persarafan Tulang
Arteri memasuki tulang dari periosteum, selaput jaringan ikat berserabut
yang meliputi tulang. Arteri periostal masuk di banyak tempat dan mendarahi
substantia compacta; arteri ini bertanggungjawab untuk nutrisinya. Maka, tulang
yang periosteumnya disingkirkan akan mati. Di dekat pertengahan diafisis satu
arteria nutriens menembus substantia compacta secara miring dan mendarahi
substantia spongiosa dan sumsum tulang. Arteri metafiseal dan epifiseal
mendarahi tulang. (Moore dan Agur,2002)
Vena mengiringi arteri, dan banyak vena besar meninggalkan tulang melalui
foramen di dekat ujung artikular tulang. Tulang yang bersumsum tulang merah,
memiliki banyak vena yang besar. (Moore dan Agur,2002)
Pembuluh limfe terdapat amat banyak dalam periosteum.
Saraf mengikuti pembuluh darah yang memasok tulang. Periosteum amat
kaya akan saraf sensoris yang disebut saraf periostal; beberapa diantara saraf itu
mengandung serabut untuk rasa sakit. Saraf ini terutama peka terhadap robekan,
atau tegangan, dan ini dapat menjelaskan mengapa rasa sakit pada fraktur terasa
amat hebat. Di dalam tulang, saraf vasomotoris menyebabkan penyempitan atau
pelebaran pembuluh darah. (Moore dan Agur,2002)
2.2 FISIOLOGI TULANG
2.2.1 Struktur Tulang
Page 10
10
Tulang pada anak-anak dan dewasa ada dua jenis, yaitu : tulang kompak
atau kortikal, yang menyusun lapisan luar dari hampir semua tulang dan
merupakan 80% dari tulang tubuh; dan tulang trabekular atau spongiosa di
sebelah dalam tulang kortikal, yang menyusun 20% sisa tulang tubuh. Pada tulang
kompak, rasio permukaan tulang terhadap volume tulang rendah, dan osteosit, sel-
sel tulang pada jenis ini, bersifat pasif. Mereka berada dalam lakuna dan
menerima nutrien melalui kanalikuli yang bercabang-cabang di seluruh tulang
kompak. Tulang trabekular tersusun dari spikula atau lempeng-lempeng, dengan
rasio permukaan terhadap volume yang tinggi, dan banyak sel yang duduk pada
permukaan lempeng-lempeng tersebut. Aktivitas metabolismenya tinggi. Dalam
tulang spongiosa, nutrien berfusi dari CES tulang ke dalam trabekula, tetapi dalam
tulang kompak, nutrien disediakan melalui kanalis Havers, yang mengandung
pembuluh darah. Di sekitar setiap kanalis Havers, tersusun kolagen dalam lapis-
lapis konsentrik, membentuk silinder-silinder yang dinamakan osteon atau sistem
Havers. (Ganong,2003)
Tulang merupakan bentuk khusus jaringan ikat yang tersusun oleh
kristal-kristal mikroskopik fosfat kalsium, di dalam matriks kolagen. Karena
merupakan suatu bentuk jaringan ikat, tulang terdiri dari sel dan matriks organik
ekstrasel yang dihasilkan oleh sel. Sel-sel tulang yang menghasilkan matriks
organik dikenal sebagai osteoblas (pembentuk tulang). Tulang terdiri atas matriks
organik keras yang sangat diperkuat oleh endapan garam kalsium. Tulang padat
rata-rata mengandung matriks 30% berat dan yang 70%-nya terdiri atas garam.
Tulang yang baru dibentuk mungkin memiliki persentase matriks yang lebih
tinggi daripada garamnya. 90 – 95 % matriks organik tulang terdiri atas serat-serat
kolagen, dan sisanya adalah medium gelatin homogen yang disebut sebagai
substansi dasar. Serat-serat kolagen menyebar terutama di sepanjang sumbu
penunjang tegangan. Matriks organik terdiri dari serat-serat kolagen dalam gel
semipadat yang kaya mukopolisakarida yang disebut juga sebagai bahan dasar
(ground substance). Matriks ini memiliki konsistensi seperti karet dan
menentukan daya rentang tulang (ketahanan tulang terhadap kerusakan ketika
mendapat tekanan). Tulang menjadi keras karena pengendapan kristal-kristal
Page 11
11
kalsium fosfat di dalam matriks. Kristal anorganik ini memberikan kekuatan
kompresi (kemampuan tulang untuk mempertahankan bentuknya ketika ditekan
atau terjepit) pada tulang. Jika hanya terdiri dari kristal anorganik, tulang akan
rapuh seperti kapur tulis. Tulang memiliki kekuatan struktural yang mendekati
beton bertulang, namun tulang tidak rapuh dan jauh lebih ringan akibat
pencampuran struktural matriks organik yang diperkuat oleh kristal anorganik.
(Guyton dan Hall,1997; Sherwood,2001 ; Ganong,2003)
Substansi dasar tulang terdiri atas cairan ekstraseluler ditambah dengan
proteoglikan, khususnya kondroitin sulfat dan asam hialuronat. Fungsi yang
sebenarnya dari setiap bahan-bahan ini tidak diketahui, walaupun bahan-bahan ini
memang membantu mengatur pengendapan garam-garam kalsium.(Guyton dan
Hall,2007)
Tulang rawan (kartilago) serupa dengan tulang, kecuali bahwa tulang
rawan yang hidup tersebut tidak mengalami kalsifikasi. (Sherwood,2001)
Sebuah tulang panjang pada dasarnya terdiri dari batang silindris yang
relatif uniform, yaitu diafisis dan epifisis, yaitu benjolan persendian di kedua
ujungnya. Pada tulang yang sedang tumbuh, diafisis dipisahkan dari epifisis di
kedua ujungnya oleh sebuah lapisan tulang rawan yang dikenal sebagai lempeng
epifisis. Rongga sentral tulang terisi oleh sumsum tulang, yang merupakan tempat
produksi sel-sel darah. (Sherwood,2001)
Pertumbuhan ketebalan tulang dicapai oleh penambahan tulang baru di
atas tulang yang sudah ada di permukaan luarnya. Pertumbuhan ini terjadi melalui
aktivitas osteoblas di dalam periosteum, suatu pembungkus jaringan ikat yang
menutupi permukaan luar tulang. Sewaktu tulang baru diendapkan oleh osteoblas
di permukaan eksternal, sel-sel lain di dalam tulang, osteoklas (penghancur
tulang), melarutkan jaringan tulang di permukaan dalam yang berdekatan dengan
rongga sumsum. Dengan cara ini, rongga sumsum membesar mengimbangi
peningkatan lingkaran batang tulang. (Sherwood,2001)
Pertumbuhan panjang tulang-tulang panjang dilakukan oleh mekanisme
yang berbeda dengan pertumbuhan ketebalan. Tulang bertambah panjang sebagai
akibat proliferasi tulang rawan di lempeng epifisis. Selama pertumbuhan,
Page 12
12
dihasilkan sel-sel tulang rawan (kondrosit) baru melalui pembelahan sel di batas
luar lempeng yang berdekatan dengan epifisis. Saat kondrosit baru sedang
dibentuk di batas epifisis, sel-sel tulang rawan lama ke arah batas diafisis
membesar. Kombinasi proliferasi sel tulang rawan baru dan hipertrofi kondrosit
matang menyebabkan lempeng epifisis mengalami peningkatan ketebalan (lebar)
tulang untuk sementara. Penebalan lempeng tulang rawan ini menyebabkan
epifisis terdorong menjauhi diafisis. Matriks yang mengelilingi kartilago tua yang
hipertrofi dengan segera mengalami kalsifikasi. Karena tulang rawan tidak
memiliki jaringan kapiler sendiri, kelangsungan hidup sel-sel tulang rawan
bergantung pada difusi nutrien dan O2 melalui ground substance, suatu proses
yang dihambat oleh adanya endapan garam-garam kalsium. Akibatnya, sel-sel
tulang rawan tua yang terletak di batas diafisis mengalami kekurangan nutrien dan
mati. Dengan osteoklas membersihkan kondrosit yang mati dan matriks
terkalsifikasi yang mengelilinginya, daerah ini kemudian diinvasi oleh osteoblas-
osteoblas yang berkerumun ke atas dari diafisis, sambil menarik jaringan kapiler
bersama mereka. Penghuni baru ini meletakkan tulang di sekitar bekas sisa-sisa
tulang rawan yang terpisah-pisah sampai bagian dalam tulang rawan di sisi
diafisis lempeng seluruhnya diganti oleh tulang. Apabila proses osifikasi
(pembentukan tulang) ini selesai, tulang di sisi diafisis telah bertambah
panjangnya, dan lempeng epifisis telah kembali ke ketebalannya semula. Tulang
rawan yang diganti oleh tulang di ujung diafisis lempeng memiliki ketebalan yang
setara dengan pertumbuhan tulang rawan baru di ujung epifisis lempeng. Dengan
demikian, pertumbuhan tulang dimungkinkan oleh pertumbuhan dan kematian
tulang rawan, yang bekerja seperti suatu “pengatur jarak” (di mesin tik) untuk
mendorong epifisis menjauh sementara menyediakan kerangka untuk
pembentukan tulang di ujung diafisis. (Sherwood,2001)
Ketika matriks ekstrasel yang dihasilkan oleh osteoblas mengalami
kalsifikasi, osteoblas, seperti kondrosit pendahulunya, terkubur oleh matriks yang
mengendap di sekitarnya. Namun, tidak seperti kondrosit, osteoblas yang
terperangkap di dalam matriks terkalsifikasi tidak mati karena sel-sel tersebut
mendapat pasokan nutrien dari saluran-saluran kecil yang dibentuk oleh osteoblas
Page 13
13
itu sendiri dengan menjulurkan tonjolan-tonjolan sitoplasma menembus matriks
tulang. Dengan demikian, pada produk tulang akhir, terbentuk jaringan saluran
yang memancar dari setiap osteoblas yang terperangkap yang berfungsi sebagai
sistem penyalur untuk penyampaian nutrien dan pengeluaran zat sisa. Osteoblas
yang terperangkap, yang sekarang disebut osteosit, berhenti melaksanakan tugas
membentuk tulang karena “dipenjara” dan tidak lagi dapat meletakkan tulang
baru. Namun sel-sel ini ikut serta dalam pertukaran kalsium antara tulang dan
darah yang diatur oleh hormon. Pertukaran ini berada di bawah kontrol hormon
paratiroid, bukan hormon pertumbuhan. (Sherwood,2001)
Hormon pertumbuhan meningkatkan pertumbuhan tulang, baik tebal
maupun panjangnya. Hormon ini merangsang proliferasi tulang rawan epifisis,
sehingga menyediakan lebih banyak ruang untuk membentuk tulang serta juga
merangsang aktivitas osteoblas. Hormon pertumbuhan dapat meningkatkan
pemanjangan tulang panjang selama lempeng epifisis tetap berupa tulang rawan
atau terbuka. Pada akhir masa remaja, di bawah pengaruh hormon-hormon seks,
lempeng ini mengalami penulangan sempurna atau tertutup, sehingga tulang tidak
lagi dapat bertambah panjang walaupun terdapat hormon pertumbuhan. Dengan
demikian, setelah lempeng tertutup, individu tidak dapat lagi bertambah tinggi.
(Sherwood,2001)
Pengendapan dan absorbsi tulang yang terus-menerus mempunyai
banyak makna fisiologik yang penting.
1. Biasanya tulang mengatur kekuatannya sesuai dengan besarnya tegangan
pada tulang itu. Akibatnya, bila mendapat beban yang berat tulang akan
menebal.
2. Dengan pengendapan dan absorbsi, bentuk tulang dapat ditata kembali
untuk mendukung tenaga mekanis yang sesuai dengan pola stres yang
didapatkannya.
3. Oleh karena tulang yang sudah tua relatif lemah dan rapuh, maka
diperlukan matriks organik baru untuk menggantikan matriks organik yang
telah berdegenerasi. (Guyton dan Hall,1997)
Page 14
14
Dengan pola ini, maka kekerasan yang normal dari tulang tetap
dipertahankan. Ternyata, pada tulang anak-anak, yang pengendapan dan
absorbsinya berlangsung dengan cepat, menunjukkan sedikit kerapuhan bila
dibandingkan dengan tulang usia tua, yang kecepatan pengendapan dan
absorbsinya lambat. (Guyton dan Hall,1997)
Tulang mengalami pengendapan sesuai dengan beban yang harus
disangganya. Dengan kata lain, stres fisik yang terus-menerus dapat menstimulasi
proses kalsifikasi dan pengendapan osteoblastik pada tulang. Pada keadaan-
keadaan tertentu, stres pada tulang juga menentukan bentuk tulang, terutama pada
anak-anak akibat cepatnya pembentukan tulang kembali pada usia yang lebih
muda. (Guyton dan Hall,1997)
2.2.2 Ambilan Mineral Lain
Timbal dan unsur toksik lain diambil dan dilepaskan oleh tulang dengan
cara serupa dengan proses pertukaran kalsium. Penyerapan unsur-unsur ini dengan
cepat oleh tulang kadang-kadang disebut “mekanisme detoksifikasi” karena
proses ini berfungsi untuk mengeluarkan unsur-unsur tersebut dari cairan tubuh,
sehingga mengurangi manifestasi toksik. Fluorida yang diambil oleh tulang
menyebabkan terbentuknya tulang baru. Unsur ini juga menyatu dengan email
gigi. Fluorida dalam jumlah kecil meningkatkan resistensi gigi terhadap karies.
Namun, fluorida dalam jumlah besar menyebabkan perubahan warna email
(mottled enamel). (Ganong,2003)
2.2.3 Fungsi Tulang
Tulang berguna untuk :
Melindungi struktur vital (misalnya tengkorak dan columna vertebralis
melindungi otak dan medulla spinalis dari cedera; sternum dan iga-iga
melindungi visera rongga thorax dan abdomen bagian atas);
Menopang tubuh;
Mendasari gerak secara mekanis;
Membentuk sel darah (sumsum tulang);
Page 15
15
Menimbun berbagai mineral.(Moore dan Agur,2002)
2.3 OSTEOPOROSIS
2.3.1 Definisi
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
rendahnya massa tulang, gangguan mikroarsitektur jaringan tulang, dan pada
akhirnya akan meningkatkan risiko terjadinya fraktur. (Imboden,et al,2007)
Rendahnya massa tulang disebabkan oleh hilangnya sedikit demi sedikit
massa tulang pada proses pergantian tulang yang konstan. Keadaan yang umum
ini paling sering terlihat pada pria usia lanjut maupun wanita usia lanjut, kendati
lebih menonjol pada wanita pascamenopause. (Mitchell,et al,2009)
Dalam konferensi yang diadakan oleh The National Institutes of Health,
disepakati bahwa osteoporosis didefinisikan sebagai suatu penyakit meningkatnya
kerapuhan tulang yang disertai dengan rendahnya kepadatan mineral tulang (T-
score untuk kepadatan mineral tulang -2,5) dan memburuknya mikroarsitektur
tulang. (Rosen,2005)
Osteoporosis merupakan penyakit tulang metabolik yang terbanyak
ditemukan (kelainan yang melibatkan semua rangka) dan merupakan penyebab
penting morbiditas pada orang lanjut usia. (Isselbacher,et al,2000)
Osteoporosis secara klinis tidak tampak sampai terjadi fraktur yang
pertama; oleh karena itu, mereka yang berisiko mengalami penyakit ini sangat
penting untuk dikenali lebih awal dan langkah-langkah yang diambil adalah untuk
mencegah fraktur dan hilangnya tulang. (Lin dan Rypkema,2010)
2.3.2 Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor risiko yang menjadikan sebagian orang
mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami osteoporosis. Di bawah ini
diuraikan faktor risiko turunan dan faktor risiko lingkungan yang mempengaruhi
berkurangnya massa tulang. (Dalimartha,2002)
A. Faktor risiko turunan
1) Perempuan
Page 16
16
Perempuan mempunyai risiko 6 kali lebih besar daripada laki-laki
untuk terkena osteoporosis primer. Hal ini disebabkan massa tulang
puncaknya yang lebih rendah dan kehilangan massa tulangnya yang lebih
cepat setelah menopause.(Dalimartha,2002)
2) Usia
Semakin lanjut usia seseorang, semakin besar kehilangan massa
tulangnya dan semakin besar pula kemungkinan timbulnya osteoporosis. Di
samping itu, semakin tua akan semakin berkurang pula kemampuan saluran
cerna untuk menyerap kalsium. (Dalimartha,2002) Di atas usia sekitar 35
tahun, kepadatan tulang menurun, sehingga osteoporosis terutama terjadi
pada pria dan wanita di atas usia 50 tahun. (Spencer dan Brown,2007)
Dengan bertambahnya usia, risiko terjatuh dan patah tulang
menjadi bertambah pula. Ini bisa disebabkan oleh faktor lingkungan,
misalnya permukaan karpet yang tidak rata, naik tangga, atau tersandung
tepi karpet. Ada juga faktor kesehatan lanjut usia, seperti gangguan
penglihatan, gangguan pendengaran atau pikun, keseimbangan tubuh yang
berkurang, otot makin lemah, atau akibat penyakit lain seperti stroke.
(Tandra,2009)
3) Etnik Asia atau Kaukasia
Umumnya perempuan kulit putih mempunyai risiko yang lebih
besar daripada perempuan kulit hitam, dan laki-laki kulit putih juga
mempunyai risiko yang lebih besar daripada laki-laki kulit hitam. (Lin dan
Rypkema,2010) Satu penjelasan mengenai perbedaan pada populasi ini
adalah bahwa massa tulang pada kematangan rangka merupakan suatu
penentu dari massa tulang pada usia berikutnya. (Isselbacher,et al,2000)
Insidensi osteoporosis dan fraktur panggul yang lebih rendah pada
laki-laki dan perempuan kulit hitam diduga disebabkan oleh kandungan
mineral tulang yang lebih tinggi pada orang kulit hitam daripada orang kulit
putih, meskipun terdapat fakta bahwa pembentukan tulang lebih rendah
pada orang kulit hitam. Karena pembentukan dan resorpsi biasanya
Page 17
17
berkaitan, dan karena massa tulang meningkat, resorpsi (dan pergantian)
tulang juga pasti berkurang. (Isselbacher,et al,2000)
4) Kerangka tulang kecil
Orang yang rangka tulangnya kecil cenderung lebih sering
mengalami osteoporosis ketimbang orang dengan rangka tulang yang besar.
(Dalimartha,2002)
5) Terdapat anggota keluarga yang mengalami osteoporosis
Biasanya puncak massa tulang sangat ditentukan oleh faktor
genetik. Wanita yang mempunyai ibu yang pernah mengalami patah tulang
panggul dalam usia tua akan dua kali lebih mudah terkena patah tulang yang
sama. (Tandra,2009)
6) Berat badan dan Body Mass Index (BMI) rendah
Orang kurus lebih mudah mengalami osteoporosis bila
dibandingkan dengan orang gemuk. (Dalimartha,2002)
7) Ruas tulang belakang membengkok ke samping (skoliosis)
(Dalimartha,2002)
B. Faktor risiko lingkungan
1) Menopause atau defisiensi hormon estrogen
Estrogen sangat penting untuk menjaga kepadatan massa tulang.
(Dalimartha,2002) Estrogen akan mengurangi fungsi osteoklas, sebagian
melalui inhibisi aktivasi monosit dan inhibisi aktivitas osteoblas melalui
supresi gen yang mengekspresikan IL-1, IL-6, dan TNF. (Greenstein dan
Wood,2010) Turunnya kadar estrogen bisa terjadi akibat kedua indung telur
telah diangkat atau diradiasi karena kanker, telah menopause, menopause
dini, atau pada keadaan hipogonadisme. Keadaan hipogonadisme ditandai
dengan terlambatnya mendapat haid (amenore). Kekurangan hormon
estrogen akan mengakibatkan lebih banyak resorpsi tulang daripada
pembentukan tulang. Akibatnya, massa tulang yang sudah berkurang karena
bertambahnya usia, akan diperberat lagi dengan berkurangnya hormon
estrogen setelah menopause. (Cosman,2009)
2) Kadar testosteron yang rendah pada laki-laki
Page 18
18
Hormon testosteron pada laki-laki sangat penting guna mencapai
dan menjaga massa tulang yang maksimal. Pubertas yang terlambat pada
laki-laki juga merupakan faktor risiko berkurangnya massa tulang yang
cenderung mengakibatkan timbulnya osteoporosis. (Cosman,2009)
3) Diet ketat untuk menurunkan berat badan sampai menyebabkan terhentinya
haid (Cosman,2009)
4) Menderita penyakit kronis
Hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya osteoporosis pada
seseorang oleh karena penggunaan obat yang berlebihan atau terlalu sering,
seperti steroid atau hormon tiroid, dimana obat-obat ini dapat menyebabkan
meningkatnya proses resorpsi tulang. (Cosman,2009)
5) Makanan yang kurang kalsium dan vitamin D
Jumlah kalsium pada tubuh orang dewasa sekitar 1 – 2 kg. Dari
jumlah tersebut, 98% tersimpan di dalam tulang. Untuk menjaga
keseimbangan kalsium darah, dibutuhkan hormon paratiroid (PTH), vitamin
D, dan kalsium. Hormon tersebut bekerja di tempat kalsium memasuki
tubuh (saluran cerna), tempat pembuangan kalsium (urin, tinja, dan
keringat), dan tempat penyimpanannya (tulang). Yang juga berperan pada
metabolisme kalsium di tulang antara lain hormon estrogen, hormon
endrogen, kadar kalsium, fosfat, usia, dan keadaan yang menyebabkan
seseorang tidak bisa bergerak (imobilisasi) seperti penderita lumpuh. Dari
tempat penyimpanannya, kalsium dapat diambil dan disimpan kembali
tergantung dari kebutuhan. Kebutuhan kalsium akan meningkat pada masa
pertumbuhan, kehamilan, selama menyusui, dan setelah menopause.
(Isselbacher,et al,2000)
Vitamin D merupakan hormon yang dibutuhkan untuk penyerapan
kalsium di usus. Dengan bertambahnya usia, penyerapan kalsium di usus
akan terganggu karena berkurangnya vitamin D dan enzim pencernaan
(laktase), rendahnya pengeluaran asam lambung, dan berkurangnya
kemampuan usus mengangkut kalsium. Berkurangnya kadar kalsium darah
di usia lanjut akan mengakibatkan naiknya kadar hormon paratiroid
Page 19
19
sehingga tulang melepaskan kalsium agar kadar kalsium darah tetap normal.
Selanjutnya terjadi proses penipisan massa tulang dan terjadi osteoporosis.
(Isselbacher,et al,2000)
Vitamin D bisa diperoleh dari hati dan ikan berlemak seperti
sarden, salmon, serta belut. Kulit juga bisa membuat vitamin D sendiri
dengan bantuan sinar ultraviolet matahari. Kebutuhan vitamin D sehari pada
orang dewasa adalah 400 IU. Pemberian vitamin ini mungkin tidak
diperlukan di negara tropis karena tersedianya sinar matahari sepanjang
tahun. (Isselbacher,et al,2000)
6) Rokok, alkohol, kopi, garam, dan minuman ringan
Diet tinggi kafein, fosfat, dan garam (natrium) dapat mengganggu
keseimbangan kalsium. Kafein akan meningkatkan pembuangan kalsium
melalui urin. Makanan yang diasinkan juga dapat mempercepat timbulnya
rapuh tulang. Dalam minuman ringan (soft drink) terdapat kandungan fosfat.
Tingginya asupan fosfat akan menyebabkan ratio fosfat – kalsium yang
abnormal. Bila ratio menjadi 6 : 1, maka risiko terjadinya osteoporosis dan
hiperparatiroid akan meningkat. Namun, bila konsumsi kalsiumnya cukup,
osteoporosis tidak akan terjadi. (Isselbacher,et al,2000)
Merokok, terutama pada perempuan yang sudah dimulai sejak
remaja, akan menurunkan kadar estrogen di dalam darah, sehingga
pencapaian densitas puncak tulang akan berkurang, menopause terjadi lebih
dini, dan terganggunya pengobatan yang menggunakan obat pengganti
hormon. (Isselbacher,et al,2000)
Alkohol merupakan salah satu penyebab rapuhnya tulang. Merokok
dan minum alkohol yang berlebihan dapat meningkatkan risiko osteoporosis
menjadi dua kali lipat. (Isselbacher,et al,2000)
7) Asupan asam berlebihan
Asupan asam yang terlalu banyak, terutama dalam bentuk diet
tinggi protein dapat ikut menyebabkan pelarutan tulang dalam upaya
Page 20
20
menyangga kelebihan asam. (Isselbacher,et al,2000) Kekurangan protein
akan mengganggu proses pertumbuhan anak, karena berkurangnya
pembentukan tulang kortikal dan tidak tercapainya puncak massa tulang.
Namun, makanan yang kaya protein bila dikonsumsi lebih dari 120 gram
per hari, maka akan meningkatkan pengeluaran kalsium melalui urin.
(Dalimartha,2002)
Asidosis juga dapat meningkatkan fungsi osteoklas secara
langsung. (Isselbacher,et al,2000)
8) Obat-obatan
Penggunaan steroid bisa mempercepat osteoporosis. Makin tinggi
dosis dan makin lama pemakaian, risiko osteoporosis menjadi makin besar.
(Tandra,2009)
Penggunaan heparin yang berlangsung lama sebagai suatu
antikoagulan juga dapat menyebabkan osteoporosis, dimana heparin
meningkatkan resorpsi tulang in vitro. (Isselbacher,et al,2000)
Beberapa contoh lain dari obat yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya osteoporosis diantaranya hormon tiroid, obat-obat antikonvulsan,
antasida yang mengandung alumunium, obat kanker, obat TBC, diuretik,
dan tetrasiklin. (Dalimartha,2002)
9) Gaya hidup inaktif
Olahraga merupakan faktor penting yang menentukan laju
kehilangan massa tulang terkait usia pada pria dan wanita, serta pada pria
dan wanita pascamenopause. Risiko fraktur panggul dapat berkurang
dengan olahraga teratur, walaupun tidak jelas apakah ini akibat densitas
tulang yang terjaga atau akibat kekuatan otot, keseimbangan, dan kegesitan
yang terjaga. (Greenstein dan Wood,2010) Di sisi lain, seseorang yang tidak
pernah berolahraga, sakit berat yang menyebabkan penderitanya harus
berbaring di tempat tidur (imobilisasi), dan pekerjaan dengan banyak duduk
akan menyebabkan otot mengecil dan berkurangnya massa tulang. Pada usia
lanjut, imobilisasi yang lama akan menyebabkan timbulnya osteoporosis.
(Tandra,2009)
Page 21
21
Literatur lain mengelompokkan faktor risiko terjadinya osteoporosis atas 2, yaitu :
1. Faktor risiko yang tidak bisa dicegah
a) Riwayat keluarga mengalami osteoporosis;
b) Riwayat pernah mengalami patah tulang;
c) Ras kulit putih atau Asia;
d) Usia lanjut;
e) Jenis kelamin wanita;
f) Berat badan rendah atau terlalu kurus.
2. Faktor risiko yang bisa dicegah / diatasi
a) Merokok;
b) Kurang mengkonsumsi kalsium dan vitamin D;
c) Minum alkohol;
d) Penglihatan kabur atau rabun;
e) Kurangnya aktivitas fisik;
f) Kurang estrogen atau menopause dini; (Tandra,2009)
g) Riwayat amenore;
h) Penggunaan glukokortikoid. (Imboden,et al,2007)
2.3.3 Patofisiologi
Ciri khas atau penanda utama (bukti nyata) terjadinya osteoporosis
adalah berkurangnya massa tulang yang disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara resorpsi tulang dan pembentukan tulang. Secara fisiologi, resorpsi dan
pembentukan tulang berjalan seimbang. Adanya perubahan, baik peningkatan
resorpsi atau penurunan pembentukan tulang, akan berakhir dengan terjadinya
osteoporosis. Osteoporosis dapat disebabkan oleh keduanya, yaitu oleh karena
gagalnya pembentukan tulang dan mencapai puncak massa tulang saat dewasa
muda dan bisa juga oleh karena kehilangan massa tulang di masa yang akan
datang. Percepatan kehilangan massa tulang dapat terjadi pada masa menopause
pada wanita serta pada pria maupun wanita yang telah lanjut usia. Osteoporosis
juga dapat terjadi secara sekunder akibat berbagai jenis penyakit dan pengobatan.
(Kosmin dan Jacobs,2011)
Page 22
22
Kehilangan fungsi gonad dan penuaan merupakan dua faktor terpenting
yang berperan dalam perkembangan osteoporosis. (Kosmin dan Jacobs,2011)
Pada proses penuaan, terjadi resorpsi pada daerah endokortikal,
intrakortikal, dan permukaan trabekula, sehingga trabekula menipis atau
menghilang, dan korteks tulang menipis dan menjadi porous. Secara bersamaan,
terjadi formasi periosteal yang akan mengkompensasi penipisan tulang dari arah
endosteum. Pada pria, proses aposisi periosteal lebih besar dibandingkan yang
terjadi pada wanita. Sehingga pada usia tua, tulang wanita akan lebih tipis
dibandingkan dengan tulang pria. Hal inilah yang menyebabkan fraktur lebih
mudah terjadi pada wanita dibanding pria. (Setiyohadi,2003)
Fraktur akibat osteoporosis pada pria dan wanita pada umumnya
disebabkan densitas tulang yang rendah. Pada penderita osteoporosis, terjadi
penurunan densitas tulang yang merata pada seluruh tulang. Tetapi, penurunan
densitas yang terberat adalah pada lokasi dimana fraktur terjadi. (Setiyohadi,2003)
Vertebra merupakan bagian tulang yang paling sering mengalami fraktur
pada penderita osteoporosis karena korpus vertebra merupakan tulang yang relatif
kecil ukurannya dengan korteks yang tipis dan trabekulasi yang juga menipis atau
malah menghilang, terutama trabekula yang horizontal. Kehilangan trabekula
pada pria berbeda dengan wanita. Pada wanita, proses osteoporosis terjadi karena
penurunan kadar estrogen yang drastis sehingga resorpsi osteoklas menjadi
berlebihan dan tidak dapat diimbangi oleh formasi osteoblas. Akibatnya, terjadi
perforasi trabekula dan putusnya trabekula. Sedangkan pada pria, walaupun
resorpsi lebih aktif dibandingkan pada usia muda, tetapi formasi jauh menurun
dibanding dengan peningkatan resorpsi, sehingga hasilnya adalah penipisan
trabekula tanpa perforasi atau putusnya trabekula. Oleh sebab itu, tulang pria juga
relatif lebih aktif bila dibandingkan dengan wanita. (Setiyohadi,2003)
Fisiologi remodeling tulang adalah sebagai berikut. Setelah pertumbuhan
berhenti dan puncak massa tulang tercapai, maka proses remodeling tulang akan
dilanjutkan pada permukaan endosteal. Osteoklas akan melakukan resorpsi tulang
sehingga akan meninggalkan rongga yang disebut lakuna Howship pada tulang
trabekular atau rongga kerucut (cutting cone) pada tulang kortikal. Setelah
Page 23
23
resorpsi selesai, maka osteoblas akan melakukan formasi tulang pada rongga yang
ditinggalkan osteoklas membentuk matriks tulang yang disebut osteoid,
dilanjutkan dengan mineralisasi primer yang berlangsung dalam waktu yang
singkat, dan dilanjutkan dengan mineralisasi sekunder dalam waktu yang lebih
panjang dengan tempo yang lebih lambat sehingga tulang menjadi keras.
(Setiyohadi,2003)
Pada awalnya, proses remodeling ini berlangsung seimbang sehingga
tidak ada kekurangan maupun kelebihan massa tulang. Tetapi, dengan
bertambahnya umur, proses formasi menjadi tidak adekuat sehingga mulai terjadi
defisit massa tulang. Proses ini diperkirakan mulai pada dekade ketiga kehidupan
atau beberapa tahun sebelum menopause. Sampai saat ini, belum diketahui secara
pasti apa penyebab penurunan formasi tulang pada usia dewasa mungkin
berhubungan dengan penurunan aktivitas individu yang bersangkutan, atau umur
osteoblas yang memendek, atau umur osteoklas yang memanjang, atau sinyal
mekanis dari osteosit yang abnormal. (Setiyohadi,2003)
Defisiensi estrogen pada wanita menopause telah lama diketahui
memegang peranan penting pada pertumbuhan tulang dan proses penuaan.
(Setiyohadi,2003) Defisiensi estrogen akan berakhir dengan lebih meningkatnya
resorpsi tulang dibandingkan dengan pembentukan tulang itu sendiri. (Wells,et
al,2006) yang nantinya akan mengakibatkan berkurangnya massa tulang.
(Lane,2001)
Penurunan kadar estrogen akan memacu aktivitas remodeling tulang
yang makin tidak seimbang karena osteoblas tidak dapat mengimbangi kerja
osteoklas, sehingga massa tulang akan menurun dan tulang akan menjadi
osteoporotik. Aktivitas osteoklas yang meningkat akan menyebabkan
terbentuknya lakuna Howship yang dalam dan putusnya trabekula, sehingga
kekuatan tulang akan turun dan tulang menjadi mudah mengalami fraktur.
(Setiyohadi,2003)
Selain itu, defisiensi estrogen juga akan meningkatkan osteoklastogenesis
dengan mekanisme yang belum sepenuhnya dimengerti. Lingkungan mikro di
dalam sumsum tulang memegang peranan yang sangat penting pada
Page 24
24
osteoklastogenesis, karena di sini dihasilkan berbagai sitokin, seperti tumor
necrosing factor (TNF) dan berbagai macam interleukin. (Setiyohadi,2003)
Berkurangnya kadar estrogen serum mengakibatkan peningkatan sekresi dari
sitokin ini, khususnya interleukin-1 dan interleukin-6 serta TNF oleh sel-sel
monosit darah. Sitokin ini merupakan stimulator poten yang merangsang
rekruitmen dan aktivitas osteoklas. (Mitchell,2009)
Osteoblas diketahui menghasilkan berbagai faktor yang dapat
menghambat maupun merangsang osteoklastogenesis. (Setiyohadi,2003) Aktivitas
kompensatorik akan terjadi sebagai respons terhadap proses yang telah dipaparkan
di atas. Akan tetapi, aktivitas kompensatorik ini tidak mampu mengikuti
kecepatan hilangnya tulang. Bukti yang semakin banyak menunjukkan, bahwa
terapi sulih estrogen yang disertai suplementasi kalsium (dimulai selama
menopause atau segera sesudah onset menopause) dapat memperlambat atau
mencegah kehilangan tulang yang abnormal. (Mitchell,2009)
Defisiensi estrogen pada pria juga berperan penting pada kehilangan
massa tulang. Penurunan kadar estradiol di bawah 40 pMol/L pada pria akan
menyebabkan osteoporosis. Falahati – Nini,dkk menyatakan bahwa estrogen pada
laki-laki berfungsi mengatur resorpsi tulang. (Setiyohadi,2003)
Faktor lain yang turut berperan pada kehilangan massa tulang, baik pada
pria maupun pada wanita, adalah kalsium, vitamin D, dan hormon paratiroid
(PTH) yang membantu memelihara homeostasis tulang. Ketidakcukupan diet
kalsium ataupun terganggunya absorbsi kalsium oleh usus akibat penuaan atau
penyakit dapat berakhir dengan hiperparatiroid sekunder. Hormon paratiroid
disekresi sebagai respons terhadap kadar kalsium yang rendah dalam serum.
Hormon ini akan meningkatkan resorpsi kalsium dari tulang, menurunkan eksresi
kalsium ginjal, dan meningkatkan produksi 1,25-dihydroxyvitamin D (bentuk
aktif hormon vitamin D yang mengoptimalkan absorbsi kalsium dan fosfor,
menghambat sintesis hormon paratiroid, dan sedikit berperan dalam resorpsi
tulang). (Kosmin dan Jacobs,2011)
Pada akhirnya, peningkatan remodeling tulang akan menyebabkan
kehilangan massa tulang yang telah termineralisasi secara sempurna (mineralisasi
Page 25
25
primer dan sekunder) dan akan digantikan tulang baru yang mineralisasinya
belum sempurna (hanya mineralisasi primer). Pemeriksaan densitometri tulang
dapat membedakan penurunan densitas akibat penurunan massa tulang yang
termineralisasi atau remodeling yang berlebih sehingga tulang terdiri dari
campuran tulang tua yang sudah mengalami mineralisasi sekunder dan tulang
muda yang baru mengalami mineralisasi primer. (Setiyohadi,2003)
2.3.4 Klasifikasi
Osteoporosis dulunya terbagi dalam beberapa klasifikasi berdasarkan
etiologi dan lokalisasinya pada tulang. Osteoporosis pada awalnya terbagi dalam
kategori lokal dan sistemik. (Kosmin dan Jacobs,2011)
Saat ini, osteoporosis dibagi dalam dua kelompok, yaitu osteoporosis
primer dan osteoporosis sekunder. (Dalimartha,2002)
A. Osteoporosis Primer
Osteoporosis primer dapat timbul tanpa keadaan yang mendasari (secara tiba-
tiba). Osteoporosis primer bisa terjadi baik pada pria maupun wanita pada
segala usia. Namun, lebih sering terjadi pada wanita setelah menopause,
sedangkan pada pria terjadi di usia yang lebih tua. (Dalimartha,2002)
Osteoporosis dibagi dalam beberapa tipe, yakni :
1) Osteoporosis Idiopatik
Merupakan suatu bentuk osteoporosis yang dapat terjadi pada
orang dewasa muda pada kedua jenis kelamin dan dengan fungsi gonad
yang normal. (Isselbacher,et al,2000) Osteoporosis idiopatik juga dapat
menyerang sebelum pubertas, baik laki-laki maupun perempuan, dan dapat
mengenai seluruh tulang disertai hambatan pertumbuhan. Osteoporosis ini
disebut juga osteoporosis juvenil. (Dalimartha,2002) Onset terjadinya
osteoporosis juvenil biasanya pada usia 8-14 tahun. Karakteristik khas dari
osteoporosis jenis ini adalah nyeri tulang yang tiba-tiba, dengan atau tanpa
diikuti oleh fraktur yang menyertai trauma. (Kosmin dan Jacobs,2011)
Page 26
26
Penyakit ini jarang sekali ditemukan. Apabila terjadi, osteoporosis
tipe ini berlangsung akut selama 2-4 tahun, kemudian terjadi remisi spontan
(sembuh tanpa pengobatan). (Dalimartha,2002)
2) Osteoporosis Tipe I (Osteoporosis pascamenopause)
Osteoporosis ini timbul setelah haid berhenti (menopause) sebagai
akibat rendahnya hormon estrogen. Tipe ini terjadi pada usia 55-70 tahun.
Perlu diketahui bahwa masa premenopause (haid berkurang dan tidak
beraturan) mulai umur 45 tahun, masa menopause sekitar umur 50 tahun,
dan masa pascamenopause sekitar umur 60 tahun. Pada usia 55-70 tahun,
wanita lebih banyak terkena osteoporosis daripada pria dengan ratio 6:1.
Pengurangan massa tulang terutama di trabekular. Fraktur yang terjadi
biasanya di ruas tulang belakang dan pergelangan tangan (radius distal).
(Dalimartha,2002)
3) Osteoporosis Tipe II (Osteoporosis Senilis)
Osteoporosis ini timbul pada usia lanjut dengan usia berkisar 70-85
tahun. Pada wanita risikonya 2 kali lebih besar daripada pria. Massa tulang
berkurang di daerah korteks dan trabekular. Fraktur biasanya terjadi di ruas
tulang belakang, bagian leher tulang paha, dan tulang panjang lainnya
(seperti tulang lengan bawah dan tulang tungkai bawah). Pada pria,
timbulnya osteoporosis lebih lambat dan densitas puncak tulang yang
dicapainya pun lebih tinggi daripada wanita. (Dalimartha,2002)
B. Osteoporosis Sekunder
Osteoporosis sekunder ini disebabkan oleh penyakit atau kelainan tertentu, atau
bisa juga akibat tindakan pembedahan atau pemberian obat yang mempercepat
pengeroposan tulang. (Tandra,2009)
Beberapa kondisi yang mempengaruhi osteoporosis sekunder seperti :
Penyakit menahun (artritis reumatoid, DM);
Penyakit keganasan (multiple myeloma, leukemia, limfoma, metastasis
kanker ke tulang);
Penggunaan obat tertentu (kortikosteroid, anti-konvulsan, antasida yang
mengandung alumunium, heparin, sitostatika, tetrasiklin, isoniasid);
Page 27
27
Tidak bisa bergerak total (stroke yang menyebabkan kelumpuhan, sakit
berat yang lama);
Gangguan metabolisme kalsium (turunnya penyerapan kalsium oleh usus,
kehilangan kalsium melalui ginjal, gangguan metabolisme vitamin D);
Kelainan endokrin (kekurangan hormon estrogen, progestogen, hormon
paratiroid – tiroksin – pertumbuhan – kalsitonin – kortikosteroid endogen);
Akibat pengangkatan kedua indung telur atau pengangkatan sebagian
lambung;
Tirotoksikosis, hipertiroksin, atau penyakit gondok (hormon tiroksin
berlebihan sehingga terjadi resorpsi tulang yang lebih cepat atau
peningkatan bone turn over);
Kekurangan hormon insulin pada penderita insulin dependent diabetes
mellitus (IDDM);
Hipogonadisme, hiperkalsiuria pada gagal ginjal kronik, anoreksia
nervosa, hiperprolaktinemia, alkoholisme, osteogenesis imperfekta, dan
homocystinuria. (Dalimartha,2002)
2.3.5 Manifestasi Klinis
Umumnya osteoporosis asimptomatis hingga terjadi fraktur. Pasien yang
tidak menderita fraktur seringkali melaporkan gejala-gejala yang akan
menyiagakan dokter untuk menduga terjadinya osteoporosis. Penyakit ini sering
disebut “silent thief” yang pada umumnya tidak menunjukkan adanya gejala klinik
hingga sebuah fraktur terjadi. Oleh sebab itu, perlu dilakukan skrining terhadap
populasi yang berisiko mengalami osteoporosis. (kosmin dan Jacobs,2011) Faktor
risiko terjadinya fraktur itu sendiri bergantung pada densitas massa tulang yang
juga bergantung pada kondisi-kondisi yang memungkinkan seseorang terjatuh
(misalnya pada penderita stroke, parkinson, dementia, maupun penderita
gangguan penglihatan). (Parker dan Sharma,2008)
Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi kolaps
atau hancur, akan timbul nyeri dan perubahan bentuk tulang. (Tandra,2009)
Page 28
28
Seringkali diagnosis osteoporosis ditegakkan dari hasil pemeriksaan
radiologis tulang setelah terjadi fraktur tulang belakang spontan atau fraktur pada
tulang panjang hanya karena trauma ringan (misalnya hanya sedikit terbentur).
(Isselbacher,et al,2000)
Keluhan dan tanda yang sering dijumpai pada pasien osteoporosis antara
lain:
1) Nyeri
Meskipun osteoporosis merupakan kelainan generalisata pada rangka,
sekuele klinis utamanya diakibatkan oleh fraktura pada vertebra, pergelangan
tangan, pinggul, humerus, dan tibia. Gejala yang paling lazim dari fraktura
korpus vertebra adalah nyeri pada punggung dan deformitas pada tulang
belakang. Nyeri biasanya terjadi akibat kolaps vertebra terutama pada daerah
dorsal dan lumbal, secara khas permulaannya akut dan sering menyebar ke
sekitar pinggang hingga ke dalam perut. Episode semacam itu mungkin terjadi
setelah gerakan menekuk, mengangkat, atau melompat secara mendadak yang
mungkin tampak sepele; kadangkala serangan itu tidak dapat dikaitkan dengan
cedera. Nyeri dapat meningkat sekalipun dengan sedikit gerakan, misalnya
berbalik di tempat tidur. Istirahat di tempat tidur dapat meringankan nyeri
untuk sementara, tetapi akan berulang sebagai spasme dengan jangka waktu
yang bervariasi. Penyebaran nyeri ke satu kaki tidak lazim, dan gejala atau
tanda kompresi medulla spinalis jarang terjadi. Serangan nyeri akut juga dapat
disertai oleh distensi perut dan ileus, diperkirakan akibat perdarahan
retroperitoneal, tetapi penggunaan narkotik juga ikut menyebabkan ileus.
Hilangnya selera makan dan kelemahan otot juga dapat terjadi. Serangan nyeri
biasanya mereda setelah beberapa hari hingga seminggu, dan pada 4-6 minggu
pasien dapat sepenuhnya berjalan dan dapat melanjutkan aktivitas normal.
Meskipun nyeri akut mungkin hanya sedikit sekali, rasa tidak enak yang dalam
dan tumpul dapat terlokalisasi di daerah fraktura dan dicetuskan bila mengejan
atau perubahan posisi yang mendadak. Pasien mungkin tidak dapat bangun –
duduk dari tempat tidur dan harus bangun dengan bergulir ke samping dan
kemudian menyangga dirinya untuk tegak. Kebanyakan pasien merasakan
Page 29
29
nyerinya hilang atau berkurang diantara episode kolaps korpus vertebra,
lainnya tidak mengalami episode akut tetapi mengeluh nyeri punggung yang
semakin memburuk bila berdiri atau bergerak mendadak. Nyeri tekan sering
terjadi di daerah prosessus spinosus atau sangkar tulang rusuk yang terlibat.
(Isselbacher,et al,2000)
2) Fraktur
Pada penderita osteoporosis, fraktur yang terjadi seringkali timbul
spontan atau akibat benturan ringan. Terjadinya fraktur seperti ini disebut
fraktur patologis. Awalnya, terjadi fraktur di ruas tulang belakang pada
sebagian kecil penderita di atas usia 65 tahun tanpa terasa apa-apa. Adanya
kelainan disadari setelah tinggi badan menjadi susut atau secara kebetulan
terlihat dalam film rontgen ruas tulang belakang. Pada stadium lanjut, fraktur
spontan juga bisa terjadi tidak pada ruas tulang belakang. (Dalimartha,2002)
Tulang yang sering mengalami fraktur pada penderita osteoporosis
adalah di pergelangan tangan, leher tulang paha, dan ruas tulang belakang.
Fraktur multipel (fraktur di beberapa tempat pada ruas tulang belakang) sering
terjadi pada daerah dada di vertebra torakalis XI dan XII atau pada daerah
pinggang di vertebra lumbal IV dan V. Keadaan tersebut akan menyebabkan
tubuh menjadi bungkuk, gerakan terhambat, dan berkurangnya tinggi badan.
(Dalimartha,2002)
3) Berkurangnya tinggi badan
Penyusutan tinggi badan terjadi akibat adanya kompresi fraktur di ruas
tulang belakang. Biasanya disertai dengan gejala nyeri hebat selama beberapa
hari sampai beberapa bulan atau tanpa gejala apapun (asimptomatis). Tinggi
badan semakin lama semakin pendek karena beberapa kali terjadi fraktur di
beberapa tempat pada ruas tulang belakang. (Dalimartha,2002)
4) Deformitas tulang belakang
Deformitas atau kelainan bentuk tulang belakang bisa terjadi akibat
kompresi fraktur. Punggung yang bungkuk disebut kifosis. (Dalimartha,2002)
Tubuh yang membungkuk (kifosis) atau dorsal kyphosis atau dowager’s hump,
biasanya terjadi akibat kerusakan beberapa ruas tulang belakang dari daerah
Page 30
30
dada (thoracal) dan pinggang (lumbal). Osteoporosis pada tulang belakang ini
menimbulkan fraktur kompresi atau kolaps tulang dan menyebabkan badan
membungkuk ke depan. Kifosis yang berat bisa mengakibatkan gangguan
pergerakan otot pernapasan. Penderita bisa saja merasakan sesak napas, kadang
bahkan timbul komplikasi pada paru-paru. (Tandra,2009)
2.3.6 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis osteoporosis, diperlukan pendekatan yang
sistematis, terutama untuk menyingkirkan osteoporosis sekunder.
(Setiyohadi,2007)
Penentuan teknik diagnostik yang tepat dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang dicurigai dapat menyebabkan osteoporosis. Berdasarkan penilaian klinik
yang dilakukan, satu atau lebih prosedur diagnostik lanjutan kemungkinan akan
dibutuhkan dalam menegakkan diagnosa dari osteoporosis. (Australian National
Consensus Conference,1996)
A. Anamnesis
Anamnesis memegang peranan yang penting pada evaluasi pasien
osteoporosis. Kadang-kadang, keluhan utama dapat langsung mengarah kepada
diagnosis, misalnya fraktur kolum femoris pada osteoporosis, bowing leg pada
riket, atau kesemutan dan rasa kebal di sekitar mulut dan ujung jari pada
hipokalsemia. Pada anak-anak, gangguan pertumbuhan atau tubuh pendek,
nyeri tulang, kelemahan otot, waddling gait, kalsifikasi ekstraskeletal,
kesemuanya mengarah kepada penyakit tulang metabolik. (Setiyohadi,2007)
Faktor lain yang harus ditanyakan juga adalah fraktur pada trauma
minimal, imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya
paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor, dan vitamin D, latihan yang
teratur yang bersifat weight-bearing. (Setiyohadi,2007)
Obat-obatan yang diminum dalam jangka panjang juga harus
diperhatikan, seperti kortikosteroid, hormon tiroid, antikonvulsan, heparin,
antasid yang mengandung alumunium, sodium fluorida, dan bifosfonat
etidronat. (Setiyohadi,2007)
Page 31
31
Alkohol dan merokok juga merupakan faktor risiko osteoporosis.
Penyakit-penyakit lain yang harus ditanyakan yang juga berhubungan dengan
osteoporosis adalah penyakit ginjal, saluran cerna, hati, endokrin, dan
insufisiensi pankreas. Riwayat haid, umur menarke dan menopause,
penggunaan obat-obat kontraseptif juga harus diperhatikan, karena ada
beberapa penyakit tulang metabolik yang bersifat herediter. (Setiyohadi,2007)
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang lengkap sebaiknya dilakukan pada setiap
pasien, dengan penekanan pada pengukuran tinggi dan berat badan secara
akurat. Pemeriksaan vertebra harus dilakukan. Perhatikan ada tidaknya tanda
kifosis, nyeri, dan spasme otot. Pemeriksaan payudara dan pendidikan untuk
melakukan pemeriksaan sendiri sebaiknya dilakukan pada setiap wanita yang
sedang dipertimbangkan untuk menerima terapi pengganti estrogen. Stabilitas
cara berjalan dan risiko jatuh sebaiknya dinilai. (Lin dan Rypkema,2010)
C. Pemeriksaan Densitas Tulang
Osteoporosis paling sering ditentukan dengan memeriksa densitas
(kepadatan) tulang. (Tandra,2009) Penentuan densitas tulang bisa dilakukan
dengan:
1) DXA (Dual-energy X-Ray Absorptiometry)
Merupakan sinar-X radiasi rendah yang memiliki kemampuan untuk
mendeteksi hilangnya massa tulang. (International Osteoporosis
Foundation,2010) DXA digunakan untuk mengukur densitas vertebra,
panggul, dan juga dapat mengukur densitas seluruh skeletal tubuh.
(Shiel,2012)
2) pDXA (peripheral DXA)
Digunakan untuk mengukur densitas tulang lengan bawah, jari, dan
tumit. (International Osteoporosis Foundation,2011)
3) SXA (Single-energy X-Ray Absorptiometry)
Page 32
32
Digunakan untuk mengukur densitas tulang tumit ataupun tulang
pergelangan tangan. (International Osteoporosis Foundation,2011)
4) DPA (Dual Proton Absorptiometry)
Digunakan untuk mengukur densitas tulang vertebra, panggul, atau
seluruh tulang tubuh. (International Osteoporosis Foundation,2011)
5) SPA (Single Proton Absorptiometry)
Digunakan untuk mengukur densitas tulang pergelangan tangan.
(International Osteoporosis Foundation,2011)
6) QCT (Quantitative Computed Tomography)
Digunakan untuk mengukur densitas tulang vertebra dan tulang
panggul. pQCT (peripheral QCT) untuk mengukur densitas tulang
lengan bawah. (International Osteoporosis Foundation,2011)
7) QUS (Quantitative Ultrasound)
Teknik ini menggunakan gelombang suara untuk mengukur densitas
tulang pada tumit atau jari. (International Osteoporosis
Foundation,2011)
Dari semua teknik pemeriksaan densitas tulang, dual-energy x-ray
absorptiometry (DXA) adalah cara yang paling akurat. Pemeriksaan ini aman
dan tidak menimbulkan nyeri, bisa dilakukan dalam waktu 5-15 menit.
(Tandra,2009)
Urutan ketepatan beberapa teknik pemeriksaan densitas tulang adalah :
1. DXA tulang belakang (Spine DXA)
2. DXA tulang panggul (Hip DXA)
3. DXA perifer atau tulang tepi/kaki (Peripheral DXA)
4. CT kuantitatif (QCT/Quantitative Computed Tomography)
5. Ultrasound. (Tandra,2009)
Densitometri tulang telah memperbaiki diagnosis dan pengobatan
osteoporosis. Pemeriksaan tersebut memungkinkan dokter mendiagnosis massa
tulang yang rendah sebelum terjadinya fraktur. Pengukuran massa tulang
merupakan prediktor akurat fraktur. (Lin dan Rypkema,2010)
Indikasi untuk densitometri tulang
Page 33
33
1. Menurut Akta Pengukuran Massa Tulang Tahun 1998
a) Wanita pascamenopause yang memutuskan apakah akan memulai terapi
penggantian estrogen (ERT, estrogen replacement therapy) atau terapi
osteoporosis lainnya;
b) Osteopenia yang dicurigai secara radiologis;
c) Glukokortikoid kronik (>7,5 mg/hari selama >3 bulan);
d) Hiperparatiroidisme primer;
e) Monitoring serial untuk memantau terapi.
2. Menurut Penuntun National Osteoporosis Foundation
a) Wanita berusia 65 tahun atau lebih tanpa memandang faktor risiko
tambahan;
b) Wanita pascamenopause berusia kurang dari 65 tahun dengan sekurang-
kurangnya satu faktor risiko tambahan;
c) Wanita pascamenopause yang mencari pengobatan untuk fraktur;
d) Wanita yang mempertimbangkan untuk menerima terapi osteoporosis
yang keputusannya kemungkinan dipengaruhi oleh uji densitas mineral
tulang (BMD, bone mineral density);
e) Wanita yang menerima penggantian hormon untuk waktu yang lama.
(Lin dan Rypkema,2010)
Pemeriksaan central dual-energy x-ray absorptiometry (DXA sentral)
merupakan pemeriksaan dasar yang paling utama untuk memantau
osteoporosis. Pemantauan yang dimaksud adalah mengetahui adanya
penurunan densitas tulang, mungkin karena usia sudah lanjut, wanita yang
sudah mengalami menopause, menderita penyakit ginjal yang menahun, atau
karena pemakaian obat kortikosteroid. (Tandra,2009)
Memeriksa kepadatan tulang juga untuk mengetahui hasil pengobatan
osteoporosis yang sudah diberikan, apakah bisa menambah kekuatan tulang
atau berhasil menurunkan risiko terjadinya patah tulang. Pemeriksaan BMD
juga dipakai untuk penelitian, misalnya khasiat satu obat dibandingkan dengan
obat yang lain atau pengaruh suatu pengobatan terhadap densitas tulang. Tes
BMD sangat perlu dilakukan secara berkala untuk orang yang berisiko tinggi
Page 34
34
terkena osteoporosis, untuk mengetahui timbulnya fraktur tulang.
(Tandra,2009)
Istilah yang dipakai untuk hasil pemeriksaan BMD adalah T-score.
Yang dimaksud dengan T-score adalah jumlah standar deviasi (SD) dimana
BMD turun atau naik dibandingkan dengan kontrol. Yang menjadi kontrol
adalah orang muda dengan tulang yang sehat. (Tandra,2009)
Berbeda dengan T-score, Z-score membandingkan BMD seseorang
dengan BMD rata-rata orang dengan jenis kelamin, usia, tinggi badan, dan
berat badan yang sama. Hasil yang negatif berarti tulang keropos, sedangkan
hasil yang positif menyatakan tulang lebih kecil memiliki risiko patah tulang
dibandingkan dengan rata-rata orang lain. (Tandra,2009)
Tabel 2.1 Region of Interest (ROI)
Bagian-bagian tulang yang diukur (Region of Interest, ROI) :
Tulang belakang
Panggul
- Femoral neck
- Total femoral neck
- Trokanter
Lengan bawah (33% radius), bila :
- Tulang belakang dan/atau panggul tak dapat diukur
- Hiperparatiroidisme
- Sangat obes
Dari ketiga lokasi tersebut, maka nilai T-score yang terendah yang
digunakan untuk diagnosis osteoporosis.
(Setiyohadi,2007)
Tabel 2.2 T-score dan Z-score
T-score = BMD pasien – BMD rata-rata orang dewasa muda
Page 35
35
1 SD BMD rata-rata orang dewasa muda
Z-score = BMD pasien – BMD rata-rata orang seusia pasien
1 SD BMD rata-rata orang seusia pasien
Nilai Z-score tidak digunakan untuk diagnosis. Z-score yang rendah (< -
2,0) mencurigakan ke arah kemungkinan osteoporosis sekunder,
walaupun tidak ada data pendukung. Selain itu, setiap penderita harus
dianggap menderita osteoporosis sekunder sampai terbukti tidak ada
penyebab osteoporosis sekunder.
(Setiyohadi,2007)
Tabel 2.3 Kriteria World Health Organization untuk diagnosis
osteoporosis
Skor T Kategori
SD < -1 dari massa tulang puncak
-1 SD sampai -2,5 SD dari massa tulang
puncak
SD < -2,5 dari massa tulang puncak
SD < -2,5 dengan fraktur yang
disebabkan fragilitas tulang
Normal
Massa tulang rendah/osteopenia
Osteoporosis
Osteoporosis berat
(Lin dan Rypkema,2010)
Hasil pengukuran BMD tidak langsung mencerminkan kemungkinan
fraktur tulang bakal terjadi. Seseorang dengan T-score 2,4 tidak selalu akan
lebih buruk tulangnya daripada seseorang dengan T-score -2,6. Hanya saja
dapat disimpulkan bahwa semakin rendah T-score, pasti semakin sering atau
semakin mudah orang tersebut terkena patah tulang. (Tandra,2009)
Seseorang yang mengidap penyakit tertentu sering juga menunjukkan
T-score yang rendah, sekalipun belum terjadi osteoporosis. (Tandra,2009)
D. Pemeriksaan Laboratorium
Page 36
36
1) Profil biokimia terpadu memungkinkan penapisan sederhana untuk
penyebab sekunder, yaitu, rasio kalsium-fosfor untuk hiperparatiroidisme,
rasio protein-albumin total untuk mieloma, dan penapisan untuk penyakit
hati dan ginjal. (Lin dan Rypkema,2010)
2) Hormon perangsang tiroid (TSH, thyroid-stimulating hormone) harus
diukur pada pasien dengan gejala-gejala hipertiroidisme atau mereka yang
menerima terapi penggantian tiroid. (Lin dan Rypkema,2010)
3) 25-Hidroksivitamin D memeriksa simpanan vitamin D dalam tubuh. (Lin
dan Rypkema,2010)
4) Pemeriksaan tambahan dapat dipertimbangkan untuk mereka dengan massa
tulang yang rendah atau mereka yang terus mengalami kehilangan tulang
meskipun telah diberikan terapi antiresorptif, meliputi pemeriksaan :
Pemeriksaan hormon paratiroid (PTH) serial;
Urine 24 jam untuk ekskresi kalsium;
Elektroforesis protein serum (SPEP);
Kadar kortisol;
Kadar estradiol pada wanita;
Kadar testosteron pada pria;
Biopsi tulang. (Lin dan Rypkema,2010)
E. Pemeriksaan Biopsi Tulang dan Histomorfometri
Biopsi tulang dan histomorfometri merupakan pemeriksaan yang
sangat penting untuk menilai kelainan metabolisme tulang. (Setiyohadi,2007)
Akan tetapi, pemeriksaan ini tidak diindikasikan secara rutin, namun
menunjukkan penurunan jumlah trabekula dengan kalsifikasi yang normal.
(Rubenstein,2007)
Biopsi biasanya dilakukan di daerah transiliakal, yaitu 2 cm posterior
SIAS dan sedikit inferior krista iliakal. Alat yang digunakan adalah jarum
Bordier – Meunier. Indikasi biopsi tulang meliputi berbagai kelainan metabolik
tulang seperti osteoporosis pasca menopause, osteodistrofi renal, osteomalasia,
rikets, hiperparatiroidisme primer, penyakit tulang akibat kelainan
gastrointestinal atau pasca operasi gastrointestinal. (Setiyohadi,2007)
Page 37
37
2.3.7 Diagnosis Banding
Diagnosis banding osteoporosis sangatlah luas, bahkan semua penyebab
sekunder osteoporosis termasuk di dalamnya. Ketika berhadapan dengan masalah
berkurangnya densitas tulang, kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat
menyebabkan timbulnya gejala yang didapati harus selalu disingkirkan sebelum
mengobati pasien sebagai penderita osteoporosis. (Kosmin dan Jacobs,2011)
Karena penurunan massa rangka adalah tanda universal dari penuaan,
penurunan kepadatan tulang yang asimtomatik, yang ditentukan secara
radiografik, sulit dievaluasi pada perempuan tua, terutama bila tidak disertai
dengan peningkatan yang nyata dalam bikonkavitas badan vertebra atau fraktura.
Tetapi pengukuran kuantitatif pada massa tulang adalah peramal fraktura di
kemudian hari. Bila terdapat nyeri tulang dengan atau tanpa fraktura atau
deformitas, adalah penting untuk menetapkan ada tidaknya penyebab osteoporosis
yang dikenal dan perlu diyakinkan bahwa osteoporosis adalah diagnosis yang
benar. (Isselbacher,et al,2000)
Keganasan dari berbagai jenis, terutama mieloma multipel, limfoma,
leukemia, dan karsinoma metastatik, dapat menyebabkan kehilangan tulang yang
difus, terutama tulang trabekuler pada kolumna vertebralis, sekalipun tidak
terdapat hiperkalsemia. Tidak adanya anemia, peningkatan laju pengendapan
eritrosit, pola protein serum elekroforesis yang abnormal, dan proteinuria Bence
Jones berguna untuk menyingkirkan kemungkinan mieloma multipel. Tetapi,
biopsi jarum pada tulang atau aspirasi sumsum mungkin tepat pada osteoporosis
yang berat dengan fraktura. Histomorfometri kuantitatif pada sampel biopsi
standar dari krista iliaka merupakan suatu alat penelitian tetapi, tersedia di
beberapa laboratorium rujukan. Sampel biopsi tulang harus difiksasi sebagaimana
mestinya, tidak didemineralisasi, dan dimasukkan dalam plastik untuk
menyingkirkan osteomalasia. (Isselbacher,et al,2000)
Bukti radiologik osteoporosis sering ditemukan pada penderita
hiperparatiroidisme primer, yang mungkin tidak mengalami osteitis fibrosa (lesi
lisis diskret dengan berbagai ukuran dan resorpsi subperiosteum) atau peningkatan
Page 38
38
alkalin fosfatase serum. Meskipun hiperparatiroidisme primer ringan yang
asimtomatik bukan merupakan faktor risiko utama pada osteoporosis, kelainan ini
dapat ikut mempercepat kehilangan tulang. Suatu unsur hiperparatiroidisme
sekunder mungkin terdapat pada beberapa pasien usia lanjut dengan osteoporosis
tipe II dan pada pasien lain dengan gangguan fungsi ginjal, asupan kalsium oral
yang tidak mencukupi, atau pengurangan absorpsi kalsium usus. Peningkatan
jumlah osteoklas mungkin terdapat dalam bahan biopsi tulang dari pasien
semacam itu. (Isselbacher,et al,2000)
Osteomalasia dapat menyerupai osteoporosis atau ada bersama-sama
dengannya, namun tanda radiologik khusus untuk osteomalasia mungkin tidak
selalu terdapat. Meskipun adanya kelainan seperti kadar 25-hidroksivitamin D
[25(OH)D] beredar yang rendah atau tidak terdeteksi dan/atau hipofosfatemia
menunjukkan kemungkinan terjadinya osteomalasia, biopsi tulang mungkin
penting untuk diagnosis. Karena osteomalasia lebih dapat diatasi dengan terapi
(misalnya vitamin D pada hipovitaminosis D atau suplemen fosfat pada deplesi
fosfat) daripada kasus osteoporosis yang lazim , prosedur diagnostik semacam itu
sering diperlukan. Defisiensi vitamin D subklinis dengan hiperparatiroidisme
sekunder yang menyertainya mungkin lebih sering ditemukan pada perempuan
usia lanjut daripada yang sebelumnya dikenal, dan terapi pada perempuan
pascamenopause dengan dosis kecil vitamin D3 (20µg atau 800 UI tiap hari) dapat
mengurangi risiko fraktura pinggul dan fraktura nonvertebra yang lain.
(Isselbacher,et al,2000)
Kadang-kadang pada penderita penyakit Paget, tanda-tanda radiologik
mungkin hampir semata-mata lisis dan dapat dikacaukan dengan osteoporosis.
Tetapi, kadar alkalin fosfatase yang tinggi dan peningkatan ekskresi peptida yang
mengandung-hidoksiprolin dalam urin dengan laju sedang atau tinggi adalah
petunjuk untuk adanya penyakit Paget. Prosedur pemindaian (scanning) dengan
isotop pencari-tulang tidak bermanfaat dalam diagnosis diferensial jika terdapat
fraktura karena fraktura menyebabkan ambilan isotop yang khusus. Tetapi, bila
tidak ada fraktura, “tempat yang panas” (hot spots) menunjukkan adanya tumor
Page 39
39
atau penyakit Paget dini, terutama bila terdapat pada rangka apendikuler.
(Isselbacher,et al,2000)
2.4 OSTEOPOROSIS YANG DIINDUKSI OLEH KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid merupakan hormon yang diproduksi oleh korteks kelenjar
adrenal. Secara umum, kortikosteroid ini didefinisikan sebagai glukokortikoid
(efek utamanya terhadap inflamasi dan metabolisme glukosa) atau
mineralokortikoid (efek utamanya pada Na+/K+). Hormon ini maupun turunan
sintetisnya dapat digunakan sebagai obat. Obat-obat kortikosteroid seringkali
memperlihatkan aktivitas gabungan dari glukokortikoid dan mineralokortikoid.
(Constable,et al,2007)
Kortikosteroid digunakan secara luas di unit-unit primary care. Kondisi-
kondisi umum yang membutuhkan pemberian kortikosteroid ini termasuk
rheumatoid arthritis,polymyalgia rheumatica, inflammatory bowel disease, dan
asma/penyakit obstruktif kronik saluran napas. (Roy dan O’Neill,2005)
Walaupun secara terapeutik efektif, keropos tulang mungkin merupakan
efek samping pengobatan yang paling serius. (Cosman,2009) Pemberian jangka
panjang sendiri merupakan penyebab yang biasa dari osteoporosis pada orang
dewasa dan pertumbuhan tulang-tulang skeletal yang buruk pada anak-anak.
(Katzung,1998)
Jadi, jelaslah bahwa para pasien harus diberi dosis steroid serendah
mungkin dalam jangka waktu sependek mungkin. Namun, membatasi penggunaan
steroid sampai ke jumlah tertentu yang tidak merugikan tulang mungkin mustahil.
(Cosman,2009)
Keropos tulang akibat steroid bisa terjadi pada dosis kecil dan
berlangsung sangat cepat, khususnya pada tulang yang mengandung sejumlah
besar tulang berpori (porous bone), seperti ruas tulang belakang. Pengobatan
steroid dengan cara diminum dapat menyebabkan hilangnya massa tulang
belakang sebesar 5 sampai 10 persen selama lima atau enam bulan pertama terapi.
Steroid dalam bentuk obat hirup dan steroid yang disuntikkan ke tulang sendi
tidak terlalu merusak tulang dibandingkan bentuk yang diminum, tetapi masih
Page 40
40
tetap menyebabkan efek merugikan yang besarnya tergantung dosis yang
diberikan. (Cosman,2009)
Baru-baru ini ditunjukkan bahwa steroid mengakibatkan tingginya
kejadian patah tulang akibat osteoporosis saat obat tersebut digunakan.
(Cosman,2009) Beberapa studi jangka pendek menunjukkan bahwa dosis harian
prednisolone, sedikitnya 5 mg, menyebabkan marker-marker pembentukan tulang,
misalnya osteokalsin, akan berkurang drastis. Baik dosis harian maupun dosis
kumulatif, keduanya dipertimbangkan sebagai faktor yang bertanggungjawab
dalam proses terjadinya efek yang merugikan bagi tulang. (Romas,2008)
Meningkatnya risiko patah tulang yang berkaitan dengan pemakaian
steroid terjadi nyaris seketika setelah pengobatan steroid dimulai. Demikian pula
saat penggunaan steroid dihentikan, risiko patah tulang turun dengan cepat ke
tingkat yang sama seperti pada orang yang tidak diobati dengan steroid. Observasi
ini menunjukkan, bahwa segala pengobatan yang ditujukan untuk pencegahan
osteoporosis akan optimal jika mulai diberikan sebelum pengobatan dengan
steroid dimulai dan tetap dilanjutkan selama penggunaan steroid. Namun, obat-
obatan osteoporosis yang diberikan dengan cara ini dapat dihentikan bersama-
sama dengan penghentian pemberian steroid. (Cosman,2009)
Kortikosteroid dapat mempengaruhi tulang secara langsung dengan
mengubah metabolisme kalsium dan tulang, tetapi dapat juga secara tidak
langsung dengan mengubah berbagai aktivitas hormonal dan metabolisme protein.
(Pols,et al,2000)
Terjadinya osteoporosis yang diinduksi kortikosteroid dapat disebabkan
oleh berbagai mekanisme, diantaranya :
A. Homeostasis kalsium
1) Penurunan kadar kalsium dan fosfat dari traktus gastrointestinal oleh
mekanisme yang belum diketahui;
2) Meningkatnya ekskresi kalsium melalui urin dan menurunnya reabsorbsi
kalsium di tubulus distal ginjal;
3) Stimulasi sekresi hormon paratiroid.
B. Efek-efek hormonal yang dihasilkan oleh gonad
Page 41
41
1) Penurunan hormon seks : langsung dan tidak langsung;
2) Menurunnya LH dari hipofisis : estrogen dan testosteron;
3) Menurunnya sintesa kelenjar adrenal;
4) Menurunnya hormon seks terkait globulin.
C. Pembentukan dan resorpsi tulang
1) Inhibisi proliferasi osteoblas;
2) Menurunnya sintesa matriks;
3) Meningkatnya apoptosis;
4) Menurunnya sintesa protein (kolagen tipe I dan protein nonkolagenous);
5) Menurunnya osteokalsin, IGF1,insulin-like growth factor,dan sebagainya;
6) Meningkatnya aktivitas osteoklas;
7) Meningkatnya apoptosis osteoklas yang matur.(Pongchaiyakul,2010)
D. Lainnya
Penyakit yang mendasari yang menyebabkan kortikosteroid
diresepkan dan pengobatan-pengobatan lain yang diberikan bersamaan dengan
pemberian kortikosteroid kemungkinan berkontribusi terhadap hilangnya
tulang. Lebih lanjut, sitokin-sitokin kemungkinan memainkan peran modulator
dalam proses ini, sebagai contoh pada rheumatoid arthritis. Meskipun
demikian, kontribusi faktor-faktor ini baru sebagian kecil yang telah diteliti.
(Pols,2000)
Glukokortikoid juga memiliki efek katabolik yang menyeluruh,
khususnya terhadap otot, yang pada akhirnya menyebabkan kelemahan pada
otot-otot tersebut. Tidak adanya aktivitas dan lemah atau hilangnya otot akan
mengarah kepada hilangnya mineral tulang. (Pols,2000)
Cara mendiagnosis osteoporosis yang disebabkan oleh steroid sama
seperti mendiagnosis osteoporosis normal (osteoporosis yang tidak disebabkan
penyakit pokok atau obat tertentu). Tes kepadatan tulang harus dilakukan untuk
menentukan risiko dasar pada saat steroid akan digunakan. Keputusan untuk
memberikan pengobatan yang efektif harus diambil berdasarkan pertimbangan
hasil BMD, usia pasien, dan faktor risiko terkait lainnya, termasuk parah tidaknya
Page 42
42
penyakit pokok serta kemungkinan diperlukannya pengobatan steroid terus-
menerus. (Lin dan Rypkema,2010)
2.5 PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN OSTEOPOROSIS
2.5.1 Pencegahan dan pengobatan osteoporosis secara umum
Pengadaan sesi pendidikan bagi pasien penting untuk pencegahan dan
pengobatan osteoporosis diantaranya :
1) Pencegahan jatuh
Benda-benda berbahaya di dalam rumah. Periksa dan pindahkan
permadani, karpet, ubin yang licin, tali-tali dan kawat-kawat, atau segala
sesuatu yang dapat menyebabkan pasien terjatuh.
Perabotan rumah. Periksa perabotan rumah yang tidak stabil dan
berantakan yang dapat menghambat mobilitas.
Pencahayaan. Pastikan pencahayaan yang cukup, terutama waktu malam
hari.
Kamar mandi. Palang pegangan untuk di kamar mandi, pemasangan
permukaan yang tidak licin di bawah pancuran.
Sepatu yang pas dipakai.
Permukaan di luar rumah. Trotoar yang tidak teratur, es atau salju,
permukaan yang tidak rata.
Hipotensi postural.
Pelindung pinggul terbukti mengurangi fraktur pinggul secara signifikan
pada pasien tua yang menjalani rawat jalan, tetapi dalam keadaan lemah.
(Lin dan Rypkema,2010)
2) Latihan fisik
Latihan fisik dalam hal ini dilakukan secara reguler / teratur. (Tierney,et
al,2006) Efektivitas latihan / exercise telah dievaluasi melalui penggunaan
perubahan absolut di tulang, dan telah menunjukkan peningkatan
pertumbuhan dalam lebar maupun kandungan mineral tulang pada anak gadis
dan perempuan dewasa terutama apabila aktivitas fisik telah dimulai sebelum
pubertas. Setelah latihan reguler selama 9-12 bulan pada perempuan dewasa
Page 43
43
sering terlihat manfaat sangat kecil terhadap kesehatan tulang, yang mungkin
disebabkan intensitas latihan maupun durasi dan frekuensi tidak cukup, atau
mungkin pada tahapan usia tersebut akumulasi massa tulang berada pada
puncak alamiah. (Tulaar,2009)
Efektivitas latihan setelah menopause untuk meningkatkan mineral
tulang sangat tergantung pada kesediaan kalsium yang adekuat dalam diet.
Studi BEST (Bone Estrogen Strength Training) telah menunjukkan bahwa
kombinasi peningkatan aktivitas fisik/latihan dengan asupan kalsium yang
adekuat mencegah hilangnya tulang pada populasi perempuan. Kunci
keberhasilan tercapainya tujuan untuk perbaikan kesehatan tulang terletak
pada intensitas latihan dan tingkat ketahanan latihan yang dilakukan secara
teratur/reguler. (Tulaar,2009)
Beberapa penelitian pada perempuan pasca menopause menunjukkan
peningkatan mineral tulang dekat dengan norma pada populasi sehat setelah
latihan berintensitas tinggi. Aktivitas fisik terus-menerus merangsang
peningkatan diameter tulang sepanjang hidup. Peningkatan diameter tulang
akibat latihan / exercise tersebut mengurangi risiko fraktur melalui kontra-
aksi secara mekanik terhadap penipisan serta peningkatan porositas tulang.
(Tulaar,2009)
Manfaat latihan:
a) Mengurangi hilangnya massa tulang;
b) Konservasi jaringan tulang yang sisa;
c) Perbaikan kebugaran fisik;
d) Perbaikan kekuatan otot;
e) Perbaikan waktu / kecepatan reaksi;
f) Peningkatan mobilitas;
g) Sensasi keseimbangan dan koordinasi lebih baik;
h) Mengurangi risiko jatuh;
i) Mengurangi risiko fraktur tulang akibat jatuh;
j) Mengurangi nyeri. (Tulaar,2009)
Manfaat lainnya dari latihan termasuk :
Page 44
44
a) Meningkatkan kemampuan untuk melakukan tugas dan aktivitas sehari-
hari;
b) Memelihara atau memperbaiki postur;
c) Menghilangkan atau mengurangi rasa sakit;
d) Meningkatkan rasa nyaman diri / well-being. (Tulaar,2009)
Suatu survei pada 350 perempuan usia menengah mendapatkan bahwa
mereka yang lebih aktif dalam kehidupan sehari-hari secara bermakna
mempunyai densitas tulang yang lebih padat di daerah tulang belakang,
tulang paha dan lengan, dibandingkan mereka yang kurang aktif. Studi yang
lain mendapatkan bahwa berlari menguatkan tulang tungkai pada perempuan
muda maupun tua. (Tulaar,2009)
Beberapa faktor perlu diperhatikan dalam menentukan program latihan,
yaitu :
a) Usia;
b) Beratnya osteoporosis;
c) Obat-obatan yang sedang digunakan;
d) Kebugaran dan kemampuan;
e) Kondisi medis lain seperti RA, penyakit hati, dll;
f) Apakah densitas tulang atau kekuatan otot dan koordinasi adalah tujuan
utama latihan. (Tulaar,2009)
Tiga jenis latihan yang sering direkomendasikan kepada mereka dengan
osteoporosis, adalah :
a) Latihan penguatan, terutama untuk otot-otot punggung;
b) Aktivitas aerobik dengan pembebanan / weight-bearing;
c) Latihan fleksibilitas. (Tulaar,2009)
Berenang dan aerobik dalam air / aquarobic memberi dampak yang
dibutuhkan tulang untuk memperlambat hilangnya mineral. Namun demikian,
berbagai aktivitas tersebut dapat bermanfaat pada kasus osteoporosis berat,
selama rehabilitasi fraktur atau hanya untuk menambah kapasitas aerobik.
(Tulaar,2009)
Page 45
45
Latihan di dalam air memberikan tempat yang aman tanpa risiko jatuh
atau fraktur. Latihan akuatik dapat meningkatkan kekuatan otot, mengurangi
nyeri melalui pengurangan gaya beban terhadap sendi dan tulang,
memperbaiki keseimbangan, mempercepat penyembuhan / pemulihan dan
meningkatkan propriosepsi. Terapi akuatik membantu relaksasi serta
memperbaiki sirkulasi, gerak sendi, tonus otot, dan percaya diri sehingga
mengurangi ketakutan akan jatuh. (Tulaar,2009)
Oleh karena mereka dengan osteoporosis mempunyai tulang yang lemah
sehingga mudah fraktur, maka ada beberapa aktivitas yang sebaiknya
dihindari, seperti :
a) Aerobik impak tinggi, seperti melompat, berlari atau jogging;
b) Latihan apapun yang memerlukan gerakan yang tiba-tiba dan bertenaga;
c) Abdominal sit-up;
d) Latihan apapun yang memerlukan gerakan melintir/berputar, seperti
ayunan golf;
e) Latihan apapun yang memerlukan lonjakan, hentian dan mulai/start yang
tiba-tiba seperti tennis atau squash. (Tulaar,2009)
Saat ini belum diketahui dengan pasti dosis latihan bagi mereka dengan
osteoporosis. Akan tetapi, berbagai penelitian mengindikasikan yang
bermanfaat, sebagai berikut :
a) 15 – 60 menit aktivitas aerobik terus-menerus, 2-3 kali per minggu;
b) Latihan penguatan (menggunakan beban) 2 kali per minggu. Setiap sesi
latihan harus mencakup latihan penguatan otot tungkai dan lengan. Setiap
latihan dikerjakan 8-10 kali;
c) Latihan keseimbangan perlu dilakukan pada tingkat yang menantang
keseimbangan. Namun demikian, demi alasan keamanan, selalu
diyakinkan ada tempat berpegang apabila keseimbangan terganggu.
Latihan demikian harus dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali seminggu;
d) Gabungkanlah latihan peregangan untuk menambah fleksibilitas.
(Tulaar,2009)
Page 46
46
Disamping tindakan yang telah dipaparkan di atas, sangatlah perlu untuk
dipastikan bahwa semua individu memiliki diet yang seimbang dengan
masukan kalsium dan vitamin D yang adekuat. (Wells,et al,2006)
Tabel 2.4 Kebutuhan Harian Kalsium dan Vitamin D
KALSIUM (mg) VITAMIN D (unit)
Infant
0-6 bulan
6 bulan – 1 tahun
Anak
1-3 tahun
4-8 tahun
9-13 tahun
Remaja
14-18 tahun
Dewasa
19-50 tahun
51-70 tahun
> 71 tahun
210
270
500
800
1300
1300
1000
1200
1200
200
200
200
200
200
200
200
400
800
(Wells,et al,2006)
Jika masukan diet yang adekuat tidak terpenuhi, dibutuhkan pemberian
suplemen kalsium. (Wells,et al,2006)
Meski 2-5 cangkir kopi dapat menyebabkan sedikit meningkatnya
ekskresi kalsium, efek ini dapat direduksi dengan meningkatkan masukan
kalsium. (Wells,et al,2006)
Dengan berhenti merokok, kepadatan massa tulang akan meningkat,
demikian sebaliknya aktivitas merokok akan menurunkannya dan
meningkatkan risiko terjadinya fraktur. (Wells,et al,2006)
Pengobatan yang spesifik untuk osteoporosis sendiri sangatlah bervariasi,
tergantung pada penyebabnya. Namun, pada dasarnya obat-obatan yang
digunakan ditujukan untuk meningkatkan pembentukan tulang dan
Page 47
47
mengurangi resorpsi tulang. Dengan demikian dapat dikurangi kehilangan
massa tulang yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur. (Dalimartha,2002)
Mengingat osteoporosis merupakan kelainan yang prosesnya terus
berlanjut sepanjang sisa hidupnya, maka pencegahan dan pengobatan perlu
dilakukan terus-menerus. Penghentian pengobatan berarti proses
penghancuran tulang oleh osteoklas akan berlanjut kembali dan osteoporosis
yang sudah berhasil diatasi akan berulang lagi. Berikut ini adalah obat-obat
spesifik yang diberikan kepada penderita osteoporosis. (Dalimartha,2002)
1. Hormon estrogen
Pemberian hormone replacement therapy (HRT) pada perempuan
di awal menopause merupakan cara yang efektif untuk mencegah
kehilangan massa tulang. Hormon estrogen ini merupakan hormon yang
dapat mengurangi proses resorpsi tulang. Namun begitu, tidak semua
perempuan yang mengalami menopause secara alami perlu diberikan HRT
mengingat efek samping obat ini. Pemberian dilakukan hanya kepada
perempuan menopause yang menunjukkan peningkatan bone turn over
atau pada mereka yang telah diangkat kedua indung telurnya sebelum
menopause. (Dalimartha,2002)
Estrogen yang digunakan untuk pencegahan dan pengobatan
postmenopausal osteoporosis antara lain tablet estradiol 1-2 mg/hari, etinil
estradiol 0,02-0,05 mg/hari, atau estrogen terkonjugasi (premarin tablet)
0,625 mg/hari. Obat tersebut diberikan secara siklik selama 25 hari setiap
bulannya. Untuk mencegah timbulnya kanker payudara, kanker
endometrium, dan hiperplasia endometrium, perlu ditambahkan
progesteron. Progesteron yang banyak digunakan adalah
medroksiprogesteron (tablet provera) dengan dosis 2,5-10 mg pada hari ke
21-25, lalu istirahat selama 5 hari, baru dilanjutkan kembali dengan
pengobatan yang sama. (Dalimartha,2002)
Kontraindikasi penggunaan HRT antara lain, terabanya benjolan di
payudara, pernah operasi tumor di payudara, atau pernah kanker payudara
pada sisi lainnya. Penggunaan hormon estrogen harus dibawah
Page 48
48
pengawasan seorang dokter ahli karena efek sampingnya.
(Dalimartha,2002)
Agar penggunaan estrogen memberikan manfaat maksimal pada
tulang tanpa efek yang buruk, telah dikembangkan selektif estrogen-
reseptor modulator (SERMs), yaitu raloxifene. Penggunaan obat ini telah
disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) guna pengobatan dan
pencegahan osteoporosis. Raloxifene dapat mengurangi risiko fraktur
tulang belakang sampai 36%. Seperti estrogen, raloxifene juga mempunyai
efek protektif terhadap penyakit jantung koroner dan dislipidemia.
(Dalimartha,2002)
2. Kalsitonin (Thyrocalcitonin)
Kalsitonin merupakan hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel
C kelenjar tiroid, paratiroid, paru-paru, adrenal, timus, dan otak. Kalsitonin
bisa mempertahankan massa tulang dengan cara mengatur metabolisme
kalsium dan tulang. Bersama-sama dengan hormon paratiroid (PTH) dan
vitamin D, kalsitonin juga ikut berperan mengatur keseimbangan kalsium
darah. Fungsi kalsitonin, yaitu menurunkan kadar kalsium darah yang
meningkat akibat adanya percepatan resorpsi sehingga kalsium keluar dari
tulang. Kalsitonin bekerja dengan cara menghambat aktivitas osteoklas
sehingga resorpsi tulang dihambat serta meningkatkan pembuangan
kalsium, fosfor, dan natrium melalui urin. Hasilnya adalah penurunan
kadar kalsium darah. Meskipun demikian, kalsium tidak diturunkan di
bawah batas normal. Namun, pengobatan jangka panjang dengan
kalsitonin bisa menjadi tidak efektif karena tubuh dapat membentuk
antibodi. Bila terjadi demikian, hentikan sementara waktu penggunaan
kalsitonin supaya respons tubuh pulih kembali. (Dalimartha,2002)
Efek positif dari pemberian kalsitonin, yaitu meningkatnya densitas
mineral tulang di tulang belakang bagian lumbal. (Dalimartha,2002)
Adapun efek samping yang kadang timbul ruam kulit, mual, muntah, diare,
flushing di daerah muka dan malaise. Umumnya keluhan saluran cernadan
kulit ini berkurang walaupun terapi diteruskan. Peningkatan ekskresi Na+
Page 49
49
dan air, yang bersifat sementara pernah dilaporkan pada awal terapi. Hal
ini mungkin berhubungan dengan efek langsung pada ginjal untuk
memperbaiki dinamik sirkulasi. Mungkin terjadi inflamasi pada tempat
suntikan. Obat ini tidak dianjurkan pada wanita yang menyusui, sedangkan
keamanannya pada wanita hamil belum diteliti. (Gunawan,2009) Contoh
kalsitonin yang beredar di pasaran adalah salmon kalsitonin sintetik
dengan nama dagang Miacalcic (Novartis) dan Tonocalcin. (Pramudianto
dan Evaria,2010) Dosis yang diberikan pada pengobatan awal sebesar 100
IU sehari, subkutan atau intramuskular. Lama pemberian sampai keluhan
nyeri menghilang. Setelah itu, kalsitonin dapat diberikan 50-100 IU per
hari atau selang sehari. Untuk pengobatan jangka panjang, bisa juga
digunakan Miacalcic semprotan hidung dengan dosis 200 IU, 3 kali
seminggu selama 6 bulan. Selama pengobatan, pasien juga harus diberikan
suplemen kalsium. Bila penderita kurang terkena sinar matahari, perlu
dipertimbangkan pemberian vitamin D sebanyak 400 IU per hari.
(Dalimartha,2002)
3. Bisfosfonat
Obat yang termasuk senyawa bisfosfonat antara lain alendronate
(Alovell tablet) dan risedronate (Actonel tablet). Obat ini digunakan untuk
pengobatan osteoporosis, terutama pada wanita premenopause tanpa
gangguan siklus haid dan laki-laki dengan kadar testosteron normal.
Aktivitas antiresorptif bisfosfonate bekerja dengan cara menghambat kerja
osteoklas yang berlebihan. Obat ini diminum sekali sehari, pada pagi hari,
sekurang-kurangnya 30 menit sebelum makan atau minum pertama. Obat
harus diminum dengan 2 gelas air putih, tanpa dikunyah atau digerus.
Setelah minum obat, posisi tubuh harus tegak (jangan berbaring), bisa
duduk atau berdiri selama ½ jam. Untuk risedronate, tablet juga boleh
diminum 2 jam setelah makan atau minum, atau minimal 30 menit
sebelum tidur. (Dalimartha,2002) Bisfosfonat dapat menyebabkan
gangguan gastrointestinal berupa mual dan diare (terutama bila digunakan
dalam dosis tinggi), sakit pada sendi, flu-like syndrome, sakit kepala,
Page 50
50
reaksi kulit. Kalsium dan antasida yang mengandung ion divalen akan
menghambat absorbsi bisfosfonat. (Gunawan,2009)
Bisfosfonat dikontraindikasikan terhadap pasien dengan
hipersensitivitas, pasien yang tidak dapat menegakkan tubuh lebih dari ½
jam, ulkus peptikum, gangguan fungsi ginjal dengan klirens kreatinin <30
ml/menit. (Gunawan,2009)
4. Kalsium
Pada masa pertumbuhan, tersedianya kalsium menyebabkan
pertumbuhan tulang menjadi maksimal. Setelah menopause, kecukupan
kalsium darah dapat menghambat resorpsi tulang, terutama bagian korteks.
Preparat kalsium diperlukan bila terdapat defisiensi kalsium atau penderita
dengan intake kalsium yang rendah. (Dalimartha,2002)
Dosis kalsium yang diberikan sebelum menopause 800-1000
mg/hari, selama periode menopause 1000-1200 mg/hari, dan setelah
menopause 1200-1500 mg/hari. Makanan sehari-hari umumnya hanya
mengandung 350 mg kalsium sehingga masih membutuhkan suplemen
kalsium. Sebaiknya tablet kalsium, vitamin D, atau susu berkalsium tinggi
diminum setelah makan malam karena pembentukan tulang terjadi pada
malam hari. Suplemen kalsium yang terbaik adalah kalsium karbonat dan
kalsium sitrat. Kalsium sitrat lebih larut dan penyerapannya di saluran
cerna lebih mudah. Kalsium karbonat mengandung 40% kalsium murni,
sedangkan kalsium glukonat hanya mengandung 9% kalsium murni.
Pemberian kalsium harus sangat hati-hati pada penderita dengan
hiperkalsemia, hiperkalsiuria, dan riwayat batu ginjal. Sebelum pemberian
kalsium, sebaiknya diperiksa terlebih dahulu kalsium dan kreatinin urin 24
jam. Selama minum tablet kalsium, minum air putih harus lebih banyak
untuk mencegah timbulnya sembelit. (Dalimartha,2002)
Efek samping pemberian kalsium antara lain mual, muntah,
sembelit (konstipasi), iritasi lambung, dan rasa kapur di lidah. Pemberian
jangka panjang bisa menyebabkan kadar kalsium darah meningkat
(hiperkalsemia) yang akan memberikan gejala sakit kepala, pusing, rasa
Page 51
51
mengantuk, terjadinya batu ginjal, dan pengapuran jaringan lunak.
(Dalimartha,2002)
5. Vitamin D
Vitamin D tergolong vitamin yang larut dalam lemak. Dengan
ditemukannya reseptor untuk bentuk aktif vitamin D, maka vitamin ini
lebih bersifat hormon. Vitamin ini berperan dalam penyerapan kalsium dan
fosfat melalui usus halus, serta mengurangi pembuangannya melalui
ginjal. Vitamin ini hanya diperlukan bila penderita osteoporosis
mengalami defisiensi vitamin D, baik relatif maupun absolut, dapat
mengganggu penyerapan kalsium sehingga dapat menyebabkan kehilangan
massa tulang yang lebih besar. (Dalimartha,2002)
Vitamin D2 (ergokalssiferol) yang terdapat dalam tumbuhan dan
vitamin D3 yang terdapat dalam minyak ikan merupakan dua jenis sterol
yang bersifat antirakitis. Vitamin D3 merupakan provitamin D yang
dengan penyinaran ultraviolet dari matahari dan hidroksilasi dalam hati
dan ginjal akan dirubah menjadi bentuk aktif, yaitu 1,25-
dihidrokolekalsiferol. (Dalimartha,2002)
Asupan vitamin D mungkin diperlukan pada orang yang kurang
mendapat sinar matahari pagi. Bila perlu dapat diberikan vitamin D aktif,
yaitu alfa-kalsidol atau kalsitrol (Rocaltrol) sehari 2 kali 0,25 mg yang
akan menormalkan penyerapan kalsium dari usus. (Dalimartha,2002)
Adapun efek samping yang dapat ditimbulkan oleh pemberian obat
ini adalah hiperkalsemia; pada fase awal ada keluhan rasa lemah, sakit
kepala. (Gunawan,2009)
Pasien-pasien dengan hiperkalsemia, yang hipersensitif terhadap
kalsitrol, serta wanita menyusui, dikontraindikasikan dalam pemberian
obat ini. Untuk wanita hamil, masih belum ada data mengenai keamanan
penggunaannya. (Gunawan,2009)
6. Androgen
Androgen adalah hormon kelaki-lakian yang dikenal sebagai
steroid anabolik yang kuat. Turunnya kadar androgen pada laki-laki, baik
Page 52
52
pada usia lanjut maupun akibat hipogonadisme, akan menimbulkan
kerapuhan tulang. (Tandra,2009)
Steroid anabolik merupakan pembentuk tulang yang positif.
Nandrolon, metandrostenolon, dan etilestrenol merupakan steroid anabolik
yang dapat digunakan pada penderita osteoporosis dengan defisiensi
androgen. Namun, pada perempuan dengan postmenopausal osteoporosis
tidak diberikan obat ini karena bisa menimbulkan efek samping
maskulinisasi, seperti timbulnya jerawat, tumbuhnya kumis, suara menjadi
besar, haid tidak teratur, dan pembesaran klitoris. Pada pria dapat timbul
gejala feminisasi seperti payudara yang membesar (ginekomastia), dan
pembesaran prostat pada laki-laki usia lanjut. (Tandra,2009)
Efek samping berupa peningkatan enzim hati, retensi cairan, efek
androgenik, dan turunnya kadar HDL kolesterol di dalam darah.
(Tandra,2009)
7. Hormon paratiroid
Hormon paratiroid (PTH) adalah hormon yang produksinya
tergantung pada kadar kalsium dalam darah. PTH ini meningkatkan
penyerapan kembali kalsium di ginjal, menaikkan penyerapan kalsium di
usus, serta menambah pembentukan tulang. (Tandra,2009)
Bila PTH terus diproduksi akan terjadi hiperparatiroid primer yang
justru menyebabkan penurunan kepadatan tulang. Sebaliknya bila
produksinya intermiten, atau dibentuk hanya bila dibutuhkan atau sesuai
kebutuhan, maka PTH bisa meningkatkan massa tulang. (Tandra,2009)
Bentuk hormon paratiroid yang sintetis dimulai sejak November
2002. Molekul teriparatide atau forteo ini merangsang pembentukan sel
tulang yang baru, dan kepadatan tulang bisa bertambah. Jadi, teriparatide
ini bersifat anabolik, yaitu merangsang pertumbuhan tulang. (Tandra,2009)
Suatu penelitian terhadap 1637 wanita pasca-menopause yang
sudah mengalami patah tulang disimpulkan bahwa teriparatide bisa
menaikkan BMD tulang belakang sampai 13% dan tulang pangkal paha
bertambah hingga 6%. (Tandra,2009)
Page 53
53
Sayang sekali obat ini sangat mahal, dan pemberiannya juga harus
melalui suntikan setiap hari. Efek samping yang bisa terjadi adalah mual,
pusing, dan kram otot tungkai. (Tandra,2009)
Obat ini juga sudah disetujui penggunaannya oleh FDA, dengan
suntikan dalam dosis kecil setiap hari, yang ternyata merangsang
pembentukan tulang lebih banyak daripada resorpsi tulang, sehingga
berguna untuk pengobatan osteoporosis. (Tandra,2009)
Berikut ini adalah algoritma terapeutik kesehatan tulang.
Gambar 2.1 Algoritma terapeutik kesehatan tulang.(Wells,et al,2006)
Selain penanganan dengan obat-obatan, perlu juga dilakukan fisioterapi. Terapi
fisik atau fisioterapi akan menguatkan dan mempertahankan kekuatan otot,
menambah energi, dan mengeluarkan endorfin dalam tubuh yang akan
mengurangi rasa nyeri. (Tandra,2009)
Fisioterapi juga membantu pasien berlatih berjalan dengan baik dan berdiri
dengan postur tubuh yang stabil, mengurangi ketegangan otot, serta
Page 54
54
menguatkan otot. Fisioterapi berguna untuk pemulihan setelah terjadi fraktur
tulang terutama tulang belakang. (Tandra,2009)
Termasuk dalam fisioterapi ini adalah :
a) Pijat atau massage
b) Pemanasan dan pendinginan
Kompres hangat bisa membuat otot rileks dan rasa nyeri akan berkurang.
Sedangkan kompres dingin dapat mengurangi bengkak dan reaksi radang,
dan untuk sementara bisa melumpuhkan saraf sehingga rasa nyeri juga
berkurang.
Cara pemanasan atau pendinginan ini baik untuk nyeri setempat yang tidak
luas atau terlokalisasi di satu daerah.
c) Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
d) Pelatihan
e) Pemasangan alat korset untuk patah tulang belakang. (Tandra,2009)
Operasi hanya dilakukan bila terdapat gangguan neurologis atau adanya
ruas tulang belakang yang tidak stabil. Dengan operasi, dilakukan perbaikan
kedudukan tulang yang osteoporotik. Cara lain yang lebih sederhana, yaitu
tanpa melakukan operasi terbuka dengan vertebroplasty dan kyphoplasty.
Tindakan yang dilakukan adalah dengan menyuntikan semacam semen tulang
berupa polymethylmethacrylat ke dalam ruas tulang belakang yang fraktur.
Kedua tindakan di atas bisa mengurangi rasa sakit pada tulang yang fraktur.
(Dalimartha,2002)
2.5.2 Pencegahan dan pengobatan osteoporosis yang diinduksi oleh penggunaan
kortikosteroid
Pencegahan dan pengobatan terhadap osteoporosis yang diinduksi oleh
penggunaan kortikosteroid tidak jauh berbeda dengan pencegahan dan pengobatan
osteoporosis pada umumnya. (Roy dan O’Neill,2005)
Para pengguna kortikosteroid jangka panjang wajib diberi edukasi mengenai
potensi mereka mengalami osteoporosis akibat pengobatan yang akan maupun
yang sedang mereka jalani, dalam hal ini penggunaan kortikosteroid. Oleh karena
Page 55
55
itu, untuk mereka yang telah menggunakan kortikosteroid, regimen yang
diberikan harus secara konstan ditinjau dan dosisnya dikurangi jika
memungkinkan. Perlu dipertimbangkan juga rute alternatif dari pemberian
kortikosteroid ini, misalnya saja penggunaan kortikosteroid yang dihirup untuk
pasien asma. (Roy dan O’Neill,2005)
Semua guidelines (pedoman-pedoman yang digunakan sebagai acuan dalam
menyikapi osteoporosis) merekomendasikan bahwa segera setelah kortikosteroid
diresepkan untuk pasien, klinisi harus menentukan tindakan-tindakan yang dapat
dilakukan untuk mencegah atau paling tidak untuk meminimalkan terjadinya
osteoporosis (Dore,2010) termasuk diantaranya menganjurkan pasien untuk tidak
merokok dan meminimalisir konsumsi alkohol, menjalani latihan fisik dengan
pembebanan (weight-bearing exercise), serta mempertahankan kecukupan
masukan kalsium. (Osteoporosis Australia,2008)
Oleh karena kalsium dan vitamin D memiliki toksisitas rendah dan juga
harga yang relatif terjangkau, semua pasien yang mulai menggunakan
kortikosteroid seharusnya juga mengkonsumsi suplemen kalsium dan vitamin D.
(Dore,2010)
Kalsium sendiri tidaklah cukup untuk mencegah laju hilangnya tulang pada
pasien yang menggunakan kortikosteroid. Akan tetapi, apabila kalsium
dikonsumsi bersamaan dengan vitamin D (kolekalsiferol) kemungkinan dapat
mengurangi kehilangan tulang selama pemakaian kortikosteroid jangka panjang.
Semua pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi kalsium 1000 mg/hari dan vitamin
D3 sedikitnya 500 IU/hari. Pada prakteknya, tujuan seharusnya adalah untuk
mempertahankan kadar serum 25-hydroxyvitamin D3 lebih besar dari 50 ng/ml
untuk mencegah hiperparatiroidisme sekunder. (Romas,2008)
Pengobatan harus dipertimbangkan untuk semua pasien yang hendak mulai /
telah menggunakan prednisolone > 7,5 mg/hari (atau dosis yang ekuivalen / setara
dengan jenis kortikosteroid lainnya) untuk periode > 6 bulan. (Roy dan
O’Neill,2005)
Page 56
56
Uraian indikasi pengobatan terhadap pengguna kortikosteroid adalah
sebagai berikut :
a) Pasien yang mulai mengkonsumsi kortikosteroid dosis tinggi (prednisolon >15
mg / yang setara dengannya), dimana ini akan digunakan selama 6 bulan, harus
ditawarkan perlindungan terhadap tulang dari pengobatan yang mereka jalani.
Pasien-pasien yang telah mengkonsumsi kortikosteroid dalam dosis tinggi
tanpa perlindungan terahadap tulang harus segera dianjurkan penggunaannya.
(Roy dan O’Neill,2005)
b) Pasien-pasien yang mulai dengan steroid dosis sedang (prednisolone 7,5-15
mg) dengan satu atau lebih faktor risiko untuk mengalami osteoporosis juga
harus dianjurkan untuk melindungi tulangnya dari pengobatan steroid. Pasien-
pasien yang sudah terlanjur mengkonsumsinya tanpa perlindungan terhadap
tulang juga harus segera dianjurkan. (Roy dan O’Neill,2005)
c) Pasien-pasien yang mulai dengan steroid dosis sedang (prednisolon 7,5-15 mg)
tetapi tidak memiliki faktor risiko. Untuk pasien-pasien seperti ini, DXA dapat
digunakan untuk menentukan risiko fraktur dan oleh karenanya membutuhkan
pengobatan untuk melindungi tulang. Pengobatan antiporotik harus dimulai
ketika T-score berada di bawah -1,5 pada vertebra dan atau panggul. (Roy dan
O’Neill,2005)
Pada situasi klinikal poin (a) dan (b) tidak dibutuhkan DXA untuk
mengkonfirmasi kebutuhan akan perlindungan tulang ini. Walaupun demikian,
jika tersedia, kemungkinan DXA dapat berguna sebagai metode yang dapat
digunakan untuk memonitor pengobatan. (Roy dan O’Neill,2005)
Berikut ini merupakan diagram pencegahan fraktur pada pasien yang akan
menggunakan kortikosteroid. (Romas,2008)
Page 57
57
Gambar 2.2 Diagram pencegahan fraktur pada pasien yang akan
menggunakan kortikosteroid.(Romas,2008)
Pilihan pengobatan yang dapat diberikan antara lain:
a) Terapi sulih hormon (Hormone Replacement Therapy / HRT)
HRT merupakan pengobatan pilihan bagi wanita peri- dan
postmenopausal, walaupun beberapa faktor risiko tertentu memungkinkan tidak
dapat dilakukannya pengobatan ini, misalnya saja wanita yang mengalami
kanker payudara, tromboembolisme berulang. Pada pria, pemberian testosteron
harus dipertimbangkan jika terbukti adanya hipogonadisme. (Roy dan
O’Neill,2005)
Baru-baru ini, terdapat data yang menyebutkan bahwa peningkatan risiko
penyakit vaskular berhubungan dengan terapi sulih hormon sehingga hal ini
menyebabkan terapi sulih hormon tidak lagi menjadi terapi lini pertama dalam
mencegah atau mengobati osteoporosis yang diinduksi oleh kortikosteroid.
(Roy dan O’Neill,2005)
Page 58
58
b) Bisfosfonat
Bisfosfonat sangatlah efektif dalam mencegah dan mengobati hilangnya
tulang pada pasien-pasien yang menerima kortikosteroid (glukokortikoid).
(Dore,2010)
Pada pria dan wanita postmenopausal, American College of
Rheumatology (ACR) merekomendasikan bisfosfonat bagi pasien yang
memulai pengobatan dengan kortikosteroid jangka panjang (misalnya
pemakaian minimal selama 3 bulan atau lebih) dengan prednison 5 mg atau
lebih per hari atau yang setara dengannya, terlepas dari nilai densitas mineral
tulang pasien tersebut. (Dore,2010)
Pada pasien yang terlanjur mengkonsumsi kortikosteroid, bisfosfonat
harus segera dimulai jika BMD berada di bawah nilai ambang. Alasan untuk
menggunakan patokan ini dan tidak memberikan bisfosfonat kepada semua
pasien yang datang tidak lain adalah karena obat ini secara potensial memiliki
efek samping yang signifikan, dan oleh karena itu tidak boleh diresepkan bila
tidak dibutuhkan. (Dore,2010)
Nilai ambang batas yang tepat dimana suatu intervensi harus
dipertimbangkan untuk pasien yang menjalani pengobatan dengan
kortikosteroid masih menjadi kontroversi. Berdasarkan bukti-bukti yang
menyatakan bahwa fraktur terjadi lebih sering pada pasien-pasien yang
menggunakan kortikosteroid dibanding untuk postmenopause, The UK
Guidelines merekomendasikan untuk memulai pemberian bisfosfonat apabila
T-score <-1,5 pada vertebra atau panggul. Akan tetapi, ACR menyarankan bila
T-score <-1,0. Pada akhirnya, patokan yang manapun yang akan dipilih, risiko
fraktur absolut akan dibedakan kembali berdasarkan usia pasien. Oleh karena
itu, pemakaian T-score sebagai nilai ambang batas dalam menentukan kapan
dilakukan intervensi tidaklah dianjurkan. (Dore,2010)
Pada anak dan remaja, tidak ditemukan cukup data untuk memaparkan
pedoman yang telah dibuktikan untuk mencegah dan mengobati osteoporosis
yang diinduksi oleh kortikosteroid. Patokan umumnya termasuk penggunaan
kortikosteroid dengan dosis efektif terendah dalam waktu paling singkat, dan
Page 59
59
mempertimbangkan terapi-terapi alternatif, suplementasi kalsium dan vitamin
D, weight-bearing exercise, dan nutrisi yang tepat. (Dore,2010)
Bisfosfonat direkomendasikan ketika densitas mineral tulang sangat
rendah, disamping patokan umum yang sering digunakan dan ketika
kortikosteroid dosis tinggi cenderung digunakan untuk waktu yang lama, atau
pada pasien yang telah mengalami fraktur. (Dore,2010)
Risedronate telah disetujui oleh US Food & Drug Administration (FDA)
sebagai profilaksis untuk osteoporosis yang diinduksi oleh kortikosteroid dan
keduanya, yaitu risedronate dan alendronate yang telah disetujui sebagai
pengobatan terhadap osteoporosis yang diinduksi oleh kortikosteroid.
(Dore,2010)
ACR merekomendasikan untuk penggunaan harian kedua obat yang telah
disetujui oleh FDA ini. Kebanyakan pasien cenderung lebih setuju mengikuti
jadwal pemberian harian ini walaupun kedua obat ini telah diresepkan secara
mingguan. (Dore,2010)
Asam zoledronic (Reclast) merupakan bisfosfonat yang diberikan secara
intravena sekali dalam setahun dan telah disetujui penggunaannya terhadap
osteoporosis yang diinduksi oleh kortikosteroid setelah pedoman dari ACR dan
UK Guidelines dipublikasikan. Reaksi-reaksi merugikan telah dilaporkan pada
sebagian kecil percobaan pengobatan, termasuk diantaranya nyeri abdomen,
nyeri muskuloskeletal, mual, dan dispepsia. (Dore,2010)
c) Teriparatide (Forteo)
Obat ini berisi fragmen molekul hormon paratiroid manusia. Diberikan
sekali sehari melalui injeksi subkutan. Obat ini juga telah disetujui untuk
digunakan dalam mengobati osteoporosis yang diinduksi oleh kortikosteroid
setelah pedoman-pedoman mengenai obat ini ditulis. (Dore,2010)
Sayangnya, upaya pencegahan dan pengobatan pada praktek klinik
sesungguhnya masih jauh tertinggal dibanding apa yang telah direkomendasikan
dari berbagai pedoman yang ada, meskipun berbagai macam terapi tersedia.
(Dore,2010)
Page 60
60
2.6 RUJUKAN
Menurut Konsil Kedokteran Indonesia dalam standar kompetensi dokter,
kompetensi seorang dokter umum dalam menangani osteoporosis berada dalam
tingkat kemampuan IIIA. Dijabarkan bahwa dokter umum harus mampu membuat
diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-pemeriksaan
tambahan yang diminta oleh dokter tersebut (misalnya pemeriksaan laboratorium
sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi
pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat
darurat). (Konsil Kedokteran Indonesia,2006)
Spesialis dalam hal ini diantaranya :
1) Dokter spesialis penyakit dalam yang spesialisasinya di bidang reumatologi
(dokter SpPD-KR);
2) Dokter spesialis penyakit dalam yang spesialisasinya di bidang endokrinologi
(dokter SpPD-KEMD);
3) Dokter spesialis bedah khusus di bidang ortopedi (dokter SpBO);
4) Dokter spesialis penyakit dalam yang spesialisasinya di bidang geriatri
(dokter SpPD-Kger);
5) Dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan (dokter SpOG) yang
sebagian juga mendalami masalah menopause termasuk osteoporosis;
6) Dokter spesialis fisioterapi atau rehabilitasi medik (dokter SpRM) yang
berpengalaman menangani kasus-kasus trauma otot, sendi, dan tulang,
termasuk osteoporosis. (Tandra,2009)
Bagi pengguna maupun calon pengguna kortikosteroid, rujukan ke unit
spesialis diindikasikan bila dibutuhkan bantuan untuk menilai kebutuhan akan
proteksi tulang (misalnya taksiran risiko fraktur), untuk menegakkan diagnosa
osteoporosis, ataupun dalam memanagemen osteoporosis itu sendiri. (Dore,2010)
Page 61
61
Oleh karena itu, berdasarkan kondisi lokal yang ada, rujukan mungkin
dibutuhkan untuk melakukan DXA. Anak-anak, remaja, dan dewasa muda yang
membutuhkan terapi jangka panjang kortikosteroid dosis tinggi menghadapi
kesulitan-kesulitan khusus dalam penatalaksanaannya. Kasus-kasus seperti ini
paling bagus dihadapi dengan pendekatan bersama-sama “shared care” misalnya
oleh klinisi yang cenderung tertarik dalam penyakit tulang metabolik. (Dore,2010)
Page 62
62
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 KESIMPULAN
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
rendahnya massa tulang, gangguan mikroarsitektur jaringan tulang, dan
pada akhirnya akan meningkatkan risiko terjadinya fraktur.
Faktor risiko terjadinya osteoporosis meliputi faktor risiko turunan (jenis
kelamin, usia, etnik Asia atau Kaukasia, kerangka tulang kecil, terdapat
anggota keluarga yang mengalami osteoporosis, berat badan dan BMI
rendah, serta skoliosis) dan faktor risiko lingkungan (menopause, kadar
testosteron yang rendah pada laki-laki, diet ketat untuk menurunkan berat
badan sampai menyebabkan terhentinya haid, menderita penyakit kronis,
defisiensi kalsium dan vitamin D, konsumsi rokok, alkohol, kopi, garam,
dan minuman ringan, asupan asam berlebihan, obat-obatan, dan gaya
hidup inaktif).
Osteoporosis diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu kelompok
osteoporosis primer yang meliputi osteoporosis idiopatik, osteoporosis tipe
I, osteoporosis tipe II, dan kelompok yang kedua adalah osteoporosis
sekunder.
Keluhan dan tanda yang sering dijumpai pada pasien dengan osteoporosis
antara lain nyeri, fraktur, berkurangnya tinggi badan, dan deformitas
tulang belakang.
Diagnosa osteoporosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan biopsi tulang dan
histomorfometri.
Diagnosis banding osteoporosis sangatlah luas, bahkan semua penyebab
sekunder osteoporosis dapat dikelompokkan sebagai diagnosis
bandingnya.
Page 63
63
Kortikosteroid merupakan hormon yang diproduksi oleh korteks kelenjar
adrenal. Secara umum, kortikosteroid ini didefinisikan sebagai
glukokortikoid atau mineralokortikoid. Hormon ini maupun turunan
sintetisnya dapat digunakan sebagai obat. Walaupun secara terapeutik
efektif, osteoporosis mungkin merupakan efek samping pengobatan
kortikosteroid yang paling serius. Pemberian jangka panjang sendiri
merupakan penyebab yang biasa dari osteoporosis pada orang dewasa dan
pertumbuhan tulang-tulang skeletal yang buruk pada anak-anak.
Steroid dalam bentuk obat hirup dan steroid yang disuntikan ke tulang
sendi tidak terlalu merusak tulang dibandingkan bentuk yang diminum,
tetapi masih tetap menyebabkan efek merugikan yang besarnya tergantung
dosis yang diberikan. Kortikosteroid dapat mempengaruhi tulang secara
langsung dengan mengubah metabolisme kalsium dan tulang, tetapi dapat
juga secara tidak langsung dengan mengubah berbagai aktivitas hormonal
dan metabolisme protein.
Pengadaan sesi pendidikan bagi pasien penting untuk pencegahan dan
pengobatan osteoporosis secara umum, diantaranya mencegah terjadinya
jatuh, latihan fisik yang tepat dan adekuat, serta memiliki diet yang
seimbang dengan masukan kalsium dan vitamin D yang adekuat.
Pengobatan yang spesifik untuk osteoporosis sangatlah bervariasi
tergantung pada penyebabnya. Obat-obat spesifik yang diberikan kepada
penderita osteoporosis secara umum antara lain hormon estrogen,
kalsitonin, bisfosfonat, kalsium, vitamin D, androgen, dan hormon
paratiroid. Selain penanganan dengan obat-obatan, perlu juga dilakukan
fisioterapi. Operasi hanya dilakukan bila terdapat gangguan neurologis
atau adanya ruas tulang belakang yang tidak stabil.
Pencegahan dan pengobatan terhadap osteoporosis yang diinduksi oleh
penggunaan kortikosteroid tidak jauh berbeda dengan pencegahan dan
pengobatan osteoporosis pada umumnya. Para pengguna kortikosteroid
jangka panjang wajib diberi edukasi mengenai potensi mereka mengalami
osteoporosis akibat pengobatan yang akan maupun yang sedang mereka
Page 64
64
jalani, dalam hal ini penggunaan kortikosteroid. Segera setelah
kortikosteroid diresepkan untuk pasien, klinisi harus menentukan
tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah atau paling tidak
untuk meminimalkan terjadinya osteoporosis, termasuk diantaranya
menganjurkan pasien untuk tidak merokok dan meminimalisir konsumsi
alkohol, menjalani latihan fisik dengan pembebanan (weight-bearing
exercise), serta mempertahankan kecukupan masukan kalsium.
Pilihan pengobatan yang dapat diberikan untuk penderita osteoporosis
yang diinduksi oleh kortikosteroid antara lain terapi sulih hormon,
bisfosfonat (risedronate dan alendronate), dan teriparatide (forteo).
Untuk kasus-kasus osteoporosis yang diinduksi oleh kortikosteroid, paling
tepat dihadapi dengan pendekatan bersama-sama dengan klinisi lainnya
yang cenderung tertarik dalam penyakit tulang metabolik.
Kompetensi seorang dokter umum dalam menangani osteoporosis berada
dalam tingkat kemampuan IIIA.
3.2 SARAN
3.2.1 Bagi pakar kesehatan
Osteoporosis merupakan komplikasi terapi dengan kortikosteroid
yang serius dan seringkali diabaikan. Sehingga melalui karya tulis ilmiah
ini, penulis mengharapkan agar para pakar yang bergerak dalam bidang
kesehatan, lebih teliti lagi dalam mempertimbangkan pemberian pengobatan
kortikosteroid bagi pasien, mengingat risiko terjadinya osteoporosis akibat
penggunaan obat-obat ini cukup tinggi.
3.2.2 Bagi masyarakat
Penulis mengharapkan agar masyarakat lebih peduli untuk mengetahui
apakah mereka memiliki risiko terkena osteoporosis atau tidak, khususnya
bagi para wanita yang telah menopause ataupun pria dan wanita yang telah
berusia 60 sampai 65 tahun. Hal ini dimaksudkan untuk dapat segera
dilakukan tindakan pencegahan maupun tindakan pengobatan sebelum
terjadi komplikasi yang lebih buruk.
Page 65
65
DAFTAR PUSTAKA
Australian National Consensus Conference (1996), The Prevention and
Management of Osteoporosis, dalam Consensus Statement,
(http://www.mja.com.au/public/guides/osteo/osteo.html, diakses 19
November 2011).
Constable,Simon,et al (2007), Medical Pharmacology, Master Medicine, Third
Edition, Churchill Livingstone Elsevier.
Cosman,Felicia (2009), Osteoporosis : Panduan Lengkap Agar Tulang Anda
Tetap Sehat, diterjemahkan olehWord ++ Translation Service dan
Syahrir,Iriani, Yogyakarta : Penerbit B-First.
Dalimartha,Setiawan (2002), Resep Tumbuhan Obat untuk Penderita
Osteoporosis, Jakarta : PT Penebar Swadaya.
Dore,Robin K. (2010), How to Prevent Glucocorticoid – Induced Osteoporosis,
dalam Cleveland Clinic Journal of Medicine, Volume 77, Nomor 8,
(http://www.ccjm.org/content/77/8/529.long, diakses 11 September 2011)
Ganong,William F. (2003), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 20, hal.368-
371, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Greenstein,Ben dan Wood,Diana F. (2010), The Endocrine System at a Glance,
2nd Edition, diterjemahkan oleh Yasmine,Elizabeth dan Rachmawati,Asri
Dwi, Jakarta : Penerbit Erlangga.
Gunawan,Sulistia Gan (2009), Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Jakarta :
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Guyton & Hall (1997), Textbook of Medical Physiology, 9th Edition,
diterjemahkan oleh Setiawan,Irawati,et al, Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Page 66
66
Hardman,Joel dan Limbird,Lee (2008), Goodman & Gilman’s The
Pharmacological Basis of Therapeutics, Volume 2, diterjemahkan oleh Tim
Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Imboden,John B. et al (2007), Current Rheumatology Diagnosis and Treatment,
2nd Edition, The McGraw-Hill Companies,Inc.
Indonesian Health Technology Assessment (2005), Penggunaan Bone
Densitometri pada Osteoporosis, (http://docs.google.com/viewer?
a=v&q=chache:Lk08ky2404IJ:file.upi.edu/Direktori/FPMIPA?
JUR_PEND_FISIKA/195708071982112_WIENDARTU, diakses 18
Agustus 2011)
International Osteoporosis Foundation (2011), What is Osteoporosis,
(http://www.iofbonehealth.org/patients-public/about-osteoporosis/what-is-
osteoporosis.html, diakses 12 Januari 2012).
Isselbacher,Kurt J. Et al (2000), Harrison’s Principles of Internal Medicine,13th
Edition,Vol.5, diterjemahkan oleh Asdie,Ahmad H. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Katzung,Bertram G. (1998), Basic and Clinical Pharmacology, 6th Edition,
diterjemahkan oleh Staf Dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Konsil Kedokteran Indonesia (2006), Standar Kompetensi Dokter.
Kosmin dan Jacobs,Dana (2011), Osteoporosis, Medscape, (http://www.
emedicine.medscape.com/article/330598, diakses 18 Agustus 2011).
Lane,Nancy (2001), Lebih Lengkap Tentang Osteoporosis - Rapuh Tulang,
Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Lin,Tammy L. & Rypkema,Scott W. (2010), The Washington Manual of
Ambulatory Therapeutics, diterjemahkan oleh Hartanto,Huriawati, et al,
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mitchell,Richard N. et al (2009), Pocket Companion to Robins & Cotran
Pathologic Basis of Disease, 7th Edition, diterjemahkan oleh Hartono
Andry, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Page 67
67
Monkhouse,Stanley (2007), Second Edition Master Medicine : Clinical Anatomy,
page 19-21, Churchill Livingstone Elsevier.
Moore,Keith L. Dan Agur,Anne M.R. (2002), Anatomi Klinis Dasar, Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Osteoporosis Australia (2008), Corticosteroid – Induced Osteoporosis,
(http://www.osteoporosis.org.au/about/about-osteoporosis/what-is-
osteoporosis.html, diakses 11 September 2011)
Parker,Robert dan Sharma,Asheesh (2008), General Medicine: Crash Course, 3rd
Edition, Toronto : Mosby Elsevier.
Pols,H.A.P.et al (2000), Corticosteroid-Induced Osteoporosis in Daily Practice,
dalam Thesis Erasmus University Rotterdam, (http://repub.eur.nl/res/pub/
21296/000119_STRUIJS,%20Adriaan.pdf, diakses 11 September 2011).
Pongchaiyakul,Chatlert, Corticosteroid-Induced Osteoporosis,
(http://www.chatlert.worldmedic.com/pptfile/cio.ppt, diakses 11 September
2011).
Pramudianto,Arlina dan Evaria, MIMS Indonesia : Petunjuk Konsultasi, Edisi
2010/2011, Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer.
Romas,Evange (2008), Corticosteroid – Induced Osteoporosis and Fractures,
dalam Australian Prescriber, Volume 31, Nomor 2,
(http://www.australianprescriber.com, diakses 11 September 2011).
Rosen,Clifford J. (2005), Postmenopausal Osteoporosis, The New England
Journal of Medicine, (http://www.nejm.org/doi/10.1056/NEJMcp043801,
diakses 18 Agustus 2011).
Roy,Dipak dan O’Neill,Terence (2005), Corticosteroid-Induced Osteoporosis ;
Prevention and Treatment, dalam Collected Reports on The Rheumatic
Diseases 2005 Series 4 (Revised), (http://www.arthritisresearch.org.uk,
diakses 11 September 2011).
Rubenstein,David,et al (2007), Lecture Notes on Clinical Medicine, Sixth Edition,
diterjemahkan oleh Rahmalia,Annisa, Jakarta : Penerbit Erlangga.
Page 68
68
Setiyohadi,Bambang (2007), Osteoporosis, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Jilid II, Edisi IV, Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
,(2003), “Kekuatan Tulang dan Osteoporosis”, Temu Ilmiah Reumatologi
2003, ASEAN Meeting on Gout and Hyperuricemia, Jakarta.
Sherwood,Lauralee (2001), Human Physiology : From Cells to Systems, 2nd
Edition, diterjemahkan oleh Pendit,Brahm U. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Shiel,William C. (2012), Osteoporosis, (http://www.emedicinehealth.com/
osteoporosis/article_em.html diakses 12 Januari 2011).
Snell,Richard S. (2006), Clinical Anatomy for Medical Student, 6th Edition,
diterjemahkan oleh Sugiharto,Liliana, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Spencer,Rebecca Fox dan Brown,Pam (2007), Simple Guide : Osteoporosis,
diterjemahkan oleh Surapsari,Juwalita, Jakarta : Penerbit Erlangga.
Tandra,Hans (2009), Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui Tentang
Osteoporosis : Mengenal, Mengatasi, dan Mencegah Tulang Keropos,
Jakarta : Penertbit PT Gramedia Pustaka.
Tierney,Lawrence,et al (2006), Current Assentials of Medicine, International
Edition, page 190, The McGraw-Hill Companies,Inc, United States.
Tulaar,Angela BM (2009), Modalitas Terapi Fisik dan Aquatik pada
Osteoporosis, dalam Kumpulan Makalah Temu Ilmiah Reumatologi
2009, Eds : Bambang Setiyohadi dan Yoga Iwanoff Kasjmir, Perhimpunan
Reumatologi Indonesia.
Wells,Barbara,et al (2006), Pharmacotherapy Handbook, Sixth Edition, The
McGraw-Hill Companies,Inc.