15 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pemasaran Kotler (2009:10) mengatakan pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Menurut Stanton (2001), definisi pemasaran adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang atau jasa yang memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial. Dari definisi yang ada terlihat jelas bahwa marketing atau pemasaran merupakan suatu konsep yang sangat universal mengenai sebuah proses mengidentifikasi segala aspek sosial yang mampu diterjemahkan melalui penciptaan gagasan, konsep, ataupun sebuah produk yang memiliki arti di dalam benak konsumen.
32
Embed
BAB 2 LANDASAN TEORI - BINA NUSANTARA | Library & …library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00356-MN Bab2001.pdf · diukur. Perspektif ini umumnya diterapkan dalam seni
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
15
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Pemasaran
Kotler (2009:10) mengatakan pemasaran adalah suatu proses sosial
yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka
butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas
mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain.
Menurut Stanton (2001), definisi pemasaran adalah suatu sistem
keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang ditujukan untuk merencanakan,
menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang atau jasa
yang memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli
potensial.
Dari definisi yang ada terlihat jelas bahwa marketing atau pemasaran
merupakan suatu konsep yang sangat universal mengenai sebuah proses
mengidentifikasi segala aspek sosial yang mampu diterjemahkan melalui
penciptaan gagasan, konsep, ataupun sebuah produk yang memiliki arti di
dalam benak konsumen.
16
Menurut Kotler (2009:22), pekerjaan pemasaran bukan lagi untuk
menemukan pelanggan yang tepat untuk produk, melainkan menemukan
produk yang tepat untuk pelanggan. Konsep pemasaran untuk mencapai
sasaran organisasi adalah perusahaan harus lebih efektif dibandingkan pesaing
dalam menciptakan, menyerahkan, dan mengkomunikasikan kepada pasar
sasaran yang dipilih.
Menurut Swastha dan Irawan, (2005:10) mendefinisikan konsep
pemasaran sebuah falsafah bisnis yang menyatakan bahwa pemuasan
kebutuhan konsumen merupakan syarat ekonomi dan sosial bagi kelangsungan
hidup perusahaan.
Konsep pemasaran menurut Kotler (2009:33) menegaskan bahwa kunci
untuk mencapai sasaran organisasi adalah menentukan kebutuhan dan
keinginan sasaran pasar dan memberikan kepuasan yang diinginkan secara
lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan pesaing.
2.1.2 Moment of Truth
2.1.2.1 Pengertian Moment of Truth
Salah satu sifat dari jasa atau pelayanan adalah diproduksi dan
dikonsumsi pada saat yang bersamaan (Irawan, 2002). Tidak seperti produk
manufaktur di mana hasil produksi dapat disimpan di gudang, dikirim ke
toko, dibeli oleh konsumen dan kemudian dikonsumsi. Oleh karena sifat ini,
kepuasan pelanggan terhadap suatu pelayanan sangatlah bergantung pada
17
proses interaksi atau waktu di mana pelanggan dan penyedia jasa bertemu.
Kepuasan pelanggan akan ditentukan oleh ratusan, bahkan ribuan interaksi
antara pelanggan dengan penyedia jasa. Istilah yang sering digunakan untuk
setiap interaksi adalah moment of truth (MOT) dan sebagian pakar
menyebutnya service encounter. Berdasarkan perspektif pelanggan, kesan
paling utama terhadap sebuah jasa terjadi pada service encounter (moment of
truth), di mana pelanggan berinteraksi dengan perusahaan jasa (Lovelock
dan Wirtz, 2011).
Moment of truth adalah setiap peristiwa di mana pelanggan
berinteraksi dengan setiap aspek perusahaan dan menerima kesan mengenai
mutu produk atau jasa yang diterimanya (Carlzon, 1987:3 dalam Irawan,
2002). Moment of truth dimulai ketika pelanggan datang hingga pelanggan
selesai melakukan kegiatannya atau sudah selesai berinteraksi. Dengan
adanya moment of truth, pihak perusahaan harus memberikan layanan yang
terbaik karena karena hal ini akan menentukan citra dari perusahaan atau
organisasi tersebut dan persepsi pelanggan sudah mulai terbentuk pada saat
itu. Bila moment of truth tidak dikelola dengan baik, maka persepsi tentang
mutu produk dan jasa perusahaan akan menurun. Gambar di bawah ini
menunjukkan beberapa input yang mempengaruhi faktor dari moment of
truth.
18
Sumber : Karl Albrecht, The Service Advantage, 1990 : 37
Gambar 2.1 The Moment of Truth Model
Dasar pemikiran yang utama untuk menjelaskan bagaimana manusia
berinteraksi dan berkomunikasi dikenal sebagai contect bound. Ini berarti
bahwa seluruh elemen dalam interaksi antara pelanggan dengan karyawan
memiliki dampak yang besar bagi mereka, bagi hubungan itu sendiri dan
hasilnya (Utomo, 2011).
Frames of Reference, bertindak sebagai filter dan membawa akibat
yang kuat bagi individu terhadap pelayanan, dan secara total didominasi
oleh proses berpikir, sikap-sikap, perasaan nilai-nilai keyakinan, keinginan
dan harapan-harapan individu. Customer's Generic Preferance
mengungkapkan bahwa :
• Pelanggan ingin diperlakukan sebagai manusia.
• Pelanggan tersentuh bila diperlakukan sebagai individu.
• Pelanggan menyukai produk yang bisa berfungsi dengan baik.
• Pelanggan menyukai hal yang mudah dan sederhana.
• Pelanggan mendambakan pengalaman tanpa birokrasi.
19
Menurut Zeithaml dan Bitner (2006), terdapat 3 dimensi moment
of truth yang terjadi dengan suatu pelayanan, yaitu:
1) Remote MOT, yakni interaksi antara pelanggan dengan penyedia jasa
tanpa melibatkan faktor manusia. Biasanya pelanggan mendapatkan
MOT-nya dari suatu instrumen atau mesin.
2) Human MOT, yaitu interaksi yang terjadi antara pelanggan dan
penyedia pelayanan di mana terdapat elemen manusia dalam
interaksinya dan melibatkan kontak langsung antara pelanggan dan
penyedia pelayanan. Sebagian besar dari MOT suatu pelayanan masih
melibatkan human factor.
3) Telephone MOT, yaitu interaksi yang melibatkan 2 jenis MOT di atas,
yakni Remote MOT dan Human MOT. Dalam interaksinya, masih
terdapat human factor dalam MOT ini, tetapi secara fisik tidak
bertemu karena pelayanan hanya diberikan melalui telepon saja.
Menurut Irawan (2002) terdapat dua moral yang perlu dipelajari
dalam konteks moment of truth dan kepuasan pelanggan. Pertama,
setiap pelanggan harus tahu setiap MOT yang terjadi selama proses
pelayanan. Perusahaan penyedia jasa perlu menentukan manakah
MOT yang kritikal dalam menentukan kepuasan pelanggan, dan
manakah MOT yang relatif kurang berpengaruh. Kedua, apakah
pelanggan lebih mengharapkan standarisasi pelayanan atau pelayanan
yang bersifat personal. Ini sungguh vital dalam memberikan arah
terhadap investasi perusahaan ke depan, yaitu apakah harus investasi
untuk pembelian mesin pelayanan, membuat call center, atau
20
memperbanyak jumlah customer service. Kesalahan dalam mengambil
keputusan akan memperkecil peluang untuk dapat meningkatkan
kepuasan pelanggan.
2.1.3 Kualitas Pelayanan (Service Quality)
2.1.3.1 Pengertian Kualitas
Kualitas telah menjadi harapan dan impian bagi semua orang baik
pelanggan maupun produsen. Yang dimaksud dengan kualitas atau mutu
suatu produk atau jasa yaitu:
a. Derajat atau tingkatan dimana produk atau jasa tersebut mampu
memuaskan keinginan dari pelanggan (Wignjosoebroto,
2003:251).
b. Menurut Yamit (2005) membuat definisi kualitas yang lebih luas
cakupannya yaitu “kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan
lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”.
c. Menurut Utami (2006:245) keunggulan atau keistimewaan yang
dapat didefinisikan sebagai penyampaian pelayanan yang relatif
istimewa terhadap harapan pelanggan. Karena pelanggan biasanya
terlibat langsung dalam proses tersebut. Sedangkan perusahaan
yang menghasilkan produk menekankan pada hasil, karena
pelanggan umumnya tidak terlibat langsung dalam prosesnya.
Untuk itu diperlukan sistem manajemen kualitas yang dapat
21
memberikan jaminan kepada pihak pelanggan bahwa produk
tersebut dihasilkan oleh proses yang berkualitas (Yamit, 2005:9).
Lima pendekatan kualitas yang dapat digunakan oleh para praktisi
bisnis, menurut David Garvin yang dikutip oleh (Yamit, 2005:9-10) yaitu :
a. Transcedental Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah sesuatu yang dapat
dirasakan, tetapi sulit didefinisikan dan dioperasionalkan maupun
diukur. Perspektif ini umumnya diterapkan dalam seni musik, seni
tari, seni drama dan seni rupa. Untuk produk dan jasa pelayanan,
perusahaan dapat mempromosikan dengan menggunakan
pernyataan-pernyataan seperti kehalusan dan kelembutan kulit
(sabun mandi), kecantikan wajah (kosmetik), pelayanan prima
(bank), tempat belanja yang nyaman (mall atau gerai). Definisi
seperrti ini sulit untuk dijadikan sebagai dasar perencanaan dalam
manajemen kualitas.
b. Product-based Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah suatu karakteristik atau
atribut yang dapat diukur. Perbedaan kualitas mencerminkan
adanya perbedaan atribut yang dimiliki produk secara objektif,
tetapi pendekatan ini tidak menjelaskan perbedaan dalam
preferensi individual.
c. User-based Approach
Kualitas pada pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa
kualitas tergantung pada orang yang memandangnya dan produk
22
yang paling memuaskan preferensi seseorang atau cocok dengan
selera (fitness for used) merupakan produk yang berkualitas paling
tinggi. Pandangan yang subjektif ini mengakibatkan pelanggan
yang berbeda memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda
pula, sehingga kualitas bagi seseorang adalah kepuasan maksimum
yang dapat dirasakan.
d. Manufacturing-based Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah bersifat supply-based atau
dari sudut pandang produsen yang mendefinisikan kualitas sebagai
yang sesuai dengan persyaratannya (conformance quality) dan
prosedur. Pendekatan ini berfokus pada kesesuaian spesifikasi
yang ditetapkan perusahaan secara internal. Oleh karena itu, yang
menentukan kualitas adalah standar-standar yang ditetapkan
perusahaan, dan bukan pelanggan yang menggunakannya.
e. Value-based Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah memandang kualitas dari
segi nilai dan harga. Kualitas didefinisikan sebagai “affordable
excellence”. Oleh karena itu kualitas dalam pandangan ini bersifat
relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi
belum tentu produk yang bernilai. Produk yang bernilai adalah
produk yang paling tepat beli.
Meskipun sulit mendefinisikan kualitas dengan tepat dan tidak ada
definisi kualitas yang dapat diterima secara universal, dari perspektif David
Garvin tersebut dapat bermanfaat dalam mengatasi konflik-konflik yang
23
sering timbul di antara para manajer dalam departemen fungsional yang
berbeda. Misalnya, departemen pemasaran lebih menekankan pada aspek
keistimewaan, pelayanan, dan fokus pada pelanggan. Menghadapi konflik
seperti ini sebaiknya pihak perusahaan menggunakan perpaduan antara
beberapa perspektif kualitas dan secara aktif selalu melakukan perbaikan
yang berkelanjutan atau melakukan secara terus-menerus.
2.1.3.2 Pengertian Pelayanan
Bagian yang paling rumit dalam pelayanan adalah kualitasnya yang
sangat dipengaruhi oleh harapan pelanggan. Harapan pelanggan yang dapat
bervariasi dari pelanggan yang satu dengan pelanggan yang lain walaupun
pelayanan yang diberikan konsisiten.
Menurut Olsen dan Wycktoff (1978) yang dikutip oleh Yamit
(2004:22) melakukan pengamatan atas jasa pelayanan dan mendefinisikan
jasa pelayanan sebagai sekelompok manfaat yang berdaya guna secara
eksplisit maupun implisit atas kemudahan untuk mendapatkan barang
maupun jasa pelayanan. Dan definisi secara umum dari kualitas jasa
pelayanan ini adalah dapat dilihat dari perbandingan antara harapan
konsumen dengan kinerja kualitas jasa pelayanan.
2.1.3.3 Karakteristik Pelayanan
Beberapa perbedaan terhadap pengertian pelayanan secara terus
menerus perbedaan akan mengganggu, beberapa karakteristik pelayanan
berikut ini akan memberikan jawaban yang lebih mantap terhadap
24
pengertian pelayanan. Karakteristik pelayanan tersebut menurut Yamit
(2004:21) adalah:
a. Tidak dapat diraba (intangibility). Jasa adalah sesuatu yang
sering kali tidak dapat disentuh atau tidak dapat diraba. Jasa
mungkin berhubungan dengan sesuatu secara fisik seperti pesawat
udara, kursi dan meja. Bagaimanapun juga pada kenyataannya
konsumen membeli dan memerlukan sesuatu yang tidak dapat
diraba. Oleh karena itu jasa atau pelayanan yang terbaik menjadi
penyebab khusus yang secara alami disediakan.
b. Tidak dapat disimpan (inability to inventory). Salah satu ciri
khusus dari jasa adalah tidak dapat disimpan. Misalnya, ketika kita
pergi ke tempat jasa potong rambut, maka apabila pemotong rambut
telah dilakukan tidak dapat sebagiannya disimpan untuk besok.
c. Produksi dan konsumsi secara bersama. Jasa adalah sesuatu
yang dilakukan secara bersamaan dengan produksi. Misalnya
tempat praktek dokter, salon, restoran, dan sebagainya.
d. Memasukinya lebih mudah. Mendirikan usaha dibanding jasa
membutuhkan investasi yang lebih sedikit, mencari lokasi lebih
mudah dan banyak tersedia, tidak membutuhkan teknologi tinggi.
Kebanyakan usaha jasa hambatan untuk memasukinya lebih rendah.
e. Sangat dipengaruhi oleh faktor dari luar. Jasa sangat
dipengaruhi oleh faktor dari luar, seperti: teknologi, peraturan
pemerintah, dan kenaikan harga energi.
25
Sedangkan Kotler (2008:12) menguraikan karakteristik atau sifat dari
jasa sebagai berikut:
a. Intangible (tidak berwujud)
Jasa memiliki sifat tidak berwujud, tidak dapat dilihat, dikecap,
dirasakan, dicium, atau dinikmati sebelum jasa tersebut dibeli.
b. Inseparability (tidak dapat dipisahkan)
Jasa tidak dapat dipisahkan dari sang pemberi jasa.
c. Variability (bervariasi)
Jasa senantiasa mengalami perubahan, yang dipengaruhi oleh untuk
siapa jasa tersebut diberikan. Karena sifat jasa tidak dapat
dipisahkan dari si pemberi jasa, maka perubahan yang terjadi adalah
perbedaan kualitas jasa tergantung dari siapa penyedia jasa,
penerima, dan kondisi di mana jasa tersebut diberikan.
d. Perishability (tidak bertahan lama atau tidak dapat disimpan)
Maksudnya adalah bahwa jasa tidak dapat disimpan untuk
digunakan atau dijual kemudian. Jasa langsung habis dinikmati
setelah dibeli saat itu juga.
2.1.3.4 Indikator Kualitas Pelayanan
Zeithaml, Berry dan Parasuraman, dalam Tjiptono (2007:95) meneliti
sejumlah industri jasa dan berhasil mengidentifikasikan indikator pokok
kualitas jasa, yaitu: reliabilitas, responsif atau daya tanggap, kompetensi,
akses, kesopanan, komunikasi, kredibilitas, keamanan, kemampuan
memahami pelanggan, dan bukti fisik (tangibles). Karena ditemukan adanya
26
overlapping dari beberapa dimensi di atas, sehingga indikator-indikator
tersebut disederhanakan menjadi lima indikator pokok kualitas jasa, yaitu:
a. Tangibles (bukti langsung), yaitu meliputi fasilitas fisik,
peralatan/perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi.
b. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan dalam memberikan
pelayanan dengan segera dan memuaskan serta sesuai dengan yang
telah dijanjikan.
c. Responsiveness (daya tangkap), yaitu kesediaan dan kemampuan
penyedia layanan untuk membantu para pelanggan dan merespon