Top Banner
I GEOLOGI DAN PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP POLA SEBARAN DAN KEMENERUSAN SEAM BATUBARA PT. SEBUKU TANJUNG COAL PADA CEKUNGAN ASEM-ASEM, FORMASI TANJUNG, PULAU LAUT, KABUPATEN KOTABARU, KALIMANTAN SELATAN Disusun Oleh : Riko Dwi Kurniawan (111.170.120) PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA 2021
108

geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

Mar 15, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

I

GEOLOGI DAN PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP

POLA SEBARAN DAN KEMENERUSAN SEAM BATUBARA PT.

SEBUKU TANJUNG COAL PADA CEKUNGAN ASEM-ASEM,

FORMASI TANJUNG, PULAU LAUT, KABUPATEN KOTABARU,

KALIMANTAN SELATAN

Disusun Oleh :

Riko Dwi Kurniawan (111.170.120)

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

YOGYAKARTA

2021

Page 2: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

ii

HALAMAN PENGESAHAN

GEOLOGI DAN PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP POLA

SEBARAN DAN KEMENERUSAN SEAM BATUBARA PT. SEBUKU

TANJUNG COAL PADA CEKUNGAN ASEM-ASEM, FORMASI

TANJUNG, PULAU LAUT, KABUPATEN KOTABARU, KALIMANTAN

SELATAN

Oleh :

Riko Dwi Kurniawan

111.170.120

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (Strata 1) di

Program Studi Teknik Geologi, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi

Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, tahun

akademik 2021/2022.

Yogyakarta, 22 September 2021

Menyetujui,

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Dr.Ir. Jatmika Setiawan, M.T Ir. Sugeng Raharjo, M.T

NIP : 19640411 199303 1 001 NIP : 19581208 199203 1 001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Teknik Geologi

Dr.Ir. Jatmika Setiawan,M.T

NIP : 19640411 199303 1 001

Page 3: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

iii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Untuk kedua orangtuaku, terimakasih atas segala bentuk dukungan yang telah diberikan.

insha Allah akan saya persembahkan masa depan yang cerah yang akan di mulai dari

selesainya tugas akhir ini. aamiin

Page 4: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan

ridho-Nya penulis masih diberi kesehatan dan umur panjang sehingga masih dapat

menyelesaikan Laporan tugas akhir ini yang berjudul “GEOLOGI DAN PENGARUH

STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP POLA SEBARAN DAN KEMENERUSAN SEAM

BATUBARA PT. SEBUKU TANJUNG COAL PADA CEKUNGAN ASEM-ASEM,

FORMASI TANJUNG, PULAU LAUT, KABUPATEN KOTABARU, KALIMANTAN

SELATAN”

Laporan ini dibuat guna untuk memenuhi syarat Tugas Akhir tahun ajaran 2020/2021,

Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Yogyakarta, proposal ini dapat selesai karena bantuan banyak pihak, oleh karena

itu, tidak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Allah SWT yang telah memberi kesehatan dan kelancaran dalam pembuatan

Proposal Tugas Akhir ini.

2. Orang Tua dan Keluarga yang selalu mendukung dan memberikan kasih sayang

serta semangat tanpa henti.

3. Bapak Dr. Ir. Jatmika Setiawan, M.T. selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi,

Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”

Yogyakarta sekaligus Dosen Pembimbing.

4. Dr. Ir. M. Syaifudin, M.T. selaku Koordinator Program Studi Sarjana Teknik

Geologi, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran”

Yogyakarta

5. Bapak Ir. Sugeng Raharjo, M.T. selaku Dosen Pembimbing.

6. Teman – teman dari Jurusan Teknik Geologi Angkatan 2017

7. Semua pihak yang telah membantu

Penulis masih merasa proposal ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan

saran yang membangun sangat kami butuhkan agar dapat menjadi koreksi dan dalam penulisan

selanjutnya akan lebih baik lagi. Demikian proposal ini kami susun, semoga dapat bermanfaat.

Terima kasih

Yogyakarta, 1 September 2021

Penulis,

Riko Dwi Kurniawan

Page 5: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

v

GEOLOGI DAN PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP POLA

SEBARAN DAN KEMENERUSAN SEAM BATUBARA PT. SEBUKU TANJUNG

COAL PADA CEKUNGAN ASEM-ASEM, FORMASI TANJUNG, PULAU LAUT,

KABUPATEN KOTABARU, KALIMANTAN SELATAN

SARI

Riko Dwi Kurniawan

111.170.120

Secara Geografis daerah penelitian terletak pada koordinat (UTM -WGS84-Zona 50S)

399800 mE – 402500 mE dan 9621000 mN – 9624000 mN m. Secara administratif terletak di

Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan

Selatan. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri atas studi pustaka, interpretasi pola

pengaliran, interpretasi geomorfologi, interpretasi stratigrafi, interpretasi struktur geologi,

pemetaan geologi permukaan, profil singkapan, pengukuran penampang stratigrafi terukur,

pengamatan dan pengukuran struktur geologi, pengambilan sampel, analisa petrografi, analisa

stereografis dan analisa bor. Pola pengaliran di daerah penelitian adalah Subdendritik. Pola

pengaliran ini dipengaruhi oleh topografi dan adanya struktur geologi.

Geomorfologi pada daerah penelitian dapat di kelompokan menjadi bentuklahan

Perbukitan Bergelombang, Peneplain, Hasil Penambangan dan Hasil Timbunan.

Stratigrafi daerah penelitian disusun oleh 3 satuan batuan dari tua ke muda, yaitu satuan

batupasir Formasi Tanjung, satuan batulanau Formasi Tanjung, satuan batuserpih Formasi

Tanjung dan satuan endapan alluvial, yang terendapkan pada lingkungan transitional – lower

delta plain.

Struktur geologi daerah penelitian meliputi kekar, sesar, dan kedudukan perlapisan

batuan. Sesar daerah penelitian dapat dibagi menjadi sepuluh yaitu Sesar Selaru Satu, Sesar

Selaru Dua, Sesar Selaru Tiga, Sesar Selaru Empat, Sesar Selaru Lima, Sesar Selaru Enam,

Sesar Selaru Tujuh, Sesar Selaru Delapan, Sesar Selaru Sembilan, Sesar Selaru Sepuluh.

Tegasa utama pada daerah penelitian berarahkan Baratlaut-Tenggara.

Berdasarkan korelasi data permukaan dengan data bawah permukaan (bor), terdapat

struktur geologi berupa sesar, yang dapat berpengaruh terhadap pola sebaran dan kemenerusan

batubara, yaitu Sesar Selaru Tiga (LP 17), Sesar Selaru Empat (LP 33) dan Sesar Selaru Dua

(LP 102).

Berdasarkan pola sebaran dan kemenerusan batubara daerah penelitian, perlu

dilakukannya pendetailan rute bor dengan jarak 10-30 meter, menghindari potensi

hidrogeologi yang dapat meluap karena intensitas struktur geologi yang tinggi, perlu adanya

dewatering dengan sistem pompa, memperhatikan terkait kestabilan lereng pada highwall,

stripmine dilakukan dengan cara perblok, untuk menghindari adanya air masuk saat expose

batubara maupun coal getting.

Kata Kunci : Batubara, Formasi Tanjung, Pola Sebaran

Page 6: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................................ 2

HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................................ 3

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 4

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... 6

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... 8

DAFTAR TABEL ............................................................................................................ 10

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................... 11

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 12

1.1. Latar Belakang Masalah ....................................................................................... 12

1.2. Maksud dan Tujuan .............................................................................................. 13

1.3. Rumusan Masalah ................................................................................................ 14

1.4. Ruang Lingkup ..................................................................................................... 15

1.5. Hasil Penelitian .................................................................................................... 16

1.6. Manfaat Penelitian ............................................................................................... 18

BAB II METODE PENELITIAN .................................................................................. 20

2.1. Metode Penelitian ..................................................................................................... 20

2.1.1. Pemetaan Geologi Permukaan ........................................................................... 20

2.1.2. Measuring Section ............................................................................................. 20

2.2 Tahap Pendahuluan ................................................................................................... 21

2.3 Tahap Akuisisi Data Lapangan ................................................................................ 22

2.3.1. Akuisisi Data Sekunder ..................................................................................... 22

2.3.2. Akuisisi Data Primer .......................................................................................... 24

2.4. Tahap Analisis dan Pengolahan Data ..................................................................... 26

2.4.1. Pembuatan Peta Lintasan Dan Lokasi Pengamatan ........................................... 27

2.4.2. Pembuatan Peta Geomofologi dan Penampang Geomorfologi ......................... 27

2.4.3. Pembuatan Peta Geologi dan Penampang Geologi ............................................ 27

2.4.4. Analisis Pola Pengaliran .................................................................................... 27

2.4.5. Analisa Petrografis ............................................................................................. 27

2.4.6. Analisa Mikropaleontologi ................................................................................ 28

2.4.7. Analisis Data Struktur Geologi .......................................................................... 28

2.4.8. Analisis Data Measuring Section ....................................................................... 28

2.5. Tahap Sintesis dan Penyajian Data ......................................................................... 29

2.5.1. Geomorfologi ..................................................................................................... 29

2.5.2. Stratigrafi ........................................................................................................... 29

2.5.3. Struktur Geologi ................................................................................................ 29

2.5.4. Pengontrol Persebaran Seam Batubara .............................................................. 29

2.6. Rencana Jadwal Penelitian ...................................................................................... 29

BAB III DASAR TEORI ................................................................................................. 31

3.1.Definisi Batubara ....................................................................................................... 31

3.2 Genesa Batubara ........................................................................................................ 31

3.2.1. Faktor Pembentuk Batubara ............................................................................... 34

3.3 Lingkungan Pengendapan ........................................................................................ 36

3.7 Struktur Sesar Post Genetik ..................................................................................... 38

3.7.1 Jenis Sesar ........................................................................................................... 38

3.7.2 Ciri Sesar ............................................................................................................. 41

3.7.3 Efek Sesar Terhadap Batubara ............................................................................ 41

3.7.4 Kekar ................................................................................................................... 43

3.7.5 Sesar .................................................................................................................... 43

Page 7: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

vii

BAB IV GEOLOGI REGIONAL ................................................................................... 47

4.1 Fisiografi Regional ..................................................................................................... 47

4.2Stratigrafi Regional .................................................................................................... 49

4.3Kerangka Tektonik dan Struktur Geologi Regional ............................................... 52

4.3 Keberadaan Batubara ............................................................................................... 54

BAB V GEOLOGI DESA SELARU, KECAMATAN PULAU LAUT TENGAH,

KABUPATEN KOTABARU, PROVINSI KALIMANTAN SELATAN .................... 56

5.1 Pola Pengaliran PT.Sebuku Tanjung Coal dan Sekitarnya .................................. 56

5.1.1. Pola Pengaliran Subdendritik ............................................................................. 56

5.2. Geomorfologi Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten

Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan ....................................................................... 59

5.2.1. Bentuk Asal Denudasional ................................................................................. 61

5.2.2. Bentuk Asal Fluvial ........................................................................................... 63

5.2.3. Bentuk Antropogenik ......................................................................................... 64

5.3. Stratigrafi Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten Kotabaru,

Provinsi Kalimantan Selatan .......................................................................................... 66

5.3.1. Satuan Batupasir Formasi Tanjung .................................................................... 67

5.3.2. Satuan Batulanau Formasi Tanjung ................................................................... 71

5.3.3. Satuan Batuserpih Formasi Tanjung .................................................................. 75

5.3.4 Umur Geologi ..................................................................................................... 78

5.4. Struktur Geologi Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten

Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan ....................................................................... 79

5.4.1 Kekar ................................................................................................................... 79

5.4.2 Cleat .................................................................................................................... 80

5.4.3 Struktur Geologi Sesar ........................................................................................ 81

5.4.4 Genesa Struktur Geologi Daerah Penelitian. ...................................................... 85

5.4.5 Sejarah Geologi Daerah Penelitian. .................................................................... 85

BAB VI PEMBAHASAN STUDI KHUSUS .................................................................. 89

6.6. Sebaran Seam Batubara Berdasarkan Korelasi Penampang Bor Batubara dan

Data Permukaan .............................................................................................................. 89

6.6.1 Karakteristik Seam Batubara Daerah Penelitian ................................................. 89

6.6.2 Analisis dan Interpretasi Pola Struktur Geologi terhadap Pengaruh Pola Sebaran

Batubara ....................................................................................................................... 91

6.6.3 Validasi Sesar Mayor .......................................................................................... 94

6.6.4 Korelasi Penampang Bor .................................................................................... 94

BAB VI ............................................................................................................................ 103

KESIMPULAN .............................................................................................................. 103

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 105

LAMPIRAN ................................................................................................................... 108

Page 8: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Lokasi Derah Penelitian ...................................................................................... 15 Gambar 2. Diagram Alir Penelitian ....................................................................................... 21 Gambar 3 Proses pembentukan batubara (Stach, 1982, di dalam Susilawati 1992). ............ 32

Gambar 4. Lokasi Cekungan Asem-Asem (Wits, dkk., 2012) .............................................. 48 Gambar 5. Posisi cekungan Asem-Asem (Satyana dan Silitonga, 1993 dalam Santoso dan

Daulay,2008) ........................................................................................................ 48 Gambar 6. Geologi Kenozoikum di Cekungan Barito dan Asem – Asem, Lokasi penelitian

diberi tanda kotak merah (Modifikasi Supriatna et.al, 1994 dalam Witss et.al,

2012) .................................................................................................................... 49 Gambar 7. Stratigrafi Cekungan Asem-Asem (Wits, dkk., 2012) ........................................ 52

Gambar 8. Trend Dari Struktur Geologi Kalimantan Saat Ini (Satyana et.al 1999) ............. 53 Gambar 9. Penampang Retrodeformasi Cekungan Barito Timur ......................................... 53 Gambar 10. Struktur Paleogen dan Neogen dari Barito Timur ............................................. 54 Gambar 11. Umur dan Rank Batubara (Davis, et.al 2007) ................................................... 55 Gambar 12. Pola Pengaliran Daerah Penelitian, interpretasi melalui kontur asli (kiri) dan

interpretasi kontur dengan digitasi melalui foto udara atau pasca tambang (kanan) Gambar 13. Model pola pengaliran subdrendritik (Howard,1967) ....................................... 57

Gambar 14. Arah Aliran Pola Aliran..................................................................................... 57 Gambar 15. Geomorfologi Bentuk Lahan Bukit Bergelombang (lensa mengarah ke

Baratlaut) Gambar 16. Bentuklahan Peneplain (lensa mengarah ke Barat) ........................................... 63 Gambar 17. Satuan bentuklahan tubuh sungai (lensa mengarah ke Tenggara) ..................... 64

Gambar 18. Bentuklahan lahan hasil penambangan (pit, sump, hauling) (lensa mengarah ke

Baratlaut) .............................................................................................................. 65 Gambar 19. Bentuklahan Disposal (Lensa mengarah ke Selatan) ........................................ 66 Gambar 20. Foto singkapan pada satuan batupasir Tanjung (LP 44 dan LP 55). (A) Foto

singkapan, (B,C) Foto litologi close-up, lensa kamera menghadap ke Timurlaut. Gambar 21. Sayatan petrografi, batupasir kuarsa LP 51 ....................................................... 69

Gambar 22. Analisa mikrofosil yang menunjukan barren, pada batupasir LP 52 ................ 70 Gambar 23. Kontak antara Satuan Batupasir Tanjung dengan Satuan Batulanau Tanjung di

LP 12 (lensa kamera menghadap ke Baratlaut) ................................................... 71

Gambar 24. Foto singkapan pada satuan batulanau Tanjung (LP 95). (A) Foto singkapan,

(B,C,D,E,F) Foto litologi close-up, lensa kamera menghadap kearah Timurlaut 72

Gambar 25. Sayatan petrografi, batulanau LP 2 ................................................................... 73 Gambar 26. Analisa mikrofosil yang menunjukan barren, pada batulanau LP 95 ............... 74 Gambar 27. Kontak antara satuan batulanau Tanjung dengan batuserpih Tanjung di LP 5

(lensa mengarah ke Baratdaya) ............................................................................ 75 Gambar 28. Foto singkapan pada satuan batuserpih Tanjung (LP 5). (A) Foto singkapan,

(B,C,D) Foto litologi close-up, lensa kamera mengarah ke Timur ...................... 76 Gambar 29. Sayatan petrografi, batulanau lokasi pengamatan 5 ............................................ 77

Gambar 30. Analisa mikrofosil yang menunjukan barren, pada batuserpih LP 5b .............. 77 Gambar 31. Kenampakan Kekar Gerus dan Analisa Stereografis LP 42 dan LP 52 ............ 79 Gambar 32. Singkapan dan analisa cleat daerah penelitian lokasi pengamatan 102 (lensa

kamera menghadap Tenggara) ............................................................................. 80 Gambar 33. Sesar Selaru Satu dan Dua LP 102 dan 22 (Rickard 1972) ............................... 81 Gambar 34. Sesar Selaru Tiga dan Empat LP 17 dan 33 (Rickard, 1972) ............................ 82 Gambar 35. Sesar Selaru Lima dan Enam LP 103 dan 09 (Rickard 1972) .......................... 83

Page 9: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

ix

Gambar 36. Sesar Selaru Tujuh dan Delapan LP 10 dan 30 (Rickard 1972) ........................ 84

Gambar 37. Sesar Selaru Sembilan dan Sepuluh LP 39,41 dan 47,49 (Rickard 1972). ....... 84 Gambar 38. A.Permodelan struktur geologi pure shear (Moody and Hill, 1956) B. Struktur

geologi daerah penelitian C. Tegasan dan kedudukan perlapisan batuan ............ 85 Gambar 39. Sejarah geologi daerah penelitian ...................................................................... 88 Gambar 40. Foto Singkapan Seam A pada Lokasi Pengamatan 101 (lensa kamera

menghadap Timurlaut) ......................................................................................... 90 Gambar 41. Kenampakan Seam B pada Lokasi Pengamatan 95 (lensa kamera menghadap

Utara) ................................................................................................................... 90 Gambar 42. Kenampakan Seam C pada Lokasi Pengmatan 95 (lensa kamera menghadap

Timurlaut) ............................................................................................................ 91

Gambar 43. Peta cropline dan struktur geologi ..................................................................... 93 Gambar 44. Penampang Bor A-A' (on dip) ........................................................................... 96

Gambar 45. Penampang Bor B-B' (On Strike) ...................................................................... 97 Gambar 46. Penampang Bor C-C' (On Strike) ...................................................................... 98 Gambar 47. Skema dewatering dua tahap menggunakan titik sumur untuk menurunkan

muka air tanah di bawah dasar galian (Thomas, 2013). ..................................... 100 Gambar 48. Jenis penambangan terbuka di mana metode dewatering tingkat lanjut

digunakan. (Dari Clarke (1995), dengan izin dari IEA Coal dalam Thomas, 2013)

............................................................................................................................ 101

Page 10: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Koordinat Lokasi Penelitian ..................................................................................... 15 Tabel 2. Timeline Penelitian Skripsi ...................................................................................... 30 Tabel 3. Komposisi elemen dari beberapa tipe batubara (Susilawati, 1992) ......................... 34 Tabel 4.Pemerian Pola Pengaliran Daerah Penelitian ............................................................ 58

Tabel 5. Pemerian Peta Geomorfologi Daerah Penelitian ...................................................... 61 Tabel 6. Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian ........................................................................ 67 Tabel 7. Data Kekar Gerus LP 42 dan LP 52 ......................................................................... 80 Tabel 8. Karakteristik Batubara Daerah Penelitian ................................................................ 89 Tabel 9.Tabel pemerian sesar daerah penelitian .................................................................... 93

Page 11: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

11

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Peta Pola Pengaliran

Lampiran A1 Peta Geomorfologi

Lampiran A2 Peta Lintasan

Lampiran A3 Peta Geologi

Lampiran A4 Peta Struktur dan Cropline Batubara

Lampiran B Analisa Petrografi

Lampiran C Analisa Mikrofosil

Lampiran D Analisa Profil Composite

Page 12: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Daerah penelitian secara administratif terletak di Pulau Laut, Kabupaten

Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Menurut Satyana dkk (1995) daerah

penelitian secara fisiografi termasuk kedalam Cekungan Asem-Asem. Cekungan

Asem-asem ini terpisahkan dengan Cekungan Kutai oleh adanya Adang Flexure

atau sesar yang memisahkan Barito dengan Kutai di sebelah utara, terpisahkan

dengan Cekungan Barito oleh Pegunungan Meratus di sebelah barat. Pada bagian

Selatan, memanjang ke arah Laut Jawa hingga Tinggian Florence. Menurut Witts

dkk (2012), Cekungan Asem-Asem dan Cekungan Barito dipercaya sebagai satu

kesatuan deposenter pada Eosen yang menyambung sampai terpisah akibat

pengangkatan Pegunungan Meratus pada kala Miosen Akhir.

Menurut E. Rustandi dkk (1995) daerah penelitian termasuk dalam Peta

Geologi Lembar Kotabaru. Secara stratigrafi daerah penelitian termasuk dalam

Formasi Tanjung dengan litologi perselingan konglomerat, batupasir dan

batulempung dengan sisipan serpih, batubara dan batugamping. Bagian atas terdiri

dari batupasir dan batulempung dengan sisipan batugamping. Formasi ini berumur

Eosen dan diendapkan dilingkungan fluviatil dibagian bawah dan beralih ke delta

dibagian atas, dengan tebal formasi diperkirakan 1500m.

Menurut Thomas (2013), batubara merupakan hasil dari akumulasi

tumbuhan padat terendapkan di dalam lingkungan tertentu. Akumulasi ini

disebabkan oleh proses syn-sedimentary dan post-sedimentary yang menyebabkan

perbedaaan ranking dan struktur yang berkembang pada batubara tersebut.

Menurut Thiessen (1947) Batubara merupakan suatu sedimen organik yang

terbentuk dari pembusukan tumbuhan atau pohon yang telah mati berjuta tahun

yang lalu dan terendapkan di suatu cekungan.

Menurut Wolf (1984), Batubara adalah batuan sedimen yang dapat

terbakar, berasal dari tumbuh-tumbuhan (komposisi utama karbon, hidrogen, dan

oksigen), berwarna coklat sampai hitam, sejak pengendapannya terkena proses

kimia dan fisika yg mengakibatkan terjadinya pengkayaan kandungan karbonnya.

Page 13: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

13

Dari beberapa sumber diatas, dapat dirangkum suatu definisi yaitu: batuan

sedimen yang terbentuk dari berbagai material organik (sisa-sisa tumbuhan) dan

telah mengalami dekomposisi atau penguraian oleh adanya proses biokimia dan

geokimia sehingga sifat fisik dan sifat kimianya berubah seperti pengayaan unsur

karbon sehingga dapat terbakar.

Secara geometri, lapisan batubara hadir dengan ketebalan seragam, tetapi

ada pula yang mengalami penebalan dan penipisan. Lapisan batubara ada yang

miring atau horizontal, menerus dan tidak menerus bahkan terpatahkan. Pengertian

kemiringan, selain besarnya kemiringan lapisan juga masih perlu dijelaskan

bagaimana pola kemiringan suatu lapisan batubara. Pola kemiringan lapisan

batubara tersebut dapat bersifat menerus dan sama besarnya sepanjang cross strike

maupun on strike atau hanya bersifat setempat. Pola kemiringan lapisan batubara

tersebut juga dapat membentuk pola linier, pola lengkung, atau pola luasan (areal).

Demikian halnya dengan kemenerusan, selain jarak kemenerusan, maka faktor

pengendalinya juga perlu diketahui.

Diketahuinya secara baik geometri lapisan batubara merupakan hal yang

sangat penting di dalam penentuan sumber daya atau cadangan batubara. Pola

sebaran dan kemenerusan lapisan batubara merupakan parameter di dalam geometri

lapisan batubara. Menurut Kuncoro (2000), pola sebaran dan kemenerusan lapisan

batubara dapat hadir bervariasi, bahkan pada jarak dekat sekalipun.

Kenyataan di lapangan lapisan batubara dijumpai dalam sebaran yang tidak

teratur, tidak menerus, menebal dan menipis, dengan geometri yang bervariasi.

Oleh karena itu, pemahaman mengenai pola sebaran dan kemenerusan

lapisan batubara menjadi sangat penting. Maka perlu dilakukan penelitian

mengenai pengaruh struktur geologi terhadap pola sebaran dan kemenerusan

lapisan batubara.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk menghimpun data geologi secara

detil yang terdiri atas pola pengaliran, geomorfologi, stratigrafi, karakteristik

batubara, pengaruh struktur geologi terhadap pola sebaran batubara daerah

penelitian, data bor dan data analisis laboratorium.

Page 14: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

14

Tujuan penelitian adalah

• Menentukan kondisi geologi detil di daerah penelitian.

• Menyusun sejarah geologi di daerah penelitian.

• Mengidentifikasi karakteristik batubara di daerah penelitian.

• Mengidentifikasi pengaruh struktur geologi terhadap pola sebaran batubara

daerah penelitian.

1.3 Rumusan Masalah

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu adanya kajian, analisa,

pengindikasian, identifikasi, serta hasil penelitian yang berkaitan dengan daerah

telitian, sehingga pendekatannya harus dilakukan adanya suatu pentanyaan yang

yang nantinya dipecahkan dan mendapatkan solusi. Rumusan masalah diharapkan

memfokuskan penilitian untuk untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang

muncul. Rumusan masalah ini merupakan batasan dari penelitian yang akan

dilakukan agar kegiatan di lapangan nanti lebih terkoordinasi dan memiliki

efisiensi waktu yang baik.

Pertanyaan yang berkembang sebagai berikut :

1. Pola pengaliran

a. Pola pengaliran apa saja yang berkembang di daerah penelitian ?

b. Bagaimana keterkaitan pola pengaliran, penyimpangan aliran, tekstur,

bentuk lembah dan tempat mengalir dengan geologi di daerah penelitian?

2. Geomorfologi

a. Bentuklahan apa yang berkembang di daerah penelitian ?

b. Bagaimana aspek-aspek geomorfologi yang ada di setiap bentuklahan pada

daerah penelitian?

3. Stratigrafi

a. Litologi apa saja yang ada di daerah penelitian?

b. Satuan batuan apa saja yang ada di daerah penelitian?

c. Bagaimana persebaran satuan batuan yang ada di daerah penelitian?

d. Bagaimana hubungan stratigrafi antar satuan batuan?

4. Struktur geologi

a. Bagaimana kelurusan struktur geologi ?

b. Struktur geologi apa saja yang ada di daerah penelitian?

Page 15: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

15

c. Bagaimana keterkaitan antar struktur geologi yang ada di daerah

penelitian?

5. Studi Khusus yang berkaitan dengan pengaruh struktur geologi terhadap pola

sebaran dan kemenerusan seam batubara di daerah penelitian?

a) Bagaimana pola sebaran kemenerusan lapisan batubara di daerah telitian?

b) Faktor yang mempengaruhi pola sebaran dan kemenerusan lapisan

batubara pada daerah telitian?

c) Bagaimana hubungan antar faktor tersebut dengan pola sebaran dan

kemenerusan lapisan batubara pada daerah telitian?

1.4 Ruang Lingkup

1.4.1 Batas Daerah

Daerah penelitian dilaksanakan di area penambangan batubara PT. Sebuku

Tanjung Coal, secara administratif terletak di Jalan Raya Kotabaru, Tanjung

Serdang Km 25, Desa Sungup Kanan, Kecamatan Pulau Laut Tengah,

Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Secara astronomis lokasi

penelitian masuk ke dalam zona UTM 50 S tepatnya berada pada koordinat

berikut (Gambar 1) :

Tabel 1. Koordinat Lokasi Penelitian

X Y

1 399800 9624000

2 402500 9621000

Gambar 1. Lokasi Derah Penelitian

Page 16: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

16

1.4.2 Batas Gejala

• Geomorfologi

Pengamatan geomorfologi berdasarkan kenampakan bentuk lahan di daerah

peneletian. Umumnya geomorfologi di daerah pertambangan telah mengalami

ubahan dari manusia berdasarkan tipe tambangnya yang biasa disebut juga sebagai

bentuk lahan antropogenik.

• Litologi

Pengamatan litologi yang dilakukan meliputi pengamatan yang bersifat

makroskopis berupa singkapan ataupun core serta pengamatan yang bersifat

mikroskopis berupa sayatan petrografi dan Analisa Batubara.

• Stratigrafi (Measuring Section)

Stratigrafi menjelaskan tentang bagaimana keadaaan pengendapan batuan

di daerah penelitian. Pengambilan data stratigrafi dapat dilakukan dengan metode

measuring section (MS). Penting diketahui persebaran fasies dan bagian-bagiannya

karena akan berhubungan dengan keterdapatan batubara tersebut.

• Struktur Geologi

Struktur geologi akan berhubungan dengan proses-proses pembentukan

batubara. Struktur geologi merupakan salah satu penyebab metamorfosis organik

yang terjadi pada proses evolusi batubara.

• Tipe dan Pola Sebaran Batubara

Penentuan tipe dan pola sebaran batubara ini dapat menetukan metode

penambangan yang tepat dilakukan suatu perusahaan tambang.

• Kemenerusan Lapisan Batubara

Kemenerusan lapisan batubara merupakan jarak lapisan batubara, namun

selain jaraknya perlu diketahui faktor pengendalinya seperti dibatasi oleh proses

pengendapan, split, sesar, intrusi, atau erosi. Guna untuk mengurangi resiko dalam

kegiatan eksploitasi tambang terbuka, kestabilan lereng, dan kestabilan atap pada

operasi penambangan bawah tanah.

1.5 Hasil Penelitian

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini berupa:

1. Peta Lintasan Dan Lokasi Pengamatan Daerah Penelitian

a. Mengetahui lokasi singkapan geologi yang ada di permukaan

Page 17: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

17

b. Mengetahui lokasi struktur geologi yang ada dipermukaan

c. Mengetahui titik pengambilan sampel untuk analisa fosil dan sayatan

tipis

2. Peta Pola Pengaliran Daerah Penelitian.

a. Mengetahui bentukan aliran sungai permukaan

b. Mengatahui faktor pengontrol bentukan lahan (permukaan)

3. Peta Geomorfologi Daerah Penelitian.

a. Mengetahui bentuk asal dan bentuklahan permukaan daerah penelitian

b. Mengetahui hubungan bentuklahan dengan satuan batuan di permukaan

c. Mengetahui hubungan bentuklahan dan struktur geologi di permukaan

4. Peta Geologi Daerah Penelitian.

a. Mengetahui litologi dan penyebaran dari setiap satuan batuan

b. Sejarah geologi daerah telitian

5. Stratigrafi Daerah Penelitian.

a. Mengetahui litologi penyusun daerah telitian

b. Mengetahui hubungan antar litologi dan satuan batuan

c. Mengetahui umur dari batuan penyusun daerah telitian

d. Mengetahui lingkungan pengendapan daerah telitian

6. Penampang Stratigrafi Terukur

7. Peta Struktur geologi daerah telitian

8. Peta Pola Penyebaran dan Kemenerusan Lapisan Batubara

Hasil penelitian disajikan dalam bentuk laporan dan hasil analisis yang terdiri dari:

1. Peta pola pengaliran skala 1 : 10.000

2. Peta geomorfologi skala 1 : 10.000

3. Peta lokasi pengamatan dan lintasan skala 1 : 10.000

4. Peta geologi skala 1 : 10.000

5. Penampang stratigrafi terukur

6. Analisa struktur geologi

7. Analisa petrografi

8. Analisa mikropaleontologi

9. Laporan

Page 18: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

18

1.6 Manfaat Penelitian

1. PT. Sebuku Tanjung Coal.

Dapat memberikan informasi tentang geologi daerah telitian secara lebih

detail, terutama data mengenai tipe pola sebaran dan kemenerusan lapisan batubara

pada daerah telitian, sehingga dapat menjadi pedoman untuk industri pertambangan

batubara dalam menentukan perencanaan pengembangan dan perluasan daerah

eksplorasi. Secara khusus diterapkan di wilayah penelitian dan pada daerah yang

memiliki proses-proses dan kondisi geologi yang sama.

2. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran “ Yogyakarta

Hubungan kerjasama antara Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”

Yogyakarta dengan PT. Sebuku Tanjung Coal dalam sarana dan prasarana.

Membekali kemampuan dasar kepada mahasiswa Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Yogyakarta untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dalam

dunia kerja.

3. Mahasiswa

Melakukan proses prasyarat mahasiswa Jurusan Teknik Geologi untuk

jenjang Strata-1, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Yogyakarta. Serta mempraktekan langsung teori yang di dapat

diperkuliahan dan menerapkannya pada kondisi lapangan yang sebenarnya.

Memperoleh wawasan dan kemampuan dalam pengoptimalan pengetahuan serta

pengalaman kerja di lapangan.

4. Keilmuan

• Mengetahui kondisi geologi daerah penelitian meliputi kondisi

geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi, serta mengetahui kondisi air

tanah di daerah penelitian.

• Mampu mengaplikasikan teori yang didapat di bangku kuliah untuk

diimplementasikan secara langsung di lapangan atau di dunia kerja

Secara rinci, dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Manfaat mengenai geomorfologi

a. Diketahui satuan bentuk lahan yang ada di daerah penelitian.

b. Diketahui faktor yang mengontrol pembentukan bentuklahan di

daerah penelitian.

Page 19: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

19

c. Diketahui perbedaan antar bentuk lahan.

2. Manfaat mengenai straigrafi

a. Diketahui urutan dan hubungan stratigrafi di daerah penelitian.

b. Diketahui variasi litologi dan penyebarannya.

c. Diketahui lingkungan pengendapan dari setiap satuan batuan.

d. Diketahui pengaruhnya litologi terhadap pembentukan morfologi.

2. Manfaat mengenai struktur geologi

a. Diketahui jenis struktur geologi di daerah penelitian.

b. Diketahui pola struktur yang berkembang di daerah penelitian.

c. Diketahui pengaruh struktur terhadap pembentukan morfologi

3. Studi Khusus

a. Diketahuinya pola sebaran dan kemenerusan lapisan batubara di

daerah penelitian.

5. Bagi masyarakat

• Manfaat penelitian ini bagi masyarakat adalah memberikan informasi

geologi, meliputi kondisi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi ,

dan potensi geologi serta melengkapi data lapangan yang telah ada

sebelumnya.

6. Bagi pemerintah

• Memberikan gambaran mengenai daerah penelitian sehingga dapat

dilakukan perencanaan, kebijakan, serta pemanfaatan sumberdaya alam

di daerah tersebut.

7. Bagi peneliti

• Mengetahui prosedur pengambilan data di lapangan secara baik dan

benar.

• Mengetahui prosedur pengolahan data primer secara baik dan benar.

• Mengetahui kondisi geologi dan permasalahan geologi dari daerah

penelitian.

Page 20: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

20

BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

2.1. Metode Penelitian

2.1.1. Pemetaan Geologi Permukaan

Metode pemetaan geologi permukaan merupakan pengamatan detil

terhadap singkapan yang ditemukan di daerah penelitian. Pengamatan singkapan

dilakukan untuk memperoleh data geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi dan

data yang mendukung studi mengenai karakteristik geometri lapisan batubara.

Pengambilan data yang dilakukan berupa deskripsi lokasi, deskripsi singkapan,

deskripsi litologi, deskripsi struktur geologi meliputi pengukuran kedudukan

bidang lapisan batuan, pengukuran kekar serta sesar, dan pengambilan foto atau

sketsa singkapan.

2.1.2. Measuring Section

Metode measuring section yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan

di sepanjang lereng tambang terbuka (side-wall open pit). Metode measuring

section dilakukan untuk mengetahui dan mengidentifikasi variasi, urutan dan

penyebaran litologi secara detil di daerah penelitian.

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam kegiatan pemetaan geologi

ini yaitu pemetaan geologi permukaan dengan beberapa tahapan kegiatan antara

lain:

1. Tahap Pendahuluan

2. Tahap Akuisisi

3. Tahap Analisis dan Pengolahan Data

4. Tahap Sintesis dan Penyajian Data

Page 21: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

21

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian

2.2 Tahap Pendahuluan

Pada tahap ini terdiri dari Literatur Studi Pustaka dan Perizinan, serta

Persiapan Perlengkapan, tahap studi pustaka dimaksudkan untuk mengetahui

keadaan geologi daerah telitian dari studi literatur, jurnal, makalah, dan laporan

penelitian terdahulu. Pada tahap ini juga sebagai referensi terhadap tahapan-

tahapan yang akan dilakukan dikemudian hari. Pada tahap perizinan dan persiapan

perlengkapan merupakan tahap awal yang dilakukan sebelum melakukan penelitian

secara langsung dilapangan yang meliputi perizinan dan penentuan lokasi, studi

pustaka, serta persiapan perlengkapan lapangan yang dibutuhkan untuk mengetahui

keadaaan geologi daerah penelitian. Selama pelaksanaan tugas akhir, penulis

mempersiapkan peralatan dan segala sesuatu yang dapat mendukung kegiatan

penelitian diantara lain :

1. Perlengkapan keamanan Ketika berada dilapangan berupa sepatu safety,

helm safety dan masker safety.

2. Tas ransel dan baju lapangan

3. Peta topografii dan peta tentative

4. Kompas geologi

5. Palu geologi

6. Global positioning system (GPS)

7. Alat tulis lengkap dan buku lapangan

Page 22: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

22

8. Loupe dengan perbesaran 40

9. Komperator batuan beku dan sedimen

10. Lembar tabulasi dan lembar deskripsi batuan

11. Hcl

12. Plastik sampel dan Plastik peta

13. Meteran

14. Kamera dan parameter foto

15. Jas hujan

16. Papan jalan

2.3 Tahap Akuisisi Data Lapangan

Akuisisi data adalah suatu tahapan mengumpulkan data, dapat berupa data

sekunder ataupun primer. Tahap ini merupakan awal yang penting karena dari tahap

ini akan muncul permasalahan dan pemahaman suatu penelitian.

2.3.1. Akuisisi Data Sekunder

Adapun tahapan akuisisi data sekunder meliputi studi literatur, interpretasi peta,

interpretasi citra, dan data bor daerah penelitian untuk mengetahui aspek-aspek

awal untuk memudahkan kegiatan pemetaan.

• Studi Literatur

Sebagai langkah awal dalam penyusunan proposal ini mahasiswa

menggunakan data literatur peneliti terdahulu (data sekunder) sebagai acuan data

yang terkait dalam tahapan selanjutnya, yang meliputi:

1. Howard, 1965: menjelaskan mengenai analisis pola pengaliran dasar, pola

pengaliran ubahan, dan penyimpangan aliran. Ketiga analisis tersebut dapat

diterapkan untuk interpretasi lereng, bentuklahan, litologi, stratigrafi

terbatas, dan struktur geologi di daerah penelitian.

2. Verstappen, 1977 modifikasi Van Zuidam 1985: dasar dalam penentuan

bentukan asal menggunakan aspek- aspek geomorfologi seperti: morfologi

(morfometri dan morfografi), morfogenesa (morfo-struktur pasif, morfo-

struktur aktif dan morfo dinamik), morfokronologi dan morfoasosiasi

Page 23: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

23

(morfokonservasi) yang penulis gunakan sebagai dasar penentuan satuan

bentuklahan.

3. RA Van Zuidam, 1985: menjelaskan mengenai klasifikasi bentuk asal dan

bentuk lahan yang akan diterapkan di daerah penelitian.

4. Pettijohn, F.J., 1972: sebagai acuan untuk memaknai kenampakan

petrografi sayatan tipis batuan, serta sebagai acuan klasifikasi penamaan

batuan sedimen pembawa batubara di daerah penelitian.

5. Tucker, M.E., 2003: sebagai acuan untuk mengetahui dan menentukan ciri-

ciri fisik (warna, tekstur dan struktur sedimen) lapisan pembawa batubara

yang berhubungan dengan mekanisme sedimentasi lapisan batubara di

daerah penelitian.

6. Boggs, S. J., 2006: menjadi acuan dalam memaknai ciri fisik (warna, tekstur

dan struktur sedimen) lapisan sedimen pembawa batubara pada daerah

penelitian terutama hubungan antara struktur sedimen dan mekanisme yang

menyebabkan pembentukannya.

7. Hazred U. F., dkk., 2016: menjelaskan mengenai pengaruh tektonik dalam

perkembangan cleat pada lapisan batubara.

8. Kuncoro, 2007: menjelaskan mengenai karakteristik geometri cleat.

9. Sapiee & Rifyanto A., 2017: menjelaskan mengenai tektonik dan faktor

geologi yang mengontrol perkembangan cleat.

10. R.C. Davis et.al 2007: Menjelaskan mengenai setting tektonik batubara

Indonesia bagian barat

11. Witts, D, et.al 2011 : menjelaskan stratigrafi dan sumber sedimen

Cekungan Barito, Kalimantan Selatan

12. Witts, D, et.al 2012 : menjelaskan model pengendapan dan sumber sedimen

Formasi Tanjung, Cekungan Barito

13. Santoso, B dan Daulay, B 2008 : menjelaskan pentingnya petrologi

organik untuk tipe dan rank batubara Cekungan Asem- Asem, Kalimantan

Selatan

14. Satyana, et.al 1994 : menjelaskan reversal tektonik di Cekungan Barito

Page 24: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

24

15. Satyana, et al 1999 : menjelaskan kontrol tektonik dalam pembentukan

Cekungan Barito, Cekungan Kutei, Cekungan Tarakan dan perbedaan

utama dari cekungan tersebut.

16. Krevelen (1993): menjelaskan bahwa karakteristik batubara merupakan

fungsi dari proses pembentukan batubara. Krevelen (1993) juga membagi

1–2 karakteristik batubara menjadi dua yaitu ekstrinsinsik dan intrinsik

17. Peta Topografi Rupa Bumi Indonesia (RBI) daerah telitian (dipublikasikan

oleh Bakosurtanal)

18. Peta lembar Geologi daerah telitian, skala 1:250.000 (Oleh : E.Rustandi

dkk, 1995)

19. Data Citra seperti Digital Elevation Model (DEM), Shuttle Radar

Topography Mission (SRTM), dan Google Earth

Studi literatur ini bertujuan untuk mengetahui kondisi geologi, geomorfologi dan

tektonik daerah penelitian melalui data-data sekunder yang didapatkan.

• Interpretasi peta

Setelah mendapatkan data-data sekunder dari akumulasi data seperti Peta

Topografi Rupa Bumi Indonesia (RBI), Peta Geologi Regional, data geologi

regional, data citra kemudian dilakukan interpretasi peta ( Peta Tentatif ) berupa

peta satuan batuan tentative, peta kelurusan tentative, peta geomorfologi tentative,

rencana lintasan, peta pola pengaliran, yang diperuntukan untuk langkah awal

sebelum melakukan pemetaan lapangan, kegiatan ini bertujuan untuk memudahkan

ketika melakukan pemetaan.

2.3.2. Akuisisi Data Primer

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil pemetaan yang

dilakukan oleh peneliti, adapun data tersebut didapatkan dari hasil Observasi

Lapangan yang dilakukan sebagai pengamatan terhadap kondisi sebenarnya di

lapangan yang akan dijadikan bahan acuan dalam melaksanakan penelitian dan

penulisan laporan.

Tahap ini dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut :

1. Tahap akuisisi lintasan geologi

Pada tahapan ini dapat kita ketahui litologi yang berkembang dari daerah

penelitian sehingga nantinya kita akan menadapatkan satuan batuan daerah telitian

Page 25: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

25

tersebut. Pemataan dilakukan dengan lintasan memotong jurus lapisan batuan agar

didapatkan litologi yang berbeda–beda, dengan melintasi sungai ataupun lereng

perbukitan

2. Tahap akuisisi pengamatan pola pengaliran secara menyeluruh

meliputi :

1. Pola pengaliran dasar.

2. Pola pengaliran ubahan.

3. Penyimpangan aliran.

4. Tekstur pengaliran.

5. Bentuk lembah.

6. Tempat mengalir.

Berdasarkan hasil interpretasi pola pengaliran secara menyeluruh dapat

diketahui mengenai lereng, bentuklahan, litologi, stratigrafi terbatas, dan struktur

geologi.

3. Tahap akuisisi pengamatan bentuklahan, adapun tahap ini

menggunakan aspek-aspek geomorfologi, yaitu:

a. Pengamatan morfologi: mencangkup morfografi (bentuk) dan

morfometri (presentase luasan setiap bentuklahan pada daerah

penelitian, pengukuran dan pengamatan bentuk lereng, serta

pengukuran relief).

b. Pengamatan morfogenesa: morfostruktur aktif (endogen),

morfostruktur pasif, morfodinamik (proses eksogen).

c. Pengamatan morfoasosiasi: hubungan sekitar.

d. Pengambilan gambar setiap bentuklahan.

e. Pengambilan gambar bentuk lereng.

f. Pengukuran slope.

4. Tahap akuisisi pengamatan variasi litologi:

a. Deskripsi singkapan.

b. Sketsa singkapan .

c. Pembuatan profil.

d. Foto litologi dan soil secara close up.

Page 26: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

26

e. Pengambilan sample batuan dan soil dilakukan di setiap titik lokasi

pengamatan.

4. Tahap akuisisi pengukuran struktur geologi terdiri atas:

f. Pengukuran kedudukan lapisan batuan

g. Pengukuran dan pencatatan kekar gerus.

h. Pengukuran bidang sesar dan data gores-garis.

i. Foto bukti struktur geologi.

Berdasarkan hasil pengukuran dan pencatatan struktur geologi, maka dapat

diketahui tentang karakteristik setiap struktur geologi secara detil.

5. Pengambilan foto singkapan dan contoh batuan

Pengambilan foto digunakan untuk mendapatkan aspek aspek geologi dari

objek objek geologi secara visual dilapangan berserta pengambilan contoh batuan

sebagai bukti atas deskripsi batuan yang dilakukan sehingga menunjang data

penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.

6. Profil maupun Penampang Stratigrafi Terukur

Pengambilan profil bertujuan untuk menentukan lingkungan pengendapan

suatu batuan. Dengan mengambil data struktur, tekstur, dan komposisi mineral dari

urut-urutan lapisan batuan tersebut. Sedangkan data penampang stratigrafi terukur

digunakan sebagai batas satuan batuan, analisis umur, dan lingkungan pengendapan

berdasarkan analisis mikropaleontologi.

7. Pengambilan Foto Bentang alam maupun Stadia Sungai

Pengambilan foto digunakan untuk mendapatkan aspek aspek geomorfologi

dari objek objek geomorfologi secara visual dilapangan berserta pengambilan foto

stadia sungai sehingga menunjang data penelitian yang dapat

dipertanggungjawabkan.

8. Tahap Akuisisi Tahap Studi Khusus

Pengamatan kenampakan seam batubara dilapangan terhadap persebarannya, dan

pengaruhnya terhadap struktur geologi.

2.4. Tahap Analisis dan Pengolahan Data

Pada tahapan ini penyusun melakukan pengumpulan data dari hasil kegiatan

pemetaan / kegiatan sebelumnya dan melakukan beberapa analisa laboratorium /

studio pada sampel dan data yang didapat, analisa yang dilakukan antara lain:

Page 27: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

27

2.4.1. Pembuatan Peta Lintasan Dan Lokasi Pengamatan

Merupakan hasil pengolahan dari peta lintasan dan lokasi pengamatan

lapangan yang kemudian dianalisis sehingga pengeplotan sudah berdasarkan warna

satuan berdasarkan data yang didapat dilapangan yang dilengkapi data kedudukan,

sampel batuan, foto singakapan batuan dan hasil analisis lainnya seperti analisis

petrografi, dan lainnya. Sehingga dapat mempermudah ketika mau menarik menjadi

peta geologi daerah telitian.

2.4.2. Pembuatan Peta Geomofologi dan Penampang Geomorfologi

Merupakan kesimpulan akhir dari hasil analisis geomorfologi yang

dilakukan sebelum penelitian lapangan, sehingga dilapangan hanya memastikan

hasil interpretasi awal yang dikaitkan dengan aspek geologi lainnya seperti litologi,

struktur geologi, dan sebagainya.

2.4.3. Pembuatan Peta Geologi dan Penampang Geologi

Merupakan hasil penarikan berdasarkan data peta lintasan dan lokasi

pengamatan yang dilakukan dan didukung dengan berbagai analisis baik itu analisis

petrografi, analisis struktur geologi, analisis log sedimentologi dan hal lainnya yang

berkaitan dengan peta geologi

2.4.4. Analisis Pola Pengaliran

Merupakan kesimpulan akhir dari analisis awal sebelum tahap penelitian

lapangan yang mengaitkan dengan unsur-unsur geologi lain, dan didapat

berdasarkan perhitungan kuantitatif agar menguatkan data yang awalnya hanya

interpretasi berdasarkan analisis kualitatif

2.4.5. Analisa Petrografis

Mengidentifikasi karakteristik batuan untuk mengetahui nama batuan, baik

dari aspek mineralogi, tekstur, serta perkembangan proses-proses diagenesa yang

telah berlangsung. Analisis petrografi ditujukan untuk mengetahui nama batuan

melalui sayatan tipis batuan guna meyakinkan penamaan batuan di lapangan yang

terbatas akan alat-alat yang digunakan di lapangan.

Adapun beberapa klasifikasi yang penulis gunakan dalam menentukan

penamaan batuan yaitu pada batuan beku menggunakan klasifikasi William (1954),

pada batuan sedimen klastik menggunakan klasifikasi Gilbert (1954 & 1975), pada

Page 28: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

28

batuan karbonat menggunakan klasifikasi Dunham (1962), sedangkan pada batuan

metamorf menggunakan klasifikasi Winkler (1979).

2.4.6. Analisa Mikropaleontologi

Analisis fosil dilakukan menggunakan mikrofosil foram plankton untuk

mengetahui penamaan fosil dan sebagai analisis penentu umur relatif dan

lingkungan batimetri dareah penelitian terkait.

Adapun klasifikasi yang digunakan dalam menentukan yaitu berdasarkan

penamaan foraminifera plankton dengan menggunakan zonasi Blow (1969) dalam

pengumurannya. Sedangkan pada penentuan lingkungan batimetri yang pertama

yaitu menggunakan penamaan foraminifera bentos dengan menggunakan Barker

(1960). Selain itu penentuan lingkungan batimetri mengguanakan ratio plankton

terhadap bentos denga menggunakan tabel kedalaman terhadap ratio berdasarkan

Grimsdale dan Mark Hoven (1955).

2.4.7. Analisis Data Struktur Geologi

Mengidentifikasi struktur yang bekerja, perkembangan arah umum dari

kekar-kekar, serta mengetahui tegasan utama dan menentukan jenis sesar dan

proses struktur yang berkembang. Analisis struktur geologi meliputi analisis kekar,

sesar dan lipatan menggunakan metode stereografis. Berdasarkan kumpulan data

kekar pada seluruh lokasi, data tersebut diolah menjadi data arah umum yang

nantinya dianalisis menggunakan prinsip diagram blok kekar bertujuan untuk

mendapatkan tegasan terbesar. Pada analisis sesar bertujuan untuk menentukan arah

pergerakan sesar dan penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard (1972). Pada

analisis lipatan digunakan klasifikasi penamaan berdasarkan kalsifikasi Rickard

(1972).

2.4.8. Analisis Data Measuring Section

Mengidentifikasi litologi yang berada didaerah penelitian, terutama

persebaran dari seam batubara, kemudian dikorelasikan terhadap lintasan lainnya.

Kemudian menyimpulkan persebaran seam batubara terhadap pengontrolnya, yaitu

struktur geologi. Selain itu, data measuring section yang dikorelasikan dengan data

bor, dan pemetaan geologi serta penampang geologi, dapat menentukan tebal dan

pola persebaran seam batubara.

Page 29: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

29

2.5. Tahap Sintesis dan Penyajian Data

Tahap terakhir yaitu tahap penyelesaian yaitu berupa hasil dari seluruh

pengolahan data yang nantinya disimpulkan melalui satu interpretasi sejarah

geologi daerah terkait yang disajikan melalui laporan resmi dan peta-peta.

Peta yang dihasilkan adalah peta pola pengaliran, peta lintasan dan lokasi

pengamatan, geomorfologi, geologi.

2.5.1. Geomorfologi

Kenampakan geomorfik pada daerah penelitian didapatkan dari integrasi data

pra-lapangan (interpretasi kenampakan geomorfik pada citra satelit Google Earth,

juga didukung dengan Peta RBI skala 1:10.000 dengan bantuan DEM) dan hasil

tinjau lapangan (field check). Output yang dihasilkan berupa peta geomorfologi

beserta penampang geomorfologi daerah penelitian

2.5.2. Stratigrafi

Stratigrafi daerah penelitian diketahui dari hasil analisis stratigrafi

(measuring section dan composite profile). Urut-urutan stratigrafi, sebaran, serta

hubungan antar satuannya ditunjukkan dalam peta geologi dan penampang geologi

daerah penelitian.

2.5.3. Struktur Geologi

Struktur geologi daerah penelitian diketahui dari hasil analisis struktur

geologi (integrasi antara hasil interpretasi kelurusan pada Peta RBI skala 1:10.000

dengan bantuan data DEM dan juga data hasil analisis stereografis). Struktur-

struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitan ditunjukkan oleh peta

geologi dan penampang geologi daerah penelitian.

2.5.4. Pengontrol Persebaran Seam Batubara

Persebaran seam batubara daerah penelitian diketahui dari hasil data bor,

pemetaan geologi dan measuring section. Keberadaan seam batubara tersebut

kemudian dikorelasikan dengan data bor, pemetaan geologi dan measuring section

untuk mengetahui persebarannya, sehingga dapat disimpulkan pengaruh struktur

geologi terhadap persebaran batubara

2.6. Rencana Jadwal Penelitian

Waktu penelitian skripsi ini dimulai dari bulan Desember 2020 - September

2021 yang dilaksanakan di PT. Sebuku Tanjung Coal, dengan melalui beberapa

Page 30: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

30

tahapan seperti pendahuluan, akuisisi data lapangan, analisis dan pengolahan data,

serta sintesis dan penyajian data. Timeline penelitian skripsi dapat dilihat pada

(Tabel 2.1)

Tabel 2. Timeline Penelitian Skripsi

Page 31: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

31

BAB III

DASAR TEORI

3.1. Definisi Batubara

Menurut Thomas (2013), batubara merupakan hasil dari akumulasi

tumbuhan padat terendapkan di dalam lingkungan tertentu. Akumulasi ini

disebabkan oleh proses syn-sedimentary dan post-sedimentary yang menyebabkan

perbedaaan ranking dan struktur yang berkembang pada batubara tersebut.

Menurut Thiessen (1947) Batubara merupakan suatu sedimen organik yang

terbentuk dari pembusukan tumbuhan atau pohon yang telah mati berjuta tahun

yang lalu dan terendapkan di suatu cekungan.

Menurut Wolf (1984), Batubara adalah batuan sedimen yang dapat

terbakar, berasal dari tumbuh-tumbuhan (komposisi utama karbon, hidrogen, dan

oksigen), berwarna coklat sampai hitam, sejak pengendapannya terkena proses

kimia dan fisika yg mengakibatkan terjadinya pengkayaan kandungan karbonnya.

Dari beberapa sumber diatas, dapat dirangkum suatu definisi yaitu:

batubara merupakan batuan sedimen yang terbentuk dari berbagai material organik

(sisa-sisa tumbuhan) dan telah mengalami dekomposisi atau penguraian oleh

adanya proses biokimia dan geokimia sehingga sifat fisik dan sifat kimianya

berubah seperti pengayaan unsur karbon sehingga dapat terbakar.

3.2 Genesa Batubara

Genesa pembentukan batubara menurut (Krevelen, 1993) yaitu

1. Teori In-situ

Dalam teori ini, batubara akan terbentuk disaat tumbuhan tersebut tumbuh

dan mati, di letak yang sama / tanpa mengalami transportasi. Batubara yang

dihasilkan dari proses ini memiliki kualitas yang baik. Penyebaran batubara jenis

ini sifatnya merata dan luas.

2. Teori Drift

Bahan pembentuk batubara teori ini, berasal dari bukan tempat batubara itu

terbentuk atau telah mengalami transportasi, terakumulasi, tertutup oleh sedimen,

dan terjadi proses coalification. Batubara yang terbentuk sesuai dengan teori drift

biasanya terjadi di delta, mempunyai ciri-ciri lapisan batubara tipis, tidak menerus

(splitting), banyak lapisannya (multiple seam), dan banyak pengotor (kandungan

Page 32: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

32

abu cenderung tinggi). Batubara dengan proses drift penyebarannya tidak luas tetapi

banyak dan kualitasnya kurang baik

Menurut (Stach, 1982) dalam (Susilawati 1992), Proses pembentukan

batubara terbagi menjadi 2 yaitu proses humification / peatification dan

coalification

1. Proses humification / peatification (humifikasi / penggambutan)

Proses penggambutan adalah proses yang terjadi pada daerah yang memiliki

kondisi basah, ketika tumbuhan mati, akan mengalami dekomposisi dan

pembusukan akibat adanya organisme. Organisme seperti jamur, serangga atau

organisme dan bakteri aerobic lainnya akan bekerja ketika tumbuhan mati belum

tertimbun oleh material sedimen, ketika tumbuhan mati tersebut tertutup oleh

sedimen, maka organisme anaerobic akan menggantikannya, sehingga tumbuhan

tersebut membusuk dan melepaskan unsur H,N,O dalam bentuk senyawa CO2,H20

dan NH3 untuk menjadi humus, setelah itu bakteri anaerobic dan jamur

mengubahnya menjadi gambut.

Gambar 3 Proses pembentukan batubara (Stach, 1982, di dalam Susilawati 1992).

2. Proses coalification (Pembatubaraan)

Setelah proses pembentukan gambut, gambut yang tertutup oleh sedimen

di atasnya akan mengalami proses coalification. Menurut Stach (1982) dalam

Susilawati (1992), proses ini terbagi menjadi dua tahap yaitu tahapan biokimia dan

geokimia. Pada proses ini, unsur karbon akan meningkat, sedangkan unsur

hydrogen dan oksigen berkurang (Fischer 1927, dalam Susilawati 1992), hal

Page 33: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

33

tersebut terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya,

temperature, tekanan dan waktu. Temperatur dan tekanan memiliki peran penting

dalam memperepat proses reaksi dan menghasilkan unsur gas. Proses ini akan

menghasilkan perbedaan tingkat kematangan pada batubara, sehingga memiliki

derajat kematangan yang berbeda (Gambar 4)

Gambar 4. Skema pembentukan batubara (Susilawati 1992)

Berdasarkan skema diatas, dari atas kebawah memiliki derajat kematangan

yang semakin matang.

1. Lignit (brown-coal)

Merupakan tingkatan batubara yang paling rendah, dan umumnya digunakan

sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik (Tabel 3).

2. Sub-bituminus

Umum digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga uap. Sub-bituminous juga

merupakan sumber bahan baku yang penting dalam pembuatan hidrokarbon

aromatis dalam industri kimia sintetis (Tabel 3).

3. Bituminus

Mineral padat, berwarna hitam dan kadang coklat tua, sering digunakan dalam

pembangkit listrik tenaga uap (Tabel 3).

4. Antrasit

Merupakan jenis batubara yang memiliki kandungan paling tinggi dengan struktur

yang lebih keras serta permukaan yang lebih kilau dan sering digunakan keperluan

rumah tangga dan industri (Tabel 3).

Page 34: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

34

Tabel 3. Komposisi elemen dari beberapa tipe batubara (Susilawati, 1992)

3.2.1. Faktor Pembentuk Batubara

Menurut Schlatter dalam Bambang Kuncoro, 1996 ada 10 faktor yang

mempengaruhi pembentukan batubara, faktor-faktor tersebut adalah:

1. Posisi Geotektonik

Pengaruh geotektonik dalam pembentukan batubara terletak pada tempat

pembentukan terhadap intensitas tektonik, karena akan membentuk iklim lokal,

morfologi cekungan pengendapan batubara maupun kecepatan penurunannya, dan

proses metamorfosa batubara setelah pengendapan berakhir.

2. Topografi

Topografi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting

karena menentukan penyebaran rawa-rawa dimana batubara tersebut terbentuk.

Topografi mungkin mempunyai efek yang terbatas terhadap iklim dan

keberadaanya bergantung pada posisi geoteknik. Bentuk muka bumi yamg berupa

cekungan akan sangat berpengaruh dan dapat menentukan arah penyebaran

batubara.

3. Iklim

Keberadaan memegang peranan penting dalam pembentukan batubara dan

merupakan faktor pengontrol pertumbuhan flora dan kondisis yang sesuai. Iklim

tergantung pada posisi geografi dan lebih luas lagi dipengaruhi oleh posisi

geoteknik. Temperatur yang lembab pada iklim tropi sdan subtropis pada umumnya

sesuai untuk pertumbuhan flora dibandingkan wilayah yang lebih dingin. Pada

iklim tropis atau subtropis umumnya akan membentuk batubara yang mengkilap,

sedangkan pada daerah yang lebih dingin batubara terbentuk lebih kusam.

Page 35: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

35

4. Tumbuhan (Flora)

Flora merupakan unsur utama pembentuk batubara yang tumbuh pada masa

Karbon dan Tersier terdiri berbagai jenis tumbuhan. Pertumbuhan dari flora

terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dengan iklim dan topografi

tertentu. Dekomposisi Dekomposisi flora merupakan transformasi biokimia dari

organik yang merupakan titik awal untuk seluruh altersi, bila tumbuhan tertutup air

dengan capat maka pembusukan tidak akan terjadi tetapi akan di integrasiatau

penguraian hewan mikrobiologi, bila tumbuhan yang mati berada di udara terbuka

maka kecepatan pembentukan gambut akan berkurang sehingga bagian keras saja

yang tertinggal.

5. Penurunan Cekungan

Penurunan cekungan batubara dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik, jika

penurunan dan pengendapan gambut seimbang maka akan menghasilkan lapisan

batubara yang tebal. Pergantian transgresi dan regresi akan mempengaruhi

pertumbuhan flora dan pengendapannya yang menyebabkan adanya infiltrasi

material dan mineralnya, hal ini mempengaruhi kualitas batubara yang terbentuk.

6. Umur geologi

Merupakan umur formasi pembawa lapisan batubara. Proses geologi

menentukan berkembangnya evoluasi kehidupan berbagai macam tumbuhan,

berpengaruh pada sejarah pengendapan batubara dan metamorfosa organik. Dimana

makin tua umur pembawa lapisan batubara maka akan semakin tinggi nilai

kalorinya.

7. Sejarah

Setelah pengendapan, sejarah cekungan batubara secara luas bergantung

pada posisi geoteknik yang mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan

batubara. Secara singkat terjadi proses biokimia dan metamorfosa organik sesudah

pengendapan gambut, secara geologi intrusi menyebabkan terbentuknya struktur

cekungan batubara berupa perlipatan, sesar, intrusi. Terbentuknya batubara pada

cekungan batubara umumnya mengalami defornasi oleh gaya tektonik, yang akan

menghasilkan lapisan batubara dengan bentuk-bentuk tertentu. Disamping itu

adanya erosi yang intensif menyebabkan bentuk lapisan batubara tidak menerus.

8. Metamorfosa organic

Pada tingkat penimbunan oleh sedimen baru, proses degradasi biokimia

tidak berperan lagi tidak di dominasi oleh proses dinamokimia yang menyebabkan

Page 36: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

36

perubahan gambut menjadi batubara dan menjadi berbagai macam. Selama Proses

ini terjadi pengurangan air lembab, oksigen, zat terbang, serta bertambahnya

prosentase karbon padat, belerang dan kandungan abu.

3.3 Lingkungan Pengendapan

Lingkungan pengendapan adalah lingkungan yang kompleks yang

disebabkan interaksi antara faktor-faktor fisika, kimia dan biologi dimana sedimen

diendapkan Koesoemadinata (1981).

Penentuan lingkungan pengendapan di daerah penelitian ini mengacu dari

Horne (1978), penentuan model ini didasarkan pada data-data hasil analisis struktur

sedimen dan komposisi batuan. Berikut penjelasan lengkapnya

Gambar 5. Model lingkungan pengendapan batubara di daerah delta (Horne,1978)

1. Lingkungan Lower Delta Plain

Batubara pada lingkungan ini mempunyai ciri-ciri tipis dan terbelah (split)

oleh sejumlah endapan levee. Sebaran lapisan batubara cenderung menerus

sepanjang jurus pengendapan. Selain itu, mudah tergenang air laut atau payau

sehingga kandungan sulfurnya tinggi.

Page 37: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

37

2. Lingkungan Transitional Lower Delta Plain

Pada lingkungan ini batubara yang terbentuk relatif tebal, tersebar meluas

sejajar arah pengendapan namun kemenerusan lapisan sering terpotong oleh

channel. Kandungan sulfur sedikit rendah, zona ini mengandung fauna air payau

sampai fauna marin serta struktur burrow yang meluas. Melihat ciri – ciri dari pada

lingkungan transitional lower delta plain, maka lokasi penelitian termasuk di

dalamnya.

3. Lingkungan Barier

Lingkungan ini didominasi oleh batupasir. Kearah laut, butiran batupasir

menjadi lebih halus dan selang-seling dengan serpih gampingan yang berwarna

merah kecoklatan sampai hijau. Batuan karbonat dengan fauna laut kearah darat

bergradasi menjadi serpih berwarna abu-abu gelap sampai hijau tua yang 20

mengandung fauna-fauna air payau. Adanya pengaruh gelombang dan pasang

surut, mengakibatkan batupasir lebih bersih dan memiliki sortasi lebih baik dari

lingkungan sekelilingnya

4. Lingkungan Back Barier

Penyusun utama lingkungan ini adalah urutan perlapisan serpih abuabu

gelap yang kaya bahan organik dan batulanau yang terus diikuti oleh batubara yang

secara lateral tidak menerus dan zona siderit yang berlubang. Batubara yang

terbentuk tipis, penyebaran lateral dan kandungan sulfur tinggi, arah lapisan tegak

lurus pengendapan. Lapisan batubara pada top (roof) cenderung keras sehingga

sulit ditambang. Umumnya mengandung fauna laut atau air payau.

5. Lingkungan Upper Delta Plain-Fluvial

Lingkungan pengendapan ini memiliki batubara yang diendapkan dalam

bentuk belt sebagai ciri di daerah dataran banjir atau meandering. Bentuk lapisan

batubara relatif sejajar terhadap arah kemiringan cekungan pengendapan. Bentuk

kemenerusannya kurang baik dibanding dengan batubara pada ”lower delta plain’,

karena bentuk aliran sungai tidak beraturan maka ketebalan lapisan batubara

berubah-ubah dalam selang jarak yang dekat, serta memiliki kandungan sulfur

yang rendah.

Page 38: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

38

3.4 Struktur Sesar Post Genetik

Thomas (2013) menganggap bahwa segala perubahan struktural yang

signifikan baik secara lateral maupun vertikal memiliki hubungan langsung dengan

ketebalan, kualitas, serta kegiatan penambangan, perubahan tersebut dapat terjadi

dalam skala kecil maupun besar, berefek pada karakter internal batubara, atau dapat

mengganti spasi batubara dengan sedimen bukan batubara atau dalam keadaan

tertentu dengan intrusi batuan beku. Mengerti struktur geologi dalam lapisan

batubara sangat penting dalam kegiatan penambangan dan perhitungan cadangan

karena dapat membantu menganalisis korelasi stratigrafi.

Perkembangan kekar yang kuat dan pola sesar dalam sikuen pembawa

batubara adalah hal yang paling sering terbentuk dalam ekspresi struktur dalam

sikuen pembawa batubara. Sesar dan lipatan juga berpengaruh terhadap cleat

ditunjukkan oleh perbedaan jumlah frekuensi cleat di zona sesar paling besar,

kemudian semakin kecil di sayap curam dan di sayap landai. Akibat perbedaan

jumlah frekuensi cleat tersebut, maka derajat fragmentasi batubara beragam.

Batubara di zona sesar terfragmenkan, di sayap curam agak terfragmenkan,

sedangkan di sayap landai kurang terfragmenkan (Kuncoro, 2012).

3.4.1 Jenis Sesar

Terdapat 3 macam sesar Post-Genetik (Thomas,2013), yaitu:

a. Sesar Normal

Sesar ini terbentuk karena adanya dominasi tekanan vertikal yang

menyebabkan pengurangan kompresi horizontal, membuat gravitasi sebagai

ekstensi horizontal di sikuen batuan. Pembentukan sesar merupakan hal yang wajar,

dan pergerakan dapat terjadi sepanjang beberapa meter hingga ratusan meter. Sesar

ini dapat menghentikan kegiatan penambangan secara lokal maupun total karena

adanya pergeseran dalam kemenerusan sesar. Kemiringan sesar normal biasanya

berkisar antara 60-70°. Beberapa sesar normal berhenti kelurusannya karena

berkurangnya throw dalam sesar. Sesar juga dapat terbentuk menjadi monoklin

yang lentur, terpisah diatas lapisan yan lebih lunak. Sesar juga membentuk seretan

dalam bidang sesar, batuan asal dapat tercungkil searah dengan pergerakan sesar.

Disaat sesar besar tergeser jauh, dan ini terjadi dalam segala sesar, zona yang

menggerus batuan dan batubara akan melebar sejajar dengan bidang sesar dan

dengan jarak beberapa meter, seperti zona hancuran yang dilihat di pertambangan

di Inggris (Gambar 6)

Page 39: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

39

Gambar 6. Zona sesar besar yang terlihat di high wall dalam tambang terbuka di South Wales,

Inggris Raya (Thomas, 2013)

b. Sesar Naik

Sesar ini terbentuk karena adanya tekanan secara horizontal dengan

kompresi vertikal yang lebih lemah. Sesar naik dengan sudut besar biasanya

merupakan struktur besar yang berasosiasi dengan pengangkatan regional dan

bersamaan dengan aktivitas magmatic. Dalam geologi batubara, sesar naik dengan

sudut yang kecil (<45) lebih signifikan. Tipe sesar naik dapat dilihat di gambar 7.

dimana sesar membuat lapisan batubara mengalami dislokasi sebesar beberapa

meter. Saat sudut sangat kecil, dan perpindahan lateral sangat terlihat, seperti dalam

thrust fault. Bentuk dari sesar naik dengan sudut kecil dikontrol oleh faktor alam

dari batuan yang tersesarkan, terutama saat bidang gerus mengikuti bidang sesar

(tidak tegak lurus).

Page 40: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

40

Gambar 7.Lapisan Batubara terdislokasi karena sesar naik dengan throw 1.5 meter, tambang

terbuka Inggris (Thomas, 2013)

c. Sesar Mendatar

Sesar mendatar memiliki tegangan maksimal dan minimal di dua bidang

horizontal. Hal ini dapat menyebabkan pergerakan secara horizontal searah jarum

jam (dextral) atau berlawanan arah jarum jam (sinistral). Sesar mendatar kadang

ditemukan dalam skala regional dan meski penting, sesar ini hanya sedikit

berpengaruh dalam analisis endapan batubara. Bukti sesar di batuan dapat dilihat di

kekar gerus, dimana garis di bidang sesar parallel terhadap pergerakannya. Kadang

bidang sesar bentuknya telah tergerus secara khas dimana batubara tingkat tinggi

terkompresi sejajar dengan bidang sesar. Garis kerucut adalah perkembangan dalam

batubara, dan sering disebut cone-in-cone structures, dan merupakan hasil dari

kompresi antara bagian atas dan bawah batubara. Respon batubara di daerah yang

rapuh terhadap penambahan deformasi oleh gerakan yang hancur dan perpindahan

subsekuen bersamaan dengan penambahan rekahan (Frodsham dan Gayer 1999,

dalam Thomas, 2013).

Di daerah tambang yang telah terdeformasi secara tektonik, dan di tambang,

merupakan hal yang penting bahwa penilaian cepat dari pergerakan fisik batubara

dapat dibuat. Penilaian secara visual dari keberadaan batubara dapat dibuat dengan

sampel hand specimen, sampel core, dan observasi outcrop. Indeks struktur rata-

Page 41: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

41

rata dapat digunakan untuk menilai kekuatan deformasi batubara relatif dan

frekuensi kekar di spesimen.

3.4.2 Ciri Sesar

Ciri-ciri dan indikasi sesar sering ditemukan di sepanjang bidang patahan

dan akan berguna untuk menentukan arah dan besar pergerseran batuan. Slickenside

terbentuk karena adanya gesekan dari pergerakan batuan yang mungkin terlihat

samar-samar dan dapat mencatat gerakan minor serta rekaman gerakan terakhir

patahan dengan mengamati netslip. Terdapat kerutan di sekitar bidang patahan

dengan panjang yang bervariasi yang sering disebut dengan mullion. Selain kerutan

terdapat pula breksi sesar yang terdiri dari fragmen batuan angular dengan matriks

pasiran serta ada pula gouge yang berbentuk seperti lempung. Breksi sesar dan

gouge ini terbentuk karena adanya gesekan antar batuan yang bergerak dalam

bidang sesar. Pergerakan di sepanjang bidang sesar dapat menyebabkan lapisan

batuan yang dekat dengan zona sesar terbengkokkan atau terlipat berdasarkan gores

garis pada sesar. Lipatan tersebut dinamakan drag meskipun tidak semua sesar

menghasilkan drag; meski begitu, di beberapa sesar terpotong secara rapi. Batubara

juga dapat terlipat karena sifatnya yang rapuh. Sebagian besar sesar normal tidak

menunjukkan drag karena blok sesar tertarik menjauh karena gaya ekstensi,

sehingga gesekan berkurang.

3.4.3 Efek Sesar Terhadap Batubara

Terdapat efek sesar terhadap batubara, termasuk perpindahan fisik lapisan

batubara, mengurangi stabilitas tanah dalam penambangan, membuka rekahan

sebagai celah air dan gas masuk kedalam lapisan batubara, dan perubahan

kandungan mineral

Sesar naik dapat menyebabkan seretan sepanjang bidang patahan, sehingga

batuan sekelilingnya juga bergeser sepanjang arah pergeseran dari sesar tersebut.

Apabila berupa sesar besar, maka sesar tersebut dapat menggeser seluruh lapisan

batuan dan batubara hingga beberapa meter, dimana zona sesar tersebut berupa

bidang hancuran dan bias terlihat di high wall tambang batubara terbuka.

Dalam sikuen batubara, seatearth, dan mudstone, dengan sisipan batupasir,

sesar dengan sudut kecil seringkali mengikuti batas atas dan/atau batas bawah

lapisan batubara untuk mengurangi pergerakan, seatearth kadang berperan sebagai

pelumas. Salah satu efek negatif dari pergerakan ini adalah kontaminasi batubara

Page 42: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

42

dengan batuan asal sehingga mengurangi kualitas, dan dalam beberapa kasus adalah

penembangan.

Daerah endapan batubara dengan aktivitas tektonik tinggi, beberapa kontak

lapisan batubara bergerak dan terkikis, dalam beberapa kasus seluruh lapisan akan

terkompresi dan berpindah, hal ini mungkin dapat dilihat di batubara sebagai

arcuate shear planes throughout. Pengembangan zona tunjaman dalam sikuen

batubara dapat dilihat di gambar 8, dimana kompresi lateral dapat membentuk

thrusting bersamaan dengan horison litologi dan lanjutan kompresi ini membentuk

bagian atas sikuen yang lebih terganggu dibandingkan bagian bawahnya yang

sering disebut dengan progressive easy-slip thrusting. Keadaan ini sering

ditemukan dalam lapangan batubara. Thrusting juga tertekan saat sikuen batubara

dan batulempung membentuk sandwich antara bagian batuan klastik yang tebal

serta daerah atas dan bawah sikuen terhadap bagian terendah sikuen bereaksi

terhadap gaya kompresi sedikit berbeda terhadap ketidakmampuan batubara dan

dan batulempung.

Gambar 8. Model empat tahapan dalam progressive easy-slip thrusting.

(a) Thrust berkembang secara simultan saat datar bersamaan dengan bagian bawah

lapisan batubara dengan tekanan tinggi, memotong bagian atas lapisan batubara,

lipatan mulai berkembang dalam zona thrust; (b) Thrust kembali menyebar dengan

pelebaran lipatan miring di daerah teratas thrust; (c) Pergerakan sikuen masih

berlanjut di daerah thrust tertinggi yang menyebabkan patahnya thrust di area

hanging wall dan footwall, thrust secara lokal memotong stratigrafi di daerah

transport. (d) sikuen hanging wall yang maju ke belakang membentuk geometri

yang jelas dengan struktur di daerah thrust terendah menjadi tidak terhubung

Page 43: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

43

terhadap bagian tertinggi thrust. Footwall yang terpisah membentuk sesar naik yang

terlipat. (Gayer, dkk,1991 dalam Thomas 2013)

3.4.3 Kekar

Kekar adalah retakan pada batuan yang sedikit atau tidak sama sekali

mengalami pergeseran, retakan yang terjadi gaya tekanan disebut “shear fractures”

dan yang terjadi karena gaya tarikan disebut “tension fractures” (Dennis, 1979).

Sedangkan Billings (1972), membagi kekar tarikan kedalam “extension joints” dan

“release joints”. Berdasarkan karakteristiknya kekar dapat dibedakan menjadi:

• Kekar tekanan : rapat, lurus, memotong semua lapisan batuan, biasa

berpasangan jika terisi kuarsa kristalnya kurang baik.

• Kekar tarikan : tidak rapat, batas retakan relatif tidak rata, kuarsa yang

mengisi kristalnya baik, tidak berpasangan.

Kekar-kekar tersebut terbentuk oleh adanya tegasan yang bekerja pada batuan,

dimana tegasan tersebut berupa tegasan utama terbesar, tegasan utama menengah

dan tegasan utama terkecil. Tegasan utama terbesar akan membagi sudut lancip

kedua shear joint sama besar, sedangkan tegasan utama terkecil akan membagi

sudut tumpul kedua shear joint sama besar.

Gambar 9. Hubungan pembentukan kekar dengan arah tegasan ( Twiss dan Moores, 1992)

3.4.3 Sesar

Sesar atau patahan adalah rekahan pada batuan yang telah mengalami

pergeseran melalui bidang rekahnya. Sesar merupakan patahan/rekahan tunggal

atau suatu zona pecahan padakerak bumi bersamaan dengan terjadinya pergerakan

yang cukup besar, paralel dengan rekahan atau zona pecahan. Suatu permukaan,

sisi, atau dinding yang bergeser melewati dinding lain akan mengakibatkan

Page 44: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

44

kerusakan dan bergesernya struktur batuan yang sebelumnya menerus tepat pada

sesar. Maka, sebuah sesar adalah bergesernya struktur batuan yang disebabkan oleh

massa batuan yang slip satu sama lain disepanjang bidang atau zona rekahan. Sesar

adalah patahan/rekahan shear (shear fracture), dan istilah shearing sering kali

digunakan sebagai sinonim untuk pensesaran.

Sesar terdapat pada batuan yang paling keras dan kuat, seperti granit, dan

pada batuan yang lebih lunak serta material bumi yang tidak seragam, seperti pasir

dan lempung, sesar terdapat dimana-mana, paling tidak pada beberapa ukuran,

sepanjang bagian kulit terluar bumi yang masih dapat dilihat. Sesar memiliki

anatomi (unsur-unsur dalam sesar) sebagai berikut :

1. Bidang sesar (fault plane) adalah suatu bidang sepanjang rekahan dalam

batuan yang tergeserkan.

2. Jurus sesar (strike) adalah arah dari suatu garis horizontal yang merupakan

perpotongan antara bidang sesar dengan bidang khayal horizontal.

3. Kemiringan sesar (dip) adalah sudut antara bidang sesar dengan bidang

khayal horizontal dan diukur tegak lurus jurus sesar.

4. Atap sesar (hanging wall) adalah blok yang terletak diatas bidang sesar

apabila bidang sesar tidak vertikal.

5. Foot wall adalah blok yang terletak dibawah bidang sesar.

6. Heave adalah komponen horizontal dari slip / separation, diukur pada

bidang vertikal yang tegak lurus jurus sesar.

7. Throw adalah komponen vertikal dari slip/separation,diukur pada bidang

vertikal yang tegak turus jurus sesar.

8. Slickensides yaitu permukaan sesar yang memperlihatkan mineral-mineral

fibrous yang sejajar terhadap arah pergerakan.

Page 45: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

45

Gambar 10. Komponen geometri bidang sesar ( Twiss dan Moores, 1992)

Berdasarkan sifat pergeserannya menurut Twiss dan Moores (1992) sesar dapat

dibagi menjadi dua yaitu :

1. Pergeseran Semu, merupakan jarak tegak lurus antara bidang yang terpisah

oleh gejala sesar dan diukur pada bidang sesar. Komponen dari separation

diukur pada arah tertentu, yaitu sejajar jurus (strike separation) dan arah

kemiringan sesar (dip separation). Sedangkan total pergeseran semu ialah

net separation

2. Pergeseran Relatif Sebenarnya ( Slip ), merupakan pergeseran yang diukur

dari blok satu ke lainnya pada bidang sesar dan merupakan pergeseran titik

yang sebelumnya berhimpit. Total pergeseran disebut Net Slip

Gambar 11. Klasifikasi sesar berdasarkan pergerakan semu (separation slip) ( Twiss dan Moores,

1992)

Page 46: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

46

Gambar 12. Klasifikasi sesar berdasarkan pergerakan relatif sebenarnya (net slip) ( Twiss dan

Moores, 1992)

Menurut Anderson (1951) berdasarkan pola tegasannya ada 3 (tiga) jenis sesar,

yaitu sesar naik (thrust fault), sesar normal (normal fault) dan sesar mendatar

(wrench fault)

1. Sesar turun jika tegasan utama atau tegasan maksimum pada posisi vertical

2. Sesar naik jika tegasan minimum pada posisi vertikal

3. Sesar mendatar jika tegasan menengah pada posisi vertical

Gambar 13. Klasifikasi sesar berdasarkan pola tegasan (Anderson 1951)

Page 47: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

47

BAB IV

GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN ASAM-ASAM

4.1 Fisiografi Regional

Pulau Kalimantan dianggap sebagai pulau paling stabil di Indonesia dan

merupakan wilayah benua yang memiliki sedikit atau tidak ada kegempaan.

Namun, pulau itu mengalami beberapa peristiwa deformasi selama Tersier,

menghasilkan struktur dan stratigrafi yang kompleks.

Evolusi tektonik pulau ini membentuk tiga cekungan Tersier utama yang

disebabkan oleh adanya rifting sepanjang tepi Sundaland, Cekungan Barito dan

Cekungan Asam-Asam. (Sapiie, et.al 2014).

Daerah penelitian secara fisiografi termasuk kedalam Cekungan Asem-

Asem. Cekungan Asem-asem ini terpisahkan dengan Cekungan Kutai oleh adanya

Adang Flexure atau sesar yang memisahkan Barito dengan Kutai di sebelah utara,

terpisahkan dengan Cekungan Barito oleh Pegunungan Meratus di sebelah barat.

Pada bagian Selatan, memanjang ke arah Laut Jawa hingga Tinggian Florence.

Pada mulanya Cekungan Barito dan Cekungan Asem-Asem merupakan satu

cekungan yang sama, hingga pada Miosen Awal terjadi pengangkatan Pegunungan

Meratus yang menyebabkan terpisahnya kedua cekungan tersebut (Satyana, 1995).

Cekungan Asem-Asem dan Cekungan Barito dipercaya sebagai satu kesatuan

deposenter pada Eosen yang menyambung sampai terpisah akibat pengangkatan

Pegunungan Meratus pada kala Miosen Akhir (Witts et all, 2012).

Page 48: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

48

Gambar 4. Lokasi Cekungan Asem-Asem (Wits, dkk., 2012)

Gambar 5. Posisi cekungan Asem-Asem (Satyana dan Silitonga, 1993 dalam Santoso dan

Daulay,2008)

Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Kalimantan menjadi beberapa zona,

yaitu:

1. Blok Schwaner yang dianggap sebagai bagian dari dataran Sunda.

2. Blok Paternoster, meliputi pelataran Paternoster sekarang yang terletak

dilepas Pantai Kalimantan Tenggara dan sebagian di dataran Kalimantan

3. Tinggian Meratus , terletak diantara blok Schwaner dan Paternoster, daerah

ini sebagai bagian dari Cekungan Barito, Pegunungan Meratus, dan

Cekungan Asem-Asem.

4. Tinggian Kuching, merupakan sumber untuk pengendapan ke arah Barat

laut dan Tenggara cekungan Kalimantan selama Neogen.

Page 49: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

49

4.2 Stratigrafi Regional

Cekungan Asem-Asem memiliki kesamaan stratigrafi dengan Cekungan Barito

karena merupakan sebuah depocenter sampai terjadinya uplift dan munculnya

Pegunungan Meratus pada Miosen Akhir (Satyana dan Silitonga, 1994; Witts, dkk.,

2012).

Lapisan batubara di cekungan ditemukan di zaman Eosen Tanjung, Formasi

Warukin Miosen Tengah dan Pliosen-Pleistosen. Deposit batubara ekonomis terjadi

di cekungan Asem-Asem. Batubara diendapkan dalam urutan Tersier di lingkungan

pengendapan mulai dari fluviatile ke delta. (Santoso dan Daulay,2008)

Gambar 6. Geologi Kenozoikum di Cekungan Barito dan Asem – Asem, Lokasi penelitian diberi

tanda kotak merah (Modifikasi Supriatna et.al, 1994 dalam Witss et.al, 2012)

• Menurut Witts, dkk (2012)

Stratigrafi Cekungan Asem-asem yang ditinjau berdasarkan literatur dan

hasil penelitian yang telah dijadikan parameter menurut (Witts et al,2012 ; Santoso

dan Daulay, 2008) Stratigrafi regional Cekungan Asem-asem tersusun oleh

formasi-formasi batuan yang diurutkan dari tua ke muda, yaitu sebagai berikut :

1. Batuan alas (basement) yang berupa batuan malihan tingkat tinggi yang

terdiri atas sekis amfibolit dan malihan tingkat rendah yang terdiri atas filit.

Batuan malihan tingkat tinggi tersebut berupa Sekis Hauran yang tersusun

oleh sekis hijau yang mengandung mineral kuarsa, muskovit, biotit,

hornblenda, epidot dan malihan tingkat rendah sebagai Filit Pelaihari yang

terdiri atas filit yang mengandung mineral klorit dan mika pada bidang

permukaan yang mengkilap dan batusabak. Batuan malihan ini memiliki

umur Jura. Formasi Tanjung terdiri atas perselingan batupasir halus dengan

Page 50: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

50

sisipan batubara, batulanau dan batuserpih (Santoso dan Daulay, 2008),

dengan suplai dari batuan sedimen yang paling tua (Witts, dkk., 2011).

2. Formasi Tanjung dari perselingan batupasir kasar, batupasir

konglomeratan dan konglomerat di bagian bawah, batulempung berwarna

kelabu di bagian tengah dan perselingan tipis batulanau dan batupasir halus

di bagian atas. Terdapat transisi bagian atas dari endapan aluvial ke laut

dangkal, dengan sekitar 80% dari formasi tersebut diendapkan di dataran

banjir pantai pasang surut (fluvio-tidal coastal floodplain) yang mengalami

transgresi. Berdasarkan Witts, dkk. (2011), bagian utama Formasi Tanjung

berumur Eosen Akhir berdasarkan data pollen (Cicatricosisporites

dorogensis, Meyeripollis nayarkotensis dan Magnastriatites howardi) dan

Turborotalia pomeroli, Globigerinatheka sp., Subbotina eocaenica,

Hantkenina sp and Oligosen Awal (Nummulites fichteli and Eulepidina sp.).

Pada Tersier awal terjadi deformasi ekstensional sebagai hasil dari

konvergensi oblik yang menghasilkan rift berarah BL-Tg, tempat

akomodasi dari kipas aluvial dan sedimen lakustrin yang merupakan bagian

dari Formasi Tanjung bagian bawah. Pada awal Eosen Tengah, terjadi

transgresi sehingga lingkungan pengendapan menjadi fluviodeltaik yang

merupakan pembentuk Formasi Tanjung bagian Tengah. Transgresi terus

terjadi hingga Eosen-awal Oligosen menghasilkan endapan serping laut

pembentuk Formasi Tanjung bagian atas (Satyana, 1999). Pada bagian atas

formasi ini terdapat batuan karbonat yang merupakan awal dari

terbentuknya Formasi Berai

3. Formasi Berai diendapkan secara selaras di atas Formasi Tanjung, tetapi

pada beberapa bagian terdapat hubungan yang menunjukkan adanya

ketidakselarasan. Tetapi secara umum formasi ini diendapkan selaras di atas

Formasi Tanjung. Litologi formasi ini terdiri dari batugamping dengan

lingkungan pengendapan terumbu depan, antara terumbu belakang,

sublitoral pinggir, relatif dangkal, kurang dari 30 meter, berupa laut dangkal

atau lagoon. Umur formasi ini adalah Oligosen Akhir – Miosen Awal.

4. Formasi Warukin diendapkan secara selaras di atas Formasi Berai dengan

litologi berupa batulempung warna kelabu, sisipan batupasir dan batubara.

Bagian bawah dari runtunan batuan ini terdiri atas dominasi batulempung

warna kelabu sampai kehitaman dengan sisipan batupasir hasul-sedang

Page 51: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

51

dengan struktur sedimen paralel laminasi dari material karbon, flaser dan

burrow. Lingkungan pengendapan formasi ini adalah rawa dan pasang surut

dengan umur Miosen Awal –Miosen Akhir. Regresi terjadi selama Miosen

akibat dari pengangkatan Schwaner Core dan Tinggian Meratus. Adanya

endapan klastik menyebabkan pengendapan sedimen delta yang mengarah

ke timur dari Formasi Warukin. Pada akhir Miosen, Tinggin Meratus

muncul kembali, diikuti penurunan isostatik subsidence yang terjadi pada

bagian foreland, menyebabkan pembentukan endapan Formasi Warukin

dengan tebal ribuan meter (Satyana, 1999).

5. Formasi Dahor diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Warukin.

Litologinya batulempung sampai batulempung pasiran, batupasir kasar –

konglomeratan yang berstruktur sedimen butiran bersusun (gradded

bedding), batupasir kemerahan yang berstruktur sedimen laminasi sejajar

dan silangsiur serta konglomerat yang memiliki komponen batuan granit,

19 malihan, sedimen dan vulkanik dengan ukuran 5-15 cm. Dengan umur

Plio-Plistosen.

6. Endapan Aluvial pada Cekungan Asem-asem merupakan hasil dari proses

sungai (fluviatil) yang terdiri dari endapan lumpur, pasir, kerikil, kerakal

dan bongkah yang berumur Kuarter.

Page 52: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

52

Gambar 7. Stratigrafi Cekungan Asem-Asem (Wits, dkk., 2012)

4.3 Kerangka Tektonik dan Struktur Geologi Regional

Cekungan Barito, Kutei dan Tarakan adalah bagian dari area penurunan dan

sedimentasi yang luas dan saling berhubungan di Tersier Awal. Pengangkatan

Miosen membagi daerah menjadi cekungan terpisah. Cekungan Barito adalah

dipisahkan dari Cekungan Kutei oleh Adang Flexure Fault, hinge line

merepresentasikan sesar utama. Kutei Cekungan dipisahkan dari Cekungan

Tarakan oleh Mangkalihat Arch. Rifting Selat Makassar di Awal Tersier mengontrol

Cekungan Tarakan dan Kutai, dan Pengangkatan bagian barat menyebabkan semua

sedimen cekungan ini memperdalam dan menebal secara asimetris kearah timur.

(Satyana,et.al 1999)

Keadaan struktur geologi saat ini didalam ketiga cekungan ditandai dengan

tren fold dan fault belt sejajar dengan garis pantai Kalimantan Timur. Tren dominasi

SSW ±NNE kecuali Adang Flexure, Mangkalihat Arch dan Tinggian Semporna,

dimana memiliki trend E-W. Cekungan Barito struktur geologi berasosiasi dengan

terangkatnya Pegunungan Meratus kearah timur (Satyana

dan Silitonga, 1993; 1994; Satyana, 1994).

Ketiga cekungan tersebut menunjukkan sejarah tektonik yang serupa selama

Tersier, sampai Pleistosen (Gambar 19) (Satyana, et.al 1999)

• Tektonik ekstensional mengakibatkan rifting dimulai pada zaman Paleosen

± Eosen Tengah, mencirikan gaya structural selama Paleogen.

• Tektonik kompresi mendominasi selama Neogen dan Zaman Pleistosen,

ketika struktur yang lebih tua itu terbalik dan terangkat, mengakibatkan

sedimentasi regresif.

• Sesar ektensional Neogen dan Pleistosen, baik di Cekungan Kutei dan

Tarakan, dipicu dengan pengangkatan konvergen sepanjang bagian barat

margin dari kedua cekungan tersebut.

Page 53: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

53

Gambar 8. Trend Dari Struktur Geologi Kalimantan Saat Ini (Satyana et.al 1999)

Gambar 9. Penampang Retrodeformasi Cekungan Barito Timur

Page 54: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

54

Gambar 10. Struktur Paleogen dan Neogen dari Barito Timur

4.4 Keberadaan Batubara

Keberadaan dan kualitas batubara yang ditinjau berdasarkan literatur dan

hasil penelitian yang telah dijadikan parameter menurut (Darlan, dkk 1999 ; Davis,

et.al 2007), menjelaskan sebagai berikut :

Beberapa contoh batubara daerah penyelidikan dianalisis kimia dan analisis polen.

Berdasarkan analisis kimia pada contoh batubara maka didapat sebagai berikut :

• Formasi Tanjung memiliki kadar kandungan batubara yaitu nilai kalori

antara 6.000,00 kal/g dan 7.000,00 kal/g, kadar abu= 3,00% dan14,00 %,

zat terbang = 30.00 % dan 50,00 %, karbon padat= 35,00% dan 45,00%,

belerang total= 0,20 dan 2,00 %, dan kadar air= 3,00% dan 6,00 %.

• Formasi Warukin: nilai kalori antara 5.000,00 kal/g dan 6.000,00 kal/g,

kadar abu= 4,00% dan 20,00 %, zat terbang = 35.00 % dan 50,00 %, karbon

padat= 20,00% dan 40,00%, belerang total= 0,40 dan 4,00 %, dan kadar air=

3,00% dan 14,00 %.

Page 55: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

55

• Formasi Dahor: nilai kalori antara 4.000,00 kal/g dan 5.000,00 kal/g, kadar

abu= 21,00% dan 30 ,00 %, zat terbang = 30.00 % dan 50,00 %, karbon

padat= 20,00% dan 30,00%, belerang total= 2,00 dan 4,00 %.

• Rank batubara dalam Formasi Tanjung (Davis et.al 2007) yaitu Sub-

Bituminus dan Formasi Warukin yaitu Lignite/Sub-bituminus

Dari data tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa batubara Formasi Tanjung

di daerah penelitian termasuk jenis batubara yang cukup baik di bandingkan dengan

batubara Formasi Warukin dan Formasi Dahor.

Gambar 11. Umur dan Rank Batubara (Davis, et.al 2007)

Page 56: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

56

BAB V

GEOLOGI DESA SELARU, KECAMATAN PULAU LAUT

TENGAH, KABUPATEN KOTABARU, PROVINSI

KALIMANTAN SELATAN

Geologi Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten Kotabaru,

Provinsi Kalimantan Selatan terdiri atas pembahasan yang saling berkaitan

mengenai pola pengaliran, geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi.

5.1 Pola Pengaliran Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten

Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan

Menurut Howard, 1967 dalam van Zuidam 1985, pola pengaliran adalah

kumpulan dari suatu jaringan pengaliran di suatu daerah yang dipengaruhi atau

tidak dipengaruhi oleh curah hujan, alur pengaliran tetap mengalir. Dalam

mengelompokkan pola pengaliran pada daerah penelitian, penulis mengamati sifat

fisik batuan, keadaan topografi, struktur geologi yang berkembang dan disesuaikan

dengan pembagian pola pengaliran, maka penulis membagi pola pengaliran

menjadi :

Gambar 12. Pola Pengaliran Daerah Penelitian, interpretasi melalui kontur asli (kiri) dan

interpretasi kontur dengan digitasi melalui foto udara atau pasca tambang (kanan)

5.1.1. Pola Pengaliran Subdendritik

Pola pengaliran subdrendritik terbentuk pada kelerengan sedang, dikontrol

oleh lereng, litologi dan struktur geologi serta memiliki resistensi batuan yang

seragam. Dasar penamaan pola pengaliran subdrendritik adalah sungai yang

membentuk aliran-aliran seperti ranting pohoh yang bercabang dengan aliran yang

menyebar menuju ke sungai utama dan cabang-cabang alirannya (Gambar 14). Pada

Page 57: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

57

daerah penelitian, membentuk aliran sungai seperti ranting pohon memiliki banyak

anak sungai yang menyatu dengan sungai utama (Gambar 15).

Gambar 13. Model pola pengaliran subdrendritik (Howard,1967)

Gambar 14. Arah Aliran Pola Aliran

Berdasarkan perolehan fakta lapangan dan analisis yang berbasis fakta lapangan,

diperoleh interpretasi pola pengaliran daerah penelitian sebagai berikut :

Page 58: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

58

Tabel 4.Pemerian Pola Pengaliran Daerah Penelitian

Berdasarkan tabel 4 diperoleh interpretasi pola pengaliran daerah penelitian sebagai

berikut :

1. Adanya pola alur sungai yang jarang di bagian utara kavling merupakan

dataran. Pola alur atau ranting-ranting sungai rapat di bagian tengah - selatan

kavling merupakan kumpulan beberapa punggungan dan lembah.

2. Sudut antar sungai yang bervariasi berkisar 27-85° (>>75°) menunjukan

daerah penelitian dipengaruhi oleh struktur berupa kekar dan sesar.

3. Berdasarkan fakta lapangan dan mengacu pada klasifikasi Way (1920) maka

di daerah penelitian didapatkan jarak antar sungai orde 1 berkisar 0,7-3.56

cm, dengan skala peta 1:10.000 jarak antar sungai orde 1 sebenarnya

berkisar 70 - 356 meter, tekstur aliran tersebut termasuk dalam halus-

sedang, diinterpretasikan daerah penelitian disusun oleh batuan berukuran

halus-sedang, seperti batulempung,serpih,lanau,tuff ataupun material kedap

air. Kenyataan di lapangan, bagian utara - tengah daerah penelitian memilki

litologi berupa satuan batuserpih, batulanau pasiran dan batupasir kuarsa

lapuk ( loose material) sedangkan bagian selatan berupa batupasir segar.

Page 59: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

59

4. Menurut Van Zuidam 1985, tekstur halus menandakan bahwa batuan

berbutir halus, porositas buruk, dan tingkat limpasan air permukaan buruk,

sedangkan tekstur sedang menandakan batuan berbutir sedang, tingkat

limpasan air permukaan sedang, batuan memiliki porositas sedang

5. Berdasarkan interpretasi peta rupa bumi dan pengamatan langsung di

lapangan, terdapat 2 bentuk lembah sungai, yaitu: lembah berbentuk U (hilir

sungai) dan berbentuk V-U (hulu sungai). Menurut Van Zuidam (1985),

lembah sungai berbentuk V-U umumnya disusun oleh batuan berbutir

sedang seperti batupasir sangat halus -sedang, sedangkan lembah sungai

berbentuk U umumnya disusun oleh batuan berbutir halus seperti lempung.

Selain itu, bentuh lembah U menandakan erosi horisontal lebih dominan,

sedangkan lembah sungai V-U menandakan erosi vertikal dan horisontal

cenderung seimbang.

6. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, sungai di daerah penelitian

mengalir di dua tempat yaitu bedrock stream dan alluvial stream. Menurut

Van Zuidam (1985), Bedrock stream menandakan sungai mengalir di atas

batuan dasar seperti batupasir, batulempung, dan batulanau, serta

memperlihatkan tingkat erosi yang rendah, sedangkan alluvial stream

menandakan sungai mengalir di atas material lepas hasil erosi batuan asal

di sepanjang sungai dan memperlihatkan tingkat erosi yang tinggi.

5.2. Geomorfologi Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten

Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan

Menurut Van Zuidam (1985) klasifikasi dari satuan bentuklahan dalam

geomorfologi dikontrol beberapa faktor yang terdiri atas morfologi, batuan

penyusun, proses aktif dan genesa. Pembagian satuan bentuklahan daerah penelitian

berdasarkan aspek-aspek geomorfologi (Verstappen, 1977) dan satuan bentuklahan

mengacu pada modifikasi klasifikasi Van Zuidam (1985).

Aspek-aspek geomorfologi menurut Verstappen (1977) dimodifikasi oleh

Van Zuidam (1985) yang digunakan sebagai dasar pembagian bentuklahan di

daerah penelitian yaitu: Morfologi, terdiri atas:

1. Morfografi adalah susunan objek alami yang ada di permukaan bumi,

bersifat deskriptif.

Page 60: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

60

2. Morfometri adalah aspek-aspek kuantitatif dari kenampakan geomorfologi

pada permukaan bumi yang terdiri atas lereng, pola lereng, ketinggian,

relief, bentuk lembah, tingkat erosi atau pola pengaliran.

Morfogenesa adalah pembentukan dan perkembangan bentuklahan serta

prosesproses geomorfologi yang terjadi, yaitu berupa struktur geologi, litologi

penyusun, dan proses geomorfologi. Morfogenesa meliputi:

1. Morfostruktur pasif, merupakan pengaruh litologi maupun struktur batuan

yang dapat mengontrol klasifikasi bentuk lahan dan berkaitan dengan

pelapukan (denudasi)

2. Morfostruktur aktif, merupakan pengaruh tenaga endogen seperti

pengangkatan, perlipatan, dan pensesaran yang berkaitan dengan klasifikasi

bentuklahan

3. Morfodinamis, merupakan pengaruh tenaga eksogen (air, es, angin dan

gerakan massa) yang berkaitan dengan klasifikasi bentuklahan

Morfoasosiasi, merupakan hubungan antar bentuklahan yang satu dengan

bentuklahan yang lainnya dalam susunan keruangan atau sebarannya di permukaan

bumi.

Berdasarkan perolehan fakta lapangan dan analisis yang berbasis fakta lapangan,

geomorfologi daerah penelitian terdiri atas 4 bentuk lahan, yang terdiri atas:

1. Perbukitan Bergelombang (D1)

2. Peneplain (D2)

3. Lahan hasil penambangan (A1)

4. Lahan hasil penimbunan (A2)

Page 61: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

61

Tabel 5. Pemerian Peta Geomorfologi Daerah Penelitian

5.2.1. Bentuk Asal Denudasional

Menurut Zuidam (1985) bentuk asal denudasional sangat dipengaruhi oleh iklim,

vegetasi dan aktivitas manusia. Iklim, seperti curah hujan dan perubahan temperatur

berpengaruh terhadap proses pelapukan batuan, erosi dan gerakan tanah. Vegetasi

dan aktivitas manusia sangat membantu percepatan proses eksogen, sehingga

perubahan bentuklahan terjadi sangat cepat.

5.2.1.1 Bentuk Lahan Perbukitan Bergelombang (D1)

Satuan bentuk lahan bergelombang sedang menempati 48% luasan peta.

Satuan ini memiliki morfologi perbukitan dengan arah kelurusan timur laut-

baratdaya. Satuan ini menempati elevasi 10-75 mdpl dengan pola pengaliran

subdendritik, bagian utara memiliki lereng 8-16° (curam) dan bagian selatan

memiliki lereng 16-35° (curam-terjal), dimana didominasi oleh kelerengan yang

curam, dengan bentuk lembah V-U.

Berdasarkan interpretasi peta rupa bumi, citra SRTM, dan fakta dilapangan

(Tabel 5) bentuklahan perbukitan bergelombang dapat diinterpretasikan sebagai

berikut :

Page 62: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

62

1. Terdapat kelurusan kontur lembah dengan orientasi Timurlaut-Baratdaya,

dan kontur rapat-renggang, kontur tertutup,lereng yang cukup curam, dan

bentuk lembah U-V yang menandakan adanya struktur geologi dan proses

pelapukan dan erosi yang cukup dominan

2. Berdasarkan interpretasi tipe pola pengaliran (subdendritik), bentuklahan

ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa kekar dan sesar.

3. Terdapat kenampakan scarp slope dan dip slope dengan arah kemiringan

lereng yang sama. Hal tersebut menginterpretasikan memiliki kedudukan

yang sama dengan kedudukan berarah SBD-UTLdan BD-TL.

4. Morfologi dipotong oleh sesar naik dan mendatar dengan orientasi TL-BD

dan sesar turun BL-T

5. Berdasarkan interpretasi tipe pola pengaliran (subdendritik), tekstur aliran

halus-sedang, bentuk lembah U-V dan tempat mengalirnya (bedrock

stream), daerah penelitian didominasi oleh batuan berbutir halus-sedang,

resistensi lemah-sedang, porositas buruk-sedang berupa batuserpih,

batulanau pasiran dan batupasir kuarsa lapuk ( loose material) sedangkan

bagian selatan berupa batupasir segar.

Gambar 15. Geomorfologi Bentuk Lahan Bukit Bergelombang (lensa mengarah ke Baratlaut)

5.2.1.2 Bentuk Lahan Peneplain (D2)

Satuan bentuk lahan peneplain menempati 30% luasan peta. Satuan ini memiliki

morfologi dataran dengan kelerengan landai. Satuan ini menempati elevasi 0-10

Perbukitan Bergelombang

NW

Page 63: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

63

mdpl dengan pola pengaliran subdendritik dan memiliki tingkat kelerengan lereng

0-4° (Datar - Landai) didominasi oleh landai.

1. Berdasarkan aspek morfostruktur aktif tidak terdapat struktur geologi yang

berkembang didaerah penelitian.

2. Berdasarkan aspek morfostruktur pasif satuan bentuk lahan ini didukung

oleh batuan sedimen klastik berbutir halus.

3. Berdasarkan bentuk lembah (U) dan tempat mengalir (alluvial stream),

bentuklahan peneplain disusun oleh batuan sedimen klastik berbutir halus

dan batubara dengan resistensi lemah

4. Morfostruktur dinamis satuan bentuk lahan ini didukung oleh proses

pelapukan dan erosi.

Gambar 16. Bentuklahan Peneplain (lensa mengarah ke Barat)

5.2.2. Bentuk Asal Fluvial

Bentuk asal fluvial adalah semua bentuk lahan yang terjadi akibat adanya

proses aliran baik yang berupa aliran sungai mapupun yang tidak terkonsentrasi

yang berupa limpasan permukaan. Akibat adanya aliran air tersebut maka akan

terjadi mekanisme proses erosi, transportasi, dan sedimentasi. Ciri-ciri bentuk asal

fluvial di lapangan di tandai dengan topografi yang landai-datar.

5.2.2.1 Satuan Bentuklahan Tubuh Sungai (F1)

Satuan bentuklahan ini menempati sekitar 2% pada daerah penelitian, yang

berada di utara dengan aliran mengarah ke tenggara.

1. Berdasarkan pengamatan lapangan dan pengamatan studio, topografi berupa

Peneplain

Page 64: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

64

kontur yang landai-datar yang menunjukan morfologi berupa dataran, dengan

kelerengan lereng 0-4° (Datar - Landai) didominasi oleh landai

2. Berdasarkan bentuk lembah (U) dan tempat mengalirnya (alluvial stream),

bentuklahan tubuh sungai disusun oleh batuan berbutir halus dan hasil erosi

batuan asal.

3. Berdasarkan morfodinamis didominasi oleh proses erosi dan pelapukan.

Gambar 17. Satuan bentuklahan tubuh sungai (lensa mengarah ke Tenggara)

5.2.3. Bentuk Antropogenik

Aktivitas penambangan dapat berdampak pada perubahan mendasar pada

bentuklahan di wilayah tersebut. Bentuklahan yang dihasilkan dari aktivitas

penambangan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama yaitu:

1. Aktivitas penggalian (ekskavasi) yang menghasilkan bentuk negatif

2. Akumulasi, yang menghasilkan bentuk positif

3. Bentuk-bentuk yang dihancurkan oleh aktivitas penambangan, yang

mengarah ke penyamarataan permukaan, disebut planation dalam geografi.

5.2.3.1 Bentuk Lahan Hasil Penambangan (A1)

Tambang terbuka atau penggalian dengan metoda tambang terbuka untuk

mengambil bahan galian atau mineral berharga. Dapat juga disebut khusus sebagai

bukaan tambang batubara dipermukaan atau bagian dari bukaan tambang di

Tubuh Sungai

Page 65: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

65

lapangan pertambangan batubara terbuka. Satuan bentuklahan ini menepati sekitar

10% dari seluruh area penelitian. Satuan bentuklahan ini terdiri dari sump, jalan

hauling, pit. Berdasarkan fakta-fakta yang ada pada Tabel 5, maka lahan hasil

penambangan dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

1. Berdasarkan kelerengan, bentuklahan Hasil Penambangan memiliki lereng

0-45° (datar-terjal) didominasi oleh terjal.

2. Bentuk lahan ini tersusun oleh material ekonomis dan non ekonomis seperti

batulempung, batulanau, batupasir, batubara berasal dari hasil bukaan

daerah pit/penambangan.

Gambar 18. Bentuklahan lahan hasil penambangan (pit, sump, hauling) (lensa mengarah ke

Baratlaut)

5.2.3.2 Bentuk Lahan Hasil Timbunan / Disposal

Suatu kegiatan pertambangan umumnya memindahkan tanah penutup untuk

mengambil bahan galian yang berada di dalam bumi. Oleh karena itu, diperlukan

suatu area tertentu untuk material tanah penutup tersebut sehingga tidak menutupi

area yang mengandung bahan galian yang ekonomis atau yang disebut area

disposal. Atau istilah lain dari bukit disposal adalah bukit yang dibentuk untuk

menumpuk material non ekonomis dengan kelerengan dan jarak tertentu pada

kegiatan penambangan.

Bentuklahan lahan hasil timbunan merupakan bagian dari bentuk asal

antropogenik. Berdasarkan fakta-fakta yang ada pada tabel 5, maka lahan hasil

timbunan dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

1. Satuan bentuklahan ini menepati sekitar 10% dari seluruh area penelitian.

PIT Hauling

Sump

Page 66: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

66

2. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, satuan bentuklahan hasil

timbunan memiliki lereng 10-20°(lereng bagian kaki bukit dan 21-40°

(lereng bagian puncak bukit) termasuk dalam curam-terjal, didominasi oleh

lereng yang agak terjal

3. Bentuk lahan ini tersusun oleh material sedimen seperti satuan batupasir,

batulanau dan batuserpih yang berasal darihasil bukaan daerah

pit/penambangan.

Gambar 19. Bentuklahan Disposal (Lensa mengarah ke Selatan)

5.3. Stratigrafi Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten

Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan

Penamaan dan pengelompokkan satuan batuan pada daerah penetian

menggunakan penamaan tidak resmi atau tidak sesuai dengan sandi stratigrafi.

Dasar penamaan satuan batuan ini berdasarkan kepada pengamatan langsung

dilapangan dan pada analisa sayatan tipis. Pengamatan langsung meliputi

pengamatan tekstur, komposisi, serta hubungan antar satuan batuan. Pengamatan

secara mikroskopis pada sayatan tipis bertujuan untuk memperoleh penamaan

batuan berdasarkan komposisi dan kandungan mineral penyusun batuan tersebut.

Berdasarkan pemahaman diatas, maka satuan batuan di daerah penelitian dibagi

menjadi 3 satuan. Secara berurut dari tua ke muda dibagi menjadi berikut :

1. Satuan Batupasir Formasi Tanjung.

2. Satuan Batulanau Formasi Tanjung.

3. Satuan Batuserpih Formasi Tanjung

4. Satuan Endapan Aluvial

Disposal

Page 67: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

67

Tabel 6. Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian

= Satuan Endapan Aluvial

= Satuan Batuserpih Formasi Tanjung

= Satuan Batulanau Formasi Tanjung

= Satuan Batupasir Formasi Tanjung

5.3.1. Satuan Batupasir Formasi Tanjung

5.3.1.1 Dasar Penamaan

Menurut stratigrafi regional, satuan ini termasuk kedalam Formasi Tanjung.

Satuan batuan ini terdiri dari batuan sedimen klastik dengan ukuran butiran sedang

sampai berbutir sangat halus. Berdasarkan temuan di lapangan, dominasi litologi

pada satuan ini adalah batupasir yang dominan dengan struktur masif, perlapisan,

silang siur, ditemukan pula litologi batulanau masif dengan kenampakan warna

abu-abu. Oleh karena itu satuan batuan ini disebut dengan Satuan Batupasir Formasi

Tanjung.

Page 68: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

68

5.3.1.2 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan Batupasir Formasi Tanjung ini menempati 45% dari luas total daerah

penelitian. Berdasarkan kenampakan di lapangan, seperti pada LP 39, LP 44, dan

LP 55 merupakan bagian selatan daerah penelitian merupakan bagian satuan

Batupasir Formasi Tanjung. Satuan ini memiliki nilai strike N235E dengan

kemiringan ke arah barat laut dengan nilai antara 9° hingga 12°. Hal tersebut

menandakan bahwa satuan Batupasir Formasi Tanjung ini merupakan satuan tertua

di daerah penelitian. Berdasarkan penampang sayatan geologi A-A’didapatkan

ketebalan satuan Batupasir Formasi Tanjung pada daerah penelitian sebesar 230

meter.

5.3.1.3 Deskripsi Litologi

Berdasarkan pola yang terlihat pada lintasan pemetaan (Lampiran A1: Peta

Lintasan). Satuan ini didominasi oleh litologi batupasir kuarsa dengan sisipan

batulanau. Salah satu pemerian batuan secara lapangan, sebagai berikut :

1. Batupasir Kuarsa, warna segar putih, dengan ukuran butir sedang-sangat

halus, pemilahan baik didukung oleh butiran; komposisi fragmen kuarsa,

dengan struktur masif,perlapisan, silang siur.

2. Batulanau, warna segar abu-abu, ukuran lanau, dengan struktur sedimen

massif

Gambar 20. Foto singkapan pada satuan batupasir Tanjung (LP 44 dan LP 55). (A) Foto

singkapan, (B,C) Foto litologi close-up, lensa kamera menghadap ke Timurlaut.

Page 69: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

69

5.3.1.4 Pemerian Petrografi

Berdasarkan analisis petrografi yang dilakukan pada lokasi pengamatan LP

51 dilakukan dengan perbesaran okuler 18x dan perbesaran objektif 4x. Memiliki

karakteristik sedimen sillisiklastik; warna cokelat kehitaman; bertekstur klastik;

ukuran butir 0,1-0,25 mm (pasir halus); didukung oleh matriks; bentuk butir very

angular; terpilah baik; kontak butiran concave-convex; disusun oleh mineral

kuarsa, mineral oksida, dan material berukuran lanau-lempung. Komposisi mineral

sebagai berikut :

• Kuarsa (H,7 ; E,8 ; H,2) (60%)

Tidak berwarna; 0,075-0,25 mm; very angular; hadir melimpah, dalam sayatan

sebagai fragmen dan matriks.

• Material Karbon (K,6 ; K,5)(30%)

Hitam-cokelat; 0,05-0,1 mm; subrounded; hadir menyebar, dalam sayatan sebagai

fragmen dan matriks.

• Material berukuran lanau-lempung (G-K,2-6) (10%)

Tidak berwarna-cokelat;<0,0625 mm, hadir menyebar, dalam sayatan sebagai

matriks.

Nama batuan tersebut adalah quartz wacke (Pettijhon, 1987)

Gambar 21. Sayatan petrografi, batupasir kuarsa LP 51

5.3.1.5 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Penentuan umur satuan Batupasir Formasi Tanjung terbagi menjadi tiga, yaitu :

Page 70: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

70

1. Berdasarkan analisis mikrofosil, yang ditunjukan pada lokasi pengamatan

52, nomor sampel 4 (Lampiran C2) tidak ditemukan adanya fosil

planktonic, sehingga tidak dapat ditentukan umurnya (barren).

Gambar 22. Analisa mikrofosil yang menunjukan barren, pada batupasir LP 52

2. Berdasarkan penelitian terdahulu, penulis mengacu pada Witts, dkk (2011)

bagian utama Formasi Tanjung berumur Eosen Akhir (Cicatricosisporites

dorogensis, Meyeripollis nayarkotensis dan Magnastriatites howardi) dan

Oligosen Awal (Nummulites fichteli and Eulepidina sp.) sedangkan menurut

E.Rustandi, dkk (1995) Formasi Tanjung berumur Eosen berdasarkan

penemuan fosil Discocyclina sp, Nummulites sp dan Lepidocyclina sp.

Lokasi tipe penemuan fosil berada di daerah Tanjung, Kalimantan Selatan.

3. Berdasarkan sayatan penampang geologi A-A’, satuan Batupasir Tanjung

merupakan satuan tertua di daerah penelitian.

Penentuan Lingkungan pengendapan berdasarkan analisa profil komposit

yang terdapat satuan Batupasir Formasi Tanjung (Lampiran D). Dilihat dari aspek

fisik, terdapat struktur sedimen berupa cross bedding,lenticular, dan wavy

lamination, dapat dikategorikan dalam sub-lingkungan channel, levee, back swamp,

dan interdistributary bay (Horne, 1978). Dari hasil interpretasi sub-lingkungan,

menunjukkan bahwa satuan ini terendapkan pada transtitional - lower delta plain

(Horne, 1978) dan satuan Batupasir Formasi Tanjung, termasuk dalam sub-

lingkungan channel (Horne, 1978)

5.3.1.6 Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan Batupasir Tanjung dan satuan Batulanau

Tanjung adalah selaras, dengan ditunjukan oleh :

Page 71: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

71

• Berdasarkan data profil komposit (Lampiran D) Satuan Batupasir Tanjung

adalah satuan tertua pada daerah penelitian, satuan batupasir Tanjung

tersusun oleh batupasir dengan struktur sedimen crossbedding sisipan lanau,

satuan Batulanau Tanjung tersusun oleh batulanau dengan struktur sedimen

masif, perlapisan, wavy lamination, lenticular, dan batubara. Dalam profil

komposit menunjukan perubahan yang berangsur dari Batupasir Tanjung

dan Batulanau Tanjung dengan ciri menghalus ke atas, dan secara

lingkungan pengendapan kedua satuan tersebut, berada saling berurutan

yaitu channel-levee-backswamp (Horne, 1978) dan juga dalam pengamatan

lapangan tidak ditemukan ciri dari menjari maupun ketidakselarasan.

• Hubungan stratigrafi antara Satuan Batupasir Formasi Tanjung dan Satuan

Batulanau Formasi Tanjung di atasnya dijumpai kontak selaras pada LP 12

Gambar 23. Kontak antara Satuan Batupasir Tanjung dengan Satuan Batulanau Tanjung di LP 12

(lensa kamera menghadap ke Baratlaut)

5.3.2. Satuan Batulanau Formasi Tanjung

5.3.2.1 Dasar Penamaan

Penentuan satuan batuan ini berdasarkan pada kesamaan ciri litologi

dominan yang didapatkan dari profil komposit. Penentuan satuan ini didasari oleh

dominasi litologi batulanau, terdapat asosiasi perlapisan batubara pada bawah dan

atas lapisan batulanau yang menandakan dalam lingkungan pengendapan. Satuan

batulanau Tanjung memiliki lokasi dengan tingkat kecepatan aliran yang lambat.

Pada satuan ini, menjadi satuan pembawa batubara pada daerah penelitian, yang

terdiri dari seam A. B. dan C. Maka satuan ini dinamakan satuan batulanau Formasi

Tanjung.

Page 72: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

72

5.3.2.2 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan batulanau Formasi Tanjung ini menempati 20% dari luas total daerah

penelitian. Berdasarkan kenampakan di lapangan, seperti pada LP 95 (Gambar 25)

merupakan bagian selatan bagian tengah daerah penelitian merupakan bagian

satuan Batulanau Pasiran Formasi Tanjung. Satuan ini memiliki nilai strike N270E

dengan kemiringan ke arah barat laut dengan nilai antara 10° hingga 15°.

Berdasarkan data penampang sayatan geologi A-A’ didapatkan ketebalan satuan

Batulanau Pasiran Formasi Tanjung pada daerah penelitian sebesar 30 meter.

5.3.2.3 Deskripsi Litologi

Berdasarkan pola yang terlihat pada lintasan pemetaan (lampiran A1: peta lintasan).

Satuan ini didominasi oleh litologi perulangan batulanau, batupasir dan batubara.

dengan fragmen tumbuhan berukuran 0,1 - 40 cm, berstruktur perlapisan, dan masif.

Salah satu pemerian batuan secara lapangan, sebagai berikut :

1. Batulanau, warna segar abu-abu, fragmen tumbuhan ukuran 0,1-40 cm,

struktur perlapisan-masif

2. Batupasir, warna segar putih, dengan ukuran butir sedang-sangat halus,

pemilahan baik didukung oleh butiran, fragmen kuarsa berukuran 0,06-

0,125 mm, berstruktur laminasi dan flacer, wavy dan lenticular lamination

3. Batubara, Kilap bright-dull, gores kecoklatan, pecahan blocky-uneven-

concoidal, mineral pengotor berupa pirit, mika, lempung, oksida, dan resin.

Gambar 24. Foto singkapan pada satuan batulanau Tanjung (LP 95). (A) Foto singkapan,

(B,C,D,E,F) Foto litologi close-up, lensa kamera menghadap kearah Timurlaut

Page 73: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

73

5.3.2.4 Pemerian Petrografi

Berdasarkan analisis petrografi yang dilakukan pada lokasi pengamatan LP 2

nomor sampel 2, dilakukan dengan perbesaran okuler 18x dan perbesaran objektif

4x. Memiliki karakteristik sedimen sillisiklastik; tidak berwarna; bertekstur klastik;

ukuran butir <0.004 mm (lempung); disusun oleh mineral kuarsa, mineral oksida

dan opak, dan material berukurang lempung. Komposisi mineral sebagai berikut :

• Kuarsa (L,6)(10%)

Tidak berwarna;<0,02 mm ; angular ; hadir menyebar

• Material oksida dan opak (G,9-10 ; D,2) (5%)

Hitam; 0,3 mm; spotted-memanjang; hadir setempat

• Material berukuran lempung (85%)

Tidak berwarna-cokelat;<0,01 mm ; hadir melimpah

Nama batuan tersebut adalah Mudrock (Pettijhon, 1987)

Gambar 25. Sayatan petrografi, batulanau LP 2

5.3.2.5 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Penentuan umur satuan Batulanau Formasi Tanjung terbagi menjadi tiga, yaitu :

1. Berdasarkan analisis mikrofosil, yang ditunjukan pada lokasi pengamatan

95, nomor sampel 2 (Lampiran C1) tidak ditemukan adanya fosil

planktonic, sehingga tidak dapat ditentukan umurnya (barren).

Page 74: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

74

Gambar 26. Analisa mikrofosil yang menunjukan barren, pada batulanau LP 95

2. Berdasarkan penelitian terdahulu, penulis mengacu pada Witts, dkk (2011)

bagian utama Formasi Tanjung berumur Eosen Akhir (Cicatricosisporites

dorogensis, Meyeripollis nayarkotensis dan Magnastriatites howardi) dan

Oligosen Awal (Nummulites fichteli and Eulepidina sp.) sedangkan menurut

E.Rustandi, dkk (1995) Formasi Tanjung berumur Eosen berdasarkan

penemuan fosil Discocyclina sp, Nummulites sp dan Lepidocyclina sp.

Lokasi tipe penemuan fosil berada di daerah Tanjung, Kalimantan Selatan.

3. Berdasarkan sayatan penampang geologi A-A’, satuan Batulanau Tanjung

memiliki umur yang lebih tua dari satuan Batuserpih Tanjung.

Penentuan Lingkungan pengendapan berdasarkan analisa profil komposit

yang terdapat satuan Batulanau Formasi Tanjung (Lampiran D). Dilihat dari aspek

fisik, terdapat struktur sedimen berupa cross bedding,lenticular, dan wavy

lamination, dapat dikategorikan dalam sub-lingkungan channel, levee, back swamp,

dan interdistributary bay (Horne, 1978). Dari hasil interpretasi sub-lingkungan,

menunjukkan bahwa satuan ini terendapkan pada transtitional - lower delta plain

(Horne, 1978) dan satuan Batulanau Formasi Tanjung, termasuk dalam sub-

lingkungan levee dan backswamp (Horne, 1978)

5.3.2.6 Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan batulanau Tanjung dan satuan batuserpih

Tanjung adalah selaras, dengan ditunjukan oleh :

• Berdasarkan data profil komposit (Lampiran D) satuan batulanau Tanjung

tersusun oleh perulangan batulanau, batupasir dan batubara. Litologi

batulanau dicirikan dengan kenampakan warna abu-abu dengan fragmen

Page 75: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

75

tumbuhan berukuran 0,1 - 40 cm, berstruktur perlapisan, dan masif. Litologi

batupasir dicirikan dengan kenampakan warna putih dengan fragmen kuarsa

berukuran 0,06 - 0,125 mm, berstruktur laminasi dan ripple ( wavy dan

lenticular lamination ). Litologi batubara dicirikan dengan adanya parting

batulempung. Dalam profil komposit menunjukan perubahan yang

berangsur dari Batulanau Tanjung ke Batuserpih Tanjung dengan ciri

menghalus ke atas, dan secara lingkungan pengendapan kedua satuan

tersebut, berada saling berurutan yaitu levee-backswamp-levee-

interdistributary bay (Horne, 1978) dan juga dalam pengamatan lapangan

ditemukan kontak selaras dengan satuan Batuserpih Tanjung

• Hubungan stratigrafi antara satuan batulanau Tanjung dan satuan batuserpih

Tanjung dijumpai kontak selaras pada lokasi pengamatan 5.

Gambar 27. Kontak antara satuan batulanau Tanjung dengan batuserpih Tanjung di LP 5 (lensa

mengarah ke Baratdaya)

5.3.3. Satuan Batuserpih Formasi Tanjung

5.3.3.1 Dasar Penamaan

Penentuan satuan batuan ini berdasarkan pada kesamaan ciri litologi

dominan yang didapatkan dari profil komposit (lampiran D). Penentuan satuan ini

didasari oleh dominasi litologi batuserpih. Maka satuan ini dinamakan satuan

batuserpih Tanjung.

5.3.3.2 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan Batuserpih Formasi Tanjung ini menempati 50% dari luas total daerah

penelitian. Berdasarkan kenampakan di lapangan, seperti pada LP 5 merupakan

Page 76: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

76

bagian selatan bagian tengah daerah penelitian merupakan bagian satuan Batuserpih

Formasi Tanjung. Satuan ini memiliki nilai strike N275E dengan kemiringan ke

arah barat laut dengan nilai antara 10° hingga 15°. Berdasarkan penampang sayatan

geologi A-A’ didapatkan ketebalan satuan Batuserpih Formasi Tanjung pada daerah

penelitian sebesar 90 meter.

5.3.3.3 Deskripsi Litologi

Berdasarkan pola yang terlihat pada lintasan pemetaan (lampiran A1: peta lintasan).

Satuan ini didominasi oleh litologi batuserpih, dengan sisipan batupasir kuarsa

berbutir sangat halus, batu lanau cokelat kemerahan dan batupasir kerikilan

Salah satu pemerian batuan secara lapangan, sebagai berikut :

1. Batuserpih, warna segar abu-abu, ukuran <0,06 mm, berstruktur menyerpih.

2. Batupasir, warna segar putih, dengan ukuran butir sedang-sangat halus,

pemilahan baik didukung oleh butiran, fragmen kuarsa berukuran 0,06-

0,125 mm, berstruktur laminasi dan flacer, wavy dan lenticular lamination

Gambar 28. Foto singkapan pada satuan batuserpih Tanjung (LP 5). (A) Foto singkapan, (B,C,D)

Foto litologi close-up, lensa kamera mengarah ke Timur

5.3.3.4 Pemerian Petrografi

Berdasarkan analisis petrografi yang dilakukan pada lokasi pengamatan LP 5

nomor sampel 2, dilakukan dengan perbesaran okuler 18x dan perbesaran objektif

4x. Sedimen Sillisiklastik; warna cokelat muda kehitaman; bertekstur klastik;

Page 77: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

77

ukuran butir <0,02 (lanau) mm; disusun oleh mineral kuarsa, mineral mika, dan

material berukuran lanau. Komposisi mineral sebagai berikut :

• Kuarsa (L,6)(50%)

Tidak berwarna;<0,01 mm ; subangular ; hadir melimpah

• Mineral mika (J,6 ; L;6 (40%)

Hitam; 0,3 mm; spotted-memanjang; hadir setempat

• Mineral opak (E,6 (10%)

hitam;0,02 mm ;subangular; hadir menyebar

Nama batuan tersebut adalah Mudrock (Pettijhon, 1987)

Gambar 29. Sayatan petrografi, batulanau lokasi pengamatan 5

5.3.3.5 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Penentuan umur satuan batuserpih Tanjung terbagi menjadi tiga, yaitu :

1. Berdasarkan analisis mikrofosil, yang ditunjukan pada lokasi pengamatan

5b, nomor sampel 3 (lampiran C1) tidak ditemukan adanya fosil planktonic,

sehingga tidak dapat ditentukan umurnya (barren).

Gambar 30. Analisa mikrofosil yang menunjukan barren, pada batuserpih LP 5b

Page 78: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

78

2. Berdasarkan penelitian terdahulu, penulis mengacu pada Witts, dkk (2011)

bagian utama Formasi Tanjung berumur Eosen Akhir (Cicatricosisporites

dorogensis, Meyeripollis nayarkotensis dan Magnastriatites howardi) dan

Oligosen Awal (Nummulites fichteli and Eulepidina sp.) sedangkan menurut

E.Rustandi, dkk (1995) Formasi Tanjung berumur Eosen berdasarkan

penemuan fosil Discocyclina sp, Nummulites sp dan Lepidocyclina sp.

Lokasi tipe penemuan fosil berada di daerah Tanjung, Kalimantan Selatan.

3. Berdasarkan sayatan penampang geologi A-A’, satuan Batuserpih Tanjung

memiliki umur yang lebih tua dari satuan endapan aluvial dengan kontak

ketidakselarasan.

Penentuan Lingkungan pengendapan berdasarkan analisa profil komposit

yang terdapat pada satuan Batuserpih Formasi Tanjung (Lampiran D). Dilihat dari

aspek fisik, terdapat struktur sedimen berupa cross bedding,lenticular, dan wavy

lamination, dapat dikategorikan dalam sub-lingkungan channel, levee, back swamp,

dan interdistributary bay (Horne, 1978). Dari hasil interpretasi sub-lingkungan,

menunjukkan bahwa satuan ini terendapkan pada transtitional - lower delta plain

(Horne, 1978) dan satuan Batuserpih Formasi Tanjung, termasuk dalam sub-

lingkungan interdistributary bay (Horne, 1978)

5.3.3.6 Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan serpih Tanjung dan endapan alluvial

adalah tidak selaras yang dibatasi oleh bidang erosional yang merupakan endapan

lepas dari hasil kegiatan erosi sungai yang berlangsung hingga sekarang.

5.3.4 Umur Geologi

Penentuan umur satuan Batuserpih Formasi Tanjung terbagi menjadi tiga, yaitu :

1. Berdasarkan analisa mikrofosil planktonik dari semua sampel batuan, tidak

dijumpai fosil foraminifera planktonik maupun bentonik, sehingga umur

dan lingkungan pengendapan tidak dapat ditentukan dengan analisa

mikrofosil.

2. Berdasarkan penelitian terdahulu, penulis mengacu pada Witts, dkk (2011)

bagian utama Formasi Tanjung berumur Eosen Akhir (Cicatricosisporites

dorogensis, Meyeripollis nayarkotensis dan Magnastriatites howardi) dan

Oligosen Awal (Nummulites fichteli and Eulepidina sp.) sedangkan menurut

E.Rustandi, dkk (1995) Formasi Tanjung berumur Eosen berdasarkan

Page 79: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

79

penemuan fosil Discocyclina sp, Nummulites sp dan Lepidocyclina sp.

Lokasi tipe penemuan fosil berada di daerah Tanjung, Kalimantan Selatan.

3. Berdasarkan sayatan penampang geologi A-A’, urutan dari tua ke muda

yaitu satuan Batupasir Tanjung, satuan Batulanau Tanjung, satuan

Batuserpih dan endapan aluvial.

5.4. Struktur Geologi Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten

Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan

Berdasarkan interpretasi kelurusan pada daerah penelitian, kelurusan

didominasi oleh orientasi baratlaut-tenggara, ditandai juga dengan berubahnya

kemiringan batuan dengan dip direction kearah barat laut didukung dengan data

kekar pada daerah penelitian, tegasan utama pada daerah penelitian yaitu Baratlaut-

Tenggara. Penamaan struktur geologi khususnya sesar, penulis menggunakan

model klasifikasi nama sesar oleh Rickard (1972).

5.4.1 Kekar

5.4.1.1 Kekar Lokasi Pengamatan 42 dan 52

Berdasarkan pengamatan lapangan, didapatkan kekar gerus berpasangan. Kekar

gerus di daerah penelitian tersebut ditemukan pada litologi batupasir kuarsa.

Gambar 31. Kenampakan Kekar Gerus dan Analisa Stereografis LP 42 dan LP 52

Page 80: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

80

Tabel 7. Data Kekar Gerus LP 42 dan LP 52

Berdasarkan analisa stereografis diatas, didapatkan hasil sebagai berikut :

1. Dua kedudukan umum kekar didaerah penelitian yaitu lokasi pengamatan

42 sebesar N267°E/68° dan N315°E/70°, sedangkan lokasi pengamatan 52

yaitu sebesar N150°E/73° dan N100°E/70°.

2. Tegasan utama maksimum pada daerah penelitian berarah 01°, N304°E -

01°, N106°E(Baratlaut-Tenggara)

3. Tegasan terkecil pada daerah penelitian berarah 21°, N196°E – 19°, N035°E

(Timur laut-Baratdaya)

4. Kedudukan extension N127°E/70° - N287°E/67°

5. Kedudukan release N197°E/89 – N034°E/86°

5.4.2 Cleat

Gambar 32. Singkapan dan analisa cleat daerah penelitian lokasi pengamatan 102 (lensa kamera

menghadap Tenggara)

Page 81: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

81

Cleat adalah kekar di dalam lapisan batubara, khususnya pada batubara

bituminous yang ditunjukkan oleh serangkaian kekar yang sejajar, umumnya

mempunyai orientasi berbeda dengan kedudukan lapisan batubara. Adanya cleat

dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu mekanisme pengendapan, petrografi

batubara, derajat batubara, tektonik (struktur geologi), dan aktivitas penambangan.

Cleat batubara berdasarkan jenisnya dibedakan menjadi dua (Muhartanto, A dan

Iskardan, E, 2006) :Face cleat dan Butt cleat. Face cleat mempunyai rekahan yang

panjang dan sering dikenal sebagai rekahan utama atau primary cleat. Pada Butt cleat

mempunyai rekahan yang lebih pendek, sering melenkgkung dan memotong tegak

lurus face cleat dan sering dikenal sebagai secondary cleat.

Pada daerah penelitian pada lokasi pengamatan 102 di temukan face cleat

dengan arah umum N3500E sedangkan Butt cleat memiliki arah umum N0800E, dan

memiliki bukaan antar cleat 0.06 mm yang terisi oleh pyrite atau mineral lempung

dan memiliki sapcing antar cleat nya 0.8-4 cm.

Berdasarkan deskriptif dan analisa stereografis, jenis cleat yang

berkembang pada daerah penelitian, tepatnya di lokasi pengamatan 102, termasuk

dalam jenis exogenic cleat, terbentuk oleh gaya eksternal yang berhubungan dengan

kejadian tektonik. Cleat ini dicirikan oleh, terbentuknya face cleat yang memiliki

orientasi searah dengan arah tegasan.

5.4.3 Struktur Geologi Sesar

5.4.3.1 Sesar Selaru Satu dan Dua

Gambar 33. Sesar Selaru Satu dan Dua LP 102 dan 22 (Rickard 1972)

Page 82: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

82

Sesar Selaru Satu berada di lokasi pengamatan 22, tepatnya pada X : 400406

, Y: 9621861 memiliki orientasi pergerakan N012°E/72° dengan pergerakan naik

dengan besar rake 71°, sesar tersebut memotong litologi batubara, dengan throw

0,45 meter. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar Left Reverse

Slip Fault ( Rickard, 1972).

Sesar Selaru Dua berada di lokasi pengamatan 102, tepatnya pada X

:400796, Y: 9622258 memiliki orientasi pergerakan N250°E/75° dengan

pergerakan turun dengan besar rake 72°, sesar tersebut memotong litologi batubara,

dengan throw 1,5 meter. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar

Right Normal Slip Fault ( Rickard, 1972).

5.4.3.2 Sesar Selaru Tiga dan Empat

Gambar 34. Sesar Selaru Tiga dan Empat LP 17 dan 33 (Rickard, 1972)

Sesar Selaru Tiga berada di lokasi pengamatan 17, tepatnya pada X : 400912;

Y:9622147 memiliki orientasi pergerakan N200°E/70° dengan pergerakan naik

dengan besar rake 67°, sesar tersebut memotong litologi batubara, dengan throw 8,5

meter. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar Right Reverse Slip

Fault ( Rickard, 1972).

Sesar Selaru Empat berada di lokasi pengamatan 33, tepatnya pada X :

401436; Y: 9621634 memiliki orientasi pergerakan N086°E/76° dengan pergerakan

turun dengan besar rake 74°, sesar tersebut memotong litologi batubara, dengan

Page 83: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

83

throw 3 meter. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar Right

Normal Slip Fault ( Rickard, 1972).

5.4.3.3 Sesar Selaru Lima dan Enam

Gambar 35. Sesar Selaru Lima dan Enam LP 103 dan 09 (Rickard 1972)

Sesar Selaru Lima berada di lokasi pengamatan 103, tepatnya pada X :

402070; Y: 9621866 memiliki orientasi pergerakan N320°E/67° dengan pergerakan

naik dengan besar rake 67°, sesar tersebut memotong litologi batubara, dengan

throw 1,85 meter. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar Right

Normal Slip Fault ( Rickard, 1972).

Sesar Selaru Enam berada di lokasi pengamatan 09, tepatnya pada X :

401505; Y: 9621174memiliki orientasi pergerakan N210°E/76° dengan pergerakan

naik dengan besar rake 74°, sesar tersebut memotong litologi batubara, dengan

throw 3,1 meter. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar Right

Reverse Slip Fault ( Rickard, 1972).

5.4.3.4 Sesar Selaru Tujuh dan Delapan

Sesar Selaru Tujuh berada di lokasi pengamatan 10, tepatnya pada X :

402233; Y: 9621852 memiliki orientasi pergerakan N058°E/73° dengan pergerakan

kanan dengan besar rake 26°, sesar tersebut tidak memotong litologi batubara.

Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar Normal Right Slip Fault (

Rickard, 1972).

Page 84: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

84

Sesar Selaru Delapan berada di lokasi pengamatan 30, tepatnya pada X :

400154; Y: 9621464 memiliki orientasi pergerakan N056°E/77° dengan pergerakan

turun dengan besar rake 71°, sesar tersebut memotong litologi batubara, dengan

throw 2,2 meter. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar Left

Normal Slip Fault ( Rickard, 1972).

Gambar 36. Sesar Selaru Tujuh dan Delapan LP 10 dan 30 (Rickard 1972)

5.4.3.5 Sesar Selaru Sembilan dan Sepuluh

Gambar 37. Sesar Selaru Sembilan dan Sepuluh LP 39,41 dan 47,49 (Rickard 1972).

Sesar Selaru Sembilan berada di lokasi pengamatan 39 dan 41, tepatnya

pada X : 400015; Y: 9621238 sampai X: 400156;Y: 9621239 memiliki orientasi

pergerakan N260°E/69° dengan pergerakan kanan naik dengan besar rake 20°, sesar

tersebut tidak memotong litologi batubara, hanya memotong batupasir Tanjung

Page 85: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

85

pada bagian selatan. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar

Reverse Right Slip Fault ( Rickard, 1972).

Sesar Selaru Delapan berada di lokasi pengamatan 47 dan 49, tepatnya pada

X : 400073; Y: 9621053 sampai X: 400537; Y: 9621081 memiliki orientasi

pergerakan N100°E/78° dengan pergerakan turun dengan besar rake 19°, sesar

tersebut tidak memotong litologi batubara, hanya memotong batupasir Tanjung

pada bagian selatan. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar

Reverse Right Slip Fault ( Rickard, 1972).

5.4.4 Genesa Struktur Geologi Daerah Penelitian.

Gambar 38. A.Permodelan struktur geologi pure shear (Moody and Hill, 1956) B. Struktur

geologi daerah penelitian C. Tegasan dan kedudukan perlapisan batuan

Struktur geologi daerah penelitian merupakan struktur geologi post

deposition sedimen, dilihat dari kenampakan batubara daerah penelitian, tidak

terdapat batubara yang menebal atau menipis secara signifikan. Hal tersebut terjadi

karena tidak adanya pengaruh perubahan bentuk cekungan saat terjadi

pengendapan.

Berdasarkan pengamatan di lapangan dan analisis stereografis, didapatkan

kekar gerus (shear joint) yang menunjukan tegasan utama memiliki orientasi

berarah 01°, N304°E - 01°, N106°E (Baratlaut-Tenggara). Pendekatan genesa

struktur geologi daerah penelitian menggunakan pure shear dalam permodelan

moody and hill 1956. Pure shear merupakan deformasi yang terjadi akibat gaya

tekanan dengan arah berlawanan pada satu sumbu saja dan memiliki orientasi

sumbu non-coaxial.

Page 86: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

86

Struktur yang dibentuk oleh pure shear merupakan tegasan orthogonal,

dalam hal ini Baratlaut-Tenggara. Selain itu, mengacu pada geologi regional,

struktur geologi daerah penelitian merupakan hasil dari tektonik konvergensi

orthogonal sehingga terjadi pengangkatan Pegunungan Meratus pada Miosen Akhir

dan efektif pada Plio-Plistosen (5-1 jtl), ditandai dengan adanya pensesaran naik

dan pensesaran geser kemudian diikuti dengan pensesaran turun yang cukup intens

pada kala itu.

Berdasarkan moody and hill 1956, daerah penelitian terbagi menjadi satu

orde, yaitu sesar naik dengan orientasi Timurlaut-Baratdaya atau ditunjukan dengan

Sesar Selaru Satu (LP 22), Sesar Selaru Tiga (LP 17), Sesar Selaru Enam (LP 9).

Sesar Selaru Tiga (LP17) diduga sesar ini cukup berperan penting hingga

menyingkap satuan batupasir Tanjung dibagian baratdaya. Kompresi terus berlanjut

hingga membentuk sesar mendatar kanan dengan orientasi relative barat-timur dan

mendatar kiri dengan orientasi Tenggara-Baratlaut. Extension menyebabkan

terbentuknya sesar turun berarah Baratlaut-Tenggara. Release menyebabkan

terbentuknya sesar turun dengan orientasi relative Timurlaut-Baratdaya.

5.4.5 Sejarah Geologi

Sejarah geologi daerah penelitian dimulai saat intensitas subduksi pada

mikrokontinen patenoster sehingga mengalami extentional rift yang

menyebabkan terbentuknya block faulting dan menjadi wadah sedimentasi. Pada

periode ini terbentuk Cekungan Asam-Asam dimana diindikasikan sebagai satu

depocenter dengan Cekungan Barito pada kala Eosen Tengah-Oligosen Awal

(16-36.5 jtl) (Witts, dkk 2012).

Sejarah geologi pada daerah penelitian ini pada kala Eosen Tengah-

Oligosen Awal, adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :

1. Terbentuknya Cekungan, yang dimulai saat intensitas subduksi pada

mikrokontinen patenoster sehingga mengalami extentional rift pada kala

Eosen Tengah-Oligosen Awal (16-36.5 jtl) yang menyebabkan terbentuknya

block faulting dan menjadi wadah sedimentasi. Pada periode ini,

terbentuknya Cekungan Barito, dimana Cekungan Asam-Asam masih dalam

satu cekungan dengan Cekungan Barito. (Witts, dkk 2012)

2. Setelah terbentuknya cekungan, pada daerah penelitian diendapkannya

Formasi Tanjung yang diendapkan pada kala Eosen Tengah-Oligosen Awal,

berupa material klastik berupa batupasir dan batulanau, dan membentuk

Page 87: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

87

satuan batupasir Tanjung yang terendapkan pada sub lingkungan berupa

channel aktif dan termasuk lingkungan pengendapan transitional-lower delta

plain (Horne,1978).

3. Selanjutnya secara selaras diatas batulanau Tanjung terendapkan material

klastik berupa batulanau, batupasir, batubara, yang membentuk satuan

batulanau Tanjung yang termasuk sub lingkungan pengendapan berupa

crevasse splay, levee, interdistributary bay, back swamp dan termasuk

lingkungan pengendapan transitional-lower delta plain (Horne,1978).

4. Kemudian secara selaras diatas batuserpih Tanjung terendapkan material

klastik berupa batulanau, batuserpih yang membentuk satuan Batuserpih

Tanjung yang termasuk sublingkungan pengendapan interdistributary bay

dan termasuk lingkungan pengendapan transitional-lower delta plain

(Horne,1978).

5. Pada kala Miosen Akhir terjadi pengangkatan Pegunungan Meratus dan

efektif pada kala Plio-Plistosen (5-1 jtl), ditandainya dengan adanya kejadian

struktur geologi cukup intens, batuan yang telah terendapkan mulai

terdeformasi ditandai dengan pensesaran naik dan geser kemudian diikuti

dengan turun. Struktur yang ditemukan di daerah penelitian merupakan hasil

dari tektonik konvergensi.

6. Struktur yang terbentuk merupakan hasil dari tegasan ortogonal dengan arah

Baratlaut-Tenggara pasca batuan yang ada telah terbentuk (post

depositional).

7. Struktur yang berkembang merupakan satu periode deformasi yang sama.

Diawali oleh adanya kompresi yang menghasilkan sesar naik satuan batupasir

Tanjung tersingkap. Kompresi terus berlanjut hingga membentuk sesar

mendatar kanan dengan orientasi relative Barat-Timur dan mendatar kiri

dengan orientasi Tenggara-Baratlaut. Extension menyebabkan terbentuknya

sesar turun berarah Baratlaut-tenggara. Release menyebabkan terbentuknya

sesar turun dengan orientasi relative Timurlaut-Baratdaya.

8. Setelah terjadi deformasi, proses erosi dan pelapukan, diendapkannya tidak

selaras endapan alluvial, sebagai tandai proses geologi masa kini (recent)

Page 88: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

88

Gambar 39. Sejarah geologi daerah penelitian

Page 89: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

89

BAB VI

PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP POLA SEBARAN DAN

KEMENERUSAN SEAM BATUBARA PT. SEBUKU TANJUNG COAL

PADA CEKUNGAN ASEM-ASEM, FORMASI TANJUNG, PULAU LAUT,

KABUPATEN KOTABARU, KALIMANTAN SELATAN

6.6. Sebaran Seam Batubara Berdasarkan Korelasi Penampang Bor Batubara

dan Data Permukaan

6.6.1 Karakteristik Seam Batubara Daerah Penelitian

Tabel 8. Karakteristik Batubara Daerah Penelitian

Karakteristik batubara daerah penelitian dibedakan berdasarkan pengamatan

secara fisik yang dapat diamati dilapangan, terbagi menjadi 4 yaitu :

1. Seam A

2. Seam B

3. Seam C

4. Seam D

Masing-masing seam batubara memiliki ciri fisik, yang dapat dibedakan,

sebagai berikut :

5.5.1.1 Seam A

Seam A terdapat didaerah penelitian yang tersingkap dipermukaan dijumpai

pada lokasi pengamatan 1,3,4,5,6,8,16,17,18,20,22,90,91,92,94,100,101,103. Seam

ini merupakan seam paling tua didaerah penelitian, singkapan tersingkap cukup

baik dipermukaan, diantaranya berada pada jalan bukaan bor, lokasi bulk sampling,

alur liar, dan lembah. Sebagian besar kemenerusan seam tidak tersingkap

Page 90: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

90

dipermukaan. Hal ini diakibatkan proses eksogen berupa erosi dan pelapukan di

daerah penelitian sehingga seam tersebut tertutup soil maupun endapan aluvial.

Vegetasi yang lebat pada daerah penelitian juga menyebabkan tertutupnya

singkapan seperti tumbuhan penutup baik akar, rumput, pohon dan lain.

Berdasarkan kenampakan di lapangan, ciri-ciri seam A memiliki

karakteristik bright,black,streak dark brown,uneven-concoidal,easily broken,

pyrite, resin, clay mineral, oxide mineral, banded bright coal. Parting :coaly shale

dan claystone, roof ;siltstone-coaly shale. Cleat spacing 0.5-4cm. kedudukan

N265E/14 – N220E/10, dengan tebal kisaran 0.57-3.43 meter.

Gambar 40. Foto Singkapan Seam A pada Lokasi Pengamatan 101 (lensa kamera menghadap

Timurlaut)

5.5.1.2 Seam B

Gambar 41. Kenampakan Seam B pada Lokasi Pengamatan 95 (lensa kamera menghadap Utara)

Seam B terdapat didaerah penelitian yang tersingkap dipermukaan dijumpai

pada lokasi pengamatan 5,6,17, dan 95. Berdasarkan kenampakan di lapangan, ciri-

ciri seam B memiliki karakteristik bright-dull, black, streak dark brown, uneven-

Page 91: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

91

blocky, easily broken, resin,clay mineral,banded coal. Parting : claystone,

roof:siltstone, floor :siltstone. Cleat spacing 0.5-1 cm, kedudukan N275E/15.

5.5.1.2 Seam C

Gambar 42. Kenampakan Seam C pada Lokasi Pengmatan 95 (lensa kamera menghadap

Timurlaut)

Seam C terdapat didaerah penelitian yang tersingkap dipermukaan dijumpai

pada lokasi pengamatan 16, 95 dan 98. Berdasarkan kenampakan di lapangan, ciri-

ciri seam C memiliki karakteristik dull, black, streak dark brown, blocky,

hard,resin,clay mineral, banded dull coal. Roof ; siltstone, Floor : Coaly shale,

Cleat spacing 0.5-1 cm. Kedudukan N265E/14.

6.6.2 Analisis dan Interpretasi Pola Struktur Geologi terhadap Pengaruh Pola

Sebaran Batubara

Struktur geologi daerah penelitian merupakan struktur geologi post

deposition sedimen, dilihat dari kenampakan batubara daerah penelitian, tidak

terdapat batubara yang menebal atau menipis secara signifikan. Hal tersebut terjadi

karena tidak adanya pengaruh perubahan bentuk cekungan saat terjadi

pengendapan.

Berdasarkan pengamatan lapangan secara langsung pada daerah penelitian,

struktur geologi yang berkembang berupa kekar gerus (shear joint) dan sepuluh

sesar berupa sesar naik, sesar mendatar, sesar turun.

Berdasarkan genesa struktur geologi daerah penelitian, kompresi daerah

penelitian memiliki orientasi berarah 01°, N304°E - 01°, N106°E (Baratlaut-

Tenggara). Orientasi kompresi daerah penelitian menggunakan data shear joint

(kekar gerus). Kedudukan batubara menunjukan arah kemiringan relative N265E –

N220E, dengan besar kemiringan sebesar 10-15°. Mengacu pada geologi regional,

Page 92: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

92

struktur geologi daerah penelitian merupakan hasil dari tektonik konvergensi

orthogonal pada umur Plio-Plistosen (5-1 jtl), ditandai dengan adanya pensesaran

naik dan pensesaran geser kemudian diikuti dengan pensesaran turun yang cukup

intens pada kala itu.

Pola sebaran batubara berdasarkan data permukaan dan data bor, yang

disajikan dalam bentuk section 2 dimensi. Dari section tersebut dapat dilihat apakah

data permukaan berupa struktur geologi dengan data bor sama, dan dapat

menginterpretasikan batubara daerah penelitian menerus atau setempat.

Berdasarkan data singkapan yang diperoleh lapisan seam A memiliki persebaran

yang orientasinya berarah timurlaut-baratdaya kemudian dipotong oleh beberapa

struktur geologi berupa sesar (Lampiran A5).

Berdasarkan analisis stereografis, struktur geologi pada daerah penelitian

terbagi menjadi 10 sesar (Tabel 9), yang terbagi menjadi :

1. Sesar Selaru Satu

2. Sesar Selaru Dua

3. Sesar Selaru Tiga

4. Sesar Selaru Empat

5. Sesar Selaru Lima

6. Sesar Selaru Enam

7. Sesar Selaru Tujuh

8. Sesar Selaru Delapan

9. Sesar Selaru Sembilan

10. Sesar Selaru Sepuluh

Penarikan cropline batubara pada peta cropline berdasarkan seam batubara

yang memiliki nilai ekonomis paling tinggi yaitu seam A. Setelah dibuat cropline

batubara, dapat terlihat bahwa batubara pada daerah penelitian memiliki pengaruh

yang cukup besar terhadap struktur geologi yaitu sesar.

Page 93: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

93

Gambar 43. Peta cropline dan struktur geologi

Tabel 9.Tabel pemerian sesar daerah penelitian

Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, masing-masing sesar

memiliki nilai throw yang bervariasi 0,45 m – 8,5 m. Tidak semua sesar yang

Page 94: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

94

berkembang pada daerah telitian memotong litologi batubara, struktur geologi yang

memotong litologi batubara merupakan Sesar Selaru 1,2,3,4,5,6,8.

6.6.3 Validasi Sesar Mayor

Dalam melakukan validasi sesar mayor, dilakukan dengan metode

kombinasi antara data permukaan dan data bawah permukaan., sehingga dapat

diperoleh hasil dari kelurusan sesar tersebut yang mempengaruhi pola sebaran dari

batubara dan juga dilakukan analisa dengan metode section.

Kelurusan dari arah sesar diurutkan berdasarkan penarikan dari rute bor.

Kelurusan dari arah sesar yang ditemukan pada lokasi pengamatan, terdapat

kesesuaian dengan konsep genetik dari model Moody and Hills (1956), dimana

sesar yang berkembang pada daerah penelitian merupakan orde satu dan dalam

periode yang sama, hal tersebut dapat mempermudah dalam penentuan struktur

mana yang bersifat mayor, dan yang mempengaruhi dari persebaran seam batubara.

Sesar mayor akan memiliki dampak yang besar dari persebaran batubara.

Dalam struktur geologi sekunder berupa sesar, sesar mayor dapat mengubah

kedudukan batubara, mengubah posisi atau kedalaman dari batubara. Menurut

Thomas 2013, struktur geologi post genetic terdapat efek sesar terhadap batubara,

termasuk perpindahan fisik lapisan batubara, mengurangi stabilitas tanah dalam

penambangan, membuka rekahan sebagai celah air dan gas masuk kedalam lapisan

batubara, dan perubahan kandungan mineral

Sesar naik dapat menyebabkan seretan sepanjang bidang patahan, sehingga

batuan sekelilingnya juga bergeser sepanjang arah pergeseran dari sesar tersebut.

Apabila berupa sesar besar, maka sesar tersebut dapat menggeser seluruh lapisan

batuan dan batubara hingga beberapa meter, dimana zona sesar tersebut berupa

bidang hancuran dan bias terlihat di high wall tambang batubara terbuka.

6.6.4 Korelasi Penampang Bor

Keterdapatan seam batubara pada daerah penelitian hanya ditemukan

dibeberapa titik saja dengan ketinggian yang bebeda-beda, tidak menyebar secara

merata di seluruh lapisan. Oleh karena itu penulis memfokuskan untuk membuat

sebaran batubara berdasarkan seam yang tersingkap di permukaan dengan

mengkombinasikan seam yang berada dibawah permukaan dengan menggunakan

data bor open hole

Page 95: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

95

Untuk mengetahuinya penulis membuat korelasi struktur menggunakan data

bor open hole. Data bor yang dipilih adalah data bor yang berlokasi dekat dengan

ditemukannya batuan tersebut dan tersebar merata pada daerah penelitian.

Menurut Koesoemadinata (1982), korelasi adalah suatu operasi dimana satu

titik dalam suatu penampang stratigrafi disambungkan dengan titik-titik yang lain

pada penampang-penampang stratigrafi lainnya dengan pengertian bahwa titik-titik

tersebut terdapat dalam bidang perlapisan yang sama. Persamaan dalam hal ini

biasanya persamaan sifat litologi atau persamaan umur geologi. Korelasi dibagi

menjadi dua yaitu korelasi struktur dan korelasi stratigrafi.

Penulis melakukan korelasi struktur yang dibuat dengan cara menempatkan

atau menggunakan ketinggian sebagai datum sehingga akan memberikan gambaran

posisi batuan setelah aktivitas tektonik baik itu kekar, sesar maupun perlapisan

miring. Ketinggian yang digunakan sebagai datum ketinggian dimana data bor itu

berada. Setelah diketahui datumnya, kemudian membuat penampang antar titik bor

dengan ketinggian berdasarkan kontur daerah penelitian. Penampang ini digunakan

untuk menggantungkan kedalaman data bor berdasarkan datumnya. Untuk

mempermudah pengkorelasian agar efektif dan detail, maka pemilihan data bor

yang dikorelasi merupakan data bor yang saling berdekatan juga searah dan tegak

lurus dengan dip perlapisan agar dapat diketahui sebaran batubara di daerah

penelitian.

Setelah dibuat korelasi strukturnya baik itu searah dip maupun tegak lurus

dip perlapisan batuan daerah penelitian, kemudian menghubungkannya dengan

topografi daerah penelitian guna mengetahui sebaran batubaranya. Seam yang

terhubung pada satu sumur dengan sumur lainnya pada penampang yang tersingkap

di permukaan akibat dari slope pada topografinya diyakini sebagai sebaran batubara

pada daerah penelitian berdasarkan korelasi tersebut. Dari data tersebut dapat

dihubungkan dengan data seam yang berada dipermukaan sehingga dapat

diinterpretasikan kemenerusan dan sebaran batubara pada daerah penelitian.

Berdasarkan korelasi dan menggunakan data bor dan data yang tersingkap

dipermukaan dapat diinterpretasikan bahwasanya sebaran batubara seam A, seam

B dan seam C relatif berarah timurlaut-baratdaya dengan ketebalan yang bervariasi.

Pada penampang bor batubara dapat dilihat beberapa seam yang tidak menerus

melainkan setempat, hal ini diakibatkan karena daerah penelitian merupakan daerah

pasangsurut sehingga mempengaruhi proses pembentukan batubara itu sendiri, juga

Page 96: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

96

dapat disebabkan oleh pengaruh tekanan akibat tektonik yang berkembang,

mengakibatkan batubara tersebut akan ikut memipih sehingga batubara tersebut

memiliki ketebalan yang tidak sama. Juga bentukan cekungan pada saat

pembentukan batubara juga dapat mempengaruhi ketebalan dan kemenerusan

batubara.

1. Penampang korelasi struktur sayatan bor A-A’

Gambar 44. Penampang Bor A-A' (on dip)

Pada penampang korelasi struktur bor A-A’, yang terdiri dari 9 data bor,

korelasi struktur dilakukan dengan menggunakan skala 1:10.000 dengan

perbandingan horizontal : vertical = 1:1, penulis menginterpretasikan dengan

menggunakan datum elevasi kemudian memasukan data permukaan berupa data

sesar, sesuai dengan elevasi dan jarak horizontalnya.

Berdasarkan data tersebut, pada posisi Sesar Selaru Tiga (LP 17), terdapat

perbedaan kedudukan dan elevasi top batubara seam A (offseti), kemudian

digabungkan dengan data permukaan, sesar tersebut memiliki throw dilapangan

sebesar 8,5 meter, dengan orientasi N200°E/70°, pergerakan naik dengan nama

Right Reverse Slip Fault (Rickard, 1972). Setelah diinterpretasikan, sesar tersebut

memotong kedudukan searah strike yang mengakibatkan tidak menerus atau

terpotongnya batubara seam A pada daerah penelitian (Gambar 44) dan juga

mengakibatkan bagian baratdaya daerah penelitian terjadi pengangkatan sehingga

Batupasir Formasi Tanjung tersingkap. Berdasarkan pengaruh dari Sesar Selaru

Tiga (LP 17) tersebut dan genesa sesar daerah penelitian, sesar tersebut merupakan

sesar mayor.

Struktur geologi selain Sesar Selaru Tiga (LP 17) dalam korelasi struktur

A-A’ tidak menunjukan adanya offset yang cukup terlihat, kemudian dikorelasi

dengan data permukaan sesar tersebut hanya memiliki throw yang cukup kecil

Page 97: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

97

(lokal) berkisar 3 – 3,1 meter, sehingga tidak dapat terlihat dari penampang korelasi

struktur A-A’.

2. Penampang korelasi struktur sayatan bor B-B’

Gambar 45. Penampang Bor B-B' (On Strike)

Pada penampang korelasi struktur bor B-B’, yang terdiri dari 6 data bor,

korelasi struktur dilakukan dengan menggunakan skala 1:10.000 dengan

perbandingan horizontal : vertical = 1:1, penulis menginterpretasikan dengan

menggunakan datum elevasi kemudian memasukan data permukaan berupa data

sesar, sesuai dengan elevasi dan jarak horizontalnya.

Berdasarkan korelasi struktur bor B-B’, terdapat perbedaan kedudukan

batubara Seam A, yang menunjukan adanya offset turun. Dengan mengkorelasikan

data permukaan tersebut dengan data permukaan, struktur geologi yang berperan

merupakan Sesar Selaru Empat (LP 33), dengan orientasi N086°E/76°, pergerakan

turun, throw 3 meter, dengan nama Right Normal Slip Fault (Rickard, 1972).

Berdasarkan lintasan B-B’ Sesar Selaru Empat (LP 33) memotong bidang

perlapisan (dip) dan memiliki pengaruh dalam persebaran batubara (mayor).

Struktur geologi selain Sesar Selaru Empat (LP 33) dalam korelasi struktur

B-B’ tidak menunjukan adanya offset yang cukup terlihat, kemudian dikorelasi

dengan data permukaan sesar tersebut hanya memiliki throw yang cukup kecil

(lokal) berkisar 1-1.85 meter, sehingga tidak dapat terlihat dari penampang korelasi

struktur B-B’.

Page 98: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

98

Gambar 46. Penampang Bor C-C' (On Strike)

Pada penampang korelasi struktur bor C-C’, yang terdiri dari 6 data bor,

korelasi struktur dilakukan dengan menggunakan skala 1:10.000 dengan

perbandingan horizontal : vertical = 1:1, penulis menginterpretasikan dengan

menggunakan datum elevasi kemudian memasukan data permukaan berupa data

sesar, sesuai dengan elevasi dan jarak horizontalnya.

Berdasarkan korelasi struktur bor C-C’, terdapat perbedaan kedudukan

batubara Seam A, yang menunjukan adanya offset turun. Dengan mengkorelasikan

data permukaan tersebut dengan data permukaan, struktur geologi yang berperan

merupakan Sesar Selaru Dua (LP 102), dengan orientasi N250/75, pergerakan

turun, throw 1.5 meter, dengan nama Right Normal Slip Fault (Rickard, 1972).

Berdasarkan lintasan C-C’ Sesar Selaru Dua (LP 102) didapatkan memotong

bidang perlapisan (dip) dan memiliki dalam persebaran batubara (mayor).

Struktur geologi selain Sesar Selaru Dua (LP 102) dalam korelasi struktur

C-C’ tidak menunjukan adanya offset yang cukup terlihat, kemudian dikorelasi

dengan data permukaan sesar tersebut hanya memiliki throw yang cukup kecil

(lokal) berkisar 2.2 meter, sehingga tidak dapat terlihat dari penampang korelasi

struktur C-C’.

Keterdapatan struktur geologi yang mempengaruhi pola sebaran batubara

pada daerah penelitian yang telah dibahas dan ditentukan secara detail, maka dapat

mengetahui proses-proses struktur geologi yang bekerja selama proses tektonik dan

proses yang masih berlangsung serta pengendapan batubara di dalam suatu

cekungan yang akan mempengaruhi bentuk dan pola sebaran batubaran tersebut.

Dengan adanya data permukaan geologi berupa sesar tersebut dan melihat

model genesa yang berkembang pada daerah penelitian, sesar mayor yang terdiri

dari Sesar Selaru Dua, Tiga dan Empat dapat mempengaruhi kemenerusan batubara,

Page 99: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

99

terutama pada Sesar Selaru Tiga yang terdapat pada lokasi pengamatan 17, terdapat

perubahan kemenerusan yang dibatasi oleh sesar tersebut yang dapat dilihat pada

(gambar 44), hal tersebut bisa dijadikan acuan untuk kemenerusan dan penyebaran

batubara lainnya.

Dengan adanya intensitas struktur geologi yang cukup tinggi, perlu adanya

pengambilan data pemboran yang lebih detail dalam pengembangan eksplorasi,

terutama pada kelurusan-kelurusan sesar mayor pada daerah penelitian, sehingga

dapat membangun model penyebaran batubara yang lebih detail. Dalam kasus pada

daerah penelitian batubara tidak hilang sepenuhnya atau dalam kata lain, hilang

bukan karena proses pengendapannya namun karena adanya struktur geologi.

Menurut Thomas, 2013 sesar dapat menghentikan kegiatan penambangan secara

lokal maupun total karena adanya pergeseran dalam kemenerusan sesar seperti sesar

naik dan sesar turun. Oleh karena itu, perlu adanya implikasi pola sebaran dan

kemenerusan batubara pada pertambangan, antara lain sebagai berikut :

1. Dalam penentuan titik bor, model grid biasanya digunakan karena sangat cocok

untuk endapan lapisan. Keuntungan menggunakan grid adalah memfasilitasi

manipulasi dan penggunaan data. Struktur geologi, ketebalan, dan parameter

lain yang ditumpuk di atas satu sama lain dapat ditambahkan, dikurangi,

dikalikan, dibagi, atau dibandingkan untuk sampai pada kumpulan data turunan

lainnya, dan hanya parameter yang diinginkan yang perlu dimodelkan

(Thomas, 2013). Berdasarkan kenampakan struktur geologi pada daerah

penelitian, memperlihatkan batubara yang terpotong-potong hingga

kemenerusan dan persebarannya berubah (gambar 44), penulis menyarankan

adanya perapatan jarak titik bor untuk pengembangan eksplorasinya, yang

awalnya 50-200 meter dirapatkan menjadi 10-30 meter, terutama pada bagian

yang diduga kelurusan sesar mayor, dengan tetap memperhatikan kaidah

kemenerusan dan persebaran batubara (strike dan dip).

2. Dengan mengertinya pola persebaran dan kemenerusan batubara, dapat

merencanakan lebih detail terkait desain tambangnya, khususnya pada daerah

zona sesar, yang merupakan zona lemah, akan sangat erat kaitannya dengan

hidrogeologi, yang menjadi musuh dari penambangan open pit. Di tambang

terbuka, air dapat masuk melalui dasar lubang, yang disebabkan oleh tekanan

ke atas dalam akuifer terbatas yang meretakkan batuan di atasnya yang telah

Page 100: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

100

menjadi tipis karena pendalaman lubang. Di bawah tanah tambang, fenomena

serupa dapat terjadi di mana pengurangan stres yang substansial telah terjadi.

Floor heave merupakan masalah serius karena dapat mengakibatkan banjir

tiba-tiba di tambang dan menyebabkan gangguan atau bahkan penghentian

produksi batubara (Thomas, 2013). Oleh karena itu, perlu adanya sistem atau

metode agar pada air tersebut tidak mengganggu dalam proses penambangan,

yaitu dengan cara dewatering. Dewatering dirancang untuk menghentikan

aliran air ke dalam lubang, menjaga kestabilan lereng dan melindungi air tanah

untuk pengambilan di daerah sekitar pekerjaan tambang. Situasi standar adalah

di mana tambang akan memotong dan menggali di bawah permukaan air.

Artinya, muka air tanah di sekitar tambang perlu ditekan untuk menghindari

banjir. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan pompa yang dipasang di bah

di dasar lubang, tetapi ini tidak memungkinkan untuk pengeringan sebelum

penambangan. Sumur vertikal digunakan secara luas untuk dewatering, pola

sumur yang tepat tergantung pada karakteristik hidrogeologi spesifik lokasi.

Air dapat dikeluarkan dari akuifer dengan gravitasi atau dengan pemompaan

menggunakan pompa submersible di lubang bor. Sumur gravitasi mengalirkan

air dari akuifer atas ke yang lebih rendah di bawah tingkat dasar lubang. Sumur

pompa mengangkat air dari akuifer ke permukaan tanah untuk dibuang.

Gambar 47. Skema dewatering dua tahap menggunakan titik sumur untuk menurunkan muka air

tanah di bawah dasar galian (Thomas, 2013).

Page 101: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

101

Gambar 48. Jenis penambangan terbuka di mana metode dewatering tingkat lanjut digunakan.

(Dari Clarke (1995), dengan izin dari IEA Coal dalam Thomas, 2013)

Daerah penelitian termasuk dalam kategori penambangan dengan dangkal,

sehingga dapat menggunakan metode dewatering tipe b (gambar 49).

3. Dampak positif dengan adanya intensitas struktur geologi yang tinggi pada

pertambangan batubara, akan ditemukannya double seam batubara pada

sesar naik, hal tersebut terjadi karena karakteristik batubara dan batuan

sedimen diatasnya bersifat ductile.

4. Dengan adanya struktur geologi yang memiliki intensitas tinggi, perlu

memperhatikan desain kestabilan lereng pada high wall tambang, terutama

Page 102: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

102

pada zona sesar. Desain kestabilan lereng pada high wall, dibuat lebih landai

dan berundak disesuaikan dengan pemilihan metode analasis.

5. Dalam penambangan dengan metode open pit, dengan adanya struktur

geologi yang cukup intens, dengan memperhatikan kondisi hidrologi,

pengupasan atau stripmine perlu dilakukan dengan cara khusus yaitu sistem

per blok, karena untuk menghindari air masuk ke dalam proses pengupasan,

expose batubara dan coal getting.

Page 103: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

103

BAB VI

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan mengenai “Geologi dan Pengaruh Struktur Geologi

Terhadap Pola Sebaran dan Kemenerusan Seam Batubara PT.Sebuku Tanjung

Coal, Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten Kotabaru, Provinsi

Kalimantan Selatanmaka pada daerah penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Pola pengaliran di daerah penelitian adalah Subdendritik. Pola pengaliran

ini dipengaruhi oleh topografi dan struktur geologi serta pada sungai

utamanya yang telah berstadia tua dan pada alur liarnya sebagian masih

berstadia muda.

2. Geomorfologi pada daerah penelitian dapat di kelompokan menjadi satuan

bentukan asal, yaitu bentuk asal denudasional (D), antropogenik (A) dan

fluvial (F). Bentuk asal denudasional dibagi menjadi 2 yaitu Perbukitan

Bergelombang dan Peneplain. bentuk asal antropogenik dibagi menjadi 2

yaitu Hasil Penambangan dan Hasil Timbunan

3. Stratigrafi daerah telitian disusun oleh 3 satuan batuan dari tua ke muda,

yaitu satuan batupasir Formasi Tanjung, satuan batulanau Formasi Tanjung,

satuan batuserpih Formasi Tanjung dan satuan endapan aluvial

4. Struktur geologi daerah penelitian meliputi kekar, sesar, dan kedudukan

perlapisan batuan. Tegasan utama memperlihatkan orientasi Baratlaut-

Tenggara. Sesar daerah penelitian dapat dibagi menjadi sepuluh yaitu Sesar

Selaru Satu, Sesar Selaru Dua, Sesar Selaru Tiga, Sesar Selaru Empat, Sesar

Selaru Lima, Sesar Selaru Enam, Sesar Selaru Tujuh, Sesar Selaru Delapan,

Sesar Selaru Sembilan, Sesar Selaru Sepuluh

5. Berdasarkan korelasi data permukaan dengan data bawah permukaan (bor),

terdapat struktur geologi berupa sesar, yang dapat berpengaruh terhadap

pola sebaran dan kemenerusan batubara, yaitu Sesar Selaru Tiga (LP 17),

Sesar Selaru Empat (LP 33) dan Sesar Selaru Dua (LP 102).

Page 104: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

104

6. Berdasarkan pola sebaran dan kemenerusan batubara daerah penelitian,

perlu dilakukannya pendetailan rute bor dengan jarak 10-30 meter,

menghindari potensi hidrogeologi yang dapat meluap karena intensitas

struktur geologi yang tinggi, perlu adanya dewatering dengan sistem

pompa, memperhatikan terkait kestabilan lereng pada highwall, stripmine

dilakukan dengan cara perblok, untuk menghindari adanya air masuk saat

expose batubara maupun coal getting.

Page 105: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

105

DAFTAR PUSTAKA

Anderson E.M. 1951. The Dynamic of Faulting and Dyke Formation with

Applications of Brittan, Edinburgh, Oliver and Boyd. Stanford University :

California.

Bemmelen, V. R. 1949. The Geology of Indonesia. Netherland: Springer.

Billings, M.P., 1972, Structural Geology 3rd Edition: Prentice Hall Inc,

Englewood Cliffs. 591 hal.

Boggs, S. J. 2006. Principles of Sedimentology and Stratigraphy. New Jersey:

Pearson.

Darlan, Y, Purwanto C dan Sulistyanti, R. 1999.STUDI REGIONAL

CEKUNGAN BATUBARA WILAYAH PESISIR TANAH LAUT–

KOTABARU KALIMANTAN SELATAN.

Davis, R.C. Noon, S.W dan Harrington. J. 2007. The petroleum potential of

Tertiary coals from Western Indonesia: Relationship to mire type and

sequence stratigraphic setting. Netherland : International Journal of Coal

Geology 70 (2007) 35–52

Dennis, J.G., 1979. Structural Geology: New York, John Wiley & Sons, 532 hal.

Horne, J. C., 1978. Depositional Models in Coal Exploration and Mine Palnning

in Appalachian Region. Texas. AAPG Convention SEPM Houson.

Howard, A.D, 1967, Drainage Analysis In Geologic Interpretation: A Summation,

AAPG Bulletin, Vol.51 No.11 November 1967, hal. 2246-2259.

Jati, Stev. Nalendra. 2014. Tipe Pola Sebaran Dan Kemenerusan Lapisan

Batubara Di Lokasi Penelitian, Sekitar Lokasi, Dan Regional Kasus Wilayah

Sayap Barat Antiklin Palaran Yang Menunjam. Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7,

No. 1, Januari 2014.

Krevelen, D. 1993. Coal Typology Physics Chemistry Constitution. Netherland:

Elsevier.

Kuncoro, Prasongko, B. 1996. Model Pengendapan Batubara Untuk Menunjang

Eksplorasi dan Perencanaan Penambangan, Program Pascasarjana, ITB,

Bandung.

Kuncoro, 1996, “Perencanaan Eksplorasi Batubara”. Program Studi Khusus

Eksplorasi Sumberdaya Bumi Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi

Bandung. Bandung.

Page 106: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

106

Kuncoro Prasongko, B 2000. Geometri Lapisan Batubara. Proseding seminar

tambang Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.

Kuncoro, B. 2012. Cleat Pada Lapisan Batubara dan Aplikasinya didalam Industri

Pertambangan. Prosiding Simposium dan Seminar Geomekanika Ke-1 Tahun

2012. Kuncoro, B. 2012. Geometri Lapisan Batubara. Proseding Seminar

Tambang UPN.

Kuncoro, B dan Stev. Nalendra Jati. Standarisasi Pengamatan Singakapan

Batubara Standarisasi Pengamatan Singakapan Batubara. Yogyakarta:

Program Studi Teknik Geologi UPN “V”.

Pettijohn, F., Potter, P., dan Siever, R. 1973. Sand and Sandstone. Berling:

Springer-Verlag Berlin-Heidelberg.

Rickard, M.J., 1972. Fault classification - discussion: Geological Society of

America Bulletin, v. 83, hal. 2545-2546.

Rustandi, E., E.S. Nila, P. Sanyoto dan U. Margono. 1995. Geological Map of

Kotabaru Sheet.

Sapiie, B., Rifiyanto, A., Perdana, L.2014. Cleats Analysis and CBM Potential

of the Barito Basin, South Kalimantan, Indonesia.Turkey:Proceedings,

Indonesian Petroleum Association

Satyana, A. H., Nugroho, D., dan Surantoko, I. 1999. Tectonic controls on the

hydrocarbon habitats of the Barito, Kutei, and Tarakan Basins, Eastern

Kalimantan, Indonesia: major dissimilarities in adjoining basins. Journal of

Asian Earth Sciences, 17(1-2), p. 99-122.

Step. Nalendra Jati. 2011. Tipe Pola Sebaran dan Kemenerusan Lapisan Batubara

di Lokasi Penelitian, Sekitar Lokasi, dan Regional. Mahasiswa Pascasarjana.

Magister Teknik Geologi. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”

Yogyakarta.

Susilawati. 1992. Proses Pembentukan Batubara - Analisa Penelitian dan

Pengembangan Geologi. Bandung: ITB.

Thomas, L., 2013. Coal Geology second edition, Wiley Blackwell, New York

Tucker, M. M. 2003. Sedimentary Rocks in the Field. England: John Willey &

Sons.

Twiss dan Moores. 1992. Structural Geology. New York : WH Freeman & Co.

532 hal

Page 107: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

107

Witts, D., R. Hall, R. J. Morley, dan M. K. BouDagher-Fadel. 2011. Stratigraphy

and Sediment Provenance, Barito Basin, Southeast Kalimantan. Proceedings,

Indonesian Petroleum Association 35th

Witts, D., Hall, R., Nichols, G., dan Morley, R. 2012. A new depositional and

provenance model for the Tanjung Formation, Barito Basin, SE Kalimantan,

Indonesia. Journal of Asian Earth Sciences, 56, p. 77-104.

Wolf, M., 1984. Coal-Bearing Depositional Systems, Springer, Houston-USA.

Zuidam, V. 1985. Geomorphology.

Page 108: geologi dan pengaruh struktur geologi terhadap

LAMPIRAN