BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asfiksia adalah kumpulan dari pelbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam pertukaran udara pernafasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran pernafasan dan gangguan yang diakibatkan karena terhentinya sirkulasi. Gangguan ini akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida. Keadaan ini jika terus dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya kematian. Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak yang ditemukan dalam kasus kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya obstruksi pada saluran pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah yang paling sering dijumpai dalam kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Mengetahui gambaran asfiksia, khususnya pada postmortem serta keadaan apa saja yang dapat menyebabkan asfiksia, khususnya asfiksia mekanik mempunyai arti penting terutama dikaitkan dengan proses penyidikan. Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban yang diduga karena peristiwa tindak pidana, seorang penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asfiksia adalah kumpulan dari pelbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam
pertukaran udara pernafasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan karena
adanya obstruksi pada saluran pernafasan dan gangguan yang diakibatkan karena
terhentinya sirkulasi. Gangguan ini akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen
dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida. Keadaan
ini jika terus dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya kematian.
Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak yang ditemukan dalam kasus
kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya obstruksi pada saluran
pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah yang paling sering dijumpai
dalam kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Mengetahui
gambaran asfiksia, khususnya pada postmortem serta keadaan apa saja yang dapat
menyebabkan asfiksia, khususnya asfiksia mekanik mempunyai arti penting terutama
dikaitkan dengan proses penyidikan.
Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban yang
diduga karena peristiwa tindak pidana, seorang penyidik berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli
lainnya. Seorang dokter sebagaimana pasal 179 KUHAP wajib memberikan keterangan
yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan di bidang keahliannya
demi keadilan. Untuk itu, sudah selayaknya seorang dokter perlu mengetahui dengan
seksama perihal ilmu forensik, salah satunya asfiksia. Makalah ini secara garis besar akan
membahas mengenai asfiksia, khususnya asfiksia mekanik.
Visum et Repertum(VeR) merupakan salah satu bantuan yang sering diminta oleh
pihak penyidik (polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan pada tubuh manusia. Visum
et Repertum(VeR) merupakan alat bukti dalam proses peradilan yang tidak hanya
memenuhi standar penulisan rekam medis, tetapi juga harus memenuhi hal-hal yang
disyaratkan dalam sistem peradilan.
Data di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa jumlah kasus perlukaan dan
keracunan yang memerlukan VeR pada unit gawat darurat mencapai 50-70%. Diban-
1
dingkan dengan kasus pembunuhan dan perkosaan, kasus penganiayaan yang
mengakibatkan luka merupakan jenis yang paling sering terjadi, dan oleh karenanya
penyidik perlu meminta VeR kepada dokter sebagai alat bukti di depan pengadilan.
Dalam praktik sehari-hari seorang dokter tidak hanya melakukan pemeriksaan medis
untuk kepentingan diagnostik dan pengobatan penyakit saja, tetapi juga untuk dibuatkan
suatu surat keterangan medis. Demikian pula halnya dengan seorang pasien yang datang ke
instalasi gawat darurat, tujuan utama yang bersangkutan umumnya adalah untuk
mendapatkan pertolongan medis agar penyakitnya sembuh. Namun dalam hal pasien
tersebut mengalami cedera, pihak yang berwajib dapat meminta surat keterangan medis
atau VeR dari dokter yang memeriksa. Jadi pada satu saat yang sama dokter dapat
bertindak sebagai seorang klinisi yang bertugas mengobati penyakit sekaligus sebagai
seorang petugas forensik yang bertugas membuat VeR. Sedangkan pasien bertindak
sebagai seorang yang diobati sekaligus korban yang diperiksa dan hasilnya dijadikan alat
bukti.
Sebuah VeR yang baik harus mampu membuat terang perkara tindak pidana yang
terjadi dengan melibatkan bukti-bukti forensik yang cukup. Tetapi hasil penelitian di
Jakarta menunjukkan bahwa hanya 15,4% dari VeR perlukaan rumahsakit umum DKI
Jakarta berkualitas baik, sementara di Pekanbaru menunjukkan bahwa 97,06 % berkualitas
jelek dan tidak satu pun yang memenuhi kriteria VeR yang baik. Dari kedua penelitian
tersebut juga menunjukkan bahwa bagian pemberitaan dan bagian kesimpulan merupakan
bagian yang paling kurang diperhatikan oleh dokter. Kualitas bagian pemberitaan berturut-
turut untuk Jakarta dan Pekanbaru adalah 36,9% dan 29,9%, yang berarti berkualitas
buruk. Nilai kualitas bagian pemberitaan merupakan nilai yang terendah dari ketiga bagian
VeR. Unsur yang tidak dicantumkan oleh hampir semua dokter adalah anamnesis, tanda
vital, dan pengobatan perawatan. Hal tersebut mungkin disebabkan masih adanya
anggapan bahwa anamnesis, tanda vital dan pengobatan tidak penting dituliskan dalam
VeR, atau juga dapat disebabkan karena dokter pembuat VeR tidak mengetahui bahwa
unsur tersebut perlu dicantumkan dalam pembuatan VeR.
2
1.2 Tujuan Pembahasan
Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki tujuan yang diharapkan berguna
bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Dimana tujuannya dibagi
menjadi dua macam yang pertama secara umum makalah ini bertujuan menambah
wawasan mahasiswa/I dalam menguraikan suatu persoalan secara holistik dan tepat, dan
melatih pemikiran ilmiah dari seorang mahasiswa/I fakultas kedokteran, dimana pemikiran
ilmiah tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang dokter agar mampu menganalisis suatu
persoalan secara cepat dan tepat. Sedangkan secara khusus tujuan penyusunan makalah ini
ialah sebagai berikut :
a. Melengkapi tugas small group discussion skenario tiga, modul dua puluh dua tentang
asfiksia dan visum et repertum.
b. Menambah khasanah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis.
c. Sebagai bahan referensi mahasiswa/I Fakultas Kedokteran UISU dalam menghadapi
ujian akhir modul.
Itulah merupakan tujuan dalam penyusunan makalah ini, dan juga sangat diharapkan
dapat berguna setiap orang yang membaca makalah ini. Semoga seluruh tujuan tersebut
dapat tercapai dengan baik
1.3 Metode dan Teknik
Dalam penyusunan makalah ini kami mengembangkan suatu metode yang sering
digunakan dalam pembahasan-pembahasan makalah sederhana, yaitu dengan
menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari sumber
data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis sehinggga diperoleh
informasi tentang masalah yang akan dibahas setelah itu berbagai referensi yang
didapatkan dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai dengan pembahasan yang akan
dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan dengan tujuan pembuatan makalah ini.
Itulah sekilas tentang metode dan teknik yang digunakan dalam penyusunan makalah ini.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Skenario
MATI TENGGELAM (DROWNING)
Dijumpai sesosok mayat wanita terapung disungaai. Masyarakat setempat
melaporkan temuan tersebut kepolisi dan kemudian mayat dibawa kekamar mayat suatu
rumah sakit. Pada mayat dijumpai tanda-tanda asfiksia seperti sianosis pada kuku dan
bibir, perdarahan pada sub conjungtiva, terdapat buih halus yang sukar pecah dihidung,
juga dijumpai cadaveric spasme, washer women’s hand dan cutis anserina.
Polisi mencurigai kematian korban akibat suatu tinak pidana, dimana korban
dibunuh terlebih dahulu baru ditenggelamkan, sehingga polisi meminta kepada dokter
dirumah sakit tersebut membuat VeR.
2.2 Asfiksia
2.2.1 Defenisi Asfiksia
Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar oksigen
(O2) dan berlebihnya kadar karbon dioksida (CO2) secara bersamaan dalam darah dan
jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen (udara) dalam alveoli paru-paru
dengan karbon dioksida dalam darah kapiler paru-paru. Kekurangan oksigen disebut
hipoksia dan kelebihan karbon dioksida disebut hiperkapnia.
Asfiksia berasal dari bahasaYunani, yaitu terdiri dari “a” yang berarti “tidak”, dan
“sphinx” yang artinya “nadi”. Jadi secara harfiah, asfiksia diartikan sebagai “tidak ada
nadi” atau “tidak berdenyut”. Pengertian ini sering salah dalam penggunaannya. Akibatnya
sering menimbulkan kebingungan untuk membedakan dengan status anoksia lainnya.
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai
dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh
mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian (Ilmu Kedokteran
Forensik, 1997). Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia (Amir,
2008).
4
2.2.2 Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut (Ilmu Kedokteran
Forensik, 1997):
1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti
laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan
atau halangan pada saluran napas dan sebagainya.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya barbiturat dan
narkotika.
Penyebab tersering asfiksia dalam konteks forensik adalah jenis asfiksia mekanik,
dibandingkan dengan penyebab yang lain seperti penyebab alamiah ataupun keracunan
(Knight, 1996 ).
2.2.3 Fisiologi
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia (Amir, 2008), yaitu:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
a. Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi
kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam
selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni
atau sufokasi.
b. Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan,
gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienumdalam
tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada anemia berat
dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan sedikitnya kendaraan yang
membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal jantung,
syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi sirkulasi
darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
5
Ganggua n terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak dapat
menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:
a. Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida terjadi
perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan kematian
segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara
parsial sehingga kematian berlangsung perlahan.
b. Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan permeabilitas
membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut dalam lemak seperti
kloform, eter dan sebagainya.
c. Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O2 oleh
jaringan seperti pada keadaan uremia.
d. Substrat
Dalam hal ini makanan tidak mencukup i untuk metabolisme yang efisien, misalnya
pada keadaan hipoglikemia.
2.2.4 Patologi
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan (Amir,
2008), yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari
asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak
tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan
terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum,
serebellum, dan basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan pada
organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan
akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan
mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen
6
dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal
jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada:
a. Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
b. Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus
alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara
masuk ke paru-paru.
c. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (Traumatic
asphyxia).
d. Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan,
misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.
2.2.5 Stadium Pada Asfiksia
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan dalam 4
stadium (Amir, 2008), yaitu:
1. Stadium Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 akan merangsang pusat
pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) bertambah dalam dan cepat
disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan,
mata menonjol, denyut nadi dan tekanan darah meningkat. Bila keadaan ini berlanjut,
maka masuk ke stadium kejang.
2. Stadium Kejang
Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh, kesadaran hilang
dengan cepat, spinkter mengalami relaksasi sehingga feses dan urin dapat keluar
spontan. Denyut nadi dan tekanan darah masih tinggi, sianosis makin jelas. Bila
kekurangan O2 ini terus berlanjut, maka penderita akan masuk ke stadium apnoe.
3. Stadium Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi lemah,
hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernafasan dangkal dan
semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat
kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada
stadium ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya
berkisar antara 3-5 menit.
7
2.2.6 Tanda-tanda Asfiksia
Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat asfiksia,
telah ditetapkan beberapa tanda klasik (Knight, 1996), yaitu:
1. Tardieu’s spot (Petechial hemorrages)
Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang menyebabkan
overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan longgar,
seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral
skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung,
paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium,
peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.
2. Kongesti dan Oedema
Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie. Kongesti
adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ
yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena
yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang
mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan
perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi
pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema).
3. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang
terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan
dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram
hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas
dari jumlah tot al hemoglobin. Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi
leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena
yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung
kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
4. Tetap cairnya darah
Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang tetap
cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia adalah
bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan sistem vena
setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan
bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam
diagnosis asfiksia
8
2.2.7 Pemeriksaan Jenazah
2.2.7.1 Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997):
1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan
tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam
mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin
dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas
pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas.
Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang
kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler. Kapiler yang lebih mudah
pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi,
palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah.
5. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva
bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam
pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu,
hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari
selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai
Tardieu’s spot. Penulis lain mengatakan bahwa Tardieu’s spotinitimbul karena
permeabilitas kapiler yang meningkat akibat hipoksia.
2.2.7.2 Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik,
1997):
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang meningkat
paska kematian.
2. Busahalus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat,
berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang
jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus
bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama
daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
9
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring langsung
atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan krikoid
(pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).
2.3 Asfiksia Mekanik
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang
memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997), misalnya:
a. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas, seperti pembekapan
(smothering) dan penyumbatan (gagging dan choking).
b. Penekanan dinding saluran pernapasan, seperti penjeratan (strangulation),
pencekikan (manual strangulation, throttling) dan gantung (hanging).
c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)
2.3.1 Mati Gantung (Hanging)
2.3.1.1 Defenisi
Mati gantung (hanging) merupakan suatu bentuk kematian akibat pencekikan
dengan alat jerat, di mana gaya yang bekerja pada leher berasal dari hambatan gravitasi
dari berat tubuh atau bagian tubuh (Knight, 1996).
2.3.1.2 Etiologi Kematian pada Penggantungan
Ada 6 penyebab kematian pada penggantungan (Modi,1988), yaitu:
a. Asfiksia
Merupakan penyebab kematian yang tersering. Alat penjerat biasanya berada di atas
tulang rawan tiroid yang menyebabkan penekanan pada leher, sehingga saluran
pernafasan menjadi tersumbat.
b. Kongesti Vena
Disebabkan oleh lilitan tali pengikat pada leher sehingga terjadi penekanan pada vena
jugularis oleh alat penjerat sehingga sirkulasi serebral menjadi terhambat.
c. Kombinasi Asfiksia dan Kongesti Vena
Merupakan penyebab kematian yang paling umum, seperi pada kebanyakan kasus
dimana saluran napas tidak seluruhnya dihalangi oleh penjerat yang berada di sekitar
leher.
10
d. Iskemik Otak(anoxia)
Disebabkan oleh penekanan pada arteri besar di leher yang berperan dalam menyuplai
darah ke otak, umunya pada arteri karotis dan arteri vertebralis.
e. Syok Vagal
Menyebabkan serangan jantung mendadak karena terjadinya hambatan pada refleks
vaso-vagal secara tiba-tiba, hal ini terjadi karena adanya tekanan pada saraf vagus atau
sinus karotid.
f. Fraktur atau Dislokasi dari Verterbra Servikal 2 dan 3
Biasanya terjadi pada kasus judicial hanging, hentakan yang tiba-tiba pada ketinggian
1-2 m oleh berat badan korban dapat menyebabkan fraktur dan dislokasi dari vertebra
servikalis yang selanjutnya dapat menekan atau merobek spinal cord sehingga terjadi
kematian yang tiba-tiba.
2.3.1.3 Jenis Penggantungan
1. Dari letak tubuh ke lantai dapat dibedakan menjadi 2 tipe (Amir,2008), yaitu:
a. Tergantung Total (complete), dimana tubuh seluruhnya tergantung di atas lantai.
b. Setengah Tergantung (partial), dimana tidak seluruh bagian tubuh tergantung,
misalnya pada posisi duduk, bertumpu pada kedua lutut, dalam posisi telungkup
dan posisi lain.
2. Dari letak jeratan dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2008), yaitu:
a. Tipikal, dimana letak simpul di belakang leher, jeratan berjalan simetris di samping
leher dan di bagian depan leher di atas jakun. Tekanan pada saluran nafas dan arteri
karotis paling besar pada tipe ini.
b. Atipikal, bila letak simpul di samping, sehingga leher dalam posisi sangat miring
(fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan pada arteri karotis dan arteri
vetebralis. Saat arteri terhambat, korban segera tidak sadar.
2.3.1.4 Tanda Post Mortem
Tanda post mortem sangat berhubungan dengan penyebab kematian atau tekanan di
leher. Kalau kematian terutama akibat sumbatan pada saluran pernafasan maka dijumpai
tanda-tanda asfiksia, respiratory distress, sianose dan fase akhir konvulsi lebih menonjol.
Bila kematian karena tekanan pembuluh darah vena, maka sering didapati tanda-tanda
pembendungan dan perdarahan (ptechial) di konjungtiva bulbi, okuli dan di otak bahkan
sampai ke kulit muka. Bila tekanan lebih besar sehingga dapat menutup arteri, maka tanda-
11
tanda kekurangan darah di otak lebih menonjol (iskemi otak), yang menyebabkan
gangguan pada sentra respirasi dan berakibat gagal nafas. Tekanan pada sinus karotikus
menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti dengan tanda-tanda post mortem yang minimal.
Tanda- tanda di atas jarang berdiri sendiri, tetapi umumnya akan didapati tanda-tanda
gabungan (Amir, 2008).
2.3.1.5 Pemeriksaan Jenazah
A. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar penting diperiksa bekas jeratan di leher (Amir, 2008), yaitu:
1. Bekas jeratan (ligature mark) berparit, bentuk oblik seperti V terbalik, tidak
bersambung, terletak di bagian atas leher, berwarna kecoklatan, kering seperti kertas
perkamen, kadang-kadang disertai luka lecet dan vesikel kecil di pinggir jeratan. Bila
lama tergantung, di bagian atas jeratan warna kulit akan terlihat lebih gelap karena
adanya lebam mayat.
2. Kita dapat memastikan letak simpul dengan menelusuri jejas jeratan. Simpul terletak di
bagian yang tidak ada jejas jeratan, kadang di dapati juga jejas tekanan simpul di kulit.
Bila bahan penggantung kecil dan keras (seperti kawat), maka jejas jeratan tampak
dalam, sebaliknya bila bahan lembut dan lebar (seperti selendang), maka jejas jeratan
tidak begitu jelas. Jejas jeratan juga dapat dipengaruhi oleh lamanya korban tergantung,
berat badan korban dan ketatnya jeratan. Pada keadaan lain bisa didapati leher dibeliti
beberapa kali secara horizontal baru kemudian digantung, dalam kasus ini didapati
beberapa jejas jeratan yang lengkap, tetapi pada satu bagian tetap ada bagian yang tidak
tersambung yang menunjukkan letak simpul.
3. Leher bisa didapati sedikit memanjang karena lama tergantung, bila segera diturunkan
tanda memanjang ini tidak ada. Muka pucat atau bisa sembab, bintik perdarahan
Tardieu’s spot tidak begitu jelas, lidah terjulur dan kadang tergigit, tetesan saliva
dipinggir salah satu sudut mulut, sianose, kadang-kadang ada tetesan urin, feses dan
sperma.
4. Bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat didapati di kaki dan tangan
bagian bawah. Bila segera diturunkan, lebam mayat bisa di dapati di bagian depan atau
belakng tubuh sesuai dengan letak tubuh sesudah diturunkan. Kadang penis tampak
ereksi akibat terkumpulnya darah.
B. Pemeriksaan Dalam
12
Pada pemeriksaan dalam perlu diperhatikan (Amir, 2008):
1. Jaringan otot setentang jeratan didapati hematom, saluran pernafasan congested,
demikian juga paru-paru dan organ dalam lainnya. Terdapat Tardieu’s spot di
permukaan paru-paru, jantung dan otak. Darah berwarna gelap dan encer
2. Patah tulang lidah (os hyoid) sering didapati, sedangkan tulang rawan yang lain jarang
3. Didapati adanya robekan melintang berupa garis berwarna merah (red line) pada tunika
intimadari arteri karotis interna.
2.3.2 Pembekapan
2.3.2.1 Defenisi
Pembekapan (smoothering) adalah asfiksia yang terjadi karena ditutupnya saluran
napas bagian luar yaitu hidung dan mulut korban sekaligus. Biasanya dilakukan terhadap
korban yang lemah atau tidak berdaya. Bisa dilakukan dengan telapak tangan atau
memakai benda lain seperti kain, handuk, bantal plester lebar, menekan muka korban
kekasur dan lain-lain. Pembunuhan anak atau pembunuhan pada orang tua dan orang
lemah lainnya sering menggunakan cara ini. Bila daerah mulut dan hidung kecil maka
pemakaian telapak tangan cukup untuk itu, tetapi bila lebih luas dan kemungkinan tidak
dapat ditutup sekaligus maka dipergunakan bantal, selimut, atau bahan yang lain.
Dapat juga terjadi karena kecelakaan pada anak karena tertindih bantal atau
tertindih buah dada karena ketiduran waktu menyusukan bayi. Walaupun jarang, dapat
juga terjadi bunuh diri dengan cara mengikatkan gulungan kain atau bantal menutup muka.