Page 1
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Laporan Keuangan
2.1.1.1 Pengertian Laporan Keuangan
Suatu entitas khususnya pihak manajemen wajib menyajikan laporan
keuangan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kinerjanya. Penyajian laporan
keuangan sangat penting, karena merupakan dasar pengambilan keputusan para
pengguna laporan keuangan seperti investor, kreditor, pemerintah, dan
sebagainya.
Pengertian laporan keuangan menurut Hans dkk. (2012:12) adalah:
“Media utama bagi suatu entitas untuk mengkomunikasikan informasi
keuangan oleh manajemen kepada para pemangku kepentingan”.
Adapun pengertian laporan keuangan menurut Islahuzzaman (2012:242)
adalah sebagai berikut:
“Informasi akuntansi yang menggambarkan tentang posisi keuangan
perusahaan serta hasil usaha perusahaan pada periode yang berakhir pada
tanggal tertentu, yang terdiri dari atas neraca, daftar laba rugi, perubahan
ekuitas, arus kas dan informasi lainnya.”
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
laporan keuangan merupakan suatu media komunikasi antara manajemen dan
para pemangku kepentingan yang menyajikan informasi keuangan mengenai
Page 2
14
gambaran tentang posisi perusahaan serta hasil usaha perusahaan selama periode
tertentu.
2.1.1.2 Karakteristik Laporan Keuangan
Laporan keuangan memiliki beberapa karakteristik tertentu agar dapat
berguna bagi para pemakai laporan keuangan. Menurut Hans (2012:49-55)
terdapat 4 karakteristik kualitatif laporan keuangan diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Dapat Dipahami (Understandability)
Suatu informasi baru bermanfaat bagi penerima bila dapat dipahami.
Untuk dapat memahami dengan baik suatu laporan keuangan, pemakai
diasumsikan memiliki pengetahuan yang memadai tentang aktivitas
ekonomi dan bisnis serta asumsi dan konsep yang mendasari penyusunan
laporan keuangan.
2. Relevan (Relevance)
Informasi memiliki kualitas relevan jika dapat memengaruhi keputusan
ekonomi pemakai dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa
masa lalu, masa kini, atau masa depan. Suatu informasi dianggap relevan
untuk dilaporkan atau tidak akan dipengaruhi oleh hakikat dan
materialitasnya. Suatu informasi dianggap material atau signifikan, bila
suatu kesalahan (error), salah saji (misstatement), atau kelalaian
mencantumkan (omission) informasi tersebut dapat memengaruhi
Page 3
15
keputusan ekonomi pengguna informasi tersebut, atau dengan perkataan
lain yang dapat menyesatkan pengambil keputusan.
3. Keandalan (Reliability)
Informasi dapat dikatakan berkualitas andal jika bebas dari pengertian
yang menyesatkan, kesalahan material, dan dapat diandalkan
pemakainya sebagai penyajian yang tulus atau jujur (faithful
presentation) tentang sesuatu yang seharusnya disajikan atau secara
wajar diharapkan dapat disajikan. Agar suatu informasi dapat diandalkan
perlu memenuhi beberapa persayaratan sebagai berikut:
a. Penyajian jujur (Faithful presentation)
b. Substansi mengungguli bentuk (Substance over form)
c. Netralitas (Neutrality)
d. Pertimbangan sehat (Prudence)
e. Kelengkapan (Completeness)
4. Dapat dibandingkan (Comparability)
Informasi keuangan dapat secara efektif digunakan dalam pengambilan
keputusan, jika dapat diperbandingkan antarperiode dan antar-entitas.
2.1.1.3 Komponen Laporan Keuangan
Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2015) laporan keuangan pada
umumnya disusun dan dilaporkan berupa unsur-unsur sebagai berikut:
1. Laporan Posisi Keuangan atau Neraca pada akhir periode;
Page 4
16
2. Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif selama periode;
3. Laporan Perubahan Ekuitas selama periode;
4. Laporan Arus Kas selama periode;
5. Catatan atas Laporan Keuangan;
5.1 Laporan Posisi Keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan;
ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif
atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika
entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya.
2.1.1.4 Pengguna Laporan Keuangan
Laporan keuangan yang disajikan oleh pihak manajemen memiliki peran
penting dalam pengambilan keputusan bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.
Di mana kebutuhan mereka terhadap penggunaan laporan keuangan dalam
memenuhi kebutuhan informasi berbeda-beda. Menurut Standar Akuntansi
Keuangan (2015:2) paragraf 09, pengguna laporan keuangan adalah sebagai
berikut:
1. Investor
Penanam modal berisiko dan penasihat mereka berkepentingan dengan
risiko yang melekat. Mereka membutuhkan informasi untuk membantu
menentukan apakah harus membeli, menahan atau menjual investasi
tersebut.
Page 5
17
2. Karyawan
Karyawan dan kelompok-kelompok yang mewakili mereka tertarik pada
informasi mengenai stabilitas dan profitabilitas entitas. Mereka juga
tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai
kemampuan perusahaan dalam memberikan balas jasa, imbalan
pascakerja, dan kesempatan kerja.
3. Pemberi pinjaman
Pemberi pinjaman tertarik dengan informasi keuangan yang
memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah pinjaman serta
bunganya dapat dibayar pada saat jatuh tempo.
4. Pemasok dan kreditor usaha lainnya
Pemasok dan kreditor usaha lainnya tertarik dengan informasi yang
memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah jumlah yang terutang
akan dibayar pada saat jatuh tempo.
5. Pelanggan
Para pelanggan berkepentingan dengan informasi mengenai
kelangsungan hidup entitas, terutama jika mereka terlibat dalam
perjanjian jangka panjang dengan, atau tergantung pada entitas.
6. Pemerintah
Pemerintah dan berbagai lembaga yang berada di bawah kekuasaannya
berkepentingan dengan alokasi sumber daya dan juga membutuhkan
Page 6
18
informasi untuk mengatur aktivitas entitas, menetapkan kebijakan pajak,
dan sebagai dasar untuk menyusun statistik pendapatan nasional dan
statistik lainnya.
7. Masyarakat
Laporan keuangan dapat membantu masyarakat dengan menyediakan
informasi kecenderungan (trend) dan perkembangan terakhir
kemakmuran entitas serta rangkaian aktivitasnya. Llll
2.1.2 Auditing
2.1.2.1 Pengertian Auditing
Menurut American Accounting Association (AAA) mengatakan bahwa:
“Auditing is a systematic process of objectively obtaining and evaluating
evidence regarding assertions about economic actions and events to
ascertain the degree of correspondence between those assertions and
established criteria and communicating the result to interested users (Siti
dan Ely, 2013:1).”
Berdasarkan pernyataan diatas dapat dijelaskan bahwa auditing
merupakan suatu proses yang sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi
bukti secara objektif yang berhubungan dengan asersi-asersi tentang tindakan-
tindakan dan peristiwa-peristiwa ekonomi untuk menentukan tingkat kesesuaian
antara asersi-asersi tersebut dan kriteria yang ditetapkan, serta
mengkomunikasikan hasilnya kepada pengguna informasi tersebut.
Sedangkan pengertian auditing menurut Soekrisno (2011:4) adalah
sebagai berikut:
Page 7
19
“Suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh
pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun
oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti
pendukungnya, dengan tujuan untuk memberikan pendapat mengenai
kewajaran laporan keuangan tersebut”.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
auditing merupakan suatu proses pemeriksaan yang sistematis oleh pihak
independen untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti mengenai informasi yang
disajikan dalam laporan keuangan untuk memberikan opini mengenai kewajaran
laporan keuangan tersebut.
2.1.2.2 Jenis-jenis Audit
Menurut Soekrisno (2011:10) jenis-jenis audit ditinjau dari luasnya
pemeriksaan yaitu sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Umum (General Audit)
Suatu pemeriksaan umum atas laporan keuangan yang dilakukan oleh
KAP independen dengan tujuan untuk bisa memberikan pendapat
mengenai kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan.
2. Pemeriksaan Khusus (Special Audit)
Suatu pemeriksaan terbatas (sesuai dengan permintaan auditee) yang
dilakukan oleh KAP yang independen, dan pada akhir pemeriksaannya
auditor tidak perlu memberikan pendapat terhadap kewajaran laporan
keuangan secara keseluruhan.
Page 8
20
Sedangkan, jika ditinjau dari jenis pemeriksaan, audit dapat dibedakan
atas:
1. Management Audit (Operational Audit)
Suatu pemeriksaan terhadap kegiatan operasi suatu perusahaan, termasuk
kebijakan akuntansi dan kebijakan operasional yang telah ditentukan oleh
manajemen, untuk mengetahui apakah kegiatan operasi tersebut sudah
dilakukan secara efektif, efisien dan ekonomis.
2. Pemeriksaan Ketaatan (Compliance Audit)
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui apakah perusahaan sudah
menaati peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan yang berlaku, baik
yang ditetapkan oleh pihak intern perusahaan (manajemen, dewan
komisaris) maupun pihak eksternal (Pemerintah, Bapepam LK, Bank
Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak, dan lain-lain).
3. Pemeriksaan Internal (Internal Audit)
Pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian internal audit perusahaan, baik
terhadap laporan keuangan dan catatan akuntansi perusahaan, maupun
ketaatan terhadap kebijakan manajemen yang telah ditentukan.
4. Computer Audit
Pemeriksaan oleh KAP terhadap perusahaan yang memproses data
akuntansinya dengan menggunakan Electronic Data Processing (EDP)
System.
Page 9
21
2.1.2.3 Auditor
2.1.2.3.1 Pengertian Auditor
Pemeriksaan laporan keuangan perusahaan yang bertujuan untuk
memastikan mengenai kewajaran atas laporan keuangan dilakukan oleh pihak
ketiga yang independen yaitu auditor. Terdapat beberapa pengertian mengenai
auditor yaitu:
Menurut Islahuzzaman (2012:47), pengertian auditor adalah sebagai
berikut:
“Orang yang melakukan pemeriksaan terhadap kliennya. Pemeriksaan
ini dilakukan dengan surat penugasan/ perikatan/ perjanjian
pemeriksaan. Dalam audit, pihak yang melakukan atau memberikan
jasa audit adalah auditor dari Kantor Akuntan Publik (KAP).”
Dengan kata lain, auditor merupakan orang yang melakukan
pemeriksaan dengan syarat memiliki surat penugasan terhadap kliennya. Di
mana pihak yang berhak memberikan jasa audit adalah auditor yang bekerja di
KAP.
2.1.2.3.2 Jenis Auditor
Menurut Siti dan Ely (2013:13-14) auditor dapat dibedakan menjadi 3
jenis diantaranya yaitu:
1. Auditor Independen (Akuntan Publik)
Auditor independen berasal dari Kantor Akuntan Publik, bertanggung
jawab atas audit laporan keuangan historis auditee-nya.
Page 10
22
2. Auditor Pemerintah
Auditor pemerintah adalah auditor yang berasal dari lembaga
pemeriksa pemerintah. Di Indonesia lembaga yang bertanggungjawab
secara fungsional atas pengawasan terhadap kekayaan atau Keuangan
Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga
pada tingkat tertinggi, Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) dan Inspektorat Jendral (Itjen) yang ada pada
departemen-departemen pemerintah
3. Internal Auditor (Auditor Intern)
Auditor internal adalah pegawai dari suatu organisasi/perusahaan
yang bekerja di organisasi tersebut untuk melakukan audit bagi
kepentingan manajemen perusahaan yang bersangkutan, dengan
tujuan untuk membantu manajemen organisasi untuk mengetahui
kepatuhan para pelaksana operasional organisasi terhadap kebijakan
dan prosedur yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
2.1.2.4 Bentuk Opini Audit
Berdasarkan International Standard on Auditing (ISA) bentuk opini audit
dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Opini tanpa modifikasian (unmodified opinion)
Opini tanpa modifikasian merupakan opini yang diberikan apabila
auditor menyimpulkan bahwa laporan keuangan disusun, dalam segala
Page 11
23
hal yang material, sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang
berlaku (applicable financial reporting framework) (Tuanakotta,
2015:490).
2. Opini Modifikasian (modified opinion)
Auditor wajib memodifikasi opininya dalam laporan auditor jika (a)
auditor menyimpulkan atas dasar bukti yang diperoleh, bahwa laporan
keuangan secara keseluruhan tidak bebas dari salah saji yang material
dan (b) auditor tidak berhasil memperoleh bukti audit yang cukup dan
tepat untuk menyimpulkan bahwa laporan keuangan secara keseluruhan
bebas dari salah saji yang material (Tuanakotta, 2015:548). Dalam
memodifikasi opininya, auditor menetukan 3 tipe opini modifikasian
diantaranya yaitu:
a. Opini Wajar Dengan Pengecualian
Opini wajar dengan pengecualian diberikan jika (a) auditor, setelah
memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat, menyimpulkan bahwa
salah saji, baik secara individual atau agregat adalah material, tetapi
tidak pervasif untuk laporan keuangan yang bersangkutan dan (b)
auditor tidak berhasil memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat
untuk dijadikan dasar pemberian pendapat, tetapi ia menyimpulkan
bahwa dampak salah saji yang tidak ditemukan mungkin material
tapi tidak pervasif.
Page 12
24
b. Opini Tidak Wajar
Opini tidak wajar diberikan apabila auditor, setelah memperoleh
bukti audit yang cukup dan tepat, menyimpulkan bahwa salah saji,
baik secara individual atau agregat, adalah material dan pervasif
untuk laporan keuangan yang bersangkutan.
c. Opini Tidak Memberikan Pendapat
Opini tidak memberikan pendapat diberikan jika auditor tidak
berhasil memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat untuk
dijadikan dasar pemberian pendapat dan ia menyimpulkan bahwa
dampak salah saji yang tidak ditemukan bisa material dan pervasif.
2.1.2.5 Standar Auditing
Tabel 2.1
International Standard on Auditing (ISA)
ISA
200-299 Prinsip-Prinsip Umum Dan Tanggung Jawab
200 Tujuan keseluruhan untuk perusahaan yang melakukan audit dan
review atas laporan keuangan dan jaminan lainnya dan jasa terkait.
210 Persetujuan syarat-syarat perikatan audit
220 Pengendalian mutu untuk audit atas laporan keuangan
230 Dokumentasi audit
240 Tanggung jawab auditor terkait dengan kecurangan dalam suatu
audit atas laporan keuangan
250 Pertimbangan atas peraturan perundang-undangan dalam audit
laporan keuangan
260 Komunikasi dengan pihak yang bertanggungjawab atas tata kelola
265 Pengomunikasian defisiensi dalam pengendalian internal kepada
pihak yang bertanggungjawab atas tata kelola dan manajemen
Page 13
25
ISA
300-450 Penilaian Risiko Dan Respons Terhadap Risiko Yang Telah
Dinilai
300 Perencanaan suatu audit atas laporan keuangan
315 Pengidentifikasian dan penilaian risiko salah saji material melalui
pemahaman atas entitas dan lingkungannya
320 Materialitas dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan audit
330 Respons auditor terhadap risiko yang dinilai
402 Pertimbangan audit terkait dengan entitas yang menggunakan
suatu organisasi jasa
450 Pengevaluasian atas kesalahan penyajian yang diidentifikasi
selama audit
500-580 Bukti Audit
500 Bukti audit
501 Bukti audit – pertimbangan spesifik atas unsur pilihan
505 Konfirmasi eksternal
510 Perikatan audit tahun pertama – saldo awal
520 Prosedur analitis
530 Sampling audit
540 Audit atas estimasi akuntansi, termasuk estimasi akuntansi nilai
wajar, dan pengungkapan yang bersangkutan
550 Pihak berelasi
560 Peristiwa kemudian
570 Kelangsungan usaha
580 Representasi tertulis
600-620 Penggunaan Pekerjaan Pihak Lain
600 Pertimbangan khusus – audit atas laporan keuangan grup
(termasuk pekerjaan auditor komponen)
610 Penggunaan pekerjaan auditor eksternal
620 Penggunaan pekerjaan seseorang pakar auditor
700-720 Kesimpulan Audit Dan Pelaporan
700 Perumusan suatu opini dan pelaporan atas laporan keuangan
705 Modifikasi terhadap opini dalam laporan auditor independen
706 Paragraf penekanan suatu hal dan paragraf hal lain dalam laporan
auditor independen
710 Informasi komparatif – dalam laporan keuangan komparatif
Page 14
26
ISA
720 Tanggung jawab auditor atas informasi lain dalam dokumen yang
berisi laporan keuangan auditan
800-810 Area-area Khusus
800 Pertimbangan khusus – audit atas laporan keuangan disusun sesuai
dengan kerangka bertujuan khusus
805 Pertimbangan khusus – audit atas laporan keuangan tunggal dan
unsur, akun, atau pos spesifik dalam suatu laporan keuangan
810 Perikatan untuk melaporkan ikhtisar laporan keuangan.
Sumber : IAPI.or.id dan IFAC.org
2.1.2.6 Pengertian Kantor Akuntan Publik
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.5 tahun 2011
mengenai akuntan publik menyatakan bahwa Kantor Akuntan Publik (KAP)
adalah badan usaha yang didirikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan mendapatkan izin usaha berdasarkan Undang-Undang ini.
Menurut Mulyadi (2002:33) menyatakan bahwa hirarki auditor dalam
organisasi KAP dibagi sebagai berikut:
1. Partner
Partner menduduki jabatan tertinggi dalam perikatan audit,
bertanggung jawab atas hubungan dengan klien, bertanggung jawab
secara menyeluruh mengenai auditing. Partner menandatangani
laporan audit dan management letter, dan bertanggungjawab terhadap
penagihan fee audit dari klien.
Page 15
27
2. Manajer
Manajer bertindak sebagai pengawas audit, bertugas untuk membantu
auditor senior dalam merencanakan program audit dan waktu audit,
mereview kertas kerja, laporan audit dan management letter. Biasanya
manajer melakukan pengawasan terhadap pekerjaan beberapa auditor
senior.
3. Auditor Senior
Auditor senior bertugas melaksanakan audit, bertanggung jawab untuk
mengusahakan biaya audit dan waktu audit sesuai dengan rencana,
bertugas untuk mengarahkan dan me-review pekerjaan auditor junior.
4. Auditor Junior
Auditor junior melaksanakan prosedur audit secara rinci, membuat
kertas kerja untuk mendokumentasikan pekerjaan audit yang telah
dilaksanakan. Pekerjaan ini biasanya dipegang oleh auditor yang baru
saja menyelesaikan pendidikan formalnya di sekolah.
2.1.2.7 Tinjauan Profesi Akuntan Publik
Saat ini, profesi akuntan publik sangat dibutuhkan terutama oleh
perusahaan-perusahaan yang ingin mendaftarkan sahamnya di bursa efek.
Perusahaan-perusahaan tersebut harus menyajikan serta mempublikasikan laporan
keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagai syarat untuk
Page 16
28
mendaftarkan sahamnya di bursa efek, serta bertujuan untuk mendapatkan
kepercayaan dari investor terhadap informasi keuangan yang disajikan.
Menurut Soekrisno (2011:44) mengatakan bahwa :
“Akuntan publik adalah akuntan yang memiliki izin dari Menteri
Keuangan atau pejabat yang berwenang lainnya untuk menjalankan
praktik akuntan publik.”
Selain itu, menurut Islahuzzaman (2012:22) mengatakan bahwa :
“Akuntan Publik Bersertifikat/BAP (Certified Publik Accountant-CPA)
merupakan seseorang yang telah memenuhi persyaratan yang diajukan
oleh pemerintah, termasuk kewajiban menempuh Ujian Sertifikasi
Akuntan Publik (USAP), dan kemudian berhak atas sertifikat akuntan
publik untuk berpraktik sebagai Akuntan Publik (membuka Kantor
Akuntan Publik) yang menyediakan berbagai jasa yang diatur dalam
Standar Profesional Akuntan Publik (auditing, akuntansi dan review, dan
jasa konsultasi).”
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa akuntan
publik merupakan akuntan yang telah mendapatkan izin dari Menteri Keuangan
dan pejabat yang berwenang untuk menjalankan praktik akuntan publik dengan
menyediakan berbagai jasa yang diatur dalam SPAP karena telah memenuhi
persyaratan yang diajukan Pemerintah termasuk kewajiban menempuh USAP.
2.1.2.8 Jasa-jasa Akuntan Publik
Dalam setiap penugasan, akuntan publik memperoleh izin untuk
memberikan jasa-jasa yang telah diatur dalam undang-undang. Berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2011 (Tuanakotta, 2015:10)
menjelaskan bahwa Akuntan Publik memberikan jasa asurans, yang meliputi:
Page 17
29
1. Jasa Asurans adalah jasa Akuntan Publik yang bertujuan untuk
memberikan keyakinan bagi pengguna atas hasil evaluasi atau pengukuran
informasi keuangan dan non keuangan berdasarkan suatu kriteria.
2. Jasa audit atas informasi keuangan historis adalah perikatan asurans yang
diterapkan atas informasi keuangan historis yang bertujuan untuk
memberikan keyakinan memadai atas kewajaran penyajian informasi
keuangan historis tersebut dan kesimpulannya dinyatakan dalam bentuk
pernyataan positif.
3. Jasa reviu atas informasi keuangan historis adalah perikatan asurans yang
diterapkan atas informasi keuangan historis yang bertujuan untuk
memberikan keyakinan terbatas atas kewajaran penyajian informasi
keuangan historis tersebut dan kesimpulannya dinyatakan dalam bentuk
pernyataan negatif.
4. Jasa asurans lainnya adalah perikatan asurans selain jasa audit atau reviu
atas informasi keuangan historis. Yang termasuk jasa asurans lainnya
antara lain perikatan asurans untuk melakukan evaluasi atas kepatuhan
terhadap peraturan, evaluasi atas efektivitas pengendalian internal,
pemeriksaan atas informasi keuangan prospektif, dan penerbitan comfort
letter untuk penawaran umum.
5. Jasa lainnya yang berkaitan dengan akuntansi, keuangan, dan manajemen
antara lain adalah jasa audit kinerja, jasa internal audit, jasa perpajakan,
Page 18
30
jasa kompilasi laporan keuangan, jasa pembukuan, jasa prosedur yang
disepakati atas informasi keuangan, dan jasa sistem teknologi informasi.
2.1.2.9 Jasa Audit Laporan Keuangan
Menurut Arens et al. (2012: 15) mengatakan bahwa:
“A financial statement audit is conducted to determine whether to overall
financial statements (the information being verified) are stated
accordance with specified criteria”.
“The objective of the ordinary audit if financial statements by the
independence auditor is the expression of an opinion on the fairness with
which they present fairly, in all material respect, financial position, result
of operations, and it’s cash flow in conformity with generally accepted
accounting principles.”
Dari pernyataan tersebut dijelaskan bahwa sebuah audit laporan keuangan
dilakukan adalah untuk menentukan apakah laporan keuangan secara keseluruhan
(informasi yang diverifikasi) dinyatakan sesuai dengan kriteria yang ditentukan.
Tujuan audit laporan keuangan oleh auditor independen untuk memberikan suatu
pendapat atas kewajaran suatu laporan keuangan, dalam semua hal yang material,
baik itu dalam posisi keuangan, hasil usaha, dan itu arus kas sesuai dengan yang
berlaku umum prinsip akuntansi.
2.1.2.10 Proses Audit Laporan keuangan
Menurut Arens et al. (2012:395), proses audit dijelaskan sebagai berikut:
“Phases of the audit process-the four aspect of a complete audit: (1)
Plan and design an audit approach, (2) Perform tests of control and
substantive test of transaction, (3) Perform analytical procedures and
tests of details of balance, and (4) Complete the audit and issue the audit
report.”
Page 19
31
Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat diuraikan setiap fase dalam
melakukan audit laporan keuangan sebagai berikut:
Fase I: Perencanaan dan perancangan pendekatan audit (plan and design audit
approach)
Terdiri dari proses penerimaan klien dan persiapan perencanaan awal,
pemahaman bisnis dan industri klien, menilai risiko bisnis klien,
menyiapkan prosedur awal, menentukan tingkat materialitas dan
menilai risiko audit yang dapat diterima, memahami pengendalian
internal dan menaksir pengendalian risiko laba, mengembangkan
perencanaan audit secara umum dan program audit.
Fase II: Melakukan tes atas pengendalian dan tes atas transaksi (perform test of
control and substantive test of transaction)
Tujuan dalam tahap ini adalah untuk:
1. Mendapatkan bahan bukti yang mendukung kebijakan dan
prosedur pengendalian spesifik yang berperan terhadap tingkat
risiko pengendalian yang ditetapkan.
2. Memperoleh bahan bukti yang mendukung kebenaran transaksi
Page 20
32
Fase III: Melakukan prosedur analisa lebih rinci dan tes terinci atas saldo
(perform analytical procedures and test detail of balance)
Tahap ini adalah untuk memperoleh bahan bukti tambahan yang
cukup untuk menentukan apakah saldo akhir dan catatan laporan
keuangan dengan wajar.
Fase IV: Penyelesaian audit dan penerbitan laporan keuangan (complete the
audit and issue an audit report)
Tahap ini terdiri dari proses mereview kewajiban yang bersyarat,
kejadian setelah tanggal neraca, mengakumulasikan bukti-bukti
terakhir, evaluasi hasil dan menerbitkan laporan audit (memberikan
pendapat) serta berkomunikasi dengan komite audit dan manajemen
perusahaan.
Sedangkan, menurut Tuanakotta (2015:239) proses audit berbasis risiko
terdiri dari tiga langkah yaitu:
1. Risk Assessment (Menilai Risiko), merupakan tahap melaksanakan
prosedur penilaian risiko untuk mengidentifikasi dan menilai risiko salah
saji yang material dalam laporan keuangan.
2. Risk Response (Menanggapi Risiko), merupakan tahap untuk merancang
dan melaksanakan prosedur audit selanjutnya yang menanggapi risiko
(salah saji material) yang telah diidentifikasi dan dinilai, pada tingkat
laporan dan asersi.
Page 21
33
3. Reporting (Pelaporan), merupakan tahap akhir dalam proses audit yang
meliputi (a) merumuskan pendapat berdasarkan bukti audit yang
diperoleh, dan (b) membuat dan menerbitkan laporan yang tepat sesuai
kesimpulan yang ditarik.
2.1.3 Profesionalisme Auditor
2.1.3.1 Pengertian Profesionalisme
Menurut Islahuzzaman (2012:369) mengatakan bahwa :
“Profesional adalah tanggung jawab untuk bertindak lebih dari sekadar
memenuhi tanggung jawab diri sendiri maupun ketentuan hukum dan
peraturan masyarakat. Akuntan publik, sebagai professional, mengakui
adanya tanggung jawab kepada masyarakat, klien, serta rekan praktisi,
termasuk perilaku yang terhormat, meskipun itu berarti pengorbanan
diri.”
Sedangkan, menurut Arens et al. (2012: 129) mengatakan bahwa:
“Professional means a responsibility for conduct that extends beyond
satisfying individual responsibilities and beyond the requirements of our
society’s laws and regulations”.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
profesionalisme memiliki hubungan dengan profesi, dimana dalam menjalankan
profesi tersebut dibutuhkan keahlian dan kompetensi tertentu. Profesional sendiri
merupakan sikap tanggung jawab untuk bertindak tidak hanya sekadar kepuasan
terhadap tanggung jawabnya sendiri maupun ketentuan hukum dan peraturan
masyarakat melainkan tanggung jawab kepada masyarakat meskipun dengan
pengorbanan diri.
Page 22
34
Sedangkan menurut Napoca (2012) mengartikan profesional adalah
sebagai berikut:
“The application of a professional reasoning which starts from well
defined principles offers a bigger liberty to the auditors, which means to
apply their experience, knowledge, abilities acquired intime, while
constraining the activity in a set of strict rules which entangles the
perspective of a diversified approach, even interdisciplinary, of the
problem that professional face.”
Dari pernyataan tersebut dijelaskan bahwa penerapan penalaran
profesional yang dimulai dari prinsip-prinsip didefinisikan dengan baik
menawarkan kebebasan yang lebih besar untuk auditor, yang berarti untuk
menerapkan pengalaman, pengetahuan, kemampuan yang diperoleh dalam waktu,
sementara pembatasan aktivitas dalam seperangkat aturan ketat dengan
pendekatan perspektif yang beragam, bahkan ketidakdisiplinan merupakan
masalah yang ada dalam hal profesional auditor.
2.1.3.2 Dimensi Profesionalisme
Menurut Hall R. dalam Emmy (2015) terdapat lima dimensi
profesionalisme, yaitu:
1. Pengabdian pada profesi
Pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi profesionalisme
dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki.
Page 23
35
2. Kewajiban sosial
Kewajiban sosial adalah pandangan tentang pentingnya peranan profesi
dan manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun profesional karena
adanya pekerjaan tersebut.
3. Kemandirian
Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan seseorang yang
profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari
pihak lain (pemerintah, klien, dan bukan anggota profesi).
4. Keyakinan terhadap profesi
Keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling
berwenang menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi,
bukan orang luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu
dan pekerjaan mereka.
5. Hubungan dengan sesama profesi
Hubungan dengan sesama profesi adalah menggunakan ikatan profesi
sebagai acuan, termasuk didalamnya organisasi formal dan kelompok
kolega informal sebagai ide utama dalam pekerjaan.
Menurut Napoca (2012) mengungkapkan setiap kekurangan yang
mungkin timbul dalam tanggung jawab profesional adalah kurangnya
pengetahuan, pengalaman dan keterampilan. Pekerjaan atau profesi itu sendiri
juga dapat mempengaruhi hasil proses keputusan dan faktor-faktor kontekstual
Page 24
36
yang memerlukan pertimbangan profesional dalam kegiatan tertentu sehingga
seseorang dapat menunjukkan sikap profesionalnya.
2.1.4 Skeptisisme Profesional
2.1.4.1 Pengertian Skeptisisme Profesional
Menurut International Federation of Accountants (IFAC) mengatakan
bahwa:
“Professional skepticism means an attitude that includes a questioning
mind, being alert to conditions which may indicate possible misstatement
due to error or fraud, and a critical assessment of audit evidence (ISA
200.13I).”
Berdasarkan kutipan di atas, dijelaskan bahwa skeptisme profesional
merupakan suatu pikiran yang selalu mempertanyakan, waspada terhadap kondisi
yang dapat mengindikasikan kemungkinan kesalahan penyajian, baik yang
disebabkan oleh kecurangan maupun kesalahan, dan suatu penilaian penting atas
bukti audit.
Pengumpulan dan penilaian bukti audit secara objektif menurut auditor
mempertimbangkan kompetensi dan kecukupan bukti tersebut. Oleh karena bukti
dikumpulkan dan dinilai selama proses audit dan sikap skeptisme harus
digunakan selama proses tersebut. Dengan menggunakan sikap skeptisme
profesional, seorang auditor tidak mudah puas akan bukti yang kurang persuasif
yang diberikan oleh pihak manajemen.
Page 25
37
Adapun pengertian skeptisisme menurut Islahuzzaman (2012:429) yaitu:
“Bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan-pernyataan yang belum cukup
kuat dasar-dasar pembuktiannya. Tidak begitu percaya saja, tapi perlu
pembuktian.”
Selain itu, menurut Islahuzzaman (2012:429) mengatakan bahwa :
“Skeptisisme profesional (Professional skepticism) merupakan tingkah
laku yang melibatkan sikap yang selalu mempertanyakan dan penentuan
kritis atas bukti audit. Auditor tidak boleh mengasumsikan bahwa
manajemen jujur atau tidak jujur.”
Sedangkan menurut Hurtt dalam Alwee (2013:12) mengenai skeptisme
profesional menyatakan bahwa:
“An auditor who exhibits a higher level of professional skepticism is
expected to wait for more information to obtain sufficient basis for audit
judgments. The interpersonal understanding trait identifies the need to
also consider the human aspects of an audit when evaluating evidence.”
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa auditor yang memiliki tingkat
skeptisisme profesional yang tinggi diharapkan untuk menunggu informasi lebih
lanjut untuk memperoleh cukup dasar untuk penilaian audit. Pemahaman sifat
interpersonal mengidentifikasi kebutuhan untuk mempertimbangkan aspek
manusia dalam proses audit ketika mengevaluasi bukti.
2.1.4.2 Karakteristik Skeptisisme Profesional
Menurut Hurtt et al. dalam Alwee (2010), karakteristik skpetisisme
profesional dibentuk oleh beberapa faktor, seperti:
Page 26
38
1. Memeriksa dan Menguji Bukti (Examination of Evidence)
Karakteristik yang berhubungan dengan pemeriksaan dan pengujian bukti
(examination of evidence) terdiri dari questioning mind, suspension on
judgement, dan search for knowledge.
2. Memahami Penyedia Informasi (Understanding Evidence Providers)
Karakteristik yang berhubungan dengan pemahaman akan penyedia
informasi (understanding evidence providers) adalah interpersonal
understanding.
3. Mengambil Tindakan atas bukti (Acting in The Evidence)
Karakteristik yang berhubungan dengan pengambilan tindakan atas bukti
(acting in the evidence) adala self confidence dan self determination.
a. Questioning Mind
Merupakan karakter skeptis seseorang untuk mempertanyakan alasan,
penyesuaian, dan pembuktian akan sesuatu.
Karakteristik skeptis ini terbentuk dari beberapa indikator:
1) Menolak suatu pernyataan atau statement tanpa pembuktian yang
jelas.
2) Mengajukan banyak pertanyaan untuk pembuktian akan suatu hal.
b. Suspension on Judgement
Merupakan karakter skeptis yang mengindikasikan seseorang butuh
waktu lebih lama untuk membuat pertimbangan yang matang, dan
Page 27
39
menambahkan informasi tambahan untuk mendukung pertimbangan
tersebut.
Karakter skeptis ini dibentuk dari beberapa indikator:
1) Membutuhkan informasi lebih lama.
2) Membutuhkan waktu yang lama namun matang untuk membuat suatu
keputusan.
3) Tidak akan membuat keputusan jika semua informasi belum
terungkap.
c. Search for Knowledge
Merupakan karakter skeptis seseorang yang didasari oleh rasa ingin tahu
(curiosity) yang tinggi.
Karakteristik skeptis ini dibentuk dari beberapa indikator:
1) Berusaha untuk mencari dan menemukan informasi baru.
2) Adalah sesuatu yang menyenangkan jika menemukan hal-hal yang
baru.
3) Tidak akan membuat keputusan jika semua informasi belum
terungkap.
d. Interpersonal Understanding
Merupakan karakter skeptis seseorang yang dibentuk dari pemahaman
tujuan, motivasi, dan integritas dari penyedia informasi.
Karakteristik skeptis ini dibentuk dari beberapa indikator:
Page 28
40
1) Berusaha untuk memahami perilaku orang lain.
2) Berusaha untuk memahami alasan mengapa seseorang berperilaku.
e. Self Confidence
Merupakan sikap seseorang untuk percaya diri secara profesional untuk
bertindak atas bukti yang sudah dikumpulkan.
Karakter skeptis ini dibentuk dari indikator:
1) Percaya akan kapasitas dan kemampuan diri sendiri.
f. Self Determination
Merupakan sikap seseorang untuk menyimpulkan secara objektif atas
bukti yang sudah dikumpulkan.
Karakter skeptis ini dibentuk dari beberapa indikator:
1) Tidak langsung menerima atau memberikan pernyataan dari orang
lain.
2) Berusaha untuk mempertimbangkan penjelasan orang lain.
3) Menekankan pada suatu hal yang bersifat tidak konsisten
(inconsistent).
4) Tidak mudah untuk dipengaruhi oleh orang lain atau suatu hal.
2.1.5 Pengalaman Auditor
2.1.5.1 Pengertian Pengalaman
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa:
“Pengalaman adalah sesuatu yang pernah dialami (dijalani, dirasai,
ditanggung, dan sebagainya) (Jusuf dan Sutan, 2002:26).”
Page 29
41
Menurut Emmy (2015:2) auditor yang mempunyai pengalaman yang
berbeda, akan berbeda pula dalam memandang dan menanggapi informasi yang
diperoleh selama melakukan pemeriksaan dan juga dalam memberi kesimpulan
audit terhadap obyek yang diperiksa berupa pemberian pendapat. Selain itu,
pengalaman auditor pun dapat memengaruhi ketaatan penilaian auditor terhadap
bahan bukti yang diperlukan. Oleh karena itu, diharapkan seorang auditor
memiliki pengalaman yang cukup dalam melakukan penugasan karena terdapat
beberapa alasan mengapa pengalaman audit sangat penting.
Menurut Puti (2011:10), pengalaman menumbuhkan kemampuan auditor
untuk mengolah informasi, membuat perbandingan-perbandingan berbagai solusi
alternatif dan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan. Dengan pengalaman
audit mereka, auditor mampu mengembangkan struktur memori yang luas dan
kompleks yang membentuk kumpulan informasi yang dibutuhkan dalam
membuat keputusan-keputusan. Auditor yang kurang berpengalaman belum
memiliki struktur memori seperti ini sehingga mereka tidak mampu memberikan
respon yang memadai. Akibatnya penilaian-penilaian mereka kalah akurat
dibandingkan dengan auditor-auditor yang berpengalaman.
Menurut Gaballa dan Ning (2010:169) mengenai pengalaman profesional
menyatakan bahwa:
“Professional experience is one of the key determinants that affect upon
the efficiency of performance in professional practice. The signs of
behavioral studies which have focused on the subject of experience that
Page 30
42
the quality of performance in a particular area increase with their
experience in that field.”
Berdasarkan pernyataan di atas dijelaskan bahwa pengalaman profesional
adalah salah satu kunci faktor yang mempengaruhi efisiensi kinerja dalam praktek
profesional, dimana kualitas kinerja seseorang akan meningkat dengan
pengalaman-pengalaman mereka tentunya pada bidang yang difokuskan.
Dari pengalaman yang didapat, seseorang dapat belajar dari kesalahan-
kesalahannya yang mereka lakukan di masa lalu. Sehingga nanti kedepannya
kinerja dalam melakukan tugas akan bertambah (Gaballa dan Ning, 2010:169)
2.1.5.2 Dimensi Pengalaman Auditor
2.1.5.2.1 Lamanya Bekerja sebagai Auditor
Pengalaman kerja telah dipandang sebagai suatu faktor penting dalam
mengestimasi kinerja seseorang khususnya akuntan publik, sehingga
pengalaman termasuk persyaratan dalam memperoleh izin menjadi Akuntan
Publik. Berdasarkan SK Menkeu No. 17/PMK.01/2008 dijelaskan bahwa:
“Seorang akuntan publik harus memiliki pengalaman praktik di
bidang audit umum atas laporan keuangan yang paling sedikit 1000
(seribu) jam dalam 5 (lima) tahun terakhir dan paling sedikit 500
(lima ratus) jam diantaranya memimpin dan/atau mensupervisi
perikatan audit umum yang disahkan oleh pemimpin/pemimpin rekan
KAP.”
Dari ketentuan di atas dijelaskan bahwa untuk dapat menjadi seorang
auditor berpengalaman jika ia memiliki 5 tahun atau paling sedikit 500 jam
dalam masa kerjanya.
Page 31
43
2.1.5.2.2 Banyaknya Tugas yang Dilakukan
Menurut Arens et al. (2012:289) mengatakan bahwa:
“The engagement may require more experience staff. CPA firms
should staff all engagement with qualified staff. For low acceptable
audit risk clients, special care is appropriate in staffing, and the
importance of professional skepticism should be emphasized”
Dari pernyataan di atas dijelaskan bahwa suatu penugasan
membutuhkan lebih banyak staf yang berpengalaman. Kantor Akuntan Publik
harus melibatkan semua staf yang berkualitas. Untuk menekan risiko audit klien
ke tingkat rendah, perhatian khusus dalam kepegawaian, dan pentingnya
skeptisisme profesional harus ditekankan.
Menurut Olofsson dan Bobby (2011:14) mengemukakan bahwa:
“Something new, surpirisngly, will be common place by the presence
kontinuitas and experience, for example when we study the cycling
did not realized that we are already good at. It is often realized new
task would be a regular with experience.
Dari pernyataan di atas dijelaskan bahwa seseorang akan menyadari
bahwa setiap tugas yang dilakukan menjadi biasa dengan pengalaman. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa banyaknya tugas yang dilakukannya dapat
memperoleh serta meningkatkan pengetahuan auditor. Semakin auditor
memiliki banyak pengetahuan maka semakin mudah pula ia dapat mengahadapi
segala kondisi dan dapat meningkatkan kepercayaan terhadap kompetensi yang
dimilikinya. Dengan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap kompetensi yang
Page 32
44
dimilikinya, akan memudahkan pula auditor dalam mempertimbangkan
materialitas dengan baik.
2.1.5.2.3 Jenis-jenis Perusahaan yang Ditangani
Menurut Napoca (2012) mengatakan bahwa:
“The sector of activity was taken into consideration, but beside this,
there were some other analyzed elements, such as the experience or
auditor specialization’s in that field, the information needs of the
financial statement’s users, the objectives and attitude of the
company’s management, the length of the relationship with the
audited client and the client’s financial position”
Berdasarkan pernyataan di atas, dijelaskan bahwa auditor harus dapat
mempertimbangkan sektor aktivitas perusahaan, dan pengalaman auditor
terhadap spesialisasi di bidang tertentu. Sehingga, dengan semakin banyaknya
jenis perusahaan yang ditangani, diharapkan auditor akan lebih paham serta
memiliki keunggulan dalam mendeteksi setiap kesalahan baik yang disengaja
atau tidak, serta mampu mengevaluasi informasi keuangan maupun non
keuangan terutama dalam menentukan tingkat materialitas untuk akun atau item
dalam laporan keuangan.
2.1.6 Materialitas
2.1.6.1 Pengertian Materialitas
Materialitas merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan, dalam
menentukan jenis laporan audit yang akan diterbitkan pada situasi-situasi tertentu.
Jika salah saji relatif tidak material terhadap laporan keuangan, maka lebih tepat
bagi auditor untuk menerbitkan laporan audit wajar tanpa pengecualian. Namun,
Page 33
45
jika salah saji relatif material, auditor perlu menerbitkan laporan audit wajar
dengan pengecualian. Dan, pada saat salah saji relatif sangat material (begitu
signifikan) sehingga kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan diragukan,
maka auditor perlu menolak memberikan pendapat atau memberikan pendapat
tidak wajar, tergantung pada kondisi yang ada (Hery, 2011:21).
Adapun pengertian materialitas menurut Islahuzzaman (2012:263) adalah
sebagai berikut :
“Besarnya nilai atau arti pentingnya suatu penghapusan/ penghilangan/
kesalahan penyajian informasi keuangan yang dalam hubungannya
dengan sejumlah situasi yang melingkupinya, membuat pertimbangan
orang yang menyandarkan dirinya pada informasi tersebut akan berubah
atau terpengaruhi oleh penghapusan atau kesalahan penyajian tersebut.”
Sedangkan menurut International Federation of Accountants (IFAC)
menjelaskan bahwa materialitas adalah sebagai berikut:
“Misstatements, including omissions, are considered to be material if
they, individually or in the aggregate, could reasonably be expected to
influence the economic decisions of users taken on the basis of the
financial statement (ISA 320.2).”
Berdasarkan pernyataan di atas, dijelaskan bahwa materialitas merupakan
kesalahan penyajian, termasuk penghilangan, dianggap material bila kesalahan
penyajian tersebut, secara individual atau agregat, diperkirakan dapat
memengaruhi keputusan ekonomi yang diambil berdasarkan laporan keuangan
oleh pengguna laporan keuangan tersebut.
Arens, et al. (2014:80) menyatakan bahwa terdapat tiga tingkat
materialitas yang digunakan untuk menentukan pendapat auditor yaitu:
Page 34
46
1. Jumlahnya tidak material
Apabila terdapat salah saji dalam suatu laporan keuangan akan tetapi
cenderung tidak memengaruhi keputusan pemakai keuangan, hal tersebut
dianggap sebagai tidak material. Karena itu, pendapat wajar tanpa
pengecualian layak diterbitkan.
2. Jumlahnya material tetapi tidak memperburuk laporan keuangan secara
keseluruhan
Tingkat materialitas kedua terjadi apabila salah saji dalam laporan
keuangan akan mempengaruhi keputusan para pemakai laporan itu, tetapi
laporan keuangan secara keseluruhan tetap disajikan secara wajar dan
karenanya masih berguna.
3. Jumlahnya sangat material dan begitu pervasif sehingga kewajaran
laporan keuangan secara keseluruhan diragukan
Tingkat materialitas tertinggi apabila pemakai mungkin akan membuat
keputusan yang tidak benar jika mereka mengandalkan laporan keuangan
secara keseluruhan.
2.1.6.2 Proses Penentuan Tingkat Materialitas
2.1.6.2.1 Pertimbangan Awal tentang Materialitas
Menurut Boynton (2002:330), auditor melakukan pertimbangan awal
tentang tingkat materialitas dalam perencanaan auditnya. Penentuan materialitas
ini seringkali disebut dengan materialitas perencanaan, yang mungkin dapat
Page 35
47
berbeda dengan tingkat materialitas yang digunakan pada saat pengambilan
kesimpulan audit dan dalam mengevaluasi temuan audit karena keadaan yang
melingkupi berubah dan informasi tambahan tentang klien dapat diperoleh
selama berlangsungnya audit.
Berdasarkan International Standard Auditing (ISA) sebagai langkah
awal dalam menentukan materialitas untuk laporan keuangan secara
keseluruhan, persentase tertentu sering kali diterapkan pada suatu tolok ukur
yang telah dipilih. Penetuan materialitas terhadap objek sebagaimana
diungkapkan oleh Gordeeva (2011:43) merupakan pertimbangan profesional
yang benar mengenai suatu item, transaksi atau peristiwa sangat penting bagi
akuntan dalam menentukan materialitas dan itu tergantung pada berbagai
pengukuran kuantitatif dan kualitatif seperti keadaan, jenis, ukuran, basis
agregat dan lain-lain.
Berikut merupakan pertimbangan kuantitatif dan kualitatif yang
dilakukan oleh auditor dalam mempertimbangkan materialitas (Mulyadi,
2002:159):
1. Pertimbangan Kuantitatif
Pertimbangan kuantitatif berkaitan dengan hubungan salah saji dengan
jumlah kunci tertentu dalam laporan seperti laba bersih sebelum pajak
dalam laporan keuangan, total aktiva dalam neraca, total aktiva lancar
dalam neraca, serta total ekuitas pemegang saham dalam neraca.
Page 36
48
Menurut Boynton (2002:332) yang diterjemahkan oleh Rajoe
dkk. mengungkapkan tentang ukuran kuantitatif dengan gambaran
beberapa pedoman yaitu:
a. 5% hingga 10% dari laba bersih sebelum pajak (10% untuk laba
yang lebih kecil, 5% untuk laba yang lebih besar)
b. ½ % hingga 1% dari total aktiva
c. 1% dari total ekuitas
d. ½ % hingga 1% dari pendapatan kotor
e. Suatu presentase variabel berdasarkan nama yang lebih besar
antara total aktiva atau total pendapatan.
Penilaian kuantitatif terhadap materialitas menurut Gordeeva
(2011:43) yaitu:
“Quantitative method is based on historical data of financial
and non financial variables. This approach involves the setting
and application of numerical benchmarks for assessing in
quantitative terms whether the item is material or not.”
Dari pengertian di atas, metode kuantitatif didasarkan pada data
historis dari variabel keuangan dan non keuangan. Pendekatan ini
melibatkan pengaturan dan penerapan perbandingan numerik untuk
menilai secara kuantitatif apakah item tersebut material atau tidak.
2. Pertimbangan Kualitatif
Pertimbangan kualitatif berkaitan dengan penyebab salah saji. Faktor
kualitatif tersebut diantaranya seperti:
Page 37
49
a. Kemungkinan terjadinya pembayaran yang melanggar hukum.
b. Kemungkinan terjadinya kecurangan.
c. Syarat yang tercantum dalam perjanjian penarikan kredit dari
bank yang mengharuskan klien untuk mempertahankan
beberapa rasio keuangan pada tingkat minimum tertentu.
d. Adanya gangguan dalam trend laba.
e. Sikap manajemen terhadap integritas laporan keuangan.
Penilaian kualitatif menurut Boynton (2002:333) yang
diterjemahkan oleh Rajoe dkk yaitu :
“Pertimbangan kualitatif berhubungan dengan penyebab salah
saji yang secara kuantitatif tidak material mungkin secara
kualitatif akan material yang dapat diakibatkan oleh suatu
ketidakberesan (irregulerities) atau tindakan melanggar hukum
oleh klien.”
Sedangkan menurut Joldos et al. (2010:279) mengenai penilaian
kualitatif:
“Qualitative factors in determining materiality of influence are
the auditor’s experience characteristics (e.g: knowledge,
dependence on fess etc.), professional experience, other
personal characteristics (e.g: age, innate ability, mood, etc).”
Dari pernyataan tersebut dijelaskan bahwa metode kualitatif
digunakan untuk menilai materialitas berdasarkan pertimbangan
profesional seorang auditor atau akuntan yang terdiri dari penilaian
individu. Selain pertimbangan profesional untuk menilai materialitas,
karakteristik pengalaman, pengalaman profesional, dan karakteristik
Page 38
50
individu lainnya dapat diterapkan dalam metode kualitatif saat
menentukan tingkat materialitas.
2.1.6.2.2 Materialitas pada Tingkat Laporan Keuangan
Dalam perencanaan audit, auditor harus menyadari bahwa terdapat
lebih dari satu tingkat materialitas yang berkaitan dengan laporan keuangan.
Dalam kenyataannya, setiap laporan keuangan dapat memiliki lebih dari satu
tingkat materialitas. Untuk laporan laba-rugi, materialitas dapat dihubungkan
dengan total pendapatan, laba bersih usaha, laba sebelum pajak, atau laba bersih
setelah pajak. Untuk neraca, materialitas dapat didasarkan pada total aktiva,
aktiva lancar, modal kerja, atau modal saham (Mulyadi, 2002:162).
2.1.6.2.3 Materialitas pada Tingkat Saldo Akun
Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang
mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material.
Dalam mempertimbangkan materialitas pada tingkat saldo akun, auditor harus
mempertimbangkan hubungan antara materialitas pada tingkat saldo akun dan
materialitas pada tingkat laporan keuangan. Pertimbangan ini mengarahkan
auditor untuk merencanakan audit guna mendeteksi salah saji yang mungkin
tidak material secara individual, tetapi apabila diagregasi dengan salah saji pada
saldo akun lainnya, mungkin akan material terhadap laporan keuangan secara
keseluruhan (Mulyadi, 2002:162).
Page 39
51
2.1.6.2.4 Alokasi Materialitas Laporan Keuangan ke Akun
Bila pertimbangan awal auditor tentang materialitas laporan keungan
dikuantifikasikan, penaksiran awal tentang materialitas untuk setiap akun dapat
diperoleh dengan mengalokasikan materialitas laporan keuangan ke akun secara
individual. Pengalokasian dapat dilakukan baik pada akun-akun neraca maupun
akun-akun laba rugi. Dalam membuat alokasi, auditor harus
mempertimbangkan kemungkinan salah saji dalam akun dan biaya yang
mungkin untuk menguji akun tersebut. Selain itu, analisis akhir sangat
bergantung pada pertimbangan subjektif dari auditor berkenaan dengan jumlah
kekeliruan yang akan mempengaruhi keputusan pemakai laporan keuangan
(Mulyadi, 2002:164).
2.1.6.3 Langkah-Langkah dalam Menerapkan Materialitas
Menurut Arens et al. (2012:319) langkah-langkah dalam menetapkan
materialitas mencakup lima langkah seperti berikut:
1. Menetapkan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas (preliminary
judgement about materiality)
Pertimbangan pendahuluan tentang materialitas adalah jumlah maksimum
yang membuat auditor yakin bahwa laporan keuangan akan salah saji
tidak mempengaruhi keputusan para pemakai yang bijaksana. Auditor
menetapkan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas untuk
membantu merencanakan pengumpulan bukti yang tepat. Semakin rendah
Page 40
52
nilai uang pertimbangan pendahuluan ini, semakin banyak bukti audit
yang dibutuhkan.
Auditor seringkali mengubah pertimbangan pendahuluan tentang
materialitas yang disebut dengan pertimbangan tentang materialitas yang
direvisi (revised judgement about materiality). Hal ini terjadi karena
auditor memutuskan bahwa pertimbangan pendahuluan terlalu besar atau
terlalu kecil.
2. Mengalokasikan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas ke
segmen-segmen (salah saji yang dapat ditoleransi)
Hal ini perlu dilakukan karena auditor mengumpulkan bukti per segmen
dan bukan untuk laporan keuangan secara keseluruhan yang nantinya akan
membantu auditor dalam memutuskan bukti audit yang tepat yang harus
dikumpulkan. Ketika auditor mengalokasikan pertimbangan materialitas
ke saldo akun, materialitas yang dialokasikan ke saldo akun tertentu
disebut sebagai salah saji yang dapat ditoleransi (tolerable misstatement).
3. Mengestimasi total salah saji dalam segmen
Salah saji yang diketahui (known misstatement) adalah salah saji dalam
akun yang jumlahnya dapat ditentukan oleh auditor. Salah saji yang
mungkin (likely misstatement) terbagi menjadi dua jenis yaitu salah saji
yang berasal dari perbedaan antara pertimbangan manajemen dan auditor
tentang estimasi saldo akun.
Page 41
53
4. Memperkirakan salah saji gabungan
Jumlah salah saji yang diproyeksikan dalam langkah ketiga untuk setiap
akun kemudian digabungkan dalam kertas kerja.
5. Membandingkan salah saji gabungan dengan pertimbangan pendahuluan
atau yang direvisi tentang materialitas.
Langkah terakhir yaitu gabungan salah saji yang mungkin dibandingkan
dengan materialitas awal.
Sedangkan, menurut Tuanakotta (2015:6), dalam melaksanakan proses
audit, auditor berupaya memperoleh keyakinan yang memadai bahwa laporan
keuangan yang diauditnya bebas dari salah saji yang material, baik yang
disebabkan oleh kekeliruan/kesalahan (error) maupun oleh
manipulasi/kecurangan (fraud).
Auditor memperoleh keyakinan melalui pengumpulan bukti audit yang
cukup dan tepat untuk mengurangi risiko audit ke tingkat rendah yang dapat
diterima. Risiko audit merupakan risiko bahwa auditor menyatakan opini yang
tidak tepat ketika terdapat salah saji material dalam laporan keuangan. Selain
risiko audit, dalam pelaksanaan audit, auditor perlu mempertimbangkan tingkat
materialitas karena risiko audit dan materialitas selalu berhubungan.
Menurut Tuanakotta (2015:125), materialitas yang diterapkan dalam
proses audit memiliki tiga tahap yaitu pada tahap penilaian risiko, menanggapi
risiko dan pelaporan.
Page 42
54
Tabel 2.2 Materialitas Dalam Proses Audit
Tahap Auditor Melaksanakan
Risk Assessment (
Penilaian Risiko)
Menentukan dua macam materialitas yaitu
materialitas untuk laporan keuangan secara
menyeluruh dan performance materiality
(materialitas pelaksanaan),
Merencanakan prosedur penilaian risiko apa
yang harus dilaksanakan,
Mengidentifikasi dan menilai risiko salah saji.
Risk Response
(Menanggapi Risiko)
Menentukan sifat (nature), waktu (timing), dan
luasnya (extent) prosedur audit selanjutnya
(further audit procedures),
Merevisi angka materialitas karena adanya
perubahan situasi (change in circumstances)
selama audit berlangsung.
Reporting (Pelaporan)
Mengevaluasi salah saji yang belum dikoreksi
oleh entitas itu,
Merumuskan pendapat auditor.
Sumber : Tuanakotta (2015:125)
Selain itu, terdapat dua tingkat konsep materialitas yaitu tingkat laporan
keuangan secara menyeluruh (financial statement level) dan tingkat saldo akun,
jenis transaksi, dan pengungkapan (account balance, transactions, and
disclosures level). Dari kedua tingkat materialitas tersebut terdapat empat konsep
materialitas yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Page 43
55
1. Overall Materiality
Overall Materiality didasarkan atas apa yang layaknya diharapkan
berdampak terhadap keputusan yang dibuat pengguna laporan keuangan.
Jika auditor memperoleh informasi yang menyebabkan ia menentukan
maka angka materialitas yang berbeda dari yang ditetapkannya semula,
maka angka materialitas semula harus direvisi.
2. Overall Performance Materiality
Performance Materiality ditetapkan lebih rendah dari overall materiality.
Performance materiality memungkinkan auditor menanggapi penilaian
risiko tertentu (tanpa mengubah overall materiality) dan menurunkannya
ke tingkat yang lebih rendah (appropriately low level), dan jika
probabilitas salah saji yang tidak dikoreksi dan salah saji yang tidak
terdeteksi secara agregat (aggregate of incorrected and undetected
misstatement) melampaui overall materiality, maka performance
materiality perlu diubah berdasarkan temuan audit yang didapatnya.
3. Specific Materiality
Specific materiality untuk jenis transaksi, saldo akun atau disclosures
tertentu di mana jumlah salah sajinya akan lebih rendah dari overall
materiality.
Page 44
56
4. Specific Performance Materiality
Specific performance materiality ditetapkan lebih rendah dari specific
materiality. Hal ini memungkinkan auditor menanggapi penilaian risiko
tertentu dan mempertimbangkan kemungkinan adanya salah saji yang
tidak terdeteksi dan salah saji yang tidak material, yang secara agregat
dapat berjumlah material.
2.1.6.4 Keputusan Mengenai Materialitas
Pertimbangan dalam menetapkan materialitas bukan merupakan
pekerjaan yang mudah. Selain itu, terdapat beberapa perbedaan dalam
menerapkan materialitas dalam setiap penugasan. Menurut Siti dan Ely (2013:90-
92) perbedaan-perbedaan diantaranya yaitu:
1. Keputusan material dalam hubungannya dengan prinsip akuntansi yang
berlaku umum
Aspek materialitas harus dipertimbangkan dalam menentukan pemberian
pendapat auditor. Manajemen yang tidak menerapkan prinsip akuntansi yang
berlaku umum dalam penyajian laporan keuangan, auditor dapat memberikan
pendapat wajar tanpa pengecualian, wajar dengan pengecualian, atau tidak
wajar tergantung kepada materialitas penyimpangan tersebut.
Cara yang lazim digunakan untuk mengukur materialitas, jika manajemen
menyimpang dari prinsip akuntansi yang berlaku umum:
Page 45
57
a. Jumlah rupiah dan tolok ukurnya
Membandingkan nilai uang dari salah saji, dengan tolok ukur (dasar
ukuran) tertentu. Tolok ukur yang lazim adalah laba bersih, jumlah aktiva
lancar dan modal kerja.
b. Daya ukur
Tidak semua salah saji diukur dengan nilai uang. Contoh klien tidak
mengungkapkan adanya gugatan hukum. Materialitas tidaknya kondisi
tersebut harus dianalisa lebih lanjut oleh auditor.
c. Sifat salah saji
Salah saji dapat mempengaruhi keputusan pemakai laporan keuangan.
Sifat saji yang dapat memengaruhi laporan auditor adalah sebagai berikut.
1) Transaksi yang melanggar hukum
2) Pos yang akan mempengaruhi perhitungan masa depan
3) Hal yang menimbulkan aspek psikis (laba kecil versus kerugian kecil)
4) Pelanggaran persyaratan perjanjian
2. Keputusan material dalam hubungannnya dengan pembatasan lingkup audit
Pada umumnya lebih sulit untuk menentukan tingkat materialitas dari salah
saji yang diakibatkan adanya pembatasan lingkup audit daripada pelanggaran
prinsip akuntansi yang berlaku umum. Kesalahan yang berasal dari
pembatasan ruang lingkup audit biasanya diukur secara subjektif untuk
melihat kemungkinan timbulnya salah saji.
Page 46
58
2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Tabel 2.3
Penelitian Terdahulu
No Peneliti Judul Variabel Hasil Penelitian Perbedaan Penelitian Persamaan
Penelitian
1. Bowlin,
Kendall
O. et al.
(2012)
The
Effects of
Auditor
Rotation,
Professio
nal
Skeptisis
m, and
Interactio
ns with
Manager
s on
Audit
Quality
Variabel
Independen
(X):
auditor
rotation,
assessment
frame
(honesty
frame vs.
skeptisism/di
shonesty),
interaction
with
managers
Variabel
dependen
(Y):
Low effort
audit
Penelitian yang
dilakukan oleh Kendall
menunjukkan bahwa
auditor rotation,
assessment frame
(honesty frame vs.
skeptisism/dishonesty),
interaction with
managers
memiliki pengaruh
terhadap low effort
audit.
Penelitian yang
dilakukan oleh Kendall
menggunakan variabel
auditor rotation,
assessment frame
interaction with
managers sedangkan
penilaian ini tidak.
Penelitian yang dilakukan
Kendall menguji variabel
bebas terhadap low effort
audit.
Penelitian ini
sama-sama
menggunakan
skeptisme
profesional sebagai
variabel
independen
Page 47
59
No Peneliti Judul Variabel Hasil Penelitian Perbedaan Penelitian Persamaan
Penelitian
2. Brown-
Liburd,
Helen L.
et al. (J
Bus
Ethics
(2013)
116:311-
325)
The
Effects of
Earnings
Forecast
and
Heighten
ed
Professio
nal
Skeptisis
m on the
Outcome
s of
Client-
Auditor
Negotiati
on
Variabel
Independen:
Earnings
Forecast and
Heightened
Professional
Skeptisism
Variabel
dependen:
Auditor
Negotiation
Penelitian yang
dilakukan oleh Helen
menunjukkan bahwa
Professional Skeptisism
memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap hasil
Auditor Negotiation sedangkan
earnings forecast tidak
memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap hasil
auditor
negotiation. Namun
terdapat hubungan yang
signifikan antara
earnings forecast dan
professional skeptisism
Penelitian yang dilakukan
oleh Helen menguji
pengaruh variabel
independen terhadap hasil
Auditor Negotiation
sedangkan penelitian ini
tidak.
Penelitian yang dilakukan
Helen menggunakan
earnings forecast sebagai
variabel independen
sedangkan penelitian ini
tidak.
Penelitian yang dilakukan
oleh Helen merupakan
penelitian eksperimental
sedangkan penelitian ini
tidak.
Penelitian ini
sama-sama
dilakukan pada
auditor.
Penelitian ini
sama-sama
menggunakan
professional
skeptisism sebagai
variabel
independen.
3. Keune,
Marsha
B. et al.
(Jurnal
Vol. 87
No. 5
Tahun
2012)
Materiali
ty
Judgment
s and the
Resolutio
n of
Detected
Misstate
ments:
Variabel
independen
(X):
Analyst
following, fee
audit, audit
committee
characteristi
c
Penelitian yang
dilakukan oleh Marsha
menunjukan bahwa
analyst following
memiliki pengaruh
positif terhadap
materiality judgments
and the resolution of
detected misstatements
Penelitian yang dilakukan
oleh Marsha
menggunakan data
sekunder sedangkan
penelitian ini tidak.
Penelitian yang dilakukan
oleh Marsha mengunakan
Analyst following, fee
audit, audit committee
Penelitian ini
sama-sama
menguji pengaruh
variabel
independen
terhadap
materialitas
laporan keuangan.
Page 48
60
No Peneliti Judul Variabel Hasil Penelitian Perbedaan Penelitian Persamaan
Penelitian
The Role
of
Manager
s,
Auditors,
and Audit
Committe
es
Variabel
dependen
(Y):
Materiality
Judgments
and the
Resolution of
Detected
Misstatement
s
secara kualitatif.
Sedangkan audit fees
memiliki pengaruh
negatif terkait dengan
materiality judgments
and the resolution of
detected misstatements
secara kualitatif. Selain
itu, penelitian tersebut
menunjukan bahwa
audit commitee
dengan keahlian
keuangan yang lebih
besar cenderung untuk
melepaskan materiality
judgments and the
resolution of detected
misstatements
dibandingkan dengan
audit commitee
dengan keahlian
kurang.
characteristic sebagai
variabel independen
sedangkan penelitian ini
tidak.
4. Jeffrey J.
McMilla
n et al.
(1993)
Auditors’
Belief
Revisions
and
Evidence
Variabel
independen:
Hypothesis
frame,
evidence
Penelitian yang
dilakukan oleh Jeffrey
menunjukan bahwa
hypothesis frame
berpengaruh signifikan
Penelitian yang dilakukan
oleh Jeffrey
menggunakan belief
revision sebagai variabel
dependen sedangkan
Penelitian yang
dilakukan oleh
Jeffrey sama-sama
dilakukan kepada
Akuntan Publik.
Page 49
61
No Peneliti Judul Variabel Hasil Penelitian Perbedaan Penelitian Persamaan
Penelitian
Search:
The
Effect oh
Hypothes
is Frame,
onfirmati
on Bias
and
Professio
nal
Skeptisis
m
direction,
experience
level,
likelihood
assessment
Variabel
dependen:
Belief
revision
pada belief revision,
evidence direction
memiliki pengaruh
tidak signifikan
terhadap belief revision
dan jenis dari
penambahan bukti yang
dipilih.
penelitian ini tidak.
Penelitian yang dilakukan
oleh Jeffrey
menggunakan Hypothesis
frame, evidence direction,
experience level,
likelihood assessment
sedangkan penelitian ini
tidak.
Penelitian yang dilakukan
oleh Jeffrey
menggunakan metode
eksperimental, sedangkan
penelitian ini tidak.
Penelitian ini
sama-sama
mengandung
pembahasan
megenai skeptisme
profesional.
5. Fullerton,
Rosemar
y R. dan
Cindy
Durtschi
(2004)
The
Effect Of
Professio
nal
Skeptisis
m On The
Fraud
Detection
Skills Of
Internal
Auditors
Variabel
independen:
Professional
Skeptisism
Variabel
dependen:
Fraud
Detection
Skills
Penelitian yang
dilakukan oleh
Rosemary dan Cindy
menunjukan bahwa
auditor internal dengan
peringkat skeptisme
profesional yang tinggi
memiliki keinginan
signifikan lebih besar
dalam mendeteksi
kecurangan.
Penelitian yang dilakukan
oleh Rosemary dan Cindy
dilakukan kepada auditor
internal sedangkan
penelitian ini dilakukan
kepada auditor eksternal.
Penelitian yang dilakukan
oleh Rosemary dan Cindy
dilakukan untuk menguji
pengaruh skeptisme
profesional terhadap
Penelitian ini
sama-sama
menggunakan
skeptisme
profesional sebagai
variabel
independen.
Page 50
62
No Peneliti Judul Variabel Hasil Penelitian Perbedaan Penelitian Persamaan
Penelitian
kemampuan mendeteksi
kecurangan sedangkan
penelitian ini tidak.
6. Martinov
-Bennie,
Nonna
dan Gary
Pfugrath
(Journal
of
business
ethics
(2009) )
The
Strength
of an
Accounti
ng Firm’s
Ethical
Environm
ent and
the
Quality
of
Auditors’
Judgment
s
Variabel
independen:
The stronger
etichal
environment,
experience
auditor
Variabel
dependen:
Quality of
auditors’
judgement
Penelitian yang
dilakukan oleh Nonna
dan Gary menunjukan
bahwa The stronger
etichal environment
tidak memiliki
pengaruh terhadap
quality of auditors’
judgement, sedangkan
experience auditor
memiliki pengaruh
signifikan terhadap
quality of auditors’
judgement.
Objek penelitian yang
dilakukan oleh Nonna
dan Gary yaitu Kantor
Akuntan di Sydney dan
Melbourne sedangkan
penelitian ini dilakukan
kepada Kantor Akuntan
Publik Wilayah Jawa
Barat
Penelitian yang dilakukan
oleh Nonna dan Gary
menggunakan the
stronger etichal
environment sedangkan
penelitian ini tidak.
Penelitian ini
sama-sama
dilakukan kepada
auditor.
Penelitian ini
sama-sama
menggunakan
pengalaman
auditor sebagai
variabel
independen.
7. Enofe,
DR. A.
O. et al.
(2015)
The
Effect Of
Accounti
ng Ethics
In
Improvin
g
Auditor
Professio
Variabel
independen:
Accounting
ethics,
auditor-client
tenure, audit
fee,
experience
auditor
Penelitian yang
dilakukan Enofe et al.
menunjukkan bahwa
auditor-client tenure,
audit fee memiliki
pengaruh negatif
terhadap professional
skeptisism, sedangkan
experience auditor
Penelitian yang dilakukan
oleh Enofe et al.
dilakukan pada Kantor
Akuntan Publik di
Nigeria sedangkan
penelitian ini tidak.
Metode pengambilan
sampel menggunakan
metode random sampling,
Penelitian yang
dilakukan oleh
Enofe et al. sama-
sama
menggunakan
variabel skeptisme
auditor.
Penelitian ini
sama-sama
Page 51
63
No Peneliti Judul Variabel Hasil Penelitian Perbedaan Penelitian Persamaan
Penelitian
nal
Skeptisis
m
Variabel
dependen:
Professional
skeptisism
memiliki pengaruh
positif terhadap
professional skeptisism
auditor.
sedangkan penelitian ini
menggunakan purposive
sampling.
dilakukan kepada
auditor eksternal
pada Kantor
Akuntan Publik.
8. Dali,
Nasrullah
dan
Arifuddin
Mas’ud
(Internati
onal
Journal
of
Business
and
Manage
ment
Invention
Vol. 3
No. 10
Oktober
Tahun
2014)
The
Impact of
Professio
nalism,
Locus of
Control,
and Job
Satisfacti
on on
Auditors'
Performa
nce:
Indonesia
n
Evidence
Variabel
independen:
Professionali
sm and locus
of control
Variabel
dependen:
Job
satisfaction
and
performance
of auditors
Penelitian yang
dilakukan oleh
Nasrullah dan Arifudin
menunjukan bahwa
Professionalism and
locus of control
memiliki pengaruh
positif dan signifikan
terhadap job
satisfaction, sedangkan
antara job satisfaction
and performance of
auditors memiliki
hubungan positif dan
signifikan.
Penelitian yang dilakukan
oleh Nasrullah dan
Arifudin dilakukan
kepada aparat
pengawasan intern
pemerintah (APIP)
sedangkan penelitian ini
dilakukan kepada akuntan
publik.
Penelitian yang dilakukan
oleh Nasrullah dan
Arifudin dilakukan di
Kantor Inspektorat
sedangkan penelitian
dilakukan di Kantor
Akuntan Publik.
Penelitian ini
sama-sama
menggunakan
profesionalisme
sebagai variabel
independen
9. Castro,
Gloria S.
Internal
Auditors
Variabel
independen:
Internal
Penelitian yang
dilakukan oleh Gloria
menunjukan bahwa
Penelitian yang dilakukan
oleh Gloria dipandang
dari segi auditor internal
Penelitian yang
dilakukan oleh
Gloria sama halnya
Page 52
64
No Peneliti Judul Variabel Hasil Penelitian Perbedaan Penelitian Persamaan
Penelitian
(2013) Skeptisis
m In
Detecting
Fraud: A
Quantitat
ive Study
Auditors
Skeptisism
Variabel
dependen:
Detecting
Fraud
tingkat skeptisme
profesional yang tinggi
tidak selalu menjamin
bahwa auditor internal
dapat mendeteksi risiko
kecurangan ketika
berhadapan dengan red
flags.
sedangkan penelitian ini
dari segi auditor
eksternal.
Penelitian yang dilakukan
Gloria meneliti mengenai
pendeteksian kecurangan
sedangkan penelitian ini
tidak.
dengan penelitian
ini yaitu
menggunakan
skeptisme
profesional sebagai
variabel
independen.
Teknik
pengambilan
sampel yang
digunakan adalah
non-probabilistik
sampling.
10. Alwee
Sayed,
Hussnie
Sayed
Hussin,
Takiah
Mohd.
Iskandar,
Norman
Mohd
Saleh,
Romlah
Jaffar
The
Effect Of
Skeptisis
m,
Auditor's
Experien
ce And
Control
Environm
ent
Towards
Fraud
Detection
Variabel
independen:
Profesional
skeptisism,
experience
auditor, and
control
environment
Variabel
dependen:
Fraud
detection
Penelitian yang
dilakukan oleh Sayed et
al. menunjukan bahwa
interaksi lingkungan
tidak berpengaruh
signifikan terhadap
skeptisme dan
pendeteksian
kecurangan.
Penelitian yang dilakukan
oleh Sayed et al.
menggunakan lingkungan
pengendalian sebagai
variabel independen
sedangkan penelitian ini
tidak.
Objek penelitian yang
dilakukan oleh Sayed et
al. disebutkan pada audit
internasional.
Penelitian yang
dilakukan oleh
Sayed et al.
menggunakan
skeptisme dan
pengalaman
auditor sebagai
variabel
independen, sama
halnya dengan
penelitian ini.
Penelitian ini
menggunakan
objek penelitian
Page 53
65
No Peneliti Judul Variabel Hasil Penelitian Perbedaan Penelitian Persamaan
Penelitian
(Malaysi
a, 2010)
yang sama yaitu
kepada auditor
eksternal.
11. Gaballa,
Azza and
Zhou
Ning
(Internati
onal
Converce
on
Business
and
Economi
c)
An
Analytica
l Study of
Effect of
Experien
ce on the
External
Variabel
Independ
en:
Experien
ce
Auditor
Variabel
dependen
:
Performa
nce
Auditor
Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Gaballa
dan Ning menunjukkan
bahwa pengalaman
memiliki pengaruh
yang signifikan
terhadap kinerja auditor
untuk mengkonfigurasi
pengalaman auditor
yang mempengaruhi
fungsi audit.
Penelitian yang dilakukan
oleh Gaballa dan Ning
menggunakan
performance auditor
sebagai variabel
dependen.
Penelitian ini
sama-sama
dilakukan kepada
auditor eksternal.
Penelitian ini
sama-sama
menggunakan
variabel
independen
pengalaman
auditor.
Page 54
66
2.3 Kerangka Pemikiran
2.3.1 Hubungan antara Profesionalisme Auditor dengan Ketepatan
Pertimbangan Tingkat Materialitas Audit Laporan Keuangan
Menurut Hall R. (1968) yang juga dikembangkan oleh Emmy (2015)
mengungkapkan bahwa profesionalisme auditor merupakan sikap dan perilaku
seorang auditor dalam menjalankan profesinya dengan kesungguhan dan tanggung
jawab agar mencapai kinerja tugas sebagaimana yang diatur dalam organisasi
profesi, yang meliputi (1) pengabdian pada profesi, (2) kewajiban sosial, (3)
kemandirian, (4) kepercayaan terhadap peraturan profesi, dan (5) hubungan dengan
rekan seprofesi.
Menurut Napoca (2012) pendekatan profesional memiliki tingkat
kompleksitas yang tinggi, hal ini diungkapkan juga oleh sebagian besar penelitian
dari literature khusus, yang mana pendekatan profesional ini memfokuskan pada
keragaman berbagai faktor yang mempengaruhi substansi dari pertimbangan
profesional dan proses pengambilan keputusan.
Untuk dapat melaksanakan pekerjaan secara profesional, maka auditor harus
membuat perencanaan audit sebelum memulai proses audit. Dalam mempersiapkan
rencana audit, auditor memerlukan tingkat yang dapat diterima dari materialitas
sehingga dapat mendeteksi distorsi signifikan dari perspektif kuantitatif. Namun
demikian, baik nilai (kuantitas) dan sifat (kualitas) dari distorsi harus
diperhitungkan (Joldos et al., 2010).
Page 55
67
Menurut International Federation of Accountants (IFAC) menjelaskan
bahwa materialitas adalah:
“Misstatements, including omissions, are considered to be material if they,
individually or in the aggregate, could reasonably be expected to influence
the economic decisions of users taken on the basis of the financial statement
(ISA 320.2).”
Berdasarkan pernyataan di atas dijelaskan bahwa materialitas merupakan
kesalahan penyajian, termasuk penghilangan, dianggap material bila kesalahan
penyajian tersebut, secara individual atau agregat, diperkirakan dapat memengaruhi
keputusan ekonomi yang diambil berdasarkan laporan keuangan oleh pengguna
laporan keuangan tersebut.
Menurut Gordeeva (2011:43) materialitas sangat penting bagi tiga kelompok
pengguna yaitu pembuat laporan keuangan, auditor, dan pengguna laporan
keuangan. Keputusan materialitas tidak hanya dibuat oleh dua dari tiga kelompok
yaitu penyusun laporan keuangan dan auditor, namun penilaian dari pengguna
laporan keuangan merupakan pusat penentuan materialitas tersebut.
Gordeeva (2011:43) mengungkapkan juga bahwa pertimbangan profesional
yang benar mengenai suatu item, transaksi atau peristiwa sangat penting bagi
akuntan dalam menentukan materialitas dan itu tergantung pada berbagai
pengukuran kuantitatif dan kualitatif seperti keadaan, jenis, ukuran, basis agregat
dan lain-lain. Metode kualitatif dan kuantitatif dapat membantu meningkatkan
pertimbangan profesional para akuntan.
Page 56
68
Dari beberapa teori yang telah dikemukakan di atas, maka berdasarkan
penelitian yang dilakukan Napoca (2012) menyatakan bahwa penentuan tingkat
materialitas membutuhkan pertimbangan profesional auditor. Akuntan yang
profesional akan memiliki catatan disposisi yang positif dalam menentukan tingkat
materialitas yang tepat dengan konsesus tingkat rendah tentang keputusan yang
dikeluarkan, sedangkan keputusan auditor yang kurang konservatif atau kurang
berhati-hati (penggunaan nilai yang rendah untuk materialitas yang signifikan) akan
memiliki catatan disposisi negatif.
Gordeeva (2011:42) dalam penelitiannya pun menyatakan bahwa sikap
profesional auditor berpengaruh terhadap tingkat materialitas yang mana sikap
profesional auditor merupakan dasar dalam penentuan yang berkaitan dengan
tingkat materialitas dan salah saji yang dapat mempengaruhi keputusan ekonomi
bagi pengguna laporan keuangan. Penelitian ini mendukung penelitian yang
dilakukan oleh Luh Putu (2013), Emmy (2015), Arleen dan Yulius (2009), Angga
(2013), Kusuma (2012), Lestari (2014), dan Sinaga (2012).
2.3.2 Hubungan antara Skeptisisme Profesional Auditor dengan Ketepatan
Pertimbangan Tingkat Materialitas Audit Laporan Keuangan
Menurut ISA mendefinisikan bahwa skeptisisme adalah sikap seorang auditor
yang membuat asersi kritis, dengan pikiran yang selalu mempertanyakan akan
validitas bukti audit yang diperoleh dan waspada untuk mengaudit buktinya,
menyangkut yang bertentangan dan membawa pertanyaan tentang keandalan
Page 57
69
dokumen dan tanggapan terhadap pertanyaan dan informasi lainnya yang diperoleh
dari manajemen dan orang bertanggungjawab.
Hurtt dalam Alwee (2010) memberikan penjelasan mengenai skeptisisme
profesional dalam hal karakteristik skeptis, diantaranya yaitu questioning mind;
suspension of judgment; searching for knowledge; interpersonal understanding;
self-confidence; and self-determining.
Berdasarkan standar International Standard Auditing (ISA) dijelaskan bahwa:
“….while for financial statement audits and other assurance engagements
there is a need to consider the impact of qualitative factors when setting and
assessing materiality, quantitative thresholds are much more precise for
financial statement audits than for other assurance engagements. For
financial statement audits, examples of appropriate benchmarks and factors
that may impact the choice of a benchmark are provided (Moroney &
Trotman, 2012).”
Dari pernyataan di atas dijelaskan bahwa untuk audit laporan keuangan dan
penugasan jaminan lainnya ada kebutuhan untuk mempertimbangkan dampak dari
faktor-faktor kualitatif ketika mengatur dan menilai materialitas, ambang batas
kuantitatif jauh lebih tepat untuk audit laporan keuangan daripada penugasan
jaminan lainnya. Untuk audit laporan keuangan, contoh tolok ukur yang tepat dan
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pilihan patokan disediakan.
Dalam mempertimbangkan faktor-faktor kuantitatif maupun kualitatif,
seorang auditor diharuskan menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat
dan seksama karena kemahiran profesional seorang auditor mempengaruhi
ketepatan opini yang diberikannya. Seorang auditor yang menggunakan kemahiran
profesionalnya salah satunya adalah auditor yang skeptis.
Page 58
70
Seorang auditor yang skeptis, tentunya akan berusaha untuk mendapatkan
bukti audit yang cukup dan tepat. Sehingga semakin banyak bukti audit yang
dikumpulkan maka akan semakin mendukung opini atas laporan keuangan. Dalam
praktiknya, pengumpulan jumlah bukti audit akan berbanding terbalik dengan
tingkat materialitasnya. Jika auditor menetapkan jumlah yang rendah, maka lebih
banyak bahan bukti yang harus dikumpulkan daripada jumlah yang tinggi. Begitu
juga sebaliknya (Emmy, 2015).
Menurut Hurtt dalam Alwee (2013:12) mengatakan bahwa:
“An auditor who exhibits a higher level of professional skepticism is expected
to wait for more information to obtain sufficient basis for audit judgments.
The interpersonal understanding trait identifies the need to also consider the
human aspects of an audit when evaluating evidence.”
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa auditor yang memiliki tingkat
skeptisisme profesional yang tinggi dari diharapkan untuk menunggu informasi
lebih lanjut untuk memperoleh cukup dasar untuk penilaian audit. Pemahaman sifat
interpersonal mengidentifikasi kebutuhan untuk mempertimbangkan aspek manusia
dalam proses audit ketika mengevaluasi bukti.
Menurut Enofe (2015:2) menjelaskan bahwa skeptisisme profesional pada
umumnya mensyaratkan bahwa auditor tidak boleh percaya dokumen yang
disajikan oleh klien sampai ia melihat bukti bahwa mereka asli. Skeptisisme
profesional sangat penting di bidang-bidang audit yang melibatkan penilaian
manajemen yang signifikan atau transaksi di luar kegiatan usaha normal. Ketika
auditor tidak tepat menerapkan skeptisisme profesional, mereka mungkin tidak
Page 59
71
mendapatkan bukti yang cukup untuk mendukung pendapat mereka atau mungkin
tidak mengenali atau mengatasi situasi di mana laporan keuangan salah saji
material.
Menurut Erminta (2012) dalam penelitiannya mengatakan bahwa auditor
dituntut untuk melaksanakan skeptisisme profesionalnya sehingga auditor dapat
menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama, karena
kemahiran profesional seorang auditor mempengaruhi ketepatan opini yang
diberikannya. Dan ini menunjukkan bahwa secara tidak langsung skeptisisme
profesional mempengaruhi pertimbangan materialitas yang merupakan bagian dari
proses untuk menentukan opini audit. Pemberian opini akuntan harus didukung oleh
bukti audit kompeten yang cukup, dimana dalam mengumpulkan bukti audit,
auditor harus senantiasa menggunakan skeptisme profesionalnya yaitu sikap yang
mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara
kritis terhadap bukti audit (SPAP 2011; SA Seksi 230) agar diperoleh bukti-bukti
yang meyakinkan sebagai dasar dalam pemberian opini akuntan. Penelitian ini
mendukung penelitian yang dilakukan oleh Erminta (2013), Alif (2014) dan
Engelya (2014).
Page 60
72
2.3.3 Hubungan antara Pengalaman Auditor dengan Ketepatan Pertimbangan
Tingkat Materialitas Audit Laporan Keuangan
Gaballa dan Ning (2010:169) mengemukakan bahwa pengalaman profesional
mencerminkan kepemilikan auditor dengan stuktur pengetahuan yang
dikembangkan meliputi pengetahuan umum, yang merupakan fakta, teori dan
definisi yang disebutkan dalam pengetahuan yang terkait dengan penyelesaian
beberapa tugas. Selain itu, pengalaman merupakan salah satu penentu utama yang
mempengaruhi pada efisiensi kinerja profesional dalam praktik sehingga
pengalaman dapat meningkatkan kualitas kinerja auditor dalam tugas lapangan dan
praktik.
Menurut Emmy (2015) auditor yang mempunyai pengalaman yang berbeda,
akan berbeda pula dalam memandang dan menanggapi informasi yang diperoleh
selama melakukan pemeriksaan dan juga dalam memberi kesimpulan audit
terhadap obyek yang diperiksa berupa pemberian pendapat. Pada saat auditor
mempertimbangkan keputusan mengenai pendapat apa yang akan dinyatakan dalam
laporan audit, material atau tidaknya informasi, mempengaruhi jenis pendapat yang
akan diberikan oleh auditor.
Menurut Statement on Auditing Standards (SAS) No. 53 yang dikutip oleh
Tubbs (1992:785) mengatakan :
“…performance of auditing procedures during the audit may result in the
detection of conditionsor circumstances that should came the auditor to
consider whether material misstatement exist. If a condition or
circumstances differs adversely from the auditor’s expectation, the auditor
Page 61
73
needs to consider the reason for such a difference when such condition or
circumstances exist, the planned scope of audit procedures should be
reconsidered.”
Berdasarkan pernyataan di atas, kinerja prosedur audit selama audit dapat
mendeteksi kondisi atau keadaan yang seharusnya terhadap auditor untuk
mempertimbangkan salah saji material yang ada. Jika suatu kondisi atau keadaan
berbeda negatif dari harapan auditor, auditor perlu mempertimbangkan alasan untuk
perbedaan seperti ketika kondisi atau keadaan sebenarnya, ruang lingkup prosedur
audit yang direncanakan harus dipertimbangkan kembali oleh auditor.
Napoca (2012) mengungkapkan bahwa dalam menentukan materialitas itu
tergantung pada berbagai pengukuran kuantitatif dan kualitatif seperti keadaan,
jenis, ukuran, basis agregat dan lain-lain. Khusus untuk menguji pengaruh faktor-
faktor kualitatif pada pengukuran materialitas untuk menentukan tingkat
materialitas, maka ada beberapa elemen yang dapat dianalisis yaitu pengalaman
auditor dalam bidang yang dijalani, kebutuhan informasi pengguna laporan
keuangan, tujuan dan sikap manajemen perusahaan, hubungan dengan klien dan
posisi keuangan klien. Sehingga, berdasarkan pernyataan di atas, Napoca (2012)
dalam penelitiannya telah mengidentifikasi adanya pengaruh pengalaman auditor
dalam bidangnya dalam menentukan tingkat materialitas yang signifikan. Penelitian
tersebut mendukung penelitian yang dilakukan oleh Emmy (2015), Nyoman dkk.
(2014), Luh Putu (2013), Kusuma (2012), Ni Komang dkk. (2014), Lestari (2014),
dan Angga (2013).
Page 62
74
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
2.4. Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis yang ditarik dari kerangka pemikiran yang sudah dijelaskan
adalah sebagai berikut:
H1 : Profesionalisme auditor secara parsial berpengaruh positif terhadap
ketepatan pertimbangan tingkat materialitas audit laporan keuangan.
H2 : Skeptisisme profesional secara parsial berpengaruh positif terhadap
ketepatan pertimbangan tingkat materialitas audit laporan keuangan.
H3 : Pengalaman auditor secara parsial berpengaruh positif terhadap
ketepatan pertimbangan tingkat materialitas audit laporan keuangan.
Profesionalisme Auditor
Hall, R (1968)
Skeptisisme Profesional
Hurtt (2010)
Pengalaman Auditor
Napoca (2012)
Ketepatan
Pertimbangan Tingkat
Materialitas Audit
Laporan Keuangan (Y)
Mulyadi (2002)