BAB 3. PEMBAHASAN 3.1 Sengketa Medik Sebelum penulis membahas tentang Tanggung Gugat dan Tanggung Jawab Pihak Rumah Sakit yang diwakili oleh Direksi, dalam menghadapi suatu sengketa medik, penting ditetapkan dahulu tentang apakah definisi Sengketa Medik. Sengketa Medik adalah pertentangan antara dokter/rumah sakit (di satu pihak) dengan pasien sebagai pihak lain yang telah berwujud dengan pengaduan (pihak) pasien terhadap pihak dokter/ rumah sakit disertai malpraktek atau tidak (Purwadianto). Secara hukum, suatu sengketa medik dapat meliputi: a. Sengketa pidana medik Fokusnya adalah justru kausa/sebab dan bukan akibatnya. Tindakan dikategorikan ke dalamnya jika memenuhi kriteria: melanggar norma hukum pidana tertulis, bertentangan dengan hukum, dan berdasar suatu kelalaian atau kesalahan besar. b. Sengketa perdata medik Sengketa perdata medik ini menganut prinsip “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”. Menurut hukum perdata, hal ini dapat terjadi karena 2 (dua) hal yaitu: (1) Berdasar perjanjian (”ius contractu”) 8
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Sengketa Medik
Sebelum penulis membahas tentang Tanggung Gugat dan Tanggung
Jawab Pihak Rumah Sakit yang diwakili oleh Direksi, dalam menghadapi suatu
sengketa medik, penting ditetapkan dahulu tentang apakah definisi Sengketa
Medik. Sengketa Medik adalah pertentangan antara dokter/rumah sakit (di satu
pihak) dengan pasien sebagai pihak lain yang telah berwujud dengan pengaduan
(pihak) pasien terhadap pihak dokter/ rumah sakit disertai malpraktek atau tidak
(Purwadianto).
Secara hukum, suatu sengketa medik dapat meliputi:
a. Sengketa pidana medik
Fokusnya adalah justru kausa/sebab dan bukan akibatnya. Tindakan
dikategorikan ke dalamnya jika memenuhi kriteria: melanggar norma hukum
pidana tertulis, bertentangan dengan hukum, dan berdasar suatu kelalaian atau
kesalahan besar.
b. Sengketa perdata medik
Sengketa perdata medik ini menganut prinsip “barang siapa merugikan
orang lain harus memberikan ganti rugi”. Menurut hukum perdata, hal ini dapat
terjadi karena 2 (dua) hal yaitu:
(1) Berdasar perjanjian (”ius contractu”)
(2) Berdasar hukum (”ius delicto”) (Soeparto dkk, 2001).
Hak pasien adalah sebagai pembawa peran pribadi penderita, konsumen
pelayanan kesehatan, pengadu, dan pencari ganti rugi atas ketidakpuasan yang
terjadi. Ketiga peran tersebut secara hukum terfokus pada motivasi pasien untuk
mengadukan atau menggugat dokter/rumah sakit untuk alasan sebagai berikut:
a. Ingin kompensasi (ganti rugi), melalui hukum perdata, administratif/profesi.
b. Ingin dokter/direksi rumah sakit yang salah dipidana melalui ranah hukum
pidana.
c. Ingin mengetahui status hukum kelembagaan pelayanan kesehatan, yakni:
8
(1) Badan publik adalah melalui ranah hukum tata usaha (administrasi)
negara.
(2) Badan usaha adalah melalui ranah hukum perdata.
Sedangkan kata malpraktik berasal dari kata ''mal'', berarti penyimpangan
dan ''praktik'' yang artinya pelaksanaan sesuai prosedur profesi. Pengertian hukum
malpraktik banyak diambil dari literatur luar negeri, antara lain World Medical
Association (WMA,1992): ''medical malpractice involves the physician's failure
to conform to the standard of care for treatment of the patient's condition, or lack
of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of
an injury to the patient''.
Berdasarkan hal itu dirumuskan kata malpraktik medik (medical
negligence) yang untuk pembuktiannya harus memenuhi empat kriteria yaitu 4 D:
duty, deriliction of duty, damages, dan direct cause. Sehingga untuk menyatakan
seorang dokter melakukan malpraktik medis maka di pengadilan harus terbukti
keempat unsur tersebut dan tidak hanya berdasarkan somasi pengacara atau
laporan pengaduan pasien saja.
Persoalan malpraktik yang latah diucapkan sebenarnya adalah sengketa
medik. Ada pasien atau keluarganya yang tidak puas terhadap hasil pengobatan
yang dilakukan dokter atau rumah sakit tertentu dan mengajukan laporan atau
pengaduan seperti yang diberitakan surat kabar atau media televisi. Kontrak
terapeutik yang disepakati (atau terlebih lagi jika belum jelas disepakati) ternyata
menimbulkan ketidakpuasan. Masyarakat awam mestinya tahu bahwa tidak semua
kegagalan medis akibat malpraktik medik.
Peristiwa buruk yang tak teramalkan sebelumnya yang terjadi saat
tindakan medik sudah dilakukan dengan memenuhi standar, tetapi ternyata
menimbulkan cedera, bukan termasuk dalam pengertian malpraktik. WMA
menyatakan: ''An injury occuring in the course of medical treatment which could
not be foreseen and was not the result of the lack of the skill or knowledge on the
part of the treating physician is untoward result, for which the physician should
not bear any liability''. Gunting atau gulungan kasa tertinggal dalam rongga perut
pastilah malpraktik. Tepatnya disebut kelalaian medik. Akan tetapi hasil
9
sambungan tulang penyembuhannya kurang baik atau rahim terpaksa diangkat
setelah melahirkan karena perdarahan yang banyak, itu belum tentu malpraktik,
dan masih banyak hal yang masih bisa diperdebatkan.
Bagaimanapun juga, istilah malpraktek adalah istilah yang kurang tepat,
karena merupakan suatu praduga bersalah terhadap profesi kedokteran. Praduga
bersalah ini dapat disalah-gunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan
sesaat yang akan merusak semua tatanan dan sistem pelayanan kesehatan.
Celakanya, malpraktek medik yang merupakan suatu kesalahan dokter dalam
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dibandingkan dengan standard profesi,
tidak eksplisit dijumpai dalam UU No 29 Tahun 2004. Karenanya hal ini
merupakan pekerjaan rumah bagi Konsil Kedokteran Indonesia/KKI (dalam hal
legislasinya). Disusul oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia/MKDKI yang akan menentukan apakah telah terjadi suatu kesalahan
dokter, walaupun tanpa bakunya suatu perumusan perbuatan indisipliner tersebut.
Selayaknya masalah ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan oleh dokter atau rumah sakit yang pada umumnya merupakan masalah
miskomunikasi antara pasien – dokter, diganti dengan istilah “sengketa medik”.
Alasannya karena pada saat ini masih banyak dokter yang berpraktek untuk
kepentingan kemanusiaan dalam bentuk pertolongan kegawatan, kedaruratan,
sejak dari prevensi, perlindungan khusus, diagnosis dini yang cepat, terapi hingga
rehabilitasi maupun pertolongan kemanusiaan lainnya.
3.2 Pola Hubungan Terapeutik dan Pola Hubungan Kerja Tenaga Medik
di Rumah Sakit
Selanjutnya, penting penulis kemukakan terlebih dahulu tentang
bagaimanakah pola hubungan terapeutik dan pola hubungan kerja tenaga medis di
dalam lingkup rumah sakit karena nantinya akan sangat membantu dalam
menentukan seberapa besar dibebankan tanggung gugat dan tanggung jawab
untuk masing-masing pihak dalam suatu sengketa medik.
10
3.2.1 Pola Hubungan Terapeutik
Hukum perdata memandang hubungan terapetik sebagai hubungan
kontraktual yang menghasilkan perikatan (verbintenis), yang kemudian
memunculkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Health care
provider wajib memberikan prestasinya dalam bentuk upaya medik yang benar
berdasarkan teori kedokteran yang telah teruji. Sedangkan health care receiver
wajib memberikan kontra-prestasinya dalam bentuk materi, kecuali health care
provider setuju membebaskannya.
Ada beberapa pola hubungan terapeutik yang terjadi di rumah sakit, yaitu:
a. Hubungan “pasien-rumah sakit”
b. Hubungan “penanggung pasien-rumah sakit”
c. Hubungan “pasien-dokter”
d. Hubungan “penanggung pasien-dokter”
Hubungan Hukum Antara Pasien Dan Rumah Sakit, antara lain sebagai
berikut:
a. Perjanjian perawatan, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien bahwa pihak RS
menyediakan kamar perawatan dan adanya tenaga perawat yang akan
melakukan tindakan perawatan
b. Perjanjian pelayanan medis, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien bahwa
tenaga medis pada RS akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan
pasien melalui tindakan medis (inspanningsverbintenis).
3.2.2 Pola Hubungan Kerja Tenaga Medik di Rumah Sakit
Jika diamati dengan seksama, maka ada beberapa macam pola yang
berkembang dalam kaitannya dengan hubungan kerja antara dokter dengan rumah
sakit, antara lain:
a. Dokter sebagai employee
b. Dokter sebagai attending physician (mitra)
c. Dokter sebagai independent contractor
11
3.3 Tanggung Gugat Pihak Rumah Sakit
Ada beberapa jenis tanggung gugat (liability) antara lain:
1. Contractual Liability
Tanggung gugat jenis ini muncul karena ingkar janji, yaitu tidak
dilaksanakannya sesuatu kewajiban atau tidak dipenuhinya sesuatu prestasi
sebagai akibat adanya hubungan kontraktual. Kaitannya dengan hubungan
terapeutik, kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh health care
provider adalah berupa upaya (effort), bukan hasil (result). Oleh karena itu,
health care provider hanya bertanggung gugat atas upaya medik yang tidak
memenuhi standar, atau dengan kata lain, upaya medik yang dapat dikategorikan
sebagai civil malpractice.
2. Liability in Tort
Tanggung gugat jenis ini merupakan tanggung gugat yang tidak
didasarkan atas adanya contractual obligation, tetapi atas perbuatan melawan
hukum. Pengertian melawan hukum tidak hanya terbatas pada perbuatan yang
berlawanan dengan hukum, kewajiban hukum diri sendiri atau kewajiban hukum
orang lain saja, tetapi juga yang berlawanan dengan ketelitian yang patut
dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain
(Hogeraad dalam Dahlan, 2001).
Adanya tanggung gugat seperti itu, maka health care provider dapat
digugat membayar ganti rugi atas terjadinya kesalahan (criminal malpractice);
baik yang bersifat intensional, recklessness atau negligence. Contoh dari criminal
malpractice yang dapat menimbulkan tanggung gugat antara lain membocorkan
rahasia kedokteran, euthanasia, atau ceroboh dalam melakukan upaya medik
sehingga pasien meninggal dunia atau cacat.
3. Strict Liability
Tanggung gugat jenis ini sering disebut tanggung gugat tanpa kesalahan
(liability without fault) karena seseorang harus bertanggung jawab meskipun tidak
melakukan kesalahan apa-apa; baik yang bersifat intensional, recklessness
ataupun negligence.
12
4. Vicarious Liability
Tanggung gugat jenis ini timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh sub-
ordinate-nya. Kaitannya dengan pelayanan medik maka rumah sakit (sebagai
employer) dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga
kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai sub-ordinate (employee). Lain
halnya jika tenaga kesehatan, misalnya dokter, bekerja sebagai mitra (attending
physician) (Dahlan, 2001).
3.4 Tanggung Jawab Pihak Rumah Sakit
Kasus hukum kedokteran umumnya terjadi di rumah sakit di mana dokter
bekerja. Rumah sakit merupaan suatu usaha yang pada pokoknya dapat
dikelompokkan menjadi:
a. Pelayanan medis dalam arti luas yang menyakut kegiatan promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif.
b. Pendidikan dan latihan tenaga medis/paramedis
c. Penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran.
Personalia rumah sakit terdiri dari dokter(umum dan spesialis), perawat,
paramedis non perawat dan tenaga administratif dan teknis. Berdasarkan
pelayanan yang diberikan rumah sakit bisa merupakan rumah sakit umum maupun
rumah sakit khusus. Klasifikasi rumah sakit umum dibedakan atas Rumah Sakit
Umum Pemerintah dan Rumah Sakit Swasta. RSU Pemerintah dibagi menjadi
tipe:
a. A, tersedia fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialis dan
subspesialis yang luas.
b. B, pelayanan spesialis luas dan subspesialis terbatas
c. C, pelayanan spesialis minimal untuk empat vak besar yaitu
penyakit dalam, kesehatan anak, bedah dan obstetri/ginekologi
d. D, minimal pelayanan medik dasar oleh dokter umum
RSU Swasa terdiri dari:
a. RSUS Pratama, pelayanan medik umum
b. RSUS Madya, pelayanan spesialis
c. RSUS Utama, pelayanan spesialis dan subspesialis
13
Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yng secara tegas
mengatur hubungan antara dokter dan rumah sakit swasta tempat ia bekerja.
Pertanggungjawaban hukum rumah sakit dalam hal ini badan hukum yang
memilikinya bisa dituntut atas kerugian yang terjadi, bisa secara:
a. Langsung sebagai pihak, pada suatu peranjian bila ada wanprestasi, atau
b. Tidak langsung sebagai majikan bila karyawannya dalam pengertian peraturan
perundang-undangan melakukan perbuatan melanggar hukum.
Sebenarnya hubungan hukum yang terjadi antara pasien dan rumah sakit
bisa dibedakan dalam dua jenis perjanjian yaitu:
a. Perjanjian perawatan, seperti kamar dengan perlengakapannya
b. Peranjian pelayanan medis, berupa tindakan medis yang dilakukan
oleh dokter yang dibantu oleh paramedis
Dokter yang praktek di rumah sakit bisa merupakan karyawan (dokter
purnawaktu) atau sebagai dokter tamu (visiting doctor). Kadangkala pasien sulit
mengetahui status dokter yang merawatnya. Di samping itu pendapat yang
menyatakan bahwa rumah sakit sebagai suatu lembaga yang memberikan
pelayanan perawatan dan pengobatan, betanggung jawab atas segala peristiwa
yang terjadi di dalamnya. Atas dasar itu timbul doktrin Corporate Liability, di
mana secara resmi terhadap pasien yang di rawat, rumah sakit bertanggung jawab
atas pengendalian mutu secara keseluruhan dari pelayanan yang diberikan. Jadi
yang pertama-tama bertanggung jawab adalah rumah sakitnya, tetapi bila ada
kesalahan yang dilakukan dokter rumah sakit bisa menggunakan hak regresnya
untuk minta ganti kembali. Doktin Vicarious Liability, Let The Master Answer,
Majikan-Karyawan) bisa diterapkan dalam hubungan rumah sakit dengan
karyawannya.
Sehubungan dengan doktrin Vicarious Liability ini ada yang disebut
doktrin Captain of the Ship yang berlaku bagi dokter bedah yang melakukan
operasi di rumah sakit. Dokter bedah tersebut dalam hal ini tidak bekerja dalam
kaitan langsung untuk dan atas nama rumah sakit, misalnya dokter tamu atau
dokter karyawan untuk pasien pribadinya. Dokter itu dianggap bertanggung jawab
14
atas kesalahan stafnya, termasuk perawat bedah. Dalam hal ini perawat tersebut
yang merupakan karyawan rumah sakit dianggap dipinjamkan, sehingga tanggung
jawab itu beralih kepada si pemakai, yaitu dokter bedah. Pasien yang menuntut
harus memastikan dulu apakah dokter bedah itu bertanggung jawab atas doktrin
Majikan-Karyawan dan apakah dokter itu mengawasi dan memberikan segala
instruksi kepada perawat pada saat peristiwa itu terjadi.
Belum adanya peraturan perundang-undangan yang tegas mengatur
penyelenggaraan rumah sakit di Indonesia, dapat menyulitkan konsumen apabila
timbul hal yang tidak diinginkan dalam pelayanan kesehatan yang diberikan.
Fungsi sosial rumah sakit, sesuai dengan hak atas pelayanan kesehatan atau
pelayanan medis yang dimiliki oleh setiap warga masyarakat, haruslah dipenuhi
dengan tersedianya pelayanan yang bermutu, baik dari segi sarana maupun tenaga
kesehatan, juga terjangkau, baik dari segi geografi maupun finansial. Demikian
pula hubungan kerja dokter dengan rumah sakit, perlu diatur lebih lanjut dengan
tujuan agar pelayanan rumah sakit menjadi lebih bermutu dan memberi
perlindungan bagi pasien (Wiradharma, 1996)
Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) menegaskan bahwa
tanggung jawab rumah sakit meliputi tanggung jawab umum dan tanggung jawab
khusus. Sehubungan dengan hal tersebut, rumah sakit harus senantiasa
menyesuaikan kebijakan pelayanannya pada harapan dan kebutuhan masyarakat
setempat dan akan tercermin melaui strategic planning, baik jangka pendek,
menengah maupun panjang.
Yang merupakan tanggung jawab umum rumah sakit adalah kewajiban
pimpinan rumah sakit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai
permasalahan, peristiwa, kejadian dan keadaan di rumah sakit. Sedangkan
tanggung jawab khusus muncul jika ada anggapan bahwa rumah sakit telah
melanggar kaidah-kaidah, baik dalam bidang hukum, etik, maupun tata tertib atau
disiplin (Koeswadji, 2002).
Akan sangat dirasakan perkembangan paradigma fungsi dan status rumah
sakit ini khususnya pada Rumah Sakit Pemerintah karena rumah sakit harus
mengutamakan pelayanan yang baik dan bermutu secara berkesinambungan serta
15
tidak mendahulukan urusan biaya. Penyelenggaraan pelayanan secara menyeluruh
yang dilakukan sebagai upaya untuk melindungi kepentingan pasien pada
khususnya dan khalayak ramai pada umumnya, yang satu dengan yang lain terkait
sedemikian rupa, sehingga terlaksana pelayanan rumah sakit yang mengandung
ciri-ciri sebagai berikut:
a. Setiap saat memberikan pelayanan.
b. Beranjak dari pendirian dan pandangan bahwa manusia adalah suatu kesatuan
psiko-sosio-somatik.
c. Memberi layanan kepada pasien selaku konsumen yang dewasa dan mengakui
serta menghormati sepenuhnya hak-haknya.
d. Menjamin diberikannya mutu pelayanan teknik medik yang menunjukkan
kemampuan dan keterampilan. Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan
berbagai tindakan pengawasan dan pengamanannya.
e. Menjamin terselenggaranya mutu pelayanan yang manusiawi, berdedikasi
tinggi serta penuh kehati-hatian.
f. Diselenggarakannya sebagai sebuah lembaga sosial ekonomi untuk
kepentingan seluruh rakyat yang pada hakikatnya merupakan sumber
pembiayaan proses pelayanan rumah sakit. Oleh karena itu tidak
diperkenankan mendahulukan hal ihwal yang menyangkut biaya dari layanan.
g. Harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat (Koeswadji, 2002).
Berikut ini uraian tentang tanggung jawab hukum rumah sakit, baik
rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta:
a. Tanggung jawab Rumah Sakit Pemerintah
Manajemen RS Pemerintah cq Kanwilkes/Depkes dapat dituntut. Menurut
pasal 1365 KUHPerdata karena pegawai yang bekerja pada RS Pemerintah
menjadi pegawai negeri dan negara sebagai suatu badan hukum dapat
dituntut untuk membayar ganti rugi atas tindakan pegawai negeri yang dalam
menjalankan tugasnya merugikan pihak lain.
b. Tanggung jawab Rumah Sakit Swasta
Untuk manajemen RS dapat diterapkan pasal 1365 dan 1367 KUHPerdata
16
karena RS swasta sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri dan dapat
bertindak dalam hukum dan dapat dituntut seperti halnya manusia.
Rumah sakit, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta, merupakan
organisasi yang sangat kompleks dan di tempat ini banyak berkumpul pekerja
profesional dengan berbagai macam latar belakang keahlian dan banyak pula
peralatan yang digunakannya. Semakin besar dan canggih suatu rumah sakit akan
semakin kompleks pula permasalahannya. Oleh sebab itu, tidaklah mudah
menentukan hospital liability. (Dahlan, 2001).
Jika diteliti dengan seksama, maka layanan yang diberikan oleh rumah
sakit antara lain, layanan medical treatment, nursing care dan layanan lainnya
seperti misalnya, penggunaan alat-alat medik dan non-medik. Pemberian layanan-
layanan tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya kesalahan yang dapat
menimbulkan kerugian pada pasien. Hanya saja, sejauh mana rumah sakit harus
bertanggung jawab, sangat tergantung dari pola hubungan terapeutik yang terjadi
dan pola hubungan kerja antara tenaga kesehatan dengan rumah sakit.
Kerugian yang disebabkan oleh peralatan medik maupun non-medik dapat
dibebankan kepada rumah sakit, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta.
Contohnya, bila pasien jatuh dari tempat tidur karena bed-nya patah sehingga
mengakibatkan patah tulang kaki, maka kerugian tersebut menjadi tanggung
jawab rumah sakit. Oleh sebab itu, rumah sakit harus selalu melakukan kontrol
yang ketat terhadap semua peralatan, utamanya peralatan medik (Dahlan, 2001).
Kerugian yang disebabkan oleh kesalahan medical treament, sangat tergantung
pada status dokter yang bersangkutan. Bila kedudukannya sebagai attending
physician, maka rumah sakit tidak bertanggung gugat atas kesalahan dokter.
Tetapi bila status dokter di rumah sakit sebagai employee, maka berdasarkan
doctrine of vicarious liability, tanggung gugatnya dapat dialihkan ke rumah sakit.
Berdasarkan uraian sebelumnya, tampak jelas bahwa rumah sakit
pemerintah yang semua tenaga medik maupun non-mediknya bekerja sebagai
employee, maka tanggung gugat sepenuhnya menjadi tanggung gugat rumah sakit,
dengan catatan, untuk rumah sakit pemerintah yang melaksanakan program
swadana masih diperlukan klarifikasi konsep, sehingga implikasi hukumnya
17
menjadi jelas. Persoalannya bukan saja ketidakadilan, tetapi juga ketidaklogisan
ketika harus membebankan tanggung gugat kesalahan medik seluruhnya kepada
pihak rumah sakit, sementara dokter selama ini juga menikmati hasil penjualan
jasa medik rumah sakit, berdasarkan persentase, dapat bebas dari tanggung gugat
atas kesalahannya sendiri.
Rumah sakit sebagai salah satu institusi health care provider diwakili oleh
Direksi yang merupakan fasilitator utama yang harus memberikan kebijakan-
kebijakan yang diharapkan dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang ada di
rumah sakit, termasuk di dalamnya sengketa medik rumah sakit. Tanggung
jawabnya sangat besar, sebab jika kebijakannya tidak sesuai, maka yang akan
terjadi adalah kekacauan pada penyelesaian masalah pelayanan kesehatan. Direksi
dituntut harus memiliki strategi yang memadai dan harus mampu mengusahakan
bagaimana agar strategi tersebut dapat terlaksana sesuai dengan kemampuan dan
target yang akan dicapai.
Direktur utama sebagai penanggung jawab organisasi dan penentu
kebijakan organisasi. Apapun yang tejadi dalam organisasi merupakan tanggung
jawab direktur utama.
3.5 Penyelesaian Sengketa Medik Antara Rumah Sakit dengan Pasien
Ada dua jalur dalam penyelesaian sengketa medik rumah sakit dengan
pasien, yaitu:
1. Litigasi, penyelesaian sengketa di luar jalur peradilan.
2. Nonlitigasi, penyelesaian sengketa melalui peradilan.
Putusan Pengadilan Negeri dapat menjatuhkan sanksi pidana berupa
pidana pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan Pasal 10 KUHP jo.
Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Bila
pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha itu mengakibatkan luka, sakit
berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan KUHP.
Sanksi pidana yang dimaksud dalam Pasal 62 tersebut dapat dijatuhi
hukuman tambahan yang diatur dalam Pasal 63 a sampai f. Hukuman tambahan
yang dimaksud dapat berupa:
18
a. Perampasan barang tertentu;
b. Pengumuman putusan hakim;
c. Pembayaran ganti rugi;
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian konsumen;
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran;
f. Pencabutan izin usaha (Koeswadji, 2003).
Menurut Direktur Jenderal Pelayanan Medik (Ditjen Yanmedik), Dr. Farid
W. Husain, dalam setiap tuntutan medis, rumah sakit memang selalu ikut masuk
dalam gugatan, meskipun bukan sebagai tergugat pertama. Masih banyak lubang
yang harus dibenahi dalam penciptaan pelayanan kesehatan yang baik. Salah satu
yang harus dibenahi adalah Sumber Daya Manusia (SDM)-nya, yakni dokter dan
semua pekerja di rumah sakit. Berdasarkan pengalaman dari beberapa kasus
dugaan malpraktik yang dilaporkan pasien, sebagian besar memang disebabkan
karena faktor manusia atau human error , meskipun kini sudah dibuat beberapa
kridor hukum untuk mencegah terjadinya kelalaian medis. Dengan kata lain,
payung-payung hukum yang berfungsi sebagai pelindung bagi dokter telah dibuka
lebar-lebar. Payung-payung itu antara lain berlabel UndangUndang Praktik
Kedokteran (UUPK) yang lantas melahirkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)
dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), dibuat tidak
hanya melindungi pasien namun juga dokter.
Seperti kita ketahui, masih banyak anggapan dari sebagian besar
masyarakat tentang pelayanan kesehatan di rumah sakit yang jauh dari harapan.
Oleh karena itu, pendidikan berkesinambungan tentang ilmu-ilmu medikolegal
untuk rumah sakit sangat diperlukan dalam rangka memperbaiki kualitas
pelayanan, selain sebagai upaya preventif dari kemungkinan tuntutan hukum.
Selain itu, Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi), Dr. Adib
A. Yahya, MARS, menyampaikan, rumah sakit merupakan organisasi yang sangat
kompleks karena merupakan institusi yang ”padat” segalanya. Padat modal, padat