-
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang wilayah perairannya berbatasan
langsung dengan
sepuluh negara yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura,
Vietnam, Filipina, Palau,
Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Sampai saat ini,
Indonesia memiliki garis
pangkal kepulauan sepanjang 6.808,43 nm (Nurbintoro, 2018)
setara dengan
10.957,10 km dengan total luas perairan sebesar 6,4 Juta km2
(Biro Perencanaan dan
Informasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan
Investasi, 2018).
Namun belum semua permasalahan perbatasannya telah diselesaikan
dengan sepuluh
negara tersebut, baik pada level Laut Teritorial, Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE), dan
Landas Kontinen. Sengketa perbatasan di wilayah laut terbagi
menjadi beberapa jenis
sengketa dengan kategorisasi wilayah laut yaitu Laut Teritorial
diukur dengan lebar
12 mil laut dari garis pantai, Zona Tambahan (Contiguous Zone)
selebar 24 mil dari
garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur, batas ZEE
sejauh 200 mil laut
dari garis pangkal, dan batas Landasan Kontinen sepanjang 200
mil laut hingga
maksimal 350 mil laut dari garis dasar pangkal (Djalal,
1996).
Wilayah ZEE Indonesia dan Filipina menjadi menarik untuk dibahas
karena
wilayah perairan keduanya berhadapan langsung di bagian utara
Laut Sulawesi dan
Samudera Pasifik yang mengakibatkan penarikan garis batas ZEE
tidak dapat
mencapai 200 mil (Yanti, 2015). Maka dari itu, Pemerintah
Indonesia dan Filipina
melakukan perundingan untuk menetapkan batas ZEE kedua negara
yang saling
tumpang tindih dari tahun 1994 sampai 2014. Kedua negara
berhasil menyepakati
perjanjian batas ZEE berdasarkan prinsip-prinsip Konvensi Hukum
Laut Perserikatan
Bangsa-Bangsa (United Nations Convention on the Law of the Sea,
UNCLOS) tahun
1982, Pasal 57 yaitu pada saat menarik garis batas ZEE tidak
dapat melebihi dari 200
mil laut dan diukur dari garis pangkal (United Nations,
1982).
Konsep ZEE dijelaskan pada Pasal 74 (1) dalam UNCLOS 1982. Pasal
tersebut
menyatakan bahwa untuk menetapkan batas ZEE antara negara yang
saling
berhadapan atau berdampingan harus dilakukan melalui perjanjian
atas dasar hukum
internasional untuk mencapai equitable solution. Kebijakan ini
didukung pada Pasal
3 (1) dalam Undang–Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona
Ekonomi
-
2
Eksklusif Indonesia, apabila ZEE Indonesia tumpang tindih dengan
ZEE negara
pantai yang saling berhadapan atau berdampingan dengan
Indonesia, maka batas
ZEE dapat ditetapkan dengan persetujuan dengan negara
bersangkutan (Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia, 1983).
Maka dari itu untuk melindungi hak berdaulat dalam mengelola
wilayah ZEE
pada kedua negara, Indonesia dan Filipina pun melangsungkan
perundingan
penetapan batas ZEE. Perundingan telah berlangsung sejak ‘The
First Senior Official
Meeting on The Limitation Maritime Boundary’ di Manado tanggal
23–25 Juni 1994.
Perundingan mengenai batas ZEE Indonesia dan Filipina
dilaksanakan melalui forum
pertemuan ‘Joint Permanent Working Group on Maritime and Ocean
Concerns’
(JPWG–MOC) sebanyak sepuluh kali pertemuan. Pemerintah kedua
negara telah
berhasil menyelesaikan negosiasi untuk delimitasi pada wilayah
ZEE yang tumpang
tindih pada pertemuan JPWG–MOC ke–8 yang diadakan tanggal 18 Mei
2014
(Department of Foreign Affairs Republic of the Philippines,
2014).
Perjanjian ditandatangani pihak dari kedua negara tanggal 23 Mei
2014 di Manila
melalui Agreement between The Government of The Republic of
Indonesia and The
Government of the Republic of The Philippines Concerning The
Delimitation of The
Exclusive Economic Zone Boundary (Department of Foreign Affairs,
2014).
Kesepakatan batas ZEE antar kedua negara ditetapkan dalam
Persetujuan Senat
Filipina, Resolution No. 1048, dan baru diratifikasi pada
tanggal 3 Juni 2019
(Parameswaran, 2019). Indonesia menetapkannya melalui UU Nomor 4
Tahun 2017
tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik
Indonesia Dan
Pemerintah Republik Filipina Mengenai Penetapan Batas Zona
Ekonomi Eksklusif,
2014 sejak tanggal 29 Mei 2017. Pertukaran instrumen ratifikasi
dilakukan di
Bangkok tanggal 1 Agustus 2019 (Agusman D. D. & Gulardi,
2019). Perjanjian batas
ZEE juga telah didepositkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
pada 27
September 2019 (Department of Foreign Affairs Republic of the
Philippines, 2019).
Indonesia dan Filipina telah melakukan proses diplomasi dan
negosiasi dengan
tahapan yang cukup panjang hingga pada akhirnya disepakati bahwa
Indonesia
mendapatkan luas perairan ZEE sebesar 218.950 km2 (Dewan
Perwakilan Rakyat,
2017). Sementara Filipina mendapatkan total perairan ZEE sebesar
170.150 km2
(Dewan Perwakilan Rakyat, 2017). Garis batas ZEE Indonesia dan
Filipina
membentang dari segmen Laut Sulawesi sepanjang 356,5 nm, Laut
Mindanao
sepanjang 131,8 nm dan Samudra Pasifik sepanjang 139,2 nm
(Agusman D. D. &
-
3
Gulardi, 2019). Garis batas ini memiliki 8 titik kelok atau
turning points –
Menghubungkan dua titik batas yang menjadi garis lurus dengan
kombinasi arah dan
jarak (Fauzi, 2018)– sepanjang 627,5 mil laut atau setara dengan
1.161,13 km
(Dewan Perwakilan Rakyat, 2017). Berikut gambar peta wilayah
perbatasan ZEE
Indonesia–Filipina yang telah disepakati pada tahun 2014:
Gambar 1.1. Peta Wilayah Batas ZEE Indonesia dan Filipina
Sumber: (Dokumen Dewan Perwakilan Rakyat, 2017)
Keberhasilan Indonesia dan Filipina dalam delimitasi batas ZEE
secara damai
menjadi kasus yang menarik untuk dikaji dikarenakan selama ini
sengketa wilayah
dilihat sebagai masalah kedaulatan dan nasionalisme negara.
Menurut John Vasquez
dan Marie T. Henehan menyatakan bahwa jika terdapat sengketa
pada suatu wilayah,
maka cenderung meningkatkan kesempatan terjadinya perperangan
antara negara
yang terlibat (Vasquez & Marie T., 2001). Hal ini
dikarenakan perjanjian penetapan
batas maritim tersebut, tidak dapat diubah kembali karena sifat
perjanjian delimitasi
hanya dilakukan sekali untuk diberlakukan selamanya.
Bahkan dengan hasil kesepakatan tersebut, kedua negara
mendapatkan solusi dari
wilayah tumpang tindih. Indonesia akan dapat memaksimalkan
kekayaan sumber
daya laut seperti keanekaragaman biota laut. Salah satunya
potensi Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) ke–716
di wilayah
perairan Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara yang memiliki
perikanan tangkapan ZEE
yang belum dimanfaatkan secara optimal sebesar 135.955 ton
(Kementerian
Kelautan dan Perikanan, 2017). Potensi-potensi lainnya sebagai
wilayah untuk riset
yang dapat dimanfaatkan menjadi potensi pariwisata dan ekonomi
pada suatu negara.
-
4
Berlakunya batas ZEE juga membantu Indonesia menjaga keamanan
dalam
memberantas kejahatan lintas batas yang terjadi di wilayah ZEE.
Kejahatan lintas
batas seperti illegal logging, human trafficking, people
smuggling, pelanggaran hak
asasi manusia, penyelundupan barang, perlombaan senjata (arms
race), perompakan
(sea piracy), pencurian ikan (illegal fishing), perusakan
lingkungan laut dan lain
sebagainya (Decentralization Support Facility, 2011).
Sehubungan hal tersebut, Penulis bermaksud untuk menganalisa
faktor
keberhasilan yang membuat perjanjian penetapan batas ZEE
Indonesia dan Filipina
akhirnya terselesaikan secara damai.
1.2 Rumusan Masalah
Setelah mengetahui gambaran permasalahan yang terjadi melalui
latar belakang
dari tulisan ini, maka penulis mempunyai sebuah pertanyaan
penelitian yaitu “Apa
yang menyebabkan penetapan garis batas ZEE Indonesia dan
Filipina dapat
terselesaikan secara damai?”
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yang ingin disampaikan dalam
tulisan, antara
lain:
1.3.1 Menganalisis dan menjelaskan faktor yang akhirnya membuat
Indonesia
dan Filipina dapat menyelesaikan perjanjian penetapan
perbatasannya
secara damai.
1.4 Signifikasi dan Kontribusi
Terdapat 2 Signifikasi beserta kontribusi dalam tulisan ini,
antara lain:
1.4.1 Signifikansi teoritis
Penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi ilmu
Hubungan
Internasional khususnya mengenai studi kawasan perbatasan
maritim:
a. Delimitasi ZEE terutama terkait isu antara Indonesia dan
Filipina;
1.4.2 Signifikasi praktis
Penelitian ini dapat menjadi bahan referensi Pemerintah
Indonesia dalam
pengambilan langkah pembuatan perjanjian batas maritim dengan
negara
lain. Sekaligus bermanfaat untuk peneliti atau mahasiswa/i
yang
mendalami studi dengan topik terkait.
-
5
1.5 Tinjauan Pustaka
Penulis telah melakukan kajian terhadap literatur yang membahas
tentang upaya
Indonesia dan Filipina dalam menyelesaikan perjanjian batas ZEE.
Namun masih
sedikit literatur yang membahas hal tersebut. Melalui beberapa
literatur, terlihat tiga
faktor yang memengaruhi keberhasilan upaya penetapan batas ZEE.
Faktor pertama
menggambarkan faktor keberhasilan perjanjian penetapan batas
yang telah
diselesaikan secara damai antara Indonesia dengan negara lain.
Faktor kedua
menjelaskan faktor keberhasilan dalam penetapan batas melalui
pengimplementasian
hukum internasional, UNCLOS 1982 sebagai referensi dan faktor
ketiga membahas
faktor keamanan dan dinamika sengketa di wilayah garis batas ZEE
Indonesia dan
Filipina sebagai pemicu negara untuk lebih memperhatikan wilayah
sengketa.
Pertama, dari perjanjian penetapan batas yang telah diselesaikan
secara damai
antara Indonesia dengan negara lain, terlihat pula pentingnya
faktor UNCLOS 1982
dalam menyelesaikan sengketa. Artikel yang ditulis oleh Dr. iur.
Damos Dumoli
Agusman berjudul Indonesia–Singapore Successfully Completed
Their Maritime
Boundaries, misalnya, menjelaskan bahwa antara Indonesia dan
Singapura telah
menyelesaikan perjanjian yang melengkapi dua perjanjian
terdahulunya di garis batas
timur perbatasan laut wilayah Indonesia dan Singapura pada tahun
2014 lalu.
Kesuksesan perjanjian tersebut dikarenakan konsistensi Indonesia
dan Singapura
memakai prinsip UNCLOS 1982 serta adanya political will diantara
kedua negara
(Agusman D. i., 2017). Perjanjian tersebut juga berhasil karena
negosiasi yang
dilakukan, malah menjadikan forum sebagai tempat bargaining dan
quid pro quo
atau take and give antar kedua negara (Agusman D. i., 2017).
Namun di dalam
tulisan ini tidak memaparkan referensi kebijakan apa yang harus
dilakukan jika salah
satu negara melakukan kejahatan lintas batas.
Faktor kedua, menjelaskan keberhasilan penetapan batas
berdasarkan hukum
internasional, melalui tulisan Cindejayanimitta Dwi Anggaramurti
melalui berjudul
Dinamika Hubungan Politik Indonesia–Filipina Dalam Penetapan
Batas Zona
Ekonomi Eksklusif Perspektif Ketahanan Nasional. Anggaramurti
menjelaskan
ketika penetapan batas berlangsung, kedua negara juga
memperhatikan hukum
internasional, UNCLOS 1982 dan tertuang dalam isi perjanjian
penetapan batas
antara kedua negara (Anggaramurti, 2015). Dengan begitu
Indonesia akan dapat
memperkuat ketahanan nasional karena dapat mempererat hubungan
baik antara
-
6
Indonesia dan Filipina (Anggaramurti, 2015). Namun tulisan ini
kurang
mengakomodir langkah apa saja yang dapat dilakukan kedua negara
dalam
melakukan penegakan keamanan di wilayah batas ZEE tersebut.
Masih pada pembahasan faktor kedua yang ditulis oleh Aditya
Taufan Nugraha
dan Irman dalam judul Perlindungan Hukum Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE)
Terhadap Eksistensi Indonesia Sebagai Negara Maritim, dijelaskan
bahwa Indonesia
berhasil membawa prinsip negara kepulauan agar dapat diatur
dalam perjanjian
internasional, UNCLOS 1982 melalui Deklarasi Djuanda dan wawasan
nusantara.
Konsep wilayah ZEE juga telah dituangkan pada Bab V Pasal 55
sampai 75 dalam
UNCLOS 1982. Sementara di Indonesia diatur dalam UU No. 5 Tahun
1983 tentang
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) (Nugraha & Irman,
2014).
Adanya penegakan hukum mengenai ZEE, dapat mencegah pencurian
ikan dan
dapat menyimpan sumber daya ikan sampai 6,4 juta ton per tahun,
mengembangkan
penelitian, sampai sebagai bentuk pertahanan Indonesia agar
dapat melakukan
tindakan hukum kepada pelaku pelanggaran di wilayah ZEE
Indonesia (Nugraha &
Irman, 2014). Namun tulisan ini tidak mencantumkan cara
melindungi wilayah
Indonesia agar terhindar dari kejahatan lintas batas seperti
cara memonitor wilayah,
dan apa titik lemah dari regulasi yang telah ada di Indonesia
agar dapat diperbaiki.
Faktor ketiga, membahas faktor keamanan dan dinamika sengketa di
wilayah
garis batas ZEE Indonesia dan Filipina sebagai faktor yang dapat
menjadi pemicu
negara untuk lebih memperhatikan wilayah sengketa yang terjadi
di perbatasan yang
sangat berpengaruh pada dinamika sengketa. Mimi Isnani Febriana
dalam tulisannya
yang berjudul Upaya Indonesia Dalam Mengamankan Wilayah Perairan
Sulawesi–
Sulu Tahun 2016–2018 bercerita mengenai ancaman keamanan yang
dihadapi di
sekitar perairan Sulawesi–Sulu yang menyebabkan terganggunya
arus perdagangan
di jalur perairan tersebut. Tulisan Febriana menjelaskan bahwa
kasus sekuritisasi
yang terjadi di wilayah perairan Sulawesi–Sulu, yaitu kasus
perompakan kapal yang
dilakukan oleh kelompok radikal Islam Filipina, Kelompok Abu
Sayyaf mulai tahun
2012–2015, yang telah terjadi sebanyak 38 kasus (Febriana,
2019). Hal ini membuat
Indonesia akhirnya melakukan berbagai upaya salah satunya
patroli laut oleh Tentara
Nasional Indonesia Angakatan Laut (TNI AL) (Febriana, 2019).
Dalam hal ini,
terlihat bahwa artikel tidak menuliskan cara masyarakat untuk
mencegah dan
menghindari perompak kapal. Tidak hanya di wilayah perairan
tersebut, namun di
seluruh perairan yang rawan terjadi kasus perompakan kapal.
-
7
Artikel selanjutnya pada faktor ketiga ditulis oleh Exellano
Ramadhan Uno
berjudul Upaya Kerjasama Pemerintah Indonesia–Filipina dalam
Memberantas
Kegiatan IUU–Fishing di Perbatasan Kedua Negara Khususnya Laut
Sulawesi
2014–2016. Artikel ini membahas bahwa upaya yang dilakukan
pemerintah
Indonesia–Filipina dalam memberantas tindak kriminal praktek
Illegal Unreported
and Unregulated Fishing (IUU Fishing) telah membuahkan hasil
yaitu dengan
adanya kerja sama ‘Indonesia–Philippines Plan of Action’. Kerja
sama ini mengatur
beberapa poin, salah satunya adalah bahwa kedua negara sepakat
untuk
menandatangani Joint Declaration mengenai Maritime Boundary
(Uno, 2017).
Namun dalam artikel ini kurang menjelaskan apa saja
strategi-strategi yang
digunakan dalam bernegosiasi pada saat pembuatan kesepakatan
antara kedua belah
pihak.
Melalui ketiga faktor diatas, penulis mendapati bahwa
perundingan yang terjadi
antara Indonesia dan Singapura, dapat membuat Indonesia
mengambil beberapa
faktor pendukung untuk keberhasilan negosiasi dengan Filipina.
Demi tercapainya
kesepakatan yang memiliki sifat equal rights untuk masing-masing
pihak yang telah
terlibat. Dinamika hubungan politik bilateral kedua negara dalam
diplomasi batas
ZEE juga sangat penting untuk mempererat hubungan dan
melancarkan political will
untuk mempercepat penyelesaian perundingan. Tinjauan pustaka di
atas, telah
memberikan penjelasan mengenai bagaimana dinamika proses yang
terjadi secara
umum, selama berlangsungnya perundingan perjanjian penetapan
batas ZEE
Indonesia dan Filipina. Namun tinjauan pustaka kurang
menjelaskan referensi
kebijakan dan tindakan preventif yang dapat dilakukan pemerintah
untuk mencegah
terjadinya pelanggaran di wilayah lintas batas antar kedua
negara.
1.6 Kerangka Pemikiran/ Teori
Dalam menganalisa kasus pembagian wilayah terdapat tiga
pendekatan.
Pendekatan pertama yaitu International level approach mengenai
dinamika
hubungan pada sengketa teritorial dan politik internasional
(Pertiwi, 2014).
Pendekatan ini dapat dilihat dari tiga perspektif yaitu pertama,
realisme yang
berargumen tentang pentingnya sengketa wilayah dan teritorial
dalam politik
internasional (Pertiwi, 2014). Kedua, konstruktivisme yang
menekankan peran
norma-norma internasional dalam mengurangi jumlah sengketa
teritorial (Pertiwi,
2014). Ketiga, liberalisme membahas bahwa negara yang memiliki
sengketa teritorial,
-
8
klaim tumpang tindih, atau perbatasan yang belum di delimitasi,
pembangunan
ekonomi dapat menjadi kesempatan bagi negara untuk mengklaim
kembali apa yang
telah hilang dari negara atau untuk menegaskan kedaulatan negara
(Pertiwi, 2014).
Namun pendekatan ini dirasa tidak cocok karena wilayah
persengketaan yang
dibahas tidak sampai memengaruhi karakter politik
internasional.
Pendekatan kedua, yaitu regional level approach yang
menitikberatkan pada
peran institusi regional dalam menciptakan dan mengelola
sengketa wilayah
Kawasan regional seperti di Kawasan Asia Tenggara yang mempunyai
Association
of Southeast Asian Nation (ASEAN) sebagai perwujudan manajemen
konflik untuk
negara-negara anggota ASEAN (Pertiwi, 2014). Pada masalah yang
dibahas,
Indonesia dan Filipina tidak membawa masalah yang dihadapi ke
salah satu forum
ASEAN. Jadi, pendekatan regional kurang cocok untuk membahas
permasalahan
yang terjadi.
Pendekatan ketiga, issue level approach yang melihat dinamika
sengketa wilayah
secara langsung, yang terjadi di wilayah konflik itu. Hensel dan
Mitchell menyatakan
bahwa terdapat tingkatan unsur atau nilai penting (salient) yang
dapat memengaruhi
dinamika sengketa wilayah pada wilayah yang disengketakan,
disebut salient jika
memiliki nilai baik tampak (tangible) maupun tidak tampak
(intangible) dan tidak
salient jika tidak memiliki nilai. Nilai yang tampak (tangible)
seperti terdapatnya
populasi penduduk lokal pada wilayah konflik, memiliki potensi
sumber daya alam
yang terdapat pada wilayah konflik yang dapat dijadikan sebagai
sumber pendapatan
bagi sebuah negara, potensi alamnya juga dapat menjadi lokasi
strategis untuk
mendukung negara di bidang militer yang dapat meningkatkan
power, pertahanan
dan keamanan (Hensel & Mitchell, 2005). Sementara itu, nilai
tidak tampak
(intangible) yaitu wilayah tersebut diwariskan dan memiliki
keterkaitan emosional di
masyarakat karena mempunyai nilai simbolis mulai dari etnik,
bahasa, agama sampai
identitas simbolis lainnya yang terdapat di wilayah tersebut
(Hensel & Mitchell,
2005). Kondisi di wilayah konflik yang mengaitkan dengan nilai
tidak tampak
(intangible) akan meningkatkan tensi negara yang terlibat karena
nilai yang berada di
wilayah tersebut tidak dapat terpisahkan atau dibagi
(indivisible) serta pengaruh
negara yang lebih dominan dalam mengatur wilayah tersebut juga
menentukan
wilayah konflik akan jatuh ke pihak mana (Dzurek, 2005).
Pada tulisan Sukmawani Bela Pertiwi yang berjudul The Rise of
Territorial
Disputes and the Stability of Southeast Asia, terdapat indikator
lain yang dapat
-
9
memengaruhi dinamika di wilayah persengketaan, yaitu visibilitas
isu pada
masyarakat domestik (domestic visibility) yang akan membuat
tekanan pada
pemerintah lebih kuat untuk mempertahankan wilayah yang
disengketakan (Pertiwi,
2014). Indikator visibilitas isu terbagi menjadi dua. Pertama,
jika permasalahan
terlihat oleh masyarakat domestik (visible) maka akan masuk
dalam pemberitaan
media nasional pada negara yang terlibat dan setidaknya terdapat
dua media nasional
yang memberitakan wilayah konflik pada masing-masing negara yang
terlibat
persengketaan. Kedua, jika permasalahan tidak terlihat oleh
masyarakat domestik
(not visible) adalah ketika terdapat peralihan isu yang lebih
penting daripada konflik
yang sedang berlangsung dan wilayah konflik mempunyai posisi
yang cukup jauh
dari pusat pemerintahan (Pertiwi, 2014). Berikut adalah tabel
indikator untuk melihat
nilai penting (salient) secara kewilayahan (territoriality )
serta tingkat visibilitas isu
pada masyarakat domestik (domestic visibility) wilayah yang
disengketakan:
Tabel 1.1 Tabel Indikator Secara Kewilayahan (Territoriality)
dan
Visibilitas Isu pada Masyarakat Domestik (Domestic
Visibility)
Variabel Territoriality Domestic visibility
Bagian Nilai penting (Salient) dan tidak terdapat
nilai penting (Not Salient)
Kondisi di
wilayah terlihat
masyarakat
domestik
(Visible)
Kondisi di wilayah
tidak terlihat
masyarakat
domestik (Not
Visible)
Indikator
Nilai tampak
(Tangible):
1. Terdapatnya
populasi penduduk
lokal
2. Memiliki potensi
sumber daya alam
yang terdapat pada
wilayah konflik
3. Potensi alamnya
juga dapat menjadi
lokasi strategis
Nilai tidak tampak
(Intangible):
1. Memiliki
keterkaitan
emosional di
masyarakat
(Hensel &
Mitchell,
2005)
2. Kondisi di
wilayah
konflik tidak
1. Masuk ke
dalam
pemberitaan
media
nasional
2. Terdapat
dua media
nasional
pada
masing-
masing
negara
1. Terdapat
peralihan isu
yang lebih
penting daripada
konflik yang
sedang
berlangsung
2. Wilayah konflik
mempunyai
posisi yang
cukup jauh dari
pusat
-
10
untuk meningkatkan
power, pertahanan
dan keamanan
(Hensel & Mitchell,
2005).
dapat
terpisahkan
atau dibagi
(indivisible)
3. Adanya
pengaruh
negara yang
lebih dominan
(Dzurek,
2005).
(Pertiwi,
2014).
pemerintahan
(Pertiwi, 2014).
Sumber: Diolah dari The Rise of Territorial Disputes and The
Stability of Southeast
Asia (Pertiwi, 2014)
Jika digabungkan, kombinasi nilai secara kewilayahan
(territoriality ) dan
visibilitas isu pada masyarakat domestik (domestic visibility)
maka akan terlihat
dinamika sengketa wilayah (the dynamics of territorial disputes)
yang berbeda pada
wilayah yang dipermasalahkan, sebagai berikut:
Tabel 1.2 The Model Linking Territoriality, Domestic Visibility,
and the
Dynamics of Territorial Disputes
Sumber: Diolah dari The Rise of Territorial Disputes and The
Stability of Southeast
Asia (Pertiwi, 2014)
Dari tabel diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.6.1 Kondisi Pertama
Jika kondisi wilayah memiliki nilai penting (salient) dan kasus
di
wilayah tersebut terlihat (visible) oleh masyarakat domestik,
maka
dinamika sengketa wilayah di wilayah konflik menjadi tidak
stabil
(unstable). Karena adanya nilai penting yang dipertahankan
dan
Territoriality Domestic visibility The Dynamics of
Territorial Disputes
Salient Visible Unstable
Salient Not Visible Relatively Stable
Not Salient Visible Peacefully Resolved
Not Salient Not Visible Dormant
-
11
diinginkan masing-masing negara, masyarakat domestik
mendorong
pemerintah untuk segera menyelesaikan permasalahan di
wilayah
konflik persengketaan. Namun karena faktor wilayah yang
memiliki
nilai tertentu menjadi sulit untuk diselesaikan, sehingga yang
terjadi
justru unstable. Kondisi unstable adalah ketika adanya
tekanan
masyarakat domestik terhadap pemerintah dan pemerintah membuat
isu
menjadi terlihat oleh publik, yang membuat posisi negara
menjadi
semakin sulit dan adanya kemungkinan untuk terjadi open
military
conflict.
1.6.2 Kondisi Kedua
Jika kondisi wilayah memiliki nilai penting (salient) namun
kasus di
wilayah tersebut tidak terlihat (not visible) oleh masyarakat,
maka
dinamika sengketa di wilayah tersebut menjadi relatif stabil
(relative
stable). Karena walaupun nilai penting yang terdapat di
wilayah
tersebut sedang dipertahankan oleh pemerintah, namun isu yang
terjadi
tidak terlihat oleh masyarakat domestik, karena adanya isu
peralihan
dan jangkauan lokasi yang cukup jauh dari pusat
pemerintahan.
Keadaan di wilayah konflik persengketaan pun dapat
terkendalikan.
Kondisi relatif stabil yaitu ketika pemerintah yang rasional
akan
mengesampingkan perselisihan dengan negara lain sampai
politik
dalam negeri mendukung. Pemerintah juga tidak akan mengambil
tindakan jika tidak ada konflik dengan negara yang juga terlibat
konflik,
atau mungkin akan menyepakati gencatan senjata atau akan
bekerja
sama jika negosiasi sedang berlangsung.
1.6.3 Kondisi Ketiga
Jika kondisi wilayah tidak memiliki nilai penting (not salient)
dan kasus
di wilayah tersebut terlihat (visible) oleh masyarakat, maka
dinamika
sengketa di wilayah tersebut akan menyelesaikan konflik di
wilayahnya
dengan damai (peacefully resolved). Karena nilai di suatu
wilayah
konflik tersebut tidak terlalu penting, namun isu di wilayah
konflik
tersebut diketahui oleh masyarakat domestik maka pemerintah
akan
segera menyelesaikannya secara damai karena dorongan yang ada
dari
masyarakat.
1.6.4 Kondisi Keempat
-
12
Jika kondisi wilayah tidak memiliki nilai penting (not salient)
dan kasus
di wilayah tersebut tidak terlihat (not visible) oleh
masyarakat, maka
pemerintah akan mementingkan permasalahan yang lain terlebih
dahulu
dibandingkan dengan masalah yang sedang dirundingkan, dan tidak
ada
aktivitas perundingan untuk menyelesaikan masalah sengketa
selama
lebih dari lima tahun (dormant).
1.7 Hipotesis
Berasarkan teori, penetapan batas ZEE Indonesia dan Filipina
termasuk dalam
kondisi ketiga yaitu batas ZEE antara Indonesia dan Filipina
secara kewilayahan
(territoriality ) tidak memiliki nilai penting (not salient) dan
mempunyai
kecenderungan untuk lebih mudah diselesaikan dibandingkan dengan
wilayah yang
memiliki nilai penting (salient). Permasalahan ini juga mulai
terlihat (visible) di level
masyarakat domestik kedua negara dan membuat pemerintah semakin
terdorong
untuk menyelesaikan sengketa tersebut, yang pada akhirnya
membuat penyelesaian
penetapan batas ZEE dapat diselesaikan secara damai (peacefully
resolved).
1.8 Metode Penelitian: Kualitatif
1.8.1 Jenis Penelitian
Penulisan ini dilakukan untuk mengetahui dan menetapkan apa
sesungguhnya
yang menjadi obyek penelitian untuk menguji hipotesis dalam
tulisan ini yaitu
menganalisa faktor keberhasilan yang membuat delimitasi batas
Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Filipina dapat dilakukan
secara damai. Oleh
karena itu penulis menggunakan tipe penelitian kualitatif yang
menggunakan
prosedur untuk mendeskripsikan, menjelaskan suatu fenomena
(Mas'oed, 1990).
Metode penelitian yang digunakan yakni deskriptif, eksplanasi
dan analitis
(Sudarsono, 1996).
Penulis juga menggunakan analysis narratives yaitu paradigma
berpikir untuk
mendeskripsikan sebuah tema menggunakan plot line serta
bagaimana individu
tersebut dapat selaras dengan sumber sosial, interaksi, dan
bagaimana penulis
menggembangkan interpretasi (Creswell, 2007). Tahapan yang
digunakan penulis
adalah Single Instrumental Case Study, yakni pertama, penulis
harus memilih
permasalahan studi kasus yang tepat untuk digunakan dalam
penelitian yang akan
dilakukan. Kedua, penulis akan mengidentifikasi studi kasus yang
digunakan seperti
-
13
permasalahannya, sampai proses atau peristiwa yang akan
digunakan. Ketiga, proses
pengumpulan datanya harus dilakukan secara meluas dan diambil
dari berbagai
macam sumber seperti melakukan observasi, wawancara, dokumen dan
materi
audiovisual. Keempat, analisa yang akan dilakukan dapat
menggunakan keseluruhan
dari penjelasan penting sebuah kasus atau hanya menggunakan
salah satu penjelasan
pentingnya saja. Kelima, penulis akan menjelaskan arti penting
dari studi kasus yang
dibahas (Creswell, 2007).
1.8.2 Pengumpulan dan Pengolahan Data
Dalam pengambilan referensi yang digunakan dalam tulisan ini
berasal dari
sumber primer dengan menggunakan dokumen resmi pemerintah dan
non-
pemerintah yang didapat dari institusi seperti Kementerian luar
Negeri (Kemlu) dan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yaitu hasil
persetujuan
antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik
Filipina mengenai
penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif, 2014, hasil rapat antara
komisi I DPR RI
dengan Kemlu. Penulis juga melakukan wawancara dengan pihak
terkait pada bagian
Direktorat Hukum dan Perjanjian Kewilayahan di Kemlu yaitu
Fungsional Diplomat,
Bapak Budi Atyasa. Kemudian penulis juga menggunakan data
sekunder yang
didapat dari sumber tulisan buku, jurnal, dan laporan dengan
periodesasi yang sesuai
yang masih terkait dengan isu yang diteliti dalam tulisan ini,
yang dikeluarkan oleh
institusi resmi terkait, dan menggunakan data yang berisi
informasi yang diperlukan
melalui artikel di masing-masing negara Indonesia dan Filipina
yaitu Kompas,
Philstar Global dan Philippine Daily Inquirer.
1.9 Pembabakan
BAB 1 yaitu pendahuluan, Bab ini menjelaskan latar belakang,
rumusan masalah,
tujuan, signifikansi dan kontribusi, tinjauan pustaka, kerangka
pemikiran/teori,
hipotesis, metode penelitian, dan pembabakan.
BAB 2 yakni sejarah dan konteks, Bab ini membahas tentang
sejarah awal
perbatasan wilayah perairan kedua negara dan proses delimitasi
yang terjadi.
Kemudian juga membahas perkembangan yang terjadi di wilayah
perbatasan
Indonesia dan Filipina tersebut.
-
14
BAB 3 merupakan analisa, Bab ini menganalisa dan menjawab
rumusan masalah
yang telah dipilih dengan menggunakan konsep di kerangka
pemikiran dan data yang
dikumpulkan.
BAB 4 yaitu penutup, Bab ini membahas kesimpulan dari hasil
analisa berdasarkan
referensi data dan kerangka pemikiran yang dijadikan pedoman,
dan berisi saran
serta rekomendasi dari penulis.