Top Banner

of 32

BAB 5 ANALISA DAN KONSEP PENGENDALIAN BANJIR.doc

Oct 05, 2015

Download

Documents

Andri Kwin
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB I

BAB 5ANALISA DAN SISTEM PENGENDALIAN BANJIR5.1. IDENTIFIKASI BANJIR RAWABANGUNDari data dan informasi masyarakat, diketahui banjir yang terjadi di Das Rawabangun yatu hanya terjadi pada kawasan kampung Rawabangun yang merupakan daerah rawan banjir.

Seperti diuraikan pada bab sebelumnya, maka permasalahan banjir Rawabangun dapat diidentifikasikan sebagai berikut; Kondisi Topografi terutama di Kawasan kampung Rawabangun yang relatif rendah berbentuk cekungan, dan merupakan titik dimana terjadinya perubahan kemiringan sungai dari agak curam menjadi landai.

Kampung rawabangun terletak pada pusat aliran dimana pertemuan sungai ada di daerah ini atau disebut sebagai titik konsentrasi.

Kapasitas sungai yang semakin menurun dan tidak sesuai dengan debit yang dihasilkan dari Das Rawabangun.

Sebagian Ruas Sungai yang tertutup oleh sedimen dan tanaman penganggu serta adanya bangunan di atas badan sungai. Adanya Pembuangan sampah ke badan sungai dan terjadinya pendangkalan di muara sungai oleh sedimentasi lumpur. Pemukiman yang sudah terlanjur padat pada daerah rawan banjir dan disepanjang sempadan sungai Rawabangun.

Gambar 5.1 Peta Identifikasi Daerah Rawan Banjir

5.2. ANALISA BANJIR RAWABANGUNSetelah diperoleh identifikasi banjir Rawabangun, maka yang perlu untuk diketahui lebih lanjut adalah mengenai besarnya debit yang mengalir melewati daerah banjir yaitu terutama kampung Rawabangun sebagai titik konsentrasi banjir. Luas tangkapan hujan (catchment area) yang masuk di daerah Rawabangun seluas 3.33 km2 dan panjang sungai utama 2.70 km menghasilkan debit banjir rencana kala ulang berturut-turut 2th, 5th, 10th, 25th, 50th dan 100th yaitu 33.22 m3, 42.14 m3, 47.43 m3, 54.37 m3, 59.13 m3 dan 64.07 m3.5.2.1 ANALISA HIDROLIKA SUNGAI RAWABANGUNSebelum dapat membuat sistem pengendalian banjir, terlebih dahulu perlu diketahui besanya atau tinggi banjir yang terjadi saat ini. Selain berdasarkan informasi masyarakat maka perlu dianalisis dengan analisa hidrolika berdasarkan pengukuran profil sungai yang telah diukur.Untuk itu analisa profil muka air diperlukan untuk mengetahui apakah debit rencana dapat ditampung oleh sungai dan apabila meluap untuk mengetahui titik tempat air meluap (banjir) sehingga dapat direncanakan sistem pengendalian banjir.

Sebagai alat bantu analisa profil muka air digunakan program HEC-RAS versi 3.1.3 untuk kondisi aliran unsteady (pasang surut). Prosedur perhitungan didasarkan pada penyelesaian persamaan aliran satu dimensi melalui saluran terbuka. Aliran satu dimensi ditandai dengan besarnya kecepatan yang sama pada seluruh penampang atau digunakan kecepatan rata-rata.A. Dasar Teori Hidrolika

1. Persamaan Energi

Persamaan energi digunakan sebagai dasar perhitungan untuk aliran steady dalam saluran terbuka, diberikan oleh persamaan berikut ini (Chow, 1997:243):

dengan :

g = percepatan gravitasi (m2/dtk)

hf =kehilangan tinggi akibat gesekan (m)

he=kehilangan tinggi akibat perubahan penampang (m)

U= kecepatan rerata (m/dtk)

= koefisien distribusi kecepatan

z= ketinggian dari datum (m)

h= kedalaman air (m)

Gambar 5.2 Energi Dalam Saluran Terbuka

2. Kehilangan Tinggi Energi

Kehilangan tinggi energi pada penampang sungai diakibatkan oleh gesekan dan perubahan penampang. Kehilangan akibat gesekan dievaluasi sebagai hasil dari kemiringan garis energi Sf dan panjang L (Anonim, 2001:2-3), seperti terlihat dalam persamaan berikut :

EMBED Equation.3

dengan :

hf= kehilangan energi akibat gesekan (m)

L= jarak antar sub bagian (m)

Sf= kemiringan garis energi (friction slope)

K= pengangkutan aliran tiap sub bagian

Q= debit air (m3/dtk)

Adapun kehilangan tinggi energi akibat perubahan penampang terdiri dari dua yaitu akibat kontraksi dan ekspansi. Kontraksi dan ekspansi terjadi akibat back water yang disebabkan perubahan penampang, atau perubahan kemiringan dasar saluran yang sangat curam sekali. Kehilangan tinggi energi akibat kontraksi dan ekspansi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : (Anonim, 2001:2-11)

dengan :

C = koefisien akibat kehilangan tinggi kontraksi dan ekspansi3. Persamaan Momentum

Persamaan momentum menyatakan bahwa pengaruh dari semua gaya luar terhadap volume kontrol dari cairan dalam setiap arah sama dengan besarnya perubahan momentum dalam arah itu, yaitu (Raju, 1986:11) :

Fx = . Q . U

W sin ( + P1 P2 Ff Fa = Q (U2 U1)

dengan :

P1 dan P2=muatan hidrostatis pada potongan 1 dan 2

W

=berat volume kontrol

(

=kemiringan dasar dengan garis mendatar

Ff

=gesekan batas terhadap panjang x

Fa

=tahanan udara pada permukaan bebas

Gambar 5.3 Prinsip Momentum Pada Saluran Terbuka

4. Pengangkutan Aliran

Penentuan pengangkutan aliran total dan koefisien kecepatan untuk suatu penampang melintang mengharuskan aliran dibagi menjadi bagian-bagian dimana kecepatan tersebut akan didistribusikan secara merata. Pendekatan yang digunakan dalam program ini adalah membagi aliran didaerah pinggir sungai dengan menggunakan nilai kekasaran n sebagai dasar pembagian penampang melintang.

Pengangkutan aliran Kj dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut (Anonim, 2001:2-4):

(dalam satuan Inggris)

(dalam satuan Metrik)

dengan :

Kj =pengangkutan tiap bagian

n =koefisien kekasaran manning tiap bagian

Aj =daerah aliran tiap bagian

Rj =jari-jari hidrolis tiap bagian

Program akan menjumlahkan penambahan pengangkutan di daerah pinggir sungai untuk mendapatkan pengangkutan di daerah samping kiri dan kanan. Pengangkutan di bagian utama saluran dihitung sebagai elemen pengangkutan tunggal. Pengangkutan total pada penampang melintang didapatkan dengan menjumlahkan pengangkutan di tiga bagian ( kiri, tengah dan kanan).

dengan :

n =

adalah jumlah sub bagian pada suatu penampang melintang sungai.5. Koefisien Kekasaran

Aliran dalam suatu penampang melintang tidak dibagi menjadi beberapa sub bagian, kecuali terjadi perubahan dalam area saluran utama. Dan program akan menerapkannya dalam perhitungan pada penampang melintang. Jika tidak dapat diterapkan, maka program akan menghitung satu nilai n kekasaran untuk seluruh bagian saluran. Untuk perhitungan n komposit, saluran utama dibagi menjadi n bagian, dimana setiap sub bagian diketahui parameter basah Pi dan koefisien kekasarannya ni. (Anonim, 2001 : 2-7).

dengan :

nc= koefisien kekasaran komposit

P= parameter basah untuk saluran utama

Pi= parameter basah untuk sub bagian ke-i

ni= koefisien kekasaran untuk sub bagian ke-i

6. Persamaan Kontinuitas

Dasar persamaan kontinuitas unsteady flow pada saluran terbuka diturunkan sebagai persamaan berikut (Raju, 1986:9) :

dengan :

Q=debit (m3/dt)

x=panjang pias (m)

A=luas penampang (m2)

t=waktu (detik)

Gambar 5.4 Kontinuitas Aliran Tak Tetap

B. Data Input

Dalam menjalankan program HECRAS maka sebagai langkah awal adalah inputing data, yang meliputi :

Skema sistem sungai (River System Schematic)

Data Penampang sungai (Cross Section Data)

Jarak antar patok (Left of Bank/LOB, Channel dan Right of Bank/ROB)

Parameter setiap data penampang yang terdiri dari kekasaran manning (n) dan 2 titik koordinat yang membentuk penampang utama (Main Channel Bank Station).

Data Aliran tidak tetap meliputi : Kondisi Batas (Boundary Conditions) dan Initial Conditions ;

Kondisi-kondisi batas meliputi : Pasang surut di muara sungai, hidrograf debit banjir (Qtr) di setiap titik kontrol.

Initial conditions secara otomatis akan muncul yaitu debit puncak pada setiap titik kontrol, dan masih bisa ditambahkan pada titik kontrol tertentu jika diperlukanC. Evaluasi Kondisi EksistingSkematik Sungai

Ruas Aliran yang ditinjau dimulai dari P.32 yaitu 50 m dibawah Jalan Teladan Baru sampai dengan Muara

Gambar 5.5 Skematik Sungai RawabangunUntuk menentukan rencana pengendalian banjir di Kp. Rawabangun yang merupakan titik rawan banjir, dilakukan evaluasi kondisi eksisting profil muka air yang terjadi saat terjadi banjir dengan kala ulang Q2th, dimana kapasitas sungai biasanya dalam kondisi ideal harus mampu mengalirkan debit Q2th.Evaluasi kondisi eksisting ini akan ditinjau terhadap aliran pada saat surut dan kondisi banjir ekstrim yang terjadi bersamaan dengan pasang.Dari hasil simulasi dengan menggunakan program Hec-ras diketahui bahwa perbedaan kondisi muka air banjir Q2th yang terjadi pada saat surut dan pada saat pasang besar, yaitu pada titik tinjau ruas sungai antara 50-60 m di atas jalan KH. Agus Salim, terjadi luapan sebesar 40 cm saat kondisi surut dan 80 cm saat banjir terjadi bersamaan dengan kondisi pasang. (lihat gambar 5.6).

Gambar 5.6 Kondisi Muka Air Banjir Q2th kondisi Surut (kiri) dan kondisi pasang (kanan) ruas 50-60 m di atas Jl. KH. Agus Salim.Kondisi ini dapat dibandingkan pada ruas lain yaitu 120 m di bawah jalan Rawabangun. Pada titik ini terjadi luapan 35 cm kondisi surut dan 80 cm kondisi banjir Q2th bersamaan dengan pasang besar.

Gambar 5.7 Kondisi Muka Air Banjir Q2th kondisi Surut (kiri) dan kondisi pasang (kanan) ruas 120 m di bawah Jl. Rawabangun

Banjir Q2th ini akan terjadi dengan probabilitas 1 kali terjadi dalam 2 tahun sedangkan banjir tahunan terjadi lebih rendah dari level ini.Dari hasil evaluasi kondisi hidrolik sungai Rawabangun dapat disimpulkan bahwa kapasitas sungai sudah mengalami degardasi, dimana secara alami seharusnya kapasitas sungai mampu mengalirkan debit Q2th.

Sedangkan pada bagian hilir atau muara sungai lebar sungai sudah cukup yaitu lebar dasar sungai Bb = 11,40 m dan lebar atas Ba=14.40 m. Hal ini dapat ditunjukkan pada hasil analisa profil muka air di patok P.60, dimana Muka air banjir pada saat kondisi surut dan kondisi pasang masih dapat dialirkan sesuai kapasitas tampung pada ruas ini.

Gambar 5.8 Muka Air Banjir pada P.60 (Muara) kondisi Surut dan Pasang.Untuk lebih memperlancar aliran perlu dinormalisasi atau pengerukan, karena telah mengalami sedimentasi.D. Modifikasi Penampang sungai (Channel Modification)

Penampang yang diperlukan untuk dapat mengalirkan debit banjir Q2th, dapat diketahui dengan mencoba beberapa alternatif normalisasi baik terhadap kemiringan dasar, lebar dan kedalaman sungai.Analisa hidrolika ditinjau dari patok di bawah Jl. Teladan Baru P.32 sampai dengan P.60 atau 50 m sebelum muara.

Normalisasi yang dilakukan yaitu memperlebar ruas sungai P.32 sampai dengan patok P.46 terletak 60 m diatas Jl. KH. Agus Salim menjadi lebar dasar B = 8.0 m dengan penampang tegak, dan kemiringan dasar pada ruas ini coba direncanakan I = 0.004859 yaitu menyesuaikan dengan kemiringan dasar sungai eksisting.

Sedangkan dari patok P.46 samapi dengan P.60 (muara) direncanakan dengan beberapa alternatif yaitu dengan B = 10 m, B = 15 m, B = 20 m dan B = 25 m. Kemiringan dasar sungai pada ruas ini disesuiakan dengan kondisi eksisting yaitu I = 0.001965.

Gambar 5.9 Tipikal Penampang Sungai yang digunakan sebagai Analisa Modifikasi Penampang.Analisa profil muka air ini di uji dalam 2 (dua) kondisi yaitu pada saat terjadi surut dan saat terjadi pasang besar.Dan perbedaan hasil profil muka air banjir Q2th dengan beberapa alternatif normalisasi penampang sungai yang dicoba pada kondisi sungai surut maupun saat sungai pasang dapat ditunjukan pada gambar profil muka air (Gambar 5.10 dan gambar 5.11).

Gambar 5.10 Profil Muka Air Banjir Q2th kondisi Surut dengan Beberapa Alternatif Normalisasi & Pelebaran Ruas Hilir

Gambar 5.11 Profil Muka Air Banjir Q2th kondisi Pasang dengan Beberapa Alternatif Normalisasi & Pelebaran Ruas Hilir5.2.2 Kesimpulan Hasil Analisa

Dari hasil analisa hidrolika profil muka air dengan debit aliran Q2th, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

Kapasitas sungai Rawabangun sudah mengalami degradasi dari kondisi aslinya/alami, dan dapat diidentifikasikan dari debit aliran Q2th yang tidak bisa lagi dialirkan secara normal melainkan meluap pada sebagian besar ruas-ruas sungai.

Debit aliran yang dihasilkan dari daerah aliran sungai Rawabangun seluas 3.33 km2 adalah sebesar 33.22 m3/dt untuk Q2th. Sedangkan kapasitas sungai kondisi saat ini hanya mampu mengalirkan debit sebesar 10 m3/dt.

Pada ruas sungai di muara, untuk memperlancar aliran supaya tidak terjadi efek pembendungan (backwater), diperlukan pengerukan, dimana sedimentasi biasanya terjadi hanya pada satu sisi.

Lebar penampang sungai Rawabangun kondisi saat ini tidak mampu mengalirkan debit Q2th, sehingga diperlukan sistem pengendalian banjir yang sesuai dan dapat diterima oleh masyarakat. Lebar penampang patok P.46 sampai dengan muara P.60 idealnya harus diperlebar atau dibuat jalan banjir baru dengan membuat saluran buatan untuk membagi aliran (Diversion Channel), Pada P.46 merupakan titik perubahan kemiringan dasar sungai sehingga terjadi efek pembendungan (back water), apalagi saat terjadinya bersamaan dengan kondisi pasang besar. 5.3. UPAYA PENGENDALIAN BANJIR5.3.1 UMUMSecara umum upaya pengendalian banjir dapat dilakukan secara struktural maupun Non Struktural. Upaya pengendalian banjir akan tergantung dari obyek yang akan dilindungi dan seberapa penting daerah tersebut sehingga mempengaruhi sektor-sektor yang lain.

5.3.2 Pendekatan Struktural

Secara konkret pelaksanaan upaya aktif (pendekatan struktural) tersebut dilakukan dengan cara sebagaimana diuraikan pada bagian berikut ini:

Debit banjir (Q, m3/det) adalah fungsi dari kecepatan aliran banjir (V, m/det) dan luas penampang sungai (A, m2 ). Jadi upaya pengendalian banjir dapat dilakukan dengan pendekatan terhadap ketiga komponen banjir tersebut. Adapun tindakantindakan yang dapat dilakukan dalam hal ini di antaranya adalah:

Mengatur debit puncak banjir (Q), misalnya dengan waduk/reservoir maupun retarding basin. Dengan cara ini maka debit Q yang dikeluarkan dari waduk dapat diatur. Jadi pada saat terjadi Q banjir, ditampung dalam waduk tersebut, dan akan dikeluarkan sesuai dengan kemampuan kapasitas sungai.

Memperkecil (Q) yang masuk dengan jalan membuat sudetan, bypass atau floodways ke sungai dan atau DAS lainnya.

Memperkecil (Q) dengan upaya perbaikan lahan di daerah hulu (watershed management). Diharapkan dengan pengelolaan lahan yang baik, akan dapat ditingkatkan kapasitas infiltrasi dan perkolasi, sehingga limpasan permukaan yang masuk ke sungai dapat direduksi.

Memperbesar penampangnya (A) dengan pembuatan tanggul banjir dalam suatu alur (dikes), tembok banjir (flood walls) dan sejenisnya.

Memperbesar kecepatan aliran (V) dengan jalan perbaikan alur, misalnya dengan cara normalisasi, memperpendek panjang alur/short-cut, mengatur bed slope atau dengan lining system pada bagian-bagian tertentu.

5.3.3 Pendekatan Non Struktural

Upaya non struktural (non structural measures) yang bersifat pengaturan dan rekayasa sosial terkait dengan fenomena banjir yang merupakan interaksi antara fenomena alam dan fenomena sosial. Oleh sebab itu penanganannya harus komprehensif dalam arti tidak hanya bersifat fisik struktural semata, namun juga harus bersifat non fisik seperti upaya pengaturan dan pengelolaan yang lintas sektoral dan integratif. Upaya tersebut secara singkat dapat berupa kegiatan:

Sosialisasi dan penyamaan persepsi dari semua stakeholders yang berkaitan dengan upaya pengendalian dan penanggulangan banjir.

Pengelolaan DAS (Watershed Management) yang non struktural

Pengelolaan Dataran Banjir (Flood plain management)

Penyesuaian tipikal rumah dengan level banjir

Evakuasi penduduk dan relokasi bangunan

Manajemen Kelembagaan

Pemberdayaan Masyarakat

dan sejenisnya

Upaya struktural yang telah dijelaskan sebelumnya tidak akan bermanfaat dengan optimal apabila tidak didukung oleh kegiatan non struktural, bahkan bisa dikatakan upaya struktural tersebut akan mengalami kegagalan. Sebab pada upaya struktural secara kaidah teknis akan menetapkan kala ulang (return period) yang layak (teknis, ekonomi, sosbud dan lingkungan) sampai pada tingkat magnitude banjir tertentu. Namun banjir masih akan sangat mungkin terjadi pada kondisi yang melebihi kala ulang yang direncanakan. Dalam kondisi demikian upaya struktural terkesan gagal. Karena itu penanganannya harus dilakukan secara komprehensif struktural & non struktural dan dilaksanakan tidak hanya oleh dinas teknis terkait (Dinas Pekerjaan Umum), namun harus juga oleh stakeholders/instansi lain seperti Bappeda, Dinas PU-Ciptakarya, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, dan lain-lain termasuk LSM dan masyarakat itu sendiri.

5.3.4 Kriteria Perencanaan Pengendalian banjir

Penentuan kala ulang debit banjir ini berdasarkan kriteria desain yang disarankan dalam Pedoman Pengendalian Banjir Departemen Pekerjaan Umum Dirjen Pengairan, tahun 1996.

Pengendalian banjir akan aman jika debit banjir tidak melebihi debit banjir rencana, yang secara umum ditentukan dengan suatu kala ulang tanpa menyebabkan ancaman terhadap jiwa dan harta benda.

Tabel 5 - 1 Kala Ulang Minimum yang Disarankan sebagai banjir Rencana yang Berkenaan dengan Genangan Banjir

Sistem Aliran Didasarkan pada Tipe Proyek (Proyek Pengendalian Banjir)

Didasarkan pada populasi total (Sistem Drainase)Fase AwalFase Akhir

SungaiProyek darurat

Proyek baru

Untuk pedesaan dan/atau kota dengan P