BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kok Tiba-tiba Nyeri Pinggang Andi, 30 tahun dating ke IGD RSDM karena tiba- tiba merasa nyeri pinggang kiri yang tak tertahankan. Dua minggu yang lalu Andi pernah kencing keluar batu. Andi juga merasakan demam sejak 1 minggu ini. BAK dirasakan anyang-anyangan dan berwarna keruh. Oleh dokter jaga IGD, Andi disuntik obat analgetika. Dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang awal Andi dikatakan terdapat batu dan infeksi saluran kencing. Kadar Hb 12g/dl, Leukosit 15.000/dl, kreatinin 1,0 mg/dl, dan terdapat leukosituria>50 lpb, dan bakteriuria (+++). Setelah diketahui fungsi ginjalnya baik, dilakukan foto IVP dan hasulnya adanya sumbatan ringan saluran ureter yang disebabkan karena batu ureter ukuran 3 mm. Andi disarankan untuk minum banyak dan berolahraga serta control ke poliklinik urologi 1 minggu lagi, selain harus mengkonsumsi obat antibiotic, antinyeri, dan diuretic dan juga untuk mengambil hasil pemeriksaan kultur urine. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kok Tiba-tiba Nyeri Pinggang
Andi, 30 tahun dating ke IGD RSDM karena tiba-tiba merasa nyeri
pinggang kiri yang tak tertahankan. Dua minggu yang lalu Andi pernah kencing
keluar batu. Andi juga merasakan demam sejak 1 minggu ini. BAK dirasakan
anyang-anyangan dan berwarna keruh. Oleh dokter jaga IGD, Andi disuntik obat
analgetika.
Dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang awal Andi
dikatakan terdapat batu dan infeksi saluran kencing. Kadar Hb 12g/dl, Leukosit
15.000/dl, kreatinin 1,0 mg/dl, dan terdapat leukosituria>50 lpb, dan bakteriuria
(+++). Setelah diketahui fungsi ginjalnya baik, dilakukan foto IVP dan hasulnya
adanya sumbatan ringan saluran ureter yang disebabkan karena batu ureter ukuran
3 mm. Andi disarankan untuk minum banyak dan berolahraga serta control ke
poliklinik urologi 1 minggu lagi, selain harus mengkonsumsi obat antibiotic,
antinyeri, dan diuretic dan juga untuk mengambil hasil pemeriksaan kultur urine.
B. Rumusan Masalah
1. Adakah hubungan usia dengan penyakit yang diderita?
2. Apakah nyeri yang dialami oleh pasien, apa bedanya dengan nyeri lain,
mengapa tidak tertahankan dan hubungan dengan lokasi nyeri?
3. Bagaimana patofisiologi kencing batu, ukuran batu dan bagaimana bisa
keluar?
4. Apa saja substansi yang ada di batu?
5. Apa hubungan demam dengan gejala yang lain?
6. Bagaimana patofisiologi anyang-anyangan dan urin keruh?
1
7. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan lab yang dilakukan?
8. Mengapa dilakukan foto IVP dan apa indikasi serta kontraindikasinya?
9. Mengapa dokter menyarankan untuk minum banyak dan berolahraga,
mengkonsumsi obat antibiotik, anti nyeri dan diuretik dan juga melakukan
pemeriksaan kultur urin?
10. Apa saja pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan?
11. Apa saja diagnosis bandingnya?
12. Bagaimana tatalaksana yang seharusnya diberikan pada pasien?
13. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi dan bagaimana prognosisnya?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui hubungan usia dengan penyakit yang diderita, dan factor resiko
lainnya.
2. Mengetahui jenis nyeri yang dialami, membedakan dengan nyeri lain dan
patofisiologi.
3. Mengetahui patofisiologi kencing batu.
4. Mengetahui susbtansi yang terkandung dalam batu.
5. Mengetahui hubungan demam dan gejala yang lain.
6. Mengetahui patofisiologi anyang-anyangan dan urin keruh.
7. Mengetahui interpretasi dari hasil pemeriksaan lab yang dilakukan.
8. Mengetahui tentang IVP, indikasi dan kontraindikasinya.
9. Mengetahui alasan dari saran dokter yang diberikan.
10. Mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan.
11. Mengetahui apa saja diagnosis bandingnya.
12. Mengetahui tatalaksana yang seharusnya diberikan pada pasien.
13. Mengetahui apa saja komplikasi yang dapat terjadi dan prognosisnya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hubungan Penyakit Dengan Usia
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannnya dengan
gangguan aliran urin, gangguan metabolic, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan
keadaan-keadaan idiopatik.
Secara epidemiologis terdapat beberapa factor yang mempermudah
terjadinya batu saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktro itu adalah factor
instrinsik, yaitu keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan factor ekstrinsik,
yaitu pengaruh yang berasal dari lingkungan di sekitarnya.
Faktor instrinsik itu antara lain adalah:
1. Hereditair (keturunan) : mPenyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya
2. Umur : Penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun
3. Jenis kelamin : Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan
dengan pasien perempuan.
Beberapa factor ekstrinsik diantaranya adalah:
1. Geografi : Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran
kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah
stone belt (sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di Afrika Selatan hamper
tidak dijumpai penyakit batu saluran kemih.
2. Iklim dan temperature
3. Asupan air : Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada
air yang dikonsumsi , dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih
4. Diet : Diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya
penyakit batu saluran kemih
5. Pekerjaan : Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya
banyak duduk atau kirang aktifitas atau sedentary life.
3
(Purnomo, 2011)
Disebutkan bahwa prevalensi umur yang paling sering adalah sekitar umur
30-50 tahun. Batu saluran kencing dapat terjadi pada segala umur, namun paling
sering terjadi pada umur 30-50 tahun. Umur 30-50 tahun adalah usia produktif,
dimana umumnya seseorang menjadi sibuk dan kurang menjaga pola hidup. Jadi
dimungkinkan usia produktif tersebut menyebabkan batu saluran kencing karena
pola hidup yang kurang baik, seperti kurang minum, kurang berolahraga, dan
sebagainya.
B. Nyeri
Evaluasi pasien dengan nyeri abdomen merupakan salah satu aspek yang
menarik di bidang gawat darurat. Nyeri abdomen merupakan keluhan yang cukup
sering ditemukan sebanyak 10 % pada pasien-pasien di ruang gawat darurat.
Penegakan diagnosis kemungkinan bervariasi dari kondisi yang cukup
mengancam jiwa (contoh, ruptur aneurisma arteri abdomen) hingga yang hilang
sendiri (dinding abdomen yang menegang) dan dari yang umum (gastroenteritis)
hingga yang jarang (gigitan laba-laba hitam). Walaupun etiologi dari nyeri pada
awalnya belum dapat ditentukan kurang lebih sebesar 30-40% pasien, namun
mengenali kasus-kasus yang memerlukan operasi atau yang mengancam jiwa
adalah hal yang lebih penting dari penegakan diagnosis itu sendiri (Mahadevan,
2005).
Nyeri abdomen secara umum. Nyeri abdomen dihasilkan dari 3 jalur yaitu
(Mahadevan, 2005):
a) Nyeri abdomen visera
Biasanya disebabkan karena distensi organ berongga atau
penegangan kapsul dari organ padat. Penyebab yang jarang berupa iskemi
atau inflamasi ketika jaringan mengalami kongesti sehingga mensensitisasi
ujung saraf nyeri visera dan menurunkan ambang batas nyerinya. Nyeri ini
4
sering merupakan manifestasi awal dari beberapa penyakit atau berupa rasa
tidak nyaman yang samar-samar hingga kolik. Jika organ yang terlibat
dipengaruhi oleh gerakan peristaltik, maka nyeri sering dideskripsikan sebagai
intermiten, kram atau kolik.
Pada nyeri ini, karena serabut saraf nyeri bilateral, tidak bermielin
dan memasuki korda spinalis pada tingkat yang beragam, maka nyeri
abdomen visera ini biasanya terasa tumpul, sulit dilokalisasi dan dirasakan
dibagian tengah tubuh. Nyeri visera berasal dari regio abdomen yang merujuk
pada asal organ secara embrionik. Struktur foregut seperti lambung,
duodenum, liver, traktus biliaris dan pankreas menghasilkan nyeri abdomen
atas, sering dirasakan sebagai nyeri regio epigastrium. Struktur midgut seperti
jejunum, ileum, apendiks, dan kolon asenden menyebabkan nyeri
periumbilikus. Sedangkan struktur hindgut seperti kolon transversal, kolon
desendens dan sistem genitourinary menyebabkan nyeri abdomen bagian
bawah.
b) Nyeri abdomen parietal (somatik)
Nyeri abdomen parietal atau somatik dihasilkan dari iskemia,
inflamasi atau penegangan dari peritoneum parietal. Serabut saraf aferen yang
bermielinisasi mentransmisikan stimulus nyeri ke akar ganglion dorsal pada
sisi dan dermatomal yang sama dari asal nyeri. Karena alasan inilah nyeri
parietal berlawana dengan nyeri visera, sering dapat dilokalisasi terhadap
daerah asal stimulus nyeri. Nyeri ini dipersepsikan berupa tajam, seperti
tertusuk pisau dan bertahan; batuk dan pergerakan dapat memicu nyeri
tersebut. Kondisi ini mengakibatkan dalam pemeriksaan fisik dapat dicari
tanda berupa rasa lembut, guarding, nyeri pantul dan kaku pada abdomen
yang dipalpasi. Tampilan klinis dari appendicitis dapat berupa nyari visera
dan somatik. Nyeri pada apendisitis awal sering berupa nyeri periumbilikus
(visera) tapi terlokalisasi di regio kuadran kanan bawah ketika inflamasi
menyebar ke peritoneum (parietal).
5
c) Nyeri alih
Nyeri alih adalah nyeri yang dirasakan pada jarak dari organ yang
sakit. Nyeri ini dihasilkan dari jalur-jalur neuron aferen sentral yang terbagi
yang berasal dari lokasi yang berbeda. Contohnya adalah pasien dengan
pneumonia mungkin merasakan nyeri abdomen karena distribusi neuron T9
terbagi oleh paru-paru dan abdomen. Contoh lainnya yaitu nyeri epigastrium
yang berhubungan dengan Infark miokard, nyeri di bahu yang berhubungan
dengan iritasi diafragma (contoh, rupture limpa), nyeri infrascapular yang
berhubungan dengan penyakit biliar dan nyeri testicular yang berhubungan
dengan obstruksi uretra.
NYERI KOLIK ABDOMEN
Nyeri kolik abdomen merupakan nyeri yang dapat terlokalisasi dan
dirasakan seperti perasaan tajam. Mekanisme terjadinya nyeri ini adalah karena
sumbatan baik parsial ataupun total dari organ tubuh berongga atau organ yang
terlibat tersebut dipengaruhi peristaltik. Beberapa yang menjadi penyebab kolik
abdomen adalah kolik bilier, kolik renal dan kolik karena sumbatan usus halus
(Gilroy, 2009).
1. Kolik bilier
Kolik bilier merupakan gejala tidak nyaman yang dirasakan pasien
dan sering tidak disertai tanda-tanda klinis lain. Nyeri ini merupakan gejala
klinis dari penyakit batu empedu (kolelitiasis/koledokolitiasis). Oleh karena
nyeri ini merupakan gejala, maka beberapa penyakit lain juga dapat
memberikan gejala yang sama. Gambar 1.1 menunjukkan sumbatan empedu
(Gilroy, 2009).
6
Gambar 1.1 Sumbatan batu empedu yang menyebabkan nyeri kolik bilier
(Gilroy, 2009).
Nyeri kolik bilier tidak dirasakan secara akurat sebagai kolik. Istilah
ini mengimplikasikan nyeri paroksismal yang naik turun, dan umumnya
konstan dan meningkat progresif secara perlahan. Nyeri ini dirasakan sesaat
setelah makan (Gilroy, 2009).
Nyeri visera berasal dari tabrakan batu empedu dalam duktus sistikus
dan atau ampula vater. Hasil dari tabrakan tadi menyebabkan distensi kandung
empedu dan atau traktus biliaris dan distensi ini mengaktivasi neuron sensori
aferen. Nyeri yang ditimbulkan tidak dapat terlokalisasi dengan baik dan
umumnya terasa di bagian tengah hingga dermatom T8/9 (epigastrium tengah,
kuadaran kanan atas). Nyeri yang terlokalisasi umumnya menunjukkan
komplikasi kolelitiasis atau koledokolitiasis yaitu misalnya kolesistitis,
kolangitis, pancreatitis. Beberapa lokasi yang mungkin terjadi penyumbatan
batu dapat dilihat pada gambar 1.2 (Gilroy, 2009).
7
Gambar 1.2 Lokasi yang mungkin terjadi penyumbatan (Gilroy, 2009).
Kolik bilier biasanya datang tiba-tiba dan mencapai intensitas
maksimum dalam waktu 60 menit di dua pertiga dari pasien. Rasa sakit
biasanya berlanjut tanpa fluktuasi dan menghilang secara bertahap selama 2-6
jam. Nyeri berlangsung lebih lama dari 6 jam harus dicurigai sebagai
kolesistitis akut (Gilroy, 2009).
Pemeriksaan awal seringkali mengungkapkan individu yang
berkeringat, pucat, dan rasa tidak nyaman. Muntah bisa menyertai rasa sakit.
Pemeriksaan dapat mengungkapkan beberapa fitur fisik yang terkait dengan
pembentukan batu empedu (misalnya, kelebihan berat badan, setengah baya,
perempuan). Pasien dengan kolik empedu tanpa komplikasi tidak mengalami
demam, menggigil, hipotensi, atau tanda-tanda lain dari suatu proses sistemik
yang signifikan. Sinus takikardi adalah umum selama sakit. Nyeri pantul,
tahanan, suara usus tidak ada, atau teraba massa mendukung diagnosis
8
alternatif lain (Gilroy, 2009). Gambar 1.3 menunjukkan lokasi nyeri bilier
pada regio abdomen (Platt, 2008).
Gambar 1.3
Lokasi nyeri kolik
bilier (Platt, 2008).
Pengobatan yang diberikan tergantung dari gejala yang dirasakan
oleh pasien. Jika nyeri sangat hebat dapat diberikan pereda nyeri golongan
narkotik yaitu Meperidine (pethidine) dengan dosis 1-1,5 mg/kg IM setiap 3
jam. Jika muntah dapat diberikan metoklopramid. Tidak ada satupun
intervensi operasi yang dapat menjamin karena kolik bilier yang tidak
komplikasi dapat mereda dengan pengobatan konservatif (Gilroy, 2009).
2. Kolik renal
Rasa sakit jenis kolik ini yang dikenal sebagai kolik ginjal biasanya
dimulai pada pertengahan belakang atas lateral dari sudut costovertebral dan
kadang-kadang subkosta. Kemudian menyebar ke inferior dan anterior menuju
pangkal paha. Rasa sakit yang dihasilkan oleh kolik ginjal terutama
disebabkan oleh pelebaran, peregangan, dan kejang yang disebabkan oleh
obstruksi saluran kemih akut. Ketika obstruksi berat namun kronis
berkembang, seperti di beberapa jenis kanker, biasanya tidak menimbulkan
rasa sakit (Leslie, 2010).
Kolik adalah sebuah ironi karena sakit kolik ginjal cenderung tetap
konstan, sedangkan kolik usus atau empedu biasanya agak berselang dan
9
sering hilang datang. Pola rasa sakit tergantung ambang rasa sakit individu
dan persepsi dan pada kecepatan dan derajat perubahan dalam tekanan
hidrostatis di dalam ureter proksimal dan pelvis ginjal. Gerak peristaltik
saluran kemih, migrasi batu, dan posisi miring atau memutar batu dapat
menyebabkan eksaserbasi atau perpanjangan dari nyeri kolik ginjal. Tingkat
keparahan rasa sakit tergantung pada derajat dan lokasi obstruksi, bukan pada
ukuran batu. Seorang pasien sering dapat mengarah pada letak maksimum
tersakit, yang kemungkinan menjadi lokasi obstruksi saluran kemih (Leslie,
2010).
Fase serangan akut kolik ginjal
Serangan rasa sakit yang sebenarnya cenderung terjadi secara
bertahap dapat diprediksi, dengan rasa sakit mencapai puncaknya pada
kebanyakan pasien dalam waktu 2 jam. Rasa sakit secara kasar mengikuti
dermatom T-10 sampai S-4. Seluruh proses biasanya berlangsung 3-18 jam.
Kolik ginjal dapat digambarkan dalam3 fase klinis (Leslie, 2010).
a) Fase akut
Serangan yang khas mulai di pagi hari atau di malam hari,
membangunkan pasien dari tidur. Ketika mulai siang hari, pasien yang
sering menggambarkan serangan itu sebagai perlahan dan diam-diam.
Tingkat rasa sakit bisa meningkat sampai intensitas maksimum hanya
dalam 30 menit setelah onset awal atau lebih lambat. Pasien merasakan
nyeri maksimum mencapai 1-2 jam setelah dimulainya serangan kolik
ginjal.
b) Fase konstan
Setelah nyeri mencapai intensitas maksimum, cenderung tetap
konstan sampai diobati atau berkurang secara spontan. Fase ini biasanya
berlangsung 1-4 jam, tapi bisa bertahan lebih lama dari 12 jam dalam
beberapa kasus. Sebagian besar pasien tiba di UGD selama fase serangan.
c) Fase mereda
10
Selama tahap akhir, nyeri berkurang cukup cepat, dan pasien
akhirnya merasa lega. Fase ini dapat terjadi secara spontan pada setiap saat
setelah onset awal kolik. Pasien bisa jatuh tertidur, terutama jika mereka
telah diberikan obat analgesik yang kuat.
Serabut saraf nyeri ginjal terutama berupa saraf simpatik
preganglionik yang mencapai tingkat saraf tulang belakang T-11 untuk L-2
melalui akar saraf dorsal. Aortorenal, celiac, dan ganglia mesenterika inferior
juga terlibat. Di ureter bawah, sinyal rasa sakit juga disalurkan melalui saraf
genitofemoral dan ilioinguinal. The nervi erigentes, which innervates the
intramural ureter and bladder, is responsible for some of the bladder
symptoms that often accompany an intramural ureteral calculus. Nervus
erigentes, yang menginervasi ureter intramural dan kandung kemih,
bertanggung jawab untuk beberapa gejala kandung kemih. Gambar 1.4 dan
1.5 menunjukkan distribusi persarafan pada nyeri ginjal serta uretra (Leslie,
2010). Sedangkan gambar 1.6 menunjukkan lokasi nyeri kolik renal pada
regio abdomen (Platt, 2008)
11
Gambar 1.4. Menunjukkan gambar persarafan pada nyeri kolik renal (Leslie,
2010).
Gambar 1.5 Menunjukkan distribusi nyeri renal dan uretral (Leslie, 2010).
Gambar 1.6
Menjukkan
lokasi nyeri
renal/ureter pada regio abdomen (Platt, 2008).
Ureter 1/3 proksimal dan pelvis ginjal: batu saluran kemih Nyeri dari atas
cenderung untuk memancarkan ke daerah panggul dan lumbar. Di sebelah
kanan, hal ini bisa membingungkan dengan kolesistitis atau cholelithiasis,
12
di sebelah kiri, diagnosa diferensial meliputi pankreatitis akut, penyakit
ulkus lambung, dan gastritis (Leslie, 2010).
Ureter 1/3 medial: Midureteral menyebabkan rasa sakit yang memancarkan
anterior dan kaudal. Nyeri ini midureteral khususnya dapat dengan mudah
meniru usus buntu di kanan atau diverticulitis akut di sebelah kiri (Leslie,
2010).
Distal ureter: batu ureter distal menyebabkan rasa sakit yang cenderung
memancarkan ke pangkal paha atau testis pada laki-laki atau labia majora
pada wanita karena rasa sakit yang dirujuk dari saraf ilioinguinal atau
genitofemoral. Jika batu yang bersarang di ureter intramural, gejala dapat
muncul mirip dengan sistitis atau uretritis. Ini termasuk gejala nyeri
suprapubik, frekuensi kencing, urgensi, disuria, stranguria, nyeri di ujung
penis, dan kadang-kadang usus berbagai gejala, seperti diare dan tenesmus.
Gejala ini bisa membingungkan dengan penyakit radang panggul, kista
ovarium pecah, atau torsi dan nyeri haid pada wanita (Leslie, 2010).
Mual dan muntah sering dikaitkan dengan kolik ginjal akut dan
terjadi di setidaknya 50% dari pasien. Mual disebabkan oleh jalur persarafan
umum dari pelvis ginjal, perut, dan usus melalui sumbu celiac dan saraf aferen
vagal. Hal ini sering diperparah oleh efek analgesik narkotika, yang sering
menimbulkan mual dan muntah melalui efek langsung pada motilitas GI dan
melalui efek tidak langsung pada zona memicu kemoreseptor di medula
oblongata. Nonsteroidal obat anti-inflamasi (NSAID) sering dapat
menyebabkan iritasi lambung dan GI (Leslie, 2010).
Blok saraf telah berhasil digunakan baik dalam diagnosis dan
pengobatan kolik ginjal, walaupun mereka lebih membantu dalam kasus
kronis daripada kasus akut. Blok saraf interkostal dapat digunakan untuk
membedakan nyeri dari chondritis, neuromas, dan radiculitis dari sakit ginjal
yang sebenarnya. Hal ini dicapai dengan menyuntikkan agen anestesi, seperti
lidokain, sekitar proksimal saraf 11 atau 12 interkostalis ke lokasi rasa sakit
13
pada saat pasien mengalami sakit. Jika injeksi menyebabkan hilangnya rasa
sakit, maka etiologi saraf perifer muskuloskeletal dapat ditegakkan (Leslie,
2010).
Pemeriksaan mikroskopis urin adalah bagian penting dari evaluasi
pasien yang diduga kolik ginjal. Pemeriksaan makroskopik atau mikroskopis
hematuria ada di sekitar 85% kasus. Kurangnya hematuria mikroskopis tidak
menghilangkan kolik ginjal sebagai diagnosis potensial. Perhatian perlu
diberikan pada ada atau tidak adanya leukosit, kristal, dan bakteri dan pH urin.
Secara umum, jika jumlah leukosit dalam urin lebih besar dari 10 sel per
lapangan daya tinggi atau lebih besar dari jumlah sel darah merah, tersangka
infeksi saluran kemih (ISK) dapat ditegakkan. Menentukan pH urin juga
membantu karena, (1) dengan pH lebih rendah dari 6,0, batu asam urat harus
dipertimbangkan, dan (2) dengan pH lebih dari 8,0, infeksi dengan organism
splitting urea seperti Proteus, Pseudomonas, atau Klebsiella mungkin ada.
Kristal urin dari kalsium oksalat, asam urat, atau sistin kadang-kadang dapat
ditemukan pada urinalisis. Jika da, kristal ini adalah petunjuk sangat baik
untuk jenis dan sifat yang mendasari setiap batu (Leslie, 2010).
Penatalaksanaan
Tatalaksana awal di ruang gawat darurat dimulai dengan
memperoleh akses vena untuk mempermudah pemberian cairan, analgesik dan
pengobatan antiemetik. Banyak dari pasien yang mengalami dehidrasi karena
mual dan muntah (Leslie, 2010).
Melakukan hidrasi dan memberikan diuretik sebagai terapi
pembantu masih merupakan controversial. Ada yang berpendapat dapat
membantu pengeluaran batu, namun juga ada yang berpikir akan menambah
tekanan hidrostatik sehingga menambah nyeri. Namun, ekstra cairan harus
diberikan jika pasien dengan bukti klinis atau laboratorium mengalami
dehidrasi, diabetes atau gagal ginjal (Leslie, 2010).
14
Protokol yang dibuat berdasarkan kemungkinan kegagalan lewatnya
batu secara spontan baik oleh karena striktur uretra, spasme otot, edema lokal,
inflamasi dan infeksi. Regimen yang diberikan berupa(Leslie, 2010):
Ketorolak 10 mg oralsetiap 6 jam untuk 5 hari.
Nifedipine 30 mg per hari PO untuk 7 hari.
Prednisone 20 mg PO 2 kali sehari untuk 5 hari.
Trimethoprim/sulfamethoxazole sekali sehari untuk 7 hari.
Acetaminophen 2 tablet 4 kali sehari untuk 7 hari.
Prochlorperazine supositoria sebagai pengontrol mual.
Batu yang terjebak di kaliks dapat memblok aliran traktus dari kaliks
yang menyebabkan obstruksi dan nyeri. Pengobatan dengan ESWL dapat
beralasan untuk situasi yang batu kaliks dicurigai menyebabkan gejala dan nyeri
(Leslie, 2010).
3. Kolik karena sumbatan usus halus
Sebuah obstruksi usus kecil (SBO) disebabkan oleh berbagai proses
patologis. Penyebab utama SBO di negara maju adalah perlekatan pasca
operasi (60%) diikuti oleh keganasan, penyakit Crohn's, dan hernia, walaupun
beberapa studi telah melaporkan penyakit Crohn sebagai faktor etiologi lebih
besar dari neoplasia. Satu studi dari Kanada melaporkan frekuensi yang lebih
tinggi dari SBO setelah operasi kolorektal, diikuti oleh pembedahan
ginekologi, perbaikan hernia, dan usus buntu (Nobie, 2009).
SBO dapat sebagian atau lengkap, sederhana (yaitu, nonstrangulasi)
atau strangulasi. Obstruksi strangulasi adalah darurat bedah. Jika tidak
didiagnosis dan diobati tepat, menyebabkan iskemia usus dan morbiditas lebih
lanjut dan kematian (Nobie, 2009).
Obstruksi dari usus kecil menyebabkan dilatasi proksimal dari usus
akibat akumulasi sekresi GI dan udara yang tertelan. Dilatasi usus ini
merangsang aktivitas sel sekresi menghasilkan akumulasi cairan lebih. Hal ini
kadang ampicillin atau amoksisilin digunakan, tetapi E. Coli telah resisten
terhadap bakteri ini. Pyridium, suatu analgesic urinarius jug adapt
digunakan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat infeksi.
Pemakaian obat pada usia lanjut perlu dipikirkan kemungkina
adanya:
- Gangguan absorbsi dalam alat pencernaan
- Interansi obat
- Efek samping obat
- Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui
ginjal
Resiko pemberian obat pada usia lanjut dalam kaitannya dengan
faal ginjal:
1. Efek nefrotosik obat
2. Efek toksisitas obat
Pemakaian obat pada usia lanjut hendaknya setiasp saat dievalusi
keefektifannya dan hendaknya selalu menjawab pertanyaan sebagai berikut
- Apakah obat-obat yang diberikan benar-benar berguna/diperlukan
- Apakah obat yang diberikan menyebabkan keadaan lebih baik atau malh
membahayakan
- Apakah obat yang diberikan masih tetap diberikan?
- Dapatkah sebagian obat dikurangi dosisnya atau dihentikan?
L. Penatalaksanaan
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya
harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi
42
untuk melakukan tindakan atau terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu
telah menimbulkan obstruksi, infeksi, atau harus diambil karena suatu indikasi
sosial. Obstruksi karena batu saluran kemih yang telah menimbulkan hidroureter
atau hidronefrosis dan batu yang sudah menimbulkan infeksi saluran kemih, harus
segera dikeluarkan.
Kadang kala batu saluran kemih tidak menimbulkan penyulit seperti
diatas, namun diderita oleh seorang yang karena pekerjaannya (misalkan batu
yang diderita oleh seorang pilot pesawat terbang) memiliki resiko tinggi dapat
menimbulkan sumbatan saluran kemih pada saat yang bersangkutan sedang
menjalankan profesinya dalam hal ini batu harus dikeluarkan dari saluran kemih.
Pilihan terapi antara lain :
1. Terapi Konservatif
Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter <5 mm. Seperti
disebutkan sebelumnya, batu ureter <5 mm bisa keluar spontan. Terapi
bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urin dengan
pemberian diuretikum, berupa :
a. Minum sehingga diuresis 2 liter/ hari
b. α - blocker
c. NSAID
Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran
batu syarat lain untuk observasi adalah berat ringannya keluhan pasien, ada
tidaknya infeksi dan obstruksi. Adanya kolik berulang atau ISK menyebabkan
observasi bukan merupakan pilihan. Begitu juga dengan adanya obstruksi,
apalagi pada pasien-pasien tertentu (misalnya ginjal 20 tunggal, ginjal trasplan
dan penurunan fungsi ginjal ) tidak ada toleransi terhadap obstruksi. Pasien
seperti ini harus segera dilakukan intervensi.
2. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
Dengan ESWL sebagian besar pasien tidak perlu dibius, hanya diberi
obat penangkal nyeri. Pasien akan berbaring di suatu alat dan akan dikenakan
43
gelombang kejut untuk memecahkan batunya Bahkan pada ESWL generasi
terakhir pasien bisa dioperasi dari ruangan terpisah. Jadi, begitu lokasi ginjal
sudah ditemukan, dokter hanya menekan tombol dan ESWL di ruang operasi
akan bergerak. Posisi pasien sendiri bisa telentang atau telungkup sesuai posisi
batu ginjal. Batu ginjal yang sudah pecah akan keluar bersama air seni.
Biasanya pasien tidak perlu dirawat dan dapat langsung pulang.
Pembangkit (generator) gelombang kejut dalam ESWL ada tiga jenis
yaitu elektrohidrolik, piezoelektrik dan elektromagnetik. Masing-masing
generator mempunyai cara kerja yang berbeda, tapi sama-sama menggunakan
air atau gelatin sebagai medium untuk merambatkan gelombang kejut. Air dan
gelatin mempunyai sifat akustik paling mendekati sifat akustik tubuh sehingga
tidak akan menimbulkan rasa sakit pada saat gelombang kejut masuk tubuh.
ESWL merupakan alat pemecah batu ginjal dengan menggunakan gelombang
kejut antara 15-22 kilowatt. ESWL hanya sesuai untuk menghancurkan batu
ginjal dengan ukuran kurang dari 3 cm serta terletak di ginjal atau saluran
kemih antara ginjal dan kandung kemih (kecuali yang terhalang oleh tulang
panggul). Batu yang keras (misalnya kalsium oksalat monohidrat) sulit pecah
dan perlu beberapa kali tindakan.
ESWL tidak boleh digunakan oleh penderita darah tinggi, kencing
manis, gangguan pembekuan darah dan fungsi ginjal, wanita hamil dan anak-
anak, serta berat badan berlebih (obesitas).
Penggunaan ESWL untuk terapi batu ureter distal pada wanita dan
anak-anak juga harus dipertimbangkan dengan serius. Sebab ada kemungkinan
terjadi kerusakan pada ovarium. Meskipun belum ada data yang valid, untuk
wanita di bawah 40 tahun sebaiknya diinformasikan sejelas-jelasnya
3. Endourologi
Tindakan Endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk
mengeluarkan batu saluran kemih yang terdiri atas memecah batu, dan
kemudian mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang dimasukkan
44
langsung ke dalam saluran kemih. Alat itu dimasukkan melalui uretra atau
melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses pemecahan batu dapat
dilakukan secara mekanik, dengan memakai energi hidraulik, energi
gelombang suara, atau dengan energi laser.
Beberapa tindakan endourologi antara lain:
a. PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) yaitu mengeluarkan batu yang
berada di dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi ke
sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau
dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.
Keuntungan dari PNL, bila batu kelihatan, hampir pasti dapat
diambil atau dihancurkan; fragmen dapat diambil semua karena ureter bisa
dilihat dengan jelas. Prosesnya berlangsung cepat dan dengan segera dapat
diketahui berhasil atau tidak. Kelemahannya adalah PNL perlu
keterampilan khusus bagi ahli urologi.
b. Litotripsi (untuk memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan
memasukkan alat pemecah batu/litotriptor ke dalam buli-buli),
c. Ureteroskopi atau uretero-renoskopi.
Keterbatasan URS adalah tidak bisa untuk ekstraksi langsung batu
ureter yang besar, sehingga perlu alat pemecah batu seperti yang disebutkan
di atas. Pilihan untuk menggunakan jenis pemecah batu tertentu, tergantung
pada pengalaman masing-masing operator dan ketersediaan alat tersebut.
d. ekstraksi Dormia (mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya melalui
alat keranjang Dormia).
4. Bedah Terbuka
Di klinik-klinik yang belum mempunyai fasilitas yang memadai
untuk tindakan-tindakan endourologi, laparoskopi, maupun ESWL,
pengambilan batu masih dilakukan melalui pembedahan terbuka. Pembedahan
terbuka itu antara lain adalah: pielolitotomi atau 24 rolitotomi untuk
mengambil batu pada saluran ginjal, dan ureterolitotomi untuk batu di ureter.
45
Tidak jarang pasien harus menjalani tindakan nefrektomi atau pengambilan
ginjal karena ginjalnya sudah tidak berfungsi dan berisi nanah (pionefrosis),
korteksnya sudah sangat tipis, atau mengalami pengkerutan akibat batu saluran
kemih yang menimbulkan obstruksi atau infeksi yang menahun.
5. Pemasangan Stent
Meskipun bukan pilihan terapi utama, pemasangan stent ureter
terkadang memegang peranan penting sebagai tindakan tambahan dalam
penanganan batu ureter. Misalnya pada penderita sepsis yang disertai tanda-
tanda obstruksi, pemakaian stent sangat perlu. Juga pada batu ureter yang
melekat (impacted). Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan
selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah upaya menghindari timbulnya
kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per tahun
atau kurang lebih 50% dalam 10 tahun.
M. Komplikasi dan Prognosis
a) Komplikasi
Dibedakan komplikasi akut dan komplikasi jangka panjang.
Komplikasi akut yang sangat diperhatikan oleh penderita adalah kematian,
kehilangan fungsi ginjal, kebutuhan transfusi dan tambahan intervensi
sekunder yang tidak direncanakan. Data kematian, kehilangan fungsi ginjal
dan kebutuhan transfusi pada tindakan batu ureter memiliki risiko sangat
rendah. Komplikasi akut dapat dibagi menjadi yang signifikan dan kurang
signifikan. Yang termasuk komplikasi signifikan adalah avulsi ureter, trauma
organ pencernaan, sepsis, trauma vaskuler, hidro atau pneumotorak, emboli
paru dan urinoma. Sedang yang termasuk kurang signifikan perforasi ureter,
hematom perirenal, ileus, stein strasse, infeksi luka operasi, ISK dan migrasi
stent.
46
Komplikasi jangka panjang adalah striktur ureter. Striktur tidak
hanya disebabkan oleh intervensi, tetapi juga dipicu oleh reaksi inflamasi dari
batu, terutama yang melekat. Angka kejadian striktur kemungkinan lebih
besar dari yang ditemukan karena secara klinis tidak tampak dan sebagian
besar penderita tidak dilakukan evaluasi radiografi (IVP) pasca operasi.
Obstruksi adalah komplikasi dari batu ginjal yang dapat
menyebabkan terjadinya hidronefrosis dan kemudian berlanjut dengan atau
tanpa pionefrosis yang berakhir dengan kegagalan faal ginjal yang terkena.
Komplikasi lainnya dapat terjadi saat penanganan batu dilakukan. Infeksi,
termasuk didalamnya adalah pielonefritis dan sepsis yang dapat terjadi
melalui pembedahan terbuka maupun noninvasif seperti ESWL. Biasanya
infeksi terjadi sesaat setelah dilakukannya PNL, atau pada beberapa saat
setelah dilakukannya ESWL saat pecahan batu lewat dan obstruksi terjadi.
Cidera pada organ-organ terdekat seperti lien, hepar, kolon dan paru serta
perforasi pelvis renalis juga dapat terjadi saat dilakukan PNL, visualisasi yang
adekuat, penanganan yang hati-hati, irigasi serta drainase yang cukup dapat
menurunkan resiko terjadinya komplikasi ini.
Pada batu ginjal nonstaghorn, komplikasi berupa kehilangan darah,
demam, dan terapi nyeri yang diperlukan selama dan sesudah prosedur lebih
sedikit dan berbeda secara bermakna pada ESWL dibandingkan dengan PNL.
Demikian pula ESWL dapat dilakukan dengan rawat jalan atau perawatan
yang lebih singkat dibandingkan PNL.
Komplikasi akut meliputi transfusi, kematian, dan komplikasi
keseluruhan. Dari meta-analisis, kebutuhan transfusi pada PNL dan kombinasi
terapi sama (< 20%). Kebutuhan transfusi pada ESWL sangat rendah kecuali
pada hematom perirenal yang besar. Kebutuhan transfusi pada operasi terbuka
mencapai 25-50%. Mortalitas akibat tindakan jarang, namun dapat dijumpai,
khususnya pada pasien dengan komorbiditas atau mengalami sepsis dan
47
komplikasi akut lainnya. Dari data yang ada di pusat urologi di Indonesia,
risiko kematian pada operasi terbuka kurang dari 1%.
Komplikasi ESWL meliputi kolik renal (10,1%), demam (8,5%),
urosepsis (1,1%) dan steinstrasse (1,1%). Hematom ginjal terjadi akibat
trauma parietal dan viseral. Hasil studi pada hewan tidak menunjukkan adanya
kelainan lanjut yang berarti. Dalam evaluasi jangka pendek pada anak pasca
ESWL, dijumpai adanya perubahan fungsi tubular yang bersifat sementara
yang kembali normal setelah 15 hari. Belum ada data mengenai efek jangka
panjang pasca ESWL pada anak.
Komplikasi pasca PNL meliputi demam (46,8%) dan hematuria
yang memerlukan transfusi (21%). Konversi ke operasi terbuka pada 4,8%
kasus akibat perdarahan intraoperatif, dan 6,4% mengalami ekstravasasi urin.
Pada satu kasus dilaporkan terjadi hidrothoraks pasca PNL. Komplikasi
operasi terbuka meliputi leakage urin (9%), infeksi luka (6,1%), demam
(24,1%), dan perdarahan pascaoperasi (1,2%). Pedoman penatalaksanaan batu
ginjal pada anak adalah dengan ESWL monoterapi, PNL, atau operasi
terbuka.
Jika batu dibiarkan dapat menjadi sarang kuman yang dapat
menimbulkan infeksi saluran kemih, pylonetritis, yang akhirnya merusak
ginjal, kemudian timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya yang jauh lebih
parah. (Awie, 2009).
b) Prognosis
Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak
batu, dan adanya infeksi serta obstruksi. Makin besar ukuran suatu batu, makin
buruk prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat
mempermudah terjadinya infeksi. Makin besar kerusakan jaringan dan adanya
infeksi karena faktor obstruksi akan dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal
48
Pada pasien dengan batu yang ditangani dengan ESWL, 60%
dinyatakan bebas dari batu, sisanya masih memerlukan perawatan ulang karena
masih ada sisa fragmen batu dalam saluran kemihnya. Pada pasien yang ditangani
dengan PNL, 80% dinyatakan bebas dari batu, namun hasil yang baik ditentukan
pula oleh pengalaman operator.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Diagnosis dari skenario yang dibahas adalah batu saluran kemih dengan komplikasi ISK. Letak dari batu berdasarkan pemeriksaan pada skenario adalah pada ureter.
2. Dalam skenario ini peserta diskusi membahas diantaranya adalah tentang batu saluran kemih dan ISK (gejala, faktor resiko, patofisiologi, pemeriksaan lab dan penunjang, komplikasi, prognosis, dan penatalaksanaan).
B. Saran
1. Mahasiswa peserta diskusi diharapkan lebih aktif dalam berpartisipasi pada diskusi tutorial
2. Peserta diskusi hendaknya menggunakan sumber yang valid dalam mengemukakan pendapat selama diskusi.
3. Peserta diskusi diharapkan mengemukakan pendapatnya dengan lebih sistematis dan meningkatkan penguasaan materi yang disampaikan dalam diskusi.
49
50
DAFTAR PUSTAKA
Awie, Abdul Haris. 2009. Batu Ginjal. http://www.google.co.id/url?