Top Banner
EKSISTENSI REGULASI SENDIRI (SELF REGULATION) SEBAGAI BENTUK PARTISIPASI PELAKU USAHA DALAM RANGKA MEMBERIKAN PERLINDUNGAN KEPADA KONSUMEN Oleh : Dr. Dedi Harianto, SH. M.Hum. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Abstract Now adays, the increasing of the consumer’s problems cann’t be solved just by the governtment’s act and people’s act as the consumers but it is also involve the stakeholders as a part or party in a trading. The involving of the stakeholders can be prove if the stakeholders aware that the developing of their business can be get by the supported and trusted of the consumers. In the growing of this awareness, the stakeholders have been created a self regulation to regulate the standardization of behaviour or business’s behaviour or profession in their related to another parties or people. With this self regulation can be give better dan optimal servicing for consumers. Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Regulasi Sendiri, Pelaku Usaha A. Pendahuluan Kemajuan perdagangan global telah mendorong berbagai perusahaan multinasional (Multinational Corporation) untuk 1
39
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Artikel Self Regulation

EKSISTENSI REGULASI SENDIRI (SELF REGULATION) SEBAGAI BENTUK PARTISIPASI

PELAKU USAHA DALAM RANGKA MEMBERIKAN PERLINDUNGAN KEPADA KONSUMEN

Oleh :Dr. Dedi Harianto, SH. M.Hum.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Abstract

Now adays, the increasing of the consumer’s problems cann’t be solved just by the governtment’s act and people’s act as the consumers but it is also involve the stakeholders as a part or party in a trading. The involving of the stakeholders can be prove if the stakeholders aware that the developing of their business can be get by the supported and trusted of the consumers. In the growing of this awareness, the stakeholders have been created a self regulation to regulate the standardization of behaviour or business’s behaviour or profession in their related to another parties or people. With this self regulation can be give better dan optimal servicing for consumers.

Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Regulasi Sendiri, Pelaku Usaha

A. Pendahuluan

Kemajuan perdagangan global telah mendorong berbagai perusahaan

multinasional (Multinational Corporation) untuk memperluas cakupan wilayah

pemasaran produk yang menjadi andalannya tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan

di dalam negeri, tetapi juga untuk dipasarkan ke negara-negara lain. Kesempatan

untuk memperluas pemasaran produk juga didukung oleh sarana transportasi antar

negara yang semakin baik, fasilitas perpajakan antar negara yang semakin murah,

pengembangan teknologi informasi yang memungkinkan electronic bussines,

1

Page 2: Artikel Self Regulation

distance selling, E. Commece, dan on line marketing tanpa menghadapi kendala

perdagangan (trade barriers) yang kompleks dari negara pembeli.1

Membanjirnya produk-produk impor tentunya akan menambah sesak pasar

suatu negara yang sebenarnya juga telah dipenuhi dengan berbagai produk buatan

lokal. Sehingga mau tidak mau kondisi tersebut telah mendorong terjadinya

persaingan yang sangat ketat antar pelaku usaha2 penghasil produk untuk merebut

”hati” konsumen.

Apabila ditinjau dari sisi positifnya, persaingan tentunya akan mendorong

pelaku usaha untuk berbenah diri dengan mempergunakan teknologi terbaru dalam

rangka efesiensi proses produksi, peningkatan kualitas produk, intensitas promosi

yang semakin gencar, perbaikan layanan purna jual dan sebagainya. 3 Sehingga

produk yang dihasilkan memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan

produk pesaing.

Konsumen merupakan pihak yang sangat diuntungkan oleh kondisi tersebut,

peredaran produk impor dan lokal telah memberikan keleluasaan kepada konsumen

untuk memilih produk sesuai dengan kebutuhan dan daya belinya.4 Di samping itu,

1 Ade Manan Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002, hlm. 62.

2 Undang-undang Perlindungan Konsumen mempergunakan istilah pelaku usaha sebagai padanan istilah produsen, pedagang dan sebagainya. Dalam Pasal 1 Angka 3 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan “setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama dengan melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

3 A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Yogyakarta : Diadit Media, 2001, hlm. 5. (selanjutnya disebut A.Z. Nasution 1).

4 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta : Kencana, 2008, hlm. 1.

2

Page 3: Artikel Self Regulation

perbaikan-perbaikan produk dan layanan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam

rangka memenangkan persaingan antar pelaku usaha, mampu meningkatkan kualitas

produk dan layanan purna jual kepada konsumen.

Menginggat persaingan yang terjadi melibatkan banyak pelaku usaha yang

memiliki kemampuan penguasaan teknologi, permodalan, dan managemen yang tidak

sama, maka masih terdapat kemungkinan sebagian pelaku usaha melakukan praktek

bisnis tidak sehat (unfair trade parctice) melalui kiat iklan, promosi, cara penjualan,

serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.5 Kondisi dan

fenomena tersebut telah mengakibatkan kedudukan konsumen dengan pelaku usaha

menjadi tidak seimbang, kerap kali konsumen ditempatkan sebagai obyek aktivitas

bisnis pelaku usaha dengan menjadikannya sebagai lahan bisnis untuk memperoleh

keuntungan semata serta mengabaikan hak-hak dan kepentingan konsumen.6

Kondisi konsumen yang tidak seimbang secara ekonomi menjadi semakin

tidak menguntungkan karena sebagian besar konsumen belum memahami hak dan

kewajibannya sebagai konsumen, tingkat pendidikan konsumen yang masih rendah,

sampai kepada kesenjangan taraf perekonomian di kalangan masyarakat yang masih

cukup besar, sehingga jangankan berbicara tentang kualitas produk, masih banyak

saudara-saudara kita yang masih memikirkan “dengan apa saya bisa mendapatkan 5 Ibid. Berkenaan dengan dampak negatif pedagangan bebas Erman Rajagukguk dalam

tulisannya mengemukakan : “perlindungan konsumen harus mendapatkan perhatian yang lebih, satu dan lain hal, karena investasi asing telah menjadi bagian pembangunan ekonomi Indonesia, di mana ekonomi Indonesia juga berkaitan dengan ekonomi dunia. Persaingan perdagangan internasional dapat membawa implikasi negatif bagi konsumen.” Lihat Erman Rajagukguk, “Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Era Perdagangan Bebas”, Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati (Penyunting), Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar Maju, 2000, hlm. 2.

6 Terdapat jargon bisnis yang mendukung realitas tersebut, yaitu : “dengan modal yang sekecil-kecil dapat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.”

3

Page 4: Artikel Self Regulation

sesuap nasi untuk anak dan istri saya.”7 Di tambah lagi budaya hukum masyarakat

Indonesia yang masih sangat toleran terhadap adanya pelanggaran, menyebabkan

pelaku usaha dengan leluasa melanjutkan praktek bisnis yang tidak sehat tersebut.8

Kesan yang dapat diperoleh dari kondisi konsumen tersebut menunjukkan, bahwa

lemahnya posisi konsumen secara aspek hukum tidak hanya meliputi aspek materi

(substansi) hukum, tetapi juga dari sisi kelembagaan hukum dan budaya hukum.9

Memperhatikan kondisi konsumen yang cukup memprihatinkan tersebut

mengharuskan pemerintah untuk segera memberikan perlindungan yang memadai

kepada konsumen melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang cara

khusus menangani masalah konsumen. Di mana hal tersebut ditandai dengan lahirnya

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang

berfungsi “umbrella act” bagi ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, yang

masih dapat diberlakukan sepanjang dalam koridor ketentuan UUPK.10

Selain mendorong kelahiran UUPK, Pemerintah juga membentuk beberapa

lembaga/badan pemerintah yang bertugas melakukan pengawasan dan melaksanakan

amanat yang tercantum dalam UUPK tersebut. Diantaranya dengan membentuk

7 Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002, hlm.157-158.

8 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Penyusun Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Konsumen dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1991-1992 menunjukkan bahwa tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya, baik diperkotaan maupun di pedesaan, masih sangat rendah. Tidak seorangpun di antara responden maupun narasumber yang dirugikan oleh produk cacat pernah melakukan tindakan hukum baik secara pribadi, melalui yayasan-yayasan konsumen, maupun melalui saluran pengadilan. Dalam Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Jakarta : Djambatan, 2000, hlm. 203.

9 Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999, hlm. 85. 10 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia., Jakarta : PT Grasindo, 2000, hlm.

77.

4

Page 5: Artikel Self Regulation

Direktorat Perlindungan Konsumen, sebagai badan khusus pada Departemen

Perdagangan, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang bertugas

memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan

kebijakan di bidang perlindungan konsumen, pembentukan Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen (BPSK) di setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang

bertugas menangani penyelesaian sengketa konsumen. Badan/lembaga Pemerintah

yang baru terbentuk tersebut nantinya akan berkoordinasi dengan Badan/lembaga

Pemerintah yang sudah ada sebelumnya, diantaranya Badan Pengawas Obat dan

Makanan (BPOM), Departemen Kesehatan, Departemen Perindustrian dan

Departemen-departemen teknis lainnya.11

Dalam menangani problematika konsumen tersebut, peran serta masyarakat

baik secara individual maupun kolektif sangat membantu upaya Pemerintah untuk

menciptakan kemandirian konsumen dalam melindungi hak dan kepentingannya

sebagai konsumen.12 Untuk itu, pemerintah terus mendorong terbentuknya Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) di berbagai daerah untuk

bersama-sama dengan pemerintah melakukan fungsi pengawasan terhadap

pelaksanaan perlindungan konsumen, meningkatkan kesadaran konsumen akan hak

dan kewajibannya, memberikan advokasi konsumen, serta menerima pengaduan

konsumen dan membantu konsumen dalam memperjuangkan hak-haknya.13

11 Dedi Harianto, “Perlindungan Konsumen Terhadap Iklan Yang Menyesatkan”, Disertasi, Medan : Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2007, hlm. 213-255.

12 Shidarta, Op.cit., hlm. 40. 13 Lihat lebih lanjut Pasal 44 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

5

Page 6: Artikel Self Regulation

Selain melibatkan Badan/lembaga Pemerintah serta peran serta masyarakat

dalam memberikan perlindungan kepada konsumen. Partisipasi aktif pelaku usaha

akan sangat membantu guna menciptakan iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang

sehat antara pelaku usaha dan konsumen. 14 Hal tersebut hanya dapat terwujud apabila

di kalangan pelaku usaha tumbuh kesadaran akan pentingnya perlindungan

konsumen, serta sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha, dan pada

akhirnya dapat tumbuh perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan

melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.15

Tumbulnya kesadaran pelaku usaha untuk menjaga hubungan yang sehat dan

harmonis dengan konsumen diimplementasikan pada penciptaan aturan-aturan yang

dapat dijadikan pedoman bagi pelaku usaha sebagai standar bertingkah laku dalam

berhubungan dengan pihak lain atau sesama pelaku usaha. Dengan adanya standar

tingkah laku tersebut, pelaku usaha telah menetapkan bentuk-bentuk perbuatan yang

dapat dilakukan maupun yang dilarang dilakukan oleh anggotanya serta akan

memberikan sanksi sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan.

Ketentuan inilah yang kemudian dikenal sebagai ”regulasi sendiri (self regulation)

atau yang umum dikenal masyarakat sebagai “kode etik profesi”.16

Dengan semakin maraknya pembentukan organisasi-organisasi profesi di

kalangan pelaku usaha, telah mendorong bermunculan beraneka ragam regulasi

sendiri sebagai aturan intern organisasi.

14 Sudaryatmo, Op.cit., hlm. 111. 15 Penjelasan Umum Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 16 A.Z. Nasution, 1, Op.cit., hlm. 193.

6

Page 7: Artikel Self Regulation

B. Regulasi Sendiri Sebagai Bentuk Tanggung Jawab Moral Pelaku Usaha

Kepada Konsumen

Sebagai bentuk partisipasi pelaku usaha dalam memberikan perlindungan

kepada konsumen, maka pelaku usaha yang terhimpun dalam berbagai organisasi

profesi sejenis maupun asosiasi, membuat aturan-aturan yang berlaku ke dalam bagi

para anggotanya.

Ketentuan-ketentuan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk menentukan

standar minimum perilaku tertentu bagi perusahaan-perusahaan atau pelaku usaha-

pelaku usaha yang terikat atau tunduk kepadanya, sehingga setiap anggotanya terikat

secara “moral” untuk mematuhi standar atau ukuran-ukuran yang telah ditetapkan

tersebut. Inilah yang kemudian dikenal sebagai “Regulasi Sendiri (self regulation)

atau Kode Etik Profesi”.

Kesadaran untuk menciptakan regulasi sendiri di kalangan pelaku usaha

dilandasi oleh adanya kesadaran bahwa perlu dibangun hubungan yang baik antara

pelaku usaha dengan konsumen dengan berlandaskan kepada kepercayaan

konsumen.17 Hal tersebut pertama sekali direalisasikan dengan pembenahan secara

internal dikalangan pelaku usaha sejenis yang menetapkan standar perilaku bisnis

atau profesi yang berlaku di kalangan para anggotanya, dan dalam hubungannya

dengan pihak-pihak lain. 17 George E. Belch, Michael A. Belch, Introduction to Advertising and Promotion (An

Integrated Marketing Communication Perspective),Third Edition, San Diego State University, 1995, hlm. 652.

7

Page 8: Artikel Self Regulation

Berdasarkan regulasi sendiri tersebut dapat ditentukan tindakan-tindakan

anggota asosiasi yang menyimpang dari asas dan prinsip yang ditetapkan oleh

asosiasi, serta dapat merusak citra usaha atau profesi dari mereka yang terlibat dalam

usaha atau profesi tersebut.18 Di samping itu, regulasi sendiri sangat bersesuaian

dengan tuntutan etika bisnis atau profesi yang menghendaki adanya kejujuran dalam

berusaha guna membangun kepercayaan sebagai dasar hubungan bisnis.19

Menurut A.Z. Nasution, Regulasi Sendiri (Self Reguilation) merupakan

“suatu perangkat prinsip-prinsip tentang tingkah laku atau perilaku bisnis atau profesi

yang ditetapkan sendiri oleh kalangan bisnis atau profesi itu, dan berlaku bagi

kalangan sendiri dan dalam hubungan-hubungan dengan pihak-pihak lain.”20

Apabila regulasi sendiri dari asosiasi, organisasi bisnis yang sejenis dapat

tumbuh dan berkembang dengan baik, dipadu dengan pemberlakuan ketentuan

perundang-undangan dari pemerintah yang berkenaan dengan kepentingan konsumen,

maka upaya para pelaku usaha tersebut merupakan hal yang sangat membantu dalam

memberikan perlindungan konsumen. Komitmen bersama dari pelaku usaha untuk

18 A.Z. Nasution, Konsumen dan Hukum, Cetakan I, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995, hlm. 141. (selanjutnya disebut A.Z. Nasution 2).

19 Kamhal Djamil, “Peranan Pemerintah Dalam Rangka Penanggulangan Perbuatan Curang”, Makalah Wicara Penaggulangan Perbuatan Curang, Oktober 1992 Dalam Ari Purwadi, “Perlindungan Konsumen Dalam Periklanan”, Majalah Hukum Trisakti, No. 21 tahun XXI, Januari 1996., hlm 238. secara lengkap menjelaskan” beberapa prinsip etika bisnis meliputi : a. Otonomi, yaitu sikap dan kemampuan untuk bertindak berdasarkan apa yang dianggapnya baik dilakukan (secara bebas dan bertanggung jawab), b. Kejujuran merupakan wujud dalam aspek antara lain : 1). Menuntut agar pelaku usaha memenuhi hak dan kewajibannya sesuai perjanjian dengan pihak lain 2). Penawaran produk (barang dan/atau jasa) dengan mutu yang baik 3). Pola hubungan kerja di dalam perusahaan c. Terlaksananya kejujuran membawa akibat timbulnya kepercayaan. d. Keadilan, yaitu menuntut perlakuan yang sama terhadap orang lain sesuai dengan haknya e. Prinsip bahwa memperlakukan pihak lain secara tidak etis sama artinya dengan tidak mempunyai rasa hormat kepada diri sendiri”.

20 A.Z. Nasution, 1, Op.cit., hal. 198.

8

Page 9: Artikel Self Regulation

mentaati peraturan yang berlaku serta memiliki moral yang tinggi dalam menjalankan

usahanya, tentu sangat menguntungkan konsumen.

Hal tersebut dapat dipahami dengan melihat dampak dari pengembangan

konsep regulasi sendiri ini yang mencakup dua hal, yaitu :21

1. Konsep ini akan melindungi konsumen dari iklan menyesatkan;

2. Konsep ini melindungi produsen dari persaingan curang.”

Di satu sisi regulasi sendiri akan melindungi konsumen yang beritikad baik

dalam bertransaksi sehingga dapat memanfaatkan segala potensi ekonomi dan

sosialnya dengan optimal, di sisi yang lain dapat memberikan perlindungan terhadap

produsen yang baik dari akibat buruk tindakan penyesatan produsen yang tidak baik,

sehingga terhindar dari hilangnya kepercayaan konsumen.

Di Indonesia, ketentuan-ketentuan regulasi sendiri tersebut pada umumnya

dikenal dalam beberapa bentuk kode etik tertentu. Antara lain Kode Etik Kedokteran

Indonesia yang dibuat oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan diberlakukan atas

semua dokter yang terdaftar sebagai anggota IDI, tetapi juga berlaku bagi dokter

yang berkerja secara fungsional dan terikat pada organisasi itu di bidang pelayanan,

pendidikan, dan penelitian kesehatan dan kedokteran. Kode Etik Usaha Kefarmasian

dari Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, serta Kode Etik Profesi Asosiasi

Perusahaan Public Relations Indonesia dari Asosiasi Perusahaan Public Relations

Indonesia. Etika Pariwara Indonesia yang berlaku bagi aggota Persatuan Perusahaan

Periklanan Indonesia (PPPI).

21 Ari Purwadi, Op.cit., hal. 9.

9

Page 10: Artikel Self Regulation

Untuk menegakkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam regulasi sendiri atau

kode etik profesi tersebut telah dibentuk berbagai badan pelaksana regulasi sendiri

atau kode etik tersebut di antaranya :

1. Bagi Kode Etik Jurnalistik diawasi oleh Dewan Kehormatan Persatuan

Wartawan IndonesiaI;

2. Bagi Kode Etik Perusahaan Pers diawasi oleh Dewan Kehormatan Pers;

3. Bagi Kode Etik Usaha Kefarmasian diawasi oleh Majelis Pembina Etik

Usaha Kefarmasian;

4. Bagi Etika Pariwara Indonesia diawasi oleh Dewan Periklanan Indonesia;

5. Bagi Kode Etik Kedokteran Indonesia diawasi oleh Majelis Kehormatan

Etik Kedokteran.

Pada pokoknya tugas yang dijalankan badan pelaksana ini adalah mengawasi

perilaku anggota asosiasi/organisasi dengan berpedoman kepada regulasi sendiri/kode

etik profesi yang telah disepakati anggota asosiasi, melakukan sosialisasi regulasi

sendiri dan sebagainya, sebagaimana digambarkan dari kewenangan Majelis

Kehormatan Etik Kedokteran sebagai berikut :

1. Menyampaikan pertimbangan dan usul secara lisan atau tertulis, diminta

atau tidak, tentang penerapan etik kedokteran kepada pengurus IDI.

2. Melaksanakan tugas bimbingan pelaksanaan etik kedokteran kepada seluruh

dokter di wilayahnya.

10

Page 11: Artikel Self Regulation

3. Melaksanakan tugas pengawasan penerapan kode etik kedokteran di seluruh

wilayahnnya.

4. Melaksanakan tugas penilaian pelaksanaan kode etik kedokteran yang

dilakukan oleh seluruh dokter di wilayah kerjanya.

5. Pelaksanaan tugas bimbingan dan pengawasan pelaksanaan kode etik

bersama pengurus IDI dan perangkat jajaran yang sesuai.

6. Pelaksanaan tugas penilaian pelaksanaan etik kedokteran dilakukan melalui

masing-masing Majelis Kehormatan Etik Kedokteran.

Pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan oleh Mejelis Kehormatan Etik

Kedokteran kepada pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) akan dipergunakan untuk

menjadi pedoman untuk mengenakan sanksi kepada setiap anggota IDI yang telah

melakukan pelanggaran regulasi sendiri.

C. Tinjauan Terhadap Kode Etik Periklanan Indonesia

Untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai keberadaan

regulasi sendiri dan problematika penerapannya di kalangan pelaku usaha, berikut

akan dibahas penerapan regulasi sendiri yang berlaku di kalangan dunia usaha

periklanan.

11

Page 12: Artikel Self Regulation

Dalam bidang periklanan, kode etik periklanan yang berlaku dikenal dengan

sebutan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia /TKCPI (saat ini telah

dirubah menjadi Etika Pariwara Indonesia/EPI). Kode etik ini diprakarsai oleh

beberapa pelaku usaha periklanan di Indonesia, yaitu Asosiasi Pemrakarsa dan

Penyantun Iklan Indonesia (ASPINDO), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia

(PPPI), Badan Periklanan Media Pers Nasional-Serikat Penerbit Surat Kabar (BPMN-

SPS), Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI), dan Gabungan

Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) pada tahun 1981. Kemudian pada

tahun 1990/1993 pendukung kode etik periklanan bertambah dengan perusahaan

televisi swasta yang diwakili oleh PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan

para pelaku usaha periklanan media luar ruang yang diwakili oleh PT Prasetya

Madya.

Amandemen pertama TKCTPI dilakukan pada tahun 1996 yang merupakan

penyempurnaan terhadap TKCPI tahun 1981, selanjutnya amandemen kedua

dilaksanakan pada tanggal 10 Mei 2006, sekaligus merubah nama TKTCPI menjadi

Etika Pariwara Indonesia (EPI).22

Kode etik periklanan ini landasi oleh adanya kesadaran bahwa “Industri

periklanan menyatakan diri bukan saja menjadi komponen penting, namun juga

merupakan inti dari komunikasi pemasaran. Bahkan lebih dari itu, industri periklanan

menyatakan merupakan unsur yang tidak bisa ditiadakan dalam proses pembangunan

22 “Etika Pariwara Indonesia : Penyempurnaan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia”, http://www.pppi.or.id/jejak-isi.php?cid=1&id=125&pageNum=2, diakses tanggal 3 Juni 2007.

12

Page 13: Artikel Self Regulation

perekonomian bangsa dan negara, sekaligus menegakkan sendi-sendi budaya

nusantara”23 selain itu EPI yang telah disempurnakan ini telah dicoba disusun dan

dikembangkan sesuai dengan akar budaya bangsa dan ditujukan untuk kepentingan

masyarakat yang seluas-luasnya.”24

Latar belakang perlu dibentuknya EPI yang merupakan kode etik periklanan

nasional, menurut Rachmat Trijono didasarkan beberapa alasan, yakni : 25

“1. Kode etik yang dimiliki oleh masing-masing asosiasi dianggap hanya berlaku

bagi anggota asosiasi tersebut. Di luar organisasi itu orang merasa tidak

diwajibkan untuk mentaatinya;

2. Kurangnya kesadaran konsumen untuk mengkritik periklanan;

3. Motif ekonomi selalu mendorong pengusaha iklan mencantumkan kata-kata

superlatif dan janji kosong”.

Di samping itu, di tengah-tengah kekosongan Undang-Undang Periklanan,

akan lebih terhormat kiranya bila kaidah/norma periklanan ditegakkan melalui

organisasi profesi periklanan. Organisasi profesi lebih tahu, apakah suatu iklan

merupakan kreativitas kompetitif atau semu belaka. Diharapkan produk iklan yang

dihasilkan akan penuh muatan kretivitas, serta menjunjung asas-asas umum kode etik

periklanan.26

23 Etika Pariwara Indonesia, Bab I Pendahuluan Angka 1. 24 Etika Pariwara Indonesia, Bab I Pendahuluan Angka 4.25 Rachmat Trijono, “Perlindungan Konsumen Terhadap Iklan Menyesatkan”, Jurnal Hukum

JUISTHEID,Vol. I No. 2 Agustus 2003, Bogor : Fakultas Hukum Universitas Djuanda, 2003.,hlm. 50. 26 Yusuf Shofie, Op.cit., hlm. 150-151.

13

Page 14: Artikel Self Regulation

EPI hasil pembaruan, terdiri dari 5 (lima) bab pengertian-pengertian pokok

dan 3 (tiga) lampiran.

Bab I Pendahuluan, memuat tentang sikap industri, asosiasi pendukung,

posisi, pijakan awal, prinsip swakramawi, pengaruh globalisasi, kepedulian utama,

penyempurnaan menyeluruh, pokok pengertian atau defenisi, batasan, bukan syarat

keberterimaan, bukan sensor, lembaga penegak, konsultasi, rujukan, semangat etika,

penunggalan dan bahasa asing, makna dan tafsir, dinamika industri, ancangan ke

depan.

Bab II Pedoman, terdiri dari mukadimah, lingkup, asas, dan defenisi. Bab III

Ketentuan, memuat tentang tata krama, yang dibagi lagi menjadi ragam iklan,

pemeran iklan, dan wahana iklan. Sedangkan Tata cara, dibagi lagi menjadi

penerapan umum, produksi periklanan, dan media iklan. Bab IV Penegakan, memuat

tentang landasan, kelembagaan, penerapan, prosedur, dan sanksi. Bab V memuat

penjelasan, dan akhiri dengan lampiran, yang terdiri dari hukum positif, Dewan

Periklanan Indonesia, dan sekilas swakrama.27

Asas-asas umum yang dikembangkan sebagai dasar penyusunan EPI

dituangkan dalam Bab II Tata Krama yang terdiri dari :

“1. Iklan harus jujur, benar dan Bertanggung jawab.

2. Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat

3. Bersaing secara sehat”.

27 “Etika Pariwara Indonesia”, http:www.pppi.or.id. diakses 3 Juni 2007.

14

Page 15: Artikel Self Regulation

Dalam penjelasan asas-asas umum tersebut, termuat beberapa pengertian

mengenai kejujuran, bertanggung jawab, dan bobot tanggung jawab pelaku usaha

periklanan. Iklan harus jujur, tidak boleh menyesatkan, seperti memberikan

keterangan tidak benar, mengelabui dan memberikan janji berlebihan. Berkaitan

dengan tanggung jawab, iklan tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan

merugikan masyarakat. Bobot tanggung jawab pelaku usaha diukur menurut

komponen pelaku usaha periklanan. Pengiklan bertanggung jawab atas kebenaran

informasi produk yang disampaikan kepada pelaku usaha periklanan. Perusahaan

periklanan bertanggung jawab atas ketepatan unsur persuasi yang disampaikannya

dalam pesan iklan, sedangkan media periklanan bertanggung jawab untuk

kesepadanan iklan yang disiarkan dengan nilai-nilai sosial budaya dari masyarakat

yang menjadi sasaran siarannya.28

Dari sudut persaingan usaha termuat penjelasan tentang larangan

menggunakan kata-kata “ter, paling, nomor satu”, dan atau sejenisnya, tanpa

menjelaskan dalam hal apa keunggulannya tersebut. Begitu pula iklan tidak

dibenarkan melakukan perbandingan langsung dengan menampilkan merek atau

produk saingan tertentu, merendahkan atau meniru sehingga menimbulkan kesan

membingungkan atau menyesatkan konsumen. Perbandingan yang diadakan haruslah

berdasarkan kriteria yang tidak menyesatkan publik konsumen.29

28 A.Z. Nasution, 1, Op.cit., hlm. 214-215. 29 Ibid.

15

Page 16: Artikel Self Regulation

Guna melakukan pengawasan pelaksanaan EPI tersebut dibentuk semacam

badan pengawas yang diberi nama Dewan Periklanan Indonesia (DPI), sebagai

organisasi independen dan dibentuk untuk mengembangkan dan mendayagunakan

seluruh aset periklanan nasional untuk kepentingan seluruh masyarakat periklanan

dan kepentingan seluruh masyarakat. Lembaga ini merupakan federasi dari para

assosiasi usaha dan profesi, baik sebagai pengiklan, perusahaan periklanan, media

periklanan, maupun sebagai usaha dan profesi penunjang industri periklanan.30

Komisi terdiri dari presedium komisi sebagai pemberi arah dan kebijaksanaan

umum dan badan-badan pelengkap pelaksana operasional dari tugas dan kewajiban

komisi. Keputusan presidium yang ditetapkan secara aklamasi bersifat mengikat

asosiasi pendukungnya, namun dalam pelaksanaannya selalu mengindahkan

kepentingan para asosiasi terkait.

Berkembangnya pengaturan kegiatan periklanan berdasarkan regulasi sendiri

(self regulation) di Indonesia, tidak terlepas dari perkembangan regulasi sendiri di

Amerika Serikat, Kanada, Prancis, dan Inggris.31 Di Amerika Serikat regulasi sendiri

muncul sebagai reaksi dari kritik konsumen atas iklan yang semakin tajam dan

kontrol pemerintah yang semakin ketat.32 Terdapat 4 (empat) kelompok utama yang

30 Dalam Etika Pariwara Indonesia dijelaskan, bahwa anggota komisi adalah asosiasi-asosiasi pendukung komisi, yaitu : Asosiasi Media Luar Ruang Indonesia (AMLI), Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia (ASPINDO), Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Persatuan Perusahaan Periklanan Seluruh Indonesia (PPPI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia ( PRSSNI), Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Yayasan Televisi Republik Indoesia (Yayasan TVRI).

31 Daniel R. Bereskin, Q.C. & Jennifer Mc Kenzie, “Comparative Advertising : Canada and the United States”, Taronto : November 2001, hlm. 16.

32 Priscilla A. La Barbera, “Analyzing and Advancing the State of the Art of Advertising Self Regulation”, Journal of Advertising 9 No. 4 (1980), hlm. 27.

16

Page 17: Artikel Self Regulation

mensponsori regulasi sendiri yaitu asosiasi periklanan (misalnya American

Association of Advertising Agencies, Assosiacion of National Advertiser), kelompok

industri khusus (misalnya Council of Better Business Bureaus), asosiasi media, dan

asosiasi pedagang.33

Pada tahun 1971, komunitas periklanan di Amerika Serikat telah membentuk

The National Advertising Division (NAD) dari The Council of Better Business

Bureaus, sebagai suatu organisasi yang bertanggung jawab untuk menetapkan standar

industri periklanan, dan meminimalkan campurmtangan pemerintah terhadap iklan.34

NAD juga menetapkan prosedur bagi konsumen dan pelaku usaha (sebagai

kompetitor suatu produk) untuk mengajukan keberatan terhadap suatu iklan, namun

iklan yang diajukan keberatannya tersebut haruslah iklan nasional (peredaran iklan

tersebut untuk konsumsi pasar Amerika Serikat).35

33 Ibid., lihat pula Martha Rogers, “Advertising, Self Regulation in the 1980’s : A Review, “ Current Issues & Research in Advertising 13 (1991), hlm. 369-392.

34 Lori A. Lustberg, “Current Advertising Regulation and The Internet”, Computer Law Review and Technology Journal, Summer 1998, hlm.44, lihat juga Terence A. Shimp, Periklanan Promosi dan Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu, Edisi ke 5, Diterjemahkan oleh Revyani Sjahrial, Dyah Anikasi, Jakarta : Erlangga, 2003., hlm. 90. yang menjelaskan regulasi sendiri dari The Council of Better Business Bureau di National Advertising Review Council (NARC) merupakan bentuk peraturan mandiri yang paling banyak dipublikasikan dan mungkin paling efektif. NARC sendiri terdiri dari 3 (tiga) unit tinjauan yaitu : Children’s Advertisng Review unit (CARU) yang bertugas memonitor program dan iklan televisi untuk anak-anak, National Advertising Division (NAD), dan National Advertising Review Board (NARB). NAD dan NARB bertugas mempertahankan standar kebenaran yang tinggi dan keakuratan iklan-iklan nasional bagi orang dewasa.

35 Daniel R. Bereskin, Q.C. & Jennifer Mc Kenzie, Bereskin, Op.cit. “Comparative Advertising : Canada and the United States”, Taronto : November 2001., hlm. 23.

17

Page 18: Artikel Self Regulation

Keanggotaan NAD terdiri dari para pengacara yang selalu melakukan

peninjauan terhadap penerapan aturan hukum, serta menciptakan suatu standar

periklanan yang dikenal sebagai The Better Business Bureau Code of Advertising.

Pengiklan mempergunakan The Better Business Bureau Code of Advertising

ini sebagai panduan untuk mempersiapkan iklan-iklannya serta guna menghindarkan

pemberlakuan ketentuan-ketentuan hukum yang dibuat pemerintah. Apabila NAD

menemukan iklan-iklan bermasalah, maka NAD akan menghubungi pengiklan serta

mempertanyakan substansi dari klaim yang dibuat, atau menyarankan dilakukannya

perubahan terhadap iklan bermasalah tersebut. Dari saat pembentukannya NAD telah

menerima lebih dari 3100 (tiga ribu seratus) keberatan terhadap iklan, dan sebagian

besar iklan-iklan tersebut telah disetujui untuk diubah atau tidak dilanjutkan

penayangannya.

Di samping The Better Business Bureau Code of Advertising, terdapat pula

“Creative Code” yang disusun oleh American Association of Advertising Agencies

(AAAA) yang menentukan :

“The members of the American Association of Advertising Agencies

recoqnice :

1. That advertising bears a dual responsibility in the American economic

system and the way of live;

2. To the public it is a primary way of knowing about the goods and service

which are the product of American free enterprise, goods and services

which can be freely choosen to suit the desiree and needs of the individual.

18

Page 19: Artikel Self Regulation

The public is entitled to expect that advertising will be reliable in content

and honest in presentation”.36

Creative Code sangat memahami arti pentingnya informasi yang disampaikan

melalui iklan bagi publik di Amerika Serikat, karena dengan panduan informasi iklan

tersebut konsumen di Amerika Serikat dapat dengan bebas menentukan pilihannya

terhadap barang dan/atau jasa yang dibutuhkan, namun hendaknya informasi tersebut

sesuai dengan kondisi barang dan/atau jasa yang sebenarnya, serta jujur dalam

penyampaiannya.

Di Kanada, regulasi sendiri di bidang periklanan dipelopori oleh Advertising

Standards Canada (ASC) sebagai asosiasi industri Kanada. ASC telah menyusun the

Canadian Code of advertising Standards (the ASC Code) sebagai panduan dalam

beriklan. Pada tahn 1999, the ASC Code telah diamandemen guna memperluas

kewenangan yang di miliki ASC, termasuk mengawasi iklan-iklan pos langsung.37

Kehadiran regulasi sendiri (self regulation) berkaitan dengan periklanan di

berbagai negara untuk melengkapi aturan-aturan hukum produk pemerintah

memberikan pengharapan lebih besar bagi upaya perlindungan terhadap konsumen.

Pelaku usaha tidak hanya terikat untuk mematuhi suatu ketentuan hukum karena

adanya tekanan, paksaan dari pemeritah, tetapi juga dilandasi oleh adanya kesadaran

moral untuk mau mematuhi standar perilaku yang ditetapkan oleh asosiasi.

36 Gene Richert, Advertising, dalam A.Z. Nasution, 2, Op.cit., hal. 195. 37 Daniel R. Bereskin, Q.C. & Jennifer Mc Kenzie, Op.cit., hlm. 16.

19

Page 20: Artikel Self Regulation

Namun demikian, masih kerap ditemukan iklan-iklan yang bertentangan

dengan standar yang ditetapkan dalam EPI, sehingga harus diperiksa oleh Badan

Pengawas Periklanan PPPI atau oleh Badan Musyawarah Etika Dewan Periklanan

Indonesia.38

Terjadinya pelanggaran terhadap EPI ini disebabkan terdapatnya perbedaan

antara kekuatan berlaku/mengikat etika bisnis periklanan dengan kekuatan berlaku

peraturan perundang-undangan dari pemerintah. Dalam etika bisnis periklanan,

pelaku usaha membuka diri bagi permintaan untuk memenuhi suatu kewajiban moral

berdasarkan pertimbangan sendiri, sedangkan kewajiban hukum lebih banyak

bergantung kepada kekuasaan pemerintah, bukan pada pertimbangan sendiri. Etika

memusatkan pada individu dari pada masyarakat. Orang bebas untuk menerima atau

menolak kewajiban-kewajiban yang timbul dari etika. Berbeda dengan kewajiban

hukum yang diawasi pelaksanaannya dengan sesuatu kekuatan. Jika aturan hukum

dilanggar, maka sanksi yang efektif mungkin berupa tekanan dari masyarakat.39

38 Badan Pengawas Periklanan PPPI (badan) merupakan lembaga intern yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Pusat PPPI No. 040/SK-PP/III/2000, sehingga secara struktural badan ini merupakan bagian dari PPPI . Badan ini bertugas membantu Pengurus Pusat PPPI dalam menegakkan etika periklanan yang diproduksi dan atau dipublikasikan oleh para anggota PPPI. Sedangkan Badan Musyawarah Etika Komisi Periklanan Indonesia merupakan organisasi struktural yang berada di bawah Komisi Periklanan Indonesia. Secara penugasan kedua badan ini mengemban tugas yang sama untuk menegakkan etika periklanan sesuai Kode Etik Periklanan Indonesia, namun Badan Pengawas Periklanan PPPI hanya mampu melakukan pengawasan etika periklanan terhadap para anggota PPPI saja, sedangkan Badan Musyawarah Etika Dewan Periklanan Indonesia dapat melakukan pengawasan etika periklanan bagi seluruh pelaku usaha periklanan.

39 G.W. Paton, A Textbook of Jurisprudence, Oxford University Press, 1972, hlm. 71-72.

20

Page 21: Artikel Self Regulation

Menurut Sutedjo Hadiwasito, Ketua Bidang Hukum dan Perundang-

Undangan PPPI, terdapat 6 (enam) faktor yang menyebabkan banyaknya iklan yang

melanggar EPI, yaitu :40

“1. Tidak adanya kekuatan penuh dari Tim Penilai Iklan;

2. Terjadinya bias antara konsep iklan dan hasil yang ditayangkan;

3. Pemerintah lambat dalam menindak iklan yang melanggar;

4. Gaya beriklan di Indonesia yang hanya menonjolkan kekuatan penjualan;

5. Masih ada ketentuan yang kurang jelas (gray area) dalam buku panduan

beriklan;

6. Lemahnya daya kreatifitas pembuat iklan”.

Dari sedemikian banyak iklan-iklan yang telah melakukan pelanggaran EPI

tersebut, ternyata secara kuantitas hanya sebagian kecil saja yang dapat

ditangani oleh Badan Pengawas Periklanan PPPI. Hal ini disebabkan :41

“1. Badan tidak memiliki cukup sumber daya atau akses untuk memantau semua

iklan yang muncul di media-media nasional. Jumlah yang terekam saat ini

40 Media Indonesia, 11 Oktober 2001. 41 Badan Pengawas Periklanan PPPI, Buku Putih 1999-2002, Jakarta : Persatuan Perusahaan

Periklanan Indonesia, 2002, hlm. 10, selanjutnya dijelaskan di Inggris hingga sepuluh tahun yang lalu sudah tercatat rata-rata di atas 10.000,- (sepuluh ribu) kasus yang masuk ke Advertising Standards Authority, suatu badan pengawas etika periklanan di negara tersebut setiap tahun. Pada hal lembaga ini hanya menangani iklan-iklan di luar TV dan radio. (khusus masalah iklan di televisi dan radio ditangani oleh Independent Television Commission (ITC) Meskipun sudah termasuk iklan-iklan pos langsung (mail order) dan basis data (database). Dari jumlah itu hanya sekitar sekitar 25 % yang mampu diselesaikan oleh lembaga terebut, sedangkan jumlah kasus yang keputusannya masih tertunda hanya 1 %. Dari selaksa jumlah kasus yang masuk ini biasanya sekitar 45 % merupakan keluhan yang berasal dari industri periklanan sendiri (para pelaku maupun mitra bisnis periklanan), dan sisanya keluhan langsung dari masyarakat.

21

Page 22: Artikel Self Regulation

bagian besar merupakan pengaduan dari perusahaan periklanan anggota

PPPI sendiri. Kasus-kasus yang ditangani badan praktis hanya berasal dari

media-mesia cetak dan televisi dan terpantau di DKI Jakarta saja;

2. Badan hanya menangani pelanggaran yang terjadi pada iklan-iklan yang

diproduksi dan atau dipublikasikan oleh para anggota PPPI. Iklan-iklan lain

yang ditangani langsung oleh pengiklan atau media tidak tersentuh, karena

sesuai dengan posisi kelembagaannya yang berada di luar yuridiksi badan.

3. Rendahnya produktivitas industri juga menjadi salah satu faktor penyebab

rendahnya dimensi pelanggaran etika periklanan. Kalau produksi iklan cetak

dan televisi telah mencapai ribuan setiap bulannya seperti di negara-negara

maju, tentu kuantitas dan kualitas pelanggaran atau kasus akan meningkat”.

Beberapa kelemahan dalam penegakan EPI, hanya bisa ditutupi dengan

memadukan penegakan regulasi sendiri (self regulation) tersebut dengan ketentuan

hukum dari pemerintah, terutama bagi pelaku usaha periklanan yang bukan

merupakan anggota asosiasi (misalnya PPPI), dengan memberikan sanksi hukum

yang tegas bagi setiap pelanggar sehingga dapat menimbulkan efek jera.

D. Penutup

Eksistensi Regulasi Sendiri (Self Regulation) merupakan perwujutan

peningkatan kesadaran pelaku usaha agar dalam menjalankan kegiatan bisnis

dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan penuh kehati-hatian, serta

menempatkan konsumen sebagai pihak yang memiliki kedudukan yang setara dengan

22

Page 23: Artikel Self Regulation

pelaku usaha. Sehingga nantinya kemajuan di bidang perdagangan yang berhasil

dicapai tidak hanya meningkatkan pendapatan pelaku usaha, tetapi juga dapat

memberikan perlindungan secara maksimal hak-hak dan kepentingan konsumen yang

selama ini diabaikan oleh pelaku usaha.

DAFTAR PUSTAKA

Barbera, Priscilla A. La, “Analyzing and Advancing the State of the Art of Advertising Self Regulation”, Journal of Advertising 9 No. 4 (1980).

Belch, George E., dan Belch, Michael A., Introduction to Advertising and Promotion (An Integrated Marketing Communication Perspective),Third Edition, San Diego State University, 1995.

Bereskin, Daniel R., Q.C. & Kenzie, Jennifer Mc, “Comparative Advertising : Canada and the United States”, Taronto : November 2001.

Badan Pengawas Periklanan PPPI, Buku Putih 1999-2002, Jakarta : Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, 2002.

Djamil, Kamhal, “Peranan Pemerintah Dalam Rangka Penanggulangan Perbuatan Curang”, Makalah Wicara Penaggulangan Perbuatan Curang, Oktober 1992 Dalam Ari Purwadi, “Perlindungan Konsumen Dalam Periklanan”, Majalah Hukum Trisakti, No. 21 tahun XXI, Januari 1996.

“Etika Pariwara Indonesia”, http:www.pppi.or.id. diakses 3 Juni 2007.

23

Page 24: Artikel Self Regulation

“Etika Pariwara Indonesia : Penyempurnaan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan

Indonesia”, http://www.pppi.or.id/jejak-isi.php?cid=1&id=125&pageNum=2, diakses tanggal 3 Juni 2007.

Gene, Richert, Advertising, dalam A.Z. Nasution, Konsumen dan Hukum, Cetakan I, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995.

Harianto, Dedi, “Perlindungan Konsumen Terhadap Iklan Yang Menyesatkan”, Disertasi, Medan : Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2007.

Lustberg, Lori A., “Current Advertising Regulation and The Internet”, Computer Law Review and Technology Journal, Summer 1998.

Nugroho, Susanti Adi, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta : Kencana, 2008.

Nasution, A.Z. , Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Yogyakarta : Diadit Media, 2001.

______________, Konsumen dan Hukum, Cetakan I, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995.

Paton, G.W., A Textbook of Jurisprudence, Oxford University Press, 1972.Media Indonesia, 11 Oktober 2001.

Rajagukguk, Erman, “Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Era Perdagangan Bebas”, Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati (Penyunting), Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar Maju, 2000.

Rogers, Martha, “Advertising, Self Regulation in the 1980’s : A Review, “ Current Issues & Research in Advertising 13 (1991).

Suherman, Ade Manan, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002.

Shofie, Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002.

Shimp, Terence A., Periklanan Promosi dan Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu, Edisi ke 5, Diterjemahkan oleh Revyani Sjahrial, Dyah Anikasi, Jakarta : Erlangga, 2003.

24

Page 25: Artikel Self Regulation

Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999.

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia., Jakarta : PT Grasindo, 2000.

Trijono, Rachmat, “Perlindungan Konsumen Terhadap Iklan Menyesatkan”, Jurnal Hukum JUISTHEID,Vol. I No. 2 Agustus 2003, Bogor : Fakultas Hukum Universitas Djuanda, 2003.

Usman, Rachmadi, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Jakarta : Djambatan, 2000.

25