Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau Triwulan I ‐ 2009 5 BAB 1 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL 1.1. KONDISI UMUM Di awal tahun 2009, imbas krisis finansial global terhadap perekonomian Kepulauan Riau dirasakan semakin intens. Laju pertumbuhan ekonomi memasuki zona negatif dengan melambat sebesar -0,89% (y-o-y) di triwulan I-2009, sedangkan triwulan sebelumnya masih tumbuh di level 3,05%. Kinerja ekspor yang diperkirakan melambat sebesar -5,5% masih menjadi penyebab utama koreksi pertumbuhan di triwulan laporan. Kondisi tersebut sangat dipengaruhi oleh kesulitan finansial bahkan resesi yang dialami sebagian besar negara-negara prinsipal, seperti AS, Jepang, Eropa dan Singapura. Selain itu, realisasi investasi barang modal diperkirakan tumbuh terbatas setelah tahun 2008 mencapai tingkat pertumbuhan 30%. Meski demikian, tren menguatnya nilai tukar Rupiah serta penurunan harga komoditas internasional berkontribusi positif dalam menahan laju penurunan konsumsi lebih lanjut. Dari sisi produksi, perlambatan ekonomi Kepulauan Riau didorong oleh melemahnya pertumbuhan di 3 sektor utama, yaitu sektor Industri Pengolahan, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, serta sektor Bangunan. Penurunan daya beli global berpengaruh signifikan terhadap turunnya permintaan barang-barang manufaktur yang diproduksi di Kepulauan Riau, khususnya kota Batam. Rata-rata penurunan utilisasi produksi bahkan telah mencapai 30% - 50%. Sumber : BPS Kepulauan Riau *) angka sementara **) angka sangat sementara Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Sektoral dan Penggunaan (yoy) Grafik 1.1. Struktur Perekonomian Kepulauan Riau 2009 III IV I II III IV* I** SEKTOR EKONOMI 1. Pertanian 6.77% 10.44% 8.37% 5.78% 2.18% -0.72% 0.08% 2. Pertambangan & Penggalian -2.28% -2.91% -1.89% -2.99% -2.85% -3.09% -1.29% 3. Industri Pengolahan 5.86% 6.35% 5.56% 6.35% 4.67% 1.78% -3.72% 4. Listrik, Gas & Air Bersih 6.07% 9.06% 13.49% 12.34% 5.12% 1.65% -0.73% 5. Bangunan 32.31% 46.12% 45.93% 42.58% 28.52% 24.03% 14.81% 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 8.60% 9.07% 10.52% 10.37% 8.36% 2.21% -0.87% 7. Pengangkutan & Komunikasi 11.36% 15.32% 18.56% 16.34% 13.84% 9.64% 5.71% 8. Keuangan, Persewaan & Jasa P'an 10.12% 11.51% 11.69% 10.69% 9.59% 7.10% 6.12% 9. Jasa-Jasa 13.81% 20.07% 20.57% 17.47% 14.77% 10.36% 8.29% KOMPONEN PENGGUNAAN 1. Konsumsi Rumah Tangga 16.03% 19.58% 23.04% 17.48% 18.59% 17.45% 11.42% 2. Konsumsi Lembaga Swasta 11.29% 15.26% 16.74% 11.26% 11.94% 13.91% 15.59% 3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah 16.07% 20.67% 18.06% 13.30% 9.15% 13.01% 14.54% 4. Pembentukan Modal Tetap Bruto 9.94% 17.96% 26.50% 34.38% 31.22% 25.72% 9.25% 5. Ekspor Barang dan Jasa 157.09% -0.50% 7.07% 5.88% 0.60% -1.39% -5.50% 6. Impor Barang dan Jasa 15.55% 13.06% 12.95% 15.59% 23.46% 19.57% 16.42% P D R B 7.24% 8.50% 8.63% 8.60% 6.52% 3.05% -0.89% 2007 2008
71
Embed
BAB 1 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO … Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau Triwulan I ‐ 2009 8 Daya beli masyarakat petani relatif meningkat didorong oleh kenaikan harga beberapa
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
5
BAB 1 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL
1.1. KONDISI UMUM
Di awal tahun 2009, imbas krisis finansial global terhadap perekonomian Kepulauan
Riau dirasakan semakin intens. Laju pertumbuhan ekonomi memasuki zona negatif dengan
melambat sebesar -0,89% (y-o-y) di triwulan I-2009, sedangkan triwulan sebelumnya masih
tumbuh di level 3,05%. Kinerja ekspor yang diperkirakan melambat sebesar -5,5% masih
menjadi penyebab utama koreksi pertumbuhan di triwulan laporan. Kondisi tersebut sangat
dipengaruhi oleh kesulitan finansial bahkan resesi yang dialami sebagian besar negara-negara
prinsipal, seperti AS, Jepang, Eropa dan Singapura. Selain itu, realisasi investasi barang modal
diperkirakan tumbuh terbatas setelah tahun 2008 mencapai tingkat pertumbuhan 30%.
Meski demikian, tren menguatnya nilai tukar Rupiah serta penurunan harga komoditas
internasional berkontribusi positif dalam menahan laju penurunan konsumsi lebih lanjut.
Dari sisi produksi, perlambatan ekonomi Kepulauan Riau didorong oleh melemahnya
pertumbuhan di 3 sektor utama, yaitu sektor Industri Pengolahan, sektor Perdagangan, Hotel
dan Restoran, serta sektor Bangunan. Penurunan daya beli global berpengaruh signifikan
terhadap turunnya permintaan barang-barang manufaktur yang diproduksi di Kepulauan
Riau, khususnya kota Batam. Rata-rata penurunan utilisasi produksi bahkan telah mencapai
30% - 50%.
Sumber : BPS Kepulauan Riau *) angka sementara **) angka sangat sementara
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Sektoral dan Penggunaan (yoy)
Grafik 1.30. Tingkat Hunian Hotel Berbintang (occ.rate)
Sumber : BPS Kepulauan Riau, diolah Sumber : Otorita Batam, Bandara Hang Nadim - Batam
Grafik 1.31. Volume Penumpang (Domestik & Int’l)
yang Datang Melalui Bandara Hang Nadim Batam
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
19
yang tumbuh sebesar 24,03%. Para pelaku bisnis properti baru mulai optimis terhadap
perkembangan ekonomi di semester II-2009.
Kondisi ini terlihat dari penurunan konsumsi semen hingga memasuki zona
pertumbuhan negatif 18,68% (yoy) di bulan Maret 2009. Secara triwulan, konsumsi semen
Kepulauan Riau selama triwulan I-2009 sebanyak 181,56 ribu ton, turun -0,41% dibanding
pemakaian semen di triwulan I-2008.
Di sisi penawaran, kondisi ini disebabkan karena sebagian bahan baku konstruksi
masih diimpor dari luar negeri seperti besi, baja, peralatan sanitary, pipa, polycarbonate, dan
sebagainya. Selain dihadapkan pada nilai Rupiah yang terdepresiasi, sektor bangunan juga
harus menerima kondisi pengetatan kredit perbankan untuk sektor properti. Penurunan harga
BBM dan komoditas dunia belum direspon optimal oleh para pelaku pasar sehingga belum
mampu menurunkan cost of fund perusahaan-perusahaan konstruksi di Kepulauan Riau,
terutama kota Batam dan Tanjung Pinang.
Perkembangan volume impor produk utama sektor bangunan cukup mengkonfirmasi
hal tersebut. Dimana penurunan impor terbesar pada barang kayu dan barang dasar logam
(besi/baja). Adapun kenaikan yang terjadi pada komoditas logam dasar diduga disebabkan
intensifnya pengerjaan pulau Dompak yang akan dijadikan sebagai pusat pemerintahan
provinsi Kepulauan Riau ke depan, serta pembangunan beberapa fasilitas umum seperti
apartemen/hotel dan fasilitas hiburan keluarga di Batam.
Melambatnya sektor properti juga masih terkonfirmasi dari aspek pembiayaan
perbankan lokal. Total kredit properti yang disalurkan Bank Umum dan BPR di Kepulauan Riau
pada posisi Maret 2009 sebesar Rp3,22 triliun atau tumbuh 17,6%, relatif menurun
dibanding posisi akhir tahun 2008 yang mengalami peningkatan 21,2% (yoy). Adapun kredit
Sumber : SEKDA - BI
Grafik 1.33. Perkembangan Volume Impor Utama
Sektor Bangunan
Grafik 1.32. Volume Penjualan Semen di Kepulauan Riau
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
20
kepemilikian rumah (KPR) mengalami pertumbuhan yang terus menurun dimana pada posisi
Desember 2008 masih mencatat pertumbuhan sebesar 28,42% sedangkan di akhir bulan
Maret 2009 tumbuh 23,05%, atau sebesar Rp2,55 triliun.
Berdasarkan persentase, penurunan yang lebih intens terjadi pada pembiayaan KPR
tipe ≥70 m2, sedangkan secara nilai penurunan lebih dirasakan pada KPR untuk tipe ≤70 m2.
Menurunnya pembiayaan KPR tipe sederhana dan menengah ini sejalan dengan perkiraan
pada asesmen sebelumnya. Menurunnya daya beli sebagian besar masyarakat bawah dan
menengah akibat efisiensi perusahaan yang intens terjadi sejak pertengahan tahun 2008.
Akibatnya penjualan rumah terutama untuk tipe sederhana (tipe ≤36 m2) belum cukup
terbantu dengan menurunnya harga rumah sederhana berdasarkan hasil survei harga properti
residensial (SHPR) kota Batam pada triwulan I-2009. Sedangkan pertumbuhan KPR untuk
rumah tipe menegah dan besar yang masih mengalami kenaikan harga selama triwulan I-
2009 mengalami perlambatan dalam persentase yang lebih besar.
1.3.4. Pertambangan dan Penggalian
Kinerja sektor pertambangan dan penggalian yang mengalami pertumbuhan negatif
sejak akhir tahun 2007 relatif membaik dengan laju -1,29%, sedangkan di triwulan IV-2008
berkontraksi lebih dalam di level -3,09%. Hal ini dihasilkan dari perlambatan sub-sektor
Pertambangan Minyak dan Gas (Migas) yang semakin melandai seiring dengan semakin
normalnya operasional di lapangan Belanak.
Aspek pembiayaan perbankan cukup mengkonfirmasi hal ini. Penyaluran kredit untuk
sub-sektor Pertambangan Migas relatif stagnan dengan tetap berkontraksi sepanjang tahun
2008 hingga bulan Maret 2009. Sementara itu, pertumbuhan sub-sektor penggalian yang
relatif berakselerasi dari 2,32% pada triwulan IV-2008 menjadi 3,82%, cukup sejalan dengan
Grafik 1.35. Perkembangan KPR Type >70m2
Grafik 1.34. Perkembangan KPR Type <70m2
Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
21
kenaikan indikator kredit sub-sektor Bijih Logam. Sedangkan perlambatan sub sektor
Pertambangan Non-Migas dapat terindentifikasi dari menurunnya laju pertumbuhan kredit di
sektor pertambangan lainnya.
Sebagai penghasil minyak utama yakni sebesar 65% dari total produksi minyak
Kepulauan Riau, berangsur normalnya lapangan minyak Belanak milik ini berkontribusi besar
terhadap kenaikan produksi minyak yang dihasilkan dari Kepulauan Riau. Bahkan sepanjang
tahun 2008, lifting minyak Belanak mencapai 181,97% dari prognosa yang ditetapkan
sebesar 11,13 juta barel. Adapun selama bulan Januari-Maret 2009, akumulasi lifting minyak
telah mencapai 4,41 juta barel atau terealisasi 62,9% dari prognosa tahun 2009 sebesar 8,39
juta barel.
Sementara itu, perkembangan lifting minyak dari lapangan Belida yang juga milik
Conoco Phillips relatif melambat jika dibandingkan selama triwulan laporan. Di tahun 2008
lapangan ini juga tidak berproduksi optimal dengan pencapaian lifting 88,1%. Sedangkan
selama triwulan I-2009, akumulasi lifting hanya tercatat sebesar 1,55 juta barel, atau 17%
dari target tahun 2009 yang ditetapkan sebesar 9,11 juta barel. Kurang maksimalnya
operasional di lapangan minyak ini diduga memberi kontribusi besar terhadap kontraksi
pertumbuhan yang dialami sektor Pertambangan Migas.
Grafik 1.38. Perkembangan Lifting Minyak Kepri
Sumber : ESDM – Dirjen Minyak & Gas Bumi
Grafik 1.39. Perkembangan Lifting Gas Kepulauan Riau
Sumber : ESDM – Dirjen Minyak & Gas Bumi
Sumber : BPS Kepulauan Riau
Grafik 1.36. Pertumbuhan PDRB Sektor Minyak & Gas
Grafik 1.37.Pertumbuhan Kredit Sub‐Sektor
Pertambangan Migas, Bijih Logam & Lainnya
Sumber : Laporan Bulanan Bank
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
22
Adapun pencapaian lifting gas Kepulauan Riau selama triwulan I-2009 tergolong
cukup optimal. Lapangan gas Conoco Phillips yang sepanjang tahun 2008 berproduksi
melebihi target, selama triwulan ini telah menghasilkan Gas sebanyak 37,4 juta MMBTU, atau
29,8% dari prognosa 2009. Tidak jauh berbeda, lapangan gas Kakap milik Star Energy telah
memproduksi 4,35 juta MMBTU atau mencapai 20,6% dari target produksi tahun 2009.
1.3.5. Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
Koreksi pertumbuhan sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan mulai
melandai di triwulan I-2009 dengan laju sebesar 6,12% (yoy). Kinerja sektor Perbankan yang
relatif baik dengan meningkat 6,83% telah berkontribusi besar dalam menahan perlambatan
yang lebih dalam.
Adapun rapor kinerja terburuk dialami oleh sub-sektor Jasa Perusahaan yang
berkontraksi 2,01% sedangkan triwulan sebelumnya masih tumbuh 7,82%. Kondisi ini
sangat tidak terlepas dari melambatnya aktivitas sektor riil di kepulauan Riau. Menurunnya
nilai perekonomian yang dihasilkan dari aktivitas jasa penunjang perusahaan sangat
terkonfirmasi dari merosotnya pertumbuhan kredit perbankan untuk sektor dimaksud.
Pembiayan perbankan mencatat pertumbuhan -4,10% di posisi Maret 2009, sedangkan di
triwulan IV-2008 masih tumbuh 11,88%.
Di tengah ketatnya likuiditas perbankan, upaya perbankan untuk meningkatkan
pertumbuhan dana dan menahan laju pertumbuhan kredit dapat dikatakan berhasil. Kondisi
ini terlihat dari terus menurunnya gap pertumbuhan kredit dan dana bahkan mencapai
tingkat pertumbuhan yang hampir ekuivalen di triwulan laporan. Konsekuensinya, rasio loan
to deposit (LDR) menjadi semakin menurun. Bagi perbankan secara individu kondisi ini baik
Sumber : BPS Kepulauan Riau, diolah
Grafik 1.40. Pertumbuhan PDRB Sub-Sektor
Bank, LKBB, Sewa Bangunan & Jasa Perusahaan Grafik 1.41.
Perkembangan Kredit Sektor Jasa Dunia Usaha
Sumber : Laporan Bulanan Bank (BU+BPR)
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
23
untuk menjaga keberlangsungan bisnisnya, meskipun berdampak terbalik bagi perekonomian
regional karena nilai tambah yang dihasilkan menjadi berkurang.
Sikap prudent yang ditunjukkan perbankan dalam menghadapi situasi krisis juga
terlihat dari menurunnya tingkat kredit bermasalah (non performing loan/NPL), dimana rasio
NPL Perbankan wilayah Kepulauan Riau menurun dari 2,6% di akhir tahun 2008 menjadi
2,05% di posisi Maret 2009. Meski demikian resiko meningkatnya NPL ke depan tetap harus
menjadi perhatian penting mengingat intensnya dampak krisis global terhadap perekonomian
Kepulauan Riau di triwulan ini.
1.3.6. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi
Pertumbuhan sektor Pengangkutan dan Komunikasi masih menurun bersamaan
dengan berlanjutnya perlambatan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Laju pertumbuhan
(yoy) sektor pengangkutan dan komunikasi kembali turun dari 9,64% menjadi 5,71% di
triwulan I-2009.
Meski tumbuh positif, perlambatan terbesar terjadi pada aktivitas sub-sektor angkutan
yang sempat terpukul akibat kenaikan harga BBM di tahun 2008. Sektor Pengangkutan di
triwulan ini tumbuh 5,78%, menurun dibanding triwulan sebelumnya yang mengalami
pertumbuhan sebesar 9,91%. Kondisi ini disumbangkan oleh perlambatan sub-sektor
Angkutan Jalan Raya dari 9,28% menjadi 4%. Di samping itu, pertumbuhan sub-sektor
Angkutan Laut juga menurun dari 10,05% menjadi 7,61%. Di lain pihak, sektor Pos dan
Telekomunikasi menunjukkan koreksi yang melandai dari 7,68% di triwulan sebelumnya
menjadi 5,21% di periode ini.
Grafik 1.43. Perkembangan LDR & NPL Perbankan
Sumber : Laporan Bulanan Bank (BU+BPR)
Grafik 1.42. Pertumbuhan Aset, DPK & Kredit
Perbankan Kepulauan Riau
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
24
Sementara di sisi pembiayaan perbankan kurang cukup mengkonfirmasi hal tersebut.
Kredit untuk bidang usaha Pengangkutan Umum dan Biro Perjalanan mengalami
pertumbuhan yang signifikan selama triwulan laporan. Walaupun penurunan yang ditujukkan
kredit sektor komunikasi cukup mengkonfirmasi data Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut.
Penurunan volume penerbangan dan kargo udara di Bandara Hang Nadim Batam,
serta bongkar-muat kargo di pelabuhan utama kota Batam, dapat mengindikasikan
rendahnya pertumbuhan industri pengangkutan di Kepulauan Riau. Jumlah penerbangan dan
aktivitas kargo (domestik dan internasional), baik melalui pengangkutan udara maupun laut
relatif menurun selama awal tahun 2009. Penurunan terutama terjadi pada aktivitas bongkar
(impor) barang, baik dari luar daerah maupun dari luar negeri.
Sumber : BPS Kepulauan Riau, diolah
Grafik 1.44. Pertumbuhan PDRB Sub-sektor
Transportasi, Pos & Telekomunikasi (y-o-y) Grafik 1.45.
Perkembangan Kredit Sub-Sektor Pengangkutan, Biro Perjalanan & Komunikasi
Sumber : SEKDA - BI
Grafik 1.47. Volume Kargo Udara (Domestik & Int’l)
Grafik 1.46. Volume Penerbangan (Domestik & Int’l)
Sumber : Otorita Batam, Bandara Hang Nadim Batam
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
25
1.3.7. Sektor Pertanian
Penurunan harga BBM bersubsidi seiring dengan tren harga komoditas primer
berdampak positif terhadap perkembangan sektor Pertanian. Sektor pertanian bahkan relatif
berakselerasi di dari -0,72% menjadi 0,08% (yoy), akibat kenaikan produksi sub-sektor
Peternakan dan Hasil-hasilnya yang tumbuh 7,36% di triwulan I-2009. Sedangkan kinerja
sub-sektor Perikanan sedikit membaik walau tetap berada dalam area pertumbuhan negatif
dari -1,92% di triwulan sebelumnya, menjadi -1,8%. Sementara sub-sektor Pertanian lainnya
tetap mengalami tren pertumbuhan yang menurun.
Kenaikan hasil produksi Peternakan cukup dikonfirmasi oleh peningkatan ekspor
hewan hidup (live animal) selama Januari-Februari 2009 dibanding periode yang sama tahun
2008. Begitu juga halnya dengan komoditas perikanan yang mengalami kenaikan relatif
sebagaimana ditunjukkan oleh perkembangan positif ekspor ikan dan hasil-hasil laut dalam
periode yang sama.
Sumber : Otorita Batam, Pelabuhan Batu Ampar, Kabil dan Sekupang Batam
Grafik 1.48. Volume Kargo Laut (Domestik & Int’l)
Grafik 1.49. Pertumbuhan PDRB Sub-Sektor
TBM, Peternakan & Pertanian
Sumber : BPS Kepulauan Riau, diolah
Grafik 1.50.Perkembangan Ekspor
Ikan, Udang dan Kepiting
Sumber : SEKDA - BI
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
26
Sementara itu di sisi pembiayaan perbankan belum mampu mengkonfirmasi
peningkatan yang terjadi pada sub-sektor Peternakan, dimana pertumbuhan kredit sektor
tersebut justru semakin menurun sampai posisi akhir triwulan I-2009. Namun secara
keseluruhan, kenaikan pembiayaan untuk bidang usaha Tanaman Pangan dan Perikanan
cukup mengidentifikasi berakselerasinya sektor Pertanian di triwulan laporan.
1.3.8. Sektor Listik, Gas dan Air Bersih
Melambatnya aktivitas bisnis di Kepulauan Riau semakin berdampak pada penurunan
konsumsi listrik, gas dan air. Pertumbuhan sektor infrastruktur tersebut terus menurun hingga
berkontraksi di tingkat -0,73% (yoy). Meski demikian, perlambatan sektor LGA mulai
melandai dibanding 2 periode sebelumnya yang masing-masing tumbuh 5,12% dan 1,65%
di triwulan IV-2008.
Nilai tambah yang dihasilkan sub-sektor Gas menurun secara drastis hingga tumbuh -
5,74% di triwulan laporan. Kondisi ini dipicu oleh penurunan utilisasi produksi industri
manufaktur berkisar antara 30%-50%, sehingga berdampak langsung terhadap
Sumber : BPS Kepulauan Riau, diolah
Grafik 1.52. Pertumbuhan PDRB Sub-Sektor
Listrik, Gas & Air Bersih
Sumber : Hasil Survei BI-Batam, Nov 2008, diolah
Diagram 1.1. Rata-rata Penggunaan Per Jenis Bahan Bakar
Grafik 1.51. Pertumbuhan Kredit Sub-sektor
Tanaman Pangan, Perikanan & Peternakan
Sumber : Laporan Bulanan Bank
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
27
berkurangnya pemakaian energi, terutama Gas sebagai sumber energi penting dalam aktivitas
produksi. Hasil survei menunjukkan bahwa pemakaian energi gas di 103 perusahaan
manufaktur besar di kota Batam adalah lebih dominan dibanding pemakaian BBM dan listrik.
Meski terus melambat sejak semester II-2008, sub-sektor Listrik dan Air Bersih masih
tumbuh masing-masing sebesar 5,81% dan 4,97% di periode kali ini. Berbagai permasalahan
yang terjadi di sektor ini, antara lain kurangnya pasokan listrik di beberapa daerah di luar
Batam seperti kota Tanjungpinang dan kabupaten Bintan, penurunan aktivitas bisnis dan
industri, serta kenaikan tarif dasar listrik Hotel dan Mall yang akhirnya menimbulkan
permasalahan hukum, semakin memperburuk kinerja penjualan listrik oleh Perusahaan Listrik
Negara (PLN). Kondisi tersebut antara lain diperlihatkan dengan menurunnya penjualan daya
listrik oleh PT. PLN Batam, dimana selama triwulan I-2009 tercatat sebanyak 293.085 MWh
atau hanya tumbuh 0,95%, sementara di triwulan akhir 2008 lalu masih tumbuh 11,26%.
Khusus di Batam, sistem pengelolaan sarana Listrik sejak awal tahun 2006 dilakukan
melalui kerja sama jual-beli tenaga listrik antara PT. PLN Batam dengan Independend Power
Plant (IPP) milik swasta, dimana saat ini komposisi supply mesin pembangkit PT. PLN Batam
sebesar 27% dengan menggunakan energi diesel, sedangkan sisanya dipenuhi oleh IPP yang
menggunakan bahan bakar gas. Selain itu, sebagian aktivitas produksi perusahaan
manufaktur juga menggunakan bahan bakar gas dengan alasan harga yang relatif lebih
murah dibandingkan memakai tenaga listrik. Besarnya penggunaan gas untuk menjamin
pasokan listrik di kota Batam mengakibatkan arah pertumbuhan sub-sektor Gas relatif
konvergen dengan sub-sektor Listrik.
Perlambatan di sektor Listrik juga terkonfirmasi dari menurunnya pertumbuhan kredit
untuk sektor tersebut sampai bulan Maret 2009. Sementara itu penyaluran kredit untuk sub-
sektor Gas yang naik signifikan belum mampu mencerminkan penurunan kinerja sektor
dimaksud.
Sumber : PT. PLN Batam, diolah
Grafik 1.53 Perkembangan Penjualan Listrik
PT. PLN Batam
Sumber : Laporan Bulanan Bank
Grafik 1.54. Pertumbuhan Kredit Sub-Sektor
Listrik, Gas & Air Bersih
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
28
BAB 2 PERKEMBANGAN INFLASI REGIONAL
2.1. INFLASI KOTA BATAM
2.1.1. KONDISI UMUM
Laju inflasi Kota Batam pada triwulan I 2009 tercatat relatif rendah dibandingkan tahun
sebelumnya. Penurunan harga BBM di akhir tahun 2008 serta turunnya harga komoditas
dunia juga mempengaruhi rendahnya inflasi di triwulan awal 2009. Krisis keuangan global
juga mempengaruhi terhadap rendahnya permintaan sehingga berpengaruh pada turunnya
harga di wilayah Kota Batam. Laju inflasi tahun kalender Kota Batam sampai dengan triwulan
I 2009 tercatat sebesar 0,65% (ytd), lebih rendah dibanding periode yang sama tahun 2008
yang tercatat sebesar 2,89% (ytd).
Melanjutkan trend triwulan-triwulan sebelumnya, inflasi Batam pada triwulan I 2009
juga berada di bawah inflasi nasional. Secara tahunan inflasi Kota Batam tercatat sebesar
6,33% (yoy) di bawah angka inflasi tahunan nasional yang tercatat sebesar 7,92% (yoy).
Turunnya harga komoditas dunia serta berakhirnya musim utara di bulan Maret ikut
berpengaruh pada rendahnya laju inflasi di Kota Batam pada triwulan I 2009.
Grafik 2.1 – PERKEMBANGAN LAJU INFLASI TAHUNAN BATAM & NASIONAL
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
29
2.1.2. INFLASI TRIWULANAN
Secara triwulanan, laju inflasi Kota Batam mengalami sedikit peningkatan
dibandingkan dengan triwulan IV 2008. Peningkatan ini terjadi karena pada akhir triwulan IV
2008, tepatnya pada bulan Desember Kota Batam mengalami deflasi sebagai dampak dari
penurunan harga BBM oleh pemerintah. Pada triwulan I 2009 laju inflasi kota Batam tercatat
0,65% (qtq) sedikit lebih tinggi dibandingkan laju inflasi triwulan IV 2008 yang tercatat
sebesar 0,58% (qtq).
Inflasi Kota Batam sempat mengalami kenaikan yang cukup tinggi di bulan Februari
2009 yang disebabkan karena adanya gangguan cuaca akibat bertiupnya angin utara.
Bertiupnya angin utara tersebut menyebabkan gelombang tinggi yang berdampak supply
barang kebutuhan pokok ke Kota Batam menjadi terganggu. Selain itu musim utara juga
menyebabkan para nelayan kecil tidak bisa melaut sehingga mengurangi supply kebutuhan
ikan masyarakat Kota Batam. Selama bertiupnya angin utara ini kebutuhan ikan masyarakat
Kota Batam dipenuhi dari stok ikan yang ada di storage para penampung ikan. Pada bulan
Februari 2009 inflasi Kota Batam tercatat sebesar 0,59% (mtm). Meskipun demikian inflasi
yang relatif rendah di bulan Januari dan Maret 2009 ikut mempengaruhi rendahnya inflasi di
Kota Batam.
Tabel 2.1. Perkembangan Inflasi Triwulanan Kota Batam
KELOMPOK Triwulan IV ‐2008 Triwulan I ‐2009
Inflasi Sumbangan Inflasi Sumbangan I Bahan Makanan 3,50 0,10 1,02 0,24
II Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau 3,21 0,50 3,57 0,57
III Perumahan, Air, Listrik & Bahan Bakar 1,30 0,33 0,30 0,08 IV Sandang 3,31 0,22 5,48 0,38
V Kesehatan 0,70 0,03 0,34 0,02
VI Pendidikan, Rekreasi & Olahraga 0,22 0,01 0,20 0,01
VII Transpor, Komunikasi & Jasa Keuangan ‐3,02 ‐0,61 ‐3,36 ‐0,65
INFLASI 0.58 0,65
Sumber : BPS (diolah)
Berdasarkan kontribusinya, pada triwulan I 2009 kelompok makanan jadi, minuman,
rokok dan tembakau merupakan penyumbang terbesar dalam pembentukan angka inflasi
dengan kontribusi sebesar 0,57% (qtq) dan angka inflasi sebesar 3,51% (qtq). Kelompok
yang menyumbang inflasi terbesar kedua adalah kelompok sandang yang memberikan
kontribusi inflasi sebesar 0,38% (qtq) dengan angka inflasi sebesar 5,48% (qtq).
Kelompok berikutnya yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan
inflasi Kota Batam adalah kelompok bahan makanan yang memberikan kontribusi inflasi
sebesar 0,24% (qtq) dengan angka inflasi sebesar 1,02%. Sementara itu kelompok
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
30
perumahan, air, listrik dan bahan bakar memberikan sumbangan inflasi sebesar 0,08% (qtq)
dengan angka inflasi sebesar 0,30% (qtq). Kelompok kesehatan memberikan kontribusi
sebesar 0,02% (qtq) dengan angka inflasi sebesar 0,34% (qtq). Sedangkan kelompok
pendidikan, rekreasi dan olahraga memberikan kontribusi sebesar 0,01% (qtq) dengan angka
inflasi sebesar 0,20% (qtq).
Kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan pada triwulan laporan justru
memberikan sumbangan deflasi yang cukup besar yaitu sebesar 0,65% (qtq) dengan angka
deflasi sebesar 3,36% (qtq). Penurunan harga yang terjadi pada kelompok ini terjadi pada
bulan Januari dan Februari sedangkan bulan Maret kelompok ini tidak mengalami perubahan
harga. Penurunan harga yang dialami kelompok ini masih dipengaruhi oleh penurunan harga
BBM yang dilakukan oleh pemerintah di akhir bulan Desember 2009.
2.1.3. INFLASI BERDASARKAN KELOMPOK BARANG
Secara total, inflasi Kota Batam pada triwulan I 2009 tercatat sebesar 0,65% (qtq)
lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama yang tercatat sebesar 2,89% (qtq).
Inflasi pada triwulan laporan yang relatif rendah tersebut dipengaruhi oleh rendahnya inflasi
di bulan Januari dan Maret 2009. Selain itu penurunan harga kelompok transportasi,
komunikasi dan jasa keuangan yang terjadi selama dua bulan berturut-turut yaitu bulan
Januari dan Februari juga berpengaruh pada rendahnya inflasi di triwulan I 2009.
Grafik 2.2. Inflasi Kota Batam Berdasarkan Kelompok Barang
Sumber : BPS data diolah
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
31
2.1.3.1. Bahan Makanan
Kelompok bahan makanan di Kota Batam pada triwulan I 2009 mengalami inflasi
sebesar 1,02% (qtq). Sub kelompok yang mengalami inflasi terbesar adalah sub kelompok
buah-buahan dan ikan segar yang mengalami inflasi masing-masing sebesar 9,75% (qtq) dan
8,20% (qtq). Sub kelompok buah-buahan dan ikan segar mengalami kenaikan harga yang
cukup tinggi dipengaruhi oleh bertiupnya angin utara yang bertiup di bulan Januari dan
Februari. Angin utara ini menimbulkan ombak tinggi sehingga lalu lintas pelayaran terganggu
yang mempengaruhi supply kebutuhan buah-buahan dan ikan segar.
Selain itu ombak tinggi yang dibawa oleh angin utara juga menyebabkan nelayan kecil
sulit melaut. Kebutuhan ikan segar masyarakat Kota Batam selama musim utara ini dipasok
dari storage yang dimiliki oleh para pengumpul ikan di Kota Batam. Fenomena ini juga
berpengaruh pada permintaan terhadap sub kelompok ikan diawetkan yang mengalami
peningkatan sehingga mengalami kenaikan harga sebesar 3,97% (qtq).
Sementara itu beberapa sub kelompok yang lain mengalami perubahan harga yang
relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Sub kelompok padi-padian, sub
kelompok kacang-kacangan dan sub kelompok sayur-sayuran mengalami kenaikan harga di
bawah satu persen masing-masing sebesar 0,4% (qtq), 0,4% (qtq) dan 0,01% (qtq).
Grafik 2.3.. Rata‐rata Kecepatan Angin & Tinggi Gelombang Laut di Indonesia
FORECAST JANUARI 2009 VALID : 18-25/01/2009 00 UTC FORECAST FEBRUARI 2009 VALID : 18-25/01/2009 00 UTC
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
32
Pada triwulan I 2009 terdapat 4 (empat) sub kelompok yang mengalami penurunan
harga (deflasi). Sub kelompok yang mengalami penurunan harga terbesar adalah sub
kelompok bumbu-bumbuan yang mengalami penurunan harga sebesar 6,60%. Penurunan
harga sub kelompok ini merupakan proses menuju keseimbangan baru setelah pada triwulan
sebelumnya mengalami kenaikan harga sebesar 14,08%.
Sedangkan tiga sub kelompok lain yang mengalami penurunan harga adalah sub
kelompok daging, sub kelompok telur dan susu serta sub kelompok lemak dan minyak yang
masing-masing mengalami deflasi sebesar 3,46% (qtq), 1,80% (qtq), dan 0,91% (qtq).
2.1.3.2 . Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau
Kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau pada triwulan I 2009
mengalami inflasi sebesar 3,57% (qtq). Ketiga sub kelompok yang ada pada kelompok ini
mengalami inflasi. Sub kelompok yang mengalami inflasi tertinggi adalah sub kelompok
minuman tidak beralkohol yang mengalami inflasi sebesar 8,63% (qtq). Sedangkan sub
kelompok tembakau dan minuman beralkohol mengalami inflasi sebesar 3,80% (qtq).
Sementara itu, sub kelompok makanan jadi mengalami terendah dalam kelompok ini dengan
angka inflasi sebesar 1,80% (qtq).
2.1.3.3. Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar
Kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar pada triwulan laporan
mengalami kenaikan harga sebesar 0,30% (qtq). Inflasi tertinggi dialami oleh sub kelompok
perlengkapan rumah tangga yang mengalami inflasi sebesar 1,26% (qtq) yang diikuti sub
kelompok biaya tempat tinggal dengan angka inflasi sebesar 0,37% (qtq).
Sub kelompok penyelenggaraan rumah tangga mengalami inflasi sebesar 0,14%
(qtq). Sub kelompok bahan bakar, penerangan dan air mengalami inflasi terendaha dengan
angka inflasi sebesar 0,06% (qtq). Sub kelompok ini mengalami inflasi yang cukup rendah
setelah pada triwulan sebelumnya mengalami inflasi yang cukup tinggi yaitu sebesar 4,71%
(qtq).
2.1.3.4. Kelompok Sandang
Kelompok sandang pada triwulan I 2009 mengalami inflasi yang cukup tinggi yaitu
sebesar 5,48% (qtq). Angka inflasi yang cukup tinggi ini disumbang terutama oleh kenaikan
harga pada sub kelompok barang pribadi dan sandang lain dengan angka inflasi sebesar
16,65% (qtq). Kenaikan harga sub kelompok ini terutama disebabkan oleh kenaikan harga
komoditas emas. Komoditas emas mengalami kenaikan harga mengikuti kenaikan harga
emas internasional.
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
33
Sub kelompok sandang anak-anak dan sandang wanita tercatat mengalami
perubahan harga yang relatif stabil. Kenaikan harga yang dialami oleh kedua sub kelompok
ini masih berada di bawah satu persen. Sub kelompok sandang anak-anak mengalami
kenaikan harga dengan angka inflasi 0,18% (qtq) diikuti oleh sub kelompok sandang wanita
yang mengalami inflaasi sebesar 0,04% (qtq).
Sementara itu sub kelompok sandang laki-laki terus melanjutkan trend di triwulan
sebelumnya yang menunjukkan stabilitas harga. Pada triwulan I 2009 sub kelompok sandang
laki-laki tidak mengalami kenaikan harga. Artinya sejak bulan Oktober 2008 sub kelompok ini
tidak mengalami kenaikan harga selama enam bulan berturut-turut.
2.1.3.5. Kelompok Kesehatan
Kelompok kesehatan pada triwulan laporan mengalami inflasi sebesar 0,34% (qtq)
yang berasal dari sub kelompok jasa perawatan jasmani yang mengalami inflasi sebesar
3,58% (qtq) dan sub kelompok perawatan jasmani dan kosmetik yang mengalami inflasi
sebesar 0,22% (qtq). Sementara itu sub kelompok jasa kesehatan dan obat-obatan pada
triwulan I 2009 tidak mengalami perubahan harga.
2.1.3.6. Kelompok Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga
Kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga pada triwulan I 2009 mengalami
kenaikan harga sebesar 0,20% (qtq). Satu-satunya sub kelompok yang mengalami kenaikan
harga pada triwulan laporan adalah sub kelompok rekreasi sedangkan sub kelompok jasa
pendidikan, sub kelompok perlengkapan/peralatan pendidikan, sub kelompok kursus-kursus
dan sub kelompok olahraga tidak mengalami perubahan harga.
2.1.3.7. Kelompok Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan
Melanjutkan trend triwulan sebelumnya kelompok transportasi, komunikasi dan jasa
keuangan pada triwulan I 2009 juga mengalami penurunan harga dengan angka deflasi
sebesar 3,36% (qtq) yang berasal dari sub kelompok transportasi yang mengalami penurunan
harga sebesar 4,81%. Penurunan harga dialami sub kelompok ini terjadi pada bulan Januari
dan Februari sebagai dampak kebijakan pemerintah menurunkan harga BBM pada bulan
Desember 2008. Sementara itu sub kelompok sarana penunjang transportasi, sub kelompok
komunikasi dan pengiriman serta sub kelompok jasa keuangan pada triwulan laporan tidak
mengalami perubahan harga.
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
34
2.2. INFLASI KOTA TANJUNG PINANG
2.2.1. KONDISI UMUM
Searah dengan yang terjadi di Batam, laju inflasi Kota Tanjung Pinang pada triwulan I
2009 mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya. Laju inflasi Kota Tanjung
Pinang di triwulan awal 2009 tercatat sebesar 10,28% (yoy) lebih rendah dibandingkan
dengan triwulan IV 2008 yang tercatat sebesar 11,90% (yoy). Melanjutkan trend triwulan
sebelumnya, inflasi tahunan Kota Tanjung Pinang pada triwulan I 2009 tetap lebih tinggi
dibanding angka inflasi nasional yang tercatat sebesar 7,92% (yoy).
Laju inflasi Kota Tanjung Pinang yang masih relatif tinggi ini salah satunya dipengaruhi
oleh economic of scale Kota Tanjung Pinang yang masih terbatas. Sejak peralihan ibukota
Provinsi Kepulauan Riau dari Kota Batam ke Kota Tanjung Pinang, banyak terjadi pergerakan
penduduk dan kegiatan ekonomi dari Kota Batam ke Kota Tanjung Pinang. Oleh karena itu,
terjadi peningkatan permintaan terhadap kebutuhan pokok masyarakat baik untuk konsumsi
maupun sebagai bahan baku distribusi. Karena supply barang-barang kebutuhan pokok
tersebut ke Kota Tanjung Pinang masih cukup terbatas, sehingga terjadi kenaikan harga yang
masih cukup tinggi di Kota Tanjung Pinang.
2.1.2. INFLASI TRIWULANAN
Secara triwulanan, laju inflasi Kota Tanjung Pinang pada triwulan I 2009 tercatat
sebesar 0,33% (qtq) lebih rendah dibandingkan triwulan IV 2008 yang tercatat sebesar
1,19% (qtq). Kelompok mkanan jadi, minuman, rokok dan tembakau menjadi kontributor
terbesar pada pembentukan inflasi Kota Tanjung Pinang dengan kontribusi sebesar 0,38%
(qtq) dengan angka inflasi sebesar 1,73% (qtq). Kelompok yang menjadi penyumbang inflasi
terbesar berikutnya adalah kelompok sandang, yang memberikan sumbangan sebesar 0,26%
(qtq) dengan angka inflasi sebesar 4,66% (qtq).
Tabel 2.2. Perkembangan Inflasi Triwulanan Kota Tanjung Pinang
KELOMPOK Triwulan IV ‐2008 Triwulan I ‐2009
Inflasi Sumbangan Inflasi Sumbangan I Bahan Makanan 2,66 0,69 0,48 0,1 II Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau 2,48 0,53 1,73 0,38 III Perumahan, Air, Listrik & Bahan Bakar 0,81 0,18 ‐0,06 ‐0,02 IV Sandang 3,48 0,19 4,66 0,26
V Kesehatan 0,75 0,03 0,8 0,03
VI Pendidikan, Rekreasi & Olahraga 0,13 0,01 ‐0,17 0
VII Transpor, Komunikasi & Jasa Keuangan ‐2,67 ‐0,44 ‐2,61 ‐0,42
INFLASI 1,19 0,33
Sumber : BPS (diolah)
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
35
Sedangkan kelompok bahan makanan di Kota Tanjung Pinang pada triwulan I 2009
memberikan kontribusi sebesar 0,10% (qtq) dengan angka inflasi sebesar 0,48% (qtq), diikuti
oleh kelompok kesehatan yang memberikan kontribusi sebesar 0,03% (qtq). Sedangkan
kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga pada triwulan laporan tidak mengalami
perubahan harga. Pada triwulan laporan, terdapat dua kelompok yang mengalami penurunan
harga yaitu kelompok perumahan, air, listrik dan bahan bakar dan kelompok transportasi,
komunikasi dan jasa keuangan masing-masing dengan angka deflasi 0,02% (qtq) dan 0,42%
(qtq).
2.1.3. INFLASI BERDASARKAN KELOMPOK BARANG
Inflasi selama triwulan I 2009 di Kota Tanjung Pinang tercatat sebesar 0,33% (qtq)
lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 1,19% (qtq).
Inflasi tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh pergerakan harga pada kelompok makanan
jadi, rokok dan tembakau yang memberikan sumbangan cukup besar terhadap pembentukan
inflasi Kota Tanjung Pinang. Pada triwulan laporan, angka inflasi yang terbentuk di Kota
Tanjung Pinang juga dipengaruhi oleh deflasi yang terjadi di bulan Maret 2009 serta deflasi
yang dialami oleh kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan yang selama bulan
Januari dan Februari akibat kebijakan pemerintah yang menurunkan harga BBM di bulan
Desember 2008.
Grafik 2.4. Inflasi Kota Tanjung Pinang dan Inflasi Kelompok Makanan Jadi
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
36
2.1.3.1. Bahan Makanan
Kelompok bahan makanan di Kota Tanjung Pinang pada triwulan I 2009 mengalami
inflasi sebesar 0,48% (qtq). Sub kelompok yang mengalami inflasi terbesar adalah sub
kelompok bumbu-bumbuan yang mengalami inflasi sebesar 4,98% (qtq) yang diikuti oleh sub
kelompok sayur-sayuran yang mengalami inflasi sebesar 2,41% (qtq) dan sub kelompok ikan
segar yang mengalami inflasi sebesar 2,29% (qtq). Sub kelompok ikan segar pada bulan
Januari sempat mengalami inflasi sebesar 22,96% (mtm) akibat bertiupnya angin utara di
wilayah perairan Kota Tanjung Pinang pada bulan tersebut. Namun setelah angin utara
tersebut tidak bertiup kembali kelompok ikan segar mengalami penurunan harga sebesar
19,97% (mtm). Sub kelompok padi-padian, umbi-umbian dan hasilnya yang mengalami inflasi
sebesar 2,14% (qtq) dan sub kelompok buah-buahan yang mengalami inflasi sebesar 0,09%
(qtq).
Sementara itu empat sub kelompok yang terdapat kelompok bahan makanan Kota
Tanjung Pinang pada triwulan I 2009 mengalami penurunan harga. Keempat sub kelompok
itu antara lain sub kelompok lemak dan minyak yang mengalami deflasi sebesar 2,26% (qtq),
sub kelompok daging dan hasil-hasilnya dengan angka deflasi sebesar 1,74% (qtq), sub
kelompok ikan yang diawetkan dengan angka deflasi sebesar 0,81% (qtq) dan sub kelompok
telur, susu dan hasilnya yang mengalami deflasi sebesar 0,58% (qtq).
2.1.3.2 . Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau
Kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau pada triwulan I 2009
mengalami inflasi sebesar 1,73% (qtq). Inflasi tertinggi dialami oleh sub kelompok tembakau
dan minuman beralkohol yang mengalami deflasi sebesar 5,09% (qtq) diikuti sub kelompok
minuman tidak beralkohol dengan angka inflasi sebesar 3,03% (qtq). Sementara itu sub
kelompok makanan jadi yang mengalami inflasi sebesar 0,18% (qtq) yang diakibatkan
kenaikan harga di bulan Januari dan Februari 2009.
2.1.3.3. Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar
Kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar pada triwulan laporan
mengalami penurunan harga yang dipengaruhi penurunan harga pada sub kelompok biaya
tempat tinggal dan perlengkapan rumah tangga dengan angka deflasi masing-masing 0,26%
(qtq) dan 0,11% (qtq). Sementara itu dua sub kelompok lain dalam kelompok ini mengalami
kenaikan harga yaitu sub kelompok penyelenggaraah rumah tangga dengan angka inflasi
sebesar 1,03% (qtq) dan sub kelompok bahan bakar, penerangan dan air dengan angka
inflasi sebesar 0,07% (qtq).
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
37
2.1.3.4. Kelompok Sandang
Pada triwulan I 2009 kelompok sandang mengalami inflasi tertinggi dibandingkan
dengan kelompok lain. Kenaikan harga yang dialami oleh kelompok sandang sangat
dipengaruhi oleh kenaikan harga yang dialami oleh sub kelompok barang pribadi dan
sandang lain dengan angka inflasi sebesar 15,37% (qtq). Kenaikan harga yang cukup tinggi
pada sub kelompok ini dipengaruhi oleh pergerakan harga komoditas emas. Harga emas
mengalami kenaikan sebagai akibat kenaikan harga emas internasional. Sub kelompok
sandang anak-anak pada triwulan ini mengalami kenaikan harga sebesar 0,20% (qtq).
Sementara itu sub kelompok sandang laki-laki dan sub kelompok sandang wanita pada
triwulan I 2009 tidak mengalami kenaikan harga.
2.1.3.5. Kelompok Kesehatan
Kelompok kesehatan pada triwulan laporan mengalami inflasi sebesar 0,80% (qtq)
yang berasal dari sub kelompok obat-obatan yang mengalami inflasi sebesar 0,29% (qtq) dan
sub kelompok perawatan jasmani dan kosmetika dengan angka inflasi sebesar 1,56% (qtq).
Sementara itu dua sub kelompok lain yaitu sub kelompok jasa kesehatan dan sub kelompok
jasa perawatan jasmani pada triwulan I 2009 tidak mengalami perubahan harga. Sub
kelompok jasa kesehatan di Kota Tanjung Pinang sejak bulan Juli 2008 sampai dengan Maret
2009 sama sekali tidak mengalami perubahan harga.
2.1.3.6. Kelompok Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga
Kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga pada triwulan I 2009 mengalami
penurunan harga dibandingkan triwulan sebelumnya dengan angka deflasi sebesar 0,17%
(qtq). Penurunan harga pada kelompok ini dipengaruhi oleh penurunan harga yang dialami
oleh sub kelompok rekreasi yang mengalami penurunan harga dengan angka deflasi sebesar
0,74% (qtq). Sementara itu sub kelompok olah raga mengalami kenaikan harga sebesar
0,30% (qtq). Sedangkan tiga sub kelompok tidak mengalami perubahan harga antara lain
sub kelompok kursus-kursus, sub kelompok perlengkapan/peralatan pendidikan dan sub
kelompok olahraga.
2.1.3.7. Kelompok Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan
Melanjutkan trend penurunan harga triwulan sebelumnya, pada triwulan I 2009
kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan di Kota Tanjung Pinang juga
mengalami penurunan harga. Kelompok ini mengalami deflasi sebesar 2,61% (qtq) yang
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
38
berasal dari penurunan harga yang dialami oleh sub kelompok transportasi dengan angka
deflasi sebesar 4,12% (qtq). Penurunan harga yang dialami oleh sub kelompok ini masih
dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang menurunkan harga BBM pada bulan Desember
2008.
Sementara itu sub kelompok komunikasi justru mengalami kenaikan harga dengan
angka inflasi sebesar 0,48% (qtq). Sementara itu sub kelompok sarana penunjang transportasi
dan sub kelompok jasa keuangan pada triwulan laporan tidak mengalami perubahan harga.
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
39
BAB 2 PERKEMBANGAN PERBANKAN REGIONAL
3.1. Kondisi Umum
Kondisi perbankan di Provinsi Kepulauan Riau pada triwulan I 2009 menunjukkan
pergerakan yang cukup stabil terhadap periode sebelumnya. Beberapa indikator-indikator
perbankan, seperti total aset, Dana Pihak Ketiga (DPK) dan terus mengalami pertumbuhan.
Sementara itu penyaluran kredit oleh perbankan mengalami sedikit penurunan dibandingkan
triwulan sebelumnya.
Total asset perbankan di Provinsi Kepulauan Riau pada triwulan I 2009 tercatat
sebesar Rp21,33 triliun atau mengalami peningkatan sebesar Rp511,55 miliar (2,46%)
dibandingkan triwulan IV 2008. Sedangkan secara tahunan total asset perbankan mengalami
peningkatan Rp4,62 triliun (27,65%) dibandingkan posisi yang sama tahun sebelumnya yang
tercatat sebesar Rp16,71 triliun.
Sementara itu, total DPK yang berhasil dihimpun oleh perbankan di Provinsi
Kepulauan Riau sampai dengan triwulan I 2009 tercatat sebesar Rp17,40 triliun atau
mengalami peningkatan sebesar Rp409,03 miliar (2,41%) dibandingkan posisi akhir tahun
2009. Sedangkan secara tahunan DPK perbankan mengalami peningkatan Rp3,46 triliun
(24,83%) dibandingkan posisi Maret 2008 yang tercatat sebesar Rp13,94 triliun.
Penyaluran kredit yang dilakukan oleh perbankan di Provinsi Kepulauan Riau
mengalami sedikit penurunan. Pada triwulan I 2009, penyaluran kredit di Provinsi Kepulauan
Grafik. 3.1. Perkembangan Indikator Perbankan
Sumber : Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
40
Riau oleh perbankan tercatat sebesar Rp11,12 triliun atau mengalami penurunan sebesar
Rp95,00 miliar (0,85%) dibandingkan triwulan IV 2008 yang tercatat sebesar Rp11,22 triliun.
Secara tahunan penyaluran kredit perbankan di Provinsi Kepulauan Riau mengalami
peningkatan sebesar Rp2,14 triliun (23,88%) dibandingkan posisi yang sama tahun
sebelumnya yang tercatat sebesar Rp8,97 triliun.
Sebagai dampak penurunan penyaluran kredit oleh perbankan yang diiringi kenaikan
DPK maka LDR perbankan Provinsi Kepulauan Riau pada triwulan akhir 2008 mengalami
penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya. Jika pada triwulan IV 2008 LDR perbankan
Provinsi Kepulauan Riau tercatat sebesar 66,01% maka pada triwulan I 2009 LDR perbankan
tercatat sebesar 63,91%.
Dampak krisis keuangan global sudah mulai terasa terhadap perekonomian Provinsi
Kepulauan Riau yang ditunjukkan dengan turunnya indikator penyaluran kredit oleh para
pelaku perbankan di Provinsi Kepulauan Riau sebagaimana tergambar dari data tersebut di
atas. Alih-alih menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit, kalangan perbankan di
Provinsi Kepulauan Riau lebih banyak menghimpun dana dalam rangka memperkuat kondisi
likuiditasnya.
3.2. Kondisi Bank Umum
Beberapa indikator industri bank umum menunjukkan pertumbuhan yang cukup stabil
meskipun indikator penyaluran kredit oleh perbankan menunjukkan penurunan dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Total asset bank umum yang berada di wilayah kerja Kantor
Bank Indonesia Batam mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan DPK yang
dihimpun oleh bank umum.
Grafik 3.2. Perkembangan Total Asset, Kredit, DPK dan LDR Bank Umum
Grafik 3.3. Perkembangan Kredit dan NPL’s Bank Umum
Sumber : Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
41
Jumlah jaringan kantor cabang bank umum di wilayah Provinsi Kepulauan Riau
tercatat sebanyak 46 kantor cabang pada triwulan I 2009 atau tidak mengalami pertambahan
dibandingkan triwulan sebelumnya.
Tabel 3.1 –Perkembangan Indikator Bank Umum (juta rupiah)
Indikator
Periode
2008 2009 Tw.1 Tw.2 Tw.3 Tw.4 Tw.1
1. Jaringan BU 45 45 45 46 46
a. Batam 29 29 29 29 29
b. Tj. Pinang 13 13 13 14 14
c. Karimun 2 2 2 2 2
d. Natuna 1 1 1 1 1
2. Total Asset 16.065.809 16.709.890 17.600.675 19.898.329 20.242.439
a. Batam 11.821.641 12.319.472 12.891.294 14.478.579 14.578.187
b. Tj. Pinang 3.586.531 3.619.643 3.830.760 4.392.858 4.621.290
c. Dati II lain 657.637 770.775 878.621 1.026.892 1.042.962
3. Total DPK 13.442.509 14.071.918 14.446.343 16.332.781 16.601.580
a. Batam 9.389.470 9.873.065 9.966.579 11.249.163 11.245.003
b. Tj. Pinang 3.421.781 3.442.043 3.609.408 4.067.217 4.328.898
c. Dati II lain 631.258 756.810 870.356 1.016.401 1.027.679
4. Total Kredit 8.583.889 9.291.399 9.944.195 10.653.877 10.529.216
a. Batam 7.100.350 7.623.089 8.139.988 8.729.088 8.512.180
b. Tj. Pinang 1.193.191 1.319.883 1.423.511 1.539.970 1.622.192
c. Dati II lain 290.348 348.427 380.696 384.819 394.844
5. LDR (%) 63,86 66,03 68,84 65,23 63.42
a. Batam 75,62 77,21 81,67 77,6 77.73
b. Tj. Pinang 34,87 38,35 39,44 37,86 37.47
c. Karimun 41,57 41,65 39,89 38,41 38.32
d. Natuna 62,4 59,59 54,34 36,83 38.63
6. NPLs (%) 1,57 2,33 2,94 2,60 2.96
a. Batam 1,4 2,14 2,96 2,76 3.15
b. Tj. Pinang 2,93 3,21 2,64 2,04 2.44
c. Karimun 0,57 4,84 5,29 1,72 1.47
d. Natuna 0 0 0 0 0.04
Sumber : Bank Indonesia
3.2.1. Total Asset Bank Umum
Sampai dengan triwulan I 2009, total asset bank umum mencapai Rp20,24 triliun atau
mengalami peningkatan sebesar Rp344,11 miliar (1,73%) dibanding triwulan IV 2008 yang
tercatat sebesar Rp19,89 triliun. Secara tahunan terjadi peningkatan sebesar Rp4,1 triliun
(26,00%) terhadap posisi yang sama tahun sebelumnya.
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
42
Berdasarkan Dati II, kegiatan bank umum masih terkonsentrasi di Kota Batam, dimana
jumlah total asset bank umum sebagian besar masih tetap terhimpun di Kota Batam. Total
asset bank umum yang ada di Kota Batam pada triwulan I 2009 sebesar Rp14,58 triliun atau
72,02% dari seluruh total asset bank umum di Kepulauan Riau. Sedangkan total asset yang
berhasil dihimpun oleh bank umum di Tanjung Pinang sebesar Rp4,62 triliun atau 22,83%
dari seluruh total asset perbankan di Kepulauan Riau. Sementara itu total asset perbankan di
wilayah Kepulauan Riau (Tanjung Uban, Tanjung Balai Karimun, dan Natuna) sebesar Rp1,04
triliun (5,15%).
Total asset perbankan di Kota Batam mengalami peningkatan sebesar Rp99,61 miliar
(0,69%) secara triwulanan (qtq) sedangkan secara tahunan mengalami peningkatan sebesar
Rp2,76 triliun (23,32%). Sedangkan untuk total asset perbankan di wilayah Kota Tanjung
Pinang mengalami peningkatan sebesar Rp228,43 miliar (5,20%) sedangkan secara tahunan
mengalami peningkatan sebesar Rp1,03 triliun (28,85%). Untuk perbankan di wilayah
Kepulauan Riau yang meliputi Tanjung Uban, Tanjung Balai Karimun dan Natuna, total asset
perbankan di wilayah tersebut mengalami peningkatan secara triwulanan sebesar Rp16,07
miliar (1,56%) sedangkan secara tahunan mengalami peningkatan sebesar Rp385,32 miliar
(58,59%).
3.2.2. Dana Pihak Ketiga Bank Umum
Pada triwulan I 2009, jumlah dana masyarakat yang dihimpun oleh bank umum
mengalami peningkatan sebesar Rp268,79 miliar (1,65%) menjadi sebesar Rp16,60 triliun.
Peningkatan DPK bank umum pada triwulan I 2009 sebagian besar disumbangkan oleh
peningkatan simpanan dalam bentuk deposito yang naik Rp598,64 miliar (18,22%)
dibandingkan triwulan sebelumnya sehingga tercatat sebesar Rp3,88 triliun. Secara tahunan
simpanan dalam bentuk deposito mengalami peningkatan sebesar Rp985,22 miliar atau
Diagram 3.1. Share Asset Bank Umum
Grafik 3.4. Perkembangan Asset Bank Umum
Sumber : Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
43
33,99%. Sedangkan simpanan dalam bentuk tabungan mengalami peningkatan sebesar
Rp17,27 miliar (0,30%). Secara tahunan, simpanan dalam bentuk tabungan juga mengalami
peningkatan sebesar Rp816,47 miliar (16,36%).
Sementara itu simpanan dalam bentuk giro secara triwulanan justru mengalami
penurunan sebesar Rp347,12 miliar (4,78%) terhadap triwulan sebelumnya. Secara tahunan
simpanan dalam bentuk deposito mengalami peningkatan sebesar Rp1,36 triliun (24,45%).
Meskipun mengalami penurunan, secara nominal porsi simpanan giro masih
merupakan jenis simpanan terbesar (41,62%) diantara dua jenis simpanan lain dengan nilai
nominal sebesar RpRp6,91 triliun. Porsi simpanan jenis tabungan tercatat sebesar Rp5,81
triliun (34,99%). Sedangkan simpanan dalam bentuk deposito tercatat sebesar Rp3,88 triliun
(23,39%). Dominasi sektor industri dan sektor perdagangan pada perekonomian Kota Batam
turut mempengaruhi jenis transaksi perbankan di Provinsi Kepulauan Riau. Kebutuhan
masyarakat akan dana likuid serta transaksi ekonomi yang membutuhkan waktu singkat
menyebabkan simpanan berbentuk giro memiliki porsi terbesar terhadap total simpanan
masyarakat di perbankan.
3.2.3. Kredit Bank Umum
Jumlah kredit yang disalurkan oleh bank umum di wilayah kerja Kantor Bank
Indonesia Batam pada triwulan I 2009 tercatat sebesar Rp10,52 triliun turun sebesar
Rp124,66 miliar (1,17%) dibandingkan triwulan sebelumnya. Penurunan jumlah kredit yang
disalukan oleh bank umum tersebut berakibat pada penurunan tingkat LDR (Loan to Deposit
Ratio) bank umum di Provinsi Kepulauan Riau menurun dari 65,23% pada triwulan IV 2008
menjadi 63,42%.
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.5. Perkembangan DPK Bank Umum Diagram 3.2. Share DPK Bank Umum
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
44
Berdasarkan jenis penggunaannya, kredit yang disalurkan di wilayah kerja KBI Batam
sebagian besar digunakan untuk kredit konsumsi sebesar Rp4,31 triliun atau 40,98% dari
total kredit yang diberikan. Sedangkan kredit untuk modal kerja dan investasi masing-masing
sebesar Rp3,75 triliun (35,59%) dan Rp2,46 triliun (23,43%).
Dari segi pertumbuhan, jenis kredit yang mengalami peningkatan pada triwulan I
2009 adalah kredit konsumsi yang mengalmai peningkatan sebesar Rp116,59 miliar (2,78%)
terhadap triwulan IV 2008. Secara tahunan kredit konsumsi mengalami peningkatan sebesar
Rp977,76 miliar (29,30%).
Kredit modal kerja dan kredit investasi secara triwulanan pada triwulan I 2009
mengalami penurunan masing-masing sebesar Rp227,59 miliar (5,73%) dan Rp13,65 miliar
(0,55%). Secara tahunan baik kredit modal kerja maupun kredit investasi mengalami
kenaikan. Pada triwulan I kredit modal kerja mengalami peningkatan sebesar Rp692,71 miliar
(22,67%). Sedangkan kredit investasi secara tahunan meningkat sebesar Rp274,87 miliar
(12,54%).
NPL bank umum di Provinsi Kepulauan Riau pada triwulan I 2009 menunjukkan
peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. NPL bank umum meningkat dari
2,60% pada triwulan IV 2008 menjadi 2,96% pada triwulan laporan. Krisis keuangan global
yang berdampak kepada kondisi perekonomian Singapura ikut berkontribusi pada kualitas
kredit di Provinsi Kepulauan Riau. Turunnya permintaan berakibat pada turunnya kapasitas
produksi beberapa perusahaan yang berdampak pada pengurangan tenaga kerja. Meski
demikian, angka NPL’s kantor cabang bank umum di Provinsi Kepulauan Riau masih berada di
bawah standar NPL’s yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yaitu 5%.
Grafik 3.6. Perkembangan Kredit Jenis Penggunaan Bank Umum
Diagram 3.3. Kredit Jenis Penggunaan Bank Umum
Sumber : Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
45
3.2.4. Kredit UMKM Bank Umum
Searah dengan yang terjadi pada total kredit bank umum, penyaluran kredit UMKM
pada triwulan I 2009 juga mengalami penurunan. Jika pada triwulan IV 2008 penyaluran
kredit UMKM tercatat sebesar Rp5,71 triliun pada triwulan I 2009 kredit UMKM bank umum
turun menjadi sebesar Rp5,64 triliun atau mengalami penurunan sebesar Rp62,25 miliar
(1,09%). Namun secara tahunan kredit UMKM bank umum pada triwulan I 2009 mengalami
peningkatan sebesar Rp821,81 miliar (17,04%).
Sementara itu jika dilihat dari share kredit UMKM, menunjukkan trend penurunan.
Namun pada triwulan I 2009 nampak telah menunjukkan kenaikan dibandingkan triwulan
sebelumnya. Jika pada triwulan IV 2008, share kredit UMKM tercatat sebesar 53,56% maka
pada triwulan I 2009 share kredit UMKM mengalami peningkatan menjadi 53,61%.
3.3. Bank Perkreditan Rakyat
Sebagai daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, Provinsi
Kepulauan Riau menarik minat investor untuk menanamkan modalnya untuk diinvestasikan
pada bisnis perbankan, khususnya BPR. Adapun alasan investor tersebut karena bisnis BPR
tidak terlalu membutuhkan modal besar dan proses pendiriannya tidak terlalu rumit.
Grafik 3.7 Perkembangan Kredit UMKM dan Share terhadap Total Kredit
Sumber : Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
46
TABEL 3.2 – PERKEMBANGAN INDIKATOR BPR (dalam jutaan rupiah)
KETERANGAN 2008 2009
Tw.1 Tw.2 Tw.3 Tw.4 Tw.1 TOTAL ASSET 642.366 680.641 776.379 918.784 1.086.223 TOTAL DANA 498.168 504.879 564.556 660.973 801.204 a. Tabungan 40.902 44.805 51.715 63.749 82.123 b. Deposito 457.266 460.073 512.841 597.224 719.079
TOTAL KREDIT 394.750 461.337 538.346 563.476 593.136 a. Investasi 30.844 40.208 50.540 52.551 54.784 b. Modal Kerja 90.339 108.041 128.903 128.638 134.479 c. Konsumsi 273.567 313.088 358.903 382.287 403.873
Sampai dengan triwulan I 2009 jumlah kantor Bank Perkreditan Rakyat (BPR) tercatat
ada 24 kantor BPR dan 3 (tiga) kantor cabang BPR atau terjadi penambahan 1 (satu) BPR.
Perkembangan BPR yang sudah beroperasi juga tergolong cukup baik yang ditunjukkan oleh
kenaikan share beberapa indikator kinerja BPR terhadap perbankan di Provinsi Kepulauan Riau
secara keseluruhan.
Dilihat dari total asset, share asset BPR terhadap total asset perbankan di Provinsi
Kepulauan Riau mengalami peningkatan secara gradual tiap triwulan. Pada triwulan I 2009
terjadi peningkatan yang cukup tinggi. Jika pada triwulan IV 2008 share asset BPR terhadap
total asset perbankan di Provinsi Kepulauan Riau tercatat 4,41% maka pada triwulan I 2009
share total asset BPR Provinsi Kepulauan Riau terhadap perbankan provinsi Kepulauan Riau
tercatat sebesar 5,09%. Peningkatan share ini terjadi karena tingkat pertumbuhan asset BPR
lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan asset kantor cabang bank umum
yang beroperasi di wilayah Provinsi Kepulauan Riau.
Grafik 3.8. Share Asset BPR terhadap Perbankan
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.9. Share Kredit BPR terhadap Perbankan
Sumber : Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
47
Selain itu peningkatan asset share asset BPR tersebut tidak lepas dari tingkat
pertambahan BPR baru yang cukup tinggi. Adanya peningkatan jumlah BPR tersebut
memberikan masyarakat lebih banyak pilihan dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan baik
konsumsi, investasi maupun modal kerja. Penambahan jumlah BPR tersebut juga dapat ikut
serta mendorong pertumbuhan sektor usaha domesitik khususnya koperasi dan UMKM.
Dari sisi pembiayaan, share kredit BPR terhadap total kredit perbankan di Provinsi
Kepulauan Riau juga mengalami peningkatan terhadap triwulan IV 2008. Pada triwulan I
2009 share kredit BPR terhadap total kredit perbankan tercatat sebesar 5,33% lebih tinggi
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 5,33%. Peningkatan share
kredit ini dipengaruhi oleh penurunan kredit yang disalurkan oleh bank umum. Sementara itu
kredit BPR terus melanjutkan trend peningkatan selama tiga tahun terakhir.
3.3.1. Total Asset Bank Perkreditan Rakyat
Total asset BPR yang berada di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia Batam sampai
dengan triwulan I 2009 terus melanjutkan trend peningkatan. Sampai dengan triwulan I
2009, total asset BPR mengalami peningkatan sebesar Rp167,44 miliar (18,22%) menjadi
sebesar Rp1,09 triliun dibanding triwulan IV 2008 yang tercatat sebesar Rp918,78 miliar.
Secara tahunan total asset BPR mengalami peningkatan sebesar Rp443,85 miliar (69,10%)
dibanding posisi yang sama pada tahun 2008.
3.3.2. DPK Bank Perkreditan Rakyat
Grafik 3.10. Perkembangan Asset BPR
Sumber : Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
48
Sebagaimana indikator BPR yang lain, total dana yang berhasil dihimpun oleh BPR
pada triwulan laporan meningkat dengan triwulan sebelumnya. Jika pada triwulan IV 2008
total dana yang dihimpun BPR tercatat sebesar Rp660,97 miliar, maka pada triwulan I 2009
DPK BPR meningkat menjadi Rp801,20 miliar atau naik sebesar Rp140,23 miliar (21,22%).
Secara tahunan dana yang berhasil dihimpun oleh BPR mengalami peningkatan sebesar
Rp303,03 miliar (60,83%). Sebagaimana karakteristik BPR, sebagian besar dana masyarakat
yang dihimpun oleh BPR disimpan dalam bentuk deposito. Sedangkan simpanan dalam
bentuk tabungan biasanya digunakan oleh nasabah untuk proses pencairan kredit. Dana
simpanan dalam bentuk deposito yang dihimpun oleh BPR di Provinsi Kepulauan Riau tercatat
sebesar Rp719,08 miliar atau 89,75% dari seluruh total DPK BPR. Sedangkan 10,25%
disimpan dalam bentuk tabungan sebesar Rp82,15 miliar.
Simpanan dalam bentuk deposito mengalami peningkatan sebesar Rp121,86 miliar
(20,40%) dibandingkan triwulan sebelumnya. Sedangkan secara tahunan simpanan dalam
bentuk deposito di BPR mengalami peningkatan sebesar Rp261,81 miliar (57,26%). Secara
triwulanan simpanan dalam bentuk tabungan mengalami peningkatan sebesar Rp18,37 miliar
(28,82%) dibandingkan triwulan IV 2008. Sedangkan secara tahunan mengalami
peningkatan sebesar Rp41,22 miliar (100,78%) dibandingkan posisi yang sama tahun 2008.
3.6. Kredit Bank Perkreditan Rakyat
Ketika penyaluran kredit bank umum mengalami peningkatan, penyaluran kredit yang
dilakukan oleh BPR kepada masyarakat pada triwulan I 2009 justru mengalami peningkatan
dibandingkan triwulan IV 2008. Jumlah kredit yang disalurkan oleh 24 BPR yang beroperasi di
wilayah Provinsi Kepulauan Riau pada triwulan I 2009 tercatat sebesar Rp593,14 miliar atau
meningkat Rp29,66 miliar (5,26%) dari triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp563,48
miliar. Sementara itu secara tahunan kredit BPR di Provinsi Kepulauan Riau mengalami
Grafik 3.11. Perkembangan DPK BPR Diagram 3.4. Share DPK BPR
Sumber : Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
49
peningkatan sebesar Rp198,39 miliar (50,26%) dibandingkan triwulan I 2008 yang tercatat
sebesar Rp394,75 miliar..
Penyaluran kredit yang dilakukan oleh BPR di wilayah kerja KBI Batam sebagian besar
digunakan untuk keperluan konsumsi. Kredit untuk konsumsi yang disalurkan BPR di wilayah
kerja KBI Batam pada triwulan I 2009 tercatat sebesar Rp403,87 miliar atau 68,09% dari
seluruh total kredit yang diberikan oleh BPR. Sementara kredit untuk modal kerja yang
diberikan BPR di Provinsi Kepulauan Riau sebesar Rp134,48 miliar atau 22,67% dari seluruh
total kredit yang diberikan oleh BPR. Sedangkan porsi kredit investasi adalah sebesar Rp54,79
miliar (9,24%).
Kredit konsumsi BPR di Provinsi Kepulauan Riau pada triwulan I 2009 mengalami
peningkatan sebesar Rp21,58 miliar (5,26%) dibandingkan triwulan IV 2008 yang tercatat
sebesar Rp382,29 miliar. Sementara itu secara tahunan kredit konsumsi BPR mengalami
peningkatan sebesar Rp130,30 miliar (47,63%) dibandingkan posisi yang sama tahun 2008.
Kredit modal kerja yang disalurkan BPR di Provinsi Kepulauan Riau pada triwulan I
2009 mengalami peningkatan sebesar Rp5,84 miliar (4,54%) dibandingkan triwulan
sebelumnya. Sedangkan secara tahunan kredit modal kerja BPR mengalami peningkatan
sebesar Rp44,14 miliar (48,86%) dibandingkan posisi triwulan I 2008. Kredit investasi yang
disalurkan oleh BPR kepada masyarakat Provinsi Kepulauan Riau sampai dengan triwulan I
2009 mengalami peningkatan sebesar Rp2,24 miliar (4,26%) dibandingkan triwulan IV 2008
yang tercatat sebesar Rp52,55 miliar. Secara tahunan kredit investasi BPR di Provinsi
Kepulauan Riau mengalami peningkatan sebesar Rp23,95 miliar (77,66%) terhadap posisi
yang sama tahun 2008 yang tercatat sebesar Rp30,84 miliar.
Besarnya kredit BPR untuk keperluan konsumsi mencerminkan intermediasi yang
dilakukan BPR terhadap dunia usaha masih belum optimal. Sebagian besar BPR di Provinsi
Grafik 3.12. Perkembangan DPK BPR Diagram 3.5. Share Kredit BPR
Sumber : Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
50
Kepulauan Riau menyalurkan kredit untuk keperluan pembelian mobil dan beberapa untuk
pembelian rumah atau ruko. Sedangkan porsi yang untuk kredit produktif terutama
pemberdayaan UMKM masih kurang optimal. Hal ini perlu digalakkan mengingat fitrah BPR
adalah sebagai lembaga pembiayaan UMKM dan Koperasi.
Sementara itu, NPLs kredit yang diberikan oleh BPR sampai dengan triwulan I 2009
mengalami kenaikan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. NPLs kredit BPR pada
triwulan laporan tercatat sebesar 2,10% lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan IV 2008
yang tercatat sebesar 1,59%. Meskipun mengalami kenaikan rasio kredit bermasalah NPLs
BPR yang beroperasi di wilayah Provinsi Kepulauan Riau secara trend data masih berada pada
kisaran 1% - 2%, jauh di bawah standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yaitu 5%.
Namun jika dibandingkan dengan posisi yang sama tahun sebelumnya NPLs BPR di Provinsi
Kepulauan Riau justru mengalami penurunan. NPLs BPR pada posisi Maret 2008 tercatat
sebesar 2,33%.
Grafik 3.13. Perkembangan Kredit dan NPLs BPR
Sumber : Bank Indonesia
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
51
BAB 4 PERKEMBANGAN KEUANGAN DAERAH
4.1. KONDISI UMUM
Beragam tantangan yang dihadapi pemerintah daerah dalam reformasi anggaran dan
keuangan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Selain berupa peraturan yang
saling bertentangan yang dikeluarkan oleh Departemen di tingkat nasional, kesulitan muncul
dalam keseluruhan siklus keuangan pemerintah daerah. Mulai dari pengesahan anggaran
sampai ke penyusunan laporan keuangan, yang disebabkan oleh kompleksitas peraturan,
kurangnya SDM, buruknya koordinasi dan tidak memadainya teknologi yang digunakan.
Beberapa contoh yang lebih spesifik antara lain: Keterpaduan Perencanaan dan
Penganggaran. Keterkaitan antara UU No 25/1999, UU No 17/2003 dan UU No 32/2004
dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Perencanaan Tahunan
Kebijakan Umum Anggaran (KUA/PPAS), dan anggaran tahunan tidak jelas. Sedang tujuan
dari PP No 58/2005 dan Permendagri No 13/2006 adalah untuk mengaitkan perencanan dan
penganggaran.
Dalam Permendagri No 13 Tahun 2006 dokumen perencanaan dan anggaran tertentu
disiapkan oleh Satuan Kerja Perangkan Daerah (SKPD). Dan ini menyulitkan pemerintah
daerah karena kurangnya kompetensi teknis pada tingkat tersebut. Tidak terdapat indikator
untuk mengukur pencapaian target penyediaan layanan yang digunakan dalam perencanaan,
serta tidak adanya kaitan dengan indikator target dalam anggaran tahunan yang berbasiskan
kinerja. Kemudian dalam Kep. Mendagri No 29 Tahun 2002, DPRD (pihak legislatif)
menetapkan Arah Kebijakan Umum (AKU), yang berfungsi sebagai panduan kebijakan umum
bagi eksekutif dalam menyusun rancangan anggaran (RAPBD). Sementara, dalam
Permendagri No 13 Tahun 2006, DPRD mengeluarkan KUA, yang mirip dengan AKU tapi
dengan program dan kagiatan yang jauh lebih rinci. AKU membatasi Eksekutif dalam
penyusunan rancangan anggaran sampai Batas rincian yang mungkin tidak realistis atau tidak
praktis. Hasilnya, rancangan anggaran yang dihasilkan akan terliha berbeda dengan KUA
sehingga menyebabkan konflik antara DPRD dan Eksekutif.
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
52
Hasilnya, rancangan anggaran yang dihasilkan akan terlihat berbeda dengan KUA
sehingga menyebabkan konflik antaran DPRD dan Eksekutif. Tertundanya pengesahan APBD
juga merupakan hal yang sangat lazim terjadi, akibat prosesnya sendiri yang seringkali
berjalan tidak sesuai dengan kalender anggaran yang telah ditetapkan. Beberapa tahap yang
seharusnya dilakukan secara beruntun, seperti misalnya penyusunan kebijakan umum
anggaran dan instruksi anggaran bagi dinas, pada kenyataannya dilakukan secara bersamaan.
Kadang rancangan anggaran sudah dalam tahap review sementara kebijakan umum
anggaran belum lagi disahkan. Meskipun menurut peraturan, anggaran harus sudah disahkan
pada akhir Desember untuk tahun anggaran yang dimulai bulan Januari, kadang eksekutif
baru mengajukan rancangan anggaran kepada DPRD pada bulan Pebruari. Sementara DPRD
membutuhkan paling tidak dua bulan untuk review rancangan anggaran tersebut untuk
memastikan anggaran telah mencerminkan kebutuhan dan prioritas masyarakat. Konsekuensi
tidak dapat disahkannya anggaran sesuai jadwal, berarti pemerintah daerah tidak dapat
mendanai proyek-proyek di luar belanja rutin, seperti gaji pegawai negeri.
Kualitas beberapa proyek menjadi jauh berkurang jika keterlambatan pengesahan
anggaran menyebabkan tidak tersedianya waktu yang memadai untuk merencanakan dan
melakukan proyek bersangkutan.Untuk mempercepat proses pengesahan anggaran, baik
pihak legislatif maupun eksekutif harus melakukan pendekatan yang tegas dalam
menerapkan langkah -langkah yang diperlukan bagi penyelesaian proses APBD secara efisien
dan tepat waktu.
4.2. PERKEMBANGAN PENERIMAAN PEMERINTAH
Anggaran Penerimaan seluruh pemerintah kabupaten dan kota pada tahun 2009
mengalami penurunan yang signifikan, sebesar 29,6% dibanding tahun 2008. Total
Penerimaan tahun 2009 dianggarkan sebesar Rp 5,07 triliun, sedangkan di tahun 2008
sebesar Rp7,2 triliun.
Menurunnya anggaran penerimaan tahun 2009 disebabkan adanya penyesuaian-
penyesuaian pos pendapatan yang berasal dari Dana Perimbangan. Setelah mencermati
perkembangan informasi tentang penetapan target DBH PPh, Pertambangan, DAU, DAK
bagian Provinsi Kepri Tahun 2009 melalui Surat Dirjen Perimbangan Keuangan Nomor : S-
539/PK/2008 tanggal 31 Oktober 2008, maka perlu untuk dilakukan penyesuaian terhadap
target penerimaan yang berasal dari DBH PPh, Pertambangan, Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Dana Alokasi Khusus (DAK). Selain itu, dengan adanya tren penurunan harga komoditas
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
53
primer di pasaran internasional, maka perlu dilakukan penyesuaian penurunan jumlah target
penerimaan yang bersumber dari DBH Migas, dan DBH PBB.
Tabel 4.1. Perkembangan APBD Kab/Kota di Provinsi Kepulauan Riau
Tahun Anggaran 2008 dan 2009
2008 2009 % ∆
TOTAL PENERIMAAN 7,199,276 5,066,700 -29.62%Pendapatan Asli Daerah (PAD) 13,732,036 1,050,395 -92.35%DANA PERIMBANGAN 3,020,707 3,836,335 27.00%TOTAL BELANJA 5,155,325 6,702,499 30.01%Belanja Tidak Langsung 1,959,360 2,463,137 25.71% - Belanja bantuan Sosial 194,997 222,388 14.05%Belanja Langsung 3,195,965 4,239,364 32.65% - Belanja Pegawai 400,679 590,169 47.29% - Belanja Barang dan Jasa 1,330,753 1,519,122 14.16% - Belanja Modal 1,464,533 2,130,074 45.44%
4.3. PERKEMBANGAN BELANJA PEMERINTAH
Dalam kurun waktu tahun 2002-2008, tingkat penyerapan anggaran belanja oleh
sebagian besar kabupaten dan kota di provinsi Kepulauan Riau tergolong belum optimal.
Tingkat penyerapan terendah terjadi pada kabupaten Natuna, dimana pada tahun 2008
diperkirakan hanya 75% dari APBD TA.2008 yang disetujui sebesar Rp1,04 triliun. Sedangkan
tahun 2007 hanya terealisasi sebesar 73,5% dari target APBD tahun berjalan.
Sumber : Direktorat Jenderal Keuangan Daerah (diolah) *) data tahun 2009 tidak termasuk Kabupaten Kepulauan Anambas
Sumber : Direktorat Jenderal Keuangan Daerah (diolah)
Grafik 4.1. Tingkat Penyerapan Anggaran APBD Kabupaten/Kota
di Provinsi Kepulauan Riau
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
54
Adapun daerah yang memiliki tingkat penyerapan anggaran belanja tertinggi adalah
kabupaten Bintan, dimana realisasi belanja pemerintah di tahun 2008 diperkirakan sekitar
Rp663 milyar, mencapai 127,9% dari target APBD TA. 2008 yang ditetapkan sebesar Rp518,3
milyar. Kinerja pemerintah kabupaten Bintan sangat baik selama 3 tahun terakhir, antara lain
terlihat dari optimalnya penyerapan anggaran belanja hingga melampaui target APBD yang
telah ditetapkan. Hal ini sekaligus memperlihatkan kesadaran seluruh perangkat daerah dalam
memberikan stimulus bagi perekonomian daerahnya.
Pengelolaan keuangan yang cukup baik juga dilakukan oleh pemerintahan kabupaten
Karimun, meski di tahun 2008 diperkirakan menurun. Total pengeluaran pemerintah selama
tahun 2005 s.d. 2007 terealisasi maksimal dengan tingkat pencapaian yang melampaui target
APBD yang ditetapkan. Bahkan pada tahun 2007, tingkat penyerapan anggaran mencapai
162,7%. Namun di tahun 2008, tingkat penyerapan anggaran diperkirakan menurun hingga
hanya terealisasi sekitar 80,2% dari target APBD TA. 2008 sebesar Rp 757 milyar.
Sementara itu kota Batam yang diharapkan menjadi lokomotif pertumbuhan provinsi
Kepulauan Riau tidak pernah mencapai tingkat realisasi yang optimal dalam 5 tahun terakhir.
Penyerapan anggaran belanja rata-rata hanya sebesar 85,2%. Di tahun 2008, dari target
APBD yang telah disahkan sebesar Rp 882 milyar diperkirakan hanya terserap sekitar 84,4%.
Meskipun kontribusinya terhadap pembentukan PDRB kota Batam terus meningkat dari tahun
2002 sebesar 0,93%, di tahun 2008 memberi kontribusi sebesar 2,27% terhadap
perekonomian kota.
Sumber : Direktorat Jenderal Keuangan Daerah; BPS Provinsi Kepulauan Riau; BPS Kota Batam (diolah)
Grafik 4.2. Tingkat Penyerapan Anggaran Belanja & Kontribusinya thp PDRB kota Batam
Grafik 4.3. Tingkat Penyerapan Anggaran Belanja
& Kontribusinya thp PDRB Kepulauan Riau
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
55
Secara keseluruhan, dalam 3 tahun terakhir diketahui bahwa penyerapan anggaran
dari seluruh kabupaten dan kota di Kepulauan Riau semakin menurun. Penyerapan anggaran
belanja di tahun 2006 sempat melampaui target pengeluaran dengan tingkat realisasi sekitar
102,7%, akibat tingginya penyerapan di kabupaten Bintan dan Karimun, serta kota
Tanjungpinang. Namun di tahun 2007 turun menjadi 87,8%, dan di tahun 2008 diperkirakan
hanya terserap sebesar 86,3%. Bersamaan dengan itu, kontribusi yang diberikan terhadap
perkembangan ekonomi Kepulauan Riau juga semakin menurun. Dimana pada tahun 2008
diperkirakan memberi kontribusi sebesar 8,28%, menurun dibandingkan tahun 2007 yang
berkontribusi mencapai 10,42%.
Jika melihat target APBD TA.2009 seluruh kabupaten dan kota di Kepulauan Riau
diketahui bahwa secara total terdapat kenaikan yang signifikan mencapai 30% dibanding
tahun 2008. Target anggaran belanja tahun 2009 sebesar Rp 6,7 triliun sedangkan tahun
sebelumnya tercatat sebesar Rp5,2 triliun. Kenaikan anggaran APBD tersebut diharapkan
dapat men-trigger pertumbuhan ekonomi provinsi Kepulauan Riau, karena kenaikan terbesar
terjadi pada pos anggaran Belanja Modal yang mengalami peningkatan 45,4% di tahun 2009
menjadi sebesar Rp2,13 triliun. Sementara anggaran belanja Barang dan Jasa juga mengalami
peningkatan yang cukup siginifikan dari Rp1,33 triliun menjadi Rp 1,52 triliun, atau naik
14,2%.
Peningkatan anggaran belanja Modal dan Barang/jasa akan memberi efek pengganda
(multiplier) bagi perkembangan ekonomi daerah di tengah situasi krisis keuangan global yang
mulai dirasakan dampaknya sejak pertengahan tahun 2008 lalu. Upaya pemerintah daerah
dalam meredam dampak krisis juga cukup terlihat dari meningkatnya anggaran belanja
Bantuan Sosial bagi masyarakat tidak mampu, dimana pada tahun 2009 dianggarkan sebesar
Rp222 milyar, atau meningkat 14,05% dibandingkan anggaran yang tersedia pada tahun
2008.
Dengan demikian, partisipasi aktif pemerintah daerah Kepulauan Riau menjadi
semakin penting dalam menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi wilayahnya sejalan dengan
target pertumbuhan Nasional tahun 2009. Percepatan realisasi belanja secara proporsional
diyakini mampu memberi stimulus positif bagi penciptaaan lapangan kerja di tengah langkah
rasionalisasi karyawan yang mulai dilakukan perusahaan-perusahaan untuk menjaga
kesinambungan bisnisnya. Lebih jauh, realisasi belanja secara optimal selama semester I-2009
sangat dibutuhkan guna mengantisipasi dampak krisis yang semakin intens dirasakan pada
triwulan I-2009 dan diperkirakan masih berlanjut di triwulan mendatang.
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
56
BAB 5 PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN
5.1. PENGEDARAN UANG KARTAL
Perkembangan aliran uang yang masuk (inflow) dan keluar (outflow) Kantor Bank
Indonesia Batam pada triwulan I 2009 ditandai dengan angka outflow yang mengalami
penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada triwulan I 2009 terjadi outflow
sebesar Rp582,64 miliar atau turun sebesar Rp913,83 miliar (61,07%) dibandingkan triwulan
IV 2008 yang tercatat sebesar Rp1,49 triliun.
Sementara itu inflow ke Kantor Bank Indonesia Batam tercatat sebesar Rp165 milyar.
Oleh karena itu secara keseluruhan terjadi net outflow Rp417,23 miliar. Turunnya penarikan
maupun setoran dari bank ke Bank Indonesia dibandingkan dengan triwulan sebelumnya
terkait dengan kebutuhan uang kartal di masyarakat yang mengalami penurunan. Pada dua
triwulan sebelumnya kebutuhan masyarakat Provinsi Kepulauan Riau akan uang kartal cukup
tinggi mengingat pada triwulan tersebut terdapat hari raya keagamaan baik Hari Raya Idul
Fitri yang jatuh pada bulan Oktober 2008 maupun Hari Raya Natal yang jatuh di akhir bulan
Desember. Kebutuhan masyarakat juga meningkat cukup tinggi di akhir tahun 2008 terkait
Grafik 5.1. Perkembangan Inflow Outflow
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
57
dengan Tahun Baru Masehi dan Tahun Baru Imlek yang dirayakan cukup meriah mengingat
banyak penduduk keturunan Tiong Hoa yang berada di Provinsi Kepulauan Riau.
Tabel 5.1 Perkembangan Uang Kartal (dalam milyar rupiah)
KETERANGAN 2007 2008 2009
Tw. II Tw. III Tw. IV Tw. I Tw. II Tw. III Tw. IV Tw. I
Inflow 60,55 47,68
214,06 59,97 60,95 64,57
278,55 165,41
Outflow 502,94
851,82
1.208,18 405,16 791,49
1.527,09
1.496,47 582,64
Net 442,39
804,14
994,12 345,19 730,54
1.462,53
1.217,92 417,23
Sumber: Bank Indonesia
5.1.1. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar
Peracikan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) merupakan salah satu upaya yang dilakukan
oleh Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan uang bersih (clean money policy) yaitu
Bank Indonesia senantiasa menyediakan uang rupiah dalam kondisi yang layak kepada
masyarakat. Di samping itu, Bank Indonesia juga memberikan pelayanan kepada perbankan
dan masyarakat untuk kegiatan setoran, penarikan dan penukaran untuk pecahan besar ke
pecahan kecil serta untuk uang rupiah lusuh. Selama triwulan I 2009, jumlah UTLE yang
diracik di KBI Batam Rp38,53 milyar atau mengalami penurunan dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp58,54 miliar. Penurunan jumlah UTLE yang
diracik oleh KBI Batam terkait dengan turunnya setoran bank yang terlihat dari indikator
inflow yang mengalami penurunan.
Grafik 5.2. Perkembangan UTLE
Kajian Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau
Triwulan I ‐ 2009
58
5.2. LALU LINTAS PEMBAYARAN GIRAL
5.2.1. Kliring Lokal
Untuk wilayah kerja Kantor Bank Indonesia Batam, terdapat 3 (tiga) wilayah kliring lokal,
yaitu: di Kantor Bank Indonesia Batam untuk wilayah Kota Batam, PT. Bank Mandiri untuk
wilayah Tanjung Pinang, dan PT. BNI untuk wilayah Tanjung Balai Karimun.
Nilai transaksi melalui sistem kliring lokal di wilayah Provinsi Kepulauan Riau pada
triwulan I 2009 mencapai Rp2,59 triliun dengan jumlah warkat sebanyak 101.670 lembar.
Nilai total kliring tersebut menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat
sebesar Rp2,74 triliun dengan jumlah warkat sebanyak 102.838 lembar.
Sementara itu, penolakan Cek/BG kosong di wilayah kerja KBI Batam pada triwulan I
2009 tercatat sebesar Rp56,98 milyar dengan jumlah warkat sebanyak 2.892 lembar. Jika
dilihat dari nominal dan jumlah warkatnya, jumlah Cek/BG kosong yang ditolak mengalami
peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada triwulan III 2008 jumlah
Cek/BG kosong yang ditolak tercatat sebesar Rp 56,80 milyar dengan jumlah warkat sebesar