ASKEP SINDROM GUILLAIN BARRE A. KONSEP MEDIS 1. Definisi Penyakit akut atau lebih tepat subakut yang lambat laun menjadi paralitik dengan penyebab yang belum jelas, namun teori saat ini mulai terarah pada proses imunologik. Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch, 1998 ) SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain : o polineuritis akut pasca infeksi o polineuritis akut toksik o polineuritis febril o poliradikulopati,dan o acute ascending paralysis. 2. Sejarah Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG. 3. Epidemiologi Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ASKEP SINDROM GUILLAIN BARRE
A. KONSEP MEDIS1. DefinisiPenyakit akut atau lebih tepat subakut yang lambat laun menjadi paralitik dengan penyebab yang belum jelas, namun teori saat ini mulai terarah pada proses imunologik.Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch, 1998 )SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain :o polineuritis akut pasca infeksio polineuritis akut toksiko polineuritis febrilo poliradikulopati,dano acute ascending paralysis.
2. SejarahPada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.
3. Epidemiologi Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan
kemarau.
4. EtiologiEtiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:a. Infeksio Infeksi : missal radang tenggorokan atau radang lainnyao Infeksi virus :measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie)o Vaksin : rabies, swine fluo Infeksi yang lain : Mycoplasma pneumonia, Salmonella thyposa, Brucellosis, campylobacter jejunib. Vaksinasic. Pembedahand. Penyakit sistematik:o keganasan, Hodgkin’sdisease, carcinoma,lymphomao systemic lupus erythematosuso tiroiditiso penyakit Addisone. Kehamilan atau dalam masa nifasSGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% – 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinalSalah satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang mielin saraf perifer.
5. PatogenesaMekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:a. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.b. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepic. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.Peran imunitas selulerDalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran.Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
6. PatofisiologiGullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun ewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya terhadap antigen.Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system penghantaran implus terganggu.Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi.
7. PatologiPada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.
8. KlasifikasiBeberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy3. Acute motor axonal neuropathy4. Acute motor sensory axonal neuropathy5. Fisher’s syndrome6. Acute pandysautonomia
9.Gambaran KlinisPenyakit infeksi dan keadaan prodromal :Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas atau saluran pencernaan, 1-3 minggu sebelumnya . Sisanya oleh keadaan seperti berikut : setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi influensa .Masa latenWaktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari (4). Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.Keluhan utamaKeluhan utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung ekstremitas, kelumpuhan ekstremitas atau keduanya. Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada keempat anggota gerak.a. Gejala Klinis1.KelumpuhanManifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal (2,4).2.Gangguan sensibilitasParestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas
fisik.3.Saraf KranialisSaraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.4.Gangguan fungsi otonomGangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai . Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.5. Kegagalan pernafasanKegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .
6. PapiledemaKadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang .7. Perjalanan penyakitPerjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, seperti pada gambar 1. Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu .Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu .Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.b. Pemeriksaan laboratoriumGambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak : >
0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu . Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).c .Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah :o Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambato Distal motor retensi memanjango Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.o Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna .
10. Penatalaksanaana.TerapiSindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator yang kadang-kadang dalam waktu yang lama.Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).KortikosteroidKebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.PlasmaparesisPlasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).Pengobatan imunosupresan:o Imunoglobulin IVPengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.o Obat sitotoksikPemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:o 6 merkaptopurin (6-MP)o Azathioprine
o cyclophosphamidEfek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.b. PerawatanPerawatan umum ditujukan pada kandung seni (bladder), traktus digestivus (Bowel), pernapasan (breathing), badan dan kulit (Body and Skin care), mata dan, mulut, makanan (nutrition and fluid balance)Bila ada tanda-tanda kelumpuhan otot pernapasan harus secepatnya dirujuk/dikonsulkan kebagian anesthesia bila PO2 menurun dan PCO2 meningkat atau vital kapasitas < 15 1/menit. Apakah memerlukan respirator untuk mengetahui dengan cepat gangguan otot pernapasan, yang terdapat dua bentuk ialah sentral dan perifer. Yang sentral tidak ada dyspne, tetapi kelainan ritme : cheyne-stoke
11. PrognosaPada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain:o pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normalo mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onseto progresifitas penyakit lambat dan pendeko pada penderita berusia 30-60 tahun
12. Komplikasia. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolicb. Tetraparese oleh karena penyebab lainc. Hipokalemiad Miastenia Gravise. Adhoc commite of GBSf. Tick Paralysisg. Kelumpuhan otot pernafasanh. Dekubitus
B. ASUHAN KEPERAWATAN1. Pengkajiana. Anamnesao Identitas klien : meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, statuso Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahano Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi / kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit.b. Pemeriksaan Fisiko B1 (Breathing)Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.o B2 (Bleeding)Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.o B3 (Brain)Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman
penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan.o B4 (Bladder)Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.o B5 ( Bowel)Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.o B6 (Bone)Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi.
c. Pengelompokan dataData subjektif: o Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalano Sebelumnya dia mengalami diare-diare dan demam kira-kira 1 minggu sebelumnyao Tidak mampu menelan air liurnyao Sebelum sakit sangat aktif baik dalam pekerjaannya, olahraga lari pagi, berkebun, mengendarai kendaraan dan merawat dirinyaData Objektif:o Hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda objektif yang menunjukakan strokeo Kelemahan pada kedua ekstrmitas atasnya dan akhirnya menggunakan alat bantu pernapasan (ventilator)o Hasil lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan protein tinggi dan tekanan meningkat, leukositosisd. Analisa DataData Masalah EtiologiDS: Tidak mampu menelan air liurnyaDO: Pernapasan cepat , dangkal, dan ireguler Bunyi paru wheezing +/+ Pengembangan dada tidak maksimal GDA kurang dari normal menggunakan ventilator Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif Kelemahan otot-otot bantu pernapasanDS: Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalanDO: Kelemahan pada kedua ekstremitas atasnya Kekuatan otot imobilisasi Paralisis
2. Diagnosa Keperawatana. Resiko terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafasb. Resiko tejadi ggn pertukaran gasc. Ketidakefektifan pola nafasd. Ggn komunikasi verbale. Resiko tinggi terjadi infeksi
f. Resiko terjadi traumag. Resiko terjadi disuse syndromeh. Kecemasan pada orang tua
3. Rencana keperawatana. Dx 1. Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek menelan dan peningkatan produksi salivaTujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, stridor (-), sumbatan tidak terjadiTindakan:o Lakukan perawatan EET setiap 2 jamo Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan fisiotherapi dan suctiono Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam jika terdengar stridor atau SpO2 < 95 %o Monitor status hidrasio Monitor vital sign sebelum dan setelah tindakano Kolaborasi pemberian bisolvon 3 X 1 tab
b. Dx 2 Resiko terjadi ggn pertukaran gas b.d dengan adanya ggn fungsi paru sebagai efek adanya atelektasis paruTujuan : Setelah dirawato BGA dalam batas normalo Wh -/-, Rh -/-, suara paru +/+o Cyanosis (-), SpO2 > 95 %Tindakan:o Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jamo Monitor SpO2 setiap jamo Monitor respirasi dan cyanosiso Kolaborasi : seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I : E 1:2 SAnalisa hasil BGA
c. Dx : Resiko tinggi terjado infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter dan infusTujuan : setelah dirawat diharapkanTanda-tanda infeksi (-) leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder (-), Suhu tubuh 36,5-37 oC• Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat perawatan (-)
Tindakano Rawat ETT setiap hario Lakukan prinsip steril pada saat suctiono Rawat tempat insersi infus dan kateter setiap hario Ganti kateter setiap 72 jamo Kolaborasi : Pengggantian ETT dengan Tracheostomi Penggantian insersi surflo dengan vanocath
Pemeriksaan leuko Pemeriksaan albumin Lab UL• Pemberian profilaksis Amox 3 X 500 mg dan Cloxacilin 3 X 250 mg
d. Dx : Resiko terjadi disuse syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek perjalanan penyakit GBSTujuan : Setelah dirawato Kontraktur (-)o Nutrisi terpenuhio Bab dan bak terbantuo Personal hygiene baikTindakan:o Bantu Bab dab Bako Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance setia 24 jamo Mandikan klien setiap hario Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jamo Berikan latihan pasif 2 kali sehario Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatiko Monitor status neurologi setiap 8 jamo Kolaborasi: Alinamin F 3 X 1 ampul Sonde pediasuer 6 X 50 cc Latihan fisik fasif oleh fisiotherapis e. Dx. Kecemasan pada orang tua b.d ancaman kematian pada anak serta perawatan yang lamaTujuan :Setelah dirawat klien dapat menerima keadaan dan kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan Tindakan :o He tentang penyakit GBS, perjalanan penyakit dan penanganannya.o He tentang perawatan dan pemasangan alat perawatan alternatif sehubungan dengan proses perawatan yang lama seperti pemasangan tracheostomi dan vanocatho Meminta agar keluarga mengisi informed konsen dari tindakan yang akan dilakukan oleh petugas
Kepustakaan
1. Brunner and suddart, Medical practical nursing, 1st edition, 20022, Dr. dr. Eddy Raharjo,Sp.An . Manual practical of anastesia, Airlangga unerversity,1999.3. Husni tanra, prof.dr,Sp.An(K), neurofisiologi of brain for Guillan barre sindroma, Hasanuddin unerversity,2003
ASKEP SINDROM GUILLAIN BARRE
ASKEP SINDROM GUILLAIN BARRE
A. Definisi
Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana
targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch, 1998 )
SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain :
polineuritis akut pasca infeksi
polineuritis akut toksik
polineuritis febril
poliradikulopati,dan
acute ascending paralysis.
B. Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan
masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin
ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
Infeksi
Vaksinasi
Pembedahan
Penyakit sistematik :
Keganasan
systemic lupus erythematosus
tiroiditis
penyakit Addison
Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang
berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% – 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala
neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal
Salah satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang
menyerang mielin saraf perifer.
Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB
Infeks
i
Definite Probable Possible
Virus CMVEBV HIVVaricella-
zosterVaccinia/
smallpox
InfluenzaMeaslesM
umps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakter
i
CampylobacterJejeniMyc
oplasma
Pneumonia
Typhoid Borrelia
BParatyphoidBrucel
losis
Chlamydia
Legionella
Listeria
C. Patogenesa
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi
terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli
membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui
mekanisme imunlogi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf
tepi pada sindroma ini adalah:
1. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity)
terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh
darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan
imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah
infeksi virus.
D. Patofisiologi
E. Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi.
Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema
yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas
selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan
makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada
myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke
enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel
limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini
segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi
degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran
basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.
F. Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
• Rasa lemas seluruh badan dan disertai adanya rasa nyeri
• Paraestasia jari kaki s/d tungkai
• Progresive weakness > 1 Ekstremitas
• Hilangnya refleks tendon
– Pendukung
• Weakness berkembang cepat dalam 4 minggu
• Gangguan sensory Ringan
• Wajah nampak lelah meliputi otot-otot bibir terkesan bengkak
• Tachicardi, cardiac arytmia, Tekanan Darah labil
• Tidak ada demam
• Inspeksi
– Tampak kelelahan pada wajah
– Otot-otot bibir terkesan bengkak
– Kemungkinan adanya atropi
– Kemungkinan adanya tropic change
• Palpasi
– Nyeri tekan pada otot
• Auskultasi
– Breathsound terdengar cepat
• Vital Sign
– Blood Preasure
• Labil (selalu berubah-ubah)
– Heart Rate
• Tachicardy
• Cardiac arythmia
– Respiratory Rate
• Hyperventilasi
Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar
• Aktif
– Kekuatan otot
• Pasif
– Lingkup Gerak Sendi, endfeel
• Tes Isometrik Melawan Tahanan
– Pada ketiga tes tersebut dominan menunjukkan adanya kelemahan.
– Gangguan sendi dimungkinkan pada kasus yang telah lama
Pemeriksaan Khusus
– Kekuatan Otot
• MMT
– Vital Capacity (Spirometry)
– Sensorik
• Dermatom Test
• Myotom Test
– Mobilitas Thorax
• Mid line lingkar thorax
– Tendon refleks
– Lingkar otot
• Mid line lingkar otot
– ROM
• ROM Test (Goniometer)
– Fungsional
• ADL
• IADL
– Laboratorium
– Lumbar punksi
• Cairan cerebrospinal dijumpai peningkatan protein, berisi 10 atau sedikit mononuclear
leukosit/mm3
– Electro Diagnostik (EMG)
• Kecepatan hantar saraf melemah
Prinsip Penanganan
Pemeliharaan sistem pernapasan
Mencegah kontraktur
Pemeliharaan ROM
Pemeliharaan otot-otot besar yng denervated
Re-edukasi otot
Dilakukan sedini mungkin
• Deep breathing Exercise
• Mobilisasi ROM
• Monitor Kekuatan Otot hingga latihan ktif dapat dimulai
• Change position untuk mencegah terjadinya decubitus
Gerak pasif general ekstermitas sebatas toleransi nyeri untuk mencegah kontraktur
Gentle massage untuk memperlancar sirkulasi darah
Edukasi terhadap keluarga
Diagnosa keperawatan
1. Resiko terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafas
2. Resiko tejadi ggn pertukaran gas
3. Ketidakefektifan pola nafas
4. Ggn komunikasi verbal
5. Resiko tinggi terjadi infeksi
6. Resiko terjadi trauma
7. Resiko terjadi disuse syndrome
8. Kecemasan pada orang tua
4. Rencana keperawatan
Dx : Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek menelan dan
peningkatan produksi saliva
Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, stridor (-), sumbatan tidak terjadi
Tindakan:
- Lakukan perawatan EET setiap 2 jam
- Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan fisiotherapi dan suction
- Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam jika terdengar stridor atau SpO2 < 95 %
- Monitor status hidrasi
- Monitor vital sign sebelum dan setelah tindakan
- Kolaborasi pemberian bisolvon 3 X 1 tab
Dx : Resiko terjadi ggn pertukaran gas b.d dengan adanya ggn fungsi paru sebagai efek adanya
atelektasis paru
Tujuan : Setelah dirawat
- BGA dalam batas normal
- Wh -/-, Rh -/-, suara paru +/+
- Cyanosis (-), SpO2 > 95 %
Tindakan:
- Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jam
- Monitor SpO2 setiap jam
- Monitor respirasi dan cyanosis
- Kolaborasi :
• Seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I : E 1:2
• Analisa hasil BGA
Dx. : Resiko tinggi terjadi infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter dan infus
Tujuan : setelah dirawat diharapkan
- Tanda-tanda infeksi (-)
• leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder (-),
• Suhu tubuh 36,5-37 oC
• Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat perawatan (-)
Tindakan :
- Rawat ETT setiap hari
-Lakukan prinsip steril pada saat suction
- Rawat tempat insersi infus dan kateter setiap hari
- Ganti kateter setiap 72 jam
- Kolaborasi :
• Pengggantian ETT dengan Tracheostomi
• Penggantian insersi surflo dengan vanocath
• Pemeriksaan leuko
• Pemeriksaan albumin
• Lab UL
• Pemberian profilaksis Amox 3 X 500 mg dan Cloxacilin 3 X 250 mg
Dx : Resiko terjadi disuse syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek perjalanan penyakit GBS
Tujuan : Setelah dirawat
-Kontraktur (-)
- Nutrisi terpenuhi
- Bab dan bak terbantu
- Personal hygiene baik
Tindakan:
- Bantu Bab dab Bak
- Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance setia 24 jam
- Mandikan klien setiap hari
- Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jam
- Berikan latihan pasif 2 kali sehari
- Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatik
- Monitor status neurologi setiap 8 jam
- Kolaborasi:
• Alinamin F 3 X 1 ampul
• Sonde pediasuer 6 X 50 cc
• Latihan fisik fasif oleh fisiotherapis
Dx. Kecemasan pada orang tua b.d ancaman kematian pada anak serta perawatan yang lama
Tujuan :
- Setelah dirawat klien dapat menerima keadaan dan kooperatif terhadap tindakan yang akan
dilakukan
Tindakan :
- He tentang penyakit GBS, perjalanan penyakit dan penanganannya.
- He tentang perawatan dan pemasangan alat perawatan alternatif sehubungan dengan proses
perawatan yang lama seperti pemasangan tracheostomi dan vanocath
- Meminta agar keluarga mengisi informed konsen dari tindakan yang akan dilakukan oleh
petugas
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan sindrom klinik yang penyebabnya tidak diketahui yang menyangkut saraf perifer dan kranial
Etiologi Sindroma Guillain-Barre (SGB)Sebagian besar pasien-pasien dengan Sindroma Guillain-Barre (SGB) ini ditimbulkan oleh adanya infeksi (pernapasan atau gastrointestinal) 1-4 minggu sebelum terjadi serangan neurologik. Pada beberapa keadaan dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedahan. Hal ini diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, dan bebeparap proses lain atau sebuah kombinasi suatu proses.
Manifestasi Klinis Sindroma Guillain-Barre (SGB)Terdapat variasi dalam awitannya. Gejala-gejala neurologik diawali dengan parestesia (kesemutan dan kebas) dan kelemahan otot kaki yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuih dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap. Saraf kranial yang paling sering terserang, yang menunjukkan adanya paralisis pada okuler, wajah dan otot orofaring dan juga menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah, dan menelan. Disfungsi autonom yang sering terjadi dan memperlihatkan bentuk reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya sistem saraf simpatis dan para simpstis seperti dimanifestasikan oleh gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah(hipertensi transien, hipotensi ortostatik). Keadaan ini juga dapat menyebabkan nyeri berat dan menetap pada punggung dan daerah kaki. Seringkali pasien menunjukkan adanya kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti keterbatasan atau tidak adanyarefleks tendon . Perubahan sensori dimanifestasikan dengan bentuk parestesia. Kebanyakan pasien mengalami pemulihan penuh beberapa bulan sampai 1 tahun , tetapi sekitar 10% menetap dengan residu ketidakmampuan
Diagnostik Sindroma Guillain-Barre (SGB)Cairan spinal menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi protein dengan menghitung jumlah sel normal. Pengujian elektrofisiologis diperlihatkan dengan bentuk lambatnya laju konduksi saraf
PenatalaksanaanSindroma Guillain-Barre (SGB) dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator yang kadang-kadang dalam waktu yang lama.
Plasmaferesis (perubahan plasma) yang menyebabkan reduksi antibiotik kedalam sirkulasi sementara, yang dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien dan demielinasi. Diperlukan pemantauan EKG kontinu untuk kemungkinan perubahan kecepatan atau ritme jantung. Disritmia jantung dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom yang diobati dengan propanolol untuk mencegah takikardi dan hipertensi. Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode bradikardi selama penghisapan endotrakheal dan terapi fisik.
ASKEP Guillan Barre Sindrom ( GBS )
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB) merupakan
suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut
berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks,
dan nervus kranialis. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9
kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo
Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi
puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai
usia dibawah 2 tahun. Pada pasien yang mengalami miastenia gravis akan rentan
terhadap komplikasi-komplikasi yang sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya:
kegagalan jantung, kegagalan pernapasan, infeksi dan sepsis, trombosis vena, serta
emboli paru, oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini.
I. 2. Permasalahan
Permasalahan yang timbul sehingga disusunnya asuhan keperawatan ini adalah
bagaimana seharusnya tindakan asuhan keperawatan pada sistem persarafan dengan
kasus Guillan Barrre Sindrome (GBS)?
I. 3. Tujuan
Tujuan disusunnya asuhan keperawatan ini adalah:
1. Tujuan Umum
Untuk memenuhi kegiatan belajar mengajar dari mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah II (KMB II).
2. Tujuan Khusus
a. Memperoleh gambaran mengenai Guillan Barrre Sindrome (GBS).
b. Dapat memahami tentang konsep asuhan keperawatan pasien dengan Guillan Barrre
Sindrome (GBS).
I. 4. Manfaat
Manfaat dari penyusunan asuhan keperawatan ini, yaitu:
1. Kegunaan Ilmiah
a. Sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa
b. Sebagai salah satu tugas akademik
2. Kegunaan Praktis
Bermanfaat bagi tenaga perawat dalam penerapan asuhan keperawatan pada
klien dengan Guillan Barrre Sindrome (GBS).
BAB II
KONSEP MEDIS
II. 1. Pengertian
Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB) adalah
proses peradangan akut dengan karakteristik kelemahan motorik dan paralisis yang
disebabkan karena demylin pada sarat perifer. Sindrom penyakit ini berupa paralisis
flaccid asenden simetris yang berkembang secara cepat, biasanya mengikuti infeksi
virus. Pada kondisi ini peran perawat adalah memberikan perawatan proses
rehabilitasim mencegah komplikasi, memenuhi kebutuhan ADL dan support emosional.
Sedangkan menurut Parry mengatakan bahwa, GBS adalah suatu polineuropati
yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah
infeksi akut. Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai
adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.
Guillan Barre Syndrome (GBS) mempunyai banyak sinonim (istilah lain), antara lain :
1. Polineuritis akut pasca infeksi
2. Polineuritis akut toksik
3. Polineuritis febril
4. Poliradikulopati,dan
5. Acute ascending paralysis.
II. 2. Sejarah
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali
menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis
diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan
kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang
adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa
disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik.
Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder
mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala
klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat
membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada
EMG.
II. 3. Epidemiologi (Insidensi)
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling
dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur
dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan
bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun,
sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu
pada akhir musim panas dan musim gugur.
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per
100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic
melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang
mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan
dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari
pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam,
5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian
Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama.
Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan
wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei
dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
II. 4. Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu: