BAB 3 KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN NYAMUK Anopheles spp. DI HALMAHERA SELATAN, DAERAH ENDEMIK MALARIA [Abundance and diversity of Anopheles spp. mosquito in South Halmahera, A Malaria Endemic Region] Abstrak Penelitian tentang kelimpahan dan keanekaragaman nyamuk Anopheles spp. pada empat jenis ekosistem yang berbeda yaitu permukiman, perkebunan, semak dan hutan telah dilaksanakan di Desa Saketa yang merupakan daerah endemik di Kabupaten Halmahera Selatan. Penelitian ini dilaksanakan selama 12 bulan dari bulan September 2010 hingga Agustus 2011 bertujuan untuk mempelajari aspek ekologi Anopheles spp. pada tiap jenis ekosistem. Penangkapan nyamuk dilakukan dengan metode human landing collection dari pukul 18.00-6.00, sebanyak empat kali setiap bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 10 spesies Anopheles yaitu Anopheles barbumbrosus, An. farauti, An. hackeri, An. indefinitus, An. kochi, An. koliensis, An. punctulatus, An. subpictus, An. tessellatus, dan An. vagus. Anopheles tertinggi ditemukan pada ekosistem perkebunan (35,82%), diikuti oleh hutan (33,78%), semak (24,98%), dan terendah di permukiman (5,42%). An. indefinitus dominan pada ekosistem hutan, sedangkan An. kochi dominan pada ekosistem perkebunan, semak dan permukiman. Hasil analisis korespondensi menunjukkan bahwa nyamuk Anopheles tersebar dalam tiga kelompok utama yaitu An. farauti dan An. tessellatus mengelompok pada semak dan permukiman, An. indefinitus, An. hackeri, An. subpictus and An. vagus mengelompok di hutan, dan An. barbumbrosus, An. kochi, An. koliensis, dan An. punctulatus mengelompok di perkebunan. Kata kunci : Anopheles spp, endemik malaria, Halmahera Selatan, keaneka ragaman, kelimpahan
27
Embed
BAB 3 - repository.ipb.ac.id · BAB 3 KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN NYAMUK Anopheles spp. DI HALMAHERA SELATAN, ... semak dan permukiman. Hasil analisis korespondensi menunjukkan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
17
BAB 3
KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN NYAMUK Anopheles spp. DI HALMAHERA SELATAN,
DAERAH ENDEMIK MALARIA
[Abundance and diversity of Anopheles spp. mosquito in South Halmahera, A Malaria Endemic Region]
Abstrak
Penelitian tentang kelimpahan dan keanekaragaman nyamuk Anopheles spp. pada empat jenis ekosistem yang berbeda yaitu permukiman, perkebunan, semak dan hutan telah dilaksanakan di Desa Saketa yang merupakan daerah endemik di Kabupaten Halmahera Selatan. Penelitian ini dilaksanakan selama 12 bulan dari bulan September 2010 hingga Agustus 2011 bertujuan untuk mempelajari aspek ekologi Anopheles spp. pada tiap jenis ekosistem. Penangkapan nyamuk dilakukan dengan metode human landing collection dari pukul 18.00-6.00, sebanyak empat kali setiap bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 10 spesies Anopheles yaitu Anopheles barbumbrosus, An. farauti, An. hackeri, An. indefinitus, An. kochi, An. koliensis, An. punctulatus, An. subpictus, An. tessellatus, dan An. vagus. Anopheles tertinggi ditemukan pada ekosistem perkebunan (35,82%), diikuti oleh hutan (33,78%), semak (24,98%), dan terendah di permukiman (5,42%). An. indefinitus dominan pada ekosistem hutan, sedangkan An. kochi dominan pada ekosistem perkebunan, semak dan permukiman. Hasil analisis korespondensi menunjukkan bahwa nyamuk Anopheles tersebar dalam tiga kelompok utama yaitu An. farauti dan An. tessellatus mengelompok pada semak dan permukiman, An. indefinitus, An. hackeri, An. subpictus and An. vagus mengelompok di hutan, dan An. barbumbrosus, An. kochi, An. koliensis, dan An. punctulatus mengelompok di perkebunan.
Kata kunci : Anopheles spp, endemik malaria, Halmahera Selatan, keaneka ragaman, kelimpahan
18
19
Abstract
A research on abundance and biodiversity of Anopheles mosquitoes were done in four different ecosystems, i.e. housings, plantations, bushes, and forests in South Halmahera, the endemic malaria district in North Maluku, started from September 2010 to August 2011. The research aimed to assess ecological aspect of Anopheles in each ecosystem types. Mosquitoes were collected by using human landing collection method from 6.00 pm to 6.00 am, four times per month. The research results showed that there were 10 species of Anopheles i.e. Anopheles barbumbrosus, An. farauti, An. hackeri, An. indefinitus, An. kochi, An. koliensis, An. punctulatus, An. subpictus, An. tessellatus, and An. vagus. The highest Anopheles distribution was found in plantation ecosystem (35,82%), followed by forest ecosystem (33,78%), bushes ecosystem (24,98%), and housing ecosystem (5,42%). An. indefinitus dominantly found in forest ecosystems, whereas An. kochi dominantly found in plantations, bushes and housing areas. Based on correspodence analysis, Anopheles mosquitoes found spread in three main groups namely, An. farauti and An. tessellatus clustered on the bushes and housing ecosystems, whereas An. indefinitus, An. hackeri, An. subpictus and An. vagus on the forest ecosystem, and An. barbumbrosus, An. kochi, An. koliensis, and An. punctulatus clustered in plantation.
Key words: abundance, Anopheles spp, biodiversity, malaria endemic, South
Halmahera,
20
21
3. 1. Pendahuluan
Desa Saketa memiliki luas ± 14.000 Ha, 4000 Ha di antaranya dalam bentuk
hutan dan semak yang tidak dimanfaatkan, ± 150 Ha merupakan kawasan
permukiman, dan selebihnya merupakan lahan perkebunan rakyat (GBDA, 2010)
Penduduk Desa Saketa berjumlah 1.993 orang yang terdiri dari 402 KK. Saat ini
di Desa Saketa terjadi perluasan wilayah perkebunan, penebangan hutan oleh
pemegang HPH dan perubahan fungsi hutan secara drastis. Pembukaan lahan
untuk perkebunan telah terjadi sejak lama dan semakin cepat seiiring dengan
naiknya harga komoditas perkebunan.
Sebagian besar warga Desa Saketa merupakan petani kebun (49,3%),
nelayan (13,2%), dan sisanya bekerja sebagai pengolah kayu di hutan, buruh
pelabuhan, pedagang dan pegawai yang sebagian besar di antaranya juga bekerja
paruh waktu di kebun (PPDS, 2010). Aktivitas warga yang tinggi di lingkungan
perkebunan, diduga telah memicu laju penyebaran malaria dari vektor ke manusia.
Hal ini diindikasikan dengan tingginya kasus malaria yang terjadi selama ini.
Desa Saketa merupakan daerah endemis malaria dengan tingkat infeksi
tinggi, sehingga untuk daerah ini malaria masih merupakan masalah utama bagi
kesehatan masyarakat. Berbagai upaya pemberantasan vektor telah dilakukan,
akan tetapi angka penderita malaria masih tetap tinggi. Sejak tahun 2007 hingga
2009 tercatat sebanyak 1.296 orang penderita (PSKGB, 2010). Penyebabnya
kemungkinan disebabkan terdapatnya berbagai jenis vektor dan habitatnya yang
mendukung perkembangan dan pertumbuhannya, sehingga diperlukan
pengamatan vektor untuk mengatasi masalah malaria di daerah ini.
Perubahan kompleksitas tanaman akan mempengaruhi komposisi,
kelimpahan dan sebaran hewan yang berperan dalam siklus transmisi penyakit
pada manusia. Perubahan fungsi hutan dan fragmentasi habitat yang diikut i
dengan berkurangnya biodiveristas akan meningkatkan laju kontak antara manusia
dengan berbagai jenis patogen dan vektor penyakit (Pongsiri et al. 2009).
Penurunan keanekaragaman hayati di sekitar habitat nyamuk berpengaruh
terhadap munculnya kembali suatu penyakit, dimana hal ini masih kurang
memperoleh perhatian. Berkurangnya keanekaragaman hayati akibat deforestasi
berpengaruh langsung terhadap penyebaran penyakit zoonotik dan perubahan
22
perilaku vektor zoophilik menjadi antropophilik (Walsh et al. 1993). Kerusakan
lingkungan dan ekspansi populasi vektor berperan penting dalam meningkatnya
penyakit zoonotik secara drastis (Jones et al. 2008).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman, kelimpahan,
dominasi, dan preferensi nyamuk Anopheles spp. terhadap beberapa jenis
ekosistem yang berbeda di Desa Saketa, Halmahera Selatan.
3. 2 Bahan dan Metode Penelitian ini dilakukan selama 12 bulan dari bulan September 2010 hingga
Agustus 2011, bertempat di Desa Saketa, Kecamatan Gane Barat, Kabupaten
Halmahera Selatan yang merupakan kabupaten dengan kategori transmisi malaria
tinggi [DKKHS 2008]. Desa ini terletak di pantai barat sebelah selatan Pulau
Halmahera yang merupakan desa pantai yang dikelilingi oleh pegunungan dan
sebagian besar wilayahnya merupakan lahan perkebunan, semak serta hutan.
Penangkapan nyamuk dilakukan pada empat jenis ekosistem yang berbeda
yaitu permukiman, perkebunan, semak dan hutan. Penangkapan dilakukan setiap
jam mulai terbenam hingga terbitnya matahari (pukul 18.00 hingga pukul 06.00)
sebanyak empat kali dalam sebulan dengan metode human landing collection
(HLC) yang dilakukan oleh 2 orang penangkap terlatih. Nyamuk yang tertangkap
dimasukkan ke paper cup dan dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi di
bawah mikroskop stereo dengan buku kunci bergambar nyamuk Anopheles
dewasa Maluku dan Papua (O’Connor & Soepanto 2000).
Data yang terkumpul berupa jumlah nyamuk per spesies dari setiap jenis
ekosistem dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel disrtribusi
kelimpahan dan grafik. Data jumlah Anopheles dianalisis dengan menggunakan
beberapa parameter yaitu: Kelimpahan nisbi dihitung berdasarkan proporsi
nyamuk spesies Anopheles tertentu terhadap jumlah total nyamuk Anopheles yang
tertangkap dikali 100%. Keanekaragaman spesies dihitung menggunakan indeks
Shannon-Wienner, sedangkan dominasi dihitung dengan menggunakan rumus:
D =
Keterangan : D = Indeks dominasi jenis, ni = Jumlah nyamuk jenis ke-i N = Jumlah seluruh nyamuk
)1()1(
1 −−∑
= NNniniP
i
23
Hasil analisis variabel ekologi yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel
dan diagram, kemudian dideskripsikan dan dijadikan acuan inferensial. Preferensi
spesies terhadap jenis ekosistem dianalisis dengan correspondence analysis/CA
(Bengen 1999) menggunakan perangkat lunak Excell stat.2011.
3.3 Hasil dan Pembahasan 3.3.1 Komunitas dan Sebaran Nyamuk Anopheles spp.
Jumlah nyamuk Anopheles yang tertangkap pada empat jenis ekosistem
yang berbeda yaitu permukiman, perkebunan, semak dan hutan berjumlah 13.642
individu. Nyamuk Anopheles yang tertangkap terdiri dari 10 spesies yaitu, An.
barbumbrosis, An. farauti, An. hackeri, An. indefinitus, An. kochi, An. koliensis,
An. punctulatus, An. subpictus, An. tessellatus, dan An. vagus. Proporsi populasi
tertinggi terdapat pada ekosistem perkebunan (35,82%), diikuti oleh ekosistem
hutan (33,78%), semak (24,98%), dan terendah di permukiman (5,42%).
An. kochi memiliki kelimpahan nisbi tertinggi (52,17%) diikuti oleh An.
indefinitus dan An. tessellatus (35,52% dan 5,15%), serta terendah adalah An.
hackeri (0,02%). Proporsi spesies lainnya relatif rendah yaitu 7,13%, dengan
persentase per spesies kurang dari 2,5%. An. kochi mendominasi ekosistem
perkebunan, semak dan permukiman, sementara An. indefinitus mendominasi
hutan. An. indefinitus ditemukan dalam setiap bulan penangkapan pada ekosistem
hutan, perkebunan dan semak, sementara An. kochi ditemukan di hutan pada
setiap bulan penangkapan. Spesies lainnya memiliki frekuensi kurang dari 1,0
yang menunjukkan keberadaan spesies tersebut kurang dari 100% sepanjang 12
bulan penangkapan. Frekuensi keberadaan An. koliensis, An. punctulatus, An.
subpictus, dan An. vagus kurang dari 50%, sedangkan An. hackeri hanya
tertangkap di hutan dan semak dengan frekuensi 8%.
Jumlah spesies yang ditemukan lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang
dilaporkan oleh Syafruddin et al. (2010) bahwa di Halmahera Selatan selama
November 2008 hingga Oktober 2009 tertangkap 28 nyamuk Anopheles dan
terdiri atas 5 spesies yaitu An. vagus, An. kochi, An. farauti, An. barbumbrosus
dan An. punctulatus, dan spesies dominan adalah An. vagus.
24
Tabel 1 Sebaran dan indeks keanekaragaman Anopheles spp. pada tiap jenis ekosistem di Desa Saketa, Kab. Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011
Spesies Jenis ekosistem
total % Permukiman Perkebunan Semak Hutan
An. barbumbrosus 8 70 38 47 163 1,19 An. farauti 6 48 38 24 116 0,85 An. hackeri 0 0 1 2 3 0,02 An. indefinitus 236 867 1.422 2.321 4.846 35,52 An. kochi 390 3.398 1.599 1.730 7.117 52,17 An. koliensis 13 137 18 146 314 2,3 An. punctulatus 1 15 6 5 27 0,2 An. subpictus 4 21 19 75 119 0,87 An. tessellatus 59 284 212 148 703 5,15 An. vagus 22 47 55 110 234 1,72 Jumlah nyamuk 739 4.887 3.408 4.608 13.642 100 Jumlah spesies 9 9 10 10 - - Proporsi per ekosistem (%) 5,42 35,82 24,98 33,78 100
Indeks keanekaragaman (H') 1,1 1,2 1,1 1,2 - -
Tabel 1 menujukkan bahwa An. kochi merupakan spesies Anopheles dengan
Sebagian besar populasi Anopheles menyebar pada ekosistem perkebunan (An.
barbumbrosus, An. farauti, An. kochi, An. punctulatus dan An. tessellatus).
Spesies An. hackeri, An. indefinitus, An. koliensis dan An. vagus memiliki jumlah
yang lebih tinggi pada ekosistem hutan. Pada ekosistem semak dan permukiman
tidak ditemukan spesies dominan sebagaimana halnya pada ekosistem hutan dan
perkebunan. Sebaran Anopheles per spesies disajikan pada Tabel 1.
kelimpahan nisbi tertinggi yaitu 52,17% diikuti oleh An. indefinitus
(35,52%) dan terendah adalah An. punctulatus (0,2%). Meskipun kelimpahan
An.kochi dan An. indefinitus cukup tinggi, tetapi spesies ini bukan vektor di
Maluku Utara. An. indefinitus sejauh ini bersifat tidak susceptible (tidak rentan)
terhadap parasit, dan belum pernah dilaporkan sebagai vektor malaria, sehingga
hanya menyebabkan gangguan terhadap manusia.
Kelimpahan An. kochi yang tinggi tetap perlu mendapat perhatian dalam
kaitannya dengan penyakit filariasis, spesies ini merupakan vektor filariasis di
Papua yang secara geografis berdekatan dengan Halmahera. An. kochi telah
dikonfirmasi sebagai vektor malaria di Sumatera Selatan dan pada tahun 1993
dilaporkan sebagai vektor Japanese encephalitis di Semarang (Winarno &
25
Hutajulu 2009). Kelimpahan atau densitas vektor jika dikaitkan dengan perannya
sebagai inang parasit, merupakan komponen yang penting untuk diketahui karena
secara langsung akan menentukan keefektifan dari kontak antara inang dan vektor
(Eldridge & Edman 2000).
Di desa ini terdapat dua spesies yang dominan yaitu An. kochi pada
ekosistem perkebunan, semak dan permukiman dan An. indefinitus pada
ekosistem hutan. Indeks keanekaragaman menunjukkan keanekaragaman spesies
dalam suatu komunitas, semakin tinggi nilainya maka suatu komunitas akan
semakin stabil. Keanekaragaman jenis akan tinggi bila terdapat banyak jenis
nyamuk yang mendominasi suatu ekosistem, dan akan rendah bila hanya terdapat
satu jenis yang mendominasi. Tinggi rendahnya keanekaragaman jenis
dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu di antaranya adalah kualitas
lingkungan (Llyoid & Ghelardi 1964 dalam Genisa 2006).
Indeks keanekaragaman nyamuk yang tinggi menunjukkan ekosistem yang
stabil, tetapi dari segi kevektoran justru dapat dijadikan sebagai indikator
ancaman. Semakin beraneka ragam vektor menunjukkan sebagai semakin
rentannya masyarakat terhadap ancaman penyakit oleh vektor. Hal ini
menimbulkan masalah yang dapat menyulitkan dalam menentukan strategi
pengendalian vektor.
3.3.2 Dominasi Anopheles spp
Hasil analisis terhadap dominansi spesies Anopheles spp. pada setiap jenis
ekosistem disajikan pada Tabel 2. Tanpak bahwa An. indefinitus dan An. kochi
memiliki dominasi yang lebih tinggi pada semua jenis ekosistem jika
dibandingkan dengan spesies lainnya. Spesies An. indefinitus mendominasi
ekosistem hutan, sedangkan An. kochi mendominasi ekosistem perkebunan,
semak dan permukiman. Tingginya dominasi spesies tersebut menunjukkan peran
ekologi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan spesies lainnya.
Spesies lain yang perlu mendapat perhatian khusus walaupun dominasi dan
kelimpahannya rendah adalah Anopheles punctulatus grup (An. koliensis, An.
punctulatus dan An. subpictus). Ketiga spesies merupakan vektor malaria di
Maluku Utara dan Papua (Sukowati 2010; Winarno & Hutajulu 2009). Walaupun
proporsinya dan nilai ekologinya cukup rendah, akan tetapi karena statusnya
26
sebagai vektor maka keberadaannya menjadi indikator ancaman bagi transmisi
malaria di daerah ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan populasi Anopheles
tertinggi di Desa Saketa ditemukan pada ekosistem perkebunan. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Petney et al. (2009) untuk An. dirus yang dilaporkan lebih
tinggi di perkebunan karet di Thailand Utara. Selain memberikan manfaat
ekonomi, perkebunan juga menyediakan kondisi seperti naungan, suhu dan
kelembaban yang lebih cocok untuk perkembangbiakan dan aktivitas Anopheles
spp. Perkebunan yang baru dibuka akan meningkatkan kepadatan nyamuk dan
kejadian penyakit, dan diduga menyebabkan kasus malaria hingga 25% di
Provinsi Srisaket dan 31% di Ubon Ratchathani (Petney et al. 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Juri, Almirón dan Claps (2010) di dalam
hutan dan tepi hutan di Argentina menunjukkan bahwa terdapat tiga kelompok
utama nyamuk dalam hutan yaitu Anopheles (Arribalzaga) dengan proporsi
52.1%, diikut i oleh Anopheles (Nyssorhynchus) strodei (20.5%) dan Anopheles
(Nyssorhynchus) evansae (6.4%). Kelimpahan nyamuk lebih tinggi di dalam
hutan dibandingkan dengan bagian tepi hutan dengan An. pseudopunctipennis
sebagai spesies yang paling melimpah
Spesies
.
Tabel 2. Dominasi (D) nyamuk Anopheles spp. pada setiap jenis ekosistem di desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011
Hutan Perkebunan Permukiman Semak
A. barbumbrosus 0,03
0,04
0,03
0,03 An. farauti 0,01
0,02
0,01
0,00
An. hackeri 0,00
0,00
0,00
0,06 An. indefinitus 63,73
5,29
26,07
0,01
An. kochi 35,40
93,86
71,33
55,15 An. koliensis 0,25
0,15
0,07
0,00
An. punctulatus 0,00
0,00
0,00
0,01 An. subpictus 0,07
0,00
0,01
0,03
An. tessellatus 0,26
0,63
1,61
43,62 An. vagus 0,14
0,02
0,22
0,97
27
Pembalakan hutan akan mengubah fungsi lahan dan pola permukiman yang
kemudian terbukti meningkatkan kasus malaria di Afrika (Duraiappah & Naeem
2005). Lahan yang terbuka lebih cocok untuk perkembangbiakan Anopheles spp
jika dibandingkan dengan hutan, karena lahan terbuka akan mudah menampung
air hujan (Marques 1987). Pembalakan hutan dan transformasi lahan
menyebabkan perubahan iklim mikro seperti suhu dan kelembaban yang
mempengaruhi transmisi penyakit yang terbawa nyamuk seperti malaria, Japanese
encephalitis dan filariasis. Beberapa spesies Anopheles populasinya akan menurun
tetapi lebih banyak meningkat akibat pembalakan dan perubahan fungsi hutan. Di
Indonesia kelimpahan An. sundaicus meningkat akibat penebangan hutan
(Yasuoka & Levins 2007). Chang et al. (1997) sebaliknya menyatakan bahwa
penyiapan lahan untuk perkebunan sawit di Malaysia menyebabkan empat spesies
mengalami penurunan kelimpahan, di antaranya Anopheles donaldi dan An. letifer
dan telah menurunkan resiko malaria hingga
Gambar 2 Kelimpahan (%) nyamuk Anopheles spp. perbulan pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa
90%.
3.3.3 Kelimpahan Anopheles spp. pada empat jenis ekosistem Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan spesies Anopheles
mengalami fluktuasi pada ke empat jenis ekosistem. Pada bulan September hingga
Januari kelimpahan per spesies pada semua jenis ekosistem sangat rendah jika
dibandingkan dengan bulan-bulan selanjutnya. Kelimpahan Anopheles spp. per
bulan pada setiap jenis habitat disajikan pada Gambar 2 berikut:
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
35,0
40,0
45,0
Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul AgsPermukiman Perkebunan Semak Hutan
Kel
impa
han
(%
)
28
Secara umum populasi Anopheles spp. menunjukkan kenaikan secara lambat
pada bulan Januari-Februari. Umumnya, kelimpahan mulai meningkat Februari
dan Maret dan mencapai puncaknya pada bulan Mei, Juli dan Agustus di
permukiman. Pada ekosistem perkebunan, puncak kelimpahan terjadi pada bulan
Mei dan Juni dan menurun untuk bulan selanjutnya. Pada ekosistem semak
kelimpahan mengalami puncak ganda yaitu pada bulan April dan Juni dan pada
bulan berikutnya terus menurun. Pada ekosistem hutan kelimpahan tertinggi
terjadi pada bulan Juni, selanjutnya kelimpahan menurun pada bulan berikutnya.
3.3.4. Kelimpahan Anopheles berdasarkan spesies
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan Anopheles spp. per spesies
berfluktuasi pada setiap ekosistem. Kelimpahan Anopheles spp. per spesies pada
setiap jenis ekosistem disajikan pada Gambar 3-12.
3.3.4.1 Anopheles punctulatus Grup (An. punctulatus, An. farauti dan An. koliensis).
3.3.4.1.1 Anopheles punctulatus
An. punctulatus merupakan Anopheles terendah setelah An. koliensis, hanya
tertangkap 27 individu (5% dari total populasi). Kelimpahan tertinggi terdapat di
perkebunan (55,6%), diikuti oleh hutan (18,5%), semak (22,2%), dan ternedah di
permukiman (3,7%). Kelimpahan An. puntulatus disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Kelimpahan (%) An. punctulatus pada empat di Desa Saketa,
Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011.
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu
An. punctulatus
Hutan Perkebunan Permukiman Semak
Kel
impa
han
(%
)
29
An. punctulatus tidak ditemukan pada bulan Agustus hingga November dan
Januari, sementara pada bulan Desember dan Juni hanya tertangkap di
perkebunan. Pada bulan Mei dan Juli, hanya ditemukan di semak. Jumlah yang
ditemukan pada bulan Februari dan Maret tertinggi di perkebunan, dan tertinggi di
semak pada bulan Mei. An. punctulatus ditemukan di hutan hanya pada bulan
Februari dan Maret. Frekuensi keberadaan spesies An. punctulatus cukup rendah
(<50%). Nilai FR tertinggi terdapat pada ekosistem perkebunan yaitu 0,42 dan di
semak dengan nilai 0,33.
An. punctulatus di Desa Saketa tidak memiliki arti penting secara ekologi,
akan tetapi bersama dengan group punctulatus lainnya ia merupakan vektor di
Papua (Sukowati 2009; Winarno & Hutajulu; 2008; Bangs et al. 1996). Hasil uji
ELISA pada An. punctulatus yang ditemukan di Papua Nugini menunjukkan
bahwa 45% sampel positif untuk Plasmodium vivax, 30% untuk P. falciparum
dan 25% untuk P. malariae. Anopheles punctulatus grup merupakan vektor
malaria dan filariasis yang disebabkan oleh Wuchereria bancrofti yang
penyebarannya sangat luas di wilayah Pasifik barat daya (Beebe & Cooper 2002),
dan merupakan vektor utama filariasis limfatik di seluruh daerah di Papua Nugini
(Bockarie & Kazura 2003). Kirnowardoyo (1985) melaporkan An. punctulatus
merupakan vektor malaria di Indonesia, di Papua Nugini dilaporkan sebagai
vektor malaria yang juga lebih suka menggigit anjing untuk mengisap darah
(Burkot, Dye & Graves 1985).
3.3.4.1.2 Anopheles farauti
Gambar 4 menunjukkan kelimpahan An. farauti pada setiap jenis ekosistem.
Kelimpahan tertinggi terdapat di perkebunan (41,4%), diikuti oleh hutan (20,7%),
semak (32,8%) di semak, dan terendah di permukiman (5,1%). Pada bulan
September nyamuk An. farauti hanya tertangkap di hutan, bulan Oktober dan
Januari, hanya tertangkap di perkebunan, dan tidak ditemukan pada bulan
Agustus. Pada bulan November dan April nyamuk ditemukan di hutan,
perkebunan dan semak, namun tidak ditemukan di permukiman. Sementara itu
pada bulan Januari dan Februari spesies ini hanya tertangkap di perkebunan.
Spesies ini tertangkap di semua jenis ekosistem pada bulan Mei, Juni dan Juli.
30
Gambar 4 Kelimpahan (%) An. farauti pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010- Agustus 2011.
Beebe & Cooper 2002, melaporkan bahwa An. farauti bersama An.
punctulatus memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap faktor cuaca
musiman dan diidentifikasi sebagai spesies yang tahan terhadap air asin sehingga
penyebarannya sangat luas di wilayah Pasifik barat daya. Kedua spesies ini juga
dilaporkan sebagai vektor di Buka dan Kepulauan Bougenville, Papua Nugini
(Cooper & France 2002). Di Australia An. farauti ditemukan dominan (45%) di
daerah pantai dan tertangkap hingga 50 km dari garis pantai (Cooper et al. 1995).
3.3.4.1.3 Anopheles koliensis
An. koliensis termasuk jenis Anopheles yang proporsinya rendah. Selama
penelitian hanya tertangkap 314 individu. Kelimpahan terttinggi terdapat hutan
(46,50%), diikuti oleh perkebunan (43,63%), semak (5,73%) dan terendah di
permukiman (4,14%). Kelimpahan (%) An. koliensis pada setiap jenis ekosistem
disajikan pada Gambar 5.
An. koliensis tidak ditemukan pada bulan Juli hingga November. Pada
bulan Desember hingga Februari kelimpahannya mulai meningkat dan mencapai
puncaknya pada bulan Maret di perkebunan. Kelimpahan pada `ekosistem hutan
dan perkebunan lebih tinggi.
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
12,0
14,0
Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu
An. farauti
Hutan Perkebunan Permukiman Semak
Kel
impa
han
(%
)
31
Gambar 5 Kelimpahan (%) An. koliensis pada empat jenis ekosistem di Desa
Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011
Frekuensi keberadaan spesies An. koliensis tergolong rendah, hanya
muncul beberapa kali selama bulan penangkapan. Namun demikian, ia merupakan
vektor yang penyebarannya cukup luas meliputi Maluku, Halmahera dan Papua
(Sukowati 2009; Winarno & Hutajulu 2009). Meskipun merupakan vektor di
dataran tinggi Papua, penelitian yang dilakukan oleh Bangs et al. 1996 di Lembah
Oksibil, Papua tidak menemukan parasit di antara 59 individu An. koliensis yang
tertangkap selama 23 bulan. Nyamuk ini lebih senang menggigit pada bagian kaki
dan pergelangan kaki jika dibandingkan dengan bagian tubuh manusia lainnya
(Cooper & France 2000), tetapi lebih menyukai perangkap CDC light trap dari
pada manusia (HLC) dan jenis perangkap lainnya (Hii et al. 2000).
3.3.4.2 Anopheles barbumbrosus
Jumlah An. barbumbrosus yang tertangkap adalah 163 individu, kelimpahan
tertinggi terdapat di perkebunan (42,9%) diikuti oleh hutan (28,8%), semak
(23,3%) dan permukiman (4,9%). Spesies ini ditemukan di hutan dan di
perkebunan pada bulan September, November dan Maret, tetapi tidak ditemukan
pada bulan Desember. Gambar 6 menunjukkan kelimpahan An. barbumbrosus
pada setiap jenis ekosistem.
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
35,0
40,0
45,0
Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu
An. koliensis
Hutan Perkebunan Permukiman Semak
Kel
impa
han
(%
)
32
Gambar 6 Kelimpahan (%) An. barbumbrosus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010-Agustus 2011
Pada bulan Januari dan Februari spesies ini hanya tertangkap di perkebunan.
Pada bulan September, November dan Maret nyamuk An. barbumbrosus
tertangkap di hutan dan di perkebunan dan tidak ada yang tertangkap pada bulan
Desember. Sementara pada bulan Januari dan Februari hanya tertangkap di
perkebunan. Spesies ini tertangkap di semua jenis ekosistem pada bulan Mei dan
Juli, sementara pada bulan Agustus tidak tertangkap di hutan.
Amerasinghe et al. (2001) melaporkan bahwa An. barbumbrosus merupakan
spesies paling melimpah di antara 15 spesies Anopheles pada bendungan irigasi di
wilayah bagian utara Sri Lanka Tengah. An. barbumbrosus pertama kali
dilaporkan sebagai vektor tahun 1943 yang menyebabkan wabah malaria bagi
tentara Australia yang ditahan di Camp Changi, Singapura, penyakit ini dibawa
para tawanan dari hutan perbatasan Thailand-Burma (Wilson & Reid 1949). Di
Indonesia, belum ada laporan yang menyatakan nyamuk ini sebagai vektor.
3.3.4.3 Anopheles hackeri
Kelimpahan An. hackeri sangat terbatas, jumlah yang tertangkap hanya
berjumlah 3 individu pada ekosistem hutan (66,7%) dan semak (33,3%), pada
bulan Maret dan April. Spesies ini merupakan sepesies dengan kelimpahan yang
terendah di antara semua spesies lainnya. Kelimpahan An. hackeri disajikan pada
Gambar 7.
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
12,0
14,0
Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu
An. barbumbrosus
Hutan Perkebunan Permukiman Semak
Kel
impa
han
(%
)
33
Gambar 7 Kelimpahan (%) An. hackeri pada empat jenis ekosistem di Desa
Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011.
Secara kevektoran, nyamuk ini bukan merupakan ancaman karena hingga
saat ini belum ada satu laporan yang mengkomfirmasinya sebagai vektor untuk
suatu jenis penyakit.
3.3.4.4 Anopheles indefinitus
An. indefinitus ditemukan setiap bulan pada semua ekosistem dengan
jumlah tertinggi pada ekosistem hutan dan terendah pada ekosistem permukiman.
Kelimpahan (%) An. indefinitus disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Kelimpahan (%) An. indefinitus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
35,0
Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu
An. hackeri
Hutan Perkebunan Permukiman Semak
0,0
5,0
10,0
15,0
Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu
An. indefinitus
Hutan Perkebunan Permukiman Semak
Kel
impa
han
(%
)
Kel
impa
han
(%
)
34
Kelimpahan An. indefinitus menempati urutan ke 2 setelah An. kochi.
Kelimpahan An. indefinitus yang tertinggi terdapat di hutan (47,9%), diikuti oleh
semak (29,3%), perkebunan (17,3%), dan terendah di permukiman (4,87%).
Di Indonesia dan banyak negara yang bermasalah dengan malaria, nyamuk
ini tidak berperan sebagai vektor. Namun demikian hasil uji ELISA terhadap An.
indefinitus yang ditemukan di Desa Saketa menunjukkan adanya sampel yang
posistif mengandung Plasmodium vivax (Sukowati, 2010). Di Pulau Jawa An.
indefinitus sering ditemukan di sawah dan berasosiasi dengan kolam-kolam
berumput, tambak dan kubangan dengan jumlah populasi yang terbatas (Ndoen et
al. 2010). An. indefinitus
masuk dari Vietnam dan wilayah Asia Tenggara ke
Guam dan Spanyol melalui transportasi udara setelah perang dunia II. Nyamuk ini
berpotensi sebagai vektor dan menyebabkan wabah malaria di Guam tahun 1966
dan 1969 (Gratz et al. 2007), di Indonesia nyamuk ini tidak berpotensi vektor
tetapi hanya menimbulkan efek gangguan saja.
3.3.4.5 Anopheles kochi
An. kochi merupakan Anopheles yang paling melimpah di Desa Saketa,
proporsinya mencapai 55,2% dari jumlah total nyamuk Anopheles spp. yang
tertangkap. Kelimpahan tertinggi terdapat di perkebunan (47,7%) diikuti di hutan
(24,3%), semak (22,4%), dan terendah di permukiman (5,48%). Gambar 9
menunjukkan kelimpahan An. kochi pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa.
Gambar 9 Kelimpahan (%) An. kochi pada empat jenis ekosistem Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
12,0
14,0
Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu
An. kochi
Hutan Perkebunan Permukiman Semak
Kel
impa
han
(%
)
35
Kelimpahan An. kochi sangat rendah pada bulan September hingga
Desember, mulai meningkat pada bulan Januari dan mencapai puncaknya pada
bulan Mei-Juni. Di semak kelimpahannya mengalami puncak pada bulan April
dan Juli, serta menurun mulai bulan Juli-Agustus. An. kochi lebih banyak
tertangkap di perkebunan pada bulan Februari hingga Juni, dan pada bulan Juli
lebih banyak tertangkap di semak. Spesies ini tertangkap dalam persentase yang
kecil sepanjang bulan Agustus hingga Desember.
An. kochi merupakan spesies oriental dan menyebar di wilayah Australasia
melalui transportasi udara (Foley et al. 2000). Di Indonesia, nyamuk ini tidak
termasuk sebagai spesies vaktor untuk malaria (Sukowati 2009) tetapi dinyatakan
sebagai vektor untuk parasit Japanese encephalitis di Semarang, Jawa Tengah,
dan vektor filariasis di Papua (Winarno & Hutajulu 2009).
3.3.4.6 Anopheles subpictus
Total jumlah An. subpictus yang tertangkap selama penelitian adalah 119
individu, yaitu 21 individu (17,56%) di perkebunan, 75 individu di hutan
(63,03%), 19 individu (15,97%) di semak, dan 4 individu (3,36%) di permukiman.
Proporsi An. subpictus pada setiap jenis ekosistem disajikan pada Gambar 10.
Pada bulan Desember hingga Februari, Juli dan Agustus tidak terdapat An.
subpictus yang tertangkap. An. subpictus banyak tertangkap di hutan pada bulan
September hingga November, serta Maret hingga Mei, kebanyakan nyamuk ini,
dan pada bulan Juni hanya tertangkap di perkebunan. Frekuensi keberadaan
spesies ini tertinggi tertangkap pada ekosistem hutan dan perkebunan yaitu 0,50.
An. subpictus diketahui positif mengandung sporozoit di Sulawesi Selatan, Sultra
(1942), Cirebon (1952), Atambua (1973), Banyuwangi dan Flores (1979).
Nyamuk ini bersifat indoor dan zoophilik (Boesri 2007).
Di Pulau Jawa An. subpictus banyak ditemukan di sawah, di Nusa Tenggara
Timur merupakan spesies yang dominan di daerah pantai dan paling melimpah
(65,5%) di daerah pantai di Nusa Tanggara Barat (Ndoen et al. 2010). An.
subpictus dilaporkan menyebar luas sebagai vektor di Asia, di Sri Lanka
merupakan nyamuk yang predominan baik dalam fase larva maupun dewasa.
Sibling An. subpictus C tahan terhadap kadar garam hingga 4 ppt dan An.
Gambar 10 Kelimpahan (%) An. subpictus pada empat dan bulan penangkapan di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011
Meskipun populasi An. subpictus cenderung lebih rendah jika dibandingkan
dengan spesies lainnya di Saketa, spesies ini perlu diperhatikan karena merupakan
inang bagi Plasmodium vivax dan P. falciparum di Sri Lanka (Amerasinghe et al.
1992). An. subpictus termasuk spesies Anopheles yang dikonfirmasi sebagai
vektor di Maluku Utara (Winarno & Hutajulu 2009), dan oleh Sukowati (2009)
dinyatakan juga sebagai vektor malaria di Sumatera Barat, Jawa Timur, NTB,
NTT dan Sulawesi Tenggara.
3.3.4.7 Anopheles tesselatus
An. tesselatus yang tertangkap selama penelitian adalah 703 individu,
kelimpahan tertinggi terdapat di perkebunan (40,4%), diikuti oleh hutan (21,1%),
semak (30,2%) dan yang terendah terdapat di permukiman (8,4%).
Pada bulan September hingga November An. tessellatus kebanyakan
tertangkap di hutan, sementara dari bulan Desember hingga Mei kebanyakan di
perkebunan. Pada empat bulan berikutnya spesies ini terdapat pada semua jenis
ekosistem, dengan kelimpahan tertinggi di semak.
Anopheles tesselatus yang terdapat di Pulau Nias, Sumatera Utara
berkembang biak di sawah, kolam-kolam, hutan, rawa dan tambak air tawar
(Buwono, 1997), dan merupakan vektor di Maluku Utara, Maluku dan NTT
(Aditama, 2009), dan di Kepulauan Sangir, Sulawesi Utara Sukowati (2009).
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu
An. subpictus
Hutan Perkebunan Permukiman Semak
Kel
impa
han
(%
)
37
Sharma dan Hamzakoya (2001) menyatakan An. tessellatus sebagai vektor
malaria yang berasal dari Pulau Maladewa yang masuk ke India dan tercatat
sebagai vektor pada tahun 1972. Mendis et al. (1993) menginokulasi sporozoa
dari penderita malaria ke tubuh An. tessellatus dan menemukan Plasmodium vivax
dapat berkembang dalam tubuh nyamuk, tetapi tidak dapat diamati pada sporozoa
P. palcifarum.
Gambar 11 Kelimpahan (%) An. tessellatus pada empat di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011
3.3.4.8 Anopheles vagus
Proporsi An. tesselatus per ekosistem disajikan dalam Gambar 11.
Hasil penelitian menunjukkan An. vagus termasuk spesies yang tertangkap
dengan jumlah individu yang rendah, selama penelitian tertangkap 234 individu.
Kelimpahan tertinggi terdapat di perkebunan (20,1%), diikuti oleh hutan (47,0%),
semak (23,5%) dan terendah di permukiman (9,4%).
An. vagus tidak ditemukan pada bulan Januari hingga Juni, pada bulan
November hanya tertangkap di semak, dan pada bulan Desember hanya
ditemukan perkebunan. Pada bulan Juli dan Agustus spesies ini dtemukan pada ke
empat jenis ekosistem. Frekuensi keberadaan An. vagus yang tertinggi adalah di
semak (0,83) diikuti hutan dan perkebunan masing-masing 0,42 %. Kelimpahan
An. vagus per ekosistem disajikan pada Gambar 12.
0,02,04,06,08,0
10,012,014,016,018,0
Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu
An. tessellatus
Hutan Perkebunan Permukiman Semak
Kel
impa
han
(%
)
38
Gambar 12 Kelimpahan (%) An. vagus pada empat di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011
An. vagus menyebar di negara Bangladesh, Kamboja, China, India, Laos, Malaysia, Kepulauan Mariana, Myanmar (Burma), Nepal, Sri Lanka, Thailand, Philipina, Vietnam dan Indonesia (Rueda et al. 2011). Spesies ini bersifat zoofilik dan lebih menyukai sapi (90%) dan kerbau air dibandingkan dengan manusia. Di Indonesia dikonfirmasi sebagai vektor di Jawa Barat (Sukowati 2009), Sulawesi Utara (Aditama 2009) dan di Jawa Barat dan NTT (Winarno & Hutajulu 2009). Nyamuk ini juga merupakan vektor sekunder pada permukiman yang tidak memiliki ternak atau primata (Prakash et al. 2004).
Kelimpahan An. vagus dipengaruhi oleh curah hujan dan jenis habitat (Amerasinghe et al. 1999). Amerasinghe et al. (1991) melaporkan bahwa An. vagus merupakan salah satu spesies yang dominan akibat perubahan lingkungan yang terjadi selama berlangsungnya pelaksanaan pembangunan irigasi di Sri Lanka dan tetap menjadi dominan ketika spesies lainnya menjadi berkurang setelah irigasi terbangun. Di Sukabumi, An. vagus bersama dengan An. barbirostris, An. maculatus, merupakan spesies yang dominan dari 13 spesies yang ditangkap (
Anopheles spp. meskipun menyebar pada semua jenis ekosistem, ternyata tetap menunjukkan adanya pola pengelompokan spesies pada ekosistem tertentu. Hasil analisis korespondensi keterkaitan antara jenis ekosistem dengan distribusi jenis Anopheles di Desa Saketa, menunjukkan adanya korelasi antara parameter yang terpusat pada dua sumbu utama yaitu F1 dan F2. Kualitas informasi yang disajikan oleh kedua sumbu masing-masing sebesar 90,95% dan 7,91% sehingga
Craig et al. 2009).
3.3.5 Pengelompokan spesies Anopheles spp. berdasarkan jenis ekosistem
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu
An. vagus
Hutan Perkebunan Permukiman Semak
Kel
impa
han
(%
)
39
ragam spesies nyamuk berdasarkan jenis ekosistem dapat dijelaskan melalui kedua sumbu tersebut adalah sebesar 98,86% dari ragam total.
Grafik pada gambar di atas menunjukkan bahwa terdapat 3 bentuk pengelompokan Anopheles berdasarkan ekosistem, yaitu An.hackeri, An. indifinitus, An.vagus, dan An. subpictus lebih sering ditemukan pada ekosistem hutan, An. farauti dan An. tessellatus lebih sering ditemukan pada ekosistem semak dan permukiman, serta An. punctulatus, An. barbumbrosis, An. koliensis, dan An. kochi lebih sering ditemukan pada ekosistem perkebunan. Hasil analisis korespondensi keterkaitan antara jenis ekosistem dengan distribusi jenis nyamuk Anopheles disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13 Hasil analisis korespondensi (CA) antara jenis ekosistem dan spesies nyamuk Anopheles spp. di Desa Saketa.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, maka selain spesies Anopheles
dominan, spesies Anopheles lainnya yang perlu diperhatikan dalam kaitannya
dengan kevektoran adalah spesies yang masuk dalam grup punctulatus yaitu An.
farauti, An. koliensis dan An. punctulatus. Ketiga spesies tersebut merupakan
vektor di Papua yang secara georgrafis lebih dekat dengan Pulau Halmahera.
Tingginya mobilitas masyarakat Halmahera perantau dari ke Papua
memungkinkan tingginya peluang terinokulasinya parasit yang terbawa dari
Papua pada spesies Anopheles di Halmahera khususnya grup punctulatus.
Symmetric Plot (axes F1 and F2: 98.86 %)
An. vag
An. tes
An. sub
An. puc
An. kol
An. koc An. ind
An. hac
An. far
An. bar
Semak Permukiman
Perkebunan Hutan
-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 Species Anopheles F1 (90.95 %) -->
Jeni
s eko
siste
m a
xis F
2 (7
.91%
)
40
3.4 Kesimpulan
Anopheles di Saketa terdapat pada empat jenis ekosistem yang berbeda yaitu
perkebunan, hutan, semak dan permukiman. Nyamuk Anopheles spp. yang
ditemukan terdiri atas 10 spesies yaitu; An. barbumbrosis, An. farauti, An.
hackeri, An. indefinitus, An. kochi, An. koliensis, An. punctulatus, An. subpictus,
An. tessellatus, dan An. vagus. An. kochi merupakan spesies yang paling dominan
pada ekosistem perkebunan, semak dan permukiman, sedangkan spesies An.
indefinitus paling dominan pada ekosistem hutan.
Jumlah jenis Anopheles yang ditemukan pada ke empat jenis ekosistem
termasuk tinggi yaitu 10 spesies di hutan dan di perkebunan, dan masing-masing
terdapat 9 spesies di semak dan permukiman. Kelimpahan Anopheles
menunjukkan kenaikan secara lambat dari bulan September hingga Februari-
Maret. Di permukiman, semak dan hutan kelimpahan mencapai puncaknya pada
bulan Mei, Juli dan Agustus. Pada ekosistem perkebunan, kelimpahan mencapai
puncaknya pada bulan Mei dan Juni, sedangkan di semak kelimpahannya
mengalami puncak pada bulan April dan Juni. Hutan hanya mengalami satu
puncak, yang terjadi pada bulan Juni, selanjutnya menurun pada bulan berikutnya.
Proporsi jumlah Anopheles tertinggi terdapat pada ekosistem perkebunan,
diikuti ekosistem hutan, semak dan permukiman. An. hackeri, An. indifinitus, An.
vagus, dan An. subpictus cenderung mengelompok pada ekosistem hutan,
sementara itu An. farauti dan An. tessellatus lebih cenderung mengelompok pada
ekosistem semak dan permukiman, sedangkan An. punctulatus, An. barbumbrosis,
An. koliensis, dan An. kochi cenderung mengelompok pada ekosistem perkebunan.
41
DAFTAR PUSTAKA
Aditama TjY. 2009. Program pengendalian penyakit yang ditularkan vektor. Simposium dan seminar Nasional Asosiasi pengendali nyamjuk Indonesia (APNI). Seminar Nasional hari nyamuk 2009. Bogor
Amerasinghe FP, Amerasinghe PH, Peiris JS, Wirtz RA. 1991. Anopheline ecology and malaria infection during the irrigation development of an area of the Mahaweli Project, Sri Lanka. Am. J. Trop. Med. Hyg. 1991 45(2):226-35.
Amerasinghe FP, Kondradsen F, Hoek WV, Amerasinge HP, Gunawerdena JPW, Fonseka KT, Jayasinghe G. 2001. Small irrigation tanks as a source of malaria mosquito vectors: a study in North-Central Sri Lanka. International Water Management Institute. Research report 57. Colombo. Sri Lanka.
Bangs MJ, Rusmiarto S, Anthony RL, Wirtz RA, Subianto DB. 1996. Malaria transmission by Anopheles punctulatus in the highlands of Irian Jaya, Indonesia. Am. Trop. Med. Parasitol. 90(1):29-38.
Beebe NW, Cooper RD. 2002. Distribution and evolution of the Anopheles punctulatus group (Diptera: Culicidae) in Australia and Papua New Guinea. Int. J. Parasitol. 32(5):563-74.
Bengen DG, 1999. Analisis statistik multivariabel/multidimensi. PSPSPL. IPB. Bogor
Bockarie MJ, Kazura JW. 2003. Lymphatic filariasis in Papua New Guinea; Prospects for elemination. J. Med. Microbiol. Immunol. 192:9-14.
Boewono DT, Nalim S, Suloarto T, Mujiono, Sukarno. 1997. Penentuan vektor malaria di Kecamatan Teluk Dalam, Nias. Cermin Dunia Kedokteran. 118:9-14.
Burkot TR, Dye C, Graves PM. 1989. An analysis of some factors determining the sporozoite rates, human blood indexes, and biting rates of members of the Anopheles punctulatus complex in Papua New Guinea. Am. J. Trop. Med. Hyg. 40(3):229-34.
Boesri H. 2007. Standar penangkapan vektor dalam rangka penelitian penularan Malaria di Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (BPPVRP). Balitbangkes. Depkes. RI.
Chang MS, Hii J, Buttner P, Mansoor F. 1997. Changes in abundance and behaviour of vector mosquitoes induced by land use during the development of an oil palm plantation in Sarawak. Transac. Roy. Soc. Med. Hyg. 91(4);382-386.
Cooper RD, Frances SP. 2000. Biting sites of Anopheles koliensis on human collectors in Papua New Guinea. J. Am. Mosq. Ctrl. Assoc. 16(3):266-267.
Cooper RD, Frances SP. 2002. Anopheles farauti, Malaria vectors on Buka and Bougainville Islands, Papua New Guinea. J. Am. Mosq. Ctrl. Assoc. 18(2):100-106.
Duriappah AK, Naeem S. 2005. Ecosytem and Human Well-Bein, Biodiversity Synthesis. A report of the millenium asssesment. World Resources Institue. Washington.
Foley D, Ebsworth P, Ristyanto B, Bryan JH. 2000. Anopheles kochi in Irian Jaya detected by size polymorphism of polymerase chain reaction-amplified internal transcribed spacer unit 2. J. Am. Mosq. Ctrl. Assoc. 16(2):164-5.
[GBDA] 2010. Gane Barat dalam angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Halmahera Selatan, 2010.
Genisa AS. 2006. Keanekaragaman fauna ikan di perairan mangrove Sungai Mahakam, Kalimamntan Timur. J. Osea. Limn. No 41: 39-53.
Gratz NM, Steffe R, Cocksedge W. 2007. Why aircraft disinfection? Bulletin of WHO. 78(8):995-1004.
Jones KE, Patel NG, Levy MA, Stroygard A, Balk D, Gittleman JL, Daszak P. 2008. Global trends ini emerging infectious disease, J. Nature 451:990-994
Kirnowardoyo S. 1985. Status of Anopheles malaria vectors in Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Public. Hlth. 16(1):129-32.
Marques AC. 1987. Human migration and the spread of malaria in Brazil. Parasitol. Today. (3):166-170.
Mendis GAC, Rajakaruna J, Weerasinghe S, Mendis C, Carter R, Mendis KN. 1993. Infectivity of Plasmodium vivax and P. falciparum to Anopheles tessellatus; relationship between oocyst and sporozoite development. Trans. Ryl.Soc.Trop.Med.Hyg. 87(1):3-6.
O’Connor CT, Soepanto A. 2000. Kunci bergambar untuk Anopheles Maluku dan Papua, Dit-Jen P2M & PL Depkes RI. Jakarta.
Petney T, Sithithaworn P, Satrawaha R, Warr CG, Andrews R, Wang YC, Feng CC. 2009. Potential Malaria Reemergence, Northeastern Thailand. J. Emerg. Infect. Dis. 15(8): 1330–1331.
PPDS 2010. Papan potensi Desa Saketa. Pemerintah Desa Saketa, Kecmatan Gane Barat. Kab. Halmahera Selatan
Pongsiri MJ, Roman J, Ezenwa VO, Goldbreg TL, Koren HS, Newbold SC, Ostfeld RS, Pattanayak SK & Salkel DJ. 2009. Biodiversity loss affect global disease ecology. J.bioSciens. 59(11):945-954
[PSKGB] Puskesmas Saketa Kecamatan Gane Barat. 2010. Laporan kerja Puskesmas Saketa Kecamatan Gane Barat, Kabupaten Halmahera Selatan.
Prakash A, Bhattacharryya DR, Mohapatra PK, Mahanta J. 2004. Role of the prevalent Anopheles species in the transmission of Plasmodium falciparum and P. vivax in Assam State, North-Eastern India. Ann. Trop. Med. Parasitol. 98:559-567.
Rueda LM, Pecor JE, Harrison BA, 2011. Updated distribution records for Anopheles vagus (diptera: Culicidae) in the Repoblic of Philippines, and consideration regarding its secondary vector roles in Southeast Asia. J. Trop. Biomed. 28(1):181-187.
Sharma SK, Hamzakoya KK, 2001. Geographical spread of Anopheles stephensi, vector of urban malaria, and Aedes aegypti, vector of dengue/DHF, in Arabian Sea Islands of Lakshadweep, India. Dengue Bull. (25);88-91.
Sukowati 2009. Malaria vector in Indonesia. Makalah Laporan MTC. Kemenkes Jakarta
Sukowati S. 2010. Perilaku verktor malaria di Halmahera Selatan. Litbangkes, Makalah Laporan MTC. Kemenkes-RI. Jakarta.
Surendran SN, Jude PJ, Ramasamy R. 2011. Variations in salinity tolerance of malaria vectors of the Anopheles subpictus complex in Sri Lanka and the implications for malaria transmission. J. Parasitol. Vect. 24;4:117.
Syafruddin D, Hidayat APN, Asih PBS, Hawley WA, Sukowati S, Lobo NF. 2010. Detection of 1014 kdr mutation in four major Anopheline malaria vectors in Indonesia. Malaria J. 9(315):1-8.
Walsh JF, Molyneux DH, Birley MH. 1993. Deforestation: effects on vector- Wilson MB, Reid JA.1949. Malaria among prisoners of war in Siam (“F” Force).
Trans. Ryl Soc. Trop.Med.Hyg . 43(3):257-272. Yasuaka J, Levins R. 2007. Impact of deforestation and agricultural development
on anopheline ecology and malaria epidemiology. Am. J. Trop Med.Hyg. 76(3). 450-460
Winarno, Hutajulu B. 2009. Review of National vector control policy in Indonesia. Directorat of VBDC DG DC & EH, MOH Indonesia. Makalah Laporan. Jakarta.
Yasuaka J, Levins R. 2007. Impact of deforestation and agricultural development on anopheline ecology and malaria epidemiology. Am. J. Trop Med. Hyg. 76(3). 450-460.