EKSISTENSI REGULASI SENDIRI (SELF REGULATION) SEBAGAI BENTUK PARTISIPASI PELAKU USAHA DALAM RANGKA MEMBERIKAN PERLINDUNGAN KEPADA KONSUMEN Oleh : Dr. Dedi Harianto, SH. M.Hum. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Abstract Now adays, the increasing of the consumer’s problems cann’t be solved just by the governtment’s act and people’s act as the consumers but it is also involve the stakeholders as a part or party in a trading. The involving of the stakeholders can be prove if the stakeholders aware that the developing of their business can be get by the supported and trusted of the consumers. In the growing of this awareness, the stakeholders have been created a self regulation to regulate the standardization of behaviour or business’s behaviour or profession in their related to another parties or people. With this self regulation can be give better dan optimal servicing for consumers. Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Regulasi Sendiri, Pelaku Usaha A. Pendahuluan Kemajuan perdagangan global telah mendorong berbagai perusahaan multinasional (Multinational Corporation) untuk 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
EKSISTENSI REGULASI SENDIRI (SELF REGULATION) SEBAGAI BENTUK PARTISIPASI
PELAKU USAHA DALAM RANGKA MEMBERIKAN PERLINDUNGAN KEPADA KONSUMEN
Oleh :Dr. Dedi Harianto, SH. M.Hum.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Abstract
Now adays, the increasing of the consumer’s problems cann’t be solved just by the governtment’s act and people’s act as the consumers but it is also involve the stakeholders as a part or party in a trading. The involving of the stakeholders can be prove if the stakeholders aware that the developing of their business can be get by the supported and trusted of the consumers. In the growing of this awareness, the stakeholders have been created a self regulation to regulate the standardization of behaviour or business’s behaviour or profession in their related to another parties or people. With this self regulation can be give better dan optimal servicing for consumers.
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Regulasi Sendiri, Pelaku Usaha
A. Pendahuluan
Kemajuan perdagangan global telah mendorong berbagai perusahaan
multinasional (Multinational Corporation) untuk memperluas cakupan wilayah
pemasaran produk yang menjadi andalannya tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan
di dalam negeri, tetapi juga untuk dipasarkan ke negara-negara lain. Kesempatan
untuk memperluas pemasaran produk juga didukung oleh sarana transportasi antar
negara yang semakin baik, fasilitas perpajakan antar negara yang semakin murah,
pengembangan teknologi informasi yang memungkinkan electronic bussines,
1
distance selling, E. Commece, dan on line marketing tanpa menghadapi kendala
perdagangan (trade barriers) yang kompleks dari negara pembeli.1
Membanjirnya produk-produk impor tentunya akan menambah sesak pasar
suatu negara yang sebenarnya juga telah dipenuhi dengan berbagai produk buatan
lokal. Sehingga mau tidak mau kondisi tersebut telah mendorong terjadinya
persaingan yang sangat ketat antar pelaku usaha2 penghasil produk untuk merebut
”hati” konsumen.
Apabila ditinjau dari sisi positifnya, persaingan tentunya akan mendorong
pelaku usaha untuk berbenah diri dengan mempergunakan teknologi terbaru dalam
rangka efesiensi proses produksi, peningkatan kualitas produk, intensitas promosi
yang semakin gencar, perbaikan layanan purna jual dan sebagainya. 3 Sehingga
produk yang dihasilkan memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan
produk pesaing.
Konsumen merupakan pihak yang sangat diuntungkan oleh kondisi tersebut,
peredaran produk impor dan lokal telah memberikan keleluasaan kepada konsumen
untuk memilih produk sesuai dengan kebutuhan dan daya belinya.4 Di samping itu,
1 Ade Manan Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002, hlm. 62.
2 Undang-undang Perlindungan Konsumen mempergunakan istilah pelaku usaha sebagai padanan istilah produsen, pedagang dan sebagainya. Dalam Pasal 1 Angka 3 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan “setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama dengan melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
3 A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Yogyakarta : Diadit Media, 2001, hlm. 5. (selanjutnya disebut A.Z. Nasution 1).
4 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta : Kencana, 2008, hlm. 1.
2
perbaikan-perbaikan produk dan layanan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam
rangka memenangkan persaingan antar pelaku usaha, mampu meningkatkan kualitas
produk dan layanan purna jual kepada konsumen.
Menginggat persaingan yang terjadi melibatkan banyak pelaku usaha yang
memiliki kemampuan penguasaan teknologi, permodalan, dan managemen yang tidak
sama, maka masih terdapat kemungkinan sebagian pelaku usaha melakukan praktek
bisnis tidak sehat (unfair trade parctice) melalui kiat iklan, promosi, cara penjualan,
serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.5 Kondisi dan
fenomena tersebut telah mengakibatkan kedudukan konsumen dengan pelaku usaha
menjadi tidak seimbang, kerap kali konsumen ditempatkan sebagai obyek aktivitas
bisnis pelaku usaha dengan menjadikannya sebagai lahan bisnis untuk memperoleh
keuntungan semata serta mengabaikan hak-hak dan kepentingan konsumen.6
Kondisi konsumen yang tidak seimbang secara ekonomi menjadi semakin
tidak menguntungkan karena sebagian besar konsumen belum memahami hak dan
kewajibannya sebagai konsumen, tingkat pendidikan konsumen yang masih rendah,
sampai kepada kesenjangan taraf perekonomian di kalangan masyarakat yang masih
cukup besar, sehingga jangankan berbicara tentang kualitas produk, masih banyak
saudara-saudara kita yang masih memikirkan “dengan apa saya bisa mendapatkan 5 Ibid. Berkenaan dengan dampak negatif pedagangan bebas Erman Rajagukguk dalam
tulisannya mengemukakan : “perlindungan konsumen harus mendapatkan perhatian yang lebih, satu dan lain hal, karena investasi asing telah menjadi bagian pembangunan ekonomi Indonesia, di mana ekonomi Indonesia juga berkaitan dengan ekonomi dunia. Persaingan perdagangan internasional dapat membawa implikasi negatif bagi konsumen.” Lihat Erman Rajagukguk, “Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Era Perdagangan Bebas”, Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati (Penyunting), Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar Maju, 2000, hlm. 2.
6 Terdapat jargon bisnis yang mendukung realitas tersebut, yaitu : “dengan modal yang sekecil-kecil dapat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.”
3
sesuap nasi untuk anak dan istri saya.”7 Di tambah lagi budaya hukum masyarakat
Indonesia yang masih sangat toleran terhadap adanya pelanggaran, menyebabkan
pelaku usaha dengan leluasa melanjutkan praktek bisnis yang tidak sehat tersebut.8
Kesan yang dapat diperoleh dari kondisi konsumen tersebut menunjukkan, bahwa
lemahnya posisi konsumen secara aspek hukum tidak hanya meliputi aspek materi
(substansi) hukum, tetapi juga dari sisi kelembagaan hukum dan budaya hukum.9
Memperhatikan kondisi konsumen yang cukup memprihatinkan tersebut
mengharuskan pemerintah untuk segera memberikan perlindungan yang memadai
kepada konsumen melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang cara
khusus menangani masalah konsumen. Di mana hal tersebut ditandai dengan lahirnya
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang
berfungsi “umbrella act” bagi ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, yang
masih dapat diberlakukan sepanjang dalam koridor ketentuan UUPK.10
Selain mendorong kelahiran UUPK, Pemerintah juga membentuk beberapa
lembaga/badan pemerintah yang bertugas melakukan pengawasan dan melaksanakan
amanat yang tercantum dalam UUPK tersebut. Diantaranya dengan membentuk
7 Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002, hlm.157-158.
8 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Penyusun Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Konsumen dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1991-1992 menunjukkan bahwa tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya, baik diperkotaan maupun di pedesaan, masih sangat rendah. Tidak seorangpun di antara responden maupun narasumber yang dirugikan oleh produk cacat pernah melakukan tindakan hukum baik secara pribadi, melalui yayasan-yayasan konsumen, maupun melalui saluran pengadilan. Dalam Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Jakarta : Djambatan, 2000, hlm. 203.
9 Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999, hlm. 85. 10 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia., Jakarta : PT Grasindo, 2000, hlm.
77.
4
Direktorat Perlindungan Konsumen, sebagai badan khusus pada Departemen
Perdagangan, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang bertugas
memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan
kebijakan di bidang perlindungan konsumen, pembentukan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) di setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang
bertugas menangani penyelesaian sengketa konsumen. Badan/lembaga Pemerintah
yang baru terbentuk tersebut nantinya akan berkoordinasi dengan Badan/lembaga
Pemerintah yang sudah ada sebelumnya, diantaranya Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM), Departemen Kesehatan, Departemen Perindustrian dan
Departemen-departemen teknis lainnya.11
Dalam menangani problematika konsumen tersebut, peran serta masyarakat
baik secara individual maupun kolektif sangat membantu upaya Pemerintah untuk
menciptakan kemandirian konsumen dalam melindungi hak dan kepentingannya
sebagai konsumen.12 Untuk itu, pemerintah terus mendorong terbentuknya Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) di berbagai daerah untuk
bersama-sama dengan pemerintah melakukan fungsi pengawasan terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen, meningkatkan kesadaran konsumen akan hak
dan kewajibannya, memberikan advokasi konsumen, serta menerima pengaduan
konsumen dan membantu konsumen dalam memperjuangkan hak-haknya.13
11 Dedi Harianto, “Perlindungan Konsumen Terhadap Iklan Yang Menyesatkan”, Disertasi, Medan : Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2007, hlm. 213-255.
12 Shidarta, Op.cit., hlm. 40. 13 Lihat lebih lanjut Pasal 44 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
5
Selain melibatkan Badan/lembaga Pemerintah serta peran serta masyarakat
dalam memberikan perlindungan kepada konsumen. Partisipasi aktif pelaku usaha
akan sangat membantu guna menciptakan iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang
sehat antara pelaku usaha dan konsumen. 14 Hal tersebut hanya dapat terwujud apabila
di kalangan pelaku usaha tumbuh kesadaran akan pentingnya perlindungan
konsumen, serta sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha, dan pada
akhirnya dapat tumbuh perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan
melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.15
Tumbulnya kesadaran pelaku usaha untuk menjaga hubungan yang sehat dan
harmonis dengan konsumen diimplementasikan pada penciptaan aturan-aturan yang
dapat dijadikan pedoman bagi pelaku usaha sebagai standar bertingkah laku dalam
berhubungan dengan pihak lain atau sesama pelaku usaha. Dengan adanya standar
tingkah laku tersebut, pelaku usaha telah menetapkan bentuk-bentuk perbuatan yang
dapat dilakukan maupun yang dilarang dilakukan oleh anggotanya serta akan
memberikan sanksi sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan.
Ketentuan inilah yang kemudian dikenal sebagai ”regulasi sendiri (self regulation)
atau yang umum dikenal masyarakat sebagai “kode etik profesi”.16
Dengan semakin maraknya pembentukan organisasi-organisasi profesi di
kalangan pelaku usaha, telah mendorong bermunculan beraneka ragam regulasi
sendiri sebagai aturan intern organisasi.
14 Sudaryatmo, Op.cit., hlm. 111. 15 Penjelasan Umum Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 16 A.Z. Nasution, 1, Op.cit., hlm. 193.
6
B. Regulasi Sendiri Sebagai Bentuk Tanggung Jawab Moral Pelaku Usaha
Kepada Konsumen
Sebagai bentuk partisipasi pelaku usaha dalam memberikan perlindungan
kepada konsumen, maka pelaku usaha yang terhimpun dalam berbagai organisasi
profesi sejenis maupun asosiasi, membuat aturan-aturan yang berlaku ke dalam bagi
para anggotanya.
Ketentuan-ketentuan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk menentukan
standar minimum perilaku tertentu bagi perusahaan-perusahaan atau pelaku usaha-
pelaku usaha yang terikat atau tunduk kepadanya, sehingga setiap anggotanya terikat
secara “moral” untuk mematuhi standar atau ukuran-ukuran yang telah ditetapkan
tersebut. Inilah yang kemudian dikenal sebagai “Regulasi Sendiri (self regulation)
atau Kode Etik Profesi”.
Kesadaran untuk menciptakan regulasi sendiri di kalangan pelaku usaha
dilandasi oleh adanya kesadaran bahwa perlu dibangun hubungan yang baik antara
pelaku usaha dengan konsumen dengan berlandaskan kepada kepercayaan
konsumen.17 Hal tersebut pertama sekali direalisasikan dengan pembenahan secara
internal dikalangan pelaku usaha sejenis yang menetapkan standar perilaku bisnis
atau profesi yang berlaku di kalangan para anggotanya, dan dalam hubungannya
dengan pihak-pihak lain. 17 George E. Belch, Michael A. Belch, Introduction to Advertising and Promotion (An
Integrated Marketing Communication Perspective),Third Edition, San Diego State University, 1995, hlm. 652.
7
Berdasarkan regulasi sendiri tersebut dapat ditentukan tindakan-tindakan
anggota asosiasi yang menyimpang dari asas dan prinsip yang ditetapkan oleh
asosiasi, serta dapat merusak citra usaha atau profesi dari mereka yang terlibat dalam
usaha atau profesi tersebut.18 Di samping itu, regulasi sendiri sangat bersesuaian
dengan tuntutan etika bisnis atau profesi yang menghendaki adanya kejujuran dalam
berusaha guna membangun kepercayaan sebagai dasar hubungan bisnis.19
Menurut A.Z. Nasution, Regulasi Sendiri (Self Reguilation) merupakan
“suatu perangkat prinsip-prinsip tentang tingkah laku atau perilaku bisnis atau profesi
yang ditetapkan sendiri oleh kalangan bisnis atau profesi itu, dan berlaku bagi
kalangan sendiri dan dalam hubungan-hubungan dengan pihak-pihak lain.”20
Apabila regulasi sendiri dari asosiasi, organisasi bisnis yang sejenis dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik, dipadu dengan pemberlakuan ketentuan
perundang-undangan dari pemerintah yang berkenaan dengan kepentingan konsumen,
maka upaya para pelaku usaha tersebut merupakan hal yang sangat membantu dalam
memberikan perlindungan konsumen. Komitmen bersama dari pelaku usaha untuk
18 A.Z. Nasution, Konsumen dan Hukum, Cetakan I, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995, hlm. 141. (selanjutnya disebut A.Z. Nasution 2).
19 Kamhal Djamil, “Peranan Pemerintah Dalam Rangka Penanggulangan Perbuatan Curang”, Makalah Wicara Penaggulangan Perbuatan Curang, Oktober 1992 Dalam Ari Purwadi, “Perlindungan Konsumen Dalam Periklanan”, Majalah Hukum Trisakti, No. 21 tahun XXI, Januari 1996., hlm 238. secara lengkap menjelaskan” beberapa prinsip etika bisnis meliputi : a. Otonomi, yaitu sikap dan kemampuan untuk bertindak berdasarkan apa yang dianggapnya baik dilakukan (secara bebas dan bertanggung jawab), b. Kejujuran merupakan wujud dalam aspek antara lain : 1). Menuntut agar pelaku usaha memenuhi hak dan kewajibannya sesuai perjanjian dengan pihak lain 2). Penawaran produk (barang dan/atau jasa) dengan mutu yang baik 3). Pola hubungan kerja di dalam perusahaan c. Terlaksananya kejujuran membawa akibat timbulnya kepercayaan. d. Keadilan, yaitu menuntut perlakuan yang sama terhadap orang lain sesuai dengan haknya e. Prinsip bahwa memperlakukan pihak lain secara tidak etis sama artinya dengan tidak mempunyai rasa hormat kepada diri sendiri”.
20 A.Z. Nasution, 1, Op.cit., hal. 198.
8
mentaati peraturan yang berlaku serta memiliki moral yang tinggi dalam menjalankan
usahanya, tentu sangat menguntungkan konsumen.
Hal tersebut dapat dipahami dengan melihat dampak dari pengembangan
konsep regulasi sendiri ini yang mencakup dua hal, yaitu :21
1. Konsep ini akan melindungi konsumen dari iklan menyesatkan;
2. Konsep ini melindungi produsen dari persaingan curang.”
Di satu sisi regulasi sendiri akan melindungi konsumen yang beritikad baik
dalam bertransaksi sehingga dapat memanfaatkan segala potensi ekonomi dan
sosialnya dengan optimal, di sisi yang lain dapat memberikan perlindungan terhadap
produsen yang baik dari akibat buruk tindakan penyesatan produsen yang tidak baik,
sehingga terhindar dari hilangnya kepercayaan konsumen.
Di Indonesia, ketentuan-ketentuan regulasi sendiri tersebut pada umumnya
dikenal dalam beberapa bentuk kode etik tertentu. Antara lain Kode Etik Kedokteran
Indonesia yang dibuat oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan diberlakukan atas
semua dokter yang terdaftar sebagai anggota IDI, tetapi juga berlaku bagi dokter
yang berkerja secara fungsional dan terikat pada organisasi itu di bidang pelayanan,
pendidikan, dan penelitian kesehatan dan kedokteran. Kode Etik Usaha Kefarmasian
dari Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, serta Kode Etik Profesi Asosiasi
Perusahaan Public Relations Indonesia dari Asosiasi Perusahaan Public Relations
Indonesia. Etika Pariwara Indonesia yang berlaku bagi aggota Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia (PPPI).
21 Ari Purwadi, Op.cit., hal. 9.
9
Untuk menegakkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam regulasi sendiri atau
kode etik profesi tersebut telah dibentuk berbagai badan pelaksana regulasi sendiri
atau kode etik tersebut di antaranya :
1. Bagi Kode Etik Jurnalistik diawasi oleh Dewan Kehormatan Persatuan
Wartawan IndonesiaI;
2. Bagi Kode Etik Perusahaan Pers diawasi oleh Dewan Kehormatan Pers;
3. Bagi Kode Etik Usaha Kefarmasian diawasi oleh Majelis Pembina Etik
Usaha Kefarmasian;
4. Bagi Etika Pariwara Indonesia diawasi oleh Dewan Periklanan Indonesia;
5. Bagi Kode Etik Kedokteran Indonesia diawasi oleh Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran.
Pada pokoknya tugas yang dijalankan badan pelaksana ini adalah mengawasi
perilaku anggota asosiasi/organisasi dengan berpedoman kepada regulasi sendiri/kode
etik profesi yang telah disepakati anggota asosiasi, melakukan sosialisasi regulasi
sendiri dan sebagainya, sebagaimana digambarkan dari kewenangan Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran sebagai berikut :
1. Menyampaikan pertimbangan dan usul secara lisan atau tertulis, diminta
atau tidak, tentang penerapan etik kedokteran kepada pengurus IDI.
2. Melaksanakan tugas bimbingan pelaksanaan etik kedokteran kepada seluruh
dokter di wilayahnya.
10
3. Melaksanakan tugas pengawasan penerapan kode etik kedokteran di seluruh
wilayahnnya.
4. Melaksanakan tugas penilaian pelaksanaan kode etik kedokteran yang
dilakukan oleh seluruh dokter di wilayah kerjanya.
5. Pelaksanaan tugas bimbingan dan pengawasan pelaksanaan kode etik
bersama pengurus IDI dan perangkat jajaran yang sesuai.
6. Pelaksanaan tugas penilaian pelaksanaan etik kedokteran dilakukan melalui
masing-masing Majelis Kehormatan Etik Kedokteran.
Pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan oleh Mejelis Kehormatan Etik
Kedokteran kepada pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) akan dipergunakan untuk
menjadi pedoman untuk mengenakan sanksi kepada setiap anggota IDI yang telah
melakukan pelanggaran regulasi sendiri.
C. Tinjauan Terhadap Kode Etik Periklanan Indonesia
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai keberadaan
regulasi sendiri dan problematika penerapannya di kalangan pelaku usaha, berikut
akan dibahas penerapan regulasi sendiri yang berlaku di kalangan dunia usaha
periklanan.
11
Dalam bidang periklanan, kode etik periklanan yang berlaku dikenal dengan
sebutan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia /TKCPI (saat ini telah
dirubah menjadi Etika Pariwara Indonesia/EPI). Kode etik ini diprakarsai oleh
beberapa pelaku usaha periklanan di Indonesia, yaitu Asosiasi Pemrakarsa dan
Penyantun Iklan Indonesia (ASPINDO), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia
(PPPI), Badan Periklanan Media Pers Nasional-Serikat Penerbit Surat Kabar (BPMN-
SPS), Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI), dan Gabungan
Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) pada tahun 1981. Kemudian pada
tahun 1990/1993 pendukung kode etik periklanan bertambah dengan perusahaan
televisi swasta yang diwakili oleh PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan
para pelaku usaha periklanan media luar ruang yang diwakili oleh PT Prasetya
Madya.
Amandemen pertama TKCTPI dilakukan pada tahun 1996 yang merupakan
penyempurnaan terhadap TKCPI tahun 1981, selanjutnya amandemen kedua
dilaksanakan pada tanggal 10 Mei 2006, sekaligus merubah nama TKTCPI menjadi
Etika Pariwara Indonesia (EPI).22
Kode etik periklanan ini landasi oleh adanya kesadaran bahwa “Industri
periklanan menyatakan diri bukan saja menjadi komponen penting, namun juga
merupakan inti dari komunikasi pemasaran. Bahkan lebih dari itu, industri periklanan
menyatakan merupakan unsur yang tidak bisa ditiadakan dalam proses pembangunan
22 “Etika Pariwara Indonesia : Penyempurnaan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia”, http://www.pppi.or.id/jejak-isi.php?cid=1&id=125&pageNum=2, diakses tanggal 3 Juni 2007.
perekonomian bangsa dan negara, sekaligus menegakkan sendi-sendi budaya
nusantara”23 selain itu EPI yang telah disempurnakan ini telah dicoba disusun dan
dikembangkan sesuai dengan akar budaya bangsa dan ditujukan untuk kepentingan
masyarakat yang seluas-luasnya.”24
Latar belakang perlu dibentuknya EPI yang merupakan kode etik periklanan
nasional, menurut Rachmat Trijono didasarkan beberapa alasan, yakni : 25
“1. Kode etik yang dimiliki oleh masing-masing asosiasi dianggap hanya berlaku
bagi anggota asosiasi tersebut. Di luar organisasi itu orang merasa tidak
diwajibkan untuk mentaatinya;
2. Kurangnya kesadaran konsumen untuk mengkritik periklanan;
3. Motif ekonomi selalu mendorong pengusaha iklan mencantumkan kata-kata
superlatif dan janji kosong”.
Di samping itu, di tengah-tengah kekosongan Undang-Undang Periklanan,
akan lebih terhormat kiranya bila kaidah/norma periklanan ditegakkan melalui
organisasi profesi periklanan. Organisasi profesi lebih tahu, apakah suatu iklan
merupakan kreativitas kompetitif atau semu belaka. Diharapkan produk iklan yang
dihasilkan akan penuh muatan kretivitas, serta menjunjung asas-asas umum kode etik
periklanan.26
23 Etika Pariwara Indonesia, Bab I Pendahuluan Angka 1. 24 Etika Pariwara Indonesia, Bab I Pendahuluan Angka 4.25 Rachmat Trijono, “Perlindungan Konsumen Terhadap Iklan Menyesatkan”, Jurnal Hukum
JUISTHEID,Vol. I No. 2 Agustus 2003, Bogor : Fakultas Hukum Universitas Djuanda, 2003.,hlm. 50. 26 Yusuf Shofie, Op.cit., hlm. 150-151.
13
EPI hasil pembaruan, terdiri dari 5 (lima) bab pengertian-pengertian pokok
dan 3 (tiga) lampiran.
Bab I Pendahuluan, memuat tentang sikap industri, asosiasi pendukung,
posisi, pijakan awal, prinsip swakramawi, pengaruh globalisasi, kepedulian utama,
penyempurnaan menyeluruh, pokok pengertian atau defenisi, batasan, bukan syarat
keberterimaan, bukan sensor, lembaga penegak, konsultasi, rujukan, semangat etika,
penunggalan dan bahasa asing, makna dan tafsir, dinamika industri, ancangan ke
depan.
Bab II Pedoman, terdiri dari mukadimah, lingkup, asas, dan defenisi. Bab III
Ketentuan, memuat tentang tata krama, yang dibagi lagi menjadi ragam iklan,
pemeran iklan, dan wahana iklan. Sedangkan Tata cara, dibagi lagi menjadi
penerapan umum, produksi periklanan, dan media iklan. Bab IV Penegakan, memuat
tentang landasan, kelembagaan, penerapan, prosedur, dan sanksi. Bab V memuat
penjelasan, dan akhiri dengan lampiran, yang terdiri dari hukum positif, Dewan
Periklanan Indonesia, dan sekilas swakrama.27
Asas-asas umum yang dikembangkan sebagai dasar penyusunan EPI
dituangkan dalam Bab II Tata Krama yang terdiri dari :
“1. Iklan harus jujur, benar dan Bertanggung jawab.
2. Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat
3. Bersaing secara sehat”.
27 “Etika Pariwara Indonesia”, http:www.pppi.or.id. diakses 3 Juni 2007.
14
Dalam penjelasan asas-asas umum tersebut, termuat beberapa pengertian
mengenai kejujuran, bertanggung jawab, dan bobot tanggung jawab pelaku usaha
periklanan. Iklan harus jujur, tidak boleh menyesatkan, seperti memberikan
keterangan tidak benar, mengelabui dan memberikan janji berlebihan. Berkaitan
dengan tanggung jawab, iklan tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan
merugikan masyarakat. Bobot tanggung jawab pelaku usaha diukur menurut
komponen pelaku usaha periklanan. Pengiklan bertanggung jawab atas kebenaran
informasi produk yang disampaikan kepada pelaku usaha periklanan. Perusahaan
periklanan bertanggung jawab atas ketepatan unsur persuasi yang disampaikannya
dalam pesan iklan, sedangkan media periklanan bertanggung jawab untuk
kesepadanan iklan yang disiarkan dengan nilai-nilai sosial budaya dari masyarakat
yang menjadi sasaran siarannya.28
Dari sudut persaingan usaha termuat penjelasan tentang larangan
menggunakan kata-kata “ter, paling, nomor satu”, dan atau sejenisnya, tanpa
menjelaskan dalam hal apa keunggulannya tersebut. Begitu pula iklan tidak
dibenarkan melakukan perbandingan langsung dengan menampilkan merek atau
produk saingan tertentu, merendahkan atau meniru sehingga menimbulkan kesan
membingungkan atau menyesatkan konsumen. Perbandingan yang diadakan haruslah
berdasarkan kriteria yang tidak menyesatkan publik konsumen.29
Guna melakukan pengawasan pelaksanaan EPI tersebut dibentuk semacam
badan pengawas yang diberi nama Dewan Periklanan Indonesia (DPI), sebagai
organisasi independen dan dibentuk untuk mengembangkan dan mendayagunakan
seluruh aset periklanan nasional untuk kepentingan seluruh masyarakat periklanan
dan kepentingan seluruh masyarakat. Lembaga ini merupakan federasi dari para
assosiasi usaha dan profesi, baik sebagai pengiklan, perusahaan periklanan, media
periklanan, maupun sebagai usaha dan profesi penunjang industri periklanan.30
Komisi terdiri dari presedium komisi sebagai pemberi arah dan kebijaksanaan
umum dan badan-badan pelengkap pelaksana operasional dari tugas dan kewajiban
komisi. Keputusan presidium yang ditetapkan secara aklamasi bersifat mengikat
asosiasi pendukungnya, namun dalam pelaksanaannya selalu mengindahkan
kepentingan para asosiasi terkait.
Berkembangnya pengaturan kegiatan periklanan berdasarkan regulasi sendiri
(self regulation) di Indonesia, tidak terlepas dari perkembangan regulasi sendiri di
Amerika Serikat, Kanada, Prancis, dan Inggris.31 Di Amerika Serikat regulasi sendiri
muncul sebagai reaksi dari kritik konsumen atas iklan yang semakin tajam dan
kontrol pemerintah yang semakin ketat.32 Terdapat 4 (empat) kelompok utama yang
30 Dalam Etika Pariwara Indonesia dijelaskan, bahwa anggota komisi adalah asosiasi-asosiasi pendukung komisi, yaitu : Asosiasi Media Luar Ruang Indonesia (AMLI), Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia (ASPINDO), Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Persatuan Perusahaan Periklanan Seluruh Indonesia (PPPI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia ( PRSSNI), Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Yayasan Televisi Republik Indoesia (Yayasan TVRI).
31 Daniel R. Bereskin, Q.C. & Jennifer Mc Kenzie, “Comparative Advertising : Canada and the United States”, Taronto : November 2001, hlm. 16.
32 Priscilla A. La Barbera, “Analyzing and Advancing the State of the Art of Advertising Self Regulation”, Journal of Advertising 9 No. 4 (1980), hlm. 27.
16
mensponsori regulasi sendiri yaitu asosiasi periklanan (misalnya American
Association of Advertising Agencies, Assosiacion of National Advertiser), kelompok
industri khusus (misalnya Council of Better Business Bureaus), asosiasi media, dan
asosiasi pedagang.33
Pada tahun 1971, komunitas periklanan di Amerika Serikat telah membentuk
The National Advertising Division (NAD) dari The Council of Better Business
Bureaus, sebagai suatu organisasi yang bertanggung jawab untuk menetapkan standar
industri periklanan, dan meminimalkan campurmtangan pemerintah terhadap iklan.34
NAD juga menetapkan prosedur bagi konsumen dan pelaku usaha (sebagai
kompetitor suatu produk) untuk mengajukan keberatan terhadap suatu iklan, namun
iklan yang diajukan keberatannya tersebut haruslah iklan nasional (peredaran iklan
tersebut untuk konsumsi pasar Amerika Serikat).35
33 Ibid., lihat pula Martha Rogers, “Advertising, Self Regulation in the 1980’s : A Review, “ Current Issues & Research in Advertising 13 (1991), hlm. 369-392.
34 Lori A. Lustberg, “Current Advertising Regulation and The Internet”, Computer Law Review and Technology Journal, Summer 1998, hlm.44, lihat juga Terence A. Shimp, Periklanan Promosi dan Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu, Edisi ke 5, Diterjemahkan oleh Revyani Sjahrial, Dyah Anikasi, Jakarta : Erlangga, 2003., hlm. 90. yang menjelaskan regulasi sendiri dari The Council of Better Business Bureau di National Advertising Review Council (NARC) merupakan bentuk peraturan mandiri yang paling banyak dipublikasikan dan mungkin paling efektif. NARC sendiri terdiri dari 3 (tiga) unit tinjauan yaitu : Children’s Advertisng Review unit (CARU) yang bertugas memonitor program dan iklan televisi untuk anak-anak, National Advertising Division (NAD), dan National Advertising Review Board (NARB). NAD dan NARB bertugas mempertahankan standar kebenaran yang tinggi dan keakuratan iklan-iklan nasional bagi orang dewasa.
35 Daniel R. Bereskin, Q.C. & Jennifer Mc Kenzie, Bereskin, Op.cit. “Comparative Advertising : Canada and the United States”, Taronto : November 2001., hlm. 23.
17
Keanggotaan NAD terdiri dari para pengacara yang selalu melakukan
peninjauan terhadap penerapan aturan hukum, serta menciptakan suatu standar
periklanan yang dikenal sebagai The Better Business Bureau Code of Advertising.
Pengiklan mempergunakan The Better Business Bureau Code of Advertising
ini sebagai panduan untuk mempersiapkan iklan-iklannya serta guna menghindarkan
pemberlakuan ketentuan-ketentuan hukum yang dibuat pemerintah. Apabila NAD
menemukan iklan-iklan bermasalah, maka NAD akan menghubungi pengiklan serta
mempertanyakan substansi dari klaim yang dibuat, atau menyarankan dilakukannya
perubahan terhadap iklan bermasalah tersebut. Dari saat pembentukannya NAD telah
menerima lebih dari 3100 (tiga ribu seratus) keberatan terhadap iklan, dan sebagian
besar iklan-iklan tersebut telah disetujui untuk diubah atau tidak dilanjutkan
penayangannya.
Di samping The Better Business Bureau Code of Advertising, terdapat pula
“Creative Code” yang disusun oleh American Association of Advertising Agencies
(AAAA) yang menentukan :
“The members of the American Association of Advertising Agencies
recoqnice :
1. That advertising bears a dual responsibility in the American economic
system and the way of live;
2. To the public it is a primary way of knowing about the goods and service
which are the product of American free enterprise, goods and services
which can be freely choosen to suit the desiree and needs of the individual.
18
The public is entitled to expect that advertising will be reliable in content
and honest in presentation”.36
Creative Code sangat memahami arti pentingnya informasi yang disampaikan
melalui iklan bagi publik di Amerika Serikat, karena dengan panduan informasi iklan
tersebut konsumen di Amerika Serikat dapat dengan bebas menentukan pilihannya
terhadap barang dan/atau jasa yang dibutuhkan, namun hendaknya informasi tersebut
sesuai dengan kondisi barang dan/atau jasa yang sebenarnya, serta jujur dalam
penyampaiannya.
Di Kanada, regulasi sendiri di bidang periklanan dipelopori oleh Advertising
Standards Canada (ASC) sebagai asosiasi industri Kanada. ASC telah menyusun the
Canadian Code of advertising Standards (the ASC Code) sebagai panduan dalam
beriklan. Pada tahn 1999, the ASC Code telah diamandemen guna memperluas
kewenangan yang di miliki ASC, termasuk mengawasi iklan-iklan pos langsung.37
Kehadiran regulasi sendiri (self regulation) berkaitan dengan periklanan di
berbagai negara untuk melengkapi aturan-aturan hukum produk pemerintah
memberikan pengharapan lebih besar bagi upaya perlindungan terhadap konsumen.
Pelaku usaha tidak hanya terikat untuk mematuhi suatu ketentuan hukum karena
adanya tekanan, paksaan dari pemeritah, tetapi juga dilandasi oleh adanya kesadaran
moral untuk mau mematuhi standar perilaku yang ditetapkan oleh asosiasi.
36 Gene Richert, Advertising, dalam A.Z. Nasution, 2, Op.cit., hal. 195. 37 Daniel R. Bereskin, Q.C. & Jennifer Mc Kenzie, Op.cit., hlm. 16.
19
Namun demikian, masih kerap ditemukan iklan-iklan yang bertentangan
dengan standar yang ditetapkan dalam EPI, sehingga harus diperiksa oleh Badan
Pengawas Periklanan PPPI atau oleh Badan Musyawarah Etika Dewan Periklanan
Indonesia.38
Terjadinya pelanggaran terhadap EPI ini disebabkan terdapatnya perbedaan
antara kekuatan berlaku/mengikat etika bisnis periklanan dengan kekuatan berlaku
peraturan perundang-undangan dari pemerintah. Dalam etika bisnis periklanan,
pelaku usaha membuka diri bagi permintaan untuk memenuhi suatu kewajiban moral
berdasarkan pertimbangan sendiri, sedangkan kewajiban hukum lebih banyak
bergantung kepada kekuasaan pemerintah, bukan pada pertimbangan sendiri. Etika
memusatkan pada individu dari pada masyarakat. Orang bebas untuk menerima atau
menolak kewajiban-kewajiban yang timbul dari etika. Berbeda dengan kewajiban
hukum yang diawasi pelaksanaannya dengan sesuatu kekuatan. Jika aturan hukum
dilanggar, maka sanksi yang efektif mungkin berupa tekanan dari masyarakat.39
38 Badan Pengawas Periklanan PPPI (badan) merupakan lembaga intern yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Pusat PPPI No. 040/SK-PP/III/2000, sehingga secara struktural badan ini merupakan bagian dari PPPI . Badan ini bertugas membantu Pengurus Pusat PPPI dalam menegakkan etika periklanan yang diproduksi dan atau dipublikasikan oleh para anggota PPPI. Sedangkan Badan Musyawarah Etika Komisi Periklanan Indonesia merupakan organisasi struktural yang berada di bawah Komisi Periklanan Indonesia. Secara penugasan kedua badan ini mengemban tugas yang sama untuk menegakkan etika periklanan sesuai Kode Etik Periklanan Indonesia, namun Badan Pengawas Periklanan PPPI hanya mampu melakukan pengawasan etika periklanan terhadap para anggota PPPI saja, sedangkan Badan Musyawarah Etika Dewan Periklanan Indonesia dapat melakukan pengawasan etika periklanan bagi seluruh pelaku usaha periklanan.
39 G.W. Paton, A Textbook of Jurisprudence, Oxford University Press, 1972, hlm. 71-72.
20
Menurut Sutedjo Hadiwasito, Ketua Bidang Hukum dan Perundang-
Undangan PPPI, terdapat 6 (enam) faktor yang menyebabkan banyaknya iklan yang
melanggar EPI, yaitu :40
“1. Tidak adanya kekuatan penuh dari Tim Penilai Iklan;
2. Terjadinya bias antara konsep iklan dan hasil yang ditayangkan;
3. Pemerintah lambat dalam menindak iklan yang melanggar;
4. Gaya beriklan di Indonesia yang hanya menonjolkan kekuatan penjualan;
5. Masih ada ketentuan yang kurang jelas (gray area) dalam buku panduan
beriklan;
6. Lemahnya daya kreatifitas pembuat iklan”.
Dari sedemikian banyak iklan-iklan yang telah melakukan pelanggaran EPI
tersebut, ternyata secara kuantitas hanya sebagian kecil saja yang dapat
ditangani oleh Badan Pengawas Periklanan PPPI. Hal ini disebabkan :41
“1. Badan tidak memiliki cukup sumber daya atau akses untuk memantau semua
iklan yang muncul di media-media nasional. Jumlah yang terekam saat ini
40 Media Indonesia, 11 Oktober 2001. 41 Badan Pengawas Periklanan PPPI, Buku Putih 1999-2002, Jakarta : Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia, 2002, hlm. 10, selanjutnya dijelaskan di Inggris hingga sepuluh tahun yang lalu sudah tercatat rata-rata di atas 10.000,- (sepuluh ribu) kasus yang masuk ke Advertising Standards Authority, suatu badan pengawas etika periklanan di negara tersebut setiap tahun. Pada hal lembaga ini hanya menangani iklan-iklan di luar TV dan radio. (khusus masalah iklan di televisi dan radio ditangani oleh Independent Television Commission (ITC) Meskipun sudah termasuk iklan-iklan pos langsung (mail order) dan basis data (database). Dari jumlah itu hanya sekitar sekitar 25 % yang mampu diselesaikan oleh lembaga terebut, sedangkan jumlah kasus yang keputusannya masih tertunda hanya 1 %. Dari selaksa jumlah kasus yang masuk ini biasanya sekitar 45 % merupakan keluhan yang berasal dari industri periklanan sendiri (para pelaku maupun mitra bisnis periklanan), dan sisanya keluhan langsung dari masyarakat.
21
bagian besar merupakan pengaduan dari perusahaan periklanan anggota
PPPI sendiri. Kasus-kasus yang ditangani badan praktis hanya berasal dari
media-mesia cetak dan televisi dan terpantau di DKI Jakarta saja;
2. Badan hanya menangani pelanggaran yang terjadi pada iklan-iklan yang
diproduksi dan atau dipublikasikan oleh para anggota PPPI. Iklan-iklan lain
yang ditangani langsung oleh pengiklan atau media tidak tersentuh, karena
sesuai dengan posisi kelembagaannya yang berada di luar yuridiksi badan.
3. Rendahnya produktivitas industri juga menjadi salah satu faktor penyebab
rendahnya dimensi pelanggaran etika periklanan. Kalau produksi iklan cetak
dan televisi telah mencapai ribuan setiap bulannya seperti di negara-negara
maju, tentu kuantitas dan kualitas pelanggaran atau kasus akan meningkat”.
Beberapa kelemahan dalam penegakan EPI, hanya bisa ditutupi dengan
memadukan penegakan regulasi sendiri (self regulation) tersebut dengan ketentuan
hukum dari pemerintah, terutama bagi pelaku usaha periklanan yang bukan
merupakan anggota asosiasi (misalnya PPPI), dengan memberikan sanksi hukum
yang tegas bagi setiap pelanggar sehingga dapat menimbulkan efek jera.
D. Penutup
Eksistensi Regulasi Sendiri (Self Regulation) merupakan perwujutan
peningkatan kesadaran pelaku usaha agar dalam menjalankan kegiatan bisnis
dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan penuh kehati-hatian, serta
menempatkan konsumen sebagai pihak yang memiliki kedudukan yang setara dengan
22
pelaku usaha. Sehingga nantinya kemajuan di bidang perdagangan yang berhasil
dicapai tidak hanya meningkatkan pendapatan pelaku usaha, tetapi juga dapat
memberikan perlindungan secara maksimal hak-hak dan kepentingan konsumen yang
selama ini diabaikan oleh pelaku usaha.
DAFTAR PUSTAKA
Barbera, Priscilla A. La, “Analyzing and Advancing the State of the Art of Advertising Self Regulation”, Journal of Advertising 9 No. 4 (1980).
Belch, George E., dan Belch, Michael A., Introduction to Advertising and Promotion (An Integrated Marketing Communication Perspective),Third Edition, San Diego State University, 1995.
Bereskin, Daniel R., Q.C. & Kenzie, Jennifer Mc, “Comparative Advertising : Canada and the United States”, Taronto : November 2001.
Badan Pengawas Periklanan PPPI, Buku Putih 1999-2002, Jakarta : Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, 2002.
Djamil, Kamhal, “Peranan Pemerintah Dalam Rangka Penanggulangan Perbuatan Curang”, Makalah Wicara Penaggulangan Perbuatan Curang, Oktober 1992 Dalam Ari Purwadi, “Perlindungan Konsumen Dalam Periklanan”, Majalah Hukum Trisakti, No. 21 tahun XXI, Januari 1996.
“Etika Pariwara Indonesia”, http:www.pppi.or.id. diakses 3 Juni 2007.
23
“Etika Pariwara Indonesia : Penyempurnaan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan
Indonesia”, http://www.pppi.or.id/jejak-isi.php?cid=1&id=125&pageNum=2, diakses tanggal 3 Juni 2007.
Gene, Richert, Advertising, dalam A.Z. Nasution, Konsumen dan Hukum, Cetakan I, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Harianto, Dedi, “Perlindungan Konsumen Terhadap Iklan Yang Menyesatkan”, Disertasi, Medan : Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2007.
Lustberg, Lori A., “Current Advertising Regulation and The Internet”, Computer Law Review and Technology Journal, Summer 1998.
Nugroho, Susanti Adi, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta : Kencana, 2008.
______________, Konsumen dan Hukum, Cetakan I, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Paton, G.W., A Textbook of Jurisprudence, Oxford University Press, 1972.Media Indonesia, 11 Oktober 2001.
Rajagukguk, Erman, “Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Era Perdagangan Bebas”, Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati (Penyunting), Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar Maju, 2000.
Rogers, Martha, “Advertising, Self Regulation in the 1980’s : A Review, “ Current Issues & Research in Advertising 13 (1991).
Suherman, Ade Manan, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002.
Shofie, Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002.
Shimp, Terence A., Periklanan Promosi dan Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu, Edisi ke 5, Diterjemahkan oleh Revyani Sjahrial, Dyah Anikasi, Jakarta : Erlangga, 2003.
Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia., Jakarta : PT Grasindo, 2000.
Trijono, Rachmat, “Perlindungan Konsumen Terhadap Iklan Menyesatkan”, Jurnal Hukum JUISTHEID,Vol. I No. 2 Agustus 2003, Bogor : Fakultas Hukum Universitas Djuanda, 2003.
Usman, Rachmadi, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Jakarta : Djambatan, 2000.