BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi merupakan kelainan kardiovaskuler yang menjadi penyebab kematian utama di seluruh dunia. Hipertensi adalah keadaan meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mmHg, atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat/ tenang (Kuswardhani, 2005). Menurut Khancit (2011), WHO mencatat ada satu miliar orang yang terkena hipertensi. Di Indonesia, angka penderita hipertensi mencapai 32 persen pada 2008 dengan kisaran usia di atas 25 tahun. Jumlah penderita pria mencapai 42,7 persen, sedangkan 39,2 persen adalah wanita. (Kompas, 2013). Hasil survei Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik yang dilaksanakan pada tahun 2009 menunjukkan bahwa hipertensi termasuk dalam 10 penyakit yang paling sering dijumpai pada pasien-pasien rawat jalan, yaitu sebanyak 123.269 kasus, berjajar bersama penyakit menular lainnya seperti diare, infeksi saluran napas gastroenteritis, dan lain-lain. (Depkes, 2009). Hipertensi merupakan penyakit yang memerlukan terapi dalam pengobatannya, maka sangat diperlukan managemen hipertensi yang didasarkan pada kepatuhan terapi. Tujuan terapi hipertensi adalah mencapai dan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi merupakan kelainan kardiovaskuler yang menjadi penyebab
kematian utama di seluruh dunia. Hipertensi adalah keadaan meningkatnya
tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mmHg, atau diastolik lebih besar dari
90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan
cukup istirahat/ tenang (Kuswardhani, 2005).
Menurut Khancit (2011), WHO mencatat ada satu miliar orang yang
terkena hipertensi. Di Indonesia, angka penderita hipertensi mencapai 32 persen
pada 2008 dengan kisaran usia di atas 25 tahun. Jumlah penderita pria mencapai
42,7 persen, sedangkan 39,2 persen adalah wanita. (Kompas, 2013).
Hasil survei Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik yang dilaksanakan
pada tahun 2009 menunjukkan bahwa hipertensi termasuk dalam 10 penyakit
yang paling sering dijumpai pada pasien-pasien rawat jalan, yaitu sebanyak
123.269 kasus, berjajar bersama penyakit menular lainnya seperti diare, infeksi
saluran napas gastroenteritis, dan lain-lain. (Depkes, 2009).
Hipertensi merupakan penyakit yang memerlukan terapi dalam
pengobatannya, maka sangat diperlukan managemen hipertensi yang didasarkan
pada kepatuhan terapi. Tujuan terapi hipertensi adalah mencapai dan
mempertahankan tekanan darah sitolik di bawah 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik di bawah 90 mmHg dan mengontrol faktor risiko (Ganiswarna, 2007).
Menurut Katzung & Bertram (2007), ada dua terapi yang dilakukan untuk
mengobati hipertensi yaitu terapi farmakologis dan terapi non farmakologis.
Terapi farmakologis yaitu dengan menggunakan obat-obatan antihipertensi yang
terbukti dapat menurunkan tekanan darah, sedangkan terapi non farmakologis atau
disebut juga dengan modifikasi gaya hidup yang meliputi berhenti merokok,
mengurangi kelebihan berat badan, menghindari alkohol, modifikasi diet serta
yang mencakup psikis antara lain mengurangi stress, olahraga, dan istirahat
(Astawan, 2002).
Keberhasilan suatu terapi tidak hanya ditentukan oleh diagnosis dan
pemilihan obat yang tepat, tetapi juga oleh kepatuhan (compliance) pasien untuk
melaksanakan terapi tersebut. Salah satu faktor yang mempengaruhi pasien
hipertensi dalam menjalankan program terapi adalah pengetahuan (Saputro,
2009). Menurut Irmalita (2003) kebanyakan pasien tidak meminum obat
antihipertensi sesuai dengan yang diresepkan dan menghentikannya setelah 1
tahun. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan pasien tentang program
terapi hipertensi. Oleh karena itu, sangat penting memberikan edukasi tentang
manfaat pengontrolan tekanan darah dalam jangka panjang untuk mencapai hasil
terapi yang diinginkan (Kaplan, 2001). Pentingnya informasi mengenai hipertensi
akan menambah pengetahuan sehingga pasien hipertensi dapat mengendalikan
tekanan darahnya melalui program terapi yang diikutinya (Ragot, et al., 2005).
Kepatuhan mencakup kombinasi antara kontrol tekanan darah dan
penurunan faktor risiko yang dilakukan pasien. Keberhasilan dalam
mengendalikan tekanan darah tinggi merupakan usaha bersama antara pasien dan
dokter yang menanganinya. Kepatuhan seorang pasien yang menderita hipertensi
tidak hanya dilihat berdasarkan kepatuhan dalam meminum obat antihipertensi
tetapi juga dituntut peran aktif pasien dan kesediaannya untuk memeriksakan
kesehatannya ke dokter sesuai dengan jadwal yang ditentukan serta perubahan
gaya hidup sehat yang dianjurkan (Burnier, 2001).
Ketidakpatuhan pasien hipertensi terhadap program terapi merupakan
masalah yang besar pada penderita hipertensi. Diperkirakan 50% diantara mereka
menghentikan pengobatan dalam 1 tahun pemulihan. Pengontrolan tekanan darah
yang memadai hanya dapat dipertahankan pada 20%, namun bila pasien
berpartisipasi aktif dalam program terapi, termasuk pemantauan diri mengenai
tekanan darah dan diit, kepatuhan cenderung meningkat karena dapat segera
diperoleh umpan balik sejalan dengan perasaan semakin terkontrol (Brunner &
Suddarth, 2001).
Di Indonesia kesadaran dan pengetahuan tentang penyakit hipertensi
masih sangat rendah hal ini terbukti, masyarakat lebih memilih makanan siap saji
yang umumnya rendah serat, tinggi lemak, tinggi gula, dan mengandung banyak
garam. Pola makan yang kurang sehat ini merupakan pemicu penyakit hipertensi
(Austriani,2008).
Di negara Indonesia, penderita hipertensi yang berobat teratur di
Puskesmas sekitar 22,8% sedangkan yang tidak teratur mencapai 77,2%,
(Riskesdas) 2007. Hal ini terlihat dari hasil pengukuran tekanan darah pada usia
18 tahun ke atas ditemukan prevalensi (jumlah keseluruhan kasus penyakit yang
terjadi pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah) hipertensi di Indonesia sebesar
31,7% (http://okezone.com).
Berdasarkan hal diatas peneliti merasa tertarik untuk meneliti “Gambaran
Tingkat Kepatuhan Pasien Hipertensi Dalam Pelaksanaan Program Terapi di
Poliklinik Interna RSUP Sanglah Tahun 2013”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan penelitian :”Bagaimanakah gambaran tingkat kepatuhan pasien
hipertensi dalam pelaksanaan program terapi di Poliklinik Interna RSUP Sanglah
Tahun 2013?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran
tingkat kepatuhan pasien hipertensi dalam pelaksanaan program terapi di
Poliklinik Interna RSUP Sanglah Tahun 2013.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik pasien hipertensi yang menjalani program
terapi yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan.
b. Mengidentifikasi kepatuhan pasien hipertensi yang menjalani program terapi
yang meliputi kepatuhan pada aktivitas, diet, obat dan ketiga program terapi
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
di bidang keperawatan dalam khususnya dalam masalah hipertensi dan bermanfaat
untuk memberikan materi tentang pelaksanaan program terapi kepada pasien.
2. Segi Praktis
Perawat dalam pemberian pendidikan kesehatan kepada pasien hipertensi
tentang pentingnya kepatuhan dalam menjalankan program terapi yang dianjurkan
oleh tim medis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Hipertensi
1. Pengertian Hipertensi
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana
tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya di atas 90 mmHg.
Pada populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160
mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Brunner & Suddarth, 2002).
Menurut WHO hipertensi terjadi bila tekanan darah diatas 160/95 mmHg,
sementara itu Smelttzer & Bare (2002) mengemukakan bahwa hipertensi
merupakan tekanan darah persisten atau terus menerus sehingga melebihi batas
normal dimana tekanan sistolik diatas 140 mmHg dan tekanan diastole diatas 90
mmHg.
Hipertensi juga sering diartikan sebagai suatu keadaan dimana tekanan
darah sistolik lebih dari 120 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 80 mmHg
(Ardiansyah, 2012).
Dari beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa hipertensi
adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah sistolik ≥140
mmHg dan tekanan diastoliknya ≥90 mmHg.
2. Etiologi
Hipertensi dibagi menjadi dua golongan berdasarkan penyebabnya
a. Hipertensi Primer/Hipertensi Esensial
Menurut Hananta (2011) faktor resiko terjadinya hipertensi primer adalah
sebagai berikut :
1) Faktor Keturunan (Genetik)
Faktor genetik dapat menyebabkan seseorang mengalami hipertensi,
efeknya tidak secara langsung namun melalui tingkat sensitivitas kita terhadap
garam atau Nacl. Berdasarkan penelitian eksperimental, diketahui bahwa respon
tekanan darah manusia terhadap garam diturunkan secara genetik. Maksudnya
adalah bahwa seseorang bisa saja mudah mengalami kenaikan tekanan darah bila
mengonsumsi makanan atau minuman yang banyak mengandung garam atau tidak
sama sekali.
2) Usia, Ras, dan Jenis Kelamin
Semakin lanjut usia seseorang, maka tekanan darah akan semakin tinggi
karena beberapa faktor : elastisitas pembuluh darah yang berkurang, fungsi ginjal
sebagai penyeimbang tekanan darah yang menurun. Jenis kelamin berpengaruh
terhadap kadar hormon yang dimiliki seseorang. Estrogen yang dominan dimiliki
wanita diketahui sebagai faktor protektif/perlindungan pembuluh darah, sehingga
penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) lebih banyak ditemukan
pada pria yang kadar estrogennya lebih rendah daripada wanita.
Sedangkan seorang wanita yang telah menopause, dengan kata lain
produksi hormon estrogennya berkurang, lebih berisiko menderita penyakit
jantung dan pembuluh darah. Penyakit ini sering disebut “silent killer” atau
pembunuh yang diam karena orang yang mengalami hipertensi biasanya tidak
mengalami tanda atau gejala yang khusus. Penderita penyakit ini biasanya baru
menyadarinya saat tekanan darah sudah menjadi sangat tinggi dan mengarah pada
serangan jantung dan stroke. Hipertensi yang tidak ditangani dengan baik dapat
mengarah pada banyak penyakit degeneratif seperti gagal jantung kongestif, gagal
ginjal fase akhir, dan penyakit kardiovaskuler lainnya.
3) Berat Badan
Penelitian dan beberapa studi yang dilakukan dunia telah menemukan
bahwa orang gemuk lebih mudah terkena hipertensi. Berat badan berhubungan
dengan tekanan darah. Berdasarkan Framingham Heart Study, sebanyak 75% dan
65% kasus hipertensi yang terjadi pada pria dan wanita secara langsung berkaitan
dengan kelebihan berat badan dan obesitas. Namun tidak semua kegemukan
berhubungan dengan hipertensi. Ada dua jenis kegemukan, yaitu kegemukan
sentral dan perifer. Pada kondisi kegemukan sentral lemak mengumpul di sekitar
perut atau kata lain, buncit. Sedangkan kegemukan perifer adalah kegemukan
yang merata di seluruh tubuh. Artinya lemak menyebar rata di seluruh bagian
tubuh.
Kegemukan sentral merupakan faktor penentu yang lebih penting terhadap
peningkatan tekanan darah dibandingkan dengan kelebihan berat badan perifer.
Hipertensi lebih banyak ditemukan pada orang dengan kegemukan sentral.
4) Asupan Garam
Asupan garam yang berlebihan dapat meningkatkan tekanan darah kita.
Teori ini memang didukung bahwa faktanya semakin banyak orang mengonsumsi
garam (baik secara sengaja atau tidak) maka akan semakin tinggi tekanan
darahnya. Garam, yang secara kimiawi dirumuskan Nacl terdiri dari natrium (Na)
dan klor (Cl). Natrium yang beeredar dalam darahlah yang memiliki efek
langsung pada peningkatan tekanan darah ini dengan membentuk ikatan dengan
air (H2O) yang menyebabkan jumlah/volume cairan darah meningkat. Pada
kondisi peningkatan volume cairan darah, maka tubuh, dalam hal ini jantung,
merespons dengan meningkatkan tekanan darah untuk menjamin seluruh cairan
darah dapat beredar ke seluruh tubuh.
5) Stres
Stres yang akut dapat meningkatkan tekanan darah.
6) Gaya hidup yang kurang sehat
Orang normotensi serta kurang gerak dan tidak bugar mempunyai risiko 20
– 50% lebih besar untuk terkena hipertensi selama masa tindak lanjut jika
dibandingkan dengan orang yang lebih aktif dan bugar. Olahraga yang teratur,
yang cukup untuk mencapai sekurang – kurangnya atas kebugaran fisik sedang,
ternyata bermanfaat, baik untuk mencegah maupun untuk menangani hipertensi
(Laporan Komisi Pakar WHO,2001).
b. Hipertensi Sekunder/Hipertensi Renal
Menurut Ardiansyah (2012) hipertensi sekunder adalah jenis hipertensi
yang penyebabnya diketahui. Beberapa gejala atau penyakit yang menyebabkan
hipertensi jenis ini antara lain :
1) Coarctation aorta, yaitu penyempitan aorta congenital yang (mungkin) terjadi
pada beberapa tingkat aorta torasik atau aorta abdominal. Penyempitan ini
menghambat aliran darah melalui lengkung aorta dan mengakibatkan
peningkatan tekanan darah di atas area konstriksi.
2) Penyakit parenkim dan vaskular ginjal. Penyakit ini merupakan penyebab
utama hipertensi sekunder. Hipertensi renovaskuler berhubungan dengan
penyempitan satu atau lebih arteri besar, yang secara langsung membawa
darah ke ginjal. Sekitar 90% lesi arteri renal pada pasien dengan hipertensi
disebabkan oleh arterosklerosis atau fibrous dysplasia (pertumbuhan
abnormal jaringan fibrous). Penyakit parenkim ginjal terkait dengan infeksi,
inflamasi, serta perubahan struktur serta fungsi ginjal.
3) Penggunaan kontrasepsi hormonal (esterogen). Oral kontrasepsi yang berisi
estrogen dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme renin-aldosteron-
mediate volume expansion. Dengan penghentian oral kontrasepsi, tekanan
darah kembali normal setelah beberapa bulan.
4) Gangguan endokrin. Disfungsi medulla adrenal atau korteks adrenal dapat
menyebabkan hipertensi sekunder. Adrenal-mediate hypertension disebabkan
kelebihan primer aldosteron, kortisol, dan katekolamin. Pada aldosteron
primer, kelebihan aldosteron menyebabkan dan hipokalemia. Aldosteonisme
primer biasanya timbul dari adenoma korteks adrenal yang benign (jinak).
Pada sindrom cushing, terjadi kelebihan glukokortikoid yang diekskresi dari
korteks adrenal. Sindrom chusing mungkin disebabkan oleh hiperplasi
adrenokortikal atau adenoma adrenokortikal.
5) Kegemukan (obesitas) dan gaya hidup yang tidak aktif (malas berolahraga)
6) Stres, yang cenderung menyebabkan kenaikan tekanan darah untuk sementara
waktu. Jika stres telah hilang, maka tekanan darah biasanya akan kembali
normal.
7) Kehamilan
8) Luka bakar
9) Peningkatan volume intravaskular
10) Merokok. Nikotin dalam rokok dapat merangsang pelepasan katekolamin.
Peningkatan katekolamin ini mengakibatkan iritabilitas miokardial,
peningkatan denyut jantung, serta menyebabkan vasokontriksi yang
kemudian meningkatkan tekanan darah.
3. Klasifikasi Hipertensi
Menurut The Joint National Committee on Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure (1998), klasifikasi tekanan darah pada orang
dewasa terbagi menjadi kelompok normal, normal tinggi, hipertensi derajat 1,
derajat 2, derajat 3 dan derajat 4 :
Tabel 1
Klasifikasi Hipertensi
Kategori TDD (mmHg) TDS (mmHg)
Normal < 85 < 130
Normal tinggi 85-89 130-139
Hipertensi
tinggi 1 (ringan) 90-99 140-159
tinggi 2 (sedang) 100-109 160-179
tinggi 3 (berat) 110-119 180-210
tinggi 4 (sangat berat) ≥ 120 ≥ 210
Sumber : The Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (1998) dalam Buku Keperawatan Medikal Bedah (Ardiansyah, 2012)
4. Patofisiologi Hipertensi
Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula rajas saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar
dari kolumna medulla spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke
bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron
preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin
mengakibatkan kontriksi pembuluh darah. Berbagai factor seperti kecemasan dan
ketakutan dapat mempengaruhi resposns pembuluh darah terhadap rangsang
vasokonstriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin,
meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh
darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang,
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mensekresi
epinefrin, yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol
dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh
darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginal,
menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I
yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang
pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan
keadaan hipertensi (Brunner & Suddarth, 2002).
5. Tanda dan Gejala Hipertensi
Menurut Ardiansyah (2012), sebagian tanda dan gejala yang timbul setelah
penderita mengalami hipertensi selama bertahun-tahun. Gejalanya berupa :
a. Nyeri kepala saat terjaga, terkadang disertai mual dan muntah akibat
peningkatan tekanan darah interaknium
b. Penglihatan kabur karena terjadi kerusakan pada retina sebagai dampak dari
hipertensi
c. Ayunan langkah yang lemah karena terjadi kerusakan sususan saraf pusat
d. Noturia (sering berkemih di malam hari) karena adanya peningkatan aliran
darah ke ginjal dan filtrasi glomerulus
e. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler
Pada kasus hipertensi berat, gejala yang dialami pasien antara lain sakit
kepala (rasa berat di tengkuk), palpitasi, kelelahan, nausea, munyah-muntah,