Top Banner

of 38

Bab 2 Efek Ukuran Pada Sifat Material

Oct 19, 2015

Download

Documents

Sapto Gatacha
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 26

    BAB 2 EFEK UKURAN PADA SIFAT

    MATERIAL

    2.1 Efek Ukuran Partikel pada Laju Sintering

    Material nanostruktur memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan

    material struktur micrometer dan yang lebih besar. Pengamatan menunjukkan

    bahwa logam atau keramik dengan struktur nanometer memiliki sejumlah

    keunggulan dibandingkan dengan logam atau keramik dengan ukuran grain lebih

    besar. Keunggulan-keunggulan tersebut di antaranya: (1) memiliki kekuatan

    mekanik yang lebih besar (karena luas total permukaan partikel-partikel

    berukuran nanometer lebih besar), (2) dapat disinter (dipadatkan) pada suhu yang

    lebih rendah (suhu sintering menurun jika ukuran partikel lebih kecil) sehingga

    kepadatan penuh (fully densification) dapat dicapai pada suhu yang lebih rendah.

    Di samping itu sintering juga dapat dilakukan pada jangka waktu yang lebih cepat

    karena makin kecil ukuran partikel maka makin cepat laju sintering. Sifat-sifat

    tersebut melahirtkan sejumlah keuntungan seperti efisiensi penggunaan energi

    pada pembuatan keramik (karena suhu sintering rendah dan waktu sintering yang

    pendek) serta diperoleh keramik yang berkualitas tinggi.

    Kebergantungan laju densifikasi keramik yang terbuat dari

    partikel-partikel pada ukuran partikel telah diramalkan secara teoretik oleh

    Frenkel dan Herring Laju densifikasi keramik yang dibuat dari partikel-partikel

    berbanding terbalik dengan ukuran partikel. Dengan demikian, reduksi ukuran

  • 27

    partikel bahan dasar keramik dari mikrometer ke nanometer akan menghasilkan

    laju sintering yang cepat pada suhu tertentu. Pembuktian ekperimental teori ini

    dilakukan oleh Rhodes ketika melakukan sintering nanopartikel zirconium dan

    Skandan dkk yang membuktikan bahwa nanopartikel titanium dapat disinter pada

    suhu sangat rendah ( 800 oC). Hasil teori dan eksperimen tersebut mengindikasikan bahwa dengan memulai dari material berskala nanometer pada

    pembuatan keramik, maka akan dihasilkan sejumlah keuntungan seperti kekuatan

    yang lebih besar, penurunan suhu sintering, pengurangan waktu sintering sehingga

    dapat dicegah pertumbuhan grain yang tidak diharapkan. Diamati juga sejumlah

    material logam maupun non-logam menunjukkan yield strength yang makin besar

    jika ukuran grain makin kecil.

    Masalah utama yang muncul pada nanosintering adalah bagaimana

    menghilangkan poros yang semula berada antara bulir-bulir (grain). Mayo

    memodifikasi hukum sintering yang berdasarkan pada termodinamika konvensional

    dan mendapatkan efek ukuran partikel dan poros pada laju sintering

    RTQ

    rddtd

    n exp11

    )1(1 (2.1)

    dengan massa jenis, d ukuran partikel, n konstan, r jari-jari poros, R

    konstanta gas umum, dan Q energi aktivasi.

    2.2 Efek Ukuran Partikel pada Titik Lebur

    Titik lebur logam juga bergantung pada ukuran partikel. Makin kecil ukuran

    partikel makin kecil pula titik leburnya. Dalam ukuran bulk emas melebur pada suhu

  • 28

    1 064 oC. Namun, titik lebur emas turun secara drastis menjadi sekitar 200 oC

    ketika ukurannya tereduksi menjadi sekitar 2 nm. Gambar 2.1 adalah contoh

    kebergantungan titik lebuh terhadap ukuran partikel untuk material Sn.

    Gambar 2.1 Kebergantungan titik lebur pada ukuran untuk partikel Sn

    Kebergantungan titik lebur logam pada ukuran partikel dapat diperlihatkan

    secara sederhana sebagai berikut. Hubungan antara suhu Debye, D, dan energi pembentukan logam closed-packed monovalency, Ef, dapat didekati dengan

    persamaan

    2/1

    3/2

    =MVE

    K fD (2.2)

    dengan K adalah konstnta, M massa atom, dan V volum atomik. Persamaan ini

    diusulkan oleh Mukherjee, dan untuk kebanyakan logam kesalahan ang muncul tidak

    lebih dari 10%. Ef memiliki korelasi dengan energi kohesif seperti yang diusulkan

    oleh Doyama and Kohler, yaitu Ef = 0,29Ecoh. Dengan demikian, suhu Debye dapat

    dinyatakan dalam energi kohesi sebagai berikut

    2/1

    3/2'

    =MVEK cohD (2.3)

    dengan K` = (0,29)1/2 K.

    Karena titik lebur partikel menurun dengan mengecilnya ukuran maka

  • 29

    diharapkan energi ikat antar atom-atom penyusun partikel tersebut menurun

    dengan mengecilnya ukuran partikel. Akibatnya, energi kohesif juga berkurang

    dengan mengecilnya ukuran partikel. Untuk menghitung energi kohesif tersebut

    diperlukan pemahaman tentang gaya antar atom pembentuk partikel, yang

    umumnya menuntut perhitungan yang cukup kompleks. Pada pembahasan kali ini

    kita akan mengestimasi kebergantungan energi kohesi pada ukuran partikel dengan

    cara sederhana seperti yang diusulkan Qi dkk.

    Kita tinjau sebuah partikel yang memiliki jari-jari R. Luas permukaan

    partikel tersebut adalah So =4R2. Kita anggap partikel tersebut dapat dibagi atas n buah atom yang berbentuk bola dan berjari-jari r dengan memberikan energi En.

    Volume partikel asal sama dengan jumlah semua volum atom-atom hasil pembagian.

    Jumlah atom hasil pembagian memenuhi

    3

    3

    3

    3

    )3/4()3/4(

    rR

    rRn == (2.4)

    Luas permukaan n buah atom adalah S = n(4r2). Dengan demikian perubahan luas permukaan setelah pembagian partikel atas n buah atom adalah

    22 44 RrnS = (2.5)

    En dapat dianggap sebagai energi kohesif total yang diperlukan untuk memisahkan

    n buah atom penyusun partikel. Energi ini sama dengan energi permukaan zat

    seluas S pada suhu T = 0 K. Dengan demikian kita dapat menulis

  • 30

    ( )224 RnrSE oon == (2.6)

    dengan o adalah energi per satuan luas permukaan pada T = 0 K. Energi kohesif per atom menjadi

    ( )

    === 2

    2222 14/4

    nrRrnRr

    nEE ooncoh (2.7)

    Dengan mensubstitusi n dari persamaan (2.4) ke dalam persamaan (2.7) kita dapat

    menulis

    =RrrE ocoh 14

    2 (2.8)

    Kita telah menganggap atom berbentuk bola dengan jari-jari r. Namun, nilai

    ini mungkin berbeda dengan jari-jari riil atom tersebut. Jika kita ingin

    menggunakan jari-jari rill atom maka kita melakukan penskalaan pada nilai r di

    persamaan (2.8, yaitu mengganti r r, dengan adalah sebuah konstanta. Penskalaan ini menghasilkan bentuk akhir energi kohesi

    =RrrE ocoh

    14 22 (2.9)

    di mana r di sini adalah jari-jari riil atom. Jika R , energi kohesi sama energi

    energi kohesif material bulk, atau, Ecoh() = 4o2r2, atau ocohEr 4/)(= .

    Dengan demikian, kebergantungan energi kohesif pada ukuran partikel dapat

  • 31

    ditulis menjadi

    =

    RE

    ERE ocohcohcoh4/)(

    1)()( (2.10)

    Dengan menggabungkan persamaan (2.3) dan (2.10) kita dapatkan keergantungan

    suhu Debye pada ukuran partikel sebagai

    ( )

    =

    RE

    R ocohDD4/)(

    1)( 22 (2.11)

    dengan D() adalah suhu Debye material dalam keadaan bulk. Untuk menentukan suhu lebur, kriterial Lindemann sering digunakan.

    Peoses peleburan terjadi ketika akar rata-rata kuadrat simpangan (msd) atom

    pada material, yaitu 2 lebih besar dari suatu fraksi tertentu dari jarak antar atom. Berdasarkan sejumlah eksperimen didapat bahwa msd atom-atom yang

    menempati permukaan partikel, yaitu 2(s), lebih besar daripada msd atom-atom yang menempati bagian teras partikel 2(b). Fraksi 2(s)/2(b) bisanya berada antara 1.5 sampai 2. Sejumlah perhitungan menunjukkan bahwa penyimpangan nilai

    2(s) dari nilai 2(b) sangat besar pada dua atau tiga lapis terluar permukaan partikel kemudian menurun secara cepat ketika memasuki lapisan yang lebih dalam.

    Oleh Karen itu sangat logis apabila dipandang dari nilai msd, partikel dibagi atas

    dua daerah: daerah permukaan dengan ketebalan h dan teras dengan jari-jari R-h.

    Daerah permukaan direpresentasikan oleh 2(s) dan )()( RsD , sedangkan teras

    direpresentasikan oleh 2(b) dan )()( RbD .

  • 32

    Rata-rata kuadrat pergeseran atom pada suhu T memenuhi persamaan

    umum

    ( )

    += 0

    2

    21

    1/exp1),(),(

    dkT

    RgNM

    RT hh (2.12)

    dengan N adalah jumlah atom, g(R,) adalah distribusi frekuensi fonon dalam partikel yang memiliki jari-jari R, k konstanta Boltzmann, dan h konstanta Planck.

    Kita anggap bahwa g(R,)merupakan superposisi g(s)(R,) yang dimiliki lapisan kulit partikel dan g(b)(R,) yang dimiliki teras partikel. Fraksi volum teras dan kulit partikel masing-masing vb = (1-h/R)3 dan vs = 1- (1-h/R)3. Kita juga mengingat

    bahwa suhu Debye menentukan batas atas frekuensi gertaran kisi. Frekuensi

    getaran kisi hanya ada dalam jangkauan sari nol sampai batas maksimum kD/h. Dengan demikian kita dapat menulis

    ( ) ( ) ( ) ( )[ ] )(3)(3 ),(/11,/1, sb RgRhRgRhRg += (2.13) ( ) [ ]3)(

    2

    3

    3)(

    )(9,

    RkNRg

    bD

    b

    = h , untuk h

    )(0)( Rk bD (2.14)

    ( ) [ ]3)(2

    3

    3)(

    )(9,

    RkNRg

    sD

    s

    = h , untuk h

    )(0)( Rk sD (2.15)

    Persamaan (2.12) selanjutnya dapat ditulis sebagai

    [ ]

    =TR

    bD

    bD

    ydyy

    Rh

    RMkTRT

    /)(

    0

    3

    3)(

    222

    )(

    1)(exp1

    )(9),( h

  • 33

    [ ]

    +

    TR

    sD

    sD

    ydyy

    Rh

    RMkT /)(

    0

    3

    3)(

    22)(

    1)(exp11

    )(9h

    +

    +

    )(111

    )(11

    49

    )(

    3

    )(

    32

    RRh

    RRh

    Mk sDsD

    h (2.16)

    dengan kTy /h= .

    Untuk menentukan titik lebur kita menggunakan kriteria Lindemann, yaitu

    proses peleburan terjadi ketika terpenuhi

    aRTm =),(2 (2.17)

    dengan 10

  • 34

    165 K. Kita anggap kelakukan serupa terjadi pula pada partikel, yaitu titik lebur

    partikel jauh lebih besar daripada suhu Debyenya. Dengan demikian

    0)()(

    m

    sD

    TR , dan 0)(

    )(

    m

    bD

    TR

    Batas integral pada suku pertama dan kedua di ruas kanan adalah dari nol sampai

    suatu bilangan yang mendekati nol. Variabel y yang berada dalam integrand

    mengambil nilai di sekitar nol saja sehingga kita dapat mengaproksimasi

    m

    bD

    TRTRTR

    TRdy

    ydyy

    ydyy m

    bDm

    bDm

    bD )(

    1)1(1)(exp

    )(/)(

    0

    /)(

    0

    /)(

    0

    )()()( ==+

    (2.19a)

    m

    sD

    TRTRTR

    TRdy

    ydyy

    ydyy m

    sDm

    sDm

    sD )(

    1)1(1)(exp

    )(/)(

    0

    /)(

    0

    /)(

    0

    )()()( ==+

    (2.19b)

    [ ] mbD

    bD

    m

    TR

    Rh

    RMk

    Ta )(1)(

    9 )(33)(

    2222

    h [ ] msD

    sD

    m

    TR

    Rh

    RMkT )(

    11)(

    9 )(33)(

    22

    +

    h

    +

    +

    )(111

    )(11

    49

    )(

    3

    )(

    32

    RRh

    RRh

    Mk sDsD

    h

    [ ] [ ]

    +

    =

    3

    2)(

    23

    2)(

    2

    11)(

    91

    )(

    9Rh

    RMkT

    Rh

    RMkT

    sD

    mbD

    m hh

    +

    +

    )(111

    )(11

    49

    )(

    3

    )(

    32

    RRh

    RRh

    Mk sDsD

    h (2.20)

  • 35

    Suku pertama dan kedua di ruas kanan persamaan (2.20) mengandung pembagian

    titik lebur dan suhu Debye yang nilainya jauh lebih besar daripada satu. Adanya

    pembagian tersebut yang tidak muncul di suku ketiga menyebabkan nilai suku

    ketiga jauh lebih kecil daripada nilai suku pertama dan kedua sehingga suku ketiga

    dapat diabaikan. Dengan demikian kita dapatkan bentuk aproksimasi

    [ ] [ ]

    +

    3

    2)(

    23

    2)(

    222 11

    )(

    91

    )(

    9Rh

    RMkT

    Rh

    RMkTa

    sD

    mbD

    m hh

    yang dapat disusun ulang sehingga kita dapatkan ungkapan untuk titik lebur

    sebagai berikut

    [ ] 12

    33

    2

    2)(22 11119

    )()(

    +

    =

    Rh

    RhRaMkRT

    bD

    m h (2.21)

    dengan )(/)( )()( RR sDbD = . Kita anggap )()( RbD dan )()( RsD memiliki

    kebergantungan yang sama pada ukuran partikel seperti yang diberikan oleh

    persamaan (2.11). Ini berarti, )()( RbD ditentukan oleh energi kohesif atom-atom

    di teras dan )()( RsD ditentukan oleh energi kohesif atom-atom di kulit partikel.

    Dengan asumsi ini kita dapat menulis )(/)( )()( = sDbD , yaitu., tidak bergantung

    pada ukuran partikel. Nilai berada antara 0,7 sampai 0,8. Jarak antar atom mungkin berubah dengan ukuran partikel. Namun variasinya sangat kecil. Lambert

    dkk memperlihatkan bahwa untuk partikel palladium bulkbulkpart aaa /)( hanya

  • 36

    sekitar 0.03% bagi partikel yang berukuran 1.4 nm. Oleh karena itu cukup dapat

    diteima jika dianggap a pada persamaan (2.21) tidak bergantung pada ukuran

    partikel. Akhirnya kita dapatkan

    ( )( ) ( )[ ] 233 1/11/1

    /1)()(

    RhRh

    RrTRT mm+

    = (2.22)

    Beberapa penulis juga mendapatkan bentuk yang berbeda untuk

    kebergantungan titik lebur pada ukuran partikel, namun semuanya sampai pada

    kesimpulan yang sama, yaitu titik lebur berkurang dengan mengecilnya ukuran

    partikel. Contohnya, hubungan antara titik lebur partikel logam dengan ukuran

    dapat juga dinyatakan dengan persamaan

    =HR

    TRT mm 21)()( (2.23)

    dengan Tm() titik lebur emas dalam ukuran bulk, adalah konstanta, adalah massa jenis, R adalah jari-jari partikel, dan H adalah kalor latent fusi. Bentuk lain

    untuk memprediksi kebergantungan titik didih pada suhu adalah

    LdTvT bom

    4= (2.24)

    dengan Tm penurunan titik didih, tegangan permukaan, L kalor laten fusi, d diameter partikel, vo adalah volum molar zat padat, dan Tb titik lebur material

    bulk.

  • 37

    Penurunan titik lebur akibat mengeciulnya ukuran partikel dapat dipahami

    secara sederhana dari konsep ikatan antar atom. Atom-atom yang menempati

    posisi di dalam material mengalami ikatan dengan atom-atom lain dari segala arah

    sehingga ikatannya sangat kuat. Atom-atom yang berada di permukaan material

    hanya mengalami ikatan dengan atom lain dari arah dalam dan dari arah samping

    sehingga ikatan yang dialaminya lebih lemah. Makin kecil ukuran material maka

    makin banyak persentase atom-atom yang menempati permukaan material

    sehingga makin banyak persentase atom yang mengalami ikatan lemah. Akibatnya,

    energi ikatan rata-rata antar atom makin lemah yang berakibat pada menurunnya

    titik lebur material tersebut.

    2.3 Efek Ukuran Partikel pada Konstanta Dielektrik

    Konstanta dielektrik material juga dipengaruhi oleh dimensi material.

    Makin kecil dimensi material maka makin kecil konstanta dielektrik material

    tersebut. Film yang sangat tipis memiliki konstanta dielektrik yang lebih kecil

    daripada material bulk (ukuran besar). Dan nanopartikel memiliki konstanta

    dielektrik yang lebih kecil lagi.

    Pengecilan konstanta dielektrik akibat ukuran partikel yang makin kecil

    dapat dipahami sebagai berikut. Konstanta dielekrik muncul akibat adanya dipole

    listrik, yaitu muatan posisif dan negatif yang terpisah pada jarak tertentu. Dalam

    material, jarak pisah muatan listrik negatif (elektron) dan positif (teras atom)

    sangat kecil, yaitu lebih kecil daripada jari-jari atom. Jika atom-atom menyusun

    material yang berukuran besar maka umumnya elektron yang dimiliki atom bersifat

    lebih mobil jika dibandingkan dengan elektron pada atom yang sama dalam keadaan

    terisolasi. Akibatnya, atom-atom yang menyusun material yang besar akan

  • 38

    menghasilkan momen dipole yang lebih besar jika diberikan medan listrik

    dibandingkan dengan atom-atom dalam keadaan terisolasi.

    Jika ukuran partikel sangat kecil, maka makin banyak atom berada di

    permukaan partikel. Atom-atom ini tidak sepenuhnya bersifat seperti atom-atom

    dalam material yang berukuran besar. Atom-atom di permukaan partikel akan

    mendekati sifat atom terisolasi sehingga memiliki momen dipole yang mendekati

    momen dipole atom yang berada dalam keadaan terisolasi. Momen dipole yang kecil

    yang dimiliki atom di permukaan ini berperan dalam menurunkan momen dipol

    partikel secara keseluruhan. Makin kecil ukuran partikel maka makin besar fraksi

    atom yang menempati permukaan partikel. Dengan demikian makin banyak atom

    yang menyumbangkan momen dipol yang kecil pada partikel.

    Sebagai ilustrasi kasar untuk memahami fenomena ini mari kita anggap

    sebuah partikel memiliki jari-jari R. Misalkan konstanta dielektik materil dalam

    keadaan bulk adalah b. Misalkan atom-atom di permukaan dengan ketebalan h, di mana h < R memberikan konstanta dielektrik p dengan p < b. Volum total partikel adalah V=(4/3)R3. Volume bagian kulit partikel yang memiliki ketebalan h adalah Vp = (4/3)[R3-(R-h)3] sedangkan volum bagian teras partikel yang memiliki konstnta dielektrik b adalah Vb=(4/3)(R-h)3. Konstanta dielektrin efektif dapat didekati dengan persamaan

    pp

    bb

    ef VV

    VV +=

    pb Rh

    Rh

    +

    =

    33

    111 (2.25)

    Metode yang lebih teliti untuk menghitung konstanta dielektrik telah

  • 39

    diperkenalkan oleh sejumlah peneliti. Salah satu bentuk kebergantungan

    konstanta dielektrik nanopartikel pada ukuran diberikan oleh persamaan

    l)/(11)(1)(R

    R +

    += (2.26)

    dengan () adalah konstanta dielektrin material dalam bentuk bulk, R adalah jari-jari partikrel, dan l adalah konstanta-konstanta. Khusus untuk silicon diperoleh b = 11,4, = 1,093 nm, dan l = 1. Gambar 2.2 adalah perbandingan prediksi konstanta dielektrik nanopartikel menggunakan persamaan (2.25) dan

    (2.26).

    Kebergantungan konstanta dielektrik terhadap ukuran nanopartikel

    memungkinkan pengembangan material yang memiliki konstanta dielektrik rendah

    (low dielectric constant materials) dengan membangun material tersebut sebagai

    komposisi dari sejumlah nanopartikel. Material dengan konstanta dielektrik

    rendah dipakai dalam pengembangan memori super cepat.

    Gambar 2.2 Kebergantungan konstanta dielektrik partikel silicon terhadap

    jari-jari yang dihitung dengan persamaan (2.25) dan (2.26).

    2.4 Efek Ukuran pada Lebar Celah Pita Energi

    Dalam bahan semikonduktor murni, energi yang dimiliki elektron hanya

    mungkin berada pada salah pita energi, yaitu pita valensi atau pita konduksi.

    Gambar 2.3 adalah ilustrasi pita valensi dan konduksi dalam bahan semikonduktor.

    Pada suhu yang sangat rendah, elektron hanya menempati tingkat energi pada pita

    valensi. Antara pita valensi dan pita konduksi terdapat nilai-nilai energi yang tidak

  • 40

    dapat dimiliki oleh elektron. Daerah tersebut disebut celah pita energi (energy

    band gap).

    Jika mendapat energi yang cukup misalnya dari foton, atau panas, atau

    tumbukan oleh partikel lain, elektron yang semula berada di pita velensi dapat

    meloncat ke pita konduksi. Energi yang diterima elektron minimal harus sama

    dengan celah pita energi. Loncatan tersebut meninggalkan keadaan kosong di pita

    konduksi. Keadaan kosong tersebut berperilaku seolah-olah sebagai sebuah

    partikel bermuatan positif dan dinamakan hole. Persyaratan bagi elektron agar

    dapat mencapai pita konduksi adalah energi yang diterima harus lebih besar dari

    celah pita energi, Eg. Misalkan eksitasi dilakukan dengan gelombang cahaya

    (frekuensi rendah), maka frekuensi cahaya pengeksitasi harus memenuhi hf > Eg

    dengan h konstanta Planck dan f adalah frekuensi cahaya pengeksitasi. Umumnya,

    cahaya yang digunakan untuk mengeksitasi elektron dari pita valensi ke pita

    konduksi adalah cahaya ulntaviolet karena hanya cahaya inilah yang memeiliki

    energi foton yang lebih besar daripada energi celah pita energi kebanyakan bahan

    semikonduktor. Sebagai contoh, untuk bahan semikonduktor dengan lebar celah

    pita energi 3,4 eV dapat dieksitasi dengan cahaya yang memiliki panjang

    gelombang di bawah 364 nm. Panjang gelombang ini berada di daerah ultraviolet.

    Gambar 2.3 Ilustrasi pita valensi, pita konduksi, dan celah pita energi bahan

    semikonduktor

    Keadaan tereksitasi bukan merupakan keadaan stabil. Elektron hanya

    bertahan beberapa saat di keadaan eksitasi dan setelah itu kembali ke keadaan

    awal mengisi kembali keadaan kosong yang semula ditinggalkannya di pita valensi.

  • 41

    Proses ini disebut deeksitasi atau rekombinasi. Disebut rekombinasi karena

    elektron bergabung kembali dengan hole sehingga hole menjadi hilang. Saat proses

    deeksitasi ini dilepaskan energi yang bisa berupa panas (getaran atom-atom dalam

    bahan) atau bisa berupa pemancaran cahaya. Deeksitasi yang disertai pelepasan

    panas disebut radiationless transition, sedangkan deeksitasi yang disertai

    pemancaran gelombang elektromagnetik disebut radiative transition. Pada transisi

    radiatif, energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan kira-kira sama

    dengan lebar celah pita energi, yaitu hf Eg. Dengan demikian, frekuensi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan adalah f Eg/h. Karena frekuensi merepresentasikan warna, maka tampak di sini bahwa warna yang dihasilkan

    material ketika terjadi proses deeksitasi sangat bergantung pada lebar celah pita

    energi. Ini merupakan salah satu dasar rekayasa pita energi. Apabila kita memiliki

    kemampuan mengontrol lebar celah pita energi material maka kita dapat

    menghasilkan material yang menghasilkan warna yang berbeda-beda.

    Dan beruntunglah bahwa lebar celah pita energi bahan semikonduktor

    bergantung pada ukuran jika ukuran partikel hanya beberapa nanometer. Sebagai

    contoh, partikel HgSe dengan diameter 50 nm memiliki lebar celah pita energi 0.3

    eV. Tetapi ketika diamaternya direduksi menjadi 3 nm, lebar celah pita energi

    membesar menjadi sekitar 3.2 eV. Fenomena ini kadang disebut efek ukuran

    kuantu (quantum size effect). Pengamatan efek ukuran kuantum tiga dimensi

    pertama diamati pada koloid CdS dan AgI dan dapat diterangkan dengan baik.

    Pengaruh dimensi partikel terhadap lebar celah pita energi dapat dipahami

    sebagai berikut. Ketika kita memindahkan elektron dari pita valensi ke pita

    kondukasi, yang dilakukan adalah melepaskan elektron dari ikatan oleh ion-ion

    positif di sekitarnya sehingga menjadi elektron yang lebih bebas. Elektron paling

  • 42

    sulit dilepas dari satu atom terisolasi. Energi yang diperlukan untuk melepas

    elektron dari atom terisolasi sama dengan energi ionisasi, dan nilainya sangat

    besar. Jika beberapa atom digabung menjadi material maka elektron-elektron

    dalam material tersebut menjadi lebih mobil. Akibatnya makin sedikit energi yang

    diperlukan untuk membuat elektron-elektron dalam material tersebut untuk

    menjadi elektron yang lebih bebas. Ini berarti, lebar celah pita energi yang

    dimiliki material yang tersusun dari sejumlah atom makin kecil. Makin banyak

    jumlah atom penyusun material maka makin kecil energi yang diperlukan untuk

    menghasilkan elektron-elektron yang hampir bebas, berarti makin kecil pula lebar

    celah pita energi. Sampai suatu saat, kebebasan elektron mencapai nilai saturasi di

    maka penambahan jumlah atom penyusun material tidak legi mengubah kekebasan

    elektron. Dalam keadaan ini lebar celah pita energi tidak lahi bergantung pada

    ukuran material. Lebar celah pita energi sama dengan lebar celah pita energi

    material dalam keadaan bulk.

    Kita dapat memprediksi bentuk kebergantungan lebar celah pita energi

    terhadap ukuran partikel sebagai berikut. Perhatikan Gbr 2.4. Misalkan terdapat

    satu atom terisolasi. Elektron sangat sulit keluar dari atom tersebut. Ini dapat

    dianalogikan dengan adanya barier potensial yang sangat tinggi yang ada di

    sekeliling elektron. Jika terdapat dua atom yang didekatkan maka barier potensial

    pada lokasi antara dua atom yang dialami elektron lebih rendah. Jika ada tiga atom,

    maka barier potensial antara atom yang dirasakan elektron makin rendah lagi dan

    lebih mudah bagi elektron berpindah antar atom-atom. Makin banyak atom

    penyusun material maka barrier potensial makin rendah. Dan ketika jumlah atom

    penyusun material sudah banyak sekali, yaitu menuju tak berhingga, maka barreir

    potensial yang dirasakan elektron mencapai nilai saturasi U. Jelas di sini bahwa

  • 43

    ketinggian barrier potensial makin kecil jika ukuran partikel makin besar. Salah

    pendekatan yang logis untuk menyatakan barrier potensial sebagai fungsi ukuran

    partikel adalah

    RAURU += )( (2.27)

    dengan A dan adalah konstanta. Hubungan ini secara otomatis memberikan U jika R .

    Gambar 2.4 Ilustrasi kebergantungan tinggi barrier potensial yang dirasakan

    elektron terhadap jumlah atom penyusun material

    Tinggi barrier potensial secara langsung menentukan lebar celah pita

    energi. Hubungan antara lebar celah pita energi dengan ketinggian barrier

    potensial kira-kira memenuhi UEg . Dengan menggunakan persamaan (2.27) kita

    dapat mengaproksimasi kebergantungan lebar celah pita energi terhadap ukuran

    partikel sebagai

    + RAUREg )(

    RAEg')( += (2.28)

    di mana A adalah konstanta dan Eg() adalah lebar celah pita energi material bulk.

    Gambar 2.5 Elektron dan holeh terpisah hanya dalam jarak yang terbatas dalam

  • 44

    partikel nanometer yang berjari-jari R.

    Ketika elektron tereksitasi, maka elektron hanya dapat meninggalkan

    lokasi awal (hole) dalam jarak yang sangat terbatas karena terbatasnya ukuran

    partikel. Ini diilustrasikan pada Gbr 2.5. Ini menyebabkan munculnya tarikan

    coulomb yang cukup kuat antara elektron dan hole yang pada akhirnya sedikit

    menurunkan lebar celah pita energi. Potensial tarikan antara elektron dan hole

    memenuhi

    RV he

    1 (2.29)

    dengan adalah konstanta dielektrik material. Dengan menggabungkan persamaan (2.28) dan (2.29) kita dapatkan bentuk umum kebergantungan lebar celah energi

    terhadap ukuran partikel adalah

    RB

    RAERE gg +')()( (2.30)

    dengan B sebuah konstanta lain.

    Lebar celah pita energi nanopartikel semikonduktor terhadap ukuran

    partikel diturunkan secara sistematik oleh Brus dengan menggunakan pendekatan

    massa efektif. Brus mendapatkan persamaan

    Re

    mmRhERE

    hegg

    2**2

    22 8.1112

    )()(

    ++= (2.31)

  • 45

    dengan h adalah konstanta Planck, me* adalah massa efektif elektron, mh* adalah

    massa efektif hole, dan e adalah muatan elektron. Besaran yang memenuhi

    **

    111

    he mm+= (2.32)

    disebut mass tereduksi elektron dan hole. Persamaan (2.30) serupa dengan

    persamaan (2.31) jika diambil = 2. Tabel 2.1 adalah lebar celah pita energi dalam ukuran besar (bulk) dan massa effektif elektron dan hole dalam beberapa material

    semikonduktor. Gambar 2.6 adalah kebergantungan lebar celah pita energi

    terhadap ukuran nanokristal yang diperoleh dari sejumlah eksperimen.

    Tabel 2.1 Lebar celah pita energi dalam ukuran besar (bulk) serta masse effektif

    elektron dan hole dalam beberapa material. Data massa efektif ditampilkan dalam

    satuan massa elektron (9,1 10-31 kg) Material Eg() dalam eV Massa efektif

    elektron

    Massa efektif hole

    GaAs 1,4 0,07 0,09

    GaP 2,3 0,12 0,50

    GaSb 0,7 0,20 0,39

    InAs 0,4 0,03 0,02

    InP 1,3 0,07 0,69

    InSb 0,2 0,01 0,18

    CdS 2,6 0,21 0,80

  • 46

    CdSe 1,7 0,13 0,45

    CdTe 1,5 0,14 0,37

    ZnS 3,6 0,40 5,41

    ZnSe 2,7 0,10 0,60

    ZnTe 2,3 0,10 0,60

    ZnO 3,44 0,24 0,45

    PbS 0,4 0,25 0,25

    PbSe 0,3 0,33 0,34

    PbTe 0,3 0,22 0,29

    Gambar 2.6 Kebergantunga lebar celah pita energi nanokristal silicon terhadap

    ukuran partikel yang diperoleh dari sejumlah eksperimen

    Persamaan (2.31) cukup sesuai dengan hasil eksperimen jika ukuran

    partikel lebih besar dari 3 nm, tetapi agak menyimpang jika ukuran partikel kurang

    dari 3 nm. Hal ini disebabkan karena massa efektif tidak terlalu tepat digunakan

    jika ukuran partikel sangat kecil di mana partikel hanya mengandung ratusan atom.

    Pada persamaan (2.31) suku kedua muncul akibat keterbatasan ruang gerak

    elektron dan hole di dalam partikel (disebut confinemen effect). Efek ini

    memperbesar jarak antara pita valensi dan pita konduksi. Untuk material yang

    sagat besar (bulk) kita dapat mengambil R sehingga suku kedua nol, atau tidak ada efeknya pada jarak antar pita valensi dan konduksi. Suku ketiga muncul akibat

    adanya tarikan Coulomb antara elektron dan hole setelah elektron nengalami

    eksitasi. Karena ruang gerak elektron yang terbatas, maka jarak elektron dan hole

    tidak bisa jauh. Akibatnya, tarikan antara keduanya selalu ada yang berimbas pada

  • 47

    pengurangan energi yang dimiliki elektron setelah mengalami eksitasi. Jika ukuran

    partikel sangat besar (bulk) maka elektron dan hole dapat berpisah sangat jauh

    sehingga tarikan antara keduanya dapat dianggap nol. Akibatnya tidak ada

    pengurangan energi yang dimiliki elektron setelah meloncat ke pita valensi.

    Kebergantungan lebar celah pita energi terhadap ukuran partikel

    sebenarnya dapat diterima dengan mudah. Dari kuliah fisika kuantum yang dasar

    sekali kita sudah mempelajari bahwa tingkat energi partikel yang terperangkap

    dalam kotak dengan dimensi berhingga terkuantisasi dengan jarak antar tingkat

    energi berdekatan bergantung pada ukuran kotak. Agar lebih jelas, mari kita

    selidiki kembali fenomena ini dengan menganggap elektron ditempatkan dalam

    kotak satu dimensi yang panjangnya L. Potensial dalam kotak nol sedangkan

    potensial di luar kotak dari posisi dinding adalah tak berhingga seperti

    diilustrasikan pada Gb 2.7. Potensial pada semua posisi dapat diungkapkan secara

    matematis sebagai berikut

  • 48

    dengan syarat batas yang harus dipenuhi oleh fungsi gelombang tersebut adalah

    0)()0( == L (2.35)

    Solusi persamaan (2.34) dengan mengenakan syarat batas (2.35) memiliki bentuk

    umum

    )sin()cos()( kxBkxAx += (2.36)

    dengan

    22 2

    hmEk = (2.37)

    dan A dan B adalah konstanta.

    Dengan menggunakan syarat batas 0)0( = maka 010 += BA yang

    menuntut bahwa A = 0. Jadi, persamamaan gelombang tereduksi menjadi

    )sin()( kxBx = (2.38)

    Kemudian, dengan menggunakan syarat batas 0)( = L diperoleh )sin(0 kLB= .

    Kesamaan ini dipenuhi oleh sejumlah nilai k yang memenuhi

    nkL = (2.39)

  • 49

    atau

    Lnk = (2.40)

    dengan n adalah bilangan bulat. Karena k memiliki nilai yang bergantung pada n

    maka akan lebih lengkap apabila menuliskan k disertai indeks n, yaitu

    Lnkn= (2.41)

    Apabila persamaan (2.37) dan (2.41) digabung dan menerapkan indeks n juga pada

    energi, maka diperoleh tingkat-tingkat energi yang dapat dimiliki partikel adalah

    2

    222

    2mLnEn

    h= (2.42)

    Gambar 2.8 adalah skema tingkat-tingkat energi elektron dalam kotak potensial

    pada berbagai ukuran kotak. Jarak antar dua tingkat energi yang berdekatan,

    yaitu tingkat energi dengan indeks n dan n+1 adalah

    nnn EEE = +1 222

    2)12(

    mLn h+= (2.43)

    Tampak bahwa jarak antar tingkat energi bergantung pada ukuran kotak. Makin

    kecil ukuran kotak maka jarak antar tingkat energi berdekatan makin lebar. Ini

    adalah salah satu fenomena bahwa keadaan energi partikel sangat bergantung

    pada dimensi ruang di mana partikel tersebut berada. Juga tampak pada

  • 50

    persamaan (2.43) bahwa jarak antar tingkat energi berbanding terbalik dengan

    kuadrat dimensi kotak. Dengan demikian untuk material berbentuk partikel jarak

    antar tingkat energi pun diharapkan berubah secara kudrat terbalik terhadap

    dimensi partikel (jari-jarinya), yang pada akhirnya melahirkan kebergantungan

    lebar celah pita energi terhadap jari-jari partikel sebagai fungsi kebalikan

    pangkat dua jari-jari.

    Gambar 2.8 Tingkat-tingkat energi elektron yang terperangkap dalam kotak

    sebagai fungsi ukuran kotak. Makin kecil ukuran kotak maka makin jauh jarak

    antara tingkat energi

    Pengukuran yang lebih lengkap kebergantungan celah pita energi pada

    ukuran partikel ditampilkan pada Gbr 2.6 untuk patikel silicon. Hasil perhitungan

    secara teroretik berupa kurva juga ditampilkan. Tampak bahwa pengurangan

    ukuran partikel benar-benar memperbesar lebar celah pita energi.

    Carbon nanotube semikonduktor juga memperlihatkan kebergantungan

    lebar celah pita energi terhadap dimensi. Lebar celah pita energi membesar

    dengan mengecilnya diameter nanotube tersebut menurut persamaan

    daE CCog = 2 (2.44)

    dengan o = 2.5 eV, d adalah diameter carbon nanotube, dan aC-C adalah jarak antar atom karbon.

    2.5 Efek Ukuran pada Reaktivitas Kimia

  • 51

    Jika ukuran partikel diperkecil ke dalam skala nanometer, reaktivitas

    material tersebut berubah secara drastis. Hal ini membuka peluang aplikasi baru

    yang tidak dapat diterapkan pada material berukuran besar. Sebagai contoh

    menarik adalah pengembangan elektroda negatif baterei litium-ion dengan

    menggunakan oksida logam transisi sebagai elektroda negatif. Penggunaan oksida

    logam transisi menuntut berlangsunya reaksi M + Li2O MO + 2 Li, dengan M adalah logam transisi. Namun, Li2O telah dibuktikan merupakan senyawa yang

    secara elektrokimia tidak aktif sehingga reaksi di atas sulit direalisasikan. Namun,

    Poizot dkk memperlihatkan bahwa jika ukuran partikel MO direduksi ke dalam

    orde nanometer, maka reaksi di atas dapat berlangsung, sehingga baterei lithium

    ion yang menggunakan oksida logam transisi sebagai elektoda negatif dapat

    diwujudkan. Dan dibuktikan, dengan menggunakan material ini sebagai elektroda

    negatif, maka sejumlah keunggulan dapat dicapai seperti kapasitas elektrokimia

    yang tinggi, kapasitas retention 100% hingga 100 siklus dan laju recharging yang

    tinggi.

    Reaktivitas kimia suatu partikel sangat bergantung pada jumlah atom yang

    ada para permukaan partikel karena atom-atom inilah yang akan melakukan kontak

    langsung dengan material pasangan. Misalkan sebuah partikel memiliki jari-jari R.

    Luas permukaan partikel adalah So = 4R2. Jika jari-jari efektif sebuah atom adalah a, maka luas penampang efektif satu atom adalah s = a2. Dengan demikian, jumlah atom yang menempati permukaan partikel adalah

    2

    24aR

    sSN os == (2.45)

    Volum partikel adalah Vo = (4/3)R3 dan volum satu atom adalah vo = (4/3)a3.

  • 52

    Dengan demikian jumlah atom yang terkandung dalam partikel berjari-jari R

    adalah

    3

    3

    aR

    vVNo

    o == (2.46)

    Akhirnya kita dapatkan fraksi atom yang menempati permukaan partikel adalah

    Ra

    NNs 4= (2.47)

    Tampak bahwa fraksi atom yang menempati permukaan partikel makin besar jika

    ukuran partikel makin kecil. Inilah sebab mengapa makin kecil ukuran partikel maka

    makin reaktif partikel tersebut terhadap rekasi kimia.

    2.6 Efek Distribusi Ukuran pada Absorpsi

    Efek ukuran kuantum bergantung pada ukuran partikel. Oleh karena itu

    efek ukuran secara jelas dan unik akan termati jika kita bisa membuat partikel

    dengan ukuran seragam (monodisperse). Namun, nanopartikel yang benar-benar

    monodisperse hampir tidak mungkin dibuat. Dengan metode sintesis apa pun, yang

    dihasilkan selalu partikel dengan distribusi ukuran tertentu. Sejumlah metode

    mampu menghasilkan nanopartikel dengan distrubusi yang sangat sempit,

    sedangkan metode lainnya menghasilkan distribusi yang sangat lebar. Seringkali

    untuk menghasilkan partikel-partikel dengan distribusi yang sempit, perlakuan

    khusus dilakukan pada partikel yang telah dibuat seperti penyaringan (filter),

    sentrifuge, elektroforesis, dan sebagainya.

  • 53

    2.9 Contoh distribusi ukuran partikel: (kiri) partikel yang mengandung variasi

    ukuran yang sangat besar dan (kanan) partikel dengan ukuran yang mendekati

    seragam

    Gambar 2.9 adalah contoh kurva distribusi partikel. Pada Gbr 2.9 kiri,

    partikel yang dibuat mengandung ukuran yang sangat bervariasi, dengan jangkauan

    ukuran yang sangat lebar. Sampel partikel semacam ini sering disebut polidispersi.

    Sebaliknya pada Gbr. 2.9 kanan, partikel memiliki ukuran-ukuran pada jangkauan

    yang sempit. Sampel semacam ini disebut monodisperse. Dalam literatur, jika

    disebut partikel monodispersi tidak bermakna ukuran partikel semuanya sama,

    tetapi variasi ukuran partikel sangat sempit.

    Dengan variasi ukuran partikel pada sampel yang dibuat maka secara

    otomatis sifat keseluruhan dari sampel merupakan kombinasi dari sifat-sifat

    partikel individual. Jika tidak ada interaksi antar partikel penyusun sampel maka

    sifat keseluruhan dari sampel harus merupakan superposisi sederhana dari sifat

    partikel individual. Sebagai contoh, jika (r) adalah sifat dari partikel tunggal dengan jari-jari r, maka sifat keseluruah dari sampel, , dapat ditulis secara sederhana sebagai

    =0

    )()( drrrf (2.48)

    dengan f(r) adalaf frekuensi distribusi partikel dengan jari-jari r.

    Umumnya ukuran nanopartikel yang dibuat lebih sering memenuhi fungsi

  • 54

    distribusi log-normal daripada fungsi-fungsi distribusi lainnya. Dalam fisika

    aerosol, asumsi distribusi log-normal bagi ukuran partikel aerosol telah digunakan

    secara luas karena dari sejumlah pengamatan memang fungsi distribusi log-normal

    lebih mendekati realitas. Juga ukuran nanokristal dalam poros silikon juga dapat

    dijelaskan dengan baik menggunakan fungsi distribusi log-normal. Fungsi

    log-normal juga sering digunakan untuk mendeskripsi ukuran partikel dari hasil

    proses koagulasi. Menurut distribusi ini, konsentrasi partikel yang memiliki

    jari-jari antara r sampai r+dr memenuhi

    drrr

    rNdrrf g

    = 2

    20

    ln2/ln

    expln2

    )( (2.49)

    dengan adalah standar deviasi geometri dan gr adalah median jari-jari.

    Parameter mengukur sebaran ukuran partikel. Partikel disebut monodispersi jika 1. Median jari-jari gr adalah jari-jari di mana setengah dari jumlah partikel

    memiliki jari-jari kurang dari gr dan setengahnya memiliki jari-jari lebih besar

    dari gr , atau

    2)()(

    0

    Ndrrfdrrfg

    g

    r

    r

    == (2.50)

    dengan N adalah jumlah total partikel.

    Untuk mendapatkan informasi bagaimana lebar sebaran ukuran partikel,

    kita bisa peroleh melalui parameter full width at half maximum (FWHM), seperti

  • 55

    diilustrasikan pada Gbr 2.10. Parameter ini menyatakan berapa lebar kurva pada

    ketinggian setengah dari ketinggian maksimum. Dapat dibuktikan bahwa FWHM

    memenuhi

    [ ] ( )[ ]4lnlnsinhlnexp2 2 grFWHM = (2.51)

    Gambar 2.10 Ilustrasi FWHM untuk fungsi distribusi ukuran partikel

    Gambar 2.11 (Kiri) spectrum absoprsi nanopartikel CdS yang dibuat di dalam

    matrik polimer oleh Yao dan Kitamura. Titik-titik adalah hasil pengukuran dan

    kurva adalah hasil fitting. (Kanan) Fungsi distribusi log-normal nanopartikel CdS

    yang digunakan untuk membuat kurva fitting pada gambar kiri.

    Contoh aplikasi pendekatan ini dilakukan oleh Yao dan Kitamura

    memprediksi spektrum absorpsi nanopartilel CdS yang dibuat dalam matriks

    polimer menggunakan hubungan

    = )ln()()()( dddfk d (2.52)

    dengan )( d adalah koefisien absorpsi partikel tunggal yang berdiameter d , k

    adalah sebuah konstanta, dan )(df adalah fungsi distribusi ukuran dalam bentuk

    log-normal. Gambar 2.11 kiri adalah spektrum absorpsi berbagai komposit

    nanopartikel dalam matriks polimer serta kurva fitting yang bersesuaian. Dalam

    membuat kurva fitting, distribusi log-normal untuk ukuran partikel telah

  • 56

    digunakan. Distribusi ukuran nanopartikel tampak pada Gbr. 2.11 kanan.

    Parameter-parameter fungsi distribusi tersebut adalah A: ( 7.22 =gr ; 37.0= );

    B: ( 4.22 =gr ; 37.0= ); C: : ( 4.22 =gr ; 31.0= ).

    Efek Ukuran pada Piranti Elektronik

    Masalah yang berkaitan dengan reduksi ukuran divais

    Ketebalan gerbang oksida MOSFET dengan panjang kanal beberapa

    micrometer umumnya sekitar 100 nm. Dengan penggunaan tegangan gerbang

    sekitar 5 Volt maka dihasilkan medan listrik dalam oksida sekitar 5 Volt/100 nm =

    5 107 V/m. Nilai medan tersebut cukup besar tetapi masih aman karena berada di bawah ambang batas avalenche breakdown material. Untuk merealisasikan divais

    MOS dengan panjang kanal submikrometer diperlukan ketebalan lapisan oksida di

    bawah 100 nm. Sebagai contoh, dengan menggunakan lapisan oksida yang memiliki

    ketebalan antara 20 sampai 30 nm maka penerapan tegangan gerbang sekitar 5

    Volt menghasilkan medan listrik dalam oksida antara 1,7 109 sampai 2,5 109 V/m. Medan tersebut sangat besar sehingga meningkatkan peluang terjadinya

    avalenche breakdown material serta meningkatkan peluang terjadinya

    penerobosan elektron (elektron tunneling) melewati oksida. Ke dua fenomena

    tersebut merusak performance MOS yang dibuat.

    Piranti mikroelektronik yang dikembangkan sekarang didasarkan pada

    asumsi bahwa atom dopan yang dimasukkan dalam bahan semikonduktor host

    tersebar secara merata. Untuk divais dengan ukuran besar, asumsi penyebaran

    yang merata tersebut dapat dianggap benar. Penyimpangan jumlah dopan hingga

    10% tidak mempengaruhi sifat divais secara signifikan. Namun masalah muncul jika

  • 57

    ukuran piranti direduksi ke dalam ukuran pulunan nanometer. Masalah homogenitas

    sebaran atom dopan mulau timbul.

    Sebagai contoh, misalkan silicon tipa-p yang didop dengan boron dengan

    konsentrasi atom dopan sekitar 1022 atom/m3. Konsentrasi atom dopan per satuan

    luas adalah (1022)2/3 = 5 1014 atom/m2 = 500 atom/m2. Untuk transistor MOS yang memiliki ukuran kanal 1 m 1 m, jumlah atom boron pada gerbang sekitar 500 atom. Penyimpangan sekitar 50 atom saja dari nilai teoretik tersebut tidak

    mengubah sifat MOS secara signifikan. Tetapi jika ukuran kanal adalah 100 nm 100 nm = 0,1 m 0,1 m maka jumlah atom dopan dalam gerbang hanya sekitar 5 atom. Kesalahan penempatan dopan dapat menyebabkan jumlaha tom pada gerbang

    hanya 4 atau 6, atau 3 atau 7. Nilai-nilai tersebut secara relatif menyimpang

    sangat jauh dari 5. Dengan demikian, bisa jadi MOSFET yang dibuat tidak bekerja

    sesuai dengan yang diharapkan. Dan maasalah bertambah serisu jika ukuran kanal

    lebih kecil lagi.

    Disipasi panas juga menjadi masalah serius ketika ukuran divais elektronik

    direduksi ke skala nanometer. Reduksi ukuran divais berimplikasi pada peningkatan

    jumlah komponen yang ditempatkan dalam satu chip yang berarti pula terjadi

    peningkatan disipasi panas oleh chip tersebut. Sebagai ilustrasi, untuk gerbang

    logika dengan disipasi daya sangat rendah, yaitu sekitar 10-5 Watt per gerbang pun

    masih timbul masalah pada manajemen panas untuk chip. Pada VLSI CMOS canggih

    sekarang, jumlah gerbang dalam satu chip berkisar antara 106 sampai 107. Dengan

    demikian, kalor yang didisipasi chip tersebut berkisar antara 10 Watt hingga 100

    Watt. Ini adalah nilai yang sangat besar dan perlu sistem pendingin canggih untuk

    menghindari kerusakan IC karena peningkatan suhu yang tidak terkontrol.

    Prosesor Intel Pentium IV yang ada melepaskan panas sekitar 80 Watt.

  • 58

    Piranti Nanoelektronik Kuatum

    Pengembangan piranti nanoelektronik sebagai basis teknologi masa depan

    yang akan menggantikan teknologi mikroelektronik tidak lagi menggunakan

    konsep-konsep klasik dalam menjelaskan fenomena transfer muatan di dalam

    divais. Dalam dimensi yang sangat kecil, yaitu beberapaa nanometer, fenomena

    kuantum mulai muncul secara signifikan. Transfer muatan dalam divais dikontrol

    oleh prinsip-prinsip mekanika kuantum. Contoh fenomena yang diyakini akan

    berperan penting dalam pengembangan piranti nanoelektronik adalah penerobosan

    resonansi dan Coulomb blockade. Dengan memanfaatkan fenomena tersebut para

    peneliti mencoba mengembangkan divais penerobosan resonansi (resonance

    tunneling device, RTD), divais elektron tunggal (single elektron device, SED), dan

    titik kuatum (quantum dot, QD).

    RTD bekerja atas fenomena penerobosan elektron melalui penghalang

    kompleks yang memiliki keadaan intermediate. Sebagaimana dipelajari di kuliah

    fisika kuantum, jika elektron yang memeiliki energi oE bergerak menuju

    penghalang potensial yang ketinggianya V , di mana oEV > maka elektron hampir

    tidak dapat melewati potensial tersebut. Dengan perkataan lain hampir tidak ada

    elektron yang ditransmisikan melalui penghalang potensial, seperti diilustrasikan

    pada Gbr 2.12.

    Gambar 2.12 Penerobosan elektron pada penghalang potensial

    Tetapi, jika penghalang potensial sangat tipis dalam orde kira-kira sama dengan

  • 59

    panjang gelombang de Briglie dari elektron, maka ada peluang elektron menerobos

    penghalang. Panjang gelombang de Broglie elektron adalah ph /= , dengan h

    konstanta Planck dan p adalah momentum elektron. Fenomena tersebut disebaut

    penerobosan atau tunneling. Peluang penerobosan makin besar jika penghalang

    potensial sangat tipis. Contoh penghalang potensial adalah lapisan oksida. Lapisan

    oksida adalah bahan isolator sehingga dapat dianalogikan sebagai penghalang

    potensial yang sangat tinggi. Jika oksida tersebut sangat tipis maka ada peluang

    elektron dari satu elektroda pindah ke elektroda lainnya menembus lapisan oksida

    tersebut.

    Peluang elektron menerobos penglanag potensial memenuhi

    Peluang kLe 2 (2.53)

    Dengan L tebal penghalang dan

    )(8 22

    oEVhmk = (2.54)

    dengan m massa elektron.

    Fenomena menarik terjadi jika penghalang potensial memiliki sejumlah

    keadaan energi intermediate di mana minimal salah satu tingkat energi

    intermediate tersebut sama dengan energi elektron datang, seperti diilustrasikan

    pada Gbr. 2.13. Akan terjadi resonansi fungsi gelombang elektron di luar dan di

    dalam penghalang yang berimbas pada peningkatan secara dramatis probabilitas

  • 60

    penerobosan elektron melewati penghalang tersebut. Peluang penerobosan bahkan

    bisa mendekati satu. Fenomena ini telah diamati pada struktur GaAs/AlGaAs yang

    dibuat dengan metode molecular beam epitaxy (MBE).

    Gambar 2.13 Material yang memiliki keadaan intermediate dapat menyebabkan

    transmisi elektron melalui penghalang potensial mendekati satu karena terjadi

    resonansi

    Ide SED bermula dari penemuan fenomena Coulomb Blockade oleh

    Licharev dan Grabert & Devoret. Prinsip dari fenomena ini sangat sederhana

    sebagai berikut. Seperti diilustrasikan pada Gbr 2.14, transfer elektron antara

    dua partikel yang dipisahkan oleh jarak yang sangat kecil menciptakan potensial

    penghalang

    CeE2

    2

    = (2.55)

    dengan e muatan elektron dan C aadalah kapasitansi partikel. Kapasitansi partikel

    dapat dihitung sebagai berikut. Misalkan sebuah partikel memiliki jari-jari R dan

    mengandung muatan Q. Dengan hukum coulomb kita dapat menghitung dengan

    sederhana potensial di permukaaan partikel, yaitu

    RQV

    o 41= (2.56)

    dengan o permitivitas listrik vakum dan konstanta dielektrik medium di

  • 61

    sekitar partikel. Kapasitansi yang dimiliki partikel menjadi

    RVQC o4== (2.57)

    Gambar 2.14 Transfer elektron menciptakan barrier potensial

    Pada suhu T energi termal elekron adalah kT dengan k adalah konstanta

    Boltzmann. Jika jari-jari partikel sangat besar maka kapasitasi sangat besar

    sehingga penghalang potensial yang diciptakan akibat transfer satu elektron

    mendekati nol. Jika ketinggian penghalang potensial lebih kecil dari energi termal

    elektron maka elektron berikutnya tidak mengalami hembatan untuk berpindah ke

    partikel yang sudah ditempati oleh elektron sebelumnya.

    Sebaliknya, jika ukuran partikel sangat kecil maka kapasitansi partikel juga

    sangat kecil. Perpindahan elektron ke suatu partikel menciptakan penghalang

    potensial yang cukup tinggi. Jika penghalang potensial tersebut jauh lebih besar

    dari energi termal elektron, maka keberadaan satu elektron di suatu partikel

    mencegah kedatangan elektron lain ke partikel tersebut. Fenomena inilah yang

    disebut Coulomb Blockade. Dengan demikian satu partikel praktis hanya dapat diisi

    oleh satu elektron. Inilah prinsip kerja divais elektron tunggal.

    Fenomena Coulomb Blockade pertama kali diamati pada partikel indum

    dengan diameter 300 nm pada suhu 4,2 K. Untuk partikel dengan ukuran di bawah 5

    nm, fenomena Coulomb blockasde dapat diamati hingga pada suhu kamar. Contonya

    adalah fenomena coulomb blockade pada partikel CdS yang berukuran 3 nm yang

    dibuat pada film LB.

    Dalam kondisi CB, transfer elektron antara dua elektroda di mana di

  • 62

    dalamnya ditempatkan nanopartikel secara assimetri (jarak nanopartikel ke

    masing-masing elektroda adalad d1 dan d2 di manna d1 d2), seperti diilustrasikan pada Gbr 2.15, memperlihatkan kurva perubahan arus terhadap potensial yang

    menyerupai tangga.

    Gambar 2.15 Transfer elektron antara dua elektroda melalui nanopartikel yang

    dipasang secara asimetri

    Ketika elektron dari satu elektroda pindah ke partikel maka tercipta potensial

    penglanag sebesar

    Ce

    eEV

    2== (2.58)

    Ketika beda potensial aantara dua elektroda dinaikkan dari nol maka tidak ada

    arus yang mengalir selama V masih lebih kecil dari e/2C. Arus baru muncul

    tiba-tiba ketika V = e/2C. Arus ini dihasilkan oleh transfer satu elektron. Ketika

    potensial dinaikkan lagi maka arus tidak berubah selama potensial masih lebih kecil

    dari 2e/2C karena potensial tersebut belum memungkinkan terjanya transfer dua

    elektron. Arus meningkat secara tiba-tiba ketika potensial yang diberikan sama

    dengan 2e/2C di mana arus mengalir dihasilkan oleh transfer dua elektron.

    Peningkatan potensial lebih lanjut akan mempertahanan nilai arus hingga potensial

    menjadi 3e/2C yang diakibatkan oleh transfer tiga elektron. Begitu seterusnya.

    Dengan demikian, kurva arus sebagai fungsi potensial akan berupa tangga seperti

    pada Gbr 2.16.

  • 63

    Gambar 2.16 Kurva arus sebagai fungsi potensial yang berbentuk tangga