4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Jantung Akut 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung akut menurut European Society of Cardiology (ESC), merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan kondisi kegagalan fungsi jantung dengan awitan yang cepat maupun perburukan dari gejala dan tanda dari gagal jantung (McMurray et al, 2012). Hal ini merupakan kondisi yang mengancam jiwa dan memerlukan perhatian medis yang segera dan biasanya berujung pada hospitalisasi (Gheorghiade dan Pang, 2009). Pada sebagian besar kasus, gagal jantung akut terjadi sebagai akibat perburukan pada pasien yang telah terdiagnosis dengan gagal jantung sebelumnya (baik gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang rendah/ heart failure with reduced ejection fraction (HF-REF), maupun pada gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang masih baik/ heart failure with preserved ejection fraction (HF-PEF) (McMurray et al, 2012). Presentasi klinis dari gagal jantung akut biasanya merefleksikan spektrum kondisi, dan klasifikasinya memiliki batasan-batasan. Pasien dengan gagal jantung akut biasanya datang dengan salah satu dari keenam kategori klinis berikut (Filippatos, 2007, Pfister dan Schneider, 2009): Perburukan atau dekompensasi dari gagal jantung kronis/ADHF: biasanya terdapat riwayat perburukan dari gagal jantung kronis dalam pengobatan, dan bukti dari kongesti sistemik dan pulmoner. Tekanan darah rendah saat masuk biasanya berhubungan dengan prognosis yang jelek. Edema paru akut: pasien biasanya datang dengan distress pernafasan, takipneu dan ortopneu, ronki basah halus sering ditemukan di seluruh lapang paru. Saturasi oksigen arterial biasanya <90% dengan udara ruangan sebelum diberkan terapi oksigen. Gagal jantung akut hipertensif: tanda dan gejala dari gagal jantung yang disertai peningkatan tekanan darah dan biasanya memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri yang masih baik. Terdapat bukti dari peningkatan tonus simpatis dan vasokonstriksi. Pasien mungkin dalam kondisi euvolemik atau hanya sedikit hipervolemik, dan datang dengan tanda-tanda kongestif paru tanpa disertai 4
23
Embed
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gagal Jantung Akut
2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut
Gagal jantung akut menurut European Society of Cardiology (ESC),
merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan kondisi kegagalan
fungsi jantung dengan awitan yang cepat maupun perburukan dari gejala dan tanda
dari gagal jantung (McMurray et al, 2012). Hal ini merupakan kondisi yang
mengancam jiwa dan memerlukan perhatian medis yang segera dan biasanya
berujung pada hospitalisasi (Gheorghiade dan Pang, 2009). Pada sebagian besar
kasus, gagal jantung akut terjadi sebagai akibat perburukan pada pasien yang telah
terdiagnosis dengan gagal jantung sebelumnya (baik gagal jantung dengan fraksi
ejeksi yang rendah/ heart failure with reduced ejection fraction (HF-REF), maupun
pada gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang masih baik/ heart failure with
preserved ejection fraction (HF-PEF) (McMurray et al, 2012).
Presentasi klinis dari gagal jantung akut biasanya merefleksikan spektrum
kondisi, dan klasifikasinya memiliki batasan-batasan. Pasien dengan gagal jantung
akut biasanya datang dengan salah satu dari keenam kategori klinis berikut
(Filippatos, 2007, Pfister dan Schneider, 2009):
Perburukan atau dekompensasi dari gagal jantung kronis/ADHF: biasanya
terdapat riwayat perburukan dari gagal jantung kronis dalam pengobatan, dan
bukti dari kongesti sistemik dan pulmoner. Tekanan darah rendah saat masuk
biasanya berhubungan dengan prognosis yang jelek.
Edema paru akut: pasien biasanya datang dengan distress pernafasan, takipneu
dan ortopneu, ronki basah halus sering ditemukan di seluruh lapang paru.
Saturasi oksigen arterial biasanya <90% dengan udara ruangan sebelum
diberkan terapi oksigen.
Gagal jantung akut hipertensif: tanda dan gejala dari gagal jantung yang disertai
peningkatan tekanan darah dan biasanya memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri
yang masih baik. Terdapat bukti dari peningkatan tonus simpatis dan
vasokonstriksi. Pasien mungkin dalam kondisi euvolemik atau hanya sedikit
hipervolemik, dan datang dengan tanda-tanda kongestif paru tanpa disertai
4
5
kongesti sistemik. Respons terhadap terapi medis biasanya cepat, dan tingkat
kematian dirumah sakit biasanya rendah.
Renjatan kardiogenik (cardiogenic shock) didefinisikan sebagai bukti adanya
hipoperfusi jaringan yang diinduksi oleh gagal jantung setelah dilakukannya
koreksi adekuat dari preload dan aritmia mayor. Biasanya renjatan kardiogenik
ditandai dengan penurunan tekanan darah (sistolik ≤90 mmHg, atau penurunan
cepat dari rerata tekanan arteri >30 mmHg) disertai dengan oliguria atau anuria
(<0.5 ml/kg /jam). Gangguan irama juga sering terjadi, dan bukti-bukti
hipoperfusi organ serta kongesti paru biasanya terjadi secara cepat.
Gagal jantung kanan teisolasi: ditandai dengan sindroma penurunan curah
jantung (low output syndrome) tanpa adanya kongesti paru dengan peningkatan
tekanan vena juguler, dengan atau tanpa hepatomegali dan tekanan pengisian
ventrikel kiri yang rendah.
Gagal jantung akut pada sindroma koroner akut: banyak pasien datang dengan
gambaran klinis gagal jantung akut namun diserai bukti-bukti laboratorium dari
sindroma koroner akut. Sekitar 15% pasien dengan sindroma koroner akut
memiliki tanda dan gejala gagal jantung akut, dan episode gagal jantung akut
tersebut biasanya berhubungan atau dipresipitasi oleh aritmia (bradikardia,
fibrilasi atrium atau takikardi venrikel).
2.1.2 Patogenesis Gagal Jantung Akut
Gagal jantung akut ditandai dengan abnormalitas hemodinamik dan
neurohormonal yang buruk dan mungkin diakibatkan atau sebagai akibat dari jejas
pada miokard dan atau ginjal. Abnormalitas tersebut mungkin dapat disebabkan
karena iskemia, hipertensi, atrial fibrilasi atau penyebab non kardiak lainnya
(seperti insufisiensi ginjal) atau sebagai akibat efek obat-obatan (Pfister dan
Schneider, 2009). Beberapa mekanisme pathogenesis gagal jantung akut
diantaranya adalah:
Kongesti. Peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri akan berakibat kongesti
pulmonal dan sistemik dengan atau tanpa curah jantung yang menurun
merupakan presentasi utama pada mayoritas pasien dengan gagal jantung akut
(Adams et al., 2005). Kongesti paru dapat didefinisikan sebagai hipertensi vena
pulmoner). Hal-hal tersebut, dapat saling dikombinasikan menjadi empat profil
hemodinamik yang terdiri dari basah atau kering dan hangat atau dingin (gambar 2)
(Stevenson dan Perloff, 1989).
14
Gambar 2.2. Profil hemodinamik sistemik pada pasien ADHF dan konsekuensinya pada hemodinamik
ginjal di SKR tipe 1 (Stevenson LW and JK, 1989). Gambar ini merupakan kombinasi profil hemodinamik
sistemik pada ADHF dengan mekanisme hemodinamik ginjal yang dapat menyebabkan SKR tipe 1 pada
masing-masing profilnya. Pada profil dingin, AKI dapat terjadi sebagai konsekwensi dari penurunan aliran
darah ginjal/ renal blood flow (RBF) ketika sistem autoregulasi gagal untuk mempertahankan laju filtrasi
glomerulus. Pada profil basah, peningkatan tekanan vena sentral akan meningkatkan tekanan vena ginjal,
yang akan mengurangi tekanan perfusi ginjal, meningkatkan tekanan interstisial ginjal, dan melawan
tekanan filtrasi sehingga menyebabkan kolaps tubulus. Pada profil hangat, walaupun perfusi sistemik
relatif terjaga, RBF berkurang secara diskonkordan, sebagai akibat gangguan autoregulasi (contoh:
penghambatan sistem RAA, aktivasi sistem saraf simpatis yang berlebihan), berkurangnya mekanisme
umpan balik tubuloglomerular (missal sebagai akibat dari obat anti inflamasi non steroid (OAINS)),
stenosis arteri ginjal atau kondisi predisposisi yang menyebabkan hilangnya nefron. Yang perlu dicatat,
gangguan atau berkurangnya autoregulasi mungkin memainkan peran kunci, yang berakibat penurunan
tekanan perfusi ginjal. Mengingat sebagian besar pasien ADHF memiliki hipertensi, jika SKR tipe 1 terjadi
sebagai akibat dari penurunan RBF (dan/ atau penurunan tekaknan perfusi ginjal), hal ini setidaknya
berkontribusi pada disfungsi autoregulator tubuh (Haase et al, 2013).
Acute kidney injury merupakan gabungan beberapa kondisi yang mempengaruhi
struktur dan fungsi ginjal. AKI didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal secara
tiba-tiba yang termasuk didalamnya, tapi tidak terbatas pada gagal ginjal akut. Hal
ini mencakup gejala klinis yang luas termasuk penyakit ginjal yang speisfik (misal,
nefritis interstisial akut, penyakit glomerular dan vasculitis ginjal akut), kondisi non
spesifik (misal, iskemia, cedera akibat toksik), dan gangguan patologi ekstra renal
(misal, azotemia prerenal dan nefropati obstruktif akut postrenal). Lebih dari satu
kondisi ini mungkin dapat terjadi secara bersamaan pada pasien yang sama, namun
yang lebih penting, bukti epidemiologis mendukung, walaupun kecil, AKI yang
reversibel, memiliki konsekwensi klinis yang penting, termasuk peningkatan risiko
kematian (Hoste et al, 2006). Lebih jauh, karena manifestasi dan konsekwensi klinis
Kering dan hangat
RBF secara diskonkordan
Disregulasi mikrovaskular
intrarenal
Basah dan hangat
tekanan vena ginjal
RBF secara diskonkordan
Gangguan autoregulasi
Kering dan dingin
RBF
Gangguan autoregulasi
Basah dan dingin
RBF
tekanan vena ginjal
Gangguan autoregulasi
Kongesti Paru Ya Tidak
Pe
rfu
si s
iste
mik
Bai
k Te
rgan
ggu
15
AKI dapat sangat mirip tanpa memandang etiologi, sindroma AKI mencakup baik
cedera langsung ke ginjal maupun gangguan akut pada fungsi ginjal (Kellum et al,
2012).
2.2.3. Definisi dan Staging AKI
Acute kidney injury merupakan masalah kesehatan yang sering ditemukan,
berbahaya dan berpotensi untuk disembuhkan. Walaupun hanya terjadi sedikit
penurunan fungsi ginjal sudah dapat memberikan prognosis yang buruk. Deteksi dini
AKI mungkin dapat meningkatkan keluaran pasien. Dua definisi AKI yang berdasar
kreatinin serum dan output urin (stratifikasi Risk, Injury, Failure, Loss and End state
renal disease (RIFLE) (gambar 2.3) dan kriteria menurut Acute Kidney Injury
Network (AKIN) (tabel 2.2)) telah diperkenalkan dan divalidasi (Mehta, et al, 2007).
Secara umum, AKI didefinisikan sebagai (1) peningkatan kreatinin serum ≥ 0.3
mg/dL (≥ 26.5μmol/L) dalam kurun waktu 48 jam atau (2) peningkatan kreatinin
serum ≥ 1,5 kali dari garis dasar, yang diketahui atau diasumsikan terjadi dalam
kurun waktu 7 hari terakhir, atau (3) volume urin ≤ 0,5 ml/kg/ jam selama 6 jam
(Kellum et al., 2012).
Tabel 2.2. Kriteria AKI menurut klasifikasi AKIN (Mehta, et al, 2007).
Stadium Kreatinin serum Urin output
1 1,5-1,9 kali dari awal Atau Peningkatan ≥0,3 mg/dL (≥26,5 μmol/ L)
<0,5 mL/kg/jam selama 6-12 jam
2 2,0-2,9 kali dari awal <0,5mL/kg/jam selama ≥12 jam
3 3,0 kali dari awal Atau Peningkatan kreatinin serum ≥ 4,0mg/dL (≥353,6 μmol/L) Atau Penggunaan renal replacement therapy/ CRRT Atau pada pasien <18 tahun, dengan penurunan eGFR hingga <35 mL/min per 1,73 m2
< 0,3 mL/kg/jam ≥12 jam Atau Anuria selama >12 jam
16
Gambar 2.3. Kriteria AKI menurut klasifikasi RIFLE (Kellum et al., 2012)
2.3. Manajemen gagal jantung akut: fokus pada loop diuretik
2.3.1. Loop diuretik
Obat-obatan diuretik berfungsi untuk mempengaruhi fisiologi ginjal untuk
meningkatkan produksi urin dan ekskresi sodium yang lebih bermakna (natriuresis).
Diuretik telah lama digunakan untuk manajemen gagal jantung simtomatik dengan
retensi cairan, sebagai tambahan terapi standar seperti ACEi. Dalam kasus
hipertensi, diuretik direkomendasikan untuk terapi lini pertama, terutama setelah
sebuah uji meta analisis menemukan bahwa diuretik dosis rendah merupakan terapi
paling efektif sebagai lini pertama untuk mencegah komplikasi kardiovaskuler
(Psaty, 2003).
Loop diuretik ditemukan pada tahun 1960an disaat para peneliti
mengembangkan obat pengganti yang lebih efektif bagi diuretik organik yang
mengandung merkuri. Furosemide, loop diuretik yang paling banyak digunakan di
Amerika Serikat, merupakan jenis diuretik yang pertama kali dikembangkan, yang
kemudian diikuti oleh bumetanide dan torsemide (Ernst, 2013). Derivat sulfonamide
ini merupakan loop diuretik paling standar untuk penatalaksanaan gagal jantung
kongestif berat, bahkan, furosemide mampu mengurangi sesak napas walalupun
belum terjadi diuresis dan hal ini dikarenakan adanya efek venodilatasi dan
penurunan preload (Oppie dan Kaplan, 2009).
Seluruh loop diuretik, bekerja dengan berikatan pada kotransporter Na+-K+-2Cl
pada bagian tebal lengkung Henle ascenden. Segmen ini bertanggung jawab untuk
mengkonsentrasikan urin, dan pengangkatan solute dari area ini akan menghasilkan
cairan interstisium medulla ginjal yang hipertonis, yang berfungsi sebagai kekuatan
osmotik sehingga akan terjadi reabsorrbsi air pada duktus kolektivus. Penghambatan
17
proses reabsorbsi dengan loop diuretik inilah yang akan mengganggu kemampuan
ginjal untuk menghasilkan urin terkonsentrasi yang menyebabkan natrium klorida
dan ion kalium tetap berada intralumen dan akan hilang didalam urin (Ernst, 2013).
Selain itu, furosemide memiliki efek venodilatasi yang bertujuan untuk mengurangi
preload pada gagal jantung kiri akut dalam waktu 5 hingga 15 menit, mekanisme
yang mendasari hal ini kemungkinan, terjadi akibat kejadian ikutan paska
vasokonstriksi reaktif (Oppie dan Kaplan, 2009).
2.3.2. Farmakokinetik
Seluruh loop diuretik secara umum berikatan dengan albumin serum (>95%),
dan sebagai konsekwensinya, untuk mendapat akses menuju tempat aksinya, loop
diuretik harus melalui sekresi aktif meuju lumen tubulus melalui transporter anion
organik probenecid-sensitif yang berlokasi di tubulus proksimal. Proses ini
mungkin akan menjadi lambat pada kondisi dimana terjadi peningkatan asam
organik endogen seperti pada GGK dan penggunaan obat-obatan yang juga
mengginakan transporter yang sama, diantaranya salisilat dan OAINS (Ernst,
2013).
Bioavailabilitas, waktu paruh, dan rute metabolism berbeda antara masing-
masing duretik lengkung Henle yang tersedia. Furosemide, yang paling banyak
digunakan, memiliki profil farmakokinetik yang kurang baik diantara loop diuretik
yang lain, absorbsinya bervariasi diantara 10-100% dan penggunaan bersamaan
dengan makanan akan lebih menurunkan bioavailabilitasnya, sangat berbeda bila
dibandingkan absorbsi bumetanide dan torsemide yang mampu mencapai 80-
100%. Furosemide memiliki permulaan aksi yang cepat dengan waktu paruh
sekitar 1,5 jam. Respons terapi akan terjadi dalam hitungan menit etelah pemberian
intravena, sedangkan furosemide peroral respons puncaknya terjadi pada 30-90
menit. Efek diuresis akan berlanjut hingga 2-3 jam dan bertahan hingga 6 jam.
Karena aksinya yang singkat, pada pemberian loop diuretik dapat terjadi periode
antinatriuresis yang signifikan setelah bioavailabilitasnya lebih rendah dibanding
ambang batas dosis untuk memicu diuresis. Kejadian rebound retensi natrium
paska dosis inilah yang menyebabkan furosemide dan bumetanide harus diberikan
beberapa kali dalam sehari untuk memastikan terdapat jumlah obat yang optimal
pada tempat aksinya (Ernst, 2013).
18
Furosemide diekskresikan tanpa mengalami perubahan (sebesar 50%) dan
sisanya akan terkonjugasi menjadi asam glukoronat di ginjal. Insufisiensi ginjal,
akan menganggu farmakokinetik furosemide dengan memperpanjang waktu paruh
palsma dan durasi aksi yang diakibatkan karena terganggunya ekskresi melalui urin
dan konjugasi di ginjal (Ernst, 2013).
2.3.3. Farmakodinamik
Perubahan hemodinamik spesifik pada mikrosirkulasi sistemik dan ginjal
terjadi setelah pemberian loop diuretik. Pertama-tama, pemberian secara intravena
akan menstimulasi SRAA di makula densa, yang akan mengakibatkan
vasokonstriksi, peningkatan afterload, dan penurunan aliran darah ginjal. Hal ini
mungkin disebabkan karena kurangnya rspons terhadap dosis inisial. Respons fase
kedua akan terjadi pada 5-15 menit setelahnya dan ditandai dengan peningkatan
pelepasan vasodilator prostaglandin oleh ginjal, yang akan menyebabkan
venodilatasi dan penurunan preload dan tekanan pengisian ventrikel, hal inilah
yang menyebabkan terjadinya perbaikan gejala walaupun efek diuresis belum
tejadi. Dengan pemberian furosemide jangka panjang, akan terjadi proses adaptasi
kronis yang dikenal sebagai efek “braking”, perubahan ini merupakan kompensasi
alami dalam menjaga volume intravaskuler, yang kemudian akan menyebabkan
toleransi terhadap efek diuretik. Toleransi diuretik harus dibedakan secara klinis
dari resistensi diuretik yang lebih tepat merujuk pada yang terjadi bersamaan
dengan kondisi patologis seperti gagal ginjal, sindroma nefrotik, gagal jantung
kongestif dan sirosis (Ernst, 2013).
2.3.4. Dosis
Dosis diuresis tergantung pada pencapaian ambang diuretik dan spesifik pada
masing-masing pasien. Sekali ambang dosis dilewati, akan terjadi rerata optimal
dari hantaran obat yang berujung pada respons maksimal. Karena respon diuretik
tidak secara linear berhubungan dengan dosis, sekali dosis dan rerata hantaran telah
ditentukan dan mencapai respon maksimal, penambahan pemberian diuretik tidak
akan meningkatkan efek diuresis (Ernst, 2013). Furosemide intravena biasanya
dimulai dengan dosis bolus inisial 40mg (tidak boleh melebihi 4mg/menit untuk
mengurangi resiko ototoksisitas). Saat fungsi ginjal terganggu, seperti pada usia
lanjut, dosis yang lebih tinggi mungkin dibutuhkan, dan dosis yang lebih tinggi lagi
19
pada gagal ginjal dan gagal jantung kronis yang berat. Furosemide oral memiliki
rentang dosis yang lebih lebar (20-240mg/ hari atau lebih), dikarenakan absorbsi
obat yang sangat bervariasi 10%-100% (rata-rata 50%). Pada keadaan oliguria
yang tidak disebabkan karena kekurangan cairan dan GFR kurang dari 20ml/menit,
dosis furosemide dapat ditingkatkan dari 240mg hingga 2000mg, hal ini mungkin
diperlukan karena menurunnya ekskresi luminal (Oppie dan Kaplan, 2009).
2.3.5. Furosemide pada Gagal Jantung Akut
Diuretik sangat berguna pada manajemen jangka panjang pasien dengan gagal
jantung kronis stabil yang memiliki kecenderungan pola penambahan berat badan
secara terus menerus (kelebihan cairan) walaupun telah patuh dengan diet rendah
natrium. Diuretik juga berguna pada pasien dengan ADHF dimana furosemide
merupakan komponen kritikal yang harus ada pada manajemen tata laksana. Gagal
jantung ringan, biasanya memiliki respon yang menjanjikan terhadap diet rendah
natrium (50-100 mmol/ hari) dan diuretik tiazid dosis rendah. Namun, saat terjadi
perburukan gagal jantung, GFR juga akan mengalami penurunan dan pasien akan
kurang responsive terhadap dosis konvensional diuretik tiazid, yang biasanya
terjadi saat GFR <30 mL/menit. Dosis loop diuretik yang lebih besar dan frekuen,
ditunjang dengan diet rendah natrium yang ketat mungkin diperlukan pada pasien
dengan gagal jantung yang progresif (Sicca, 2012).
Karena adanya gangguan pada farmakokinetik dan farmakodinamik diuretik,
pasien dengan gagal jantung biasanya memiliki resistensi terhadap obat-obatan
diuretik. Resistensi diuretik pada evaluasi pasien gagal jantung dapat dilakukan
dengan penghitungan intake natrium dan air dalam diet harian. Yang cukup penting
dalam menegakkan diagnosis resistensi diuretik adalah memastikan kapatuhan
pasien dalam meminum dosis obat diuretik, dan pasien tidak meminum obat yang
dapat menganggu aksi dari diuretik seperti OAINS (Sicca, 2012).
Walaupun telah banyak pengalaman klinis penggunaan furosemide dalam
kasus gagal jantung, data prospektif untuk penggunaannya tidaklah kuat, dan
panduan terbaru gagal jantung hanya berdasarkan opini para ahli (Yancy et al,
2013, McMurray et al, 2012). Sebagai hasilnya, praktek klinis dilapangan
sangatlah bervariasi tanpa memandang jalur pemberian dan dosis. Loop diuretik
dosis tinggi mungkin memiliki efek yang membahayakan, termasuk aktivasi dari
20
SRAA, sistem saraf simpatis, gangguan elektrolit dan perburukan fungsi ginjal
(Felker et al, 2009). Sebagai tambahan beberapa studi obervasional juga telah
menunjukkan hubungan antara diuretik dosis tinggi dan keluaran klinis yang tidak
diinginkan, termasuk gagal ginjal, progresifitas gagal jantung dan kematian.
Beberapa observasi memang saling tumpang tindih, apakah diuretik dosis tinggi
lebih merujuk sebagai penanda keparahan penyakit yang lebih berat atau lebih
kepada mediator terjadinya efek yang tidak diinginkan (Felker et al, 2011).
Gambar 2.4. Kurva Kaplan-Meier untuk gabungan titik akhir klinis dari kematian, rehospitalisasi,
atau kunjungan perawatan gawat darurat dalam jangka waktu 60 hari, pasien yang mendapatkan
bolus tiap 12 jam disbanding dengan pasien degan pemberian kontinyu (panel A) dan pada grup
yang mendapatkan dosis rendah diuretik (ekuivalen dengan dosis harian pasien) disbanding dengan
kelompok yang mendapat diuretik dosis tinggi (2.5 kali dosis oral harian) (panel B) (Felker et al,
2011).
Selain ketidakpastian dosis, pemberian furosemide pada ADHF juga
mengalami ketidakpastian dalam metode pemberian yang paling optimal. Data
farmakologis dan farmakodinamik menyatakan bahwa ada keuntungan potensial
dari pemberian intravena secara kontinyu bila dibandingkan dengan bolus
intermiten. Pada keadaan yang tidak menentu ini, Birhan Yilmaz dan kawan-kawan
ditahun 2011 (Yilmaz et al, 2011), telah meneliti efek dosis terhadap kematian
jangka pendek, dan tidak didapatkan perbedaan signifikan terhadap keluaran pada
pemberian dosis tinggi (>1mg/ kg/ 24 jam) dibanding pada pemberian dosis rendah.
National Heart, Lung, and Blood Institute juga telah melakukan sebuah studi untuk
mengevaluasi strategi optimalisasi diuretik pada pasien ADHF dihubungkan
dengan keluaran jangka panjang terhadap keluaran klinis dan penanda fungsi ginjal
dan tidak ditemukan perbedaan signifikan baik pada pemberian diuretik bolus
21
intermiten atau kontinyu dan pemberian dosis tinggi maupun dosis rendah (gambar
2.4) (Felker et al, 2011).
2.4. Penanda Biokimiawi Acute Kidney Injury
Disfungsi ginjal merupakan kejadian yang sering terjadi pada pasien gagal
jantung dan merupakan faktor prognostik bebas yang kuat dalam menilai kejadian
yang tidak diinginkan (Smith et al., 2006). Prevalensinya meningkat pada pasien
yang datang dengan gagal jantung yang lebih berat. Hospitalisasi pada pasien dengan
gagal jantung akut berhubungan dengan perburukan fungsi ginjal lanjut pada 30-
50% pasien, dan hal ini berhubungan dengan pemanjangan lama rawat inap,
peningkatan biaya kesehatan dan kejadian rawat ulang, serta kematian setelah pasien
pulang (Marco et al, 2008). Pada tahun 2012, sebuah penelitian yang dilakukan
Breidthardt dan kawan-kawan, kejadian AKI sudah mulai terjadi sejak pasien masuk
perawatan gawat darurat pada sekitar sepertiga pasien dengan ADHF yang akan
terdeteksi saat pasien dirawat dirumah sakit. Sekitar 50% pasien dengan AKI
tersebut akan memenuhi kriteria AKI dalam waktu 48 jam pertama dirumah sakit,
dan hanya minoritas yang akan mengalami AKI setelah 48 jam (gambar 2.5)
(Breidthardt et al, 2012).
Gambar 2.5. Grafik waktu kejadian AKI pada kondisi gagal jantung dekompensasi akut (Breidthardt et
al, 2012).
2.4.1. Kreatinin Serum
Diagnosis dari AKI biasanya didasari baik dari peningkatan kreatinin serum
atau deteksi adanya oliguria. Menurut kriteria AKIN (Kellum et al., 2012), AKI
didefinisikan sebagai peningkatan kadar kreatinin serum ≥ 0.3 mg/dL dalam waktu
48 jam, atau peningkatan kadar kreatinin serum ≥ 1,5 kali dari awal dalam jangka
waktu 7 hari perawatan, atau produksi urin < 0.5 cc/ kg berat badan perjam selama
6 jam. Kreatinin serum merupakan penanda yang buruk dalam mendeteksi disfungsi
22
ginjal tahap awal, dikarenakan konsentrasi serum sebagian besar dipengaruhi oleh
faktor-faktor non ginjal, seperti berat badan, ras, usia, jenis kelamin, volume total
tubuh, obat-obatan, metabolism otot dan intake protein (Coca et al, 2008).
Penggunaan kreatinin serum bahkan lebih buruk dalam mendeteksi AKI,
dikarenakan pasien tidak dalam kondisi basal, kreatinin serum akan jauh lebih
tertinggal setelah terjadinya cedera ginjal. Hal ini mengakibatkan terjadinya
peningkatan kadar kreatinin serum tidak mampu dimonitor hingga 48 -72 jam paska
terjadinya kerusakan awal di ginjal. Sebagai tambahan, penyakit ginjal signifikan
dapat terjadi dengan perubahan kreatinin yang minimal atau bahkan tidak
mengalami perubahan, dikarenakan karena adanya kemampuan ginjal untuk
meningkatkan sekresi tubular dari kreatinin, atau faktor-faktor lain (Coca et al,
2008). Sebuah penanda biokimiawi dari AKI yang mudah untuk dihitung, tidak
terpengaruh oleh variabel biologis lain, dan memungkinkan untuk dilakukannya
deteksi dini dan stratifikasi resiko akan sangat membantu dalam penegakan
diagnosis AKI.
American Society of Nephrology telah menetapkan pengembangan penanda
biokimiawi sebagai pendeteksi dini kejadian AKI sebagai prioritas. Beberapa
penanda biokimiawi AKI telah berhasil diidentifikasi selama beberapa tahun terakhir
dimana dapat meningkat pada kondisi cedera iskemia ginjal baik pada hewan coba
maupun pada manusia dengan klinis AKI (Coca et al., 2008). Kemampuan penanda
biokimiawi untuk memprediksi AKI telah diteliti secara intens pada beberapa
kondisi klinis. Dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan penunjang, penting
untuk menentukan apakah pemeriksaan tersebut berguna dalam mengkonfirmasi
diagnosis AKI pada pasien yang sudah mengalami AKI, atau sebagai prediktor awal
pada pasien yang sedang mengalami AKI. Hal tersebut merupakan dua entitas yang
memiliki dampak klinis yang berbeda. Dalam aplikasi klinis penanda biokimiawi,
penanda tersebut harus mampu membuktikan dapat lebih akurat dibandingkan baku
emas pemeriksaan dengan menggunakan kreatinin serum (Hilde et al, 2012).
Terdapat empat kategori utama dari penanda biokimiawi AKI yang beberapa banyak
diteliti sebagai penanda diagnosis awal dari AKI (tabel 2.3).
23
Tabel 2.3. Penanda Biokimiawi AKI(Hilde et al., 2012)
Tipe Penanda Biokimiawi Penanda Biokimiawi
Penanda fungsional Kreatinin serum dan plasma, Cystatin-C serum Protein upregulated NGAL, KIM-1, L-FABP dan IL-18 Protein dengan berat molekul rendah Cystatin-C urine Enzim NAG, α-GST, π-GST dan AP