Top Banner

of 26

BAB 2

Jan 08, 2016

Download

Documents

Fitri Kristiani

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Self Efficacy
2.1.1 Definisi
Bandura (1997; Apriyani, 2009), mendefinisikan self efficacy sebagai keyakinan individu akan kemampuannya untuk mengatur dan melakukan tugas-tugas tertentu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. Maksudnya, individu menilai kemampuan, potensi dan kecenderungan yang ada padanya dipadukan dengan tuntutan lingkungan, karena itu self efficacy tidak mencerminkan secara nyata kemampuan individu bersangkutan.
Self efficacy merupakan sebagian didasarkan pada pengalaman, beberapa harapan kita terkait dengan orang lain, harapan yang terutama berfungsi bagi kepribadian, persepsi terhadap self efficacy secara kausal memengaruhi perilaku seseorang (Cervone, 2012).
Self efficacy adalah ekspektasi keyakinan (harapan) tentang seberapa jauh seseorang mampu melakukan suatu perilaku dalam suatu situasi tertentu. Self efficacy yang positif adalah keyakinan untuk mampu melakukan yang lebih baik. Tanpa self efficacy (keyakinan tertentu yang sangat situasional), orang bahkan enggan mencoba melakukan suatu perilaku.
Self efficacy menentukan apakah seseorang akan menunjukkan perilaku tertentu, sekuat apa seseorang dapat bertahan saat menghadapi kesulitan atau kegagalan, dan bagaimana kesuksesan atau kegagalan dalam satu tugas tertentu mempengaruhi perilaku seseorang di masa depan. Self efficacy adalah keyakinan bahwa seseorang mampu melakukan suatu perilaku dengan baik (Friedman & Schustack, 2008).
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

32

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Self Efficacy

2.1.1 Definisi

Bandura (1997; Apriyani, 2009), mendefinisikan self efficacy sebagai keyakinan individu akan kemampuannya untuk mengatur dan melakukan tugas-tugas tertentu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. Maksudnya, individu menilai kemampuan, potensi dan kecenderungan yang ada padanya dipadukan dengan tuntutan lingkungan, karena itu self efficacy tidak mencerminkan secara nyata kemampuan individu bersangkutan.

Self efficacy merupakan sebagian didasarkan pada pengalaman, beberapa harapan kita terkait dengan orang lain, harapan yang terutama berfungsi bagi kepribadian, persepsi terhadap self efficacy secara kausal memengaruhi perilaku seseorang (Cervone, 2012).

Self efficacy adalah ekspektasi keyakinan (harapan) tentang seberapa jauh seseorang mampu melakukan suatu perilaku dalam suatu situasi tertentu. Self efficacy yang positif adalah keyakinan untuk mampu melakukan yang lebih baik. Tanpa self efficacy (keyakinan tertentu yang sangat situasional), orang bahkan enggan mencoba melakukan suatu perilaku. Self efficacy menentukan apakah seseorang akan menunjukkan perilaku tertentu, sekuat apa seseorang dapat bertahan saat menghadapi kesulitan atau kegagalan, dan bagaimana kesuksesan atau kegagalan dalam satu tugas tertentu mempengaruhi perilaku seseorang di masa depan. Self efficacy adalah keyakinan bahwa seseorang mampu melakukan suatu perilaku dengan baik (Friedman & Schustack, 2008).Johnson (1992; Temple, 2003), menyatakan bahwa self efficacy pasien pada diabetes melitus menggambarkan suatu kemampuan individu untuk membuat suatu keputusan yang tepat dalam merencanakan, memonitor, dan melaksanakan regimen perawatan sepanjang hidup. Self efficacy pada pasien diabetes melitus berfokus pada keyakinan pasien untuk mampu melakukan prilaku yang dapat mendukung perbaikan penyakitnya dan meiningkatkan manajemen perawatan dirinya seperti diet, latihan fisik, medikasi, kontrol glukosa dan perawatan deibetes melitus secara umum (Wu et al, 2006).Berdasarkan beberapa uraian dari tokoh diatas, pengertian self efficacy dalam penelitian ini merupakan suatu keyakinan dari dalam individu mengenai kemampuannya dalam merawat dirinya sendiri dan mencapai tujuannya guna mendapatkan kemandirian dalam memonitor gula darah.2.1.2 Dimensi self efficacy

Anwar (2009; Artha&Supriadi, 2013) menyebutkan bahwa ada tiga dimensiself efficacy, yaitu level, generality, dan strength.1. Tingkat LevelMerupakan suatu perbedaan self efficacy dari masing-masing individu dalam menghadapi suatu tugas dikarenakan perbedaan tuntutan serta tujuan yang dihadapi, jika halangan dalam mencapai tuntutan tersebut sedikit atau kurang maka aktivitas mudah dilakukan. Tuntutan suatu tugas mempresentasikan bermacam-macam tingkat kesulitan atau kesukaran dalam mencapai performasi optimal. Jika halangan untuk mencapai tuntutan itu sedikit, maka aktiviitas lebih mudah untuk dilakukan, sehingga kemudian individu akan mempunyai self efficacy yang tinggi (Anwar, 2009). Dimensi ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas dimana individu merasa mampu atau tidak untuk melakukannya, sebab kemampuan diri individu bisa berbeda-beda.

Konsep dalam dimensi ini terletak pada keyakinan individu atas kemampuannya terhadap kesulitan suatu kejadian. Jika individu dihadapkan tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya, maka keyakinan individu akan terbatas pada tugas-tugas yang mudah, tugas sedang hingga tugas-tugas yang paling sulit, sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan pada masing-masing tingkat. Semakin tinggi taraf kesulitan tugas, makin lemah keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya. Keyakinan individu berimplikasi pada pemilihan tingkah laku berdasarkan hambatan atau tingkat kesulitan suatu tugas atau aktivitas (Pinasti, 2011).2. Tingkat keadaaan umum (generality)Individu akan menilai diri merasa yakin melalui bermacam-macam aktivitas atau hanya dalam daerah fungsi tertentu dimana keyakinan individu berperan didalamnya. Keadaan umum bervariasi dalam jumlah dari dimensi yang berbeda-beda, diantaranya tingkat kesamaan aktivitas, perasaan dimana kemampuan ditunjukkan (tingkah laku, kognitif, afektif), dan karakteristik individu menuju kepada siapa perilaku itu ditujukan (Anwar, 2009). 3. Tingkat kekuatan (strength)Merupakan pengalaman yang memiliki pengaruh terhadap self efficacy, sesuai keyakinan seseorang, pengalaman yang lemah atau kurang akan melemahkan keyakinannya pula, sedangkan keyakinan yang kuat terhadap kemampuan yang dimiliki, individu akan teguh dalam berusaha. Pengalaman akan memberikan kekuatan yang berdampak baik pada seseorang jika pengalaman tersebut kuat yang mendukung kemampuan individu dalam menyampaikan kesulitan yang dihadapinya (Anwar, 2009). Dimensi ini biasanya berkaitan langsung dengan dimensi tingkat level, dimana semakin tinggi taraf kesulitan suatu tugas dan aktivitas, maka semakin lemah keyakinan individu yang dirasakan untuk menyelesaikannya (Pinasti, 2011).Bandura (1994), mengemukakan bahwa self efficacy seseorang berkembang melalui empat sumber utama yaitu pengalaman pribadi/pencapaian prestasi, pengalaman orang lain, peersuasi verbal serta kondisi fisik dan emosional: 1. Pengalaman langsung dan pencapaian prestasi (enactive attainment and perfomance accomplishment).Hal ini merupakan cara paling efektif untuk membentuk efikasi diri yang kuat. Seseorang yang memiliki pengalaman sukses cenderung menginginkan hasil yang cepat dan lebih mudah jatuh karena kegagalan. Pada dasarnya setiap individu pasti pernah mengalami kegagalan tetapi tergantung individu tersebut akan terpuruk dengan kegagal itu atau bangkit dan menuju kesuksesan.2. Pengalaman orang lain (vicarious experience)Seseorang dapat belajar dari pengalaman orang lain dan meniru perilakunya untuk mendapatkan seperti apa yang di dapatkan orang lain tersebut. Pengalaman orang lain akan memberikan gambaran kepada individu apa yang harus mereka lakukan untuk mencapai kesuksesan.

3. Persuasi Verbal (verbal persuasion)Persuasi verbal dapat mempengaruhi bagaimana seorang bertindak atau berperilaku. Dengan persuasi verbal, individu mendapat sugesti bahwa ia mampu mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapi. Seseorang yang selalu diberi dukungan untuk meraih kesuksesan, maka orang tersebut akan berusaha untuk mewujudkan kesuksesan, dan sebaliknya apabila seseorang mendapatkan keyakinan yang buruk maka dia dapat menjadi gagal.

4. Kondisi fisik dan emosional (physiological and emosional state)Kelemahan, nyeri dan ketidaknyamanan dianggap sebagai hambatan fisik yang dapat mempengaruhi self efficacy, kondisi emosional juga mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan terkait self efficacy nya.

Gambar 2.1. Diagram teori self efficacy (Brown, 2013)

2.1.3 Proses pembentukan self efficacySelf efficacy yang telah terbentuk akan mempengaruhi dan memberi fungsi pada aktifitas individu. (Bandura dalam Iskandar, 2014) menjelaskan tentang pengaruh dan fungsi tersebut, yaitu :1. Fungsi kognitif.

Bandura menyebutkan bahwa pengaruh dari self efficacy pada proses kognitif seseorang sangat bervariasi. Pertama, self efficacy yang kuat akan mempengaruhi tujuan pribadinya. Semakin kuat self efficacy, semakin tinggi tujuan yang ditetapkan oleh individu bagi dirinya sendiri dan yang memperkuat serta yang akan memperkuat suatu tujuan individu yaitu komitmen yang baik. Individu dengan self efficacy yang kuat akan mempunyai cita-cita yang tinggi, mengatur rencana dan berkomitmen pada dirinya untuk mencapai tujuan tersebut. Kedua, individu dengan self efficacy yang kuat akan mempengaruhi bagaimana individu tersebut menyiapkan langkah-langkah antisipasi bila usahanya yang pertama gagal dilakukan. Komponen fungsi kognitif diantaranya adalah adanya penilaian dan perasaan subjektif, cenderung bertindak, dan regulasi emosi (Djohan, 2009).

2. Fungsi motivasi

Self efficacy memainkan peranan penting dalam pengaturan motivasi diri. Sebagian besar motivasi manusia dibangkitkan secara kognitif. Self efficacy mendukung motivasi dalam berbagai cara dan menentukan tujuan-tujuan yang diciptakan individu bagi dirinya sendiri dengan seberapa besar ketahanan individu terhadap kegagalan. Ketika menghadapi kesulitan dan kegagalan, individu yang mempunyai keraguan diri terhadap kemampuan dirinya akan lebih cepat dalam mengurangi usaha-usaha yang dilakukan atau menyerah. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan dirinya akan melakukan usaha yang lebih besar ketika individu tersebut gagal dalam menghadapi tantangan. Motivasi sangat berperan dalam menentukan tingkah laku dan terhadap proses-proses dimana motif-motif yang dipelajari diperoleh (Calvin & Gardner, 2012).

3. Fungsi AfeksiSelf efficacy akan mempunyai kemampuan coping individu dalam mengatasi besarnya stres dan depresi yang individu alami pada situasi yang sulit dan menekan, dan juga akan mempengaruhi tingkat motivasi individu tersebut. Self efficacy memegang peranan penting dalam kecemasan, yaitu untuk mengontrol stres yang terjadi. Penjelasan tersebut sesuai dengan pernyataan Bandura bahwa self efficacy mengatur perilaku untuk menghindari suatu kecemasan. Semakin kuat self efficacy, individu semakin berani menghadapi tindakan yang menekan dan mengancam.Individu yang yakin pada dirinya sendiri dapat menggunakan kontrol pada situasi yang mengancam, tidak akan membangkitkan pola-pola pikiran yang mengganggu. Sedangkan bagi individu yang tidak dapat mengatur situasi yang mengancam akan mengalami kecemasan yang tinggi. Individu yang memikirkan ketidakmampuan coping dalam dirinya dan memandang banyak aspek dari lingkungan sekeliling sebagai situasi ancaman yang penuh bahaya, akhirnya akan membuat individu membesar-besarkan ancaman yang mungkin terjadi dan khawatiran terhadap hal-hal yang sangat jarang terjadi. Melalui pikiran-pikiran tersebut, individu menekan dirinya sendiri dan meremehkan kemampuan dirinya sendiri. Afeksi merupakan komponen emosional dari suatu sikap dimana sikap tersebut sering kali dipelajari dari orang tua, guru, dan anggota kelompok (Ivancevich, 2007). 4. Fungsi Selektif

Fungsi selektif akan mempengaruhi pemilihan aktivitas atau tujuan yang akan diambil oleh indvidu. Individu menghindari aktivitas dan situasi yang individu percayai telah melampaui batas kemampuan coping dalam dirinya, namun individu tersebut telah siap melakukan aktivitas-aktivitas yang menantang dan memilih situasi yang dinilai mampu untuk diatasi. Perilaku yang individu buat ini akan memperkuat kemampuan, minat-minat dan jaringan sosial yang mempengaruhi kehidupan, dan akhirnya akan mempengaruhi arah perkembangan personal. Hal ini karena pengaruh sosial berperan dalam pemilihan lingkungan, berlanjut untuk meningkatkan kompetensi, nilai-nilai dan minat-minat tersebut dalam waktu yang lama setelah faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan keyakinan telah memberikan pengaruh awal.

2.1.4 Faktor-faktor yang berhubungan self efficacyBerikut faktor-faktor yang berhubungan dengan self efficacy, yaitu :

1. Usia

Penelitian Wang dan Shiu (2004 ; Wu, et al, 2006), menemukan bahwa ada hubungan antara faktor demografi dengan aktifitas perawatan diri pasien diabetes melitus termasuk faktor usia, rata-rata pasien berusia 60 tahun. Usia yang matang sering dikaitkan dengan kematangan pola pikir bagi individu tersebut untuk lebih bisa mengatur dirinya sendiri. 2. Tingkat PendidikanTingkat pendidikan umumnya akan berpengaruh terhadap kemampuan individu dalam mengolah informasi yang diterimanya. Menurut Stipanovic (2002), pendidikan merupakan faktor yang penting pada pasien diabetes melitus untuk dapat memahami dan mengatur dirinya sendiri dalam mengontrol gula darah.

3. Status Pernikahan

Penelitian Kott (2008), menjelaskan bahwa responden yang menikah mempunyai kontrol diabetes melitus yang baik dan mempunyai status kesehatan yang lebih positif. Orang yang sudah menikah akan mendapat dukungan secara moral lebih dari pasangannya.

4. Status sosial ekonomi

Penelitian Walker (2007; Wantiyah dkk, 2010), menunjukkan bahwa orang yang memiliki pekerjaan secara signifikan merupakan prediktor self efficacy secara umum, dengan kata lain seseorang yang bekerja memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi.

5. Lama menderita diabetes melitus

Penelitian Wu et al (2006), menemukan bahwa pasien yang telah menderita diabetes melitus 11 tahun memiliki self efficacy yang baik daripada pasien yang menderita diabetes melitus < 10 tahun. Hal ini disebabkan karena pasien telah lama menderita diabetes sudah lebih bisa menerima penyakitnya dan penatalaksanaanya.6. Dukungan Keluarga

Belgrave & Lewis (1994; Wu, 2007), meneliti peran dukungan keluarga, ternyata dukungan keluarga secara signifikan berhubungan dengan prilaku kesehatan yang positif dengan mematuhi aktifitas kesehatan. Sedangkan hasil penelitian Wantiyah (2010), menemukan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial/keluaraga dengan self efficacy. Secara umum pasien yang mendapat dukungan yang positif dari keluarga akan mempunyai keyakinan dan motivasi yang tinggi.

7. Depresi

Diperkirakan 10,9 % sampai 32,9 % pasien diabetes engalami depresi (Anderson et al, 2001; Wu, 2007). Gejala depresi yang terjadi berpengaruh pada kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan, kontrol gula darah yang rendah dan biaya pelayanan kesehatan yang bertambah banyak.

2.2 Diabetes Mellitus (DM)

2.2.1 Definisi

Diabetes Mellitus merupakan suatu sindroma gangguan metabolisme dengan hiperglikemi yang tidak semestinya sebagai akibat suatu defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas biologis dari insulin atau keduanya (Rendi & Margareth, 2012). Sedangkan menurut Daniels (2012), DM merupakan sekelompok gangguan metabolisme yang bersifat kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. American Diabetes Association (ADA) (2010; Perkeni, 2011) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.Jadi diabetes melitus merupakan sekelompok penyakit gangguan metabolisme yang berkaitan dengan gangguan insulin tubuh yang bersifat kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah.2.2.2 Faktor-Faktor Resiko Diabetes Mellitus

Faktor-faktor resiko diabetes melitus tipe 2 meliputi :

1. Riwayat keluarga dengan diabetes melitus (khususnya orang tua atau saudara kandung)

Anak dari penderita diabetes melitus tipe 2 mempunyai peluang menderita diabetes melitus tipe 2 sebanyak 15% dan 30% resiko berkembang intoleransi glukosa (ketidakmampuan memetabolisme karbohidat secara normal) (Lemone & Burke, 2008).

2. Obesitas (berat badan 20 % berat ideal, atau BMI 27 kg/m2)

Obesitas khususnya pada tubuh bagian atas, menyebabkan berkurangnya jumlah sisi reseptor insulin yang dapat bekerja di dalam sel pada otot skeletal dan jaringan lemak. Prosesnya disebut sebagai resistensi insulin perifer. Obesitas juga merusak kemampuan sel beta untuk melepaskan insulin saat terjadi peningkatan glukosa darah (Smeltzer & Bare, 2008; Soegondo, Soewondo & Subekti, 2009).3. Usia

4. Proses menua berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ yang mempengaruhi homeostasis. Pernah teridentifikasi gula darah dan test toleransi glukosa meningkat.

5. Hipertensi ( 140/90 mmHg)

6. Aktivitas

Aktivitas fisik berdampak terhadap aksi insulin pada orang yang beresiko diabetes melitus. Suyono (dalam Soegondo, Soewondo & Subekti, 2009) menjelaskan bahwa kurangnya aktifitas merupakan salah satu faktor yang ikut berperan menyebabkan resistensi insulin pada diabetes melitus tipe 2.

7. Kadar HDL kolesterol 35 mg/dL (0,09mmol/L) dan atau kadar trigliserida 259 mg/dl (2,8 mmol/L)8. Riwayat diabetes gestasional atau melahirkan bayi > 4 kg2.2.3 Klasifikasi

Menurut Padila (2012), terdapat empat jenis utama diabetes melitus terdiri dari :

1. DM tipe 1 : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)

2. Dm tipe 2 : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)

3. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya

4. Diabetes mellitus gestasional (GDM)2.2.4 Patofisiologi

Sebagian besar gambaran patologik dari Diabetes Mellitus dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya inulin berikut: berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh yang mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 1200 gg/dl. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan kolesterol pada dinding pembuluh darah dan akibat dari berkurangnya protein dalam jaringan tubuh. Pasien-pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia yang parah yang melebihi ambang ginjal normal (konsentrasi glukosa darah sebesar 160 180 mh/ 100 ml), akan timbul glikosuria karena tubulus-tubulus renalis tidak dapat menyerap kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida, potasium, dan pospat. Adanya poliuria menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsia. Akibat glukosa yang keluar bersama urin maka pasien akan mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta cenderung terjadi polifagia. Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga pesien menjadi cepat lelah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga berkurangya penggunaan karbohidrat untuk energi. Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan aterosklerosis, penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer dan ini akan memudahakan terjadinya gangren. Pasien-pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa yang normal, atau toleransi glukosa sesudah makan karbohidrat, jika hiperglikemianya parah dan melebihi ambang ginjal, maka timbul glukosuria. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) harus terstimulasi, akibatnya pasien akan minum dalam jumlah banyak karena glukosa hilang bersama kemih, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) timbul sebagai akibat kehilangan kalori (Price, 2006).

2.2.5 Manifestasi Klinis

Smeltzer dan Bare (2008) menyebutkan bahwa manifestasi klinis dari pasien diabetes melitus adalah 3P yaitu poliuria, polidipsi, poliphagi. Poliuria (terjadinya peningkatan jumlah dan frekuensi urine). Hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang berdampak pada peningkatan jumlah dan frekuensi buang air kecil. Polidipsia (terjadi peningkatan rasa haus). Hal ini terjadi akibat kelebihan pengeluaran cairan karena proses diuresis osmotik. Poliphagia (peningkatan nafsu makan yang yang diakibatkan dari keadaan metabolisme yang dipicu oleh kekurangan insulin dan pemecahan lemak dan protein).Gejala lain pasien diabetes melitus meliputi kelelahan, penurunan berat badan, kelemahan perubahan penglihatan yang tiba-tiba, geli atau kebas pada tangan dan kaki, kulit kering, luka pada kaki atau luka yang lambat sembuh, dan infeksi yang berulang (Lemone & Burke 2008; Smeltzer dan Bare 2008).

2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik

1. Glukosa darah sewaktu

2. Kadar glukosa darah puasa 3. Tes toleransi gula darahTabel 2.1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis diabetes (mg/dl)Kadar glukosa darahBukan DMBelum pasti DMDM

Kadar glukosa darah sewaktu

Plasma vena

Darah kapiler200

Kadar glukosa darah puasa

Plasma vena

Darah kapiler110

Sumber : Padila, 2012

Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus sedikitnya 2 kali pemeriksaan :

a. Glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L)

b. Glukosa plasma puasa > 140 mg/dl (7,8 mmol/L)

c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl (Padila, 2012).2.2.7 PenatalaksanaanPrinsip penatalaksanaan sesuai dengan Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia tahun 2006 adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien diabetes melitus.Tujuan tersebut akan terwujud dengan :

1. DietPrinsip pengaturan makanan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan insulin atau obat penurun glukosa.Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-70%, lemak 20-25% dan protein 10-15%. Untuk menentukan status gizi, dihitung dengan BMI (Body Mass Indeks). Body Mass Indeks merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.Untuk menghitung nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus berikut :

IMT = BB (kg) / TB (m2)

Tabel 2.2 Indek masa tubuh kriteria kurus, normal, dan gemukKriteriaKategoriIMT

KurusKekurangan berat badan tingkat berat

Kekurangan berat badan tingkat ringan