BAB II KAJIAN TEORETIK A. Acuan Teoretik Kepemimpinan (leadership) ialah kesanggupan seseorang dalam menggerakkan bawahannya agar dapat melaksanakan tugas-tugas organisasi, lembaga atau pemerintahan. Dalam prosesnya, memimpin berarti melakukan berbagai upaya untuk menggerakkan masyarakat. Stephen P. Robbins berpendapat bahwa seorang pemimpin harus memiliki untuk mempengaruhi sekelompok orang (bawahan/anggota) dalam melaksanakan tugas-tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 1 Terdapat berbagai tipe kepemimpinan yang dapat dijadikan acuan dalam melaksanakan tugas memimpin. Salah satunya adalah kepemimpinan profetik yang menjadikan Nabi sebagai role of model. Profetik artinya penghambaan semata kepada Allah SWT. Sebutan “profetik” merupakan serapan dari kata Inggris, prophet (nabi), yang karenanya sifat-sifat profetik diambil dan dipelajari dari kisah- kisah nabi dan para sahabatnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), profetik berarti bersifat kenabian. 2 Profetik adalah sesuatu yang melekat dan ada dalam diri seorang Nabi, yaitu sifat kenabian yang sempurna secara spiritual, yang 1 Stephen P. Robbins, Prilaku Organisasi, Edisi ke 10 (Jakarta: PT Indeks, 2006), h. 44 2 S. Wojowasito & Tito Wasito, Kamus Lengkap: Inggris-Indonesia Indonesia- Inggris (Bandung: Hasta, 1982), h. 161. 23
72
Embed
BAB 2 DISERTASI TERBUKArepository.radenintan.ac.id/11079/4/BAB 2 DISERTASI...Title Microsoft Word - BAB 2 DISERTASI TERBUKA.docx Created Date 6/25/2020 2:39:48 AM
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
KAJIAN TEORETIK
A. Acuan Teoretik
Kepemimpinan (leadership) ialah kesanggupan seseorang dalam
menggerakkan bawahannya agar dapat melaksanakan tugas-tugas organisasi,
lembaga atau pemerintahan. Dalam prosesnya, memimpin berarti melakukan
berbagai upaya untuk menggerakkan masyarakat. Stephen P. Robbins berpendapat
bahwa seorang pemimpin harus memiliki untuk mempengaruhi sekelompok orang
(bawahan/anggota) dalam melaksanakan tugas-tugas untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.1
Terdapat berbagai tipe kepemimpinan yang dapat dijadikan acuan dalam
melaksanakan tugas memimpin. Salah satunya adalah kepemimpinan profetik yang
menjadikan Nabi sebagai role of model. Profetik artinya penghambaan semata
kepada Allah SWT. Sebutan “profetik” merupakan serapan dari kata Inggris,
prophet (nabi), yang karenanya sifat-sifat profetik diambil dan dipelajari dari kisah-
kisah nabi dan para sahabatnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
profetik berarti bersifat kenabian.2 Profetik adalah sesuatu yang melekat dan ada
dalam diri seorang Nabi, yaitu sifat kenabian yang sempurna secara spiritual, yang
1Stephen P. Robbins, Prilaku Organisasi, Edisi ke 10 (Jakarta: PT Indeks, 2006), h.
kenabian memiliki makna yang sangat kompleks, karena nabi adalah seseorang
yang telah memperoleh keistimewaan yang berhubungan dengan kenabian.
Demikian diisyaratkan Allah SWT dalam dalam QS. Āli ‘Imrān (3): 79.
ادابع اونوك سانلل لوقـي ثم ةوـبـنلاو مكلحاو باتكلا 7ا هيتؤـي نأ رشبل ناك ام نوسردت متـنك ابمو باتكلا نوملعـت متـنك ابم ينينPر اونوك نكلو 7ا نود نم لي
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah, dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: ‘Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah’, tetapi (Dia berkata): ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”.7
Ayat di atas menerangkan bahwa nabi merupakan hamba Allah yang ideal
secara fisik (berbadan sehat dengan fungsi optimal) dan psikis yang telah
berintegrasi dengan Allah SWT. dan para malaikat-Nya, diberi kitab suci, dan
hikmah sehingga dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan dan
mengkomunikasikan hikmah yang ia peroleh secara efektif kepada sesama
manusia. Di samping itu, Nabi memiliki potensi kenabian yang menginternal pada
dirinya untuk melakukan proses edukasi dengan langkah-langkah olah jiwa raga
dan memiliki potensi untuk memperoleh wahyu dalam menjalakan tugas-tugasnya.8
7 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV Toha Putra,
1989), h. 47 8Moh. Roqib, Prophetic Education, Kontekstualisasi Filsafat dan Budaya Profetik
dalam Pendidikan (Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press, 2011), h. 47-48.
26
Berdasar itu, kepemimpinan berbasis profetik merupakan manifestasi dari
kepemimpinan para nabi sejak Nabi Adam AS. sampai dengan Nabi Muhammad
SAW. Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW merupakan cerminan dari
kepemimpinan para nabi. Nabi Muhammad merupakan perwujudan Allah dalam
konteks kepemimpinannya yang telah diturunkan ke muka bumi untuk membawa
rahmat bagi seluruh alam.
Kepemimpinan berbasis profetik merupakan perwujudan kepemimpinan
Allah SWT atas segala kekuasaannya di alam semesta ini melalui perwujudan
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW secara sempurna. Rasul merupakan pintu
untuk memasuki hakekat kepemimpinan, baik yang bersifat uluhiyah maupun
rububiyah.9 Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Qāf (50): 16 sebagai berikut.
“Wahai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus
(melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat
menembusnya melainkan dengan kekuatan”.23
Dalam ayat ini tersirat Tuhan mengingatkan kepada semuanya bahwa
apapun yang direncanakan dan harapkan dalam visi dan misi dapat
terwujud dengan baik asal memiliki sulthan (kekuatan). Yang
dimaksudkan dengan sulthan adalah kemampuan atau kekuatan. Tiap
orang yang memimpin pasti butuh kekuatan dan kemampuan untuk
mengelola organisasi.
Para ahli mengklasifikasi kemampuan ini menjadi tiga bagian/jenis
yaitu kemampuan spiritual, kemampuan emosional dan kemampuan
intelektual. Setiap pemimpin dalam level apapun hendaknya memiliki
tiga kemampuan tersebut. Seorang pemimpin dapat merancang,
mengelola dan mengontrol organisai yang dipimpin dengan akal yang
cerdas, hingga tidak terjebak dalam khayalan dan pengambilan
keputusan yang tanpa dasar. Seorang pemimpin yang cerdas akan
mampu membuat rencana dan program visioner dengan penuh
pertimbangan.
Menurut ilmu neuroscience, otak manusia menyimpan tiga kemampuan
tersebut, yakni Neocortex (otak rasional), sistem Limbic (otak
emosional), dan eksistensi God–Spot (titik Tuhan; pusat spiritual) yang
baru ditemukan pada tahun 1997 oleh ahli syaraf V.S. Ramachandran
23 Departemen Agama RI, Op.cit, h. 425
38
dan timnya dari California University. Seorang pemimpin yang baik
biasanya lahir dengan kemampuan menggunakan fungsi dan potensi
otak ini sebagaimana seharusnya.24
c. Visioner.
Visi adalah rencana ideal dari seorang atau beberapa pemimpin yang
diharapkan akan dicapai bersama dalam sebuah organisasi. Tujuan visi
adalah menghantarkan organisasi menuju harapan. Untuk itu, tugas
terpenting seorang pemimpin adalah berjuang dan bertahan agar visi
tercapai. Hal ini selaras dengan yang diajarkan dalam Islam, bahwa
hamba yang telah menyatakan yakin pada Allah akan menghapus
semua hal dalam ruang keimanannya selain Lā ilā ha illallāh.
Dimanapun dan kapanpun, konsep ini harus menjadi landasan setiap
mukmin bertindak dan berbuat. Demikian termaktub dalam QS. Al-
Nisā’ (4): 137 berikut ini:
7ا نكي لم ارفك اودادزا ثم اورفك ثم اونمآ ثم اورفك ثم اونمآ نيذلا نإ لايبس مهـيدهـيل لاو مله رفغـيل
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.”25
24 VS Ramachandran, Phanthoms in the Brain, (New York:William Morrow &
Company,1998), h. 42 25 Departemen Agama RI, Op.cit, h. 79
39
Dalam ayat ini tersirat penegasan bahwa jika seorang telah berikrar
iman pada Allah lalu dia mengingkarinya, selanjutnya menyatakan
beriman lagi kemudian ingkar lagi maka dia telah mengamali
kemunduran komitmen dan akan mengakhirinya dengan penyimpangan
tujuan hidup. Untuk itu seorang pemimpin harus kuat memegang
primsip dan keimanan agar jauh dari kehancuran.
Seorang pemimpin yang ideal harus visioner. Hendaknya dia
mempunyai visi yang baik dan mampu mempertahankan komitmennya
sebagaimana Islam memerintahkan agar para mukmin beriman pada
Allah dengan keyakinan yang benar “mukhlishīn lahu al-dīn hunafā’a”
(QS. Al-Bayyinah [98]: 5) sehingga dengan demikian ia akan sampai
kepada apa yang dicita-citakan.
d. Inisiatif.
Seorang pemimpin profetik harus selalu mempunyai inisiatif. Setiap
lembaga atau organisasi tentu akan dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik jika pemimpinnya memiliki inisiatif dalam membuka jalan
bagi organisasi. Tentu saja dalam suatu masa, sebuah organisasi akan
meghadapi kejenuhan dalam menghadapi tantangan. Untuk itulah
dibutuhkam seorang pemimpin yang memiliki inisiatif dalam
menggerakkan roda organisasi. Seorang pemimpin harus dapat
menghantarkan organisasi untuk terus berjalan, menghindari
40
kemacetan dan kejumudan. Seorang pemimpin hendaknya dapat
menjadi inisiator agar organisasi selalu tumbuh sesuai perkembangan
jaman.
Untuk itu dibutuhkan kemampuan dalam menjaga stamina organisasi
diiringi dengan strategi yamg tepat agar semua rencana dapat berjalan
sesuai harapan. Saat usai menuntaskan salah satu tugas, hendaknya
segera menuju tugas berikutnya. Demikian terus menerus, sebagaimana
dalam QS. Al-Insyirah (94) : 7-8 Allah berfirman tentang inisiatif ini,
بغراف كبر لىاو بصناف تغرـف اذاف
“Apabila kamu telah usai (melakukan suatu tugas), maka kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh tugas/pekerjaan berikutnya”. 26
e. Bertanggung Jawab.
Prinsip tanggung jawab ini harus dimiliki oleh seorang pemimpin
berbasis profetik. Saat dia mendapat tugas untuk melaksanakan jabatan,
tanggung jawab ini menjadi prinsip yang otomatis ada dalam dirinya.
Seorang pemimpin yang tidak menjalankam tanggung jawab dengan
baik, dia telah berhianat pada amanah yang diberikan yaitu pelimpahan
wewenang. Terdapat tiga unsur dalam pelimpahan wewenang
(delegasi), yaitu kewenangan (authority), tugas/tanggung jawab
(responsibility), dan pertanggungjawaban (accountability).
26 Ibid, h. 478
41
Dalam al-Quran banyak disebutkan tentang karakter tanggung jawab
ini di antaranya tersebut dalam QS at-Tahrim (66) : 6,
i سانلا اهدوقو ار� مكيلهأو مكسفـنأ اوق اونمآ نيذلا اهـيأ مهرمأ ام 7ا نوصعـي لا دادش ظلاغ ةكئلام اهـيلع ةراجلحاو نورمؤـي ام نولعفـيو
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. 27
Untuk itu setiap pemimpin harus mempunyai prinsip tanggung jawab.
Semua hal terkait tugas kepemimpinan akan dipertanggungjawabkan
pada semua anggota, warga sekitar, lingkungan dan juga pada Tuhan
Allah.
f. Percaya Diri.
Rasa percaya diri ini adalah prinsip yang harus melekat dalam diri
seorang pemimpin setelah prinsip inisiatif. Bila pemimpin tidak
percaya diri maka inisiatifnya tidak akan terlaksana dengan lancar
sesuai harapan. Ia harus mempunyai keyakinan dalam setiap tindakan
27 Ibid, h. 446
42
dan keputusan yang diambilnya karena ia adalah pemimpin yang
dipercaya oleh para bawahannya. Ketika hal ini tidak ada, maka sangat
mungkin seorang pemimpin akan terus mengalami hambatan dalam
melaksanakan tugas kepemimpinan. Kepemimpinan berbasis profetik,
menurut Agama Islam mengajarkan bahwa kualitas keimanan
seseorang akan sangat menentukan kepercayaan diri yang dimiliki.
Apabila ia memiliki kualitas keimanan yang tinggi, maka besar pula
kepercayaan dirinya. Demikian sebaliknya, di dalam Islam, percaya diri
sangat berhubungan dengan kadar iman seseorang. Bila imannya
kepada Allah tinggi, maka rasa percaya diri menjadi besar. Namun, bila
kadar imannya rendah, maka percaya dirinya pun menjadi rendah pula.
Pada penghujung QS. Āli ‘Imrān (3): 159, disebutkan :
7ٱ ىلع لكوـتـف تمزع اذإف
“Apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada
Allah”.28
g. Empati.
Prinsip ini sebenarnya merupakan gerbang mula (entry point) untuk
munculnya rasa mengayomi orang lain. Kemampuan seseorang
pemimpin dalam merasa apa yang dirasakan orang lain terutama dalam
hal kesusahan adalah arti dari kemampuan berempati. Prinsip empati
28 Ibid, h. 56
43
hanya bisa terdapat pada seorang pemimpin yang responsif terhadap
lingkungannya. Pemimpin yang memiliki prinsip ini akan menjadikan
dirinya selalu ada di hati masyarakat. ia mampu merasakan kesusahan
yang ada disekitarnya, termasuk juga merasakan kebahagiaan di
lingkungan sekitarnya. Sikap seperti ini diungkap QS. Āli ‘Imrān (3):
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat (Q.S an-Nisa’ [4]: 58)46
Ayat di atas menjelaskan, bahwa seorang pemimpin harus memiliki
kemampuan untuk amanah terhadap tugas dan kewajiban yang telah
diberikan khususnya dalam kepemimpinan pendidikan di lembaga
pendidikan yang dipimpinnya secara baik dan adil, agar setiap tindakan
yang dilakukannya mendapat hasil yang memuaskan.
Beberapa indikator seorang pemimpin yang amanah dalam perspektif
Islam sebagai berikut:
a) Memiliki semangat kerja yang tinggi dengan mengesampingkan
kepentingan pribadi dan kelompok setelah mengedepankan kepentingan
lembaga dan masyarakat
b) Cakap dalam menjalankan tugas dengan berpegang teguh pada al-
Qur’an dan Hadist (profesional dalam bekerja), karena sifat cakap dan
46 Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 69
59
professional merupakan ajaran yang telah ada dalam al-Qur'an dan
hadits.
c) Melaksanakan tugas dengan hanya mengharap niat ibadah dan beramal
kebaikan karena Allah SWT.
d) Memiliki komitmen keislaman dan keimanan kepada Allah SWT.,
karena pada dasarnya Islam tidak pernah menyuruh umatnya untuk
berbuat munkar.
e) Memiliki kejujuran dan perangai yang baik, sehingga dapat selalu
tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
f) Memiliki kecerdasan (akal sehat) yang tinggi, karena yang demikian,
seorang pemimpin melakukan olah akal secara cerdas, sehat dan jernih,
sehingga dapat dipertanggung jawabkan baik pada diri, bawahan dan di
hadapan Allah SWT. Seorang pemimpin akan mampu mengkritisi dan
berupaya untuk memahami tugas-tugas yang diamanahkan dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya. 47
Oleh sebab itu, bahwa seorang pemimpin dilingkungan lembaga
pendidikan Islam (sekolah/madrasah) harus memiliki nilai-nilai yang dapat
mencerminkan sosok pemimpin pendidikan seperti yang dicerminkan oleh
Nabi Muhammad SAW. agar dapat ditiru dan ditauladani oleh seluruh
komponen sekolah. Keberadaan pemimpin yang demikian, tentu dapat
memberikan pengaruh yang luar biasa kepada bawahannya untuk bekerja
47 Bachtiar Firdaus, Profhetik Leadership, Seni Kepemimpinan Para Nabi. (Jakarta:
Gramedia, 2016), h. 127-128
60
dengan profesional sehingga mampu melakukan perubahan, inovasi serta
langkah-langkah maju yang berdampak pada peningkatan kualitas
pendidikan. Seorang top leader dalam melakukan transformasi harus
dimulai dari dirinya sendiri. Di samping itu, juga harus introspeksi terhadap
kekurangan/ kelemahan yang dimilikinya dan berusaha untuk meminta,
menerima dengan tulus kepada bawahan agar dapat memberikan masukan
atau kritikan yang konstruktif. Semua masukan dan kritikan dapat dijadikan
bahan evaluasi dalam melakukan tugas-tugas kepemimpinan dengan baik.48
Berkaitan dengan kepemimpinan, Muhaimin mengatakan bahwa
seorang pemimpin di lingkungan sekolah/madrasah memiliki kekuatan
yang terletak pada nilai-nilai agama (profetik) yang menjadi pusat perhatian
pemimpin pendidikan. Dengan aspek nilai yang di tekankan, maka aspek
teknis dalam manajemen kurang begitu diperhatikan. Pemimpin yang
mempunyai nilai-nilai yang melekat dalam dirinya merupakan indikasi
terhadap kualitas kepemimpinan.49. Oleh karena itu, seorang pemimpin
transformastif profetik harus berpegang teguh pada nilai-nilai yang
diyakini, dalam melaksanakan setiap langkah kegiatan sebagaimana yang
tercermin dalam diri sosok kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. di
lembaga pendidikan Islam yang dipimpinnya, sehingga mampu melakukan
perubahan, inovasi dan strategi pendidikan yang berkualitas.
48 Nanang Fatah, Landasan Manajemen Pendidikan (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1999), h. 19. 49 Muhaimin, Wacana Pengembagan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pusat Studi
Agama, Politik, dan Masyarakat, yang Bekerjasama dengan Pustaka pelajar: 2003), h. 185
61
2) Kedisiplinan
Nilai kedisiplinan termasuk salah satu unsur pokok dari sifat
kepemimpinan. Dengan kedisiplinan, maka akan tercermin sosok pemimpin
yang memiliki komitmen tinggi dalam memajukan organisasi yang
dipimpinnya. Kedisplinan merupakan suatu sikap/perilaku yang harus
dimiliki setiap pemimpin agar dalam melaksanakan tugasnya dapat berjalan
sesuai dengan yang diharapkan. Hal disiplin selalu terkait dengan sebuah
aturan, lembaga, kerja sama, tata tertib, nilai-nilai, etika kerja, dan lain-lain.
Kedisplinan menurut Gordon merupakan setiap tindakan yang patuh
pada peraturan dan ketetapan, atau perilaku yang diperoleh dari pelatihan
yang dilakukan secara terus menerus.50 Oleh karena, nilai kedisiplinan yang
terdapat pada pemimpin dapat mencerminkan perilaku seorang pemimpin
yang menimbulkan kepercayaan bagi bawahannya sehingga dapat
diharapkan semua pihak dalam menjalankan tugasnya secara baik.
Kedisiplinan sudah menjadi karakteristik dari sifat Nabi Muhammad
SAW., termasuk dalam menyampaikan apa yang diperintahkan Allah Swt,
termasuk dalam menyampaikan pesan-pesan yang bersumber dari wahyu.
Sebagai seorang rasul, tugas nabi adalah membawa pesan-pesan ilahiyah
untuk disampaikan kepada umat dengan tepat51
50 Thomas Gordon, Mengajar Anak Berdisiplin Diri di Rumah dan di Sekolah
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 3 51 Muhammad Syafii Antonio. Muhammad SAW.: The Super Leader Super Manager,
(Jakarta: PLM, 2007), h. 139
62
3) Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah amanah yang diperoleh setiap pemimpin
setelah ia memangku suatu jabatan. Pimpinan haruslah orang bertanggung
jawab sehingga bisa menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya, yaitu
melaksanakan proses pelimpahan wewenang dari atasan/pimpinan yang
lebih tinggi. Ada tiga unsur dalam pelimpahan wewenang (delegasi) yaitu;
kewenangan (authority), tugas/tanggung jawab (responsibility), dan
pertanggung jawaban (accountability).52
Terdapat sebuah hadis yang disampaikan oleh Ibnu Umar, Rasulullah
bersabda: ”Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan
bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. (HR. Bukhari, 2368).53
Oleh karena itu, seorang pemimpin harus senantiasa bertanggung
jawab dalam setiap tindakannya seperti memberikan progres report kegiatan
kepada atasannya, atau pun membimbing bawahannya jika mereka menjadi
tanggung jawabnya. Dan yang lebih penting ia harus mempertanggung
jawabkan kepemimpinannya di hari akhir.
Sebagaimana penjelasan di atas, tanggung jawab juga berfungsi
sebagai pendorong untuk selalu melaksanakan tugas-tugasnya dengan
sempurna serta penuh dedikasi dengan mengerahkan seluruh tenaga untuk
kepentingan lembaga. Kesempurnaan dalam pekerjaan menurut Thoriq M
52 Winardi, Op.Cit, h. 403 53Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari,, al-Shahih al-Bukhari, (Beirut:
Dar Ibnu Katsir, 1987), h. 1407
63
apabila perhatian setiap pemimpin terhadap hak-hak orang lain yang ada di
depannya telah berjalan dengan sangat baik.54 Hal tersebut merupakan
bagian penting dalam setiap pekerjaan yang dilakukan. Sekecil apapun
pekerjaannya harus tetap dilaksanakan dengan baik sebagai cermin dari
tugas-tugas yang lain agar tercapai kesempurnaan. Kesempurnaan
kepemimpinan profetik dalam melaksanakan tugasnya, telah di sampaikan
Nabi Muhammad SAW., dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh al-
Baihaqi sebagai berikut: “Sesungguhnya Allah Swt mencintai seorang
hamba yang mengerjakan pekerjaannya dengan sempurna” (HR Al-
Baihaqi)
4) Kuat dan Keberanian (Pantang Menyerah)
Salah satu kunci utama dari seorang pemimpin adalah mempunyai
kekuatan dan keberanian, karena dengan kekuatan yang dimilikinya dapat
menjalankan tugasnya dengan baik, penuh tanggung jawab dan pantang
menyerah.
Pemimpin yang memiliki kekuatan akan tidak mudah untuk tergoda
atau tertipu oleh berbagai kepentingan sesaat, begitu juga sebaliknya.
Kekuatan dan kebugaran secara fisik akan sangat membantu kinerjanya
dalam memimpin satu kelompok. Namun demikian, bahwa kekuatan yang
ada dalam diri pemimpin tidak boleh dipahami sebagai kekuatan tanpa
batas55 sehingga dapat merusak dan merugikan banyak pihak. Kekuatan
54Thoriq M. As-Suwaidan & Umar B, Faishal, Op.cit, h. 26 55 Bachtiar Firdaus, Op.cit, h. 135-136
64
yang ada dalam diri Rasulullah SAW. tidaklah digunakan untuk melakukan
penindasan, kekuasaan dan mengintimedasi, melainkan untuk menegakkan
keadilan, menjalankan tugas dengan baik dan memperhatikan kepentingan
bersama, hal inilah yang diharapkan bagi kepemimpinan transformasional
profetik dengan langkah-langkah maju dalam meningkatkan kualitas
pendidikan di lembaga pendidikan Islam.
Salah satu kunci utama kesuksesan pemimpin adalah mempunyai
keberanian, terutama dalam pengambilan kebijakan yang bersifat strategis.
Keberanian sangat penting dimiliki seorang pemimpin agar tidak mudah
disetir atau dipengaruhi oleh orang-orang yang mementingkan kepentingan
pribadi atau kelompok. Oleh karena itu, dalam melakukan perubahan dan
memajukan lembaga pendidikan di lembaga pendidikan Islam dibutuhkan
keberanian seorang pemimpin dalam membuat kebijakan-kebijakan yang
positif.
Kepemimpinan Nabi SAW. dalam menumpas kaum jahiliyah (kaum
Quraisy) adalah salah satu bukti keberanian yang sangat kuat dan berkuasa
yang ada dalam diri nabi. Dengan keberanian tersebut Nabi SAW. mampu
mengalahkan setiap peperangan yang dilakukannya. Bahkan cukup langka
terdapat seorang manusia yang mempunyai perilaku sempurna, santun,
pemaaf, tegas, penyayang, dan lemah lembut, namun juga memiliki
keberanian.
Winston Churchill menyatakan dengan jelas bahwa “Keberanian
sejati adalah kebajikan tertinggi.” Pemimpin sejati harus menjadikan
65
keberanian sebagai karakter utama. Hal itu akan terlihat dari pemimpin
ketika ia berkata, bertindak dan berbuat. Jiwa pemberani ini sangat penting
dalam pencapaian kesuksesan, mampu menjadi panutan bawahannya serta
mampu memberi motivasi kepada orang lain untuk menjadi yang terbaik.56
c) Fathonah (Olah Pikir)
1) Visioner
Kepemimpinan yang berbasis transformasional profetik haruslah
memiliki sifat visioner. Kepemimpinan visioner selalu berpandangan pada
ketercapaian visi lembaga yang dibuat. Visi menjadi tujuan utama dalam
proses kepemimpinannya. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang
berorientasi pada visi selayaknya sudah mempunyai kemampuan dalam
mencipta, merumuskan dan menkomunikasikan serta
mengimplementasikan target-target dan program kerja yang ingin dicapai
dalam kepemimpinan.
Terdapat empat kemampuan sebagai seorang pemimpin visioner
sebagaimana yang dinyatakan oleh Burt Nanus dalam Imam Machalli & Ara
sebagai berikut:
(a) Mampu berkomunikasi dengan efektif antara manajer dan bawahannya.
Hal tersebut diperlukan untuk menghasilkan petunjuk (guidance),
keberanian berbuat (encouragement), dan kemauan kuat (motivation).
56 https://www.kubikleadership.com/mentalitas., diakses pada tanggal 22 Mei 2019
66
(b) Memahami lingkungan luar dan memiliki kesigapan dalam melihat
perubahan dan kesiapan atas segala ancaman dan peluang. Hal tersebut
sangat penting agar dapat mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan dari luar organisasi.
(c) Memegang peran penting dalam membentuk dan mempengaruhi praktik
organisasi, prosedur, produk dan jasa. Pemimpin harus menjadi aktor
utama dalam melayani pelanggan. Pemimpin harus mengetahui secara
pasti jalannya organisasi secara benar, apakah sudah sesuai dengan visi,
misi dan mekanisme yang sudah ditetapkan sehingga dapat memandu
jalan organisasi kemasa ke masa depan.
(d) Memiliki dan mengembangkan data untuk mengakses kebutuhan masa
depan konsumen dan kemampuan mengatur sumber daya manusia yang
dimilikinya guna mempersiapkan diri sebagai respon cepat yang
dijalankan untuk menyongsong setiap perubahan situasi dan kondisi.57
Oleh karena itu, kepemimpinan transformasional profetik harus
memiliki nilai visioner sebagai sebuah sikap dalam memahami standar
perubahan yang ditentukan dalam kepemimpinannya, serta menjadi tolak
ukur keberhasilan dan kemajuan lembaga pendidikan yang dipimpinnya.
57 Imam Machali & Ara Hidayat, The Handbook Of : Education Management Teori
dan Praktik Pengelolaan Sekolah/Madrasah Di Indonesia (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h. 105-106
67
2) Memiliki Kemampuan /Kecerdasan
Cerdas atau mampu merupakan suatu nilai yang harus dimiliki oleh
seorang pemimpin di lembaga pendidikan Islam sebagaimana yang dimiliki
oleh Nabi SAW. Kecerdasan dan kemampuan adalah modal penting dalam
melaksanakan tugas kepemimpinnya.
Menurut Rahman dalam bukunya Prophecy In Islam” yaitu “The
prophet, then, is a person of extraordinary intellectual endowment such
that, by means of it, he is able to know all things by himself without the help
of instruction by an external source”. Di jelaskan bahwa Nabi SAW. adalah
orang yang memiliki bakat intelektual luar biasa sehingga, dengan cara itu,
dia tidak membutuhkan sumber eksternal dalam menghadapi suatu
persoalan.58
Al-Fārābī dan Avicenna telah sepakat dalam persoalan tersebut,
bahwa kecerdasan Nabi SAW. telah melalui tahap-tahap perkembangan
yang melaluinya pikiran pikiran biasa berlalu; dan baru kemudian wahyu
itu datang, sehingga yang menjadikan berbeda antara kenabian dan orang
biasa adalah otodidak, dan potensi diri yang dimilikinya.59
Kecerdasan yang harus dimiliki seorang pemimpin juga telah
diajarkan oleh Islam. Siapapun dia tidak akan bisa menghasilkan sesuatu
secara baik dan mencapai sesuatu yang diinginkannya sebelum ia memiliki
58 Fazlur Rahman, Prophecy in Islam: Philosophy And Orthodoxy, Volme 37 (
london And New Tork: Routledge Taylor & Francis Group, 2008), h. 30 59 Ibid
68
kekuatan (kecerdasan) dan mampu mengelola dengan baik. Dalam QS. ar-
Rahman [55]: 33 menjelaskan sebagai berikut:
i تاوامسلا راطقأ نم اوذفـنـت نأ متعطتسا نإ سنلإاو نلجا رشعم ناطلسب لاإ نوذفـنـت لا اوذفـناف ضرلأاو
“Wahai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus
(melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat
menembusnya melainkan dengan kekuatan”(QS. ar-Rahman [55]: 33).60
Ayat diatas mengingatkan bahwa setiap visi dan misi yang telah
dirancang oleh setiap orang atau institusi akan bisa terwujud manakala
dibarengi dengan usaha dan kekuatan yang dimiliki secara optimal. oleh
karena itu, kekuatan ini menjadi dasar utama bagi setiap pemimpin dalam
mengelola, mengorganisir, serta mengembangkan organisasi/institusi.
Para ahli menggolongkan kemampuan menjadi 3 (tiga) jenis61 yaitu
kemampuan intelektual, kemampuan emosional, dan kemampuan spiritual.
Setiap pemimpin harus memiliki ketiga kemampuan ini di setiap level
kepemimpinannya. Pemimpin juga harus memiliki akal dan pikiran yang
brilian agar mampu membuat perencanaan dengan baik, mengelola dan
mengendalikan organisasi sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan
60 Departemen Agama RI, Op.cit, h. 425 61Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun kecerdasan Emosi dan
Spiritual (Jakarta: Arga, 2001), h. xlvi
69
dan tidak keluar dari rel yang sudah ada. Setiap pemimpin yang
menggunakan rasionalitas dalam cara berfikirnya dapat membuat ramalan-
ramalan yang bisa dicapai (visible), sehingga dapat dijadikan dasar dalam
bertindak.
Ketiga jenis kemampuan tersebut terdapat dalam otak manusia,
seperti Neocortex (otak rasional) dan Sistem Limbic (otak emosional)62,
serta eksistensi God–Spot (pusat spiritual) yang baru dikenal pada tahun
1997 oleh ahli syaraf V.S. Ramachandran dan timnya dari California
University.63 Keberdayaan tiga potensi otak ini secara baik dapat
menjadikan seorang pemimpin yang berkemampuan manajerial sangat baik.
3) Kreativitas
Hasil dari pemikiran dan gagasan adalah bentuk dari sebuah
kreativitas. Menjadi pribadi yang kreatif pada dasarnya bisa dipelajari,
berkembang dan ditingkatkan. Akan tetapi, setiap orang memiliki dasar
kemampuan yang berbeda-beda. Kemampuan dan bakat merupakan
dasarnya, akan tetapi pengolahan dan pengasahannya berada dalam
lingkungan dimana ia berada.
Oleh karena itu, seorang pemimpin harus memiliki kreativitas dalam
memimpin, agar mampu menciptakan hal-hal baru dalam menyesuaiakan
perubahan yang terjadi dan menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul