ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A DIRUANG MELATI 3A3 RSUD Dr SOEDIRMAN KEBUMEN Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan Disusun Oleh : Ferina Nuriasih A01301751 SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN 2016
91
Embed
ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/128/1/FERINA NURIASIH NIM. A01301751.pdf · Pemberian cairan golongan kristaloid (RL, RA) sangat efektif ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN
ELEKTROLIT PADA An.A DIRUANG MELATI 3A3
RSUD Dr SOEDIRMAN KEBUMEN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif
Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan
Disusun Oleh :
Ferina Nuriasih
A01301751
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
2016
iv
Program Studi DIII Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong
KTI, Agustus 2016
Ferina Nuriasih1,Nurlaila
2,M.Kep.Ns
ABSTRAK
ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN
ELEKTROLIT PADA An.A DI RUANG MELATI 3A3
RSUD Dr SOEDIRMAN KEBUMEN
Latar belakang. Penyakit DBD di Indonesia telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat sejak 30 tahun terakhir. Penyakit demam dengue ini dapat
menimbulkan gejala klinis yaitu mual muntah yang dapat menyebabkan terjadinya
kekurangan volume cairan. Presentasi cairan pada bayi jauh lebih banyak
dibanding dengan orang dewasa oleh karena itu bayi lebih beresiko tinggi
mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Tujuan umum penulisan. Mendeskripsikan asuhan keperawatan pemenuhan
kebutuhan cairan dan elektrolit pada An.A di ruang Melati RSUD Dr Soedirman
Kebumen.
Asuhan keperawatan. Diagnosa keperawatan utama yang muncul yaitu defisit
volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (mual, muntah).
Implementasi keperawatan yang telah dilakukan diantaranya yaitu menganjurkan
keluarga untuk memberikan banyak minum, memantau tanda gejala dehidrasi,
melakukan pengukuran vital sign, mengobservasi muntah dan BAK , pemberian
cairan IV RL 500ml (30tpm), menimbang popok dan berat badan, memonitor
asupan dan pengeluaran. Hasil evaluasi diagnosa defisit volume cairan
berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (mual, muntah) teratasi.
Analisa tindakan. Pemberian cairan golongan kristaloid (RL, RA) sangat efektif
untuk menangani resusitasi cairan pada penyakit DBD.
Kata kunci: elektrolit, cairan, asuhan keperawatan
v
Nursing Studies Programe DIII
College of Health Sciences Muhammadiyah Gombong
KTI, August 2016
Ferina Nuriasih1, Nurlaila
2, M.Kep,Ns
ABSTRACT
NURSING CARE OF “A” THE CHILD PATIENT WITH FLUIDS AND
ELECTROLYTE NEED AT MELATI WORD ROOM 3A3
RSUD Dr SOEDIRMAN STATE HOSPITAL OF KEBUMEN
Background. DHF in Indonesia has become a public health problem since last 30
years. Dengue fever can cause clinical symptoms are nausea and vomiting that can
lead to lack of fluid volume. Presentation of fluid in the baby much more than
adults because the baby is at high risk of fluid and electrolyte balance disorders.
The general objective of writing. Describing nursing care meeting the needs of
fluid and electrolytes to An.A in Melati room RSUD Dr Soedirman Kebumen
hospital.
Nursing care. The main nursing diagnoses that arise are fluid volume deficit
associated with loss of active liquid (nausea, vomiting). Implementation of
nursing has been done among which encourage families to give a lot of drinking,
wathcing the signs of dehydration symptoms, measurements of vital signs,
observe vomiting and urinating, RL 500ml IV fluid administration (30tpm),
weighing diapers and weight, observe your intake and expenditure. The results of
diagnostic evaluation of fluid volume deficit associated with loss of active liquid
(nausea, vomiting) resolved.
Analysis of the action. Crystalloid fluid administration group (RL, RA) is very
effective for dealing with fluid resuscitation in dengue disease.
Keywords. electrolyte, fluid, nursing care
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warohmatulahi wabarakatuh
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kepada Allah S.W.T yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayahnya ,sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Asuhan Keperawatan Pemenuhan
Kebutuhan Cairan Pada An.A Diruang Melati 3A3 RSUD Dr Soedirman
Kebumen”. Adapun maksud penulis membuat laporan ini adalah untuk
melaporkan hasil Karya Tulis Ilmiah dalam rangka ujian tahap akhir jenjang
pendidikan DIII Keperawatan STIKes Muhammadiyah Gombong.
Terwujudnya Karya Tulis Ilmiah ini tidak lepas atas bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan yang baik ini penulis
menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada yang terhormat :
1. Alloh SWT yang telah memberikan nikmat iman dan nikmat sehat kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan lancar
2. Bapak Madkhan Anis, S.Kep.Ns selaku Ketua STIKes Muhammadiyah
Gombong yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan keperawatan
3. Bapak Sawiji Amani, S.Kep.Ns, M.Sc selaku Ketua Program Studi DII
Keperawatan STIKes Muhammadiyah Gombong yang telah mendidik
penulis dengan baik
4. Ibu Nurlaila, S.Kep,Ns, M.Kep selaku pembimbing Karya Tulis Ilmiah
ini yang telah memberikan banyak motivasi dan bimbingan kepada
penulis
5. Kedua Orang tua, Bapak Sahro dan Ibu Marilah yang telah memberikan
kasih sayang, semangat, motivasi, materil serta doa kepada penulis
sehingga membantu menyelesaikan tugas ini dengan lancar
6. Tim penguji Karya Tulis Ilmiah yang telah memberikan saran dan arahan
7. Ibu Rini Amborowati, S.Kep,Ns selaku pembimbing klinik selama ujian
komprehensif yang dengan sabar membimbing dan memberikan anyak
masukan kepada penulis
vii
8. Segenap dosen dan staff STIKes Muhammadiyah Gombong yang telah
berkenan memberikan bimbingan dan arahan materi selama penulis
menempuh pendidikan
9. Segenap Keluarga besar Bapak Trimo Rejo dan Bapak Sahro yang telah
memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis
10. Teman-teman seperjuangan kelas 3A khususnya Anggun K, Anis L,
Annisa S, Fitroh A, dan sahabat dekat penulis R.A yang telah
memberikan banyak semangat dan doa kepada penulis
11. Serta tidak lupa kepada An.A dan keluarga yang telah mau bekerjasama
dengan penulis sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan
Semoga Alloh SWT senantiasa melipahkan rahmat serta hidayahNya kepada
kita semua, amin. Besar harapan penulis, semoga laporan Karya Tulis Ilmiah ini
dapat memberikan banyak manfaat bagi penulis dan rekan-rekan pembaca semua.
Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarrokatuh
Gombong, 2 Agustus 2016
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii
ABSTRAK ....................................................................................................... iv
ABSTRACT ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan .................................................................................. 4
C. Manfaat Penulisan ................................................................................ 5
BAB II KONSEP DASAR
A. Konsep Dasar Cairan dan Elektrolit ..................................................... 6
1. Pengertian Cairan dan Elektrolit .................................................... 6
2. Fungsi Cairan Tubuh ...................................................................... 7
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007: 8 - 14
Diagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah DengueDiagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah DengueDiagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah DengueDiagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah DengueDiagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah Denguepada Kejadian Luar biasa Tahun 2004 di Enam Rumahpada Kejadian Luar biasa Tahun 2004 di Enam Rumahpada Kejadian Luar biasa Tahun 2004 di Enam Rumahpada Kejadian Luar biasa Tahun 2004 di Enam Rumahpada Kejadian Luar biasa Tahun 2004 di Enam RumahSakit di JakartaSakit di JakartaSakit di JakartaSakit di JakartaSakit di Jakarta
Endah Citraresmi, Sri Rezeki Hadinegoro, Arwin AP Akib
Infeksi virus dengue memiliki karakteristikterjadinya kejadian luar biasa (KLB) atauepidemi secara periodik.1,2 Dalam kurun waktu
lebih dari 30 tahun terdapat limakali KLB demam
Latar belakang. Latar belakang. Latar belakang. Latar belakang. Latar belakang. Pada kejadian luar biasa (KLB) DBD pada tahun 2004 di Jakarta,pasien memenuhi berbagai rumah sakit sampai tak tertampung dan dirawat di koridor.Kejadian luar biasa menyebabkan jumlah kasus berat bertambah, namun sangat mungkinterjadi overdiagnosis.Tujuan.Tujuan.Tujuan.Tujuan.Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kriteria diagnosis dan tata laksanaDBD menurut kriteria WHO 1997.Metoda.Metoda.Metoda.Metoda.Metoda. Data diambil secara retrospektif dari catatan rekam medis semua pasien usia0-15 tahun dengan diagnosis demam dengue/demam berdarah dengue (DD/DBD) yangdirawat di enam rumah sakit di Jakarta selama KLB 2004.Hasil.Hasil.Hasil.Hasil.Hasil. Terdapat 1494 anak memenuhi kriteria inklusi, terdiri dari DD 241 (16,1%),DBD tanpa syok 1051 (70,4%) dan DBD syok 202 (13,5%); 19 pasien meninggal(1,5% kasus DBD). Rerata jumlah cairan yang diberikan selama perawatan pada pasienDD, DBD tanpa syok dan DBD syok berturut-turut 83,0, 78,4 dan 79,4 ml/kg/hari.Rerata jumlah cairan untuk mengatasi syok 25,6 ml/kg dan rerata lama syok teratasi88,3 menit, melebihi waktu 1 jam yang direkomendasikan. Cairan koloid digunakanpada 1,9% pasien DBD tanpa syok dan 70,3% pasien DBD syok sementara transfusidarah diberikan pada 7,6% pasien. Penggunaan antibiotik mencapai 59,9% pasien, dandijumpai pemberian beberapa obat yang belum dibuktikan manfaatnya pada pengobatanDBD. Penilaian ulang diagnosis menggunakan kriteria DBD WHO 1997 mendapatkanhanya 19,1% pasien DBD tanpa syok yang memenuhi kriteria tersebut, sedangkan padapasien DBD syok 99,0%. Penghitungan ulang CFR menggunakan jumlah kasus DBDberdasarkan kriteria tersebut menghasilkan peningkatan CFR menjadi 4,9%.Kesimpulan.Kesimpulan.Kesimpulan.Kesimpulan.Kesimpulan. Terdapat overdiagnosis dan tata laksana yang kurang optimal dalammengatasi syok serta pemberian obat-obatan yang tidak tepat pada KLB DBD tahun2004. Sedikitnya jumlah kasus DBD yang memenuhi kriteria WHO 1997 menyebabkanpeningkatan CFR.
Kata kunci: demam berdarah dengue, kejadian luar biasa, kriteria diagnosis WHO 1997, CFR.
Alamat korespondensi:Prof. DR. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp A(K). Divisi Infeksi dan PenyakitTropis. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia, Jl. Salemba no. 6 Jakarta 10430. Tel. 391 4126. Fax. 3907743.
Dr. Endah Citraresmi PPDS Departemen Ilmu Kesehatan anak FKUI-RSCM email : [email protected]
9
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
berdarah dengue (DBD) di Indonesia yang cukupbermakna, yaitu pada tahun 1973, 1983, 1988, 1998,dan 2004.3 Kejadian luar biasa pada tahun 2004 terjadidi 12 propinsi di Indonesia dengan jumlah kasus59.321 kasus dan kematian 669 orang (case fatalityrate 1,1%).4 Pada KLB tahun 2004 dilaporkan bahwapasien DBD di Jakarta memenuhi berbagai rumahsakit sampai tak tertampung dan harus dirawat dikoridor rumah sakit dengan tempat tidur tambahan.5
Adanya KLB akan menyebabkan jumlah kasus beratbertambah, namun sangat mungkin pula terjadioverdiagnosis. Untuk menghindari overdiagnosis tersebutdapat digunakan kriteria diagnosis secara klinis danlaboratorium dengan menggunakan kriteria WHOtahun 1997.6 Oleh karena itu, dalam menghadapi KLBDBD, diperlukan peningkatan kewaspadaan darisegenap petugas kesehatan baik di tingkat puskesmas,dokter praktek perseorangan dan rumah sakit. Untukmemberikan gambaran KLB-DBD maka diperlukandiketahui data karakteristik demografi, klinis, laboratorisserta tata laksana KLB DBD untuk dapat menjadi acuandalam perbaikan perencanaan menghadapi KLB DBDdi masa datang.
Metoda
Penelitian ini adalah suatu studi deskriptif seksi silangdengan pengambilan data secara retrospektif darirekaman medik, dilakukan pada semua pasien usia 0-15 tahun yang didiagnosis demam dengue (DD) dandemam berdarah dengue (DBD) yang dirawat diRSUP dr. Cipto Mangunkusumo, RSUP Fatmawati,RSU Pasar Rebo, RSUD Koja, RSAB Harapan Kita
dan RSU Sumber Waras Jakarta pada periode KLBDBD 1 Januari sampai 31 Mei 2004. Data dari catatanrekam medik ditelaah mengenai karakteristikdemografi, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang,diagnosis, tata laksana (cairan, transfusi, dan obat-obatan), serta outcome pasien. Diagnosis pulangmenurut dokter yang merawat disesuaikan dengankriteria definisi kasus menurut WHO 1997 dandilakukan penghitungan ulang case fatality rate sesuaijumlah kasus DBD yang memenuhi kriteria tersebut.Data diolah dengan menggunakan program SPSS versi13.0.
Hasil
Pada KLB-DBD 2004 di dapatkan 1818 kasus DD/DBD usia 0-15 tahun yang tercatat di enam rumahsakit, 1494 (82,2%) subyek di antaranya mempunyaicatatan rekam medis lengkap dan memenuhi kriteria.Rerata usia pasien pada penelitian ini (6,4±3,8) tahun,median 6,0 tahun, modus 4,0 tahun, dengan rentangusia 1 bulan sampai 15 tahun 11 bulan (Tabel 1).
Pasien DD dan DBD sebagian besar memilikistatus gizi baik, 1,4% pasien DBD di antaranyamemiliki status gizi buruk. Rerata lama perawatantersingkat didapatkan pada kelompok DD (3,3 hari);rerata lama perawatan pada pasien DBD 4,4 hari (4,3hari DBD tanpa syok dan 5,2 hari DBD syok) denganrentang lama perawatan 1 sampai 18 hari.
Kelompok usia terbanyak adalah 1-5 tahun (49,4%pada pasien DD dan 38,9% pada pasien DBD) diikutikelompok usia 6-10 tahun (33,6% pada pasien DDdan 37,8% pada pasien DBD). Terdapat 66 (4,4%)
Tabel 1. Karakteristik demografi pasien DD/DBD di enam rumah sakit saat KLB2004
Lama perawatan (rerata ± SB, hari) 3,3±1,4 4,4±1,9 4,2±1,86
10
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
pasien berusia di bawah 1 tahun, masing-masing padaDD, DBD dan DSS yaitu 10,50 dan 6 pasien.
Rerata lama demam di rumah 3,5 hari denganmodus 4 hari. Pada fase demam, pasien DD dan DBDmemiliki keluhan/gejala penyerta. Pasien DDmenunjukkan keluhan batuk dan pilek denganproporsi yang lebih banyak dibandingkan pada pasienDBD dengan/tanpa syok (p=0,000). Proporsimuntah, nyeri perut, kejang, penurunan kesadaran,dan hepatomegali lebih banyak pada DBD syokdibandingkan kedua kelompok lainnya (p=0,000).Manifestasi klinis dan laboratoris pada pasien DD/DBD tertera pada Tabel 2.
Terdapat 497 (33,3%) pasien mengalami per-darahan spontan, terbanyak adalah petekie (19,3%)dan epistaksis (8,9%). Hematemesis dan melena lebihbanyak dijumpai pada kelompok DBD syok, masing-masing 39,3% dan 18,4% dibandingkan DBD tanpasyok 1,9% dan 1,3%. Diantara 997 pasien yang tidakmemiliki manifestasi perdarahan spontan, 429(43,0%) pasien dilakukan uji bendung dengan hasilpositif pada 236 (23,7%) pasien. Pasien DBD tanpadan dengan syok memiliki proporsi uji bendung positifyang lebih tinggi (61,8% dan 69,5%) dibandingkanpasien DD (43,9%).
Saat masuk rumah sakit, sulit untuk menegakkandiagnosis DBD berdasarkan nilai awal pemeriksaanlaboratorium. Pasien DBD syok Saat masuk rumahsakit memiliki rerata kadar hematokrit lebih tinggi(42,1 vol%, p=0,000) dibandingkan kelompok DDdan DBD tanpa syok (36,8 dan 37,8). Demikian pularerata kadar hematokrit tertinggi selama perawatandidapatkan pada pasien DBD syok (45,6 vol%).Sedangkan kelompok DD memiliki rerata kadar
hematokrit tertinggi selama perawatan yang tidakberbeda secara statistik dengan DBD tanpa syokmasing-masing 40,7 dan 41,4 vol% (p>0,05).Hemokonsentrasi hanya ditemukan pada 74,8%pasien DBD syok dan 32,7% pasien DBD tanpa syok,dan mencapai 20,7% pada pasien DD.
Rerata jumlah trombosit saat masuk rumah sakitpada kelompok DBD syok lebih rendah (88.80±79.15/mL, p=0,000) dibandingkan kedua kelompok lainnyamasing-masing untuk DD (151.56±53.26/mL) danDBD tanpa syok (126.71±58.45/mL). Hal yang samajuga ditemukan pada rerata jumlah trombosit terendahselama perawatan. Hampir semua (98,5%) DBD syokmempunyai jumlah trombosit =100.000/µL, lebihtinggi dibandingkan dengan pasien DBD tanpa syokdan DD (p=0,000).
Data serologi (uji HI dan IgM/IgG anti dengue)hanya dilakukan pada 258 (17,3%) pasien, 66 (25,6%)kasus infeksi primer dan 132 (51,2%) kasus infeksisekunder. Dijumpai 48 dari 171 (28,1%) pasien yangdiperiksa antibodi IgM dan IgG anti dengue sebelumhari kelima sakit, dan 22 pasien menunjukkan hasilnegatif.
Prinsip dari tata laksana kasus DBD adalahpenggantian cairan tubuh yang hilang akibatperembesan plasma maupun dehidrasi. Jenis danjumlah cairan yang diberikan disesuaikan dengankondisi setiap pasien, sesuai panduan baik dari WHOmaupun Depkes RI. Pemberian cairan pada pasienDD/DBD tertera dalam Tabel 3.
Rerata jumlah cairan yang diberikan pada pasienDD 83,0 ml/kg/hari dengan rerata lama pemberiancairan intravena 3,0 hari. Cairan yang terbanyakdiberikan adalah rinper laktat (RL), rinper asetat (RA)
Tabel 2. Manifestasi klinis dan laboratorium pasien DD/DBD saat KLB 2004
Manifestasi klinis dan laboratorium DD DBD tanpa syok DBD dengan syok
Lama demam (rerata±SB, hari) 3,0±1,4 3,5±1,6 3,9±1,3Manifestasi perdarahan [n (%)]
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
dan larutan Nacl 0,9% : Dekstrosa 5% 3 :1 (KaENIB). Pada DBD tanpa syok, jenis cairan intravena yangdipilih sebagian besar adalah RL kecuali di RS. SumberWaras (RSSW) menggunakan cairan dekstrosa 5% +1/2 normal saline (D5%+1/2NS). Cairan koloiddiberikan pada 25 pasien, (1,9%) pada pasien DBDtanpa syok. Rerata jumlah cairan yang diberikan padapasien DBD tanpa syok adalah 78,4 ml/kg/hari,terendah di RSSW. Rerata lama pemberian cairanintravena adalah 3,8 hari. Meski lama pemberian cairanintravena pada kasus DD lebih singkat dibandingkankasus DBD tanpa syok, namun volume cairan yangdiberikan lebih banyak.
Pada pasien DBD syok, cairan resusitasi kristaloidyang terbanyak digunakan adalah RL diikuti denganRA. Seluruh pasien di RSSW menggunakan cairanD5%+1/2NS sebagai cairan resusitasi. Rerata cairankristaloid intravena selama perawatan pada pasienDBD syok secara keseluruhan adalah 79,4 ml/kg/hari,tidak berbeda dengan pasien DBD tanpa syok.Terdapat 142 (70,3%) pasien dengan syok mendapatkoloid. Dari 53 pasien dengan komplikasi syok lamaatau berulang, 46 di antaranya mendapat cairan koloid.Rerata jumlah cairan untuk mengatasi syok secarakeseluruhan adalah 25,6 ml/kg dengan rerata tertinggidi RSCM. Dengan terapi cairan resusitasi tersebut,rerata lama syok teratasi di keenam RS adalah 88,3
menit (rerata terendah 71,2 dan tertinggi 116,5 menit).Didapatkan 113 (7,6%) pasien mendapat transfusi
komponen darah dengan jenis terbanyak (95 pasien)adalah fresh frozen plasma (FFP). Satu pasien DBDderajat IV dari 26 pasien yang diberi transfusi trombositconcentrate (TC) tidak memiliki perdarahan spontandengan jumlah trombosit terendah adalah 44.000/µL.Sementara 22 dari 95 pasien yang diberi transfusi FFPtidak disertai perdarahan spontan.
Obat inotropik digunakan pada 43 pasien dan 42di antaranya pasien DSS; 18 pasien diantaranyamengalami komplikasi syok lama atau berulang.Sebanyak 895 (59,9%) pasien mendapat antibiotikdengan proporsi terendah 8,7% di RSCM dan proporsitertinggi di RSK dan RSPR. Hanya 10 (0,7%) pasienyang datang dengan keluhan demam >7 hari sebelumdirawat yang dapat menjadi alasan kuat penggunaanantibiotik. Antivirus (isoprinosin, asiklovir) diberikanpada 78 (5,2%) pasien. Obat lain yang digunakanantara lain kortikosteroid pada 79 (5,3%) pasien, obatuntuk menghentikan perdarahan (transamin, adona)pada 15 (1,0%), dan vitamin C intravena pada 173(11,6) pasien.
Enam puluh sembilan (5,5%) pasien mengalamikomplikasi akibat penyakit DBD. Terbanyak adalahsyok berulang (2,7% pasien DBD atau 16,8% pasienDBD syok). Edema paru dan/atau overload cairan
Tabel 3. Pemberian cairan pada pasien DD/DBD di enam RS saat KLB 2004
• Waktu (rerata±SB, 77,2±58,7 112,3±99,1 71,2±61,0 76,1±38,9 75,2±40,1 116,5±66,0menit)
• Jumlah cairan 30,8±17,8 22,4±15,1 24,2±8,2 22,9±13,1 22,3±19,3 23,0±14,0ml/kg (rerata±SB)
*RS. Cipto Mangunkusumo ** RS. Harapan Kita *** RS. Pasar Rebo•RS. Fatmawati ••RS. Koja •••RS. Sumber Waras
12
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
dialami 21 (1,7%) pasien. Terdapat 19 (1,5%) pasienDBD meninggal. Angka kematian tertinggi didapatkandi RSCM dan terendah di RSSW. Secara keseluruhan,angka kematian pada kelompok pasien DBD tanpasyok 0,2% sedangkan pada pasien DBD syok 8,4%.
Jika dibandingkan diagnosis saat pulang pasienDD, DBD tanpa syok dan DBD dengan syok dengandiagnosis menurut kriteria WHO 1997 (Tabel 4),ternyata hanya 201 dari 1051 (19,1%) pasien yangdidiagnosis DBD tanpa syok saat pulang sesuai dengankriteria WHO 1997, sedangkan 232 dari 241 (96,3%)DD dan 200 dari 202 (99,0%) DBD dengan syokyang memiliki kesesuaian diagnosis saat pulang dengankriteria WHO 1997.
Dengan melakukan klasifikasi diagnosis ulangsesuai kriteria WHO 1997, dilakukan penghitunganulang CFR pada pasien DBD saat KLB tahun 2004di enam RS di Jakarta. Berdasarkan penghitunganulang, CFR pada 410 pasien DBD dari semula 1,5%(n=1253) meningkat menjadi 4,9%, dan CFR tertinggididapatkan pada RSK (semula RSCM) dan terendahtetap RSSW.
Diskusi
Penelitian ini bersifat retrospektif sehingga sangattergantung dari kelengkapan data yang berhubungandengan subyek penelitian dan kualitas catatan medik.Data yang tidak lengkap menyebabkan kasus tersebuttidak dianalisis yang mungkin sebenarnya bermanfaatuntuk penelitian ini. Kualitas pengukuran (pengisiancatatan rekam medik) sangat dipengaruhi olehpengetahuan dan perilaku dari tenaga medis (dokterdan perawat) yang merawat pasien.
Penelitian KLB DBD di Jakarta tahun 1988mendapatkan rerata usia 6 tahun 8 bulan, modus 7tahun 3 bulan, dan rentang usia 3 bulan - 16 tahun 5bulan. Pada penelitian tersebut, kelompok umur
terbanyak adalah 5-9 tahun (43,7%) diikuti kelompokusia 1-4 tahun (34,6%).7 Pada penelitian inididapatkan komposisi umur pasien yang lebih mudadibandingkan tahun 1988. Klasifikasi status gizi padapenelitian ini dipakai menurut persentase berat badanaktual terhadap berat badan ideal menurut usia.8
Idealnya digunakan persentase berat badan idealmenurut tinggi badan, namun data rekam mediksebagian besar (85,7%) tidak mencantumkan datatinggi badan anak. Kalayanarooj dkk9 melakukanpenelitian retrospektif terhadap status gizi pada 4532pasien DD dan DBD anak di Thailand dan men-dapatkan sebagian besar (66,6%) memiliki status gizinormal, sementara 9,3% malnutrisi dan 24,2%obesitas. Klasifikasi status gizi pada penelitian tersebutjuga menggunakan berat badan menurut usia.Perbedaan proporsi malnutrisi dan gizi normal daripenelitian ini mungkin disebabkan perbedaan dalambatasan klasifikasi status gizi. Pada penelitian tersebutKalayanarooj dkk mendapatkan pasien gizi kurang dangizi lebih memiliki risiko syok dan komplikasidibandingkan dengan pasien gizi normal. Penelitianyang dilakukan oleh Bachtar E tahun 1990 di RSCMJakarta, tidak menemukan hubungan antara derajatberat penyakit DBD dengan status gizi anak.10
Terdapat 144 pasien (9,6%) yang datang dengankeluhan demam kurang dari 2 hari dan 10 pasien(0,7%) yang datang dengan keluhan demam lebih dari7 hari. Siswan7 hanya menemukan 1 (0,2%) pasienyang datang dengan demam kurang dari 2 hari. Padapasien dengan demam kurang dari 2 hari denganpenelitian laboratorium normal, sebaiknya dipikirkanuntuk rawat jalan namun harus kontrol setiap harisampai demam reda. Pasien tersebut sebaiknya untuktidak memperpanjang lama rawat tiap rumah sakitmemiliki sarana ruang rawat sehari (one day care) untukmelakukan pemantauan pada pasien dengan diagnosismeragukan.11 Rerata lama demam pada penelitian ini4,7 hari dengan rentang 1 sampai 16 hari. Pada pasien
Tabel 4. Diagnosis pasien saat pulang dan sesuai kriteria WHO 1997 saat KLB 2004
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
dengan demam lebih dari 7 hari, perlu dipikirkanpenyebab infeksi lain ataupun infeksi nosokomial/komplikasi yang menyertai pasien DBD.
Perembesan plasma berat terjadi pada kasus DBDsyok, sehingga terapi penggantian cairan harusdilakukan dengan cermat. Kebutuhan volume cairanharus diperhitungkan setiap 2-3 jam atau lebih seringpada kasus syok.6,12 Rerata jumlah cairan untukmengatasi syok tertinggi ditemukan di RSCM. Halini karena kasus yang datang ke RSCM sebagai rumahsakit rujukan adalah kasus berat yang membutuhkanterapi cairan yang lebih agresif. Proporsi pasien DBDderajat III dan IV di RSCM berturut-turut adalah26,2% dan 14,7%, lebih tinggi dibandingkan keenamrumah sakit yaitu 10,6% dan 4,4%.
Dengan terapi cairan resusitasi tersebut, rerata lamasyok teratasi adalah 88,3 menit. Penelitian yangdilakukan Hadinegoro SR pada periode bukan KLBtahun 1993-1995, dengan pemberian cairan intravenayang adekuat rata-rata syok teratasi dalam waktu 48menit, paling lama 74,6 menit dan prognosis DBDbaik jika syok teratasi dalam waktu maksimal 90menit.13 Hal ini perlu menjadi bahan pertimbangandalam evaluasi tata laksana kasus DBD dengan syokpada penelitian ini karena rerata lama syok teratasimelebihi 60 - 90 menit yang pada berbagai penelitianmerupakan indikator prognosis yang buruk.13,14 Perludirekomendasikan penggunaan jalur alternatif(intraoseus) pada kasus syok dengan kesulitan mencariakses vena dan pemasangan sedikitnya dua jalur dalammelakukan resusitasi kasus syok untuk mempersingkatwaktu untuk mengatasi syok. Syok harus diupayakansegera diatasi dengan tepat karena waktu yangdiperlukan untuk mengatasi syok berhubungan denganprognosis, makin cepat syok teratasi makin baikprognosisnya.
Didapatkan 113 (7,6%) pasien mendapat transfusikomponen darah dengan jenis terbanyak (95 pasien)adalah FFP, dan 22 di antaranya tidak disertaiperdarahan spontan. Fresh frozen plasma selaindigunakan dalam mengatasi perdarahan, juga digunakansebagai cairan koloid dalam tata laksana DBD. Freshwhole blood hanya diberikan pada 2 pasien, hal inimenunjukkan kecenderungan penggunaan komponendarah dalam tata laksana DBD di Jakarta.
Penggunaan antibiotik pada KLB DBD 2004terkesan over-use (59,9% pasien). Demikian jugapemberian antivirus (isoprinosin, asiklovir) pada 78(5,2%) pasien, kortikosteroid pada 79 (5,3%) pasien,
obat untuk menghentikan perdarahan (transamin,adona) pada 15 (1,0%), dan vitamin C intravena pada173 (11,6%) pasien. Beberapa penelitian tidakmenemukan manfaat pemberian obat-obatan tersebutpada DBD.15,16 Tampaknya kesepakatan para dokteranak dalam menggunakan obat-obatan tersebut perluditelaah kembali.
Sampai saat ini, untuk menentukan diagnosisklinis DBD di Indonesia dipergunakan kriteriadiagnosis WHO 1997. Kriteria ini juga digunakandalam menentukan jumlah kasus dan jumlah kematianuntuk kepentingan evaluasi program dan tata laksanapenyakit. Dengan melakukan penilaian ulangdiagnosis pasien menurut kriteria WHO 1997, padakelompok DD dan DBD dengan syok hampirseluruhnya (96,3% dan 99,0%) terdapat persamaandiagnosis baik saat pulang maupun diagnosis sesuaikriteria WHO. Namun pada kelompok DBD tanpasyok, 80,9% pasien tidak memenuhi kriteria WHO;jadi sebenarnya mereka tersebut rumah sakit rumahsakit termasuk dalam DD. Sayangnya pada penelitianini yang dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaanserologis hanya 17,3% pasien.
Selama beberapa dekade, Indonesia mengalamipenurunan CFR meskipun terdapat peningkatanjumlah kasus DBD. Penghitungan ulang CFRdengan menggunakan diagnosis sesuai kriteria WHOmenghasilkan CFR yang jauh lebih tinggi (4,9% vs1,5%) dibandingkan dengan menggunakan diagnosissaat pulang. Juga bila dibandingkan dengan CFRyang dilaporkan oleh Depkes untuk KLB tahun 2004yaitu sebesar 1,1%.4 Hal ini memerlukan evaluasilebih lanjut dari ketepatan tata laksana DBD padasaat KLB sehingga Departemen Kesehatan serta parapengambil kebijakan perencanaan kesehatan tidakberpuas diri dengan angka CFR yang dilaporkanrendah selama ini.
Kesimpulan
Pada periode KLB-DD/DBD tahun 2004 di enamrumah sakit di Jakarta, terdapat 241 pasien DD, 1051DBD tanpa syok dan 202 DBD syok. Rerata jumlahcairan yang digunakan untuk mengatasi syok padapasien DBD syok 25,6 ml/kg; dengan terapi cairanresusitasi tersebut, rerata lama syok teratasi di keenamrumah sakit adalah 88,3 menit, melebihi waktu yangdirekomendasikan. Sebanyak 7,6% pasien memer-
14
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
lukan transfusi darah. Antibiotik dan obat lain banyakdiberikan pada pasien tanpa indikasi pemberian yangjelas dan belum terbukti manfaatnya dalam tata laksanaDBD. Terdapat 80,9% pasien DBD tanpa syok saatpulang ternyata tidak memenuhi kriteria WHO 1997sehingga dimasukkan dalam diagnosis DD, sedangkanpasien yang didiagnosis DBD syok saat pulang 99,0%sesuai dengan kriteria WHO 1997. Case fatality rateberdasarkan diagnosis saat pulang yang semula 1,5%,dengan menyesuaikan diagnosis sesuai kriteria WHO1997 menyebabkan terdapat peningkatan CFRmenjadi 4,9% akibat pengurangan jumlah pasienDBD.
Ucapan terima kasih
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada kepala dan staf SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP
Fatmawati, RSUD Pasar Rebo, RSU Koja, RSAB Harapan Kita,
dan RSU Sumber Waras.
Daftar Pustaka
1. Kautner I, Robinson MJ, Kuhnle U. Dengue virus in-
as a public health, social and economic problem in the
21st century.Trends in Microbiology 2002;10:100-3.
3. Suroso T, Holani A, Ali I. Dengue haemorrhagic fever
outbreaks in Indonesia 1997-1998. Dengue Bulletin
1998;22.
4. Depar temen Kesehatan Republ ik Indonesia .
Kewaspadaan terhadap demam berdarah tetap
diperlukan. Diunduh dari http://www.depkes.go.id/
popups/newswindow.php?id=488. Diakses tanggal 31
Agustus 2004.
5. Adimidjaja TK, Wahono TD, Kristina, Isminah,
Wulandari L. Kajian masalah kesehatan demam berdarah
dengue. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan;2004.
6. World Health Organization. Dengue hemorrhagic fe-
ver: diagnosis, treatment, prevention and control.
Geneva:WHO; 1997.
7. Siswan KRJ. Gambaran klinis dan laboratoris pada
demam berdarah dengue di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
rumah sakit dr. Cipto Mangunkusumo pada kejadian
luar biasa tahun 1988 dengan penekanan pada uji
serologi inhibisi hemaglutinasi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 1988. Tesis.
8. Djumadias A. Aplikasi antropometri sebagai alat ukur
status gizi di Indonesia. Gizi Indonesia 1990;14:37-50.
9. Kalayanarooj S, Nimmannitya S. Is dengue severity re-
lated to nutritional status? Southeast Asian J Trop Med
Public Health 2005;36:378-84
10. Bachtar E. Status gizi anak penderita demam berdarah
dengue. Tesis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 1990.
11. Hadinegoro SRH. Piftalls and pearls dalam diagnosis
dan tata laksana demam berdarah dengue. Dalam
Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, editor.
Pendidikan kedokteran berkelanjutan Ilmu Kesehatan
Anak XLVI: Current management of pediatrics prob-
lems. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-
RSCM; 2004. h. 63-72.
12. Kalayanarooj S, Nimmannitya S, editor. Guidelines for
dengue hemorrhagic fever case management. Bangkok:
WHO Collaborating Centre for Case Management of
Dengue/DHF/DSS Queen Sirikit National Institute of
Child Health; 2004. h. 1-74.
13. Hadinegoro SRS. Telaah endotoksemia pada perjalanan
penyakit demam berdarah dengue. Disertasi. Program
Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta 1996.
14. Nhan NT, Phuong CXT, Kneen R, Wills B, Mu NV,
Phuong NTQ, dkk. Acute management of dengue shock
syndrome: a randomized double-blind comparison of 4
intravenous fluid regimens in the first hour. Clin Infect
Dis 2001;32:204-13.
15. Sumarmo, Talogo W, Asrin A, Isnuhandojo, Sahudi A.
Failure of hydrocortisone to affect outcome in dengue
shock syndrome. Pediatrics 1982;69:45
16. Rijal S. Efek carbazochrome pada penderita demam
berdarah dengue. Tesis. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Medan. 2000
Artikel Asli
145Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008
Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue pada anakEdi HartoyoBagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat/RSUD. Ulin Banjarmasin
Latar belakang. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit endemis di beberapa daerah di dunia.
Setiap tahunnya WHO melaporkan 50–100 juta terinfeksi virus dengue dengan 250-500 ribu menderita
DBD dan 24.000 di antaranya meninggal dunia. Di Indonesia, 12 dari 30 propinsi di antaranya merupakan
daerah endemis DBD dengan case fatality rate 1,12%.
Tujuan. Untuk mengetahui gambaran klinis, laboratorium, serta mengevaluasi terapi yang telah diberikan
pada penyakit demam dengue/DBD.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik, subjek adalah pasien yang di rawat di
Bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin periode Januari 2007 sampai dengan Febuari 2008 dengan diagnosis
demam dengue/DBD/sindrom syok dengue (SSD) berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 dan dilakukan
uji serologi (rapid test Panbio Australia). Analisis data dengan program SPSS 13 for window.Hasil. Dari 123 subjek gejala klinis yang mencolok adalah demam 93,5%, muntah 65,1%, nyeri perut
trombositopenia serta peningkatan SGOT/SGPT lebih banyak dijumpai pada DBD dan SSD dari pada
DD. (Sari Pediatri 2008;10(3):145-150).
Kata kunci: SSD, nilai leukosit, hematokrit dan trombosit.
Alamat Korespondensi: Dr. Edi Hartoyo., SpA. Staf SMF Kesehatan Anak FK. UNLAM-RSUD Ulin. Jl Jendral A.Yani 43, Banjarmasin Kalimantan Selatan.
146
Edi Hartoyo : Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue
Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008
Infeksi virus dengue endemis di beberapa daerah tropis dan subtropis, dan lebih dari 100 negara di Afrika, Amerika, Mediterania, Asia Selatan, dan Fasifik Barat. Sekitar 2,5 juta penduduk
di daerah tersebut pernah terinfeksi virus dengue. Menurut WHO terdapat kira-kira 50 – 100 juta kasus infeksi virus dengue setiap tahunnya, dengan 250.000–500.000 demam berdarah dengue (DBD) dan 24.000 di antaranya meninggal dunia.1 Di Indonesia DBD merupakan masalah kesehatan, karena hampir seluruh wilayah Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit infeksi dengue. Dua belas di antara 30 provinsi di Indonesia merupakan daerah endemis DBD, dengan case fatality rate 1,2%.2 Virus penyebab dan nyamuk sebagai vektor pembawa tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas umum. Penyakit DBD disebabkan oleh virus famili Flaviviridae, genus Flavivirus yang mempunyai 4 serotipe yaitu den 1, den 2, den 3, dan den 4. Virus ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang tersebar luas di seluruh Indonesia. Perjalanan penyakit dengue sulit diramalkan, manifestasi klinis bervariasi mulai dari asimtomatik, simtomatik (demam dengue, DBD), DBD dapat tanpa syok atau disertai syok (SSD). Pasien yang pada waktu masuk rumah sakit dalam keadaan baik sewaktu-waktu dapat jatuh ke dalam keadaan syok (SSD), oleh karena itu kecepatan menentukan diagnosis, monitor, dan pengawasan yang ketat men-jadi kunci keberhasilan penanganan DBD.
Angka kesakitan DBD cenderung meningkat di Indonesia mulai 0,05 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi 35,19 per 100.000 penduduk pada tahun 1998. Program pencegahan dan pemberantasan DBD dilaksanakan secara integral mencakup survailans laboratory based study, penyuluhan, pendidikan pengelolaan pasien bagi dokter, paramedis, dan pemberantasan sarang nyamuk dengan peran serta masyarakat.2,3
Metode
Penelitian diskriptif analitik dengan subjek pasien yang dirawat di Bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin an tara Januari 2007 sampai dengan Febuari 2008 dengan diagnosis (DBD/DD) berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 dan dikonformasi dengan serologi IgG/IgM (dengue strip rapid tes Panbio Australia).
Pemeriksaan serologi dilakukan pada hari ke 4 sampai hari ke 6 (fase akut). Apabila hasil pemeriksaan pertama negatif, diulang pada saat berobat untuk kontrol (fase konvalesen). Infeksi primer apabila pada fase akut IgM positif dan infeksi sekunder bila pada fase akut IgM dan IgG positif atau hanya IgG positif. Penentuan status gizi berdasarkan kriteria CDC 2000. Sampel dianalisis dengan SPSS 13. Untuk nilai leukosit, hematokrit, dan trombosit dilakukan analisis t test.
Hasil
Dalam kurun waktu Januari 2007 sampai dengan Febuari 2008 terdapat 123 anak yang dirawat dengan diagnosis DD/DBD/SSD berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 dan dilakukan uji serologi anti dengue.
Angka kejadian DBD/DD terbanyak pada umur 5–10 tahun, 52 anak (42,4%). Berdasarkan distribusi jenis kelamin, laki-laki lebih banyak 66(54,6%)
Tabel 1. Karateristik dasar pasien demam berdarah dengue/demam dengue.
No Variabel Jumlah (%) 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Umur (tahun)< 5 5 – 10 > 10 – 14 Jenis kelaminLaki-lakiPerempuanStatus giziBaikKurangBurukDiagnosisDDDBD (derajat 1 dan 2)SSD ( DBD derajat 3 dan 4)Infeksi primerDDDBDSSDInfeksi sekunderDDDBDSSD
44(35,7)52(42,4)27(21,9)
66(54,6)57(45,4)
82(66,6)38(30,8)
3(2,6)
21(17,2)59(47,9)43(34,9)
20(95,3)16(27,1)
6(14)
1(4,7)43(72,9)37(86)
147
Edi Hartoyo : Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue
Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008
dibandingkan dengan perempuan 57(45,4%). Sebagian besar kasus mempunyai status gizi baik 82 (66,6%). Berdasarkan diagnosis kasus DBD derajat 1 dan 2 lebih banyak dibandingkan DD dan SSD yaitu 59 (47,%) anak. Sebagian besar SSD adalah infeksi sekunder 37(86%), sedangkan DD sebagian infeksi primer 20 (95,3%). Gejala klinis tertera pada Gambar 1.
Dari Gambar 1 gambaran klinis yang mencolok adalah demam 115 (93,5%), muntah 80 (65,1%), nyeri perut 62 (50,4%), ruam konvalesen 58 (47,1%), mual 55 (44,7%), pusing 24 (19,5%), perdarahan gusi 8 (6,5%), epitaksis 5 (4,1%), melena 4 (3,3%) dan
Terapi (Tabel 2)
Penggunaan terapi cairan kristaloid merupakan terapi utama, pada DD 17 (81,1%), DBD 51 (86,4%) dan SSD 37 (86,1%), sedangkan koloid paling banyak dipakai pada SSD 24 (56,1%). Cairan koloid yang digunakan HES 6%, komponen darah terbanyak digunakan pada SSD yaitu fress frozen flasma (FFP) 7 (16,3%), PRC 4 (9,3%) dan komponen trombosit 7 (16,3%). Penggunaan antibiotik pada DBD 5 (8,5%), SSD 17 (39,5%).
gejala penyerta batuk 17 (17,9%), pilek 12 (9,8%). Pada pemeriksaan fisik ditemukan Rumple leed (RL) positif 77 (62,6%), hepatomegali 47 (38,2%), efusi pleura 46 (37,4%) dan asites 34 (27,6%). Kadar transaminase hati meningkat terutama pada SSD, SGOT 33 (76,7%) dan SGPT 37(86,0%), seperti tertera pada Gambar 2 .
Nilai rerata leukosit, hematokrit, dan trombosit tertera pada Gambar 4. Leukosit dan trombosit pada pasien SSD lebih rendah dibandingkan DBD dan DD dan perbedaan ini secara statistik bermakna.
Gambar 2. Peningkatan kadar SGOT dan SGPT pada pasien demam berdarah dengue
DBDSSD
76.70%11.80%
14.30%
Demam dengue
86%
11,80%
4,80%
DBDSSD
Demam dengue
SGOT SGPT
Gambar 1. Presentase gejala klinis demam berdarah dengue
%
148
Edi Hartoyo : Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue
Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008
Pembahasan
Berdasarkan distribusi jenis kelamin dari 123 kasus, la-ki-laki 66 (54,6%) lebih banyak dibandingkan de ngan pe rempuan 57 (45,4%), atau perbandingan laki-laki dan perempuan 1,1:1. Temuan ini tidak berbeda jauh dari penelitian yang dilakukan di Bagian IKA RSCM yang mendapatkan laki-laki perempuan 1,3:1 dan penelitian Suharyono4,5 mendapatkan perbandingan laki-laki dan perempuan 1,4:1. Kemungkinan berkait-an dengan kebiasaan nyamuk Aedes aegypti yang aktif menggigit pada siang hari dengan dua puncak aktivitas yaitu pada pukul 08.00–12.00 dan 15.00–17.00, pada jam tersebut anak bermain di luar rumah.6 Insiden tertinggi terdapat pada kelompok umur 5–10 tahun yaitu 52 (42,4%), seperti hasil penelitian di Bagian IKA RSCM, yang melaporkan insiden tertinggi terdapat
pada kelompok umur 5–9 tahun yaitu 46,1%.4 Tabel 1 memperlihatkan kasus terbanyak adalah DBD 59 (47,9%), diikuti oleh SSD 43 (34,9%), dan DD 21 (17,2%). Data menunjukkan bahwa kasus yang datang atau dirujuk pada umumnya kasus DBD berat. Chairulfatah dkk7 melaporkan bahwa dari 128 kasus infeksi virus dengue, 19% kasus disertai dengan syok, sedangkan Kabra dkk1 melaporkan dari 193 pasien klinis infeksi virus dengue 59% disertai dengan syok. Di Amerika Latin Gonzales dkk8 medapatkan 29% kasus DBD mengalami syok. Pasien DBD dan SSD pada umumnya adalah infeksi sekunder, sedangkan DD umumnya infeksi primer berdasarkan hasil serologi dengue rapid test (Panbio-Australia), tes ini mempunyai sensitivitas 98% dan spesifisitas 87%.9,10 Gejala klinis yang mencolok adalah demam 115 (93,5%), muntah 80 (65,1%), nyeri perut 62 (50,4%), pusing 24
(19,5%), batuk 22 (17,9%), dan pilek 12 (9,8%). Pada penelitian Kautner dkk,11 demam, muntah, dan nyeri perut merupakan gejala yang mencolok. Pada pemeriksaan fisik, di dapatkan uji forniket positif pada 77 (62,6%), hepatomegali 47 (38,2%), dan efusi pleura 46 (37,4%). Pada penelitian uji forniket di Thailand terhadap 108 pasien infeksi virus dengue mempunyai sensitivitas 90% dan spesifisitas 48%, di Vietnam terhadap 598 kasus infeksi virus dengue mempunyai sensitivitas 42% dan spesifisitas 94%.1,12 Di Bangkok dan Kamphaeng Phet Thailand dilakukan penelitian terhadap 318 anak umur 6 bulan- 15 tahun infeksi virus dengue dan 72 anak terinfeksi virus lain dengan hasil uji forniket positif pada 88% demam dengue, 91% DBD derajat I, 95% DBD derajat II, 91 % pada SSD, dan 52% pada infeksi selain virus dengue.1 Hepatomegali 38,2%, sama dengan penelitian
Gambar 3. Nilai rerata leukosit, hematokrit, dan trombosit pada pasien DD, DBD dan SSD
149
Edi Hartoyo : Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue
Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008
Daniel dkk13 bahwa pada 38% infeksi virus dengue terdapat hepatomegali. Pada pasien SSD terjadi peningkatan kadar SGOT pada 33 (76,3%) dan SGPT 37 (80,0%), ini sesuai dengan hasil penelitian Agus dkk14 pa da SSD peningkatan nilai transaminase hati lebih tinggi di bandingkan pada DD dan DBD. Pada penelitian Mohan dkk15 peningkatan kadar SGOT/SGPT terjadi karena gangguan fungsi hati yang bersifat sementara, terutama pada DBD dan SSD. Peningkatan transaminase hati terjadi akibat kerusakaan sel hati oleh invasi virus secara langsung atau merupakan respon imun sel pejamu.16,17,18 Nilai rerata angka leukosit pada hari ketiga dan keempat pada pasien SSD lebih rendah jika dibandingkan dengan DD maupun DBD dan ini bermakna secara statistik (p=0,007). Penelitian Tanner dkk19 pada 364 subjek didapatkan 78% pasien infeksi virus dengue mengalami leukopenia (<5.000/ul), demikian juga nilai rerata hematokrit pasien DSS lebih tinggi dibandingkan dengan pasien DD dan DBD pada hari keempat dan kelima dan secara statistik bermakna (p=0,049). Nilai hematokrit tertinggi terjadi hari keempat dan kelima, kemudian akan menurun. Penelitian Gonzales dkk8 pada pasien DBD didapatkan trombositopenia 100%, hemokonsentrasi 93,4%, leukopenia 71,3%, dan kenaikan transaminase hati 82,8%. Nilai rerata angka trombosit pasien SSD jauh lebih rendah dibandingkan dengan DD dan DBD (Gambar 3). Nilai trombosit <50.000/ul berhubungan dengan faktor prognostik.13 Pada penelitian Ayub dkk19 trombositopenia terdapat pada 79,49% kasus DD. Penggunaan cairan kristaloid merupakan terapi utama, baik pada DD, DBD maupun SSD. Pada SSD, cairan kristaloid digunakan pada 86,1% kasus, sedang plasma ekpander 56,1%. Cairan koloid digunakan pada resusitasi kedua pada SSD apabila dengan cairan kristaloid tidak membaik. Penelitian Bridget dkk20 menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada resusitasi awal antar cairan kristaloid (RL) dengan koloid (dextran 70 atau HES 6%), koloid lebih sering menyebabkan efek samping. Pada penelitian di Thailand, 30%-50% SSD mendapatkan cairan koloid.21 Penggunaan komponen darah (plasma, PRC dan trombosit) lebih sering pada SSD, 16,3% pasien mendapatkan tranfusi trombosit oleh karena terjadi perdarahan aktif disertai trombositopenia, 9,3% mendapatkan tranfusi PRC, sedangkan pada DBD 5,1% mendapatkan tranfusi trombosit dan 4,8% transfusi PRC. Penelitian di Thailand mendapatkan penggunaan komponen darah 5%-30% pada kasus
DBD.21 Antibiotik masih digunakan pada SSD dengan komplikasi sepsis, 39,5% SSD mendapatkan antibiotik oleh karena disertai sepsis. Angka kematian pasien SSD 6,9%, pada umumnya kematian disebabkan oleh disseminated intravascular coagulation (DIC) atau multiple organ difunction syndrome (MODS) akibat syok lama. Pada penelitian di India, angka kematian pasien SSD 9,3%, sedangkan di Philipina 2%.1 Pada umumnya angka kematian oleh karena syok tidak teratasi lebih dari satu jam, sehingga terjadi komplikasi lainnya.
Kesimpulan
Demam berdarah dengue merupakan masalah kesehatan masyarakat, oleh karena morbiditas dan mortalitas masih tinggi. Gejala klinis yang mencolok demam, muntah, mual, nyeri perut, epitaksis, dan melena. Pada pemeriksaan fisik ditemukan uji forniket positif, ruam konvalesen, hepatomegali, efusi pleura, asites. Sindrom syok dengue sebagian besar infeksi sekunder, sedangkan demam dengue infeksi primer. Gambaran laboratorium yang mencolok kenaikan transaminase hati, leukopenia, trombositopenia, dan hematokrit. Rerata angka leukosit dan trombosit lebih rendah pada SSD dibandingkan dengan DD atau DBD, sedangkan rerata hematokrit lebih tinggi pada SSD. Penggunaan cairan kristaloid merupakan terapi utama baik pada SSD maupun DBD. Survival rate pada DD dan DBD di Bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin 100% sedangkan SSD 96%.
Daftar Pustaka
1. World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic
fever and Dengue shock syndrome in the context of the
integrated management of childhood illness. Geneva 2005.
2. Sri Rezeki S. Hadinegoro. Seminar sehari pengelolaan
infeksi virus dengue. Jakarta, 1997.
3. Halstead SB. Global epidemiology of dengue: health
Background Dengue hemorrhagic fever (DHF) infection causeshepatocelullar impairment. In management of DHF, World HealthOrganization (WHO) recommends the crystalloids Ringer’s acetate(RA) or Ringer’s lactate (RL), which are similar in composition toplasma. Acetate in RA is not metabolized in the liver, hence notburdening the liver, whereas lactate in RL is metabolized mostly inthe liver, thus placing a burden on the liver.Objective To compare aminotransferase changes as markers ofhepatocellular impairment subsequent to the use of RA and RL inthe management of DHF with and without shock.Methods This study was a double-blind randomized controlledtrial on DHF patients aged 1-18 years in Cipto MangunkusumoHospital who had not received prior treatment with crystalloids orcolloids. Subjects were randomly assigned to receive either RA orRL intravenously. Aminotransferase levels were examined on thefirst, second and third weeks from the onset of fever.Results Ninety-two patients who fulfilled inclusion criteria wereenrolled in this study, consisting of those without and with shock.Mean transaminase levels of patients without shock in the RA andRL groups did not differ significantly. Mean transaminase levels ofpatients with shock in the RA group were lower than those in theRL group, but this difference was not significant statistically. Meanalteration of transaminase levels in patients with and without shockwere not significantly different.
Conclusion In DHF without shock, there is no significant differ-ence between aminotransferase level changes of patients receiv-ing RA and RL solutions. In DHF with shock, aminotransferaselevels of patients receiving RA tend to be lower than those receiv-ing RL, but this difference is insignificant [Paediatr Indones2005;45:81-86].