8 BAB 2 TELAAH PUSTAKA 2.1 Implementasi Kebijakan Kebijakan (policy) secara etimologi (asal kata) diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang artinya kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya (Monahan dalam Syafaruddin, 2008). Abidin (2006) menjelaskan kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Sumaryadi (2005) menjelaskan bahwa kebijakan publik pada hakekatnya merupakan suatu keputusan yang sudah mantap yang menyangkut kepentingan umum, oleh pejabat-pejabat pemerintah dan instansi-instansi pemerintah dalam proses penyelenggaraan Negara. Selanjutnya Sumaryadi mengatakan bahwa keputusan didasarkan pada pilihan-pilihan atau pertimbangan dalam rangka mewujudkan suatu tujuan tertentu dengan menggunakan sarana-sarana yang sesuai. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Wahab (2004) memberikan definisi kebijakan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman ini bisa amat sederhana
43
Embed
BAB 2 TELAAH PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5113/3/T2_942011036_BAB II.pdf8 BAB 2 TELAAH PUSTAKA 2.1 Implementasi Kebijakan Kebijakan (policy)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
8
BAB 2
TELAAH PUSTAKA
2.1 Implementasi Kebijakan Kebijakan (policy) secara etimologi (asal kata)
diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang
artinya kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan
dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan
pola formal yang sama-sama diterima
pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka
berusaha mengejar tujuannya (Monahan dalam
Syafaruddin, 2008). Abidin (2006) menjelaskan
kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat
umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat.
Sumaryadi (2005) menjelaskan bahwa kebijakan publik
pada hakekatnya merupakan suatu keputusan yang
sudah mantap yang menyangkut kepentingan umum,
oleh pejabat-pejabat pemerintah dan instansi-instansi
pemerintah dalam proses penyelenggaraan Negara.
Selanjutnya Sumaryadi mengatakan bahwa keputusan
didasarkan pada pilihan-pilihan atau pertimbangan
dalam rangka mewujudkan suatu tujuan tertentu
dengan menggunakan sarana-sarana yang sesuai.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Wahab
(2004) memberikan definisi kebijakan sebagai pedoman
untuk bertindak. Pedoman ini bisa amat sederhana
9
atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau
sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci,
bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat.
Kebijakan dalam maknanya yang seperti ini mungkin
berupa suatu deklarasi mengenai suatu program,
mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu
rencana.
Anderson dalam Winarno (2012) memberikan
pengertian kebijakan sebagai serangkaian tindakan
yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan
dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok
pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.
Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh
Negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk
merealisasikan tujuan dari Negara yang bersangkutan.
Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar
masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat
pada masa transisi, untuk menuju kepada masyarakat
yang dicita-citakan (Tilaar dan Nugroho, 2008). Fattah
(2012) menjelaskan bahwa kebijakan publik merujuk
pada semua wilayah tindakan pemerintah yang
membentang dari kebijakan ekonomi hingga kebijakan
yang biasanya merujuk pada rubrik kebijakan sosial
termasuk pendidikan, kesehatan dan wilayah
kesejahteraan lainnya.
Dunn (2000) menjelaskan analisis kebijakan
adalah awal, bukan akhir, dari upaya memperbaiki
10
proses pembuatan kebijakan. Sebelum informasi yang
relevan dengan kebijakan digunakan oleh pengguna
yang dituju, informasi itu harus dirakit kedalam
dokumen yang relevan dengan kebijakan dan
dikomunikasikan dalam berbagai bentuk presentasi.
Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat
dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang
memiliki kewenangan hukum, politis, dan financial
untuk melakukannya. Kebijakan publik berupaya
merespon masalah atau kebutuhan konkrit yang
berkembang dimasyarakat. Kebijakan publik juga
bukanlah sebuah keputusan tunggal melainkan terdiri
dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang
dibuat untuk mencapai tujuan demi kepentingan orang
banyak menurut Young dan Quin dalam Suharto
(2010).
Fattah (2012) mengatakan kebijakan terkait
dengan kebijakan publik (public policies) dan dibuat
atas nama Negara (state) yang dibuat oleh
instrument/alat-alat Negara untuk mengatur perilaku
tiap orang, seperti guru atau siswa dan organisasi,
seperti sekolah dan universitas. Sehingga kebijakan
dalam pendidikan memiliki fungsi yaitu:
1.3.1. Menyediakan akuntabilitas norma budaya
yang menurut pemerintah perlu ada dalam
pendidikan,
11
1.3.2. Melembagakan mekanisme akuntabilitas
untuk mengukur kinerja siswa dan guru.
Carl Friedrich dalam Winarno (2012) mengatakan
kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan
oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-
hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan
yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi
dalam rangka mencapai suatu tujuan atau
merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud
tertentu.
Implementasi kebijakan pada dasarnya adalah
cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.
Tujuan kebijakan pada prinsipnya adalah untuk
melakukan intervensi. Oleh karena itu implementasi
kebijakan sebenarnya adalah tindakan (action)
intervensi itu sendiri (Nugroho, 2009).
Ripley dan Franklin dalam Winarno (2012)
berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang
terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang
memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan
atau suatu jenis keluaran (benefit), atau suatu jenis
keluaran yang nyata (tangible output). Selanjutnya, van
Meter dan van Horn membatasi implementasi kebijakan
sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
individu-individu (atau kelompok-kelompok)
pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk
12
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam
keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Suatu
program kebijakan harus diimplementasikan agar
mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan
(Winarno, 2012). Menurut Anderson (1979), ada 4
aspek yang perlu dikaji dalam implementasi kebijakan
yaitu: 1. Siapa yang mengimplementasikan; 2. Hakekat
dari proses administrasi; 3. Kepatuhan; dan 4.Dampak
dari pelaksanaan kebijakan.
Menurut Edwards dalam Winarno (2012)
implementasi kebijakan adalah salah satu tahap
kebijakan public, antara pembentukan kebijakan dan
konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat
yang dipengaruhinya. George Edwards mempertegas
bahwa salah satu dampak dari implementasi kebijakan
publik bisa menjadi rangkaian kesalahpahaman dan
penyimpangan terhadap tujuan para pengambil
kebijakan, karena orang-orang yang menentukan
kebijakan-kebijakan publik tidak sama dengan orang-
orang yang mengimplementasikan kebijakan publik
tersebut. Jika kebijakan yang baik diimplementasikan
dengan buruk maka kebijakan tersebut akan gagal
untuk mencapai tujuan para pembuatnya.
Permasalahan yang ada dalam implementasi kebijakan
publik adalah disebabkan adanya kesenjangan antara
kebijakan dan implementasinya. Dalam mengkaji
13
implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan
mengajukan dua pertanyaan, yakni:
1. What is the precondition for successful policy
implementation? (prakondisi-prakondisi apa yang
diperlukan sehingga suatu implementasi
kebijakan berhasil?)
2. What are the primary obstacles to successful policy
implementation? (hambatan-hambatan utama
utama apa yang mengakibatkan suatu
implementasi gagal?)
Edwards berusaha menjawab dua pertanyaan tersebut
dengan mengkaji empat faktor atau variabel penting
dari kebijakan public. Factor-faktor atau variable
tersebut yaitu komunikasi, sumber-sumber,
kecenderungan-kecenderungan (disposisi), struktur
birokrasi.
1.1.1.Komunikasi Menurut Edwards komunikasi adalah
penyampaian pesan atau informasi tentang kebijakan
antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan.
Sedangkan Agustino (2006) menyatakan bahwa
komunikasi merupakan salah-satu variabel penting
yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik,
komunikasi sangat menentukan keberhasilan
pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik.
Implementasi yang efektif akan terlaksana, jika para
pembuat keputusan mengetahui mengenai apa yang
14
akan mereka kerjakan. Informasi yang diketahui para
pengambil keputusan hanya bisa didapat melalui
komunikasi yang baik. Secara umum Edwards
membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi
kebijakan yaitu:
1. Transmisi. Faktor pertama yang berpengaruh terhadap
komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum
pejabat dapat mengimplementasikan suatu
keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu
keputusan telah dibuat dan suatu perintah
untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini
tidak selalu merupakan proses yang langsung
sebagaimana nampaknya. Banyak sekali
ditemukan keputusan-keputusan tersebut
diabaikan atau jika tidak demikian, seringkali
terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-
keputusan yang dikeluarkan. Penyaluran
komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan
suatu implementasi yang baik pula. Ada
beberapa hambatan yang timbul dalam
mentransmisikan perintah-perintah
implementasi. Pertama, pertentangan pendapat
antara para pelaksana dengan perintah yang
dikeluarkan oleh pengambil kebijakan.
Pertentangan terhadap kebijakan-kebijakan ini
akan menimbulkan hambatan-hambatan atau
15
distorsi seketika terhadap komunikasi kebijakan.
Hal ini terjadi karena para pelaksana
menggunakan keleluasaan yang tidak dapat
mereka elakkan dalam melaksanakan keputusan-
keputusan dan perintah-perintah umum. Kedua,
informasi melewati berlapis-lapis hierarki
birokrasi. Seperti kita ketahui birokrasi
mempunyai struktur yang ketat dan cenderung
sangat hierarkhis. Kondisi ini sangat
mempengaruhi tingkat efektivitas komunikasi
yang dijalankan. Penggunaan sarana komunikasi
yang tidak langsung dan tidak adanya saluran-
saluran komunikasi yang ditentukan mungkin
juga mendistorsi perintah-perintah pelaksana.
Ketiga, penangkapan komunikasi-komunikasi
mungkin dihambat oleh persepsi yang selektif
dan ketidakmauan para pelaksana untuk
mengetahui persyaratan-persyaratan suatu
kebijakan. Kadang-kadang para pelaksana
mengabaikan apa yang sudah jelas dan mencoba-
coba menduga makna komunikasi-komunikasi
yang “sebenarnya”.
2. Kejelasan. Jika kebijakan-kebijakan diimplementasikan
sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-
petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus
diterima dan dipahami oleh para pelaksana
16
kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan
tersebut harus jelas. Seringkali instruksi-
instruksi yang diteruskan kepada pelaksana-
pelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan
dan bagaimana suatu program dilaksanakan.
Ketidakjelasan pesan komunikasi yang
disampaiakan berkenaan dengan implementasi
kebijakan akan mendorong terjadinya interpretasi
yang salah bahkan mungkin bertentangan
dengan makna pesan awal. Namun demikian
ketidakjelasan pesan komunikasi kebijakan tidak
selalu menghalangi implementasi. Pada tataran
tertentu, para pelaksana membutuhkan
fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Ada
enam faktor yang mendorong terjadinya
ketidakjelasan komunikasi menurut Edwards.
Factor-faktor tersebut adalah kompleksitas
kebijakan publik, keinginan untuk tidak
mengganggu kelompok-kelompok masyarakat,
kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan
kebijakan, masalah-masalah dalam memulai
kebijakan baru, menghindari
pertanggungjawaban kebijakan, dan sifat
pembentukan kebijakan pengadilan.
3. Konsistensi. Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung
efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan
17
suatu komunikasi harus konsisten dan jelas.
Walaupun perintah-perintah yang disampaikan
kepada para pelaksana kebijakan mempunyai
unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut
bertentangan maka perintah tersebut tidak akan
memudahkan para pelaksana menjalankan
tugasnya dengan baik. Disisi lain, perintah-
perintah implementasi kebijakan yang tidak
konsisten akan mendorong para pelaksana
mengambil tindakan yang sangat longgar dalam
menafsirkan dan mengimplementasikan
kebijakan. Bila hal ini terjadi, maka akan
berakibat pada keetidakefektifan implementasi
kebijakan karena tindakan yang sangat longgar
besar kemungkinan tidak dapat digunakan untuk
melaksanak tujuan-tujuan kebijakan.
Berdasarkan hasil penelitian Edwards yang
dirangkum dalam Winarno (2005) Terdapat beberapa
hambatan umum yang biasa terjadi dalam transmisi
komunikasi yaitu: Pertama, terdapat pertentangan
antara pelaksana kebijakan dengan perintah yang
dikeluarkan oleh pembuat kebijakan. Pertentangan
seperti ini akan mengakibatkan distorsi dan hambatan
yang langsung dalam komunikasi kebijakan. Kedua,
informasi yang disampaikan melalui berlapis-lapis
hierarki birokrasi. Distorsi komunikasi dapat terjadi
karena panjangnya rantai informasi yang dapat
18
mengakibatkan bias informasi. Ketiga, masalah
penangkapan informasi juga diakibatkan oleh persepsi
dan ketidakmampuan para pelaksana dalam
memahami persyaratan-persyaratan suatu kebijakan.
Menurut Winarno (2005) Faktor-faktor yang mendorong
ketidakjelasan informasi dalam implementasi kebijakan
publik biasanya karena kompleksitas kebijakan,
kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan
kebijakan publik, adanya masalah-masalah dalam
memulai kebijakan yang baru serta adanya
kecenderungan menghindari pertanggungjawaban
kebijakan. Lalu bagaimana menjabarkan distori atau
hambatan komunikasi? Proses implementasi kebijakan
terdiri dari berbagai aktor yang terlibat mulai dari
manajemen puncak sampai pada birokrasi tingkat
bawah. Komunikasi yang efektif menuntut proses
pengorganisasian komunikasi yang jelas ke semua
tahap tadi. Jika terdapat pertentangan dari pelaksana,
maka kebijakan tersebut akan diabaikan dan
terdistorsi. Untuk itu, Winarno (2005) menyimpulkan
semakin banyak lapisan atau aktor pelaksana yang
terlibat dalam implementasi kebijakan, semakin besar
kemungkinan hambatan dan distorsi yang dihadapi.
Dalam mengelola komunikasi yang baik perlu dibangun
dan dikembangkan saluran-saluran komunikasi yang
efektif. Semakin baik pengembangan saluran-saluran
komunikasi yang dibangun, maka semakin tinggi
19
probabilitas perintah-perintah tersebut diteruskan
secara benar.
Edwards (Winarno, 2005) berpendapat bahwa
faktor kejelasan menjadi penting dalam proses
implementasi kebijakan dan tidak adanya pemaknaan
yang membingungkan atau ambigu. Kejelasan tidak
identik dengan informasi yang berlebihan yang dapat
menghilangkan fleksibiltas dan akan berujung pada
kebijakan menjadi kaku.
Konsistensi menjadi faktor dalam proses
implementasi kebijakan. Faktor ini mengandung makna
bahwa implementasi kebijakan yang berupa perintah-
perintah harus konsisten dan jelas. Perintah-perintah
yang dijalankan meskipun memiliki unsure kejelasan,
namun jika tidak dilakukan secara konsisten, maka
perintah tersebut akan menyulitkan pelaksana
kebijakan dalam menjalankan perintah kebijakan itu
sendiri.
1.1.2.Sumber Daya Syarat berjalannya suatu organisasi adalah
kepemilikan terhadap sumberdaya atau dengan kata
lain efektifitas kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan
tidak akan berjalan secara baik ketika tidak didukung
oleh potensi-potensi sumber daya yang tidak tersedia.
Menurut Edwards dalam Agustino (2006), sumber daya
merupakan hal penting dalam implementasi kebijakan
yang baik. Sumber-sumber yang penting tersebut
20
meliputi staf yang memadai serta keahlian-keahlian
yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka,
wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk
menerjemahkan usul-usul diatas kertas guna
melaksanakan pelayanan-pelayanan publik (Winarno,
2012).
1. Staf. Sumber daya utama dalam implementasi
kebijakan adalah staf atau pegawai (street-level
bureaucrats). Kegagalan yang sering terjadi dalam
implementasi kebijakan, salah-satunya
disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup
memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten
dalam bidangnya. Penambahan jumlah staf dan
implementor saja tidak cukup menyelesaikan
persoalan implementasi kebijakan, tetapi
diperlukan sebuah kecukupan staf dengan
keahlian dan kemampuan atau keterampilan
yang diperlukan dalam mengimplementasikan
kebijakan. Jumlah staf yang banyak tidak secara
otomatis mendorong implementasi yang berhasil.
Kurangnya personil yang terlatih dengan baik
akan dapat menghambat pelaksanaan kebijakan-
kebijakan yang menjangkau banyak pembaruan.
2. Informasi. Informasi merupakan sumber penting yang
kedua dalam implementasi kebijakan. Informasi
21
mempunyai dua bentuk yaitu: pertama, informasi
yang berhubungan dengan cara melaksanakan
kebijakan. Pelaksana-pelaksana perlu
mengetahui apa yang dilakukan dan bagaimana
mereka harus melakukannya. Kedua, informasi
mengenai data kepatuhan dari para pelaksana
terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang
telah ditetapkan. Pelaksana-pelaksana harus
mengetahui apakah orang-orang lain yang
terlibat dalam pelaksanaan kebijakan mentaati
undang-undang ataukah tidak. Informasi
mengenai program-program adalah penting
terutama bagi kebijakan-kebijakan baru atau
kebijakan-kebijakan yang melibatkan persoalan-
persoalan teknis seperti misalnya kebijakan
mengenai otonomi daerah dan rumah sakit
swadana. Kegiatan-kegiatan rutin seperti
membagi dana, membangun jalan-jalan,
mempekerjakan pengetik, atau membeli barang-
barang relative langsung dalam pelaksanaannya,
dan informasi tentang bagaimana melaksanakan
kegiatan-kegiatan tersebut. Kurangnya
pengetahuan tentang bagaimana
mengimplementasikan kebijakan beberapa
konsekuensi secara langsung. Pertama, beberapa
tanggung jawab secara sungguh-sungguh tidak
akan dapat dipenuhiatau tidak dapat dipenuhi
22
tepat pada waktunya. Kedua, ketidakefisien.
Kebijakan yang tidak tepat menyebabkan unit-
unit pemerintahan lain atau organisasi-organisasi
dalam sektor swasta membeli perlengkapan,
mengisi formulir, atau menghentikan kegiatan-
kegiatan yang tidak diperlukan. Selain itu,
implementasi kebijakan membutuhkan informasi
tentang ketaatan dari organisasi-organisasi atau
individu-individu dengan hukum. Akan tetapi
data tentang ketaatan sulit diperoleh disebabkan
kurangnya staf yang mampu memberikan
informasi mengenai ketidaktaatan hukum yang
mungkin dilakukan.
3. Wewenang. Pada umumnya kewenangan harus bersifat
formal agar perintah dapat dilaksanakan secara
efektif. Kewenangan merupakan otoritas atau
legitimasi bagi para pelaksana dalam
melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara
politik. Ketika wewenang tidak ada, maka
kekuatan para implementor di mata publik tidak
dilegitimasi, sehingga dapat menggagalkan
implementasi kebijakan publik. Tetapi dalam
konteks yang lain, ketika wewenang formal
tersedia, maka sering terjadi kesalahan dalam
melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak,
efektivitas kewenangan diperlukan dalam
23
implementasi kebijakan; tetapi di sisi lain,
efektivitas akan menyurut manakala wewenang
diselewengkan oleh para pelaksana demi
kepentingannya sendiri atau kelompoknya.
Wewenang ini akan berbeda-beda dari satu
program ke program yang lain serta mempunyai
banyak bentuk yang berbeda seperti misalnya
hak untuk mengeluarkan surat panggilan untuk
datang ke pengadilan, mengajukan masalah-
masalah ke pengadalin, mengeluarkan perintah
kepada para pejabat lain, menarik dana dari
suatu program, menyediakan dana, staf dan
bantuan teknis kepada pemerintah daerah,
membeli barang-barang dan jasa, atau
memungut pajak. Linblom dalam Winarno (2012)
menyatakan bahwa kewenangan dapat dipahami
dengan sebaik-baiknya kalau kita mengenal dua
jalur dimana berbagai orang menggunakan
metode kontrol. Pada jalur pertama, setiap kali
bila seseorang ingin menggunakan berbagai
metode kontrol, ia menerapkan berbagai metode
kontrol (antara lain persuasi, ancaman, dan
tawaran keuntungan) terhadap orang-orang yang
dikontrolnya. Pada jalur kedua, pihak pengontrol
hanya kadang-kadang saja menggunakan
metode-metode itu untuk membujuk orang-orang
yang dikontrolnya agar mentaati peraturan yang
24
ada bahwa mereka harus tunduk terhadapnya.
Untuk jalur kedua ini Linblom menegaskan
bahwa hanya jalur kedua yang menetapkan
kewenangan. Jika saya mentaati peraturan untuk
tunduk kepada anda, maka anda mempunyai
kewenangan terhadap saya. Dengan demikian
merujuk pada jalur kedua maka kontrol tidak
berarti kewenangan, sebab kewenangan ada
hanya jika satu pihak bersepakat terhadap
dirinya sendiri untuk mentaati aturan yang
dikemukan oleh pihak lain. Dari sini lantas
Linblom mengemukakan ciri-ciri kewenangan,
yakni: kewenangan selalu bersifat khusus,
kewenangan, baik sukarela maupun paksaan,
merupakan konsesi dari mereka yang bersedia
tunduk; kewenangan itu rapuh dan yang terakhir
kewenangan diakui karena berbagai sebab.
Menurut Linblom, sebab-sebab kewenangan
terdiri dari dua hal pokok, yakni: pertama,
sebagian orang beranggapan bahwa mereka lebih
baik jika ada seseorang yang memerintah. Kedua,
kewenangan mungkin juga ada karena adanya
ancaman, terror, dibujuk, diberi keuntungan dan
lain sebagainya.
4. Fasilitas. Fasilitas fisik bisa pula merupakan sumber-
sumber penting dalam implementasi kebijakan.
25
Seorang pelaksana mungkin mempunyai staf
yang mencukupi, memahami apa yang dilakukan,
dan mungkin mempunyai wewenang untuk
melaksanak tugasnya, tetapi tanpa adanya
fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) atau
kantor untuk melakukan koordinasi, tanpa
perlengkapan, tanpa pembekalan, maka besar
kemungkinan implementasi yang direncakan
tidak akan berhasil. Sebagai contoh,
implementasi kebijakan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan sekolah dasar tidak akan
berhasil, jika tidak dilengkapi dengan gedung
sekolah yang memadai, buku-buku sebagai
bahan pelajaran, kurangnya tenaga pendidikan
dan lain sebagainya. Dengan demikian fasilitas
sangat diperlukan untuk implementasi kebijakan
yang efektif. Namun penyedian fasilitas bagi
implementasi kebijakan yang efektif tidaklah
selalu mudah.
1.1.3.Kecenderungan-kecenderungan Menurut Edwards dalam Winarno (2005)
mengemukakan kecenderungan-kecenderungan atau
disposisi merupakan salah-satu faktor yang
mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi
kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana mempunyai
kecenderungan atau sikap positif atau adanya
dukungan terhadap implementasi kebijakan maka
26
terdapat kemungkinan yang besar implementasi
kebijakan akan terlaksana sesuai dengan keputusan
awal. Demikian sebaliknya, jika para pelaksana
bersikap negatif atau menolak terhadap implementasi
kebijakan karena konflik kepentingan maka
implementasi kebijakan akan menghadapi kendala
yang serius. Bentuk penolakan dapat bermacam-
macam seperti yang dikemukakan Edwards tentang
”zona ketidakacuhan”. Ada kebijakan yang
dilaksanakan secara efektif karena mendapat
dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun
kebijakan-kebijakan lain mungkin akan berttentangan
secara langsung dengan pandangan-pandangan
pelaksana kebijakan atau kepentingan-kepentingan
pribadi atau organisasi dari para pelaksana.
Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn
dalam Agustinus (2006) menyatakan sikap penerimaan
atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat
mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan
implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin
terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah
hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul
permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan.
Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down
yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak
mengetahui bahkan tak mampu menyentuh
27
kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus
diselesaikan.
Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edwards
dalam Winarno (2012) mengenai kecenderungan-
kecenderungan dalam implementasi kebijakan terdiri
dari:
1. Pengangkatan birokrasi. Kecenderungan-kecenderunga (disposisi) atau
sikap pelaksana akan menimbulkan hambatan-
hambatan yang nyata terhadap implementasi
kebijakan, bila personel yang ada tidak
melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh
pejabat-pejabat yang lebih atas. Karena itu,
pengangkatan dan pemilihan personel
pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang
memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah
ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan
warga masyarakat.
2. Insentif Menurut Edwards salah-satu teknik yang
disarankan untuk mengatasi masalah sikap para
pelaksana kebijakan dengan memanipulasi
insentif. Pada dasarnya orang bergerak
berdasarkan kepentingan dirinya sendiri, maka
memanipulasi insentif oleh para pembuat
kebijakan mempengaruhi tindakan para
pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah
28
keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan
menjadi faktor pendorong yang membuat para
pelaksana menjalankan perintah dengan baik.
Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi
kepentingan pribadi atau organisasi.
1.1.4.Struktur Birokrasi Birokrasi merupakan salah-satu institusi yang
paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi
pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau
tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk
kesepakatan kolektif, dalam rangka memecahkan
masalah-masalah social dalam kehidupan modern.
Keberadaan birokrasi tidak hanya dalam struktur
pemerintah, tetapi juga ada dalam organisasi-organisasi
swasta, institusi pendidikan dan kadangkala suatu
system birokrasi sengaja diciptakan untuk
menjalankan suatu kebijakan tertentu. Ripley dan
Franklin dalam Winarno (2012) mengidentifikasi enam
karakteristik birokrasi sebagai hasil pengamatan
terhadap birokrasi di Amerika Serikat, yaitu:
1. Birokrasi dimanapun berada, dipilih sebagai
instrument social yang ditujukan untuk
menangani masalah-masalahh yang
didefenisikan sebagai urusan politik.
2. Birokrasi merupakan institusi yang dominan
dalam implementasi kebijakan publik yang
29
mempunyai kepentingan yang berbeda-beda
dalam setiap hierarkinya.
3. Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang
berbeda.
4. Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang
kompleks dan luas.
5. Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang
tinggi dengan begitu jarang ditemukan birokrasi
yang mati.
6. Birokrasi bukan kekuatan yang netral dalam
pilihan-pilihan kebijakan mereka, tidak juga
dalam kendali penuh dari pihak luar dirinya.
Otonomi yang mereka miliki membuat mereka
mempunyai kesempatan untuk melakukan tawar
menawar guna meraih pembagian yang dapat diukur
dari pilihan-pilihan yang mereka ambil. Menurut
Edwars ada dua karakteristik utama dari birokrasi,
yakni prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar
atau sering disebut sebagai standart operating
procedures (SOP) dan fragmentasi. Yang pertama
berkembang sebagai tanggapan internal dari para
pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam
bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan
tersebar luas. Yang kedua,berasal terutama dari
tekanan-tekanan diluar unit birokrasi, seperti komite-