PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA 815 APLIKASI KONSEP SIKUEN STRATIGRAFI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KANDUNGAN TOTAL ORGANIC CARBON (TOC) PADA SERPIH FORMASI BELUMAI DAN BAONG BAWAH SEBAGAI POTENSI BATUAN INDUKDI LAPANGAN “DEWI”,CEKUNGAN SUMATERA UTARA Riko Susetia Yuda 1* Ferian Anggara 1 Gema Wahyudi Purnama 2 Murthala Hatta 2 1 Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada 2 PERTAMINA Hulu Energi MNK Sumatera Utara *corresponding author: [email protected]ABSTRAK Cekungan Sumatera Utara merupakan cekungan belakang busurdengan hidrokarbon yang melimpah. Formasi yang berpotensi sebagai batuan induk selain Formasi Bampo adalah Formasi Belumai dan Baong Bawah (Pertamina BPPKA, 1995).Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aplikasi konsep sikuen stratigrafi dan pengaruhnya terhadap kandungan total organic carbon (TOC) pada serpih Formasi Belumai dan Baong Bawah. Penelitian dilakukan berdasarkan data sumur, biostratigrafi, seismik dan geokimiayang dimiliki oleh PT. PERTAMINA Hulu Energi. Terdapat 12 sumur yang digunakan yaitu sumur WWP-1, DNC-1, RSY-1, TB-1, TB-2, TB-3, TB-4, BOP-1, BOP-2, MDN-1, DW-1, dan TP-1. Datasumurdigunakan untuk menentukan fasies pengendapan dan pola penumpukan vertikal kemudian dikombinasikan dengan biostratigrafi untuk dilakukan korelasi kronostratigrafi. Data geokimia yang digunakan adalah TOC.Hasil yang didapatkan adalah Formasi Belumai terbentuk ketika fase muka air laut relatif konstan yang dicirikan oleh keterdapatan highstand system tract (HST) pada lingkungan paparan- lereng benua danmemiliki kandungan TOC 0,66-3,64% (rerata 1,66%).Formasi Baong Bawah terbentuk ketika fase transgresi yang dapat diidentifikasi oleh keterdapatan transgressive system tract (TST) pada lingkungan laguna, paparan-lereng benua dan memiliki kandungan TOC 0,6-3,85% (rerata 1,72%). Fasies serpih Belumai dan Baong Bawah didominasi oleh komposisi karbonatan dan menempati urutan ketiga dari pengelompokan litofasies (Slatt dkk., 2011) dengan kandungan material organik tergolong cukup.Hasil tersebut menunjukkan kandungan TOC semakin meningkat saat transgresi yang membentuk TST dengan karakteristik TOC cenderung merata. Berdasarkan hasil tersebut, disimpulkan bahwa aplikasi konsep sikuen stratigrafi dapat menentukan kandungan TOC yang paling optimal pada batuan induk yaitu ketika fase transgresi hingga mencapai maksimum yang dapat diidentifikasi oleh keterdapatan TST. Kata kunci: sikuen stratigrafi, total organic carbon, batuan induk, Formasi Belumai, Formasi Baong Bawah 1. Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi shale hydrocarbon yang sangat besar yaitu 349,7 trillion cubic feet (tcf) untuk jenis gas dan 242,3 miliar barrel untuk jenis minyak (EIA, 2015). Shale hydrocarbon atau hidrokarbon serpih merupakan istilah untuk menyatakan hidrokarbon non-konvensional yang terkandung di dalam serpih. Serpih ini selain sebagai reservoar, juga berperan sebagai batuan induk. Cekungan Sumatera Utara merupakan salah satu cekungan yang matang dengan potensi hidrokarbon yang besar (Pertamina BPPKA, 1995). Terdapat tiga batuan induk utama dari sistem petroleum-nya yaitu Formasi Bampo, Belumai, dan Baong Bawah (Pertamina BPPKA, 1995). Formasi Bampo umumnya memiliki letak yang sangat dalam, sedangkan Formasi Belumai dan Baong Bawah letaknya lebih dangkal. Formasi Belumai
20
Embed
APLIKASI KONSEP SIKUEN STRATIGRAFI DAN PENGARUHNYA ... · 1.1. Tataan Geologi 1.1.1. Struktur Geologi Regional Struktur geologi cekungan Sumatera Utara dapat diklasifikasikan menjadi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
815
APLIKASI KONSEP SIKUEN STRATIGRAFI DAN PENGARUHNYA TERHADAP
KANDUNGAN TOTAL ORGANIC CARBON (TOC) PADA SERPIH FORMASI BELUMAI DAN
BAONG BAWAH SEBAGAI POTENSI BATUAN INDUKDI LAPANGAN “DEWI”,CEKUNGAN
SUMATERA UTARA
Riko Susetia Yuda1*
Ferian Anggara1
Gema Wahyudi Purnama2
Murthala Hatta2
1Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
2PERTAMINA Hulu Energi MNK Sumatera Utara *corresponding author: [email protected]
ABSTRAK
Cekungan Sumatera Utara merupakan cekungan belakang busurdengan hidrokarbon yang melimpah. Formasi yang berpotensi sebagai batuan induk selain Formasi Bampo adalah Formasi Belumai dan Baong
Bawah (Pertamina BPPKA, 1995).Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aplikasi konsep sikuen
stratigrafi dan pengaruhnya terhadap kandungan total organic carbon (TOC) pada serpih Formasi
Belumai dan Baong Bawah. Penelitian dilakukan berdasarkan data sumur, biostratigrafi, seismik dan geokimiayang dimiliki oleh PT. PERTAMINA Hulu Energi. Terdapat 12 sumur yang digunakan yaitu
Datasumurdigunakan untuk menentukan fasies pengendapan dan pola penumpukan vertikal kemudian dikombinasikan dengan biostratigrafi untuk dilakukan korelasi kronostratigrafi. Data geokimia yang
digunakan adalah TOC.Hasil yang didapatkan adalah Formasi Belumai terbentuk ketika fase muka air laut
relatif konstan yang dicirikan oleh keterdapatan highstand system tract (HST) pada lingkungan paparan-
lereng benua danmemiliki kandungan TOC 0,66-3,64% (rerata 1,66%).Formasi Baong Bawah terbentuk ketika fase transgresi yang dapat diidentifikasi oleh keterdapatan transgressive system tract (TST) pada
lingkungan laguna, paparan-lereng benua dan memiliki kandungan TOC 0,6-3,85% (rerata 1,72%). Fasies
serpih Belumai dan Baong Bawah didominasi oleh komposisi karbonatan dan menempati urutan ketiga dari pengelompokan litofasies (Slatt dkk., 2011) dengan kandungan material organik tergolong
cukup.Hasil tersebut menunjukkan kandungan TOC semakin meningkat saat transgresi yang membentuk
TST dengan karakteristik TOC cenderung merata. Berdasarkan hasil tersebut, disimpulkan bahwa aplikasi konsep sikuen stratigrafi dapat menentukan kandungan TOC yang paling optimal pada batuan induk yaitu
ketika fase transgresi hingga mencapai maksimum yang dapat diidentifikasi oleh keterdapatan TST.
Kata kunci: sikuen stratigrafi, total organic carbon, batuan induk, Formasi Belumai, Formasi Baong
Bawah
1. Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi shale hydrocarbon yang sangat besar
yaitu 349,7 trillion cubic feet (tcf) untuk jenis gas dan 242,3 miliar barrel untuk jenis minyak
(EIA, 2015). Shale hydrocarbon atau hidrokarbon serpih merupakan istilah untuk menyatakan
hidrokarbon non-konvensional yang terkandung di dalam serpih. Serpih ini selain sebagai
reservoar, juga berperan sebagai batuan induk. Cekungan Sumatera Utara merupakan salah satu
cekungan yang matang dengan potensi hidrokarbon yang besar (Pertamina BPPKA, 1995).
Terdapat tiga batuan induk utama dari sistem petroleum-nya yaitu Formasi Bampo, Belumai, dan
Baong Bawah (Pertamina BPPKA, 1995). Formasi Bampo umumnya memiliki letak yang sangat
dalam, sedangkan Formasi Belumai dan Baong Bawah letaknya lebih dangkal. Formasi Belumai
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
816
dan Baong terdiri atas serpih dari lingkungan laut dengan potensi Total Organic Carbon (TOC)
sebesar 1% (Pertamina BPPKA, 1995). Formasi Baong Bawah sendiri memiliki kandungan TOC
berkisar 0,8–3,5% dengan tipe kerogen II/III (mixed oil/gas-prone) (Bahesti dkk., 2013). Tipe
kerogen berdasarkan hasil penelitian terdahulu tersebut berpotensi menghasilkan gas serpih
karena banyak reservoar penghasil gas serpih berasal dari batuan induk overmature oil-prone
(Passey dkk., 2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aplikasi konsep stratigrafi dan
pengaruhnya terhadap kandungan total organic carbon pada serpih Formasi Baong Bawah yang
memiliki potensi sebagai batuan induk.
1.1. Tataan Geologi
1.1.1. Struktur Geologi Regional
Struktur geologi cekungan Sumatera Utara dapat diklasifikasikan menjadi lima kategori
yaitu batuan dasar tersesarkan normal, struktur inversi, pengangkatan Bukit Barisan, struktur
detached dan Rayeu hinge (Reed, 1995 dalam Pertamina BPPKA, 1995:34).Batuan dasar
tersesarkan normalterbentuk akibat gaya ekstensi pada fase regangan (syn-rift). Gaya
ekstensional inilah yang menghasilkan half-graben dan full-graben dengan asosiasi horst, blok
sesar termiringkan, ramp regions, antiklin roll-over dan zona hinge, serta antiklin pada zona
transfer (Pertamina BPPKA, 1995:34).
Struktur inversi dihasilkan selama ekstensi berlangsung. Struktur ini terdapat pada zona transfer
TL-BD dengan trend lokal timurlaut. Pembentukan area lokal kompresi pada zona transfer ini
dihasilkan oleh antiklin berarah baratlut akibat inversi graben pull-apart kecil (Pertamina
BPPKA, 1995:35).
Pengangkatan Bukit Barisan terjadi akibat kompresi arcuate sepanjang restraining bend pada
sistem Sesar Sumatera. Bukit Barisan tersusun oleh struktur individual yang umumnya dibatasi
oleh sesar naik sepanjang sisi utaranya dan oleh zona sesar sobek kompleks di sepanjang sisi
timurnya. Sesar naik sepanjang sisi utara ini umumnya membentuk lipatan fault-propagation
pada sedimen Pliosen (Pertamina BPPKA, 1995:35).
Struktur Detached dihasilkan oleh kompresi regional yang sama dengan Bukit Barisan.
Struktur ini secara lokal berasosiasi dengan sesar naik yang melibatkan batuan dasar yang juga
membatasi Bukit Barisan. Sistem sesar detached akibat gravitasi hadir di sebelah utara Bukit
Barisan dan di sebelah selatan Cekungan Sumatera Utara.
Reyeu Hinge merupakan tektonik batuan dasar dan batas paleofisiografi pada Tersier
yang terletak di sebelah timur cekungan dan sebelah barat paparan Malaka. Rayeu Hinge hanya
terdapat sepanjang zona lemah batuan dasar dan merupakan lekukan sederhana, bukan zona sesar.
1.1.2. Tektonik dan Stratigrafi Regional
Menurut Barber, dkk. (2005), evolusi Cekungan Sumatera Utara dapat dibagi menjadi
beberapa tahap (Gambar 1), yaitu:
1.1.2.1. Pre-Rift (Eosen Akhir); periode ini mencakup seluruh perisitiwa geologi pada awal
Tersier yang berupa peregangan (rifting) batuan dasar sebagai fase awal pembentukan
cekungan. Saat itu, area Cekungan Sumatera Utara sudah merupakan paparan karbonat
dan deltaik. Fase ini menghasilkan Formasi Tampur dan Meucampli yang terdiri dari
batupasir, batugamping dan konglomerat polimik.
1.1.2.2. Syn-rift atau horst and graben stage (Oligosen Awal-Akhir); merupakan fase
peregangan yang dimulai dengan sedimentasi klastik kontinen yang sangat dominan
dengan sedimen berasal dari baratlaut dan timur kemudian dilanjutkan dengan
sedimentasi endapan laut dan darat bersamaan dengan transgresi. Akhir dari peregangan
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
817
diikuti dengan pengangkatan termal yang menghasilkan ketidakselarasan post-rift
regional dan sedimentasi klastik laut mulai dominan dengan lingkungan pengendapan
berupa laut tertutup. Saat itu pula terjadi pembedaan antara Bukit Barisan, cekungan
belakang busur dan cekungan depan busur. Fase ini menghasilkan Formasi
Bruksah/Parapat (batupasir kasar dan konglomerat di bagian bawah, serta sisipan serpih
yang diendapkan secara tidak selaras) dan Bampo (serpih hitam dan tidak berlapis,
umumnya berasosiasi dengan pirit dan gamping).
1.1.2.3. Post-rift transgresi; merupakan tahapan saat terjadi transgresi regional yang
menghasilkan endapan deltaik dan karbonat berkembang di struktur tinggian yang telah
ada sebelumnya. Hal ini kemudian menghasilkan Formasi Peutu (batupasir dengan
sisipan batubara), Belumai (batupasir glaukonit dengan perselingan serpih dan
batugamping) dan Arun (batupasir kalkarenit dan kalsilutit dengan selingan serpih).
Saat transgresi maksimum terjadi, endapan menjadi dominan berbutir halus dengan
sedikit interkalasi butiran klastik yang lebih kasar. Hal ini kemudian menghasilkan
Formasi Baong Bawah yang terdiri atas serpih laut dengan sedikit sisipan batupasir.
1.1.2.4. Post-rift regresi; merupakan tahapan saat regresi terjadi yang menghasilkan dominasi
endapan klastik berbutir kasar (pasir) akibat dari pengangkatan Bukit Barisan dan
peristiwa volkanisme. Fase ini menghasilkan Formasi Baong Atas (serpih dengan
selingan batupasir yang lebih banyak), Keutapan (perselingan antara serpih,
batulempung, beberapa sisipan batugampingan dan batupasir), Seurula (batupasir,
serpih, dominan batulempung, batubara dan fragmen batuan volkanik) dan Julu Rayeu
(batupasir halus sampai kasar, serpih dengan fragmen batuan volkanik, batulempung).
Saat volkanisme, diendapkan satuan volkanik Toba yang dilanjutkan dengan
pengendapan alluvial kuarter.
1.2. Sistem Petroleum
Menurut Barber dkk., (2005), terdapat dua sistem petroleum yang paling terkenal yaitu
sistem Bampo-Peutu di bagian utara dan sistem Baong-Belumai-Keutapang di sebelah tenggara.
Sistem Bampo-Peutu terdiri dari Bampo sebagai batuan induknya yang mengekspulsikan
hidrokarbon ke reservoar batugamping Arun yang mana sebagai bagian dari Formasi Peutu dan
disekat oleh serpih overpressure Formasi Baong. Sistem Baong-Belumai-Keutapang terdiri dari
Formasi Baong Bawah-Belumai sebagai batuan induk untuk minyak ringan dan kondensat,
Keutapang-Baong Atas sebagai batuan reservoar dan penyekatnya.
Kirby, dkk. (1993) dalam Barber, dkk. (2005), yang melakukan studi di bagian tengah
cekungan menemukan bahwa Formasi Baong memiliki TOC sekitar 0,5%. Adapun Formasi
Belumai memiliki TOC sekitar 0,2-4,8% dan material organiknya berasal dari laut, sedangkan
Formasi Bampo sekitar 0,27-3,84%. Menurut Sjahbuddin, dkk. (1993), Formasi Baong memiliki
kerogen yang terdiri dari dua tipe. Tipe kerogen II/III atau mixedoil/gas-prone dan tipe III atau
gas-prone. Analisis juga dilakukan pada Formasi Belumai yang menunjukkan tipe kerogen
batuan induknya merupakan tipe III atau gas-prone.
2. Metode Penelitian
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
818
Lokasi tujuan penelitian adalah Lapangan “Dewi” yang termasuk dalam Cekungan Sumatera
Utara. Lapangan “Dewi” berada di sebelah tenggara provinsi Sumatera Utara (Gambar 2). Objek
penelitian secara khusus adalah serpih Formasi Baong Bawah.
Penelitian ini menggunakan data yang disediakan oleh PT. Pertamina Hulu Energi
Unconventional Hydrocarbon yang terdiri atas dua belas sumur yang digunakan yaitu sumur
London, Memoirs, p86-97. McCarthy, K., Katherine R., Martin N., Daniel P., Kenneth P., dan Artur S.. 2011. Basic Petroleum
Geochemistry for Source Rock Evaluation. Oilfield Review Summer 2011: 23, No. 2.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
821
Passey, O.R., Moretti, F.U., Stroud, J.D.. 1990. A practical model for organic richness from porosity and resistivity logs. AAPG Bulletin 74, 1777–1794.
Passey, Q.R., Bohacs, K. M., Esch, W.L., Klimentidis, R., Sinha, S. 2010. From
oil prone source rock to gas producing shale reservoir geologic and petrophysical characterization of unconventional shale gas reservoir, CPS/SPE international Oil and
Gas conference Exhibition in China, Beijing.
Pepper, A.S. dan Corvi, P.J.. 1995b. Simple Kinetic Models of Petroleum Formation. Part III: Modelling
an open system: Marine and Petroleum Geology, v. 12, no. 4, p. 417-452. Pertamina BPPKA. 1995. Petroleum Geology of Indonesian Basins: Principles, Methods, and Application,
Vol. I North Sumatra Basin. Jakarta: Pertamina.
Sjahbuddin, E. dan Ramli D.. 1993. Hydrocarbon Source Rock Characteristics and the Implications for Hydrocarbon Maturation in the North Sumatra Basin. Proceedings Indonesian Petroleum
Association, 93, p. 509.
Slatt, R.M., Philp, R.P., O'Brien, N.R., Abousleiman, Y., Singh, P., Eslinger, E.V., Perez, R., Portas, R., Baruch, E., Marfurt, K.J., dan Madrid-Arroyo, S.. 2011. Pore-to-regional-scale integrated
characterization workflow forunconventional gas shales. dalam: J. Breyer, ed., Shale reservoir-Giant
resources for the 21 st century: AAPG Memoir 97, p. 1-24.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
822
Gambar 1. Stratigrafi regional Cekungan Sumatera Utara (Barber dkk., 2005)
Gambar 2. Lokasi penelitian
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
823
Gambar 3. Penentuan parasikuen dan system tract berdasarkan karakteristik log GR dan resistivity
/TS
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
824
Gambar 4. Korelasi antar sumur pada datum MFS yang menunjukkan cekungan berada di sebelah baratlaut daerah penelitian (tanda tanya menunjukkan korelasi yang dilakukan dengan bantuan horizon seismik karena keterbatasan data sumur)
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
825
Gambar 5.Interpretasi seismik dan pembuatan peta struktur kedalaman
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
826
Gambar 6.Peta isopach Formasi Belumai dan Baong Bawah
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
827
Gambar 7. Paleogeografi HST Formasi Belumai
Gambar 8. Paleogeografi TST Formasi Baong Bawah
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
828
Gambar 9. (a.) TOC kalkulasi menggunakan metode DLogR (Passey dkk., 1990) pada sumur RSY-1;
(b) Penentuan Level of Maturity dan hasil dari TOC kalkulasi pada HST Formai Belumai dari sumur yang tidak memiliki data TOC laboratorium; (c.) Penentuan Level
of Maturity dan hasil dari TOC kalkulasi pada TST Formasi Baong Bawah dari sumur
yang tidak memiliki data TOC laboratorium
b
c
DLogR (Passey dkk., 1990)
a
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
829
Gambar 10. Peta distribusi TOC pada HST Formasi Belumai
Gambar 11. Peta distribusi TOC pada TST Formasi Baong Bawah
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
830
Gambar 12. Contoh penentuan fasies serpih Formasi Belumai dan Baong Bawah dari data serbuk bor dan log sumur
Gambar 13. Hubungan litofasies serpih dengan kandungan material organik (Slatt dkk., 2011)
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
831
Gambar 14.TOC vs Kedalaman dari tiap sumur kunci
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
832
Tabel 1. Data Rock-Eval Pyrolysis tiap sumur pada HST Formasi Belumai
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
833
Tabel 2. Data Rock-Eval Pyrolysis tiap sumur pada TST Formasi Baong Bawah
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
834
Tabel 3. Ringkasan fasies serpih Formasi Belumai dan Baong Bawah
HST Formasi Belumai
Sumur Kedalaman
(m) Fasies
Ketebalan
(m)
TOC
(%)
RSY-1 2630-3065 Serpih abu-abu dengan sisipan batulanau
abu-abu & batupasir laminasi 435 0,93
TB-1 2390-2560 Serpih cokelat-hitam karbonatan dengan
sisipan batupasir 170 1,08
MDN-1 2560-2680 Perselingan serpih abu-abu dengan
serpih lanauan 120 0,76
TP-1 1740-1950 Serpih cokelat-hitam karbonatan dengan