Top Banner

of 75

Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

Feb 10, 2018

Download

Documents

Nara Jay
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    1/75

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    2/75

    PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

    Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul

    Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna (Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu

    Ekspor pada Proses Pembongkaran (Transit) adalah hasil karya saya sendiri

    dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

    Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun

    yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

    dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

    Bogor, Januari 2009

    Nuzul FadlyC34104049

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    3/75

    RINGKASAN

    NUZUL FADLY. C34104049. Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna(Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu Ekspor pada Proses Pembongkaran (Transit).

    Dibimbing oleh WINI TRILAKSANI dan WINARTI ZAHIRUDDIN.

    Ikan tuna merupakan komoditas ekspor kedua terbesar Indonesia setelahudang. Industri tuna dalam perkembangannya masih memiliki banyak

    permasalahan, antara lain semakin ketatnya persaingan dan merebaknya isukeamanan pangan, yaitu tingginya kandungan histamin dan logam berat. Dampakdari permasalahan ini adalah timbulnya hambatan ekspor produk ikan tunaIndonesia di pasaran dunia terutama Uni Eropa. Untuk mengatasi permasalahantersebut perlu adanya suatu upaya pendekatan risk assessmentsesuai rekomendasiFood and Agriculture Organization (FAO) sejak tahun 1995 untuk menganalisis

    bahaya peningkatan kadar histamin pada tuna agar dapat dilakukan manajemen

    resikonya.Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap pengamatan proses

    penanganan ikan tuna saat pembongkaran (transit) sampai penerimaan bahan bakuoleh perusahaan, tahap penilaian sanitasi, higiene (kapal) dan kelayakan dasar(transit dan alat distribusi/transportasi) menggunakan daftar penilaian unit

    pengolahan ikan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan danPemasaran Hasil Perikanan tahun 2007, serta tahap asesmen risiko bahayahistamin pada ikan tuna berbagai kualitas ekspor.

    Asesmen risiko bahaya histamin dilakukan dengan menggunakan konseprisk assessment secara semi kuantitatif yang terdiri dari hazard identification,exposure assessment atau dose respone, hazard characterization serta riskcharacterization dari risiko bahaya histamin pada ikan tuna berbagai kualitasekspor. Untuk mendukung hasil evaluasi risiko dilakukan analisis kimia kadarhistamin dengan metode spektrofluorometri, dan analisis mikrobiologimenggunakan uji Total Plate Count(TPC) dan uji Niven agar (untuk mengetahui

    jumlah bakteri penghasil histamin)Hasil evaluasi bahaya kadar histamin menunjukkan bahwa kadar histamin

    ikan tuna berbagai kualitas mutu ekspor masih berada pada batas aman untukdikonsumsi (grade A memiliki rataan kadar histamin sebesar 1,11 ppm,grade B 1,77 ppm, grade C 2,64 ppm dan grade D 2,52 ppm). Perbedaan jumlahTPC seiring dengan perbedaan kualitas mutu ikan tuna. Total mikroba ikan

    grade A adalah 1,7 x10

    2

    CFU/ml, grade B sebesar 2,3 x10

    2

    CFU/ml dangrade C dan D adalah 3,9 x102 CFU/ml dan 21,1 x102 CFU/ml. Jumlah bakteripenghasil histamin terendah didapatkan dari Ikan tuna dengan kualitas grade Ayaitu sebesar 0,3 x102 CFU/ml, sedangkan ikan tuna dengan grade C dan Dmemiliki jumlah bakteri penghasil histamin terbanyak, yaitu masing-masingsebesar 1,9 x102 CFU/ml dan 1,5x102 CFU/ml.

    Hasil asesmen risiko bahaya kadar histamin menunjukkan bahwa kadarhistamin berdasarkan spreadsheet tool ikan tuna berbagai kualitas mutu ekspormasih berada pada batas aman untuk dikonsumsi.

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    4/75

    ASESMEN RISIKO HISTAMIN IKAN TUNA (Thunnus sp.)

    SEGAR BERBAGAI MUTU EKSPOR PADA PROSES

    PEMBONGKARAN (TRANSIT)

    Oleh :

    NUZUL FADLYC34104049

    PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

    FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    2009

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    5/75

    ASESMEN RISIKO HISTAMIN IKAN

    TUNA (Thunnus sp.) SEGAR BERBAGAI

    MUTU EKSPOR PADA PROSES

    PEMBONGKARAN (TRANSIT)

    Judul Skripsi :

    Nama Mahasiswa : Nuzul Fadly

    Nomor pokok : C34104049

    Menyetujui,

    Pembimbing I Pembimbing II

    Ir. Wini Trilaksani, M.Sc Ir. Winarti Zahiruddin M.S

    NIP. 131 578 851 NIP. 130 422 706

    Mengetahui,

    Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

    Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc

    NIP. 131 578 799

    Tanggal lulus :

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    6/75

    KATA PENGANTAR

    Rasa syukur tiada henti penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala

    limpahan nikmat, berkah, rahmat, dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat

    menyelesaikan skripsi yang berjudul Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna

    (Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu Ekspor pada Proses Pembongkaran

    (Transit) ini.

    Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

    sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan

    skripsi ini, terutama kepada:

    1. Ayah Muhammad Hasan dan ibu Siti Mulyana tercinta atas semua dukungan

    dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang

    selalu mengalir tanpa henti kepada penulis.

    2. Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Ibu Ir. Winarti Zahiruddin M.S atas

    bimbingan dan saran membangun yang telah diberikan dalam penulisan

    skripsi ini.

    3. Ibu Dr. Ir. Sri Purwaningsih M.Si dan Ibu Ir. Iriani Setyaningsih M.S atas

    kritik dan saran yang telah diberikan.

    4. Bapak Dr. Ir. Djoko Santoso, MS selaku pembimbing akademik atas

    bimbingan dan dorongan semangatnya kepada penulis.

    5. Bapak Ir Agoes M Jacoeb selaku komisi pendidikan THP atas kesabaran,

    saran, dukungan yang telah diberikan pada penulis.

    6. Kakakku Fahmi Muhammad dan adikku Iksanudin tercinta atas kasih sayang

    yang diberikan serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis.

    7. Bapak Redjani Kartoatmojo selaku kepala Laboratorium Pengolahan danPengujian Mutu Hasil Perikanan dan ibu Sri Hartati yang telah memberikan

    izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

    8. Karyawan LPPMHP : Mba Helma, mba Ayu, mas Adi, mas Kukuh,

    mas Ucup, mas Pur, mas Paijo, pak Kur, bu Yuli, Rifa, Bella, dll.

    9. Ardilla Prameswarie Rahardjo, S.Pi. Terimakasih untuk dukungan moral,

    perhatian, cintakasih, senyuman, kebaikan dan kesabaran yang senantiasa

    diberikan untuk penulis.

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    7/75

    10.Seluruh staf dosen dan TU THP (Pak Jamhuri, Pak Tatang, Pak Ade, Mba

    Heni, Mas Mail, Bu Yati, Mas Zaki, Mas Ipul, dan Umi), terima kasih atas

    dukungan dan bantuannya selama ini kepada penulis

    11.Anang, Dani, Wisnu yang telah menjadi teman kostan terbaik.

    12.Teman-teman seperjuangan penelitian dan diver: Dhias, Ima, Vera, Bayhaqi,

    Boby, Ika, Bojong, Wie, dan Deslina.

    13.Teman-teman THP 41: Eka, Estrid, Ika, Nia, Serel, Ulfah, Yanti, Amel, Enif,

    Iis, Ranti, Tomi, Opick, Glory, Bojong, Sait, Yudha, Rijan, Andika dan

    teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih atas

    kebersamaan dan persahabatan yang luar biasa.

    14.Anak-anak setia Lab Om-Benk (Erlangga, Anang, Anim, Yugha, Hangga,

    Alif, Gilang, Bayhaqi, Windhyka, Tomi40).

    15.Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan

    skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

    Penulis menyadari sangat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini,

    untuk itu segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan guna

    tercapainya hasil yang lebih baik lagi. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua

    pihak.

    Bogor, Januari 2009

    Nuzul Fadly

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    8/75

    RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Mei

    1986. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari

    pasangan Bapak Muhammad Hasan dan Ibu Siti Mulyana.

    Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1992 di

    SDN Parung IV Bogor dan diselesaikan pada tahun 1998.

    Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 6 Bogor

    (1998-2001) dan SMA Negeri 5 Bogor (2001-2004). Pada tahun 2004, penulis

    diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa Program StudiTeknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, melalui jalur

    Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

    Penulis aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil

    Perikanan (HIMASILKAN), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan

    Ilmu Kelautan (BEM C), dan Fisheries Processing Club (FPC) dari 2006 hingga

    2007, serta aktif dalam kegiatan kepanitiaan, diantaranya sebagai ketua acara

    masa perkenalan Departemen Teknologi Hasil Perairan tahun 2007. Bidangakademik, penulis perkuat dengan menjadi asisten dosen mata kuliah Diversifikasi

    Hasil Perikanan dan Teknologi Pengolahan Limbah Hasil Perikanan (2008).

    Penulis juga aktif dalam penulisan karya ilmiah pada Pekan Ilmiah Mahasiswa

    Nasional (PIMNAS) IXX di Universitas Muhamaddiyah Malang (2006).

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas

    Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian yang berjudul

    Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna (Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu

    Ekspor pada Proses Pembongkaran (Transit) dibimbing oleh

    Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS.

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    9/75

    DAFTAR ISI

    Halaman

    DAFTAR TABEL ............................................................................. viii

    DAFTAR GAMBAR ......................................................................... ix

    DAFTAR LAMPIRAN .................................................................... x

    1. PENDAHULUAN ..................................................................... 1

    1.1. Latar Belakang ................................................................... 1

    1.2. Tujuan ................................................................................ 4

    2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 5

    2.1. Ikan Tuna (Thunnus sp.) ................................................... 5

    2.2. Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tuna .................................. 5

    2.3. Kemunduran Mutu Ikan ..................................................... 72.3.1. Perubahan pre-rigor .................................................. 72.3.2. Perubahan rigor mortis ............................................. 82.3.3. Perubahan karena aktivitas enzim ............................ 92.3.4. Perubahan karena aktivitas bakteri ........................... 9

    2.4. Penanganan Ikan ................................................................ 12

    2.5. Histamin. ............................................................................ 13

    2.6. Bakteri Pembentuk Histamin. ............................................ 16

    2.7. Sanitasi dan Higiene ........................................................... 18

    2.8. Risk Assessment.................................................................. 19

    3. METODOLOGI ........................................................................ 22

    3.1. Waktu dan Tempat ............................................................. 22

    3.2. Alat dan Bahan ................................................................... 22

    3.3. Jenis dan Sumber Data ....................................................... 22

    3.4. Metode Penelitian .............................................................. 223.4.1. Tahapan pengamatan proses penanganan tuna

    pasca tangkap sampai penerimaan bahan baku olehperusahaan ................................................................ 23

    3.4.2. Tahap penilaian sanitasi, higiene dan kelayakandasar......................................................................... 23

    3.4.3. Tahap evaluasi risiko histamin ................................. 23a)Hazard identification........................................... 24

    b)Exposure assessment........................................... 25c)Hazard characterization...................................... 25

    d)Risk characterization........................................... 25

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    10/75

    a) Kadar histamin berbagai

    kualitas mutu tuna ................................. 51b) Hasil pengujian kadar

    histamin pada LPPMHP ....................... 53c) Jumlah kontaminasi

    mikroorganisme berbagai mutu .......... 54

    3.5. Pengujian sampel...................................... ........................... 263.5.1. Kadar histamin (SNI 01-2360-1991) ....................... 263.5.2. Uji total bakteri (Total Plate Count)

    (SNI 01-2360-1991) ................................................. 273.5.3. Uji total bakteri penghasil histamin

    (SNI 01-2360-1991) ................................................. 28

    4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................. 29

    4.1. Tahapan Proses Penanganan Ikan Tuna di Tempat TransitPembongkaran ..................................................................... 29

    4.2. Penilaian Sanitasi, Higiene, dan Kelayakan Dasar ............ 374.2.1. Penilaian kapal pembekuan selama proses

    pembongkaran ......................................................... 38

    4.2.2. Penilaian sanitasi dan higiene di tempatpendaratan/transit ikan ............................................. 41

    4.2.3. Penilaian distribusi/pengangkutan ........................... 45

    4.3. Penilaian Risiko Bahaya Histamin pada TahapPembongkaran, Transit, dan Distribusi ke Perusahaan ...... 474.3.1.Hazard identification ............................................... 474.3.2.Exposure assessment................................................ 50

    4.3.2.1. Informasi kandungan histamin ikan tunahasil tangkapan .......................................... 50

    1. Total plate count..................... 542. Bakteri penghasil histamin ..... 55

    4.3.3.Hazard characterization .......................................... 594.3.4.Risk characterization ............................................... 60

    5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 645.1. Kesimpulan ........................................................................ 64

    5.2. Saran .................................................................................. 64

    DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 65

    LAMPIRAN........................................................................................ 69

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    11/75

    DAFTAR TABEL

    Nomor Teks Halaman

    1. Karakteristik ikan segar secara organoleptik ................................. 7

    2. Parameter tingkat kesegaran ikan berdasarkan karakteristiksensori ............................................................................................ 10

    3. Kadar histamin pada setiap bagian tubuh ikan tuna ....................... 16

    4. Dosis dalam tubuh histamin dari ikan tuna segar berbagaikualitas mutu .................................................................................. 59

    5. Penilaian risiko bahaya histamin secara semi kuantitatif padatuna segar bagi penduduk Amerika Serikat ................................... 61

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    12/75

    DAFTAR GAMBAR

    Nomor Teks Halaman

    1. Jenis-jenis ikan tuna ...................................................................... 6

    2. Skema proses kemunduran mutu ikan .......................................... 11

    3. Proses dekarboksilase histidin menjadi histamin ......................... 14

    4. Perbedaan kandungan histamin pada bagian tubuh ikan tuna ..... 15

    5. Skema risk assessment.................................................................. 24

    6. Penanganan tuna segar dari proses pembongkaran sampai ekspor 30

    7. Daging ikan tuna grade A ............................................................. 32

    8. Daging ikan tuna grade B ............................................................. 33

    9. Daging ikan tuna grade C ............................................................. 34

    10. Daging ikan tuna grade D ............................................................. 34

    11. Tahap penimbangan ikan tuna ...................................................... 36

    12. Penyimpanan ikan tuna dalam bak dengan penambahan es.......... 36

    13. Kondisi permukaan kapal pada saat pembongkaran ..................... 38

    14. Palka penyimpanan ikan tuna hasil tangkapan ............................. 40

    15. Papan peluncur yang dilengkapi dengan penutup ........................ 42

    16. Contoh penyimpangan dalam proses pengangkutan ikan tuna .... . 43

    17. Kondisi tempat transit ikan tuna.................................................. 44

    18. Kandungan histamin berbagai tingkat mutu tuna ......................... 51

    19. Grafik nilai tengah histamin tahun 2008 ...................................... 54

    20. Histogram nilai log TPC dari ikan tuna dari berbagaikualitas mutu ............................................................................... 55

    21. Histogram nilai log Nivens dari ikan tuna dari berbagai kualitasmutu ............................................................................................... 56

    22. Koloni bakteri penghasil histamin ............................................... 57

    23. Histogram nilai perbandingan log TPC dan log Nivens dariikan tuna ...................................................................................... 58

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    13/75

    DAFTAR LAMPIRAN

    Nomor Halaman

    1. Daftar penilaian higiene tempat pembongkaran (transit) ............. 69

    2. Daftar penilaian distribusi/transportasi ......................................... 71

    3. Data kandungan histamin ikan tuna berbagai kualitas mutu ........ 72

    4. Contoh perhitungan kadar histamin .............................................. 72

    5. Foto pengujian TPC ...................................................................... 74

    6. Foto pengujian mikroba penghasil histamin ................................. 78

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    14/75

    1. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Produksi tuna Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2002

    sebesar 148.439 ton hingga tahun 2005 mencapai 183.144 ton (dengan rataan

    kenaikan produksi setiap tahun sebesar 7,44 %) (DKP 2007). Pengembangan

    industri tuna di Indonesia sangat prospektif karena daerah penangkapan ikan

    tersedia, pasar sudah terjalin serta didukung adanya program revitalisasi sektor

    perikanan oleh pemerintah Indonesia.

    Sejalan dengan meningkatnya produksi hasil tangkapan tuna, berkembang

    pula industri pengolahan komoditas tersebut, terutama di lokasi-lokasi yang

    merupakan sentra pendaratan tuna seperti Muara Baru Jakarta,

    Pelabuhanratu Jawa Barat, Cilacap Jawa Tengah, Benoa Bali, dan

    Bitung Sulawesi Utara. Industri pengolahan pada umumnya mengolah tuna

    menjadi produk segar (dingin) dalam bentuk utuh disiangi (fresh whole gilled and

    gutted), produk beku dalam bentuk utuh disiangi (frozen whole gilled and gutted);

    loin (frozen loin), steak (frozen steak) dan produk dalam kaleng (canned tuna)

    (DKP 2005).

    Ekspor hasil perikanan Indonesia ke Uni Eropa (termasuk Eropa Timur)

    pada tahun 2007 sebesar 82.462.139 kg dengan nilai US$ 296.096.624, sedangkan

    jumlah ekspor ke Amerika Serikat adalah sebesar 143.529.828 kg dengan nilai

    US$ 804.116.902, namun untuk ekspor ikan tuna segar khususnya ke Eropa

    mengalami penurunan akibat adanya penolakan . Penolakan ini disebabkan oleh

    beberapa masalah, antara lain tingginya kadar histamin dan logam berat

    (Anonim 2005).

    Laporan FDA (Food and Drug Administration) tahun 2001-2005

    menunjukkan adanya penolakan berbagai produk tuna Indonesia, karena kasus

    histamin dan logam berat. Tahun 2004 dalam laporan Rapid Alert System for

    Food and Feed (RASFF) UE, terdapat 39 kasus histamin pada ikan ekspor,

    dengan 32 kasus terdapat pada tuna. RASFFmerupakan salah satu kontrol sistem

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    15/75

    terhadap produk makanan dan perikanan yang masuk dan beredar di Uni Eropa.

    Tuna Indonesia disebutkan dalam laporan tersebut mengandung timbal, karbon

    monoksida dan histamin.

    Tindak lanjut dari laporan tersebut Uni Eropa menerapkan UE

    Commission Directive (CD) 236 tahun 2006 atau hambatan ekspor atas produk

    perikanan Indonesia. Commission Directive 236 adalah aturan dari Uni Eropa

    yang menyatakan bahwa terhadap setiap produk perikanan dari Indonesia harus

    dilakukan pemeriksaan di pelabuhan masuk. Commission Directive 236 telah

    menyebabkan tambahan biaya dan waktu tunggu bagi produk perikanan di

    pelabuhan masuk di Uni Eropa (Poernomo 2008).

    Adanya hambatan ekspor tuna dari Uni Eropa tersebut mendorong

    Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melaksanakan perbaikan manajemen

    dan pengendalian mutu. Hasil Perbaikan manajemen mutu yang dilakukan DKP

    menunjukkan penurunan drastis kasusRapid Alert System (RAS) yaitu dari 49

    kasus pada tahun 2005, menurun menjadi 34 kasus pada tahun 2006 dan 17 kasus

    pada tahun 2007. Indonesia dinilai berhasil namun tetap harus waspada dan

    disiplin dalam memenuhi standar mutu yang telah ditentukan, terutama dalampengawasan terhadap seluruh prosedur penanganan ikan tuna, dimulai dari

    penangkapan ikan, penanganan, pendaratan (pembongkaran dan transit) serta

    distribusi, yang dapat memungkinkan terjadinya peningkatan kandungan histamin

    (DKP 2008).Sejak tahun 1970, kasus keracunan histamin sudah banyak terjadi,

    misalnya di Jepang, Amerika Serikat, Australia, New Zealand dan Inggris.

    Keer et al. (2002) menyatakan bahwa histamin merupakan amin biogenik yang

    dibentuk melalui reaksi dekarboksilasi asam amino histidin bebas pada saat fasepost mortem akibat aktivitas bakteri. Taylor (1983) menyatakan bahwa reaksi

    dekarboksilasi disebabkan karena kontaminasi mikroorganisme pembentuk

    histamin, sepertiMorganella morganii, Klebsiella pneumoniae, danHafnia alvei.

    Kontaminasi dapat terjadi mulai dari kapal, pembongkaran, tempat pengolahan,

    atau pada saat rantai distribusi sampai ke konsumen. Kontaminasi dan aktivitas

    bakteri tersebut dapat dihambat jika ikan ditangani secara benar dengan

    memperhatikan sanitasi lingkungan serta senantiasa menerapkan prinsip

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    16/75

    penanganan dengan suhu rendah. Kontaminasi mikroba sangat mungkin terjadi

    pada kondisi sanitasi yang buruk, karena kegiatan sanitasi yang dilakukan tidak

    mencegah terjadinya kontak antara makanan dengan serangga atau kontaminan

    lainnya dan biasanya berakhir dengan suatu masalah mikrobiologi.

    Terkait dengan pemasaran ekspor, aspek mutu dan keamanan pangan

    produk merupakan faktor penting yang harus diperhatikan. Hazard Analysis

    Critical Control Point (HACCP) dan Risk Analysis merupakan sistem dalam

    penerapan konsep keamanan dan higiene bahan pangan sebagai upaya untuk

    memenuhi persyaratan standar mutu keamanan pangan perdagangan International.

    Pendekatan sistematik risk analysis telah digunakan oleh FAO dan WHO sejak

    1955, ketika dilakukan evaluasi penggunaan bahan tambahan pada makanan.

    Seiring bertambahnya waktu, terus terjadi perkembangan sistem keamanan

    pangan. Pada awal 1960 diperkenalkan Good Manufacturing Practies (GMP),

    tahun 1971 diperkenalkan sistem formal Hazard Analysis Critical Control Point

    (HACCP) dan pada tahun 1995 dilakukan pengenalan formal quantitatif risk

    analysis. Sistem risk analysis ini telah direkomendasikan oleh World Health

    Organization (WHO) agar diterapkan di setiap negara dalam upaya pengawasan

    mutu dan keamanan produk pangan, termasuk hasil perikanan. Amerika dan

    Eropa telah menerapkan sistem risk analysis ini, pengawasan dilakukan oleh U.S.

    Food and Drug Administration (FDA)danEurope Food Safety Authority (EFSA).Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor hasil perikanan seharusnya juga

    menerapkan risk analysis ini, karena selain sebagai perlindungan konsumen akan

    keamanan pangan, juga penting dalam sistem perdagangan Internasional.

    Risk analysis terdiri dari tiga komponen utama, yaitu risk assessment, risk

    management, dan risk comunication. Risk assessment terdiri dari karakteristikbahaya, asesmen paparan/dose respone, Hazard Characterization dan Risk

    Characterization.

    Hasil risk assesment ini sangat penting untuk diketahui, karena akan

    digunakan dalam penentuan risk management. Risk management merupakan

    pengembangan dan implementasi strategi, pelaksanaan keputusan manajemen,

    monitoring serta peninjauan, sehingga diharapkan dapat menghasilkan kebijakan

    atau keputusan perusahaan yang dapat mengontrol risiko histamin tersebut.

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    17/75

    Mengantisipasi permasalahan tuna mengenai risiko bahaya peningkatan histamin

    yang begitu besar maka penelitian Asesmen risiko histamin ikan tuna

    (Thunnus sp.) segar berbagai kualitas mutu ekspor selama proses pembongkaran

    (transit) perlu dilakukan.

    1.2. Tujuan

    Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi risiko histamin dan analisis

    mikrobiologi penghasil histamin serta melakukan penilaian Good Handling

    Practice (GHP) selama proses pasca tangkap ikan (pembongkaran, transit) sampai

    penerimaan bahan baku oleh perusahaan serta ingin membuktikan kebenaran isue

    food safety peningkatan histamin ikan tuna di Indonesia.

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    18/75

    3. METODOLOGI

    3.1.Waktu dan Tempat

    Penelitian Asesmen risiko histamin ikan tuna (Thunnus sp.) segar berbagai

    mutu ekspor pada proses pembongkaran (transit) dilakukan pada bulan

    Agustus-November 2008, bertempat di Transit 20 (muara baru), PT X (Muara

    Baru) dan Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan DKI

    Jakarta, Pluit Jakarta Utara.

    3.2.Alat dan Bahan

    Alat yang digunakan untuk analisis histamin adalah spektrofotometri, labu

    erlenmeyer, gelas ukur, pisau, talenan, dan buret. Alat yang digunakan untuk

    menghitung Total Plate Count (TPC) dan bakteri penghasil histamin adalah

    cawan petri, bunsen, water bath, glass woll, autoklaf, dan inkubator.

    Bahan yang digunakan untuk analisis histamin adalah daging ikan tuna,

    metanol, aquadest, NaOH, HCL, OPT dan resin. Bahan yang digunakan untuk

    menghitung Total Plate Count (TPC) dan bakteri penghasil histamin adalah

    triptone, yeast extract, L-histidin.2HCL, NaCL, CaCO3, nutrient agar,

    dan phenol red.

    3.3.Jenis dan Sumber Data

    Data yang diperoleh dan dianalisis terdiri dari data primer dan data sekunder.

    Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara dan observasi langsung di

    lapangan, serta analisis kandungan histamin, Total Plate Count(TPC) dan bakteri

    penghasil histamin di Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil

    Perikanan (LPPMHP) DKI Jakarta. Data sekunder diperoleh dari hasil pengujianhistamin di LPPMHP dari bulan Juni September 2008, data konsumsi ikan tuna

    di Amerika Serikat, serta spreadsheet perhitungan risiko dengan menggunakan

    program risk ranger(Sumneret al. 2004).

    3.4.Metode Penelitian

    Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap pengamatan proses

    penanganan tuna pasca penangkapan sampai penerimaan bahan baku oleh

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    19/75

    perusahaan, tahap penilaian penanganan ikan tuna hasil tangkapan di kapal dan

    tempat transit kapal serta tahap analisis risiko bahaya histamin.

    3.4.1. Tahapan pengamatan proses penanganan tuna pasca tangkap sampaipenerimaan bahan baku oleh perusahaan

    Proses penanganan tuna pasca tangkap sampai penerimaan bahan baku

    oleh perusahaan diamati berdasarkan tahapannya. Tahapan tersebut dituangkan

    dalam bentuk diagram alir proses penanganan tuna pasca tangkap sampai

    penerimaan bahan baku oleh perusahaan. Tujuan dari tahapan pengamatan ini

    adalah untuk mengetahui proses penanganan tuna dan menentukan tahap-tahap

    yang memiliki peluang terjadinya risiko kontaminasi bakteri penghasil histidin

    dekarboksilase, serta untuk menentukan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

    peningkatan kadar histamin. Penentuan tersebut dilakukan dengan cara melihat

    waktu, suhu, sanitasi dan higiene lingkungan serta aktivitas penanganan ikan.

    3.4.2. Tahap Penilaian sanitasi, higiene dan kelayakan dasar

    Tahap penilaian sanitasi, higiene (kapal) dan kelayakan dasar (transit dan

    alat distribusi/transportasi). Penilaian kelayakan dilakukan dengan menggunakan

    daftar penilaian unit pengolahan ikan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal

    Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan tahun 2007 (KEP 011.P2HP. 2007)

    (DKP 2007). Daftar penilaian sanitasi, higiene, dan kelayakan dasar (transit dan

    alat distribusi) dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.

    3.4.3 Tahap evaluasi risiko histamin

    Evaluasi risiko bahaya histamin dalam penelitian ini menggunakan konsep

    risk assessment. Risk assessment bahaya peningkatan kontaminasi mikroba dan

    peningkatan kadar histamin dilakukan secara semi kuantitatif dengan cara melihat

    hazard identification, hazard characterization, exposure assessment atau dose

    response dan risk characterization dari bahaya peningkatan kontaminasi mikroba

    dan peningkatan kadar histamin selama proses penerimaan bahan baku. Diagram

    alur evaluasi risiko histamin dapat dilihat pada Gambar 4.

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    20/75

    Gambar 5. Skema risk assessment(Komisi Eropa 1997 diacu dalam Voysey dan Brown 2000)

    a)Hazard identificationHazard identification merupakan proses pencarian dan identifikasi masalah

    khususnya bahaya histamin. Dasar penetapan ini disebabkan adanya isu global

    mengenai peningkatan kadar histamin selama proses penanganan mulai dari pasca

    penangkapan, transit kapal sampai penerimaan di perusahaan (penerimaan bahan

    baku). Proses Hazard identification meliputi identifikasi faktor-faktor yang

    mempengaruhi pembentukan histamin, peningkatan jumlah bakteri penghasil

    histamin serta risiko histamin terhadap tubuh manusia. Identifikasi dilakukan

    Pernyataan maksud

    Hazard identificationIdentifikasi agen yang dapat

    merugikan kesehatan

    Exposure assessment

    Evaluasi tingkat penyerapan

    makanan yang mungkin terjadi

    Hazard characterisation

    Evaluasi sumber merugikan yang

    berhubungan dengan bahaya yangterdapat dalam makanan. Termasukdose-responseassessment.

    Risk characterisation

    Pendugaan efek merugikan yangmungkin terdapat dalam populasi,termasuk adanya ketidakpastian

    Laporan resmi

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    21/75

    dengan studi literatur dari berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan

    histamin dan bahayanya bagi tubuh serta faktor-faktor yang mempengaruhi

    peningkatan bakteri penghasil histamin.

    b)Exposure assessment

    Exposure assessment bertujuan untuk mengevaluasi level dari bahaya

    histamin di berbagai tahap penanganan ikan pasca penangkapan sampai

    penerimaan bahan baku, frekuensi, dan durasi dari konsumsi produk tersebut,

    serta level mikroorganisme penghasil histamin yang terdapat pada tuna.

    Informasi mengenai level kandungan bakteri total, bakteri penghasil

    histamin dan kandungan histamin diperoleh dengan cara melakukan pengambilan

    sampel ikan tuna pada proses penerimaan bahan baku untuk dianalisis kadar

    histamine, total mikroba dan mikroba penghasil histamin di laboratorium.

    Sampling dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada tanggal 16 September,

    19 September dan 3 November 2008.

    c)Hazard characterization

    Hazard characterization merupakan evaluasi kualitatif atau kuantitatif

    alami dari efek yang berhubungan dengan histamin dan agen mikrobiologi.

    Komponen paling penting dari langkah hazard characterization adalah penetapan

    dose respone. Dose respone merupakan kadar tertinggi histamin dan mikroba

    yang terdapat pada bahan baku (ikan tuna) yang dapat menghasilkan histamin

    sampai kadar yang menyebabkan keracunan dalam tubuh manusia. Hazard

    characterization dan dose reponse dapat dilihat dari studi literatur mengenai

    jumlah mikroba penghasil histamin dan bahaya histamin pada tubuh dan

    dibandingkan dengan kandungan mikroba dan jumlah histamin hasil analisis yang

    dilakukan di Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan DKI

    Jakarta, Pluit, Jakarta Utara.

    d)Risk characterization

    Risk characterization merupakan perkiraan secara semi kuantitatif untuk

    menentukan risiko histamin berdasarkan hazard identificationi, hazard

    characterization dan exposure assessment. Hasil keluaran dari risk

    characterization ini adalah risk estimate atau perkiraan risiko yang dapat timbul

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    22/75

    dari peningkatan mikroba dan kandungan histamin yang dihasilkan jika masuk ke

    dalam tubuh manusia. Penilaian risk estimate menggunakan program risk ranger.

    3.5 Pengujian SampelAnalisis yang dilakukan meliputi kadar histamin, total plate countbahan

    baku ikan tuna, serta uji total mikroba penghasil histamin.

    3.5.1 Kadar histamin (SNI 01-2360-1991)

    Tahap ekstraksi

    Sampel ditimbang sebanyak 10 gram lalu ditambahkan dengan methanol

    sebanyak 50 ml dan dihomogenkan dengan homogenizer(blender) kurang lebih

    selama 1-2 menit. Setelah homogen maka sampel tersebut dipanaskan dalam

    water bath pada suhu 60oC selama 15 menit, kemudian didinginkan pada suhu

    ruang. Setelah dingin, sampel dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan

    ditambahkan methanol sampai tanda tera dan dikocok agar homogen. Larutan

    sampel kemudian disaring dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam

    erlenmeyer.

    Tahap clean up

    Pertama-tama disiapkan kolom, kemudian ke dalam kolom tersebut

    dimasukkan glass woll secukupnya (tingginya 1 cm), setelah itu dimasukkan resin

    penukar ion ke dalam kolom sampai tingginya kurang lebih 8 cm (diusahakan

    agar resin jangan sampai kering dengan cara dibilas menggunakan aquades karena

    akan mempengaruhi daya kerja ion tersebut). Langkah terakhir adalah

    melewatkan sampel ke dalam kolom sebanyak 1 ml dan ditampung hasilnya

    dalam labu ukur 50 ml yang telah diberi 5 ml HCL 1 N.

    Tahap pembentukan

    Ke dalam masing-masing tabung reaksi dipipet sebanyak 10 ml HCL

    0.1 N kemudian ditambahkan 5 ml sampel, 5 ml standar histamin (untuk larutan

    sekunder) dan 5 ml HCL 0.1 (untuk blanko). Selanjutnya ditambahkan 3 ml

    NaOH, setelah itu dihomogenkan dan dibiarkan selama 5 menit, kemudian

    ditambahkan sebanyak 1 ml orto-ftalatdikarboksilaldehid (OPT), lalu

    dihomogenkan dan didiamkan selama 4 menit. Sampel kemudian ditambahkan

    3 ml H3PO43 5,7 N dan dihomogenkan, setelah selesai sampel siap untuk dibaca

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    23/75

    dengan spektrofotoflourometer dengan eksitasi pada 350 nm dan pengukuran

    flourescence pada 444 nm.

    Perhitungan kadar histamin (ppm):

    Histamin (mg/Kg) =

    Keterangan : IU = Absorban sampelA dan B = Koefisien regresi linierFp = Faktor pengenceran

    3.5.2

    Uji total bakteri (Total Plate Count) (SNI 01-2360-1991)Pertama-tama ditimbang sampel sebanyak 25 gram secara aseptik,

    kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik yang sudah disterilkan, setelah

    itu ditambahkan sebanyak 225 ml larutan garam 0.85%.

    Pembuatan larutan contoh dengan cara mencampurkan 25 gram sampel

    dan dimasukkan ke dalam botol yang berisi 225 ml larutan garam 0,85 % steril,

    kemudian dihancurkan hingga larutan homogen, dari campuran tersebut diambil 1

    ml dan dimasukan dalam botol berisi 9 ml larutan garam 0,85 % steril sehingga

    diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, kemudian dikocok agar homogen.

    Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian, biasanya

    hingga pengenceran 10-5. Sebanyak 1 ml larutan contoh dari pengenceran 10 -2

    sampai 10-5 dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan

    menggunakan pipet steril. Media nutrient agar (dengan suhu ruang, + 30.5oC)

    dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 0.5 ml dan digoyangkan sampai

    permukaan agar merata dan didiamkan beberapa saat hingga mengeras. Cawan

    petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator

    dengan posisi terbalik. Suhu inkubator yang digunakan adalah sekitar 32oC dan

    diinkubasi selama 48 jam. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung

    jumlah koloni yang terbentuk di dalam cawan petri. Seluruh pekerjaan dilakukan

    secara aseptik untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan

    pengamatan secara duplo untuk meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni bakteri

    yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300

    koloni.

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    24/75

    3.5.3 Uji total bakteri penghasil histamin (SNI 01-2360-1991)

    Prinsip dari metode ini adalah Enterobactericeae akan merubah histidin

    menjadi histamin melalui proses dekarboksil yang akan menaikkan pH dan

    mengakibatkan perubahan warna pada media.

    Larutan niven agar disiapkan dengan cara mencampurkan semua bahan,

    yaitu 0,1 % trypton, 0,2 % yeast ekstrak, 0,1 % L-histidin, 0,1 % CaCO3, 2 %

    NaCl, 2,5 % agar, 0,01 % phenol red, kemudian dimasukkan ke dalam labu

    erlenmeyer dan diencerkan dengan aquades kemudian dipanaskan hingga

    mendidih dan diatur pH 6-6,1 lalu disterilisasi pada suhu 121oC selama 2 jam.

    Sampel diencerkan sampai 105. Sebanyak 1 ml larutan sampel dari setiap

    pengenceran dimasukkan ke dalam cawan petri, lalu niven agar cair (dengan suhu

    ruang, + 30.5oC) dituangkan keatasnya, ditunggu sampai membeku kemudian

    diinkubasi pada suhu 35oC selama 2-3 hari. Dihitung jumlah koloni merah muda

    dengan latar belakang kuning dan orange.

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    25/75

    4. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1. Tahapan Proses Penanganan Ikan Tuna di Tempat Transit

    Pembongkaran

    Penanganan ikan tuna setelah penangkapan atau pascapanen memegang

    peranan sangat penting dalam memperoleh nilai jual ikan yang maksimal. Salah

    satu faktor yang menentukan nilai jual ikan tuna adalah tingkat kesegaran.

    Semakin segar ikan sampai ke tangan pembeli atau konsumen maka harga jual

    ikan akan semakin tinggi. Kesegaran ikan tuna dapat dilihat dari penampakan,

    bau, warna daging, serta teksturnya. Pada dasarnya, untuk mendapatkan ikan yang

    memenuhi tujuan ekspor diperlukan penanganan yang baik saat operasi

    penangkapan, pembongkaran (penanganan di pelabuhan), serta proses

    transportasinya.

    Penanganan saat operasi penangkapan merupakan penanganan awal.

    Batasan penanganan ini adalah sejak ikan tertangkap sampai didaratkan di

    pelabuhan. Perlakuan ikan tuna saat penanganan diharapkan tidak menimbulkan

    kerusakan fisik, perubahan komposisi kimia dan mikrobiologi sehingga dapat

    memperlambat proses pembusukan. Penanganan ikan yang baik sangat diperlukandalam upaya menjaga kualitas serta kesegaran ikan yang diperoleh.

    Penanganan saat di pelabuhan (pembongkaran dan transit) merupakan

    penanganan lanjutan setelah ikan tiba di pelabuhan. Batasan penanganan ini

    adalah ikan sejak didaratkan sampai didistribusikan, baik untuk keperluan ekspor

    maupun pemenuhan kebutuhan lokal. Penanganan ikan pada saat pembongkaran

    dan pemindahan ke tempat transit dilakukan secara hati-hati, bersih, cepat dan

    dingin. Hal ini mengingat ikan merupakan produk yang mudah dan cepat

    membusuk jika tidak ditangani secara benar.

    Penanganan tuna segar dari proses pembongkaran sampai ekspor dapat

    dilihat pada Gambar 6.

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    26/75

    Gambar 6. Penanganan tuna segar dari proses pembongkaran sampai ekspor

    Keterangan : = Awal proses dan proses akhir= Tahapan proses

    Tahapan proses penanganan ikan tuna yang dilakukan adalah sebagai berikut:

    1) Pembongkaran ikan tuna

    Ikan tuna yang didaratkan pada lokasi transit 20 adalah ikan tuna jenis

    yellowfin tuna (Thunnus albacares) dan big eye tuna (Thunnus obessus). Ikan

    tuna didaratkan dalam bentuk ikan utuh yang sudah disiangi isi perut dan

    insangnya dengan menggunakan kapal berkapasitas sampai dengan 80

    gross ton (GT). Daerah penangkapan ikan tuna meliputi perairan Samudra

    Indonesia, pantai utara Jawa, dan perairan selatan Jawa hingga mencapai

    Pengujian laboratorium

    Pemindahan ke transit

    Sortasi (seleksi)

    Pembersihan sisa isi perut dan bagian insang

    Pencucian

    Penimbangan dan pencatatan

    Penyimpanan dalam bak berisi es

    Transportasi ke perusahaan

    Pengirimanekspor

    Pembongkaranikan tuna

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    27/75

    wilayah Sulawesi. Kapal penangkap tuna yang digunakan sudah dilengkapi

    dengan sistem pendingin refrigerated sea water (RSW). Waktu yang

    digunakan untuk melaut adalah 25 hari sampai dengan 6 bulan. Jumlah ikan

    yang berhasil didaratkan setiap kali operasi mencapai 100-600 ekor ikan tuna.

    Kualitas ikan tuna dapat dipertahankan apabila penanganan yang

    diterapkan di atas kapal dilakukan dengan hati-hati, bersih, cepat dan dingin.

    Ikan tuna yang didaratkan dalam keadaan dingin, dengan maksimal suhu ikan

    adalah 2oC (pengukuran menggunakan thermo cople).

    2) Pembongkaran

    Pembongkaran ikan dari palka kapal dilakukan setelah kapal merapat ke

    tempat pembongkaran. Proses pembongkaranfresh tuna dilakukan pada pagi

    hari sekitar jam 09.00 WIB sampai dengan 14.00 WIB. Pembongkaran ikan

    tuna dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan alat katrol dan tali

    tambang. Proses pengangkatan ikan satu persatu dari palka kapal dan

    dipindahkan ke bagian geladak, kemudian ikan disemprot dengan air bersih.

    3) Pemindahan ikan tuna ke transit

    Ikan tuna yang sudah dibongkar dipindahkan ke tempat transit yang

    telah tersedia. Lokasi pendaratan ikan tuna di Muara Baru berjumlah 28

    transit. Proses pemindahan ikan diperlukan fasilitas khusus, yaitu atap plastik

    dan papan peluncur. Fasilitas ini untuk melindungi ikan agar tidak terkena

    sinar matahari langsung, karena jarak kapal yang bersandar di dermaga

    dengan tempat transit cukup jauh, yaitu + 100 meter. Ikan yang sudah

    dikeluarkan dari palka diangkat ke geladak, diangkut satu persatu ke papan

    peluncur. Penarikan dilakukan oleh dua orang, satu orang bertugas menarik

    ikan ke papan peluncur dan satu orang lagi mendorong ikan masuk ke dalam

    ruangan transit.

    4) Sortasi (seleksi)

    Sortasi ikan ditujukan untuk mengklasifikasi ikan tuna segar yang

    memenuhi persyaratan kualitas ekspor. Faktor-faktor yang dapat

    menyebabkan perbedaan tersebut adalah adanya perbedaan waktu kematian,

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    28/75

    cara kematian, cara penanganan, sanitasi, lama melaut serta penerapan rantai

    dingin.

    Proses sortasi dilakukan secara organoleptik (penampakan, kulit, mata,

    tekstur dan kekenyalan daging, serta warna daging). Penilaian organoleptik

    tekstur, kekenyalan, serta warna, dilakukan terhadap sampel daging ikan yang

    diambil dari bagian ekor dan belakang sirip ventral, hal ini dimaksudkan agar

    tidak terjadi kerusakan fisik terhadap ikan tuna yang akan di ekspor.

    Kualitas mutu ikan tuna pada tempat transit dibedakan menjadi

    empat kategori, yaitu grade/kualitas A, B, C, dan D. Kegiatan sortasi

    dilakukan oleh seorang pemeriksa (checker) dengan menggunakan alat coring

    tube yaitu semacam alat yang berbentuk batang, tajam dan terbuat dari besi.

    Pengambilan sampel dilakukan pada kedua sisi ikan (bagian belakang sirip

    atau ekor kanan dan kiri) dengan cara menusukan coring tube ke tubuh ikan,

    sehingga didapatkan potongan daging ikan tuna. Perbedaan klasifikasi mutu

    daging ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 7, 8, 9, dan 10.

    1) Mutu I (A)

    Gambar 7. Daging ikan tuna grade A hasil checker

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    29/75

    Ciri-ciri ikan tuna grade A adalah sebagai berikut:

    Warna daging untukyellowfin tuna adalah merah, seperti darah segar

    atau buah semangka, sedangkan bigeye tuna merahnya seperti bunga

    mawar yang berwarna merah tua, pelangi (ya ke) tidak ada

    Mata bersih, terang, dan menonjol

    Kulit normal, warna bersih, dan cerah

    Tekstur daging keras, kenyal dan elastis (yellow fin) sedangkan

    bigeye tekstur dagingnya lembut kenyal, dan elastis

    Kondisi ikan (penampakannya) bagus atau utuh

    2) Mutu II (B)

    Gambar 8. Daging Ikan tuna grade B hasil checker

    Ciri-ciri ikan tuna grade B adalah sebagai berikut:

    Warna daging merah, terdapat pelangi (ya ke), otot daging agak

    elastis, jaringan daging tidak pecah

    Mata bersih, terang dan menonjol

    Kulit normal, bersih, sedikit lendir

    Tidak ada kerusakan fisik (utuh)

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    30/75

    3) Mutu III (C)

    Gambar 9. Daging ikan tuna grade C hasil checker

    Ciri-ciri ikan tuna grade C adalah sebagai berikut:

    Warna daging kurang merah, ada pelangi (ya ke)

    Kulit normal dan berlendir

    Otot daging kurang elastis

    Kondisi ikan tidak utuh atau cacat, biasanya pada bagian

    punggung/dada

    4) Mutu IV (D)

    Gambar 10. Daging ikan tuna grade D hasil checker

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    31/75

    Ciri-ciri ikan tuna grade D adalah sebagai berikut :

    Warna daging agak kurang merah dan cenderung berwarna coklat

    dan pudar

    Otot daging kurang elastis, lemak sedikit dan ada pelangi (ya ke)

    Teksturnya lunak, jaringan daging pecah

    Terjadi kerusakan fisik pada tubuh ikan (seperti: daging ikan yang

    sudah sobek, mata ikan hilang dan kulit terkelupas)

    Ikan tuna yang memiliki kualitas mutu A dan B akan langsung di

    ekspor dalam bentuk utuh dan fresh (tidak dibekukan terlebih dahulu),

    sedangkan ikan dengan kualitas mutu C dan D akan diolah terlebih dahulusebelum diekspor. Produk olahan tuna kualitas C dan D berupa produk beku

    dalam bentuk utuh disiangi (frozen whole gilled and gutted), loin (frozen

    loin), steak (frozen steak), tuna saku dan produk tuna kaleng (canned tuna).

    Negara tujuan ekspor produk fresh tuna adalah Jepang dan Uni Eropa,

    sedangkan untuk produk olahan tuna adalah Amerika Serikat.

    5) Tranportasi ikan ke perusahaan

    Ikan yang telah disortasi kemudian diangkut menuju perusahaan untuk

    diproses lebih lanjut (pembentukan loin, saku, dan lain-lain). Hanya ikan-ikan

    yang memenuhi kriteria yang dibutuhkan oleh perusahaan X yang akan dibeli

    yaitu ikan dengan grade B dan C. Ikan kemudian dimasukkan dalam truk

    berinsulasi dan langsung dibawa menuju perusahaan.

    6) Pembersihan sisa isi perut, bagian insang dan pencucian

    Ikan tuna yang memenuhi kualitas ekspor diproses selanjutnya dengan

    membersihkan sisa bagian isi perut dan insang. Pembuangan isi perut dan

    insang akan menyebabkan ikan kotor karena darah, oleh karena itu untuk

    menghilangkannya perlu dilakukan proses pencucian. Proses pencucian ini

    dilakukan dengan menyemprotkan air secukupnya menggunakan selang

    hingga ikan bersih dari kotoran dan sisa darah yang masih menempel.

    7) Penimbangan dan pencatatan

    Tahap selanjutnya adalah penimbangan dan pencatatan. Penimbangan

    dilakukan dengan melihat bobot, jenis dan kualitas ikan tuna. Ikan tuna

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    32/75

    ditimbang dan dicatat beratnya sebagai laporan perusahaan. Tahapan

    penimbangan ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 11.

    Gambar 11. Tahap penimbangan ikan tuna

    8) Penyimpanan dalam bak es

    Penyimpanan ikan tuna dilakukan sebelum proses pengiriman (ekspor).

    Tujuannya adalah menjaga agar suhu tubuh ikan tuna tidak naik.

    Penyimpanan dilakukan dengan menyusun ikan tuna dalam wadah atau bak

    penampung yang besar yang telah berisi es dengan suhu 2 oC. Ikan tuna

    disimpan berdasarkan kualitas dan jenis ikan tuna. Penyimpanan ikan tuna

    dalam bak es dapat dilihat pada Gambar 12.

    Gambar 12. Penyimpanan ikan tuna dalam bak dengan penambahan es

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    33/75

    9) Pengujian laboratorium

    Pengujian secara kimia dan mikrobiologi dilakukan untuk mengetahui

    apakah ikan tuna yang akan diekspor sudah memenuhi persyaratan yang

    ditetapkan. Pengujian ini dilakukan oleh Laboratorium Pengolahan dan

    Pengujian Mutu Hasil Perikanan DKI Jakarta, Pluit Jakarta Utara. Pengujian

    yang dilakukan adalah uji kimia (uji histamin, TVB, kandungan logam berat)

    dan mikrobiologis (total Plate Count/TPC). Sampel ikan tuna yang telah

    lolos pengujian dan telah dinyatakan memenuhi persyaratan ekspor akan

    mendapatkan Sertifikat mutu Ekspor (SME). Hasil pengujian sampel

    memerlukan waktu minimal dua hari setelah sampel pertama kali diambil.

    10) Pengemasan

    Ikan tuna yang telah memenuhi hasil pengujiannya telah memenuhi

    persyaratan laboratorium, selanjutnya dikemas. Produk tuna segar

    dikeluarkan dari wadah/bak penyimpanan, lalu dikeringkan sebelum dikemas.

    Proses pengeringan ini menggunakan busa/spons sehingga menghasilkan ikan

    yang bersih dan kering.

    Bahan pengemasan yang digunakan sesuai dengan SNI kemasan untuk

    produk ikan segar (fresh fish) khusus melalui sarana angkutan udara yaitu

    SNI 19-4858-1998 yang telah dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional,

    kemasan yang digunakan adalah kemasan tipe III dan V. Kemasan tipe III

    mempunyai ukuran 750x420x400 mm, kemasan ini digunakan untuk ikan

    berukuran besar (satu kemasan hanya untuk 1 ekor ikan dengan batas

    maksimal 35 kg). Kemasan tipe V dengan ukuran 1200x420x400 mm.

    Kemasan ini digunakan untuk ikan yang berukuran sedang, yaitu satu

    kemasan biasanya berisi 2-3 ekor ikan, dengan batas maksimal 80 kg

    kedalam kemasan dimasukan beberapa potong es kering, agar suhu dalam

    kemasan tetap rendah selama pengiriman.

    4.2. Penilaian Sanitasi, Higiene dan Kelayakan Dasar

    Penilaian sanitasi, higiene serta kelayakan dasar dilakukan terhadap tiga

    tempat, yaitu penilaian terhadap kapal pembekuan selama proses pembongkaran,

    tempat pendaratan/pembongkaran ikan, serta selama distribusi/transportasi. Dasar

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    34/75

    hukum penilaian adalah keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor :

    KEP.01/MEN/2007, tentang persyaratan jaminan mutu dan keamanan hasil

    perikanan pada proses produksi, pengolahan, dan distribusi (DKP 2007).

    4.2.1 Penilaian sanitasi selama proses pembongkaran

    Penilaian dilakukan terhadap kapal penangkapan KM Jimmy Wijaya.

    Kapal tersebut merupakan salah satu unit operasional kapal penangkapan yang

    mendistribusikan ikan tuna pada tempat transit 20.

    1)Kondisi sanitasi tempat penerimaan ikan

    Kapal sudah memiliki luas yang cukup untuk penanganan ikan (lebar

    geladak kapal 5-6 meter), terdapat terpal yang menutupi bagian atas kapal padasaat proses pembongkaran dilakukan, akan tetapi kondisi sanitasi kapal dalam

    keadaan kurang baik, yaitu ikan diletakkan pada lantai yang tidak kedap air

    (maksimal dilakukan selama 10 menit), kondisi ini dapat memungkinkan

    terjadinya kontaminasi ikan tuna hasil tangkapan selama dalam proses

    pembongkaran. Kondisi lantai kapal pada saat pembongkaran dapat dilihat pada

    Gambar 13.

    Kapal penangkapan harus memiliki tempat penerimaan ikan dalam kondisi

    yang baik/bersih, memiliki luas yang cukup untuk penanganan ikan, terlindung

    dari lingkungan dan potensi kontaminasi, memiliki permukaan kapal yang mudah

    dibersihkan, tersedia air bersih, serta memiliki saluran pembuangan air yang

    memadai (DKP 2007).

    .

    Gambar 13. Kondisi permukaan kapal pada saat pembongkaran

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    35/75

    2)Alat pengangkutan ikan dan kondisi lingkungan kerja

    Kondisi kapal tidak memiliki sarana pencucian tangan berupa kran yang

    dioperasikan tidak dengan tangan (contoh: bisa dioperasikan dengan kaki),

    biasanya awak kapal atau pekerja menggunakan air langsung dari selang untuk

    mencuci tangan, terkadang tidak mencuci tangan dengan menggunakan sabun.

    Kondisi ini tidak sesuai dengan persyaratan atau standar yang dikeluarkan oleh

    DKP.

    Alat pengangkutan ikan dijaga agar tetap dalam kondisi higienis dan

    melindungi ikan secara keseluruhan. Kondisi lingkungan kerja harus dalam

    keadaan bersih sehingga mencegah terjadinya kontaminasi silang, bahan lantai

    tidak licin/kedap air dan mudah dibersihkan serta memiliki saluran pembuangan

    air yang efisien. Harus tersedia sarana pencucian tangan dan disinfektan (kran

    tidak dioperasikan dengan tangan, pengering sekali pakai, menggunakan

    sabun/desinfektan) (DKP 2007).

    3) Bahan dan wadah pendinginan/penyimpanan beku

    Proses penanganan ikan di kapal sudah memanfaatkan wadah yang hanya

    digunakan untuk menyimpan ikan tuna hasil tangkapan. Penyimpanan ikan tuna

    dilakukan dalam palka kapal. Hal ini sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan

    DKP.

    Wadah penyimpanan hanya digunakan untuk menyimpan ikan, mudah

    dibersihkan dan cukup memadai, masing-masing produk disimpan terpisah, serta

    bahan pengemas disimpan dalam ruangan terpisah (jika langsung dilakukan

    pengemasan hasil tangkapan) (DKP 2007). Palka penyimpanan ikan tuna hasil

    tangkapan dapat dilihat pada Gambar 14.

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    36/75

    Gambar 14. Palka penyimpanan ikan tuna hasil tangkapan

    4) Ruang ganti dan toilet

    Letak toilet di kapal terpisah dengan area kerja, namun tidak dilengkapi

    dengan sarana pembilas/pembuangan otomatis. Hal ini akan mempengaruhi

    sanitasi toilet dan higiene pekerja kapal yang menggunakannya. Awak/pekerja

    kapal biasanya langsung membuang kotoran toilet ke laut.

    Persyaratan toilet yang baik adalah tidak berhubungan langsung dengan

    area kerja. Toilet dilengkapi dengan sarana pembilas/pembuangan otomatis,

    tersedia sabun dan desinfektan, serta memiiki kran untuk pencucian tangan yang

    tidak dioperasikan dengan tangan (DKP 2007).

    5) Higiene peralatan

    Ikan diangkat dari wadah penyimpanan untuk dinaikan ke bagian geladak

    kapal. Kondisi katrol masih dalam keadaan cukup baik dan layak digunakan,

    namun beberapa alat penangkapan yang digunakan kurang dirawat dan dijaga

    kebersihannya, sehingga banyak yang sudah berkarat.

    Alat harus dijaga kebersihannya dan dirawat dengan baik, hal ini bertujuan

    untuk mencegah kontaminasi silang pada produk melalui peralatan yang

    digunakan. Pembongkaran ikan dilakukan dengan menggunakan sistem katrol.

    6) Higiene pekerja

    Sanitasi kapal dan higiene pekerja kapal pada saat proses pembongkaran

    dalam keadaan yang buruk. Terlihat dari kondisi lantai yang digunakan untuk

    meletakan ikan dalam keadaan kotor serta kondisi pekerja kapal jauh dari higienis.

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    37/75

    Masih ada pekerja yang tidak menggunakan sepatu boat pada saat melakukan

    proses pembongkaran, tidak ada yang memakai penutup kepala, serta masih ada

    pekerja yang merokok di kapal pada saat proses pembongkaran ikan tuna. Higiene

    pekerja harus benar-benar diperhatikan. Hal ini dimaksudkan agar pekerja yang

    menangani produk tidak menjadi sumber kontaminasi.

    Persyaratan bagi pekerja yaitu harus menggunakan pakaian kerja yang

    lengkap dan bersih, rambut harus ditutup dengan penutup kepala yang rapat,

    bersih dan dalam kondisi yang baik, tangan dicuci setiap kali akan memulai kerja,

    serta pekerja dilarang merokok, meludah dan makan di area penyimpanan serta

    harus dilengkapi rambu-rambu tanda larangan tersebut (DKP 2007).

    4.2.2. Penilaian sanitasi dan higiene di tempat pendaratan/transit ikan

    Penilaian dilakukan di tempat yang menjadi penampung ikan tuna PT X,

    yaitu Transit 20. Berikut merupakan penilaian tempat pembongkaran transit

    tempat penelitian (transit 20).

    1) Perlindungan terhadap produk

    Selama proses pembongkaran dari palka di kapal dan selama

    pengangkutan dari kapal ke dalam transit 20, ikan terlindung dari kondisi cuaca

    (sinar matahari dan lainya), hal ini diupayakan agar ikan selalu terlindung dari

    sengatan matahari yang dapat menyebabkan kenaikan suhu ikan sehingga

    menurunkan kualitasnya. Bagian atas palka kapal dilengkapi penutup dari terpal

    atau plastik untuk melindungi tempat pembongkaran tersebut, sedangkan

    sepanjang papan peluncur digunakan penutup semacam tenda seperti yang terlihat

    pada Gambar 14.

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    38/75

    Gambar 15. Papan peluncur yang dilengkapi dengan penutup

    Selama penanganan ikan tuna di kapal terdapat penyimpangan mayor, dan

    penyimpangan serius. Penyimpangan mayor terdapat pada aspek perlindungan

    terhadap produk ini, yaitu tidak ada perlindungan ikan pada saat pembongkaran

    dikapal dari debu dan gas dari mesin , hal ini penting karena debu dan gas dapat

    mengkontaminasi ikan. Hal ini juga diperburuk oleh banyaknya asap dari mobil

    yang digunakan untuk membawa ikan hasil tangkapan ke perusahaan.

    Penyimpangan minor terjadi pada area perlindungan terhadap produk,

    karena tidak diberi pagar dengan sistem pengunci. Penguncian dimaksudkan

    untuk mencegah masuknya orang yang tidak berkepentingan, serta mencegah

    terdapatnya binatang di dalam area transit. Hal ini dilakukan untuk mencegah

    terjadinya kontaminasi silang terhadap produk ikan tuna yang didaratkan.

    Penyimpangan serius terjadi pada saat pengangkutan ikan dari kapal

    menuju tempat transit menggunakan papan peluncur, yaitu membiarkan selamabeberapa waktu ikan terkena sinar matahari secara langsung sekitar 3-5 menit, hal

    ini sangat berbahaya karena dapat meningkatkan suhu tubuh ikan (2-3oC).

    Peningkatan suhu tubuh sangat berpeluang untuk mengaktifkan enzim autolisis

    serta mikroorganisme yang telah diinaktifkan melalui proses pendinginan.

    Penyimpangan selama proses pengangkutan dapat dilihat pada Gambar 16.

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    39/75

    Gambar 16. Contoh penyimpangan dalam proses pengangkutan ikan tuna

    2) Konstruksi dan kondisi bangunan

    Kontruksi dan kondisi bangunan tempat transit ikan sudah cukup baik.

    Bangunan mudah dibersihkan dan terbuat dari bahan yang kedap air, mempunyai

    permukaan yang halus serta dirawat dengan baik.

    Sanitasi ruangan tempat transit ikan kurang baik walaupun lantainya

    terbuat dari bahan yang kedap air. Hal ini terlihat dari adanya genangan air yang

    cukup banyak. Genangan air ini karena adanya sisa-sisa penyemprotan ikan untuk

    membersihkan darah dan kotoran pada ikan yang baru datang. Genangan tersebut

    merupakan sumber kontaminan mikroorganisme dari campuran air yang terdapat

    dalam darah dan kotoran, seharusnya dilakukan pembersihan genangan air yang

    terbentuk setiap kali proses pencucian dilakukan. Kondisi tempat transit dapat

    dilihat pada Gambar 17.

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    40/75

    Gambar 17. Kondisi tempat transit ikan tuna

    3) Es

    Selama proses penanganan ikan tersedia es dalam jumlah yang cukup. Es

    diproduksi oleh perusahaan sendiri. Es yang digunakan adalah es curah.

    Penggunaan es sangat penting karena berfungsi menjaga stabilitas suhu ikan

    sehingga kualitas ikan tetap terjaga.

    4)Penanganan limbah

    Terdapat saluran air pembuangan limbah pada transit 20. Limbah berupa

    air hasil pencucian yang dilakukan terhadap ikan. Limbah pembuangan juga dapat

    berasal dari pembuangan daging ikan yang diambil oleh checkeruntuk penentuan

    kualitas mutu ikan yang didaratkan.

    Pada aspek penanganan limbah terjadi penyimpangan minor, yaitu tidak

    tersedianya wadah limbah yang diberi tutup. Penggunaan tutup wadah limbah

    dimaksudkan untuk mencegah datangnya serangga ke area transit ikan.

    5) Toilet dan tempat cuci tangan

    Hasil penilaian, menunjukkan bahwa telah terjadi dua penyimpangan

    minor, satu penyimpangan mayor dan dua penyimpangan serius. Penilaian

    dilakukan untuk mengetahui kelayakan tempat pendaratan/transit ikan.

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    41/75

    Penyimpangan serius terjadi pada aspek penilaian toilet dan tempat cuci

    tangan. Jumlah toilet dan tempat cuci tangan tidak cukup dan terkadang tidak

    dilengkapi dengan sabun dan pengering sekali pakai (tissue). Sabun berfungsi

    sebagai desinfektan untuk membersihkan kotoran. Berdasarkan hasil tersebut

    dapat disimpulkan bahwa tempat pendaratan/transit 20 termasuk ke dalam

    grade/nilai B (kriteria B didapat dari hasil penilaian kelayakan dasar dengan

    maksimal terjadi dua pelanggaran serius). Grade B adalah tingkat sertifikat

    menengah, dengan persyaratan maksimal terdapat dua kriteria penyimpangan

    serius. Suatu perusahaan unit pengolahan dengan grade B dapat melakukan

    ekspor ke negara yang menerapkan HACCP, kecuali ke Uni Eropa.

    4.2.3. Penilaian distribusi/pengangkutan

    Ikan grade C dan D dari tempat transit dibawa ke PT. X dengan

    menggunakan truk pengangkut. Penilaian kondisi sanitasi yang berhubungan

    dengan kontruksi dan pelaksanaan higiene di truk pengangkut yang digunakan

    untuk membawa ikan ke PT. X sebagai berikut:

    a)Tempat ikan, boks atau lori yang tertutup

    Tempat ikan, boks atau lori yang tertutup pada truk pengangkut PT. X

    sudah memenuhi persyaratan, yaitu mudah dibersihkan (karena terbuat dari fiber

    glass), higienis dan layak digunakan serta mudah dirawat. Berbagai

    penyimpangan yang teridentifikasi, yaitu truk tidak dilengkapi dengan saluran

    pembuangan air, serta keadaannya kurang bersih (banyak sisa kotoran dan lelehan

    es dari ikan yang diangkut). Hal ini sangat memungkinkan untuk terjadinya

    kontaminasi bakteri dari kotoran tersebut. Seharusnya setelah boks digunakan

    untuk mengangkut ikan pertama kali langsung dibersihkan, disemprot dengan air

    bersih, didesinfeksi sebelum perlengkapan tersebut digunakan kembali.

    b)Truk berpendingin

    Truk yang digunakan oleh PT. X tidak memenuhi persyaratan, karena truk

    yang dipakai tidak dilengkapi dengan alat pendingin. Kondisi ini sangat

    merugikan karena dapat meningkatkan suhu ikan yang dibawa sehingga

    memungkinkan terjadinya aktifitas bakteri pembusuk dan peningkatan kandungan

    histamin pada ikan. Perjalanan selama pengangkutan ke perusahaan dilakukan

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    42/75

    selama 5-10 menit. Truk yang digunakan untuk mengangkut ikan hasil tangkapan

    ke perusahaan seharusnya memiliki sistem pendingin. Sistem pendingin tersebut

    mampu mencapai suhu -18oC dan suhunya tercatat serta mudah untuk dibaca dari

    luar.

    c)Proses memuat dan membongkar

    Proses memuat dan membongkar ikan harus dilakukan secara cepat dan

    higienis. Hal ini dimaksudkan agar mencegah terjadinya kontaminasi

    mikroorganisme penyebab penyakit dan meminimalkan pertumbuhan

    mikroorganisme penyebab kebusukan. Karyawan PT. X sudah melakukan proses

    memuat dan membongkar ikan secara cepat. Ikan ditimbang dan langsung

    dimasukkan ke dalam truk pengangkut, segera setelah tempat penyimpanan di

    dalam truk penuh, ikan langsung dibawa ke pabrik. Waktu yang diperlukan untuk

    membawa ikan dari tempat transit menuju pabrik adalah + 5 menit. Proses ini

    kurang dilakukan secara higienis pada situasi saat memuat dan membongkar ikan.

    Banyak pekerja yang menggunakan peralatan dalam keadaan kotor seperti pakaian

    dan sepatu bot serta keadaan pekerja yang kurang bersih, selain itu ada beberapa

    tindakan pekerja yang merokok pada waktu melakukan pekerjaan, keadaan ini

    lebih lanjut dapat mengurangi tingkat kualitas ikan tuna.

    d)Pengendalian sanitasi dan hygiene

    Penyimpangan pada proses memuat dan membongkar yang dilakukan

    oleh pekerja PT. X, yaitu lori pengangkut tidak selalu dibersihkan setelah

    digunakan, serta tidak adanya pengawasan kesehatan dan kebersihan karyawan,

    serta tidak adanya pemeriksaan medical check up secara berkala.

    Sanitasi sangat berkaitan dengan kondisi lingkungan truk pengangkut,

    sedangkan higiene berkaitan dengan kondisi para pekerja dalam melakukan proses

    memuat dan mengangkut ikan. Sanitasi dan higiene yang buruk tidak mampu

    untuk menghindari terjadinya kontak makanan dengan serangga atau kontaminan

    lainnya. Kontaminan tersebut akan menyebabkan semakin banyak peluang

    masuknya mikroba dalam ikan.

    Pengendalian sanitasi dan higiene yang harus dilakukan pada proses

    memuat dan membongkar ikan dalam truk pengangkut, antara lain: pembersihan

    lori sebelum dan sesudah digunakan, pembersihan kendaraan secara berkala, oli

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    43/75

    dan bahan bakar ditempatkan terpisah dari ikan, pengawasan kesehatan dan

    kebersihan karyawan, melakukan medical check up yang dijadwalkan, melakukan

    kebersihan secara umum, serta pengendalian suhu.

    Berdasarkan penilaian tersebut, dapat diketahui bahwa truk/mobil

    pengangkut yang dipakai tidak layak untuk digunakan, sehingga harus dilakukan

    perbaikan (terutama sistem pendingin pada truk/mobil).

    4.3. Penilaian Risiko Bahaya Histamin pada Tahapan Pembongkaran,

    Transit dan Distribusi ke Perusahaan yang Berisiko Terhadap

    Peningkatan Kadar Histamin

    Histamin dapat berkembang jika penanganan tidak dilakukan secara hati-

    hati, dingin dan cepat. Perkiraan efek atau bahaya histamin ikan tuna yang timbul

    selama proses pembongkaran, transit dan transportasi ke perusahaan dapat

    dilakukan dengan menggunakan risk assessment yaitu dengan melihat hazard

    identification, exposure assessment, hazard characterization, dan risk

    characterization.

    4.3.1Hazard identification

    Hazard identification merupakan tahap pertama dalam risk assessment.

    Hazard identification merupakan identifikasi agen biologi, kimia, dan fisika yang

    mampu menyebabkan efek kerugian bagi kesehatan yang mungkin terdapat pada

    makanan khusus atau kelompok dari berbagai sumber pangan. Hal ini merupakan

    proses pencarian untuk menganalisa bahaya yang nyata pada bahan pangan

    tertentu, seperti bahaya histamin pada ikan golongan Scombroid, sehingga

    hazard identification merupakan pencarian pendahuluan untuk mencari sumber-

    sumber bahaya (Sumneret al. 2004). Dalam bidang industri tuna pada penelitian

    ini dilakukan terhadap bahaya histamin, hal ini disebabkan ikan tuna memiliki

    kandungan histidin bebas yang lebih banyak dibandingkan dengan spesies lainnya

    (15 g/kg) (Keeret al 2002).

    Histamin merupakan senyawa kimia amin biogenik yang terbentuk melalui

    reaksi dekarboksilasi histidin oleh enzim histidin dekarboksilase (Pubchem 2005).

    Histamin memiliki struktur molekul C5H11Cl2N3 dengan nama IUPAC

    2-(3H-imidazol-4-yl) ethamine dihydrochloride dengan berat molekul 184. Satuan

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    44/75

    kadar histamin dalam daging tuna dinyatakan dalam mg/100gr, mg % atau

    ppm mg/1000 g) (Kimata 1961; Taylor 1983).

    Keracunan histamin terhitung lebih dari 50 % dari insiden keracunan

    pangan yang berhubungan dengan konsumsi ikan dan makanan laut. Penyakit ini

    merupakan penyakit paling umum yang berhubungan dengan konsumsi ikan di

    UK. Ikan segar normal mengandung kurang dari 1 mg/100 g histamin, pada level

    20 mg/100 g dalam beberapa spesies ikan dilaporkan dapat memproduksi

    simptom. Di USA, antara 1973 dan 1986, terlibat 178 kejangkitan keracunan

    scombrotoxin dari 1096 kasus dilaporkan CDCs Food Disease Outbreak

    Surveillance System. Ikan laut yang paling umum menyebabkan terjadinya

    keracunan scombrotoxin adalah mahi-mahi, tuna dan bluefish.

    Di Inggris, terjadi 100 kasus keracunan histamin pada rentang waktu tahun

    1976 sampai 1982 akibat konsumsi ikan golongan Scombroid. Di Jepang dari

    tahun 1970 sampai tahun 1980 terjadi 43 kasus keracunan histamin akibat

    konsumsi ikan golongan scombroid. Di Amerika Serikat , keracunan histamin dari

    tahun 1969 sampai 1979 terjadi 74 kasus akibat konsumsi ikan golongan

    Scombroid, dan dari 74 kasus keracunan histamin, 24 diantaranya disebabkan

    konsumsi ikan tuna (Taylor 1983).

    Jepang, Amerika Serikat (USA), dan Inggris Raya (United Kingdom, UK)

    merupakan negara dengan jumlah tertinggi yang menderita keracunan histamin.

    Keracunan histamin juga dilaporkan terjadi pada negara-negara Eropa, Asia,

    Kanada, Selandia Baru (New Zealand), dan Australia (Sumneret al. 2004). Pada

    periode tahun 1990 - 2000, jumlah yang menderita keracunan histamin dari ikan

    di Amerika Serikat sebanyak 103 orang, pada periode tahun 1992 1999 jumlah

    yang terserang keracunan histamin dari ikan di Inggris Raya (UK) sebanyak 32orang, sedangkan periode tahun 1990 2000, jumlah yang terserang keracunan

    histamin dari ikan di Australia sebanyak 31 orang (Sumneret al. 2004).

    Laporan FDA tahun 2001-2005 menunjukan adanya penolakan berbagai

    produk tuna Indonesia, karena kasus tingginya kadungan histamin dan logam

    berat. Laporan FDA pada bulan April-Desember 2007 menunjukan adanya

    313 kasus penolakan ekspor produk perikanan asal Indonesia dan 14 diantaranya

    terjadi karena masalah histamin (Sugandhi 2007).

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    45/75

    Pembentukan histamin berbeda-beda untuk setiap spesies dan biasanya

    tergantung pada kandungan histidin, jenis dan jumlah bakteri yang

    mengkontaminasi, suhu pasca panen yang menunjang pertumbuhan dan reaksi

    mikroba, pada cara penanganan dan penyimpanan ikan (Pan 1984). Kadar

    histamin tertinggi terdapat pada bagian depan tubuh ikan (depan perut),

    sedangkan terendah terdapat pada bagian ekor (Lerke et al. 1978). Suhu optimum

    pembentukan histamin adalah 25oC (Kim et al. 1999 diacu dalam Sumneret al.

    2004). Dalam kondisi optimum, jumlah maksimum yang dihasilkan melalui

    autolisis tidak lebih dari 10-15 mg/100gr daging (Kimata 1961). Ada dua macam

    histidin dalam daging ikan, yaitu histidin bebas dan histidin yang terikat dalam

    protein dan hanya histidin bebas sebagai asam amino bebas yang dapat mengalami

    dekarboksilase menjadi histamin (Kimata 1961;Taylor 1983).

    Potensi pembentukan histamin meningkat ketika daging ikan secara

    langsung terekspos dengan bakteri pembentuk histamin. Ini terjadi ketika ikan

    diproses pada saat pemotongan/pemfilletan. Pembekuan selama beberapa waktu

    dapat menginaktifkan bakteri histidin dekarboksilase sehingga mampu

    mengeleminasi potensi untuk perkembangan histamin selanjutnya. Penelitian

    terbaru menyatakan, jika produksi histamin meningkat, pembentukan histamin

    dapat berlanjut bahkan dalam kondisi penyimpanan beku. Pemasakan dapat

    menginaktifkan enzim dan bakteri. Sekali toksin dibentuk, tidak dapat hilang

    dengan panas (termasukretorting).

    Kondisi optimum untuk aktifitas enzim histidin dekarboksilase tidak

    seutuhnya jelas, sebagian besar karena banyak faktor yang perlu ditafsirkan,

    termasuk propogasi sel bakteri, konsentrasi sel awal dan komposisi awal

    mikroflora. Substrat-spesifik enzim dekarboksilase dari mikroba dalam makananmenciptakan produksi amin dalam makanan, tapi kecepatan produksi tidak

    berpengaruh langsung dengan pertumbuhan bakteri.

    Keberadaan histamin dalam jumlah besar pada ikan yang mengalami

    pembusukan dapat menyebabkan keracunan atau kematian, khususnya untuk ikan

    golongan scombroid. Konsumsi makanan yang mengandung sedikit histamin akan

    memberikan efek yang kecil bagi manusia. Hal ini disebabkan karena sistem

    intestinal tubuh manusia mengandung enzim DAO dan HMT yang akan

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    46/75

    mendegradasi histamin menjadi produk yang tidak berbahaya seperti

    imidazoleacetic, methylhistamin, methylimidazole acetic acid, imidazole acetic

    acid riboside dan acetylhistamin.

    Histamin terutama dipecah oleh dua enzim, histamin metil transferase

    (HMT) dan diamin oksidase (DAO), membentuk N-metil histamin dan asam

    asetat imidazole. Monoamin oksidase kemudian mendegradasi N-metil histamin

    menjadi N-metil imidazole asam asetat sebagai metabolit primernya. Hanya

    kurang dari 50 % histamin yang direcovery dari manusia adalah dalam bentuk ini.

    Histamin metil transferase ditemukan di seluruh tubuh, termasuk dalam sel

    langerhans, sel alveolar dan ginjal. Histamin metil transferase juga merupakan

    enzim utama yang bekerja pada histamin dalam perut. Pemecahan histamin oleh

    DAO tidak hanya memproduksi imidazol asam asetat, tapi juga memproduksi

    hidrogen proksida, yang dapat membentuk radikal bebas dan menyebabkan

    peroksidase lipid. Aktifitas diamin oksidase telah ditemukan dalam aktifitas tinggi

    dan rendah dalam ileum, jejunum, caecum dan kolonticus.

    4.3.2. Exposure assessment (penaksiran bahaya)

    Exposure assessment merupakan evaluasi kualitatif dan kuantitatif dari

    kemungkinan adanya agen kimia, biologi dan fisika yang masuk melalui makanan

    seperti halnya dari sumber lain yang terkait. Exposure assessmentadalah suatu

    proses untuk melihat atau memperkirakan bahaya histamin dari beberapa faktor

    yang mempengaruhinya. Exposure assessment dapat diketahui dari berbagai

    informasi mengenai perkembangan kadar histamine selama proses pembongkaran,

    selama di transit, dan transportasi menuju perusahaan, serta informasi tingkat

    konsumsi produk dan keadaan masyarakat atau populasi yang mengkonsumsi

    produk tersebut.

    4.3.2.1. Informasi mengenai kandungan histamin tuna hasil tangkapan

    Kadar histamin merupakan salah satu indikator untuk menilai kualitas

    mutu ikan tuna. Kadar histamin yang tinggi pada produk ikan tuna dapat berubah

    menjadi toksin, yang disebut dengan toksin scombroidpenyebab scombroid

    poisoning. Pada penelitian ini, informasi kadar histamin dapat dilihat dari hasil

    analisis kadar histamin yang terbentuk dalam ikan tuna segar hasil tangkapan

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    47/75

    Kandungan Histamin2,52

    2,64

    1,77

    1,11

    0,00

    0,50

    1,00

    1,50

    2,00

    2,50

    3,00

    A B C D

    Kualitas mutu tuna

    Kandungan

    Histam

    in

    (ppm

    )

    pada berbagai kualitas mutu, serta dari data sekunder hasil pengujian histamin

    semua produk tuna yang dilakukan di Laboratorium Pengolahan dan Pengujian

    Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Pluit, Jakarta Utara.

    a) Kadar histamin berbagai kualitas mutu ikan tuna

    Analisis histamin pada berbagai mutu ikan tuna, grade/kualitas A, B, C,

    dan D dilakukan pada penelitian ini. Grade A merupakan ikan tuna dengan

    kualitas terbaik yang memiliki rataan kadar histamin sebesar 1,11 ppm, grade B

    sebesar 1,77 ppm, grade C sebesar 2,64 ppm dan grade D sebesar 2,52 ppm.

    Hasil pengujian kadar histamin disajikan pada Gambar 18.

    Gambar 18. Kandungan histamin daging ikan tuna berbagai tingkat mutu tuna

    Hasil analisis histamin menunjukan bahwa kandungan histamin semakin

    tinggi dengan semakin menurunnya mutu ikan tuna, kecuali pada nilai histamin

    grade D yang lebih rendah dari nilai histamin ikan tuna grade C. Hal ini karena

    pemisahan kualitas mutu ikan dilakukan secara subjektif dengan melihat

    penampakan organoleptik ikan tuna tersebut oleh checker. Kekeliruan dalam

    penentuan kualitas ikan tuna antara grade C dan grade D dapat saja terjadi, karena

    secara organoleptik kedua grade tersebut memiliki beberapa kesamaan, terutama

    pada penilaian penampakan dan warna daging ikan tuna. Secara penampakan,

    kedua jenis grade tersebut memiliki ciri-ciri, antara lain: kondisi ikan sudah tidak

    utuh lagi atau cacat, serta warna daging agak kurang merah/pudar, cenderung

    berwarna coklat dan pudar.

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    48/75

    Jumlah histamin yang terbentuk bervariasi pada setiap jenis ikan,

    tergantung kepada jumlah histidinnya, tipe dan banyaknya bakteri yang

    menunjang pertumbuhan dan aktivitas mikroba, serta dipengaruhi oleh temperatur

    dan pH lingkungan. Histamin pada ikan akan terbentuk melalui proses

    dekarboksilasi histidin oleh enzim yang secara alami terdapat pada ikan.

    Pembentukan histamin oleh enzim ini berlangsung selama proses autolisis

    (Kimata 1961).

    Autolisis pada daging ikan mulai berlangsung secara biokimiawi segera

    setelah ikan mati terutama pada daging sekitar rongga perut. Setelah fase rigor

    mortis enzim dalam perut ikan aktif menguraikan komponen ikan yang

    menyebabkan terjadinya perubahan pada rasa, warna, tekstur, bau dan

    penampakan ikan (Ilyas 1993).

    Kadar histamin yang terbentuk pada tahap pendaratan ikan dipengaruhi

    oleh aktivitas dan kondisi penanganan ikan tuna di kapal. Informasi yang

    didapatkan dari awak kapal penangkap tuna menunjukan bahwa ikan tuna ini

    ditangkap dengan menggunakan sistem pancing (tuna long line). Ikan yang

    tertangkap akan segera dimatikan untuk mencegah penguraian ATP yang lebih

    cepat sehingga proses rigor mortis dapat dipertahankan lebih lama.

    Penanganan ikan di atas kapal penangkap diawali dengan sortasi jenis

    ikan, dan sortasi ukuran bila mungkin dilakukan penyiangan ikan dengan cara

    dibuang insang dan isi perutnya, hal ini dimaksudkan untuk mencegah proses

    pembusukan. Insang dan perut merupakan tempat berkumpulnya bakteri sehingga

    pembersihan insang dan isi perut dimaksudkan untuk menghambat kemunduran

    mutu ikan (Ilyas 1993). Hal terpenting yang harus diperhatikan adalah menjaga

    agar ikan tetap dingin, bersih, tidak terluka, dan tidak terkena sinar matahari. Ikankemudian harus disimpan pada suhu rendah (di bawah 5oC) dalam palka

    atau peti-peti (sebaiknya berinsulasi) dengan menggunakan es atau direfrigerasi.

    Prinsip yang harus dipegang dalam penanganan dan transportasi ikan adalah

    cepat, bersih, hati-hati dan selalu pada suhu rendah, selama penanganan dan

    transportasi, ikan tidak boleh terkena sinar matahari dan sedapat mungkin

    dihindarkan dari kerusakan fisik.

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    49/75

    Hasil pengamatan suhu ikan menunjukan bahwa kisaran suhu ikan pada

    saat dikeluarkan dari palka kapal rata-rata 2oC. Ikan tuna ini sebelumnya disimpan

    dalam palka kapal selama + 25 hari menggunakan refrigerated sea water(RSW)

    sebelum didaratkan di transit. Keuntungan cara ini adalah pendinginan lebih cepat

    dan merata, ikan selalu basah dan tidak tergencet atau terluka, tubuh ikan tidak

    mengalami gesekan dengan es, serta pembongkaran ikan dapat dilakukan dengan

    cepat.

    b) Hasil pengujian kadar histamin pada Laboratorium Pengendali dan

    Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP)

    Hasil pengujian produk tuna ekspor dapat dilihat pada Gambar 19. Hasil

    tersebut merupakan rata-rata kandungan histamin dari ikan-ikan yang diuji

    Laboratorium Pengendalian dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP),

    DKI jakarta selama tahun 2008 (sampai dengan bulan Oktober). Dari Gambar 19

    dapat dilihat bahwa kadar histamin dari ikan-ikan tuna pada bulan Juni-Oktober

    2008 kadarnya masih dibawah 10 ppm. Terjadi penurunan kandungan histamin

    pada ikan-ikan yang duji selama tahun 2008 dibandingkan tahun 2006. Pada bulan

    Januari sampai Oktober 2006 terlihat kandungan histamin pada sampel rata-rata

    masih diatas 20 ppm (Syukur 2008). Penurunan ini diduga terjadi karena telah

    dilakukan perbaikan sistem manajemen mutu oleh pihak-pihak yang terkait (DKP,

    pengusaha, nelayan,dan lain-lain) hal ini dilakukan terkait dengan usaha untuk

    memenuhi persyaratan mutu yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor ikan tuna

    (Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa). Perbaikan tersebut meliputi perbaikan

    sistem penanganan, distribusi ataupun pengolahan ikan tuna.

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    50/75

    Gambar 19. Diagram kadar histamin ikan tuna selama tahun 2008

    Sumber : Juni-September (pengujian oleh LPPMHP, Jakarta)Oktober- November (hasil penelitian)

    c) Jumlah kontaminasi mikroorganisme berbagai mutu kualitas ikan tuna

    Jumlah mikroorganisme akan sangat menentukan mutu dari produk

    pangan. Jumlah mikroorganisme yang rendah menunjukkan bahwa produk

    tersebut dapat dikatakan bermutu baik dan aman untuk dikonsumsi. Pada

    penelitian ini dilakukan analisis Total Plate Count (untuk mengetahui jumlah

    koloni mikroorganisme pada produk ikan tuna secara umum) dan analisis bakteri

    histidin dekarboksilase untuk mengetahui jumlah mikroorganisme penghasil

    histamin pada ikan tuna.

    1) Total Plate Count

    Pengukuran tingkat kesegaran ikan dapat dilihat dari banyaknya bakteri

    yang berkembang pada ikan (Sakaguchi 1990). Pengukuran ini menggunakan

    metode total plate count (TPC) yang dilakukan dengan cara menghitung jumlah

    bakteri yang ditumbuhkan pada suatu media pertumbuhan (nutrient agar) dan

    diinkubasi selama 24 jam (Fardiaz 1984). Metode ini didasarkan pada anggapan

    bahwa setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni. Pada

    penelitian ini, perbandingan nilai log TPC ikan tuna dengan berbagai kualitas

    mutu (Grade A, B, C, dan grade D) dapat dilihat pada Gambar 20.

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    51/75

    Gambar 20. Histogram nilai TPC dari ikan tuna dengan berbagai kualitas mutu

    Pada Gambar 20, terlihat adanya perbedaan jumlah TPC seiring dengan

    perbedaan mutu ikan tuna. Pada grade A, total mikroba ikan adalah 1,7x102

    CFU/ml. Ikan dengan grade B sebesar 2,4 x102 CFU/ml dan grade C dan D

    adalah 3,9 x102 CFU/ml dan 4,1 x102 CFU/ml. Jumlah mikroba tersebut

    menunjukkan peningkatan seiring dengan penurunan mutu ikan tuna. Perbedaan

    kualitas tersebut karena kondisi ikan yang terus mengalami proses kemunduran

    mutu dan kebusukan yang diakibatkan oleh terjadinya proses autolisis dan

    perkembangbiakan bakteri pembusuk. Proses autolisis akan bekerja sangat cepat

    setelah ikan mencapai fase post rigor. Jumlah bakteri akan semakin meningkat

    seiring dengan meningkatnya proses autolisis.

    Jumlah awal mikroba yang terdapat dalam tubuh ikan ada hubungannya

    dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Perbedaan jenis dan jumlah

    bakteri yang dijumpai pada ikan disebabkan oleh makanan, cara penangkapan,

    penanganan, dan perbedaan suhu yang dipengaruhi oleh musim dan letak

    geografis (FAO 1995; Junianto 2003).

    2) Bakteri penghasil histamin (histidin dekarboksilase)

    Bakteri yang memiliki enzim histidin dekarboksilase atau biasa disebut

    bakteri penghasil histamin, sebagian besar termasuk ke dalam famili

    Enterobacteriaceae. Jenis bakteri tersebut antara lain : Morganella morganii,

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    52/75

    Klebsiella pneumoniae, Hafnia alvei, Citrobacter freundii, Enterobacter

    aerogenes, Vibrio alginolyticus dan Proteus spp. Jumlah bakteri penghasil

    histamin pada ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 21.

    Gambar 21. Histogram nilai log Niven dari ikan tuna dengan berbagai mutu

    Ikan dengan kualitas mutu A memiliki jumlah bakteri penghasil histamin

    terendah, yaitu sebesar 0,3 x102 CFU/ml dan mutu B sebesar 0,4 x102, sedangkan

    ikan tuna dengan grade C dan D memiliki jumlah bakteri penghasil histamin

    terbanyak, yaitu masing-masing sebesar 0,9 x102 CFU/ml dan 1,5 x102 CFU/ml.

    Ikan dengan mutu A memiliki kesegaran yang sangat baik, karena proses autolisis

    dan perkembangbiakan bakteri belum terjadi secara optimum.

    Mekanisme pertahanan ikan tidak lagi menghambat pertumbuhan bakteri

    setelah ikan mati. Bakteri pembentuk histamin mulai tumbuh dan memproduksi

    enzim histidin dekarboksilase yang menyerang histidin bebas dalam daging ikan.

    Enzim tersebut mengubah histidin bebas menjadi histamin. Histamin umumnya

    merupakan hasil kerusakan karena penanganan yang dilakukan pada suhu yang

    tinggi (>20oC). Pendinginan atau pembekuan ikan yang cepat setelah kematian

    merupakan faktor yang paling penting dalam upaya untuk pencegahan

    pembentukan Scombrotoksin.

    Deteksi secara kuantitatif bakteri histidin dekarboksilase menggunakan

    media yang berbeda dengan pengujian total plate count(TPC). Bahan terdiri dari

  • 7/22/2019 Asesmen Resiko Histamin Ikan Tuna

    53/75

    triptone,yeast extract, L-histidin.2HCL, Nacl, CaCo3, agar, serta phenol red.

    Koloni bakteri penghasil histamin umumnya lebih besar daripada koloni bakteri

    lainnya. Koloni bakteri yang dianggap positif sebagai penghasil histamin adalah

    koloni yang membentuk zona berwarna merah muda disekeliling koloni dengan

    latar belakang kuning/orange pada medium modifikasi Nivens. Bentuk koloni

    bakteri penghasil histamin dapat dilihat pada Gambar 22.

    Gambar 22. Koloni bakteri penghasil histamin

    Jumlah bakteri penghasil histamin lebih sedikit jika dibandingkan dengan

    jumlah mikroba total (TPC) pada daging ikan (rata-rata 30.78% dari total

    mikroba). Hal ini karena tidak semua jenis bakteri yang terdapat pada daging ikan

    mampu menghasilkan enzim histdin dekarboksilase yang dapat mengubah asam

    amino histidin menjadi histamin. Perbandingan jumlah bakteri penghasil histamin

    de