Top Banner
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asfiksia adalah kumpulan dari pelbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam pertukaran udara pernafasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran pernafasan dan gangguan yang diakibatkan karena terhentinya sirkulasi. Gangguan ini akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida. Keadaan ini jika terus dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya kematian. Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak yang ditemukan dalam kasus kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya obstruksi pada saluran pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah yang paling sering dijumpai dalam kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Mengetahui gambaran asfiksia, khususnya pada postmortem serta keadaan apa saja yang dapat menyebabkan asfiksia, khususnya asfiksia mekanik mempunyai arti penting terutama dikaitkan dengan proses penyidikan. Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban yang diduga karena peristiwa tindak pidana, seorang penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau 1
50

asfiksia

Dec 14, 2015

Download

Documents

kjdskjhsdsamhgdsajg
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: asfiksia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asfiksia adalah kumpulan dari pelbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam

pertukaran udara pernafasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan karena

adanya obstruksi pada saluran pernafasan dan gangguan yang diakibatkan karena

terhentinya sirkulasi. Gangguan ini akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen

dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida. Keadaan

ini jika terus dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya kematian.

Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak yang ditemukan dalam kasus

kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya obstruksi pada saluran

pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah yang paling sering dijumpai

dalam kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Mengetahui

gambaran asfiksia, khususnya pada postmortem serta keadaan apa saja yang dapat

menyebabkan asfiksia, khususnya asfiksia mekanik mempunyai arti penting terutama

dikaitkan dengan proses penyidikan.

Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban yang

diduga karena peristiwa tindak pidana, seorang penyidik berwenang mengajukan

permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli

lainnya. Seorang dokter sebagaimana pasal 179 KUHAP wajib memberikan keterangan

yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan di bidang keahliannya

demi keadilan. Untuk itu, sudah selayaknya seorang dokter perlu mengetahui dengan

seksama perihal ilmu forensik, salah satunya asfiksia. Makalah ini secara garis besar akan

membahas mengenai asfiksia, khususnya asfiksia mekanik.

Visum et Repertum(VeR) merupakan salah satu bantuan yang sering diminta oleh

pihak penyidik (polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan pada tubuh manusia. Visum

et Repertum(VeR) merupakan alat bukti dalam proses peradilan yang tidak hanya

memenuhi standar penulisan rekam medis, tetapi juga harus memenuhi hal-hal yang

disyaratkan dalam sistem peradilan.

Data di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa jumlah kasus perlukaan dan

keracunan yang memerlukan VeR pada unit gawat darurat mencapai 50-70%. Diban-

1

Page 2: asfiksia

dingkan dengan kasus pembunuhan dan perkosaan, kasus penganiayaan yang

mengakibatkan luka merupakan jenis yang paling sering terjadi, dan oleh karenanya

penyidik perlu meminta VeR kepada dokter sebagai alat bukti di depan pengadilan.

Dalam praktik sehari-hari seorang dokter tidak hanya melakukan pemeriksaan medis

untuk kepentingan diagnostik dan pengobatan penyakit saja, tetapi juga untuk dibuatkan

suatu surat keterangan medis. Demikian pula halnya dengan seorang pasien yang datang ke

instalasi gawat darurat, tujuan utama yang bersangkutan umumnya adalah untuk

mendapatkan pertolongan medis agar penyakitnya sembuh. Namun dalam hal pasien

tersebut mengalami cedera, pihak yang berwajib dapat meminta surat keterangan medis

atau VeR dari dokter yang memeriksa. Jadi pada satu saat yang sama dokter dapat

bertindak sebagai seorang klinisi yang bertugas mengobati penyakit sekaligus sebagai

seorang petugas forensik yang bertugas membuat VeR. Sedangkan pasien bertindak

sebagai seorang yang diobati sekaligus korban yang diperiksa dan hasilnya dijadikan alat

bukti.

Sebuah VeR yang baik harus mampu membuat terang perkara tindak pidana yang

terjadi dengan melibatkan bukti-bukti forensik yang cukup. Tetapi hasil penelitian di

Jakarta menunjukkan bahwa hanya 15,4% dari VeR perlukaan rumahsakit umum DKI

Jakarta berkualitas baik, sementara di Pekanbaru menunjukkan bahwa 97,06 % berkualitas

jelek dan tidak satu pun yang memenuhi kriteria VeR yang baik. Dari kedua penelitian

tersebut juga menunjukkan bahwa bagian pemberitaan dan bagian kesimpulan merupakan

bagian yang paling kurang diperhatikan oleh dokter. Kualitas bagian pemberitaan berturut-

turut untuk Jakarta dan Pekanbaru adalah 36,9% dan 29,9%, yang berarti berkualitas

buruk. Nilai kualitas bagian pemberitaan merupakan nilai yang terendah dari ketiga bagian

VeR. Unsur yang tidak dicantumkan oleh hampir semua dokter adalah anamnesis, tanda

vital, dan pengobatan perawatan. Hal tersebut mungkin disebabkan masih adanya

anggapan bahwa anamnesis, tanda vital dan pengobatan tidak penting dituliskan dalam

VeR, atau juga dapat disebabkan karena dokter pembuat VeR tidak mengetahui bahwa

unsur tersebut perlu dicantumkan dalam pembuatan VeR.

2

Page 3: asfiksia

1.2 Tujuan Pembahasan

Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki tujuan yang diharapkan berguna

bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Dimana tujuannya dibagi

menjadi dua macam yang pertama secara umum makalah ini bertujuan menambah

wawasan mahasiswa/I dalam menguraikan suatu persoalan secara holistik dan tepat, dan

melatih pemikiran ilmiah dari seorang mahasiswa/I fakultas kedokteran, dimana pemikiran

ilmiah tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang dokter agar mampu menganalisis suatu

persoalan secara cepat dan tepat. Sedangkan secara khusus tujuan penyusunan makalah ini

ialah sebagai berikut :

a. Melengkapi tugas small group discussion skenario tiga, modul dua puluh dua tentang

asfiksia dan visum et repertum.

b. Menambah khasanah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis.

c. Sebagai bahan referensi mahasiswa/I Fakultas Kedokteran UISU dalam menghadapi

ujian akhir modul.

Itulah merupakan tujuan dalam penyusunan makalah ini, dan juga sangat diharapkan

dapat berguna setiap orang yang membaca makalah ini. Semoga seluruh tujuan tersebut

dapat tercapai dengan baik

1.3 Metode dan Teknik

Dalam penyusunan makalah ini kami mengembangkan suatu metode yang sering

digunakan dalam pembahasan-pembahasan makalah sederhana, yaitu dengan

menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari sumber

data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis sehinggga diperoleh

informasi tentang masalah yang akan dibahas setelah itu berbagai referensi yang

didapatkan dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai dengan pembahasan yang akan

dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan dengan tujuan pembuatan makalah ini.

Itulah sekilas tentang metode dan teknik yang digunakan dalam penyusunan makalah ini.

3

Page 4: asfiksia

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Skenario

MATI TENGGELAM (DROWNING)

Dijumpai sesosok mayat wanita terapung disungaai. Masyarakat setempat

melaporkan temuan tersebut kepolisi dan kemudian mayat dibawa kekamar mayat suatu

rumah sakit. Pada mayat dijumpai tanda-tanda asfiksia seperti sianosis pada kuku dan

bibir, perdarahan pada sub conjungtiva, terdapat buih halus yang sukar pecah dihidung,

juga dijumpai cadaveric spasme, washer women’s hand dan cutis anserina.

Polisi mencurigai kematian korban akibat suatu tinak pidana, dimana korban

dibunuh terlebih dahulu baru ditenggelamkan, sehingga polisi meminta kepada dokter

dirumah sakit tersebut membuat VeR.

2.2 Asfiksia

2.2.1 Defenisi Asfiksia

Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar oksigen

(O2) dan berlebihnya kadar karbon dioksida (CO2) secara bersamaan dalam darah dan

jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen (udara) dalam alveoli paru-paru

dengan karbon dioksida dalam darah kapiler paru-paru. Kekurangan oksigen disebut

hipoksia dan kelebihan karbon dioksida disebut hiperkapnia.

Asfiksia berasal dari bahasaYunani, yaitu terdiri dari “a” yang berarti “tidak”, dan

“sphinx” yang artinya “nadi”. Jadi secara harfiah, asfiksia diartikan sebagai “tidak ada

nadi” atau “tidak berdenyut”. Pengertian ini sering salah dalam penggunaannya. Akibatnya

sering menimbulkan kebingungan untuk membedakan dengan status anoksia lainnya.

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan

pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai

dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh

mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian (Ilmu Kedokteran

Forensik, 1997). Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia (Amir,

2008).

4

Page 5: asfiksia

2.2.2 Etiologi Asfiksia

Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut (Ilmu Kedokteran

Forensik, 1997):

1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti

laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.

2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang

mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan

atau halangan pada saluran napas dan sebagainya.

3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya barbiturat dan

narkotika.

Penyebab tersering asfiksia dalam konteks forensik adalah jenis asfiksia mekanik,

dibandingkan dengan penyebab yang lain seperti penyebab alamiah ataupun keracunan

(Knight, 1996 ).

2.2.3 Fisiologi

Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia (Amir, 2008), yaitu:

1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)

Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:

a. Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi

kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam

selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni

atau sufokasi.

b. Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan,

gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienumdalam

tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.

2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)

Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada anemia berat

dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan sedikitnya kendaraan yang

membawa bahan bakar ke pabrik.

3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)

Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal jantung,

syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi sirkulasi

darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet tersendat jalannya.

4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)

5

Page 6: asfiksia

Ganggua n terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak dapat

menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:

a. Ekstraseluler

Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida terjadi

perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan kematian

segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara

parsial sehingga kematian berlangsung perlahan.

b. Intraselular

Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan permeabilitas

membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut dalam lemak seperti

kloform, eter dan sebagainya.

c. Metabolik

Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O2 oleh

jaringan seperti pada keadaan uremia.

d. Substrat

Dalam hal ini makanan tidak mencukup i untuk metabolisme yang efisien, misalnya

pada keadaan hipoglikemia.

2.2.4 Patologi

Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan (Amir,

2008), yaitu:

1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)

Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari

asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak

tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan

terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum,

serebellum, dan basal ganglia.

Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan pada

organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan

akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas.

2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)

Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan

mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen

6

Page 7: asfiksia

dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal

jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada:

a. Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).

b. Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus

alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara

masuk ke paru-paru.

c. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (Traumatic

asphyxia).

d. Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan,

misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.

2.2.5 Stadium Pada Asfiksia

Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan dalam 4

stadium (Amir, 2008), yaitu:

1. Stadium Dispnea

Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 akan merangsang pusat

pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) bertambah dalam dan cepat

disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan,

mata menonjol, denyut nadi dan tekanan darah meningkat. Bila keadaan ini berlanjut,

maka masuk ke stadium kejang.

2. Stadium Kejang

Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh, kesadaran hilang

dengan cepat, spinkter mengalami relaksasi sehingga feses dan urin dapat keluar

spontan. Denyut nadi dan tekanan darah masih tinggi, sianosis makin jelas. Bila

kekurangan O2 ini terus berlanjut, maka penderita akan masuk ke stadium apnoe.

3. Stadium Apnea

Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi lemah,

hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernafasan dangkal dan

semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat

kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada

stadium ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi.

Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya

berkisar antara 3-5 menit.

7

Page 8: asfiksia

2.2.6 Tanda-tanda Asfiksia

Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat asfiksia,

telah ditetapkan beberapa tanda klasik (Knight, 1996), yaitu:

1. Tardieu’s spot (Petechial hemorrages)

Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang menyebabkan

overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan longgar,

seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral

skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung,

paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium,

peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.

2. Kongesti dan Oedema

Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie. Kongesti

adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ

yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena

yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang

mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan

perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi

pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema).

3. Sianosis

Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang

terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan

dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram

hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas

dari jumlah tot al hemoglobin. Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi

leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena

yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung

kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.

4. Tetap cairnya darah

Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang tetap

cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia adalah

bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan sistem vena

setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan

bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam

diagnosis asfiksia

8

Page 9: asfiksia

2.2.7 Pemeriksaan Jenazah

2.2.7.1 Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997):

1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.

2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan

tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.

3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam

mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin

dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.

4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas

pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas.

Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang

kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler. Kapiler yang lebih mudah

pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi,

palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah.

5. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva

bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam

pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu,

hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari

selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai

Tardieu’s spot. Penulis lain mengatakan bahwa Tardieu’s spotinitimbul karena

permeabilitas kapiler yang meningkat akibat hipoksia.

2.2.7.2 Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik,

1997):

1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang meningkat

paska kematian.

2. Busahalus di dalam saluran pernapasan.

3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat,

berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.

4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang

jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus

bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama

daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis.

5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.

9

Page 10: asfiksia

6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring langsung

atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan krikoid

(pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).

2.3 Asfiksia Mekanik

Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang

memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), (Ilmu

Kedokteran Forensik, 1997), misalnya:

a. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas, seperti pembekapan

(smothering) dan penyumbatan (gagging dan choking).

b. Penekanan dinding saluran pernapasan, seperti penjeratan (strangulation),

pencekikan (manual strangulation, throttling) dan gantung (hanging).

c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)

2.3.1 Mati Gantung (Hanging)

2.3.1.1 Defenisi

Mati gantung (hanging) merupakan suatu bentuk kematian akibat pencekikan

dengan alat jerat, di mana gaya yang bekerja pada leher berasal dari hambatan gravitasi

dari berat tubuh atau bagian tubuh (Knight, 1996).

2.3.1.2 Etiologi Kematian pada Penggantungan

Ada 6 penyebab kematian pada penggantungan (Modi,1988), yaitu:

a. Asfiksia

Merupakan penyebab kematian yang tersering. Alat penjerat biasanya berada di atas

tulang rawan tiroid yang menyebabkan penekanan pada leher, sehingga saluran

pernafasan menjadi tersumbat.

b. Kongesti Vena

Disebabkan oleh lilitan tali pengikat pada leher sehingga terjadi penekanan pada vena

jugularis oleh alat penjerat sehingga sirkulasi serebral menjadi terhambat.

c. Kombinasi Asfiksia dan Kongesti Vena

Merupakan penyebab kematian yang paling umum, seperi pada kebanyakan kasus

dimana saluran napas tidak seluruhnya dihalangi oleh penjerat yang berada di sekitar

leher.

10

Page 11: asfiksia

d. Iskemik Otak(anoxia)

Disebabkan oleh penekanan pada arteri besar di leher yang berperan dalam menyuplai

darah ke otak, umunya pada arteri karotis dan arteri vertebralis.

e. Syok Vagal

Menyebabkan serangan jantung mendadak karena terjadinya hambatan pada refleks

vaso-vagal secara tiba-tiba, hal ini terjadi karena adanya tekanan pada saraf vagus atau

sinus karotid.

f. Fraktur atau Dislokasi dari Verterbra Servikal 2 dan 3

Biasanya terjadi pada kasus judicial hanging, hentakan yang tiba-tiba pada ketinggian

1-2 m oleh berat badan korban dapat menyebabkan fraktur dan dislokasi dari vertebra

servikalis yang selanjutnya dapat menekan atau merobek spinal cord sehingga terjadi

kematian yang tiba-tiba.

2.3.1.3 Jenis Penggantungan

1. Dari letak tubuh ke lantai dapat dibedakan menjadi 2 tipe (Amir,2008), yaitu:

a. Tergantung Total (complete), dimana tubuh seluruhnya tergantung di atas lantai.

b. Setengah Tergantung (partial), dimana tidak seluruh bagian tubuh tergantung,

misalnya pada posisi duduk, bertumpu pada kedua lutut, dalam posisi telungkup

dan posisi lain.

2. Dari letak jeratan dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2008), yaitu:

a. Tipikal, dimana letak simpul di belakang leher, jeratan berjalan simetris di samping

leher dan di bagian depan leher di atas jakun. Tekanan pada saluran nafas dan arteri

karotis paling besar pada tipe ini.

b. Atipikal, bila letak simpul di samping, sehingga leher dalam posisi sangat miring

(fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan pada arteri karotis dan arteri

vetebralis. Saat arteri terhambat, korban segera tidak sadar.

2.3.1.4 Tanda Post Mortem

Tanda post mortem sangat berhubungan dengan penyebab kematian atau tekanan di

leher. Kalau kematian terutama akibat sumbatan pada saluran pernafasan maka dijumpai

tanda-tanda asfiksia, respiratory distress, sianose dan fase akhir konvulsi lebih menonjol.

Bila kematian karena tekanan pembuluh darah vena, maka sering didapati tanda-tanda

pembendungan dan perdarahan (ptechial) di konjungtiva bulbi, okuli dan di otak bahkan

sampai ke kulit muka. Bila tekanan lebih besar sehingga dapat menutup arteri, maka tanda-

11

Page 12: asfiksia

tanda kekurangan darah di otak lebih menonjol (iskemi otak), yang menyebabkan

gangguan pada sentra respirasi dan berakibat gagal nafas. Tekanan pada sinus karotikus

menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti dengan tanda-tanda post mortem yang minimal.

Tanda- tanda di atas jarang berdiri sendiri, tetapi umumnya akan didapati tanda-tanda

gabungan (Amir, 2008).

2.3.1.5 Pemeriksaan Jenazah

A. Pemeriksaan Luar

Pada pemeriksaan luar penting diperiksa bekas jeratan di leher (Amir, 2008), yaitu:

1. Bekas jeratan (ligature mark) berparit, bentuk oblik seperti V terbalik, tidak

bersambung, terletak di bagian atas leher, berwarna kecoklatan, kering seperti kertas

perkamen, kadang-kadang disertai luka lecet dan vesikel kecil di pinggir jeratan. Bila

lama tergantung, di bagian atas jeratan warna kulit akan terlihat lebih gelap karena

adanya lebam mayat.

2. Kita dapat memastikan letak simpul dengan menelusuri jejas jeratan. Simpul terletak di

bagian yang tidak ada jejas jeratan, kadang di dapati juga jejas tekanan simpul di kulit.

Bila bahan penggantung kecil dan keras (seperti kawat), maka jejas jeratan tampak

dalam, sebaliknya bila bahan lembut dan lebar (seperti selendang), maka jejas jeratan

tidak begitu jelas. Jejas jeratan juga dapat dipengaruhi oleh lamanya korban tergantung,

berat badan korban dan ketatnya jeratan. Pada keadaan lain bisa didapati leher dibeliti

beberapa kali secara horizontal baru kemudian digantung, dalam kasus ini didapati

beberapa jejas jeratan yang lengkap, tetapi pada satu bagian tetap ada bagian yang tidak

tersambung yang menunjukkan letak simpul.

3. Leher bisa didapati sedikit memanjang karena lama tergantung, bila segera diturunkan

tanda memanjang ini tidak ada. Muka pucat atau bisa sembab, bintik perdarahan

Tardieu’s spot tidak begitu jelas, lidah terjulur dan kadang tergigit, tetesan saliva

dipinggir salah satu sudut mulut, sianose, kadang-kadang ada tetesan urin, feses dan

sperma.

4. Bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat didapati di kaki dan tangan

bagian bawah. Bila segera diturunkan, lebam mayat bisa di dapati di bagian depan atau

belakng tubuh sesuai dengan letak tubuh sesudah diturunkan. Kadang penis tampak

ereksi akibat terkumpulnya darah.

B. Pemeriksaan Dalam

12

Page 13: asfiksia

Pada pemeriksaan dalam perlu diperhatikan (Amir, 2008):

1. Jaringan otot setentang jeratan didapati hematom, saluran pernafasan congested,

demikian juga paru-paru dan organ dalam lainnya. Terdapat Tardieu’s spot di

permukaan paru-paru, jantung dan otak. Darah berwarna gelap dan encer

2. Patah tulang lidah (os hyoid) sering didapati, sedangkan tulang rawan yang lain jarang

3. Didapati adanya robekan melintang berupa garis berwarna merah (red line) pada tunika

intimadari arteri karotis interna.

2.3.2 Pembekapan

2.3.2.1 Defenisi

Pembekapan (smoothering) adalah asfiksia yang terjadi karena ditutupnya saluran

napas bagian luar yaitu hidung dan mulut korban sekaligus. Biasanya dilakukan terhadap

korban yang lemah atau tidak berdaya. Bisa dilakukan dengan telapak tangan atau

memakai benda lain seperti kain, handuk, bantal plester lebar, menekan muka korban

kekasur dan lain-lain. Pembunuhan anak atau pembunuhan pada orang tua dan orang

lemah lainnya sering menggunakan cara ini. Bila daerah mulut dan hidung kecil maka

pemakaian telapak tangan cukup untuk itu, tetapi bila lebih luas dan kemungkinan tidak

dapat ditutup sekaligus maka dipergunakan bantal, selimut, atau bahan yang lain.

Dapat juga terjadi karena kecelakaan pada anak karena tertindih bantal atau

tertindih buah dada karena ketiduran waktu menyusukan bayi. Walaupun jarang, dapat

juga terjadi bunuh diri dengan cara mengikatkan gulungan kain atau bantal menutup muka.

2.3.2.2 Tanda Post Mortem

Dijumpai tanda-tanda perbendungan, muka bengkak (congested), bintik perdarahan

pada bola dan kelopak mata (tardeou’s spot), mata melotot dan sianose pada bagian akral

tubuh seperti kuku, bibir, hidung, dan kuping, luka lecet dan hematom karena tekanan

dibagian dalam bibir.

Pada pembunuhan, bila digunakan tenaga lebih dari seperlunya, didapati luka lecet

disekitar mulut dan hidung. Tetapi bila dipakai bahan yang halus atau muka korban

dibalikkan kekasur maka tanda-tanda kekerasan seperti lecet mungkin sedikit atau tidak

didapati sama sekali. Sebab kematian, murni karena kekurangan oksigen.

13

Page 14: asfiksia

2.3.3 Penyumbatan Saluran Nafas (Gagging dan Choking)

Sumbatan saluran nafas bagian atas oleh benda asing. Pada gagging sumbatan pada

orofaring, mulut disumpal dengan kain, sedangkan pada choking sumbatan pada

laringofaring. Ini sering pada anak tertelan bombon, kacang dan lain-lain. Jenis asfiksia ini

jarang ditemukan, kecuali pada pembungkaman korban dengan penyumpalan mulut

dengan kain, begitu juga pada pembunuhan anak.

Tanda post mortem yang penting adalah tanda-tanda asfiksia dan adanya benda asing

didalam mulut. Benda asing bisa berupa potongan kain, kertas koran, tisu, sapu-tangan,

gigi palsu dan sebagainya.

2.3.4 Penjeratan (Strangulation)

2.3.4.1 Defenisi

Jerat (strangulation by ligature) adalah suatu strangulasi berupa tekanan pada leher

korban akibat suatu jeratan dan menjadi erat karena kekuatan lain bukan karena berat

badan korban.

2.3.4.2 Etiologi Kematian pada Penjeratan

Ada 3 penyebab kematian pada jerat (strangulation by ligature), yaitu :

a. Asfiksia

b. Iskemia

c. Vagal refleks

2.3.4.3 Cara Kematian pada Penjeratan

Ada 3 cara kematian pada kasus jeratan (strangulation by ligature), yaitu :

a. Pembunuhan (paling sering).

Pembunuhan pada kasus jeratan dapat kita jumpai pada kejadian infanticide dengan

menggunakan tali pusat, psikopat yang saling menjerat, dan hukuman mati (zaman

dahulu).

b. Kecelakaan.

Kecelakaan pada kasus jeratan dapat kita temukan pada bayi yang terjerat oleh tali

pakaian, orang yang bersenda gurau dan pemabuk. Vagal reflex menjadi penyebab

kematian pada orang yang bersenda gurau.

c. Bunuh diri.

14

Page 15: asfiksia

Pada kasus bunuh diri dengan jeratan, dilakukan dengan melilitkan tali secara

berulang dimana satu ujung difiksasi dan ujung lainnya ditarik. Antara jeratan dan

leher dimasukkan tongkat lalu mereka memutar tongkat tersebut.

Hal-hal penting yang perlu kita perhatikan pada kasus jeratan, antara lain :

a. Arah jerat mendatar / horisontal.

b. Lokasi jeratan lebih rendah daripada kasus penggantungan.

c. Jenis simpul penjerat.

d. Bahan penjerat misalnya tali, kaus kaki, dasi, serbet, serbet, dan lain-lain.

e. Pada kasus pembunuhan biasanya kita tidak menemukan alat yang digunakan untuk

menjerat.

2.3.4.4 Gambaran Post mortem

Pemeriksaan otopsi pada kasus jeratan (strangulation by ligature) mirip kasus

penggantungan (hanging) kecuali pada :

a. Distribusi lebam mayat yang berbeda.

b. Alur jeratan mendatar / horisontal.

c. Lokasi jeratan lebih rendah.

2.3.5 Pencekikan

2.3.5.1 Definisi

Pencekikan (manual strangulasi) adalah suatu strangulasi berupa tekanan pada leher

korban yang dilakukan dengan menggunakan tangan atau lengan bawah. Pencekikan dapat

dilakukan dengan 3 cara, yaitu:

a. Menggunakan 1 tangan dan pelaku berdiri di depan korban.

b. Menggunakan 2 tangan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang korban.

c. Menggunakan 1 lengan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang korban.

Apabila pelaku berdiri di belakang korban dan menarik korban ke arah pelaku maka ini

disebut mugging.

2.3.5.2 Etiologi Kematian pada Pencekikan

Ada 3 penyebab kematian pada pencekikan, yaitu :

a. Asfiksia

b. Iskemia

15

Page 16: asfiksia

c. Vagal reflex

2.3.5.3 Cara Kematian pada Pencekikan

Ada 2 cara kematian pada kasus pencekikan, yaitu :

a. Pembunuhan (hampir selalu).

b. Kecelakaan, biasanya mati karena vagal reflex.

2.3.5.4 Gambaran Post mortem Pencekikan

A. Pemeriksaan Luar

Yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan luar kasus pencekikan, antara lain :

1. Tanda asfiksia.

Tanda-tanda asfiksia pada pemeriksaan luar otopsi yang dapat kita temukan antara lain

adanya sianotik, petekie, atau kongesti daerah kepala, leher atau otak. Lebam mayat

akan terlihat gelap.

2. Tanda kekerasan pada leher.

Tanda kekerasan pada leher yang penting kita cari, yaitu bekas kuku dan bantalan jari.

Bekas kuku dapat kita kenali dari adanya crescent mark, yaitu luka lecet berbentuk

semilunar/bulan sabit. Terkadang kita dapat menemukan sidik jari pelaku. Perhatikan

pula tangan yang digunakan pelaku, apakah tangan kanan (right handed) ataukah

tangan kiri (left handed). Arah pencekikan dan jumlah bekas kuku juga tak luput dari

perhatian kita.

3. Tanda kekerasan pada tempat lain.

Tanda kekerasan pada tempat lain dapat kita temukan di bibir, lidah, hidung, dan lain-

lain. Tanda ini dapat menjadi petunjuk bagi kita bahwa korban melakukan perlawanan.

B. Pemeriksaan Dalam

Hal yang penting pada pemeriksaan dalam bagian leher kasus pencekikan, yaitu :

1. Perdarahan atau resapan darah.

Perdarahan atau resapan darah dapat kita cari pada otot, kelenjar tiroid, kelenjar ludah,

dan mukosa & submukosa pharing atau laring.

2. Fraktur.

Fraktur yang paling sering kita temukan pada os hyoid. Fraktur lain pada kartilago

tiroidea, kartilago krikoidea, dan trakea.

3. Memar atau robekan membran hipotiroidea.

16

Page 17: asfiksia

4. Luksasi artikulasio krikotiroidea dan robekan ligamentum pada mugging.

2.3.6 Tenggelam

Tenggelam adalah penyebab signifikan kecacatan dan kematian. Tenggelam telah

didefenisikan sebagai kematian sebelumnya sekunder untuk sesak napas sementara

terbenam dalam suatu cairan, biasanya air, atau dalam waktu 24 jam perendaman. Pada

Kongres Dunia 2002 yang diadakan di Amsterdam, sekelompok ahli menyarankan sebuah

definisi konsensus baru untuk tenggelam dalam rangka mengurangi kebingungan atas

jumlah istilah dan definisi (> 20) merujuk kepada proses ini yang telah muncul dalam

literatur. Grup yang percaya bahwa definisi yang seragam akan memungkinkan analisa

lebih akurat dan perbandingan studi, memungkinkan peneliti untuk menarik kesimpulan

lebih bermakna dari mengumpulkan data, dan meningkatkan kemudahan kegiatan

surveilans dan pencegahan (Shepherd, 2009).

2.3.6.1 Definisi

Tenggelam secara definisi tenggelam diartikan sebagai suatu keadaan tercekik dan

mati yang disebabkan oleh terisinya paru dengan air atau bahan lain atau cairan sehingga

pertukaran gas menjadi tidak mungkin. Sederhananya, tenggelam adalah merupakan akibat

dari terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke dalam cairan (Idries, 1997).

2.3.6.2 Jenis Tenggelam

Tenggelam dibagi menjadi beberapa jenis antara lain :

a. wet drowning

b. dry drowning

c. secondary drowning

d. the immersion syndrome (cold water drowning), (Modi, 1988)

Wet drowning adalah kematian tenggelam akibat terlalu banyaknya air yang

terinhalasi. Pada kasus wet drowning ada tiga penyebab kematian yang terjadi, yaitu

akibat asfiksia, fibrilasi ventrikel pada kasus tenggelam di air tawar, dan edema paru pada

kasus tenggelam di air asin.

Dry drowning adalah suatu kematian tenggelam dimana air yang terinhalasi sedikit.

Penyebab kematian pada kasus ini sendiri dikarenakan terjadinya spasme laring yang

menimbulkan asfiksia dan terjadinya refleks vagal, cardiac arrest, atau kolaps sirkulasi

(Modi, 1988).

17

Page 18: asfiksia

Secondary drowning adalah suatu keadaan dimana terjadi gejala beberapa hari setelah

korban tenggelam (dan diangkat dari dalam air) dan korban meninggal akibat komplikasi.

Immersion drowning adalah suatu keadaan dimana korban tiba-tiba meningga l setelah

tenggelam dalam air dingin akibat refleks vagal. Pada umumnya alkohol dan makan terlalu

banyak merupakan faktor pencetus pada kejadian ini (Modi, 1988).

2.3.6.3 Pemeriksaan pada Kasus Tenggelam

1. Pemeriksaan luar

Penurunan suhu mayat, berlangsung cepat, rata-rata 50F per menit. Suhu tubuh akan

sama dengan suhu lingkungan dalam waktu 5 atau 6 jam.

Lebam mayat, akan tampak jelas pada dada bagian depan, leher dan kepala. Lebam

mayat berwarna merah terang yang perlu dibedakan dengan lebam mayat yang terjadi pada

keracunan CO.

Pembusukan sering tampak, kulit berwarna kehijauan atau merah gelap. Pada

pembusukan lanjut tampak gelembung-gelembung pembusukan, terutama bagian atas

tubuh, dan skrotum serta penis pada pria dan labia mayora pada wanita, kulit telapak

tangan dan kaki mengelupas.

Gambaran kulit angsa (goose-flesh, cutis anserina), sering dijumpai; keadaan ini terjadi

selama interval antara kematian somatik dan seluler, atau merupakan perubahan post

mortal karena terjadinya rigor mortis. Cutis anserina tidak mempunyai nilai sebagai kriteria

diagnostik.

Busa halus putih yang berbentuk jamur (mushroom-like mass) tampak pada mulut atau

hidung atau keduanya. Terbentuknya busa halus tersebut adalah masuknya cairan ke dalam

saluran pernapasan merangsang terbentuknya mukus, substansi ini ketika bercampur

dengan air dan surfaktan dari paru-paru dan terkocok oleh karena adanya upaya pernapasan

yang hebat. Pembusukan akan merusak busa tersebut dan terbentuknya pseudofoam yang

berwarna kemerahan yang berasal dari darah dan gas pembusukan.

Perdarahan berbintik (petechial haemmorrhages), dapat ditemukan pada kedua kelopak

mata, terutama kelopak mata bagian bawah.

Pada pria genitalianya dapat membesar, ereksi atau semi-ereksi. Namun yang paling

sering dijumpai adalah semi-ereksi.

Pada lidah dapat ditemukan memar atau bekas gigitan, yang merupakan tanda bahwa

korban berusaha untuk hidup, atau tanda sedang terjadi epilepsi, sebagai akibat dari

masuknya korban ke dalam air.

18

Page 19: asfiksia

Cadaveric spasme, biasanya jarang dijumpai, dan dapat diartikan bahwa berusaha

untuk tidak tenggelam, sebagaimana sering didapatkannya dahan, batu atau rumput yang

tergenggam, adanya cadaveric spasme menunjukkan bahwa korban masih dalam keadaan

hidup pada saat terbenam.

Luka-luka pada daerah wajah, tangan dan tungkai bagian depan dapat terjadi akibat

persentuhan korban dengan dasar sungai, atau terkena benda-benda di sekitarnya; luka-

luka tersebut seringkali mengeluarkan “darah”, sehingga tidak jarang memberi kesan

korban dianiaya sebelum ditenggelamkan.

Pada kasus bunuh diri dimana korban dari tempat yang tinggi terjun ke sungai,

kematian dapat terjadi akibat benturan yang keras sehingga menyebabkan kerusakan pada

kepala atau patahnya tulang leher.

Bila korban yang tenggelam adalah bayi, maka dapat dipastikan bahwa kasusnya

merupakan kasus pembunuhan. Bila seorang dewasa ditemukan mati dalam empang yang

dangkal, maka harus dipikirkan kemungkinan adanya unsur tindak pidana, misalnya

setelah diberi racun korban dilempar ke tempat tersebut dengan maksud mengacaukan

penyidikan (Idries, 1997).

2. Pemeriksaan dalam

Untuk sebagian kasus asfiksia merupakan penyebab umum terjadinya kematian ini. Hal

tersebut dikarenakan air yang masuk ke paru-paru akan bercampur dengan udara dan lendir

sehingga menghasilkan buih-buih halus yang memblok udara di vesikula. Dalam beberapa

kasus, kematian dapat terjadi dari asfiksia obstruktif yang juga dikenal sebagai tenggelam

kering yang disebabkan oleh kejang laring yang dibentuk oleh sejumlah kecil air yang

memasuki laring. Pada beberapa kasus lainnya air tidak masuk ke paru-paru sehingga

tanda-tanda klasik tenggelam tidak dapat kita temukan (Modi, 1988)

Sebelum kita melakukan pemeriksaan dalam pada korban tenggelam, kita harus

memperhatikan apakah mayat korban tersebut sudah dalam keadaan pembusukan lanjut

atau belum. Apabila keadaan mayat telah mengalami pembusukan lanjut, maka

pemeriksaan dan pengambilan kesimpulan akan menjadi lebih sulit.

Pemeriksaan terutama ditujukan pada sistem pernapasan, busa halus putih dapat

mengisi trakhea dan cabang-cabangnya, air juga dapat ditemukan, demikian pula halnya

dengan benda-benda asing yang ikut terinhalasi bersama air.

19

Page 20: asfiksia

Benda asing dalam trakhea dapat tampak secara makroskopik misalnya pasir, lumpur,

binatang air, tumbuhan air dan sebagainya. Sedangkan yang tampak secara mikroskopik

diantaranya telur cacing dan diatome (Idries, 1997).

Diatome adalah sejenis ganggang yang mempunyai dinding dari silikat. Silikat ini

tahan terhadap pemanasan dan asam keras. Diatome dijumpai di air tawar, air laut, sungai,

sumur, dan lain-lain.

Pada korban mati tenggelam diatome akan masuk ke dalam saluran pernafasan dan

saluran pencernaan, karena ukurannya yang sangat kecil, ia di absorpsi dan mengikuti

aliran darah. Diatome ini dapat sampai ke hati, paru, otak, ginjal, dan sumsum tulang. Bila

diatome positif berarti korban masih hidup sewaktu tenggelam.

Oleh karena banyak terdapat di alam dan tergantung musim, maka tidak ditemukannya

diatome tidak dapat menyingkirkan bahwa korban bukan mati tenggelam. Relevansi

diatome terbatas pada tenggelam dengan mekanisme asfiksia.

Cara pemeriksaan diatome adalah :

1. Ambil jaringan paru sebanyak 150-200 gram, bersihkan lalu masukkan ke dalam

tabung Erlenmeyer, masukkan H2SO4 pekat sampai menutup seluruh jaringan paru

dan biarkan selama 24 jam sehingga seluruh jaringan paru hancur dan seperti bubur

hitam.

2. Panaskan dengan api yang kecil sampai mendidih sehingga semuanya benar-benar

hancur.

3. Tuangkan ke dalamnya beberapa tetes HNO3 pekat, sampai warnanya kuning

jernih.

4. Cairan disentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm.

5. Sedimennya dicuci dengan akuades kemudian disentrifuge lagi. Sedimennya dilihat

dibawah mikroskop. Periksalah kerangka diatome yang berupa sel-sel yang cerah

dengan dinding bergaris-garis bentuk bulat, panjang, dan lain-lain (Modi, 1988).

Pleura juga dapat kita temukan pada pemeriksaan kasus ini. Pleura yang ditemukan

dapat berwarna kemerahan dan terdapat bintik-bintik perdarahan, perdarahan ini dapat

terjadi karena adanya kompresi terhadap septum inter alveoli atau oleh karena terjadinya

fase konvulsi akibat kekurangan oksigen.

Bercak perdarahan yang besar (diameter 3-5 cm), terjadi karena robeknya partisi

interalveolar dan sering terlihat di bawah pleura. Bercak ini disebut bercak “Paltouf” yang

ditemukan pada tahun 1882 dan diberi nama sesuai dengan nama yang pertama mencatat

kelainan tersebut.

20

Page 21: asfiksia

Bercak paltoufberwarna biru kemerahan dan banyak terlihat pada bagian bawah paru-

paru, yaitu pada permukaan anterior dan permukaan antar bagian paru-paru. (Spitz, 1997).

Kongesti pada laringmerupakan kelainan yang berarti, paru-paru biasanya sangat

mengembang, seringkali menutupi perikardium dan pada permukaan tampak adanya jejas

dari tulang iga, pada perabaan kenyal.

Edema dan kongesti paru-paru dapat sangat hebat sehingga beratnya dapat mencapai

700-1000 gram, dimana berat paru-paru normal adalah sekitar250-300 gram(Williams,

1998).

Paru-paru pucat dengan diselingi bercak-bercak merah di antara daerah yang berwarna

kelabu. Pada pengirisan tampak banyak cairan merah kehitaman bercampur buih keluar

dari penampang tersebut, yang pada keadaan paru-paru normal, keluarnya cairan

bercampur busa tersebut baru tampak setelah dipijat dengan dua jari. Gambaran paru-paru

seperti tersebut diatas dikenal dengan nama “emphysema aquosum” atau “emphysema

hydroaerique”.

Obstruksi pada sirkulasi paru-paru akan menyebabkan distensi jantung kanan dan

pembuluh vena besar dan keduanya penuh berisi darah yang berwarna merah gelap dan

cair, tidak ada bekuan (Idries, 1997).

2.4 Visum et Repertum

2.4.1 Definisi Visum et Repertum

“Visum et Repertum artinya laporan ahli (pengadilan) dan sambil menunjuk LN

1937-380 RIB/306”

Sepintas lalu, rationalnya apa yang dimaksud oleh Mr. Van Der Tas sudah langsung

masuk dalam pengertian perundang-undangan. Karena itu dimungkinkan sekali oleh kaum

awam untuk dapat dimengerti.

R. Atang Ranoemihardja, SH menulis:

“Pengertian yang terkandung dalam Visum et Repertum ialah yang “diliha” dan

“ketemukan”, jadi Visum et Repertum adalah suatu keterangan dokter tentang apa yang di

lihat dan di ketemukan dalam melakukan terhadap orang luka atau terhadap mayat. Jadi

merupakan kesaksian tertulis”.

R. Soeparmono, SH menulis:

“Pengertian harafiah Visum et Repertum berasal dari kata-kata “visual” yaitu

melihat dan “repertum” yaitu melaporkan. Berarti “apa yang dilihat dan diketemukan”

sehingga Visum et Repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang

21

Page 22: asfiksia

dibuat berdasarkan sumpah, perihal apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup,

mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan

pengetahuan yang sebaik-baiknya”.

Atas dasar penglihatan dalam pemeriksaan in casu selanjutnya diambil kesimpulan

yang juga merupakan pendapat dari seorang ahli ataupun kesaksian (ahli) secara tertulis

sebagaimana yang tertuang dalam bagian pembuktian (hasil pemeriksaan).

Umumnya diketahui pada garis besarnya bahwa Visum et Repertum adalah

merupakan suatu hasil dari keterangan yang dilihat dan ditemukan berdasarkan

pemeriksaan yang sebaik-baiknya dari seorang dokter tentang hal ikhwal victim yang

sudah mati karena kekerasan (ruda paksa) atau karena akibat penganiayaan, kejahatan yang

berhubungan dengan susila (perkosaan). Untuk mencapai sasaran pemeriksaan yang

efektif, pihak alat negara yang berkecimpung dilingkungan hukum acara pidanaseperti

polisi dan jaksa juga harus mengetahui atau mempelajari tentang ilmu tabib Kehakiman

atau ilmu forensik lainnya secara matang dan patut berkewajiban untuk minta seorang ahli

lainnya selain seorang dokter.

2.4.2 Dasar Hukum Visum et Repertum

A. Visa Reperta Ordonantic 22 Mei 1937, stb 1937-350 setelah mencabut berlakunya

ordonansi S.92-106 jo 22-198 tertulis:

Pasal 1:

Visa Reperta seorang dokter yang dibuat baik atas ......... jabatannya yang diucapkan

pada waktu menyelesaikan penyelenggaraannya di negeri Belanda atau Indonesia,

maupun atas sumpah istimewa seperti tercantum dalam pasal 2, mempunyai daya bukti

yang syah dalam perkara-perkara pidana, selama visa reperta tersebut berisi keterangan

mengenai hal-hal yang dilihat dan ditentukan oleh dokter itu pada benda yang

diperiksa.

Pasal 2 (1) :

Para dokter yang tidak pernah mengucapkan sumpah jabatan baik di negeri Belanda

maupun Indonesia sebagai tersebut dalam pasal 1 di atas, dapat mengucapkan sumpah

sebagai berikut:

“Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya sebagai seorang dokter akan membuat

pernyataan-pernyataan atau keterangan-keterangan tertulis yang dibutuhkan untuk

kepentingan peradilan dengan sebenar-benarnya menurut pengetahuan saya yang

22

Page 23: asfiksia

sebaik-baiknya. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan kekuatan lahir dan

batin”.

Pasal 2 (2) :

Sumpah tersebut pada ayat 1 di atas, yang diminta oleh seorang dokter di Jawa dan

Madura dilakukan oleh kepala daerah setempat dimana dokter itu bertinggal.

Hasil dari pada penyumpahan tersebut dibuat proses verbal rangkap tiga, yaitu satu

lembar untuk yang bersangkutan (yang disumpah), satu lembar diserahkan kepada

kepala dinas kesehatan dan satu lembar sisanya disimpan di kantor pejabat

menyumpahnya untuk arsip.

B. Rechtsreglement Buitengewesten pasal 397 (3) jo pasal 492 ayat (4) yaitu keterangan

yang dibuat oleh dokter dan ditanda tangani oleh dokter yang bersangkutan.

Visum et Repertum semata-mata hanya dibuat agar suatu perkara pidana menjadi jelas

dan hanya berguna bagi kepentingan pemeriksaan dan untuk keadilan serta diperuntukan

bagi kepentingan peradilan. Dengan demikian Visum et Repertum tidaklah dibuat atau

diterbitkan untuk kepentingan yang lain.

Pembuatan Visum et Repertum selalu didahului dengan perkataan: Pro Yusticia.

Jikalau dilihat menurut sifatnya maka Visum et Repertum dapat dibagi dalam tiga macam

(pada umumnya bagi Visum et Repertum korban hidup):

1. Visum et Repertum yang dibuat (lengkap) sekaligus atau definitif Lazimnya ditulis:

Visum et Repertum.

2. Visum et Repertum sementara

Misalnya visum yang dibuat bagi si korban yang sementara masih dirawat di

Rumah Sakit akibat luka-lukanya-karena penganiayaan.

Lazimnya ditulis: Visum et Repertum (sementara).

3. Visum et Repertum lanjutan

Misalnya visum bagi si korban yang luka tersebut (Visum et Repertum sementara)

kemudian lalau meninggalkan Rumah Sakit ataupun akibat luka-lukanya tersebut si

korban kemudian dipindahkan kerumah sakit atau dokter lain, melarikan diri,

pulang dengan paksa atau meninggal dunia.

Lazimnya ditulis Visum et Repertum (lanjutan).

Pemakaian istilah pada berbagai macam Visum et Repertum kadang berlainan,

namun maksudnya dapat dipahami.

23

Page 24: asfiksia

Visum et Repertum pertama bagi korban hidup, yang terjadi oleh karena atau

diakibatkan benda tumpul, benda yang tajam, bahan kimia atau racun, obat pembasmi cair

(basah), atau kering, tembakan senjata api dari jarak dekat atau jauh, tenggelam, mencoba

bunuh diri atau lainnya, sehingga perlu diobati ataupun dirawat nginap disuatu Rumah

Sakit. Kemudian dalam hal dibuatkan Visum et Repertum akhir (penghabisan) dari suatu

hal atau peristiwa dan itu hanya boleh dibuat oleh dokter atau dokter ahli yang mengobati

atau menanganinya semula.

Pembagian menurut sifatnya, oleh karena dihubungkan dengan kedudukan dari

Visum et Repertum tersebut dari aspek yuridis, sebagai alat bukti pro yustisia yang

dilampirkan dalam berkas perkara dan apabila kelengkapan sebagai alat bukti itu belum

lengkap (sempurna), kelengkapannya tersebut masih dapat dibuat/disusulkan kemudian.

Sedangkan, apabila dihubungkan dengan keadaaan sebenarnya menurut kenyataan, sifat

Visum et Repertum tersebut berkaitan dengan kenyataan kondisi (realita) saat itu,

misalnya, keadaan luka tubuh korban, keadaaan mayat korban saaat itu dan sebagainya.

Semua keadaan tersebut didasarkan atas kondisi/keadaan dari bukti hidup, mayat (jenazah)

atau bukti fisik ataupun barang bukti lain yang diperiksa menurut kenyataannya (realita)

serta dibuat dalam kedudukannya Visum et Repertum itu dari aspek teknis karena

didasarkan atas permintaan, kemudian memeriksa, meneliti, menemukan pendapatnya.

Maksud Visum et Repertum adalah , sebagai pengganti corpus delicti, karena apa

yang telah dilihat dan diketemukan dokter (ahli) itu dilakukan subjektif mungkin, sebagai

pengganti peristiwa/keadaan yang terjadi dan pengganti bukti yang telah diperiksa dengan

menurut kenyataan atau fakta-faktanya, sehingga berdasarkan atas pengetahuan yang

sebaik-baiknya atas dasar keahliannya tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat

dan akurat. Disamping itu kemungkinan yang lain adalah, apabila pada waktu dilakukan

pemeriksaan perkaranya tersebut di sidang pengadilan maka suatu luka (misalnya) yang

disebabkan tindak pidana penganiayaan telah sembuh atau korban yang telah meninggal

akibat tindak pidana pembunuhan sewaktu sidang dilakukan telah membusuk atau dikubur,

maka guna mencegah perubahan keadaan tersebut, dibuatlah Visum et Repertum.

Tujuan Visum et Repertum adalah, untuk memberikan kepada hakim (majelis)

suatu kenyataan akan fakta-fakta dari bukti-bukti tersebut atas semua keadaan/hal

sebagaimana tertuang dalam pembagian pemberitaan agar hakim dapat mengambil

putusannya dengan tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta tersebut, sehingga dapat

menjadi pendukung atas keyakinan hakim.

24

Page 25: asfiksia

Semuakenyataan atau fakta-fakta tersebut kemudian ditarik suatu “kesimpulan”,

maka atas dasar pendapatnya yang dilandasi dengan pengetahuan yang sebaik-baikya

berdasar atas keahlian dan pengalamannya tersebut, diharapkan guna usaha membantu

pemecahan pengungkapan pokok masalahnya (pokok soal) menjadi jelas dan hal itu

diserahkan kepada hakim sepenuhnya. Lain dari itu dengan Visum et Repertum masih

dimungkinkan “orang ahli” yang lain dipanggil, guna mempertimbangkan pendapatnya

dari kesimpulan dokter(ahli) yang membuat Visum et Repertum tersebut. Hal itu juga

dibenarkan oleh yurisprudensi mahkamah agung RI yang menentukan, bahwa sebagai

pengganti Visum et Repertum dapat juga didengar keterangan saksi ahli (= orang ahli yang

lain). Bagi hakim, maka Visum et Repertum merupakan alat bukti sah dapat berlaku

sebagai alat bukti surat atau keterangan ahli, seperti telah dijelaskan di muka.

Prinsipnya tanggung jawab penuh ada pada dokter (ahli) yang membuatnya, maka

dari itu hakim (pengadilan) dapat memanggilnya untuk datang menghadap kemuka

persidangan.

Suatu perubahan atau perbaikan atas Visum et Repertum pada dasarnya dapat

dibenarkan, asalkan disertai dasar alasan yang benar atau dapat dipertanggung jawabkan

kebenarannya serta harus dibuat dan ditanda tangani dokter (ahli) pembuatnya. Kecuali

apabila tidak dimungkinkan kembali seperti: pensiun atau alasan lain, dapat dilakukan dan

ditertibkan oleh dokter (ahli) lain. Hal itu merupakan Visum et Repertum ulangan.

Sedangkan bagi hakim (pengadilan), maka nilai atau penghargaan pembuktian

terhadap, suatu macam Visum et Repertum, apakah Visum et Repertum itu telah “Definitif

dengan kesimpulan” atau bersifat “sementara” maupun berupa “Visum et Repertum

lanjutan” adalah sama, oleh karena itu hakim di dalam perkara pidana, hakim selalu

berusaha untuk mencari kebenaran materil (materiele waarheid) suatu perkara dan oleh

karena itu nilai/penghargaan terhadap kekuatan buktinya diserahkan kepada penilaian dan

keyakinan majelis hakim.

Keterangan ahli dokter ahli kedokteran kehakiman yang diperlukan oleh penyidik

bagi kepentingan peradilan mencakup, keterangan ahli tentang pemeriksaan luka,

pemeriksaan mayat, pemerikasaan bedah mayat dan penggalian mayat, menurut ketentuan

dalam KUHAP.

2.4.3 Jenis-jenis Visum Et Repertum

Visum et repertum terdiri dari beberapa jenis, antara lain :

1. Visum untuk korban hidup

25

Page 26: asfiksia

Yang termasuk visum untuk korban hidup adalah visum yang diberikan untuk korban

luka-luka karena kekerasan, keracunan, perkosaan, psikiatri dan lain-lain. Berdasarkan

waktu pemberiannya visum untuk korban hidup dapat dibedakan atas :

a. Visum seketika ( definitive )

yaitu visum yang langsung diberikan setelah korban selesai diperiksa. Visum inilah

yang paling banyak dibuat oleh dokter.

b. Visum sementara

yaitu visum yang diberikan pada korban yang masih dalam perawatan. Biasanya

visum sementara ini diperlukan penyidik untuk menentukan jenis kekerasan, sehingga

dapat menahan tersangka atau sebagai petunjuk dalam menginterogasi tersangka.

Dalam visum sementara ini, belum ditulis kesimpulan.

Pemberian visum sementara ini hanya merupakan barang bukti untuk melakukan

penangkapan dan penahanan terhadap terdakwa atas telah terjadinya suatu peristiwa

pidana, misalnya penganiayaan, pemerkosaan, percobaan membunuh dan lain-lain.

Penangkapan dan penahanan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang dengan

hanya dilandasi adanya dugaan. Akan tetapi harus didasarkan atas bukti-bukti

permulaan.

Apabila sikorban sudah sembuh atau sudah meninggal, maka dokter harus

mengganti visum sementara yang telah dikeluarkan terdahulu dan berkewajiban untuk

membuat visum yang baru. Dalam visum yang baru sebagai pengganti visum

sementara, dokter telah sampai pada kesimpulan tentang apa yang dilihat dan

diketahuinya dari tubuh korban unutk bahan pembuktian dipersidangan. Sedangkan

visum sementara tadi tidak dapat diajukan sebagai alat bukti karena dalam visum

sementara dokter belum sampai pada suatu kesimpulan terhadap apa yang dilihat dan

didapat dari pemeriksaan korban.

c. Visum lanjutan

yaitu visum yang diberikan setelah korban sembuh atau meninggal dan merupakan

lanjutan dari visum sementara yang telah diberikan sebelumnya. Dalam visum ini harus

dicantumkan nomor dan tanggal dari visum sementara yang telah diberikan. Dalam

visum ini dokter telah membuat kesimpulan. Visum lanjutan tidak perlu dibuat oleh

dokter yang membuat visum sementara, tetapi oleh dokter yang terakhir merawat

penderita.

2. Visum jenazah

Visum et repertum jenazah dapat dibedakan atas beberapa, yaitu :

26

Page 27: asfiksia

a. Visum dengan pemeriksaan luar

Pemeriksaan luar yang dimaksud tidak dapat memberikan kepada umum apakah

pemeriksaan pertama bagian luar saja, oleh karena kurang jelas disebutkan tetapi

mungkin pembuat undang-undang hanyalah pemeriksaan luar saja. Pemeriksaan mayat

yang hanyaditujukan pada bagian luar saja pada umumnya kurang dapat memberikan

hasil yang diharapkan dalam membuktikan faktor penyebab kematian sikorban atau

dengan kata lain hasil pemeriksaan tersebut kurang sempurna.

b. Visum dengan pemeriksaan luar dan dalam

Visum ini sering menimbulkan permasalahan antara penyidik, dokter dan

masyarakat terutama dalam visum pemeriksaan luar dan dalam ( autopsy ). Masalah

disini adalah hambatan dari keluarga korban bila visum harus dibuat melalui bedah

mayat. Pemeriksaan bedah mayatberarti membuka semua rongga tubuh ( kepala, dada,

perut, dan pinggul ) dan memeriksa semua alat-alat (organ) untukdapat menentukan

sebeb kematian maupun penyakit atau kelainan yang mungkin terdapat pada si korban.

Apabila ditinjau dari segi yuridis, pemeriksaan bedah mayat bukanlah sekedar

menentukan kematian sikorban saja melainkan melalui pemeriksaan tersebut akan

dapat menjawab apakah perbuatan terdakwa merupakan satu-satunya penyebab

kematian korban atau pada korban terdapat penyakit atau kelainan yang mempermudah

atau mempercepat kematiannya sehingga berdasarkan teori yang dianut oleh hakim

pada saat mengadili perkara dapat dijatuhi hukuman seadil-adilnya.

Permintaan bedah mayat ini merupakan otopsi dan harus mendapat izin dan

persetujuan dari keluarga korban serta memperlakukan mayat dengan penuh

penghormatan. Hasil dari pemeriksaan bedah mayat tersebut nantinya dituangkan oleh

saksi ahli kedalam visum et repertum. Dokter dalam membuat visum et repertum

jenazah dari mayat yang diperiksanya tidak dapat menyebutkan bahwa si korban mati

akibat pembunuhan walaupun dokter mengetahui bahwa kematian sikorban disebabkan

karena pembunuhan. Dokter dalam kesimpulannya hanya membuat keterangan tentang

kematian korban, misalnya,kematian akibat keracunan, pendarahan diotak dan

sebagainya.

2.4.4 Bentuk dari Visum Et Repertum

Bentuk visum et repertum yang sekarang dipakai adalah warisan para pakar kedokteran

kehakiman yaitu profesor H. Muller, Prof Mas soetedjo Mertodidjojo dan Prof Sutomo

27

Page 28: asfiksia

Tjokronegoro sejak puluhan tahun yang lalu. Konsep visum et repertum ini disusun dalam

kerangka dasar yang terdiri dari :

1. Pro- Yustisia

Menyadari bahwa semua surat baru syah di pengadilan apabila dibuat diatas kertas

bermaterai dan hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap visum et repertum yang

dibuatnya harus memakai kertas materai. Berpedoman kepada peraturan pos, maka bila

dokter menulis Pro-Yustisia dibagian atas visum, maka itu sudah dianggap sama dengan

kertas materai.

Penulisan kata Pro-Yustisia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar pembuat

maupun pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi keadilan

(pro-yustisia). Hail ini sering terabaikan oleh pembuat maupun pemakai tentang arti

sebenarnya kata pro-yustisia ini. Bila dokter sejak semula memahami bahwa laporan yang

dibuatnya tersebut adalah sebagai partisipasinya secara tidak langsung dalam menegakkan

hukum dan keadilan, maka saat mulai memeriksa korban ia telah menyadari bantuan yang

diberikan akan dipakai sebagai salah satu alat bukti yang syah dalam menegakkan hukum

dan keadilan. Dengan kata lain kata Pro-Yustisia harus dicantumkan dikiri atas, dengan

demikian visum et repertum tidak perlu bermaterai.

2. Pendahuluan

Bagian pendahuluan berisi tentang siapa yang memeriksa dan siapa yang diperiksa,

saat pemeriksaan (tanggal, hari dan jam), dimana diperiksa, mengapa diperiksa dan atas

permintaan siapa visum itu dibuat. Data diri korban diisi sesuai dengan yang tercantum

dalam permintaan visum.

3. Pemeriksaan

Bagian yang terpenting dari visum sebetulnya terletak pada bagian ini, karena apa yang

dilihat dan ditemukan dokter sebagai terjemahan dari visum et repertum itu terdapat pada

bagian ini. Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya secara obyektif dan

pada bagian ini dokter menuliskan luka, cedera dan kelainan pada tubuh korban seperti apa

adanya. Misalnya terdapat suatu luka, dokter menuliskan dalam visum suatu luka

berbentuk panjang, dengan panjang 10 cm, dan lebar luka 2 cm dan dalam luka 4 cm,

pinggir luka rata, jaringan dalam luka terputus tanpa menyebutkan jenis luka. Menurut

penulis cara penulisan ini lebih baik langsung disebut sebuah luka sayat dengan rincian

seperti diatas. Demikian juga dengan luka robek, luka tembak dal lain-lain.

Pada bagian pemeriksaan ini, bila dokter mendapat kelainan yang banyak atau luas dan

akan sulit menjelaskannya dengan kata-kata, maka sebaiknya penjelasan ini disertai

28

Page 29: asfiksia

dengan lampiran foto atau sketsa. Tujuannya adalah karena dengan lampiran foto atau

sketsa pemakain visum akan lebih mudah memahami penjelasan yang ditulis dengan kata-

kata dalam visum.

4. Kesimpulan

Bagian ini memuat pendapat pribadi dokter sendiri, bersifat subyektif dan dipengaruhi

oleh pengetahuan dan pengalaman. Untuk pemakain visum, ini adalah bagian yang

penting, karena dokter diharapkan dapat menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban

menurut keahliannya.

Pada korban luka perlu penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab akibat dari

kelainan, tentang derajat kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan bagaimana

harapan kesembuhan. Pada korban perkosaan atau pelanggaran kesusilaan perlu penjelasan

tentang tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, kesadaran korban serta bila perlu

umur korban (terutama pada anak belum cukup umur atau belum mampu untuk dikawini).

Pada kebanyakan visum yang dibuat dokter, bagian kesimpulan ini perlu mendapat

perhatian agar visum lebih berdaya guna dan lebih informatif.

5. Penutup

Pada bagian ini, visum et repertum ditutup dengan : demikian visum et repertum ini

dibuat dengan sesungguhnya mengingat sumpah dokter yang tercantum dalam stb.

1937/350 atau sesuai dengan penjelasan KUHAP pasal 186 : keterangan ahli ini dapat juga

sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang

dituangkan dalam suatu bentuk keterangan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada

waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.

Ketentuan ini sangat memudahkan dokter dalam membuat visum et repertum, tidak

perlu setiap kali disumpah oleh penyidik kalau membuat visum et repertum. Visum et

repertum harus dibuat sejujur-jujurnya dan sengaja dari ketentuan ini dapat dipidana

berdasarkan KUHP pasal 242 yaitu sumpah palsu.

29

Page 30: asfiksia

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar oksigen (O2)

dan berlebihnya kadar karbon dioksida (CO2) secara bersamaan dalam darah dan jaringan

tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen (udara) dalam alveoli paru-paru dengan

karbon dioksida dalam darah kapiler paru-paru. Kekurangan oksigen disebut hipoksia dan

kelebihan karbon dioksida disebut hiperkapnia.

Visum et Repertum selaku keterangan dalam bentuk yang formil menyangkut hal-hal

yang dilihat dan ditemukan oleh dokter pada benda-benda yang diperiksa sesungguhnya

adalah pengganti barang bukti, bahwa pada keharusannya dalam hal pembuktian mestinya

orang yang menjadi obyek penganiayaan, pembunuhan atau kejahatan lainnya dari suatu

peristiwa pidana sepatutnya diajukan menjadi barang bukti seperti misalnya orang yang

dianiaya dan mati terbunuh sudah barang tentu menjadi kesulitan dalam praktek;

karenanya orang yang meninggal (mayat) harus di kebumikan sebab dapat membusuk

untuk selanjutnya mengalami proses alamiah hancur menjadi debu tanah.

Kedudukan Visum et Repertum dalam hukum pembuktian dalam proses acara pidana

adalah termasuk sebagai alat bukti surat sebagaimana maksud pasal 184 ayat 1 huruf c jo

pasal 187 huruf c KUHAP dengan keterangan ahli sesuai maksud pasal 1 angka 28

KUHAP jo Stb 1937-350 jo pasal 184 ayat 1 huruf b KUHAP.

3.2 Saran

Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para pembaca dan

mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya :

a. Kombinasikan metode pembuatan makalah berikutnya.

b. Pembahsan yang lebih mendalam disertai data-data yang lebih akurat.

Beberapa poin diatas merupakan saran yang kami berikan apabila ada pihak-pihak

yang ingin melanjutkan penelitian terhadap makalah ini, dan demikian makalah ini disusun

serta besar harapan nantinya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususunya

mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara semester VI/2014 dalam

penambahan wawasan dan ilmu pengetahuan.

30

Page 31: asfiksia

DAFTAR PUSTAKA

Harahap, M. Yahya, SH., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, PT.

Sarana Bakti Semesta

Kusuma,Musa Perdana, SH. , Bab-bab Tentang Kedokteran Forensik, cetakan I Galia

Indonesia Jakarta 1989

Mr. H. Van de Tas, Kamus Hukum Bahasa Indonesia, cetakan kedua, Timur Mas

Jakarta 1981

Nasution, Karim, Masaalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana,Jakarta, 1975

Prakoso, Djoko, SH., Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian Di dalam Proses Pidana,

Liberty Yogyakarta 1988

Prodjodikoro,Wirjono, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Sumur Bandung 1981

Ranoemihardja,R. Atang, SH., Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science),

Tarsito Bandung 1983

R. Soeparmono, SH, Keterangan Ahli dan Visum et Repetum Dalam Aspek Hukum

Acara Pidana, Mandar Maju Bandung 2002

Soekamto,Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press Jakarta 1982,

Soekamto, Soerjono dan Mamudji Sri, Penelitian Normatif, Rajawali Jakarta 1985

KUHAP Dan Penjelasannya, Yayasan Pelita Jakarta1983

Tim Penulis Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta:FKUI; 1997.h. 25-36.

Corazza O, Schifano F, Ketamin use, near death States Reported in a Sample of 50

Misusers. Informahealthcare.USA. 2010; 916-24

Husni, GM. Hukum Kesehatan Ilmu Kedokteran Forensik, bagian Kedokteran Forensik

Fakulatas Kedokteran Universitas Andala, Padang: FKUNAND; 2007.h.15-26

Greyson B, On The Mind/body Problem: The theory of Essence, Journal of Near Death

Studies. 1992:7N.

Klemerk KZ, Kersnik J, Grmec S, The Effect Of Carbon Dioxide On Near-Death

Experiences In Out Of Hospital Cardiac Arrest Survivors: A Prospective Observational

Study, Critical Care. 2010:14:R56;p

31