Asuhan Keperawatan Gagal Ginjal Kronik (CKD) A. Pengertian Berikut ini ada beberapa pengertian gagal ginjal kronik menurut beberapa literatur yang penulis gunakan, yaitu : Gagal ginjal kronik adalah penurunan semua fungsi yang bertahap diikuti penimbunan sisa metabolisme protein dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (Mary E. Doengoes, 2000). Gagal ginjal kronik adalah suatu proses penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya pada suatu derajat memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis dan transplantasi ginjal (Aru A. Sudoyo, 2006). Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan reversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan uremia (Suzanne C.Smeltzer, 2001). Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible, diikuti penimbunan sisa metabolisme protein dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit menyebabkan uremia. B. Patofisiologi Penyebab dari gagal ginjal kronik biasanya dipengaruhi oleh penyakit sistemik seperti diabetes melitus, glumerulonefritis, pielonefritis, hipertensi yang tidak dikontrol, obtruksi traktus urinarius, penyakit ginjal polikistik, infeksi dan agen toksik. fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya dieksresikan kedalam urine) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh, semakin banyak yang timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berarti dan akan membaik setelah dialisis. Banyak permasalahan yang muncul pada ginjal sebagai akibat dari penurunan glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan clearens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Perjalanan penyakitnya dapat dibagi menjadi tiga stadium, yaitu : - Stadium I (Penurunan cadangan ginjal). Fungsi ginjal antara 40 % - 75 %, pada stadiusm ini kreatinin serum dan kadar urea dalam darah (BUN)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Asuhan Keperawatan Gagal Ginjal Kronik (CKD)
A. PengertianBerikut ini ada beberapa pengertian gagal ginjal kronik menurut beberapa literatur yang penulis gunakan, yaitu :Gagal ginjal kronik adalah penurunan semua fungsi yang bertahap diikuti penimbunan sisa metabolisme protein dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (Mary E. Doengoes, 2000).
Gagal ginjal kronik adalah suatu proses penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya pada suatu derajat memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis dan transplantasi ginjal (Aru A. Sudoyo, 2006).
Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan reversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan uremia (Suzanne C.Smeltzer, 2001).Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible, diikuti penimbunan sisa metabolisme protein dan gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit menyebabkan uremia.
B. PatofisiologiPenyebab dari gagal ginjal kronik biasanya dipengaruhi oleh penyakit sistemik seperti diabetes melitus, glumerulonefritis, pielonefritis, hipertensi yang tidak dikontrol, obtruksi traktus urinarius, penyakit ginjal polikistik, infeksi dan agen toksik. fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya dieksresikan kedalam urine) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh, semakin banyak yang timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berarti dan akan membaik setelah dialisis. Banyak permasalahan yang muncul pada ginjal sebagai akibat dari penurunan glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan clearens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Perjalanan penyakitnya dapat dibagi menjadi tiga stadium, yaitu :- Stadium I (Penurunan cadangan ginjal).Fungsi ginjal antara 40 % - 75 %, pada stadiusm ini kreatinin serum dan kadar urea dalam darah (BUN) normal, pasien asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat terdeteksi dengan memberi kerja yang berat pda ginjal tersebut, seperti tes pemekatan urine yang lama atau dengan mengadakan tes Glomerolus Filtrasi Rate (GFR) yang teliti.
- Stadium II (Insufisiensi ginjal)Fungsi ginjal antara 20 – 50 %, pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat melebihi kadar normal. Timbul gejala – gejala nokturia (pengeluaran urine pada waktu malam hari yang menetap samapai sebanyak 700 ml, dan poliuria (peningkatan volume urine yang terus menerus). Poliuria pada gagal ginjal lebih besar pada penyakit terutama menyerang tubulus, meskipun
poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter/hari.- Stadium III (Uremi gagal ginjal).Fungsi ginjal kurang dari 10 %, pada stadium akhir sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur, taua hanya sekitar 200.000 nefron yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10 % dari keadaan normal, kreatinin sebesar 5 – 10 ml per menit atau kurang. Gejala – gejala yang timbul cukup parah anatara lain mual, muntah, nafsu makan berkurang, sesak nafas, pusing atau sakit kepala, air kemih berkurang, kurang tidur, kejang – kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Penderita akan mengalami oliguria (pengeluaran urine kurang dari 500 ml) karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula – mula menyerang tubulus ginjal.
Manifestasi klinis dari gagal ginjal kronik adalah pada sistem gastrointestinal yaitu anoreksia, nausea, vomitus, nafas bau amonia, stomatitis, parotitis, cegukan, gastritis erosif, ulkus peptik dan kolitis uremik. Sistem kardiovaskuler : hipertensi, myeri dada, dysritmia, udem, sesak nafas, bibir cyanosis. Sistem neuromuskuler : rasa pegal pada tungkai bawah, rasa semutan dan seperti terbakar terutama pada telapak kaki, gangguan tidur, tremor, kejang – kejang. Sistem endokrin : gangguan seksual seperti libido, fertilitas, dan ereksi menurun, amenorea, gagguan toleransi glukosa, gangguan metabolisme lemak dan Vit. D. Sistem hematologik : anemia, gangguan trombosit, gagguan fungsi leukosit. Sistem pernafasan : dsypneu, kusmaul. Komplikasi yang sering terjadi pada klien dengan gagal ginjal kronis adalah hiperkalemia, hipertensi, anemis, asidosis metabolik, malnutrisi, uremia, gagal jantung dan penyakit tulang.
C. PenatalaksanaanUntuk mendukung pemulihan dan kesembuhan pada klien yang mengalami
CKD maka penatalaksanaan pada klien CKD terdiri dari penatalaksanan medis/farmakologi, penatalaksanan keperawatan dan penatalaksanaan diet. Dimana tujuan penatalaksaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin.
Penatalaksanaan medisa. Cairan yang diperbolehkan adalah 500
samapai 600 ml untuk 24 jam atau dengan menjumlahkan urine yang keluar dalam 24 jam ditamnbah dengan IWL 500ml, maka air yang masuk harus sesuai dengan penjumlahan tersebut.
b. Pemberian vitamin untuk klien penting karena diet rendah protein tidak cukup memberikan komplemen vitamin yang diperlukan.
c. Hiperfosfatemia dan hipokalemia ditangani dengan antasida mengandung alumunium atau kalsium karbonat, keduanya harus diberikan dengan makanan.
d. Hipertensi ditangani dengan berbagai medikasi antihipertensif dan control volume intravaskuler.
e. Asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik biasanya tampa gejala dan tidak memerlukan penanganan, namun demikian suplemen makanan karbonat atau dialisis mungkin diperlukan untuk mengoreksi asidosis metabolic jika kondisi ini memerlukan gejala.
f. Hiperkalemia biasanya dicegah dengan penanganan dialisis yang adekuat disertai pengambilan kalium dan pemantauan yang cermat terhadap kandungan kalium pada seluruh medikasi oral maupun intravena. Pasien harus diet rendah kalium kadang – kadang kayexelate sesuai kebutuhan.
g. Anemia pada gagal ginjal kronis ditangani dengan epogen (eritropoetin manusia rekombinan). Epogen diberikan secara intravena atau subkutan tiga kali seminggu.
h. Dialisis.i. Transplantasi ginjal.
2. Penatalaksanaan Keperawatana. Hitung intake dan output yaitu cairan : 500
cc ditambah urine dan hilangnya cairan dengan cara lain (kasat mata) dalam waktu 24 jam sebelumnya.
b. Elektrolit yang perlu diperhatikan yaitu natrium dan kalium. Natrium dapat diberikan sampai 500 mg dalam waktu 24 jam.
3. Penatalaksanaan Dieta. Kalori harus cukup : 2000 – 3000 kalori
dalam waktu 24 jam.b. Karbohidrat minimal 200 gr/hari untuk
mencegah terjadinya katabolisme proteinc. Lemak diberikan bebas.d. Diet uremia dengan memberikan vitamin :
tiamin, riboflavin, niasin dan asam folat.e. Diet rendah protein karena urea, asam urat
dan asam organik, hasil pemecahan makanan dan protein jaringan akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat gagguan pada klirens ginjal. Protein yang diberikan harus yang bernilai biologis tinggi seperti telur, daging sebanyak 0,3 – 0,5 mg/kg/hari.
D. PengkajianUntuk mengetahui permasalahan yang ada pada klien dengan CKD perlu dilakukan pengkajian yang lebih menyeluruh dan mendalam dari berbagai aspek yang ada sehingga dapat ditemukan masalah-masalah yang ada pada klien dengan CKD.Pengkajian pada klien CKD menurut Suzanne C. Smeltzer, Doenges (1999) dan Susan Martin Tucker (1998).
1. Sistem KardiovakulerTanda dan gejala : Hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, sacrum). Edema periorbital, fiction rub pericardial, dan pembesaran vena jugularis, gagal jantung, perikardtis takikardia dan disritmia.
2. Sistem IntegumentTanda dan gejala : Warna kulit abu – abu mengkilat, kulit kering bersisik, pruritus, echimosis, kulit tipis dan rapuh, rambut tipis
dan kasar, turgor kulit buruk, dan gatal – gatal pada kulit.
4. Sistem GastrointestinalTanda dan gejala : Nafas berbau amoniak, ulserasi dan perdarahan pada mulut,anoreksia, mual, muntah, konstipasi dan diare, perdarahan dari saluran gastrointestinal, sto,atitis dan pankreatitis.
5. Sistem NeurologiTanda dan gejala : Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, penurunan konsentrasi, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, dan perubahan perilaku, malaise serta penurunan kesadaran.
6. Sistem MuskuloskletalTanda dan gejala : Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop, osteosklerosis, dan osteomalasia.
7. Sisem UrinariaTanda dan gejala : Oliguria, hiperkalemia, distropi renl, hematuria, proteinuria, anuria, abdomen kembung, hipokalsemia, hiperfosfatemia, dan asidosis metabolik.
8. Sistem ReproduktifTanda dan gejala : Amenore, atropi testikuler, penurunan libido, infertilitas.
9. Penyuluhan dan pembelajaranGejala : Riwayat keluarga DM (resiko tinggi untuk gagal ginjal), penyakit polikistik, nefritis herediter, kalkulus urinaria, malignasi, riwayat terpajan pada toksin, contoh obat, racun lingkungan, penggunaan antibiotic nefrotoksik saat ini/berulang.
Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien CKD untuk mengetahui penyebab dan daerah yang terkena menurut Doenges (1999), Suzanne C. Smeltzer (2001) adalah sebagai berikut :
1. Urine : Volume kurang dari 40 ml / 24 jam ( oliguria ), warna keruh, berat jenis kurang dari 1.015, osmolalitas kurang dari 350 m.osn/kg, klirens kreatinin agak menurun kurang 10 ml / menit, natrium lebih dari 40 mEq/L, proteinuria.
2. Darah : BUN/kreatinin meningkat lebih dari 10 mg/dl, Ht menurun, Hb kurang dari 7 – 8 gr/dl, SDM waktu hidup menurun, AGD (pH menurun dan terjadi asidosis metabolic (kurang dari 7.2), natrium serum rendah, kalium meningkat 6,5 mEq atau lebih besar, magnesium/fosfat meningkat, kalsium menurun, protein khususnya albumin menurun.
3. Osmolalitas serum : Lebih besar dari 285 nOsm/kg, sering sama dengan urine.
4. KUB Foto : Menunjukkan ukuran finjal/ureter/kandung kemih dan adanya obstruksi (batu).
5. Elektrokardiografi (ECG) : Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda – tanda perikarditis, aritmia dan gangguan elektrolit (hiperkalemia dan hipokalsemia).
6. Ultrasonografi (USG) : Menilai bentuk dan besar ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan paremkim ginjal, ureter proximal, kandung kemih serta prostat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari adanya faktor yang reversibel, juga menilai apakah proses sudah lanjut.
7. Foto polos abdomen : Sebaiknya tampa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi ginjal, menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain.
8. Pielografi Intravena (PIV) : Pada PIV, untuk CKD tak bermanfaat lagi olah karena ginjal tidak dapat mengeluarkan kontras, saat ini sudah jarang dilakukan.
9. Pemeriksaan Pielografi Retrograd : Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel.
10. Pemeriksaan Foto Dada : Dapat terlihat tanda – tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikardial.
11. Pemerikasaan Kardiologi tulang : Mencari osteoditrofi (terutama tulang atau jari) dan klasifikasi metastatik.
Diagnosa KeperawatanBerdasarkan data pengkajian yang telah didapat atau terkaji, kemudian data dikumpulkan maka dilanjutkan dengan analisa data untuk menentukan diagnosa keperawatan yang ada pada klien dengan CKD. Menurut Doenges (1999), Lynda Juall (1999), dan Suzanne C. Smeltzer (2001) diagnosa keperawatan pada klien CKD adalah sebagai berikut :1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal.2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang atau pembatasan nutrisi.3. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan volume cairan.4. Perubahan proses pikir berhubungan dengan akumulasi toksin.5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status metabolisme.6. Resiko tinggi terhadap cidera berhubungan dengan penekanan produksi/sekresi eritropoetin.7. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan keletihan, anemia, penurunan fungsi ginjal.8. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan tidak mengenal sumber informasi.
Perencanaan KeperawatanSetelah diagnosa keperawatan pada klien dengan CKD ditemukan, maka dilanjutkan
dengan menyusun perencanaan untuk masing-masing diagnosa yang meliputi prioritas diagnosa keperawatan, penetapan tujuan dan kriteria evaluasi sebagai berikut :1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal.Tujuan : Mempertahankan berat tubuh ideal tampa kelebihan cairan.Kriteria Evaluasi :
a) Haluaran urine tepat dengan berat jenis/hasil lab mendekati normal.
b) BB stabil.c) TTV dalam batas normal.d) Tidak ada edema.
Intervensi :a) Awasi denyut jantung TD dan CVP.b) Catat pemasukan dan pengeluaran akurat..c) Awasi berat jenis urine.d) Timbang BB tiap hari dengan alat ukur dan
pakaian yang sama.e) Batasi pemasukan cairan.f) Kaji kulit, area tergantung edema, evaluasi
derajat edema.g) Kaji tingkat kesadaran, selidiki perubahan
mental, adanya gelisah.h) Kolaborasi pemeriksaan laboratorium :
Kreatinin, ureum HB/Ht, kalium dan natrium serum.
i) Kolaborasi foto dada, berikan/batasi cairan sesuai indikasi.
j) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi : Diuretik, anti hipertensif
k) Kolaborasi untuk dialisis sesuai indikasi.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan pembatasan nutrisi.Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat.Kriteria Evaluasi :
a) Mempertahankan/meningkatkan berat badan seperti yang diindikasikan oleh situasi individu.
b) Bebas edema.Intervensi :
a) Kaji/catat pemasukan diet.b) Beri makan sedikit tapi sering.
c) Berikan pasien daftar makanan tatau cairan yang diizinkan dan dorong terlibat pada pemilihan menu.
d) Timbang BB tiap hari.e) Kolaborasi pemeriksaan lab BUN, albumin
serum, transferin, natrium, kalium.f) Kolaborasi dengan ahli gizi, berikan kalori
tinggi rendah protein.g) Batasi kalsium, natrium dan pemasukan
fosfat sesuai indikasi.h) Berikan obat sesuai indikasi, seperti zat
besi, kalsium, Vit D, Vit B Komplek, anti emetik.
3. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan volume cairan.Tujuan : Curah jantung adekuat.Kriteria evaluasi :
a) TD dan frekuensi dalam batas normal.b) Nadi perifer kuat dan waktu pengisian
kapiler vaskuler.c) Dispneu tidak ada.
Intervensi :a) Auskultasi bunyi jantung dan paru, evaluasi
adanya edema perifer/kongesti vaskuler dan keluhan dyspneu.
b) Kaji adanya/derajat hipertensi : awasi TD, perhatikan perubahan posturat.
c) Selidiki keluhan nyeri dada, beratnya (skala 1- 10) dan apakah tidak mantap dengan inspirasi dalam posisi terlentang.
d) Evaluasi bunyi jantung, TD, nadi perifer, pengisian kapiler, kongesti kapiler, suhu dan sensori atau mental.
e) Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas.
observasi terhadap ekimosis, purpura.c) Pantau masukan cairan dan hidrasi kuli dan
membran mukosa.d) Inspeksi area tergantung terhadap edema.e) Ubah posisi sering, gerakan pasiaen
dengan berlahan, beri bantalan pada tonjolan tulang dengan kulit domba, pelindung siku tumit.
f) Berikan perawatan kulit.g) Barikan salap atau krim(analin, aquaphor).h) Pertahanan linen kering dan bebas keriput.i) Selidiki keluhan gatal.j) Anjurkan pasienm menggunakan kompres
lembab dan dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritus, pertahankan kuku pendek.
k) Anjurkan menggunakan pakaian katun dan longgar
6. Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan penekanan produksi atau sekresi eritropoetin.
Tujuan : Cedera tidak terjadi.Kriteria Evaluasi :a) Tidak mengalami tanda atau gejala
perdarahan.b) Mempertahankan atau menunjukkan
perbaikan nilai laboratorium.Intervensi :a) Perhatikan keluhan peningkatan kelelahan,
kelemahan.b) Observasi takikardia, kulit atau membrane
mukosa pucat, dispneu dan nyeri dada.c) Awasi tingkat kesadaran klien.d) Evaluasi respon terhadap aktivitas,
kemampuan untuk melakukan tugas.e) Batasi contoh vaskuler, kombinasikan tes
laboratorium bila mungkin.f) Observasi perdarahan terus menerus dari
tempat penusukan, perdarahan area ekimosis karena trauma kecil, ptechie, pembengkakan sendi atau membran mukosa.
g) Hematemesis sekresi Gastrointestinal atau darah feses.
h) Berikan sikat gigi halus, pencukur elektrik, gunakan jarum kecil bila mungkin dan lakukan penekanan lebih lama setelah penyuntikan atau penusukan vaskuler.
A. PendahuluanFungsi ginjal adalah ikut mengatur agar volume dan kadar bahan dalam cairan ektraseluler tetap dalam batas normal. Hal ini dicapai dengan cara:1
1. Mengatur pengeluaran sisa metabolisme den mempertahankan bahan yang berguna
2. Mengatur keseimbangan cairan, eletrolit, dan asam basa tubuh. Disamping itu ginjal juga berperan dalam pengaturan tekanan darah, eritropoiesis, metabolisme vitamin D dan beberapa fungsi endokrin yan lain.
Pada penyakit ginjal kronik, terjadi kerusakan pada jaringan ginjal sehingga lama kelamaan fungsi diatas mulai terganggu. Penyakit ginjal kronik secara garis besar adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fugsi ginjal yang progresif, danpada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.1
Anemia sering terjadi pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis. 80-
90% pasien penyakit ginjal kronik mengalami anemia. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin. World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan komsentrasi hemoglobin < 13,0 gr/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause dan < 12,0 gr/dl pada wanita lainnya. The European Best Practice Guidelines untuk penatalaksanaan anemia pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik mengatakan bahwa batas bawah hemoglobin normal adalah 11,5 gr/dl pada wanita dan 13,5 gr/dl pada laki-laki ≤ 70 tahun dan 12,0 gr/dl pada laki-laki > 70 tahun. The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative(K/DOQI) merekomendasikan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik jika kadar hemoglobin < 11,0 gr/dl (hematocrit < 33%) pada wanita premonopause dan pasien prepubertas, dan <12,0 gr/dl (hematocrit < 37%) pada laki-laki dewasa dan wanita postmeopause. Sedangkan menurut Pernefri 2011, dikatan anemia pada penyakit ginjal jika Hb ≤ 10 gr/dl dan Ht ≤ 30%.1,2
Klinisi harus memikirkan keadaan anemia jika tingkat Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) pasien menurun ke 60 ml/menit/1,73 m2 atau lebih rendah. Saat LGF mengalami penurunan tigkat sedang seperti ini, akan labih timbul komplikasi seperti hiperfosfatemia, hipokalsemia, hiperparatiroid, hipertensi, hiperhomosistinemia, dan termasuk juga anemia.2
B. EtiologiAnemia pada penyakit ginjal kronik adalah jenis anemia normositik
normokrom, yang khas selalu terjadi pada sindrom uremia. Bisanya hematokrit menurun hingga 20-30% sesuai derajat azotemia. Komplikasi ini biasa ditemukan pada penyakit ginjal kronik stadium 4, tapi kadang juga ditemukan sejak awal stadium 3. Lebih jelasnya perhatikan Gambar 1 dan Tabel 2. 1,3
Tabel 2. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik1
Derajat
Penjelasan
LFG (ml/mnt)
Komplikasi
1 Kerusakan ginjal dengan LGF normal
≥90 -
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LGF ringan
60-89 Tekanan darah mulai naik
3 Penurunan LGF sedang
30-59 Hiperfosfatemia
Hipokalsemia Anemia Hiperparatiroi
d Hipertensi Hiperhomosist
inemia4 Penuru
nan LGF berat
15-29 Malnutrisi Asidosis
metabolik Cenderung
hiperkalemia Dislipidemia
5 Gagal ginjal
<15 Gagal jantung Uremia
Penyebab utama anemia pada pasien dengan penyakit ginjal kronik adalah kurangnya produksi eritropoietin (EPO) karena penyakit ginjalnya. Faktor tambahan termasuk kekurangan zat besi, peradangan akut dan kronik dengan gangguan penggunaan zat besi (anemia penyakit kronik), hiperparatiroid berat dengan konsekuensi fibrosis sumsum tulang, pendeknya masa hidup eritrosit akibat kondisi uremia. Selain itu kondisi komorbiditas seperti hemoglobinopati dapat memperburuk anemia. Untuk lebih lengkapnya, perhatikan Tabel 3.1,3,4
Tabel 3. Etiologi Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik3
Etiologi Penjabaran etiologiPenyebab utama
Defisiensi relatif dari eritropoietin
Penyebab tambahan
Kekurangan zat besi Inflamasi akut dan
kronik Pendeknya masa hidup
eritrosit Bleeding diathesis Hiperparatiroidisme/
fibrosis sumsum tulangKondisi komorbiditas
Hemoglobinopati, hipotiroid, hipertiroid, kehamilan, penyakit HIV, penyakit autoimun, obat imunosupresif
C. Patofisiologi
Pandangan UmumKetika terjadi gangguan pada
glomerulus maka fungsi ginjal pun
terganggu, termasuk fungsi
endokrinnya (Gambar 4). Anemia pada
penyakit ginjal kronik dikaitkan
dengan konsekuensi patofisiologik
yang merugikan, termasuk
berkurangnya transfer oksigen ke
jaringan dan penggunaannya,
peningkatan curah jantung, dilatasi
ventrikel, dan hipertrofi ventrikel.3
Hemolisis sedang yang
disebabkan hanya karena gagal ginjal
tanpa faktor lain yang memperberat
seharusnya tidak menyebabkan
anemia jika respon eritropoesis
mencukupi tetapi proses eritropoesis
pada gagal ginjal terganggu. Alasan
yang paling utama dari fenomena ini
adalah penurunan produksi
eritropoetin pada pasien dengan
penyakit ginjal yang berat. Defisiensi
eritropoetin merupakan penyebab
utama anemia pada pasien-pasien
penyakit ginjal kronik. Para peneliti
mengatakan bahwa sel-sel peritubular
yang menghasilkan eritropoetin rusak
sebagian atau seluruhnya seiring
dengan progresivitas penyakit
ginjalnya. Selanjutnya pada penelitian
terdahulu menggunakan teknik bio-
assay menunjukkan bahwa dalam
perbandingan dengan pasien anemia
tanpa penyakit ginjal, pasien anemia
dengan penyakit ginjal menunjukkan
peningkatan konsentrasi serum
eritropoetin yang tidak adekuat.
Inflamasi kronik, menurunkan
produksi sel darah merah dengan efek
tambahan terjadi defisiensi
erotropoetin. Proses inflamasi seperti
glomerulonefritis, penyakit
reumatologi, dan pielonefritis kronik,
yang biasanya merupakan akibat pada
gagal ginjal terminal, pasien dialisis
terancam inflamasi yang timbul akibat
efek imunosupresif. Defisiensi
eritropoetin relatif pada penyakit
ginjal kronik dapat berespon terhadap
penurunan fungsi glomerulus. Satu
studi mengatakan bahwa untuk
mempertahankan kemampuan untuk
meningkatkan kadar eritropoetin
dengan cara tinggal pada daerah yang
tinggi. Selain itu, telah terbukti juga
bahwa racun uremik juga dapat
menginaktifkan eritopoietin atau
menekan respon sumsum
tulangterhadap eritropoietin.2,5
Dalam hal pengurangan jumlah
eritropoetin, penghambatan respon
sel prekursor eritrosit terhadap
eritropoetin dianggap sebagai
penyebab dari eritropoesis yang tidak
adekuat pada pasien uremia. Terdapat
toksin-toksin uremia yang menekan
proses ertropoesis yang dapat dilihat
pada proses hematologi pada pasien
dengan gagal ginjal terminal setelah
terapi reguler dialisis. Ht biasanya
meningkat dan produksi sel darah
merah yang diukur dengan kadar Fe
yang meningkat pada eritrosit, karena
penurunan kadar eritropetin serum.
Substansi yang menghambat
eritropoesis ini antara lain poliamin,
spermin, spermidin, dan PTH.
Spermin dan spermidin yang kadar
serumnya meningkat pada gagal ginjal
kronik yang tidak hanya memberi efek
penghambatan pada eritropoesis
tetapi juga menghambat
granulopoesis dan trombopoesis.
Karena ketidakspesifikkan,
leukopenia, dan trombositopenia
bukan merupakan karakteristik dari
uremia, telah disimpulkan bahwa
spermin dan spermidin tidak memiliki
fungsi yang signifikan pada
patogenesis dari anemia pada
penyakit ginjal kronik. Kadar PTH
meningkat pada uremia karena
hiperparatiroidsm sekunder, tetapi hal
ini masih kontroversi jika dikatakan
bahwa PTH memberikan efek
penghambatan pada eritropoesis.
Walaupun menurut penelitian,
dilaporkan paratiroidektomi
menyebabkan peningkatan dari kadar
Hb pada pasien uremia, peneliti lain
mengatakan tidak ada hubungan
antara kadar PTH dengan derajat
anemia pada pasien uremia. Walaupun
efek langsung penghambatan PTH
pada eritropoesis belum dibuktikan
secara final, akibat yang lain dari
peningkatan PTH seperti fibrosis
sumsum tulang dan penurunan masa
hidup eritrosit ikut bertanggung jawab
dalam hubungan antara
hiperparatiroid dan anemia pada
gagal ginjal.6
Pasien-pasien dengan penyakit
ginjal kronis memiliki risiko
kehilangan darah oleh karena
terjadinya disfungsi platelet.
Penyebab utama kehilangan darah
pada pasien-pasien ini adalah dari
hemodialisis. Pada suatu penelitian,
dibuktikan pasien-pasien hemodialisis
dapat kehilangan darah rata-rata 4,6
L/tahun. Kehilangan darah melalui
saluran cerna, sering diambil untuk
pemeriksaan laboratorium dan
defisiensi asam folat juga dapat
menyebabkan anemia. Kekurangan
asam folat bisa bersamaan dengan
uremia, dan bila pasien mendapatkan
terapi hemodialisis, maka vitamin
yang larut dalam air akan hilang
melalui membran dialisis.
Kecendrungan terjadi perdarahan
pada uremia agaknya disebabkan oleh
gangguan kualitatif trombosit dan
dengan demikian menyebabkan
gangguan adhesi.5,6
Kekurangan zat besi dapat
disebabkan karena kehilangan darah
dan absorbsi saluran cerna yang
buruk (antasida yang diberikan pada
hiperfosfatemia juga mengikat besi
dalam usus). Selain itu, proses
hemodialisis dapat menyebabkan
kehilangan 3 -5 gr besi per tahun.
Normalnya, kita kehilangan besi 1-2
mg per hari (Gambar 3), sehingga
kehilangan besi pada pasien-pasien
dialisis 10-20 kali lebih banyak.5,6
Homeostasis besi tampaknya
terganggu pada penyakit ginjal kronik.
Untuk alasan yang masih belum
diketahui (kemungkinan karena
malnutrisi), kadar transferin pada
penyakit ginjal kronik setengah atau
sepertiga dari kadar normal,
menghilangkan kapasitas sistem
transport besi. Situasi ini yang
kemudian mengganggu kemampuan
untuk mengeluarkan cadangan besi
dari makrofag dan hepatosit pada
penyakit ginjal kronik.6
Masa hidup eritrosit pada pasien
gagal ginjal hanya sekitar separuh
dari masa hidup eritrosit normal.
Peningkatan hemolisis eritrosit ini
tampaknya disebabkan oleh kelainan
lingkungan kimia plasma dan bukan
karena cacat pada sel darah itu
sendiri. Hemolisis pada gagal ginjal
terminal adalah derajat sedang. Pada
pasien hemodialisis kronik, masa
hidup eritrosit diukur menggunakan
51Cr menunjukkan variasi dari sel
darah merah normal yang hidup tetapi
rata-rata waktu hidup berkurang 25-
30%.
Penyebab hemolisis terjadi di
ekstraseluler karena sel darah merah
normal yang ditransfusikan kepada
pasien uremia memiliki waktu hidup
yang memendek, ketika sel darah
merah dari pasien dengan gagal ginjal
ditransfusikan kepada resipien yang
sehat memiliki waktu hidup yang
normal. Efek faktor yang terkandung
pada uremic plasma pada Na-ATPase
membran dan enzim dari Pentosa
phospat shunt pada eritrosit
diperkirakan merupakan mekanisme
yang menyebabkan terjadinya
hemolisis. Kelainan fungsi dari
Pentosa phospat shunt mengurangi
ketersediaan dari glutation reduktase,
dan oleh karena itu mengartikan
kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb
dengan proses hemolisisis. Kerusakan
ini menjadi semakin parah apabila
oksidan dari luar masuk melalui
dialisat atau sebagai obat-obatan.
Peningkatan kadar hormon PTH pada
darah akibat sekunder
hiperparatioidsm juga menyebabkan
penurunan sel darah merah yang
hidup pada uremia, sejak PTH yang
utuh atau normal terminal fragmen
meningkatkan kerapuhan osmotik dari
SDM manusia secara in vitro,
kemungkinan oleh karena
peningkatan kerapuhan seluler.
Hyperparatiroidism dapat menekan
produksi sel darah merah melalui 2
mekanisme.yang pertama, efek
langsung penekanan sumsum tulang
akibat peningkatan kadar PTH, telah
banyak dibuktikan melalui percobaan
pada hewan. Yang kedua, efek
langsung pada osteitis fibrosa, yang
mengurangi respon sumsum tulang
terhadap eritropoetin asing. Terdapat
laporan penelitian yang menyatakan
adanya peningkatan Hb setelah
dilakukan paratiroidektomi pada
pasien dengan uremia.2,6
Mekanisme lainnya yang
menyebabkan peningkatan rigiditas
eritrosit yang mengakibatkan
hemolisis pada gagal ginjal adalah
penurunan fosfat intraseluler
(hipofosfatemia) akibat pengobatan
yang berlebihan dengan pengikat
fosfat oral, dengan
penurunan intracellular adenine
nucleotides dan2,3-
diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis
dapat timbul akibat kompliksai dari
prosedur dialisis atau dari interinsik
imunologi dan kelainan eritrosit.
Kemurnian air yang digunakan untuk
menyiapkan dialisat dan kesalahan
teknik selama proses rekonstitusi
dapat menurunkan jumlah sel darah
merah yang hidup, bahkan terjadi
hemolisis. Filter karbon bebas
kloramin yang tidak adekuat akibat
saturasi filter dan ukuran filter yang
tidak mencukupi, dapat
mengakibatkan denaturasi
hemoglobin, penghambatan hexose
monophosphate shunt, dan hemolisis
kronik. Lisisnya sel juga dapat
disebabkan tercemarnya dialisat oleh
copper, nitrat, atau formaldehide.
Autoimun dan kelainan biokomia
dapat menyebabkan pemendekan
waktu hidup eritrosit. Hipersplenisme
merupakan gejala sisa akibat
transfusi, yang distimulasi oleh
pembentukan antibodi, fibrosis
sumsum tulang, penyakit reumatologi,
penyakit hati kronis dapat mengurangi
sel darah merah yang hidup sebanyak
75% pada pasien dengan gagal ginjal
terminal. Ada beberapa mekanisme
lainnya yang jarang , yang dapat
menyebabkan hemolisis seperti
kelebihan besi pada darah, Zn, dan
formaldehid, atau karena pemanasan
berlebih. Perburukan hemolisis pada
gagal ginjal juga dapat disebabkan
karena proses patologik lainnya
seperti splenomegali atau
mikroangiopati yang berhubungan
dengan periarteritis nodosa, SLE, dan
hipertensi maligna.2,6
Penyebab lain yang
mempengaruhi eritropoiesis pada
pasien dengan gagal ginjal terminal
dengan reguler hemodialisis adalah
intoksikasi aluminium akibat terpapar
oleh konsentrasi tinggi dialisat
alumunium dan atau asupan pengikat
fosfat yang mengandung aluminium.
Aluminium menyebabkan anemia
mikrositik yang kadar feritin
serumnya meningkat atau normal
pada pasien hemodialisis,
menandakan anemia pada pasien
tersebut kemungkinan diperparah
oleh intoksikasi alumnium.
Patogenesisnya belum sepenuhnya
dimengerti tetapi terdapat bukti yang
kuat yang menyatakan bahwa efek
toksik aluminium pada eritropoesis
menyebabkan hambatan sintesis dan
ferrochelation hemoglobine.
Akumulasi aluminium dapat
mempengaruhi eritropoesis melalui
penghambatan metabolisme besi
normal dengan mengikat transferin,
melalui terganggunya sintesis porfirin,
melalui terganggunya sirkulasi besi
antara prekursor sel darah merah
pada sumsum tulang.2,6
InflamasiAnemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum yang rendah, saturasi transferin yang rendah dan
gangguan pengeluaran cadangan besi yang bermanifestasi dengan tingginya serum feritin. Peningkatan jumlah sitokin-sitokin inflamasi di sirkulasi seperti interleukin 6 berhubungan dengan respon yang buruk terhadap pemberian eritropoetin pada pasien-pasien gagal ginjal terminal.7
Feritin pada Penyakit ginjal kronik1. Struktur dan Fungsi Feritin
Feritin merupakan protein cadangan
besi utama yang dijumpai pada
jaringan tubuh manusia. Feritin terdiri
dari 24 subunit dengan 2 tipe yaitu di
hati (L) dan jantung (H), dengan berat
molekul 19 dan 21 kDa. Subunit H
memiliki peranan yang penting dalam
mendetoksifikasi besi secara cepat
oleh karena aktivitas feroksidasenya,
dimana oksidasi besi menjadi bentuk
Fe(III). Sedangkan subunit L
memfasilitasi nukleasi besi,
mineralisasi dan cadangan besi jangka
panjang.7
Feritin merupakan tempat
penyimpanan zat besi terbesar dalam
tubuh. Fungsi feritin adalah sebagai
penyimpanan zat besi terutama di
dalam hati, limpa dan sumsum tulang.
Zat besi yang berlebihan akan
disimpan dan bila diperlukan dapat
dimobilisasi kembali. Hati merupakan
tempat penyimpanan feritin terbesar
di dalam tubuh dan berperan dalam
mobilisasi feritin serum. Pada
penyakit hati akut maupun kronik
kadar feritin serum meningkat, hal ini
disebabkan pengambilan feritin dalam
sel hati terganggu dan terdapat
pelepasan feritin dari sel hati yang
rusak. Pada penyakit keganasan sel
darah merah, kadar feritin serum
meningkat disebabkan meningkatnya
sintesis feritin oleh sel leukemia. Pada
keadaan infeksi dan inflamasi terjadi
gangguan pelepasan zat besi dari sel
retikuloendotelial dan disekresikan ke
dalam plasma. Sintesis feritin
dipengaruhi oleh konsentrasi
cadangan besi intrasel dan berkaitan
pula dengan cadangan zat besi
intrasel (hemosiderin).7,8
2. Ferritin pada keadaan inflamasiKadar C-Reactive Protein (CRP) akan
meningkat cepat pada infeksi, disebut
respon fase akut. Peningkatan CRP
berhubungan dengan peningkatan
konsentrasi interleukin-6 (IL-6) di
dalam plasma yang sebagian besar
diproduksi oleh makrofag. Makrofag
merupakan sel imun yang berperan
langsung dengan kadar besi dalam
tubuh manusia. Makrofag
membutuhkan zat besi untuk
memproduksi highly toxic hydroxyl
radical, juga merupakan tempat
penyimpanan besi yang utama pada
saat terjadi proses inflamasi. Sitokin,
radikal bebas, serta protein fase akut
yang dihasilkan oleh hati akan
mempengaruhi homeostasis besi oleh
makrofag dengan cara mengatur
ambilan dan keluaran besi sehingga
akan memicu peningkatan retensi besi
dalam makrofag pada saat terjadi
inflamasi. Besi juga mengatur
aktivitas sitokin, proliferasi, dan
aktivitas limfosit sehingga diferensiasi
dan aktivasi makrofag akan
terpengaruh. 8,9
Protein fase akut memegang
peran dalam proses inflamasi yang
kompleks. Konsentrasi protein fase
akut meningkat secara signifikan
selama proses inflamasi akut karena
tindakan pembedahan, infark miokard,
infeksi, dan tumor. Peningkatan
disebabkan oleh sintesis di hati,
namun tidak dapat digunakan untuk
menentukan penyebab inflamasi.
Pengukuran protein fase akut dapat
digunakan untuk mengamati
progresivitas dari inflamasi serta
melihat respon terapi dengan melihat
nilai protein fase akut saat mulai
meningkat dan kadar yang tertinggi.
Kadar feritin serum tidak dapat
menggambarkan indeks cadangan
besi dalam tubuh pada saat terjadi
kerusakan sel tubuh. Feritin
diproduksi oleh sistem reticulo
endotelial, yang berperan penting
dalam proses metabolisme zat besi
saat pembentukan hemoglobin dari sel
darah merah senescent. Proses
inflamasi dan infeksi akut akan
memicu blokade pelepasan zat besi
sehingga akan menurunkan kadar zat
besi serum.9
3. Hiperferitinemia Pada Penyakit Ginjal KronikKadar feritin serum tinggi yang
ekstrim, >2000 ng/ml, biasanya
menandakan adanya kelebihan besi
yang juga dikenal dengan
hemosiderosis. Kebanyakan laporan
kasus mengenai kelebihan besi
dijumpai pada masa belum
digunakannya ESA, ketika transfusi
darah lebih sering digunakan dalam
mengatasi anemia.9
Peningkatan serum feritin
selama inflamasi, infeksi, penyakit hati
dan kondisi-kondisi lain yang tidak
berhubungan dengan besi dapat
menghalangi kemampuan dalam
menilai status besi pada pasien GGK
yang berada dalam kondisi-kondisi
tersebut. Feritin serum merupakan
penanda adanya malignansi, seperti
pada neuroblastoma, renal cell
carcinoma dan limfoma Hodgkin.
Hiperferitinemia juga berhubungan
dengan disfungsi hati. Inflamasi
kronik sering terjadi pada pasien-
pasien dengan penyakit ginjal kronik
dan lebih dari 40-70% pasien dengan
penyakit ginjal kronik dapat
mengalami peningkatan kadar CRP.
Sehingga, inflamasi kemungkinan
keadaan yang sering terjadi pada
hiperferitinemia pada penyakit ginjal
kronik.9,10
4. Inflamasi Dan Anemia Pada Penyakit ginjal kronikInflamasi dan respon fase akut
berkaitan dengan sistem
hematopoetik. Selama periode awal
respon fase akut, konsentrasi
hemoglobin selalu menurun secara
drastis. Hal ini disebabkan oleh
pengrusakan eritrosit yang meningkat
oleh makrofag retikuloendotelial
inflamasi yang teraktivasi yang
membersihkan sirkulasi dari eritrosit
yang dilapisi dengan imunoglobulin
atau kompleks imun. Pada pasien-
pasien dengan fungsi ginjal yang
normal, penurunan hemoglobin yang
tiba-tiba merangsang sekresi
eritropoetin selama 4-10 hari.
Ternyata, sekresi eritropoetin yang
meningkat ini dihambat oleh sitokin-
sitokin proinflamasi pada pasien-
pasien yang mengalami respon fase
akut.10
Faktor pertumbuhan seperti
eritropoetin dan beberapa sitokin
penting untuk pertumbuhan dan
diferensiasi progenitor eritrosit pada
sumsum tulang. Pada konsentrasi
rendah, sitokin-sitokin proinflamasi
TNF-α dan IL-1 menstimulasi
pertumbuhan awal progenitor. Efek
inflamasi yang mensupresi
eritropoesis terutama disebabkan oleh
peningkatan aktivitas sitokin-sitokin
proinflamasi pada sel-sel prekursor
pada berbagai tingkatan eritropoesis.
Dikatakan bahwa efek inhibisi pada
prekursor eritroid ini terutama
disebabkan oleh perubahan
sensitivitas terhadap eritropoetin.
Efek inhibisi TNF-α dan IL-1 pada
eritropoesis dapat diatasi dengan
pemberian dosis tinggi ESA. Pada
pasien-pasien dengan gagal ginjal
terminal, resistensi ESA berhubungan
dengan respon inflamasi seperti pada
pasien dengan peningkatan CRP atau
fibrinogen kurang respon terhadap
ESA. Gunell dkk melaporkan bahwa
albumin serum yang rendah dan kadar
CRP yang meningkat juga
memprediksi resistensi terhadap ESA
pada pasien-pasien hemodialisis dan
peritoneal dialisis, yang mendukung
konsep bahwa respon inflamasi
menyebabkan hipoalbuminemia dan
anemia pada pasien-pasien gagal
ginjal terminal.10
D. Manifestasi Klinis dan Temuan FisikManifestasi klinis yang biasa
ditemukan:11
- Kelemahan umum/malaise, mudah
lelah
- Nyeri seluruh tubuh/mialgia
- Gejala ortostatik ( misalnya pusing,
dll )
- Sinkop atau hampir sincope
- Penurunan toleransi latihan
- Dada terasa tidak nyaman
- Palpitasi
- Intoleransi dingin
- Gangguan tidur
- Ketidakmampuan untuk
berkonsentrasi
- Kehilangan nafsu makan
Temuan fisik:11
- Kulit (pucat)
- Neurovaskular (penurunan
kemampuan kognitif)
- Mata (konjungtiva pucat)
- Kardiovaskular (hipotensi ortostatik,
takiaritmia)
- Pulmonary (takipnea)
- Abdomen (asites,
hepatosplenomegali)
E. DiagnosisPada penyakit ginjal kronik, keadaan
anemia yang terjadi tidak sepenuhnya
berkaitan dengan penyakit ginjalnya.
Anemia pada penyakit ginjal kronik
dapat dijadikan diagnosis setelah
mengeksklusikan adanya defisiensi
besi dan kelainan eritrosit lainnya.
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat
kadar hemoglobin ≤ 10% atau
hematokrit ≤ 30%.1,2,3,12
Beberapa poin harus diperiksa
dahulu sebelum dilakukan pemberian
terapi penambah eritrosit, yaitu : 1,2,3,12
- Darah lengkap
- Pemeriksaan darah tepi
- Hitung retikulosit
- Pemeriksaan besi (serum iron, total
iron binding capacity, saturasi
transferin, serum feritin)
- Pemeriksaan darah tersamar pada
tinja
- Kadar vitamin B12
- Hormon paratiroid
Anamnesis pada anemia dengan
gagal ginjal ditanyakan tentang
riwayat penyakit terdahulu,
pemeriksaan fisik, evaluasi
pemeriksaan darah lengkap dan
pemeriksaan apus darah perifer.
Kebanyakan pasien yang tidak
memiliki komplikasi, anemia ini
bersifat hipoproliferatif normositik
normokrom, apus darah tepi
menunjukkan burr cell. Perubahan
morfologi sel darah merah
menampilkan proses hemolitik primer,
mikroangiopati atau hemoglobinopati.
Jumlah total retikulosit secara umum
menurun. Mean corpuscular
volume meningkat pada defisiensi
asam folat, defisiensi B 12 dan pasien
dengan kelebihan besi. Mean
corpuscular volume menurun pada
pasien dengan thalasemia, defisiensi
besi yang berat, dan intosikasi
aluminium yang berat.3,12
Pada era penggunaan
rekombinant human eritropoetin
(rHuEPO), penilaian terhadap
simpanan besi melalui perhitungan
feritin serum, transferin, dan besi
sangat diperlukan. Pada keadaan
dimana tidak ada faktor yang
memperberat seperti penyakit
inflamasi , penyakit hati, atau respons
yang buruk dari rHuEPO, feritin
serum merupakan indikator yang
tepat dari simpanan besi tubuh. Jika
simpanan menurun, nilai feritin serum
menurun sebelum saturasi transferin.
Walaupun penyakit kronik dapat
menurunkan besi dan transferin,
pasien dengan saturasi transferin
kurang dari 20% dan feritin kurang
dari 50 ng/ mm dapat dianggap terjadi
defisiensi besi. Di sisi lain pasien
memiliki saturasi lebih dari 20% yang
gagal berespons terhadap
replacement besi harus diperkirakan
mengalami intoksikasi aluminium atau
hemoglobinopati. Walaupun serologi
dapat mengidentifikasi defisiensi besi
dengan spesifisitas, untuk memastikan
penyebabnya membutuhkan berbagai
jalur kehilangan besi pada pasien
tersebut termasuk saluran gastro
intestinal (4-5 ml blood loss / hari atau
5 ml kehilangan besi/ hari), prosedur
dialisis (4-50 ml/ terapi dimana
mungkin disebabkan karena
antikoagulan yang inadequat dan
teknik penggunaan kembali dialister
yang buruk), flebotomi yang rutin
untuk kimia darah dan konsumsi besi
pada terapi rHuEPO.12
F. PenatalaksanaanPenatalaksanaan anemia ditujukan
untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL
dan Ht > 30%, baik dengan
pengelolaan konservatif maupun
dengan EPO. Bila dengan terapi
konservatif, target Hb dan Ht belum
tercapai dilanjutkan dengan terapi
EPO. Dampak anemia pada gagal
ginjal terhadap kemampuan fisik dan
mental dianggap dan menggambarkan
halangan yang besar terhadap
rehabilitasi pasien dengan gagal
ginjal. Walaupun demikian efek
anemia pada oksigenasi jaringan
mungkin seimbang pada pasien
uremia dengan penurunan afinitas
oksigen dan peningkatan cardiac
output saat hematokrit dibawah 25 %.
Walaupun demikian banyak pasien
uremia memiliki hipertensi dan
miokardiopati. Karena tubuh memiliki
kemampuan untuk mengkompensasi
turunnya kadar hemoglobine dengan
meningkatnya cardiac output. Selain
itu banyak pasien memiliki penyakit
jantung koroner yang berat dan
walaupun anemia dalam derajat
sedang dapat disertai dengan
miokardial iskemik dan angina. Terapi
anemia pada gagal ginjal bervariasi
dari pengobatan simptomatik melalui
transfusi sel darah merah sampai ke
penyembuhan dengan transplantasi
ginjal. Transfusi darah hanya
memberikan keuntungan sementara
dan beresiko terhadap infeksi (virus
hepatitis dan HIV) dan
hemokromatosis sekunder. Peran dari
transfusi sebagai pengobatan anemi
primer pada pasien gagal ginjal
terminal telah berubah saat dialisis
dan penelitian serologic telah menjadi
lebih canggih. Transplantasi ginjal
pada banyak kasus, harus menunggu
dalam waktu yang tidak tertentu dan
tidak setiap pasien dialisis memenuhi
syarat.2,3,12-14
Variasi terapi anemia pada penyakit
ginjal kronik adalah sebagai berukut :
1. Suplementasi eritropoetin
2. Pembuangan eritropoesis inhibitor
endogen dan toksin hemolitik endogen
dengan terapi transplantasi ginjal
ekstra korporeal atau peritoneal
dialisis.
3. Pembuangan kelebihan aluminium
dengan deferoxamine
4. Mengkoreksi hiperparatiroid
5. Terapi Androgen
6. Mengurangi iatrogenic blood loss
7. Suplementasi besi
8. Suplementasi asam folat
9. Transfuse darah
1) Suplementasi eritropoetinTerapi yang sangat efektif dan