BAB II ISI A. PERALATAN DAN PERLENGKAPAN HIDUP 1. Alat Produktif Mata pencarian hidup orang Sulawesi Selatan adalah bertani bagi yang berdiam di pedalaman dan daerah pegunungan dan berlayar atau menangkap ikan dengan berperahu bagi yang berdiam di daerah-daerah pesisir/pantai. peralatan-peralatan untuk melaksanakan mata pencarian hidup dalam dua lapangan ini,menjadi benda-benda kebudayaan yang sangat penting dikalangan orang Bugis-Makassar. A. Alat-alat pencaharian di laut/air. seperti perahu untuk pengangkutan barang-barang niaga dan alat-alat penangkap ikan, sebagai nelayan, dapat disebutkan antara lain jenis-jenisnya sebagai berikut:
73
Embed
Web viewarmada perang orang Bugis-Makassar untuk mengangkut tenaga-tenaga perang dan perlengkapannya, hanya saja jarang dipergunakan untuk perang laut, karena untuk
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
ISI
A. PERALATAN DAN PERLENGKAPAN HIDUP
1. Alat Produktif
Mata pencarian hidup orang Sulawesi Selatan adalah bertani bagi yang berdiam di
pedalaman dan daerah pegunungan dan berlayar atau menangkap ikan dengan
berperahu bagi yang berdiam di daerah-daerah pesisir/pantai. peralatan-peralatan
untuk melaksanakan mata pencarian hidup dalam dua lapangan ini,menjadi benda-
benda kebudayaan yang sangat penting dikalangan orang Bugis-Makassar.
A. Alat-alat pencaharian di laut/air. seperti perahu untuk pengangkutan barang-
barang niaga dan alat-alat penangkap ikan, sebagai nelayan, dapat disebutkan
antara lain jenis-jenisnya sebagai berikut:
Gambar 2.1 Perahu Pinisi
a. Penisi/Pinisi, Adalah jenis perahu dagang Bugis-Makassar dalam ukuran besar
(20 sampai 100 ton). Jenis perahu ini mengarungi laut-laut besar dalam abad-
abad lalu menghubungkan Makassar dengan kepulauan Nusantara baik di Timur
maupun di Barat. Jenis perahu ini mempunyai dua tiang agung dengan layar
berlapis-lapis di bagian depan, pada dua tiang agung, ditambah dua buah layar
kecil pada masing-masing puncak tiang agung. Kemudian yang terpasang di
belakang ada dua buah. Dahulu kala perahu jenis ini dipakai juga oleh armada-
armada perang orang Bugis-Makassar untuk mengangkut tenaga-tenaga perang
dan perlengkapannya, hanya saja jarang dipergunakan untuk perang laut, karena
untuk penyerangan dan peperangan di laut dipergunakan jenis lain yang lebih
lincah dan lebih cepat. Penisi, selaku perahu niaga, dipimpin oleh seorang
Ana'koda (nakhoda), juru mudi, juru batu dan awak perahu lainnya yang disebut
sawi. Perahu dagang jenis penisi, sampai sekarang masih dipergunakan untuk
pelayaran niaga interinsuler yang dapat dijumpai di semua pelabuhan di negeri
kita.
Gambar 2.2 Perahu Lambo
b. Lambo' (Palari), Adalah jenis perahu dagang Bugis-Makassar dalam ukuran
lebih kecil dari pinisi (10 sampai 50 ton). Sama halnya dengan pinisi, jenis ini
pun dapat mengarungi laut yang jauh-jauh untuk mengangkut barang-barang
niaga antarpulau. Bedanya dengan pinisi, lambo' palari, hanya mempunyai satu
tiang agung, dengan layar berlapis-lapis dibagian depan, layar utama dan layar
tambahan di puncak tiang agung.
Gambar 2.3 Perahu soppe
c. Soppe', Adalah juga jenis perahu dagang orang bugis makassar, dalam ukuran
kecil (1 sampai dengan 10 ton) dipergunakan untuk angkutan barang-barang
dagangan antar pulau sekitar pantai-pantai Sulawesi Selatan. Juga biasa
dipergunakan untuk mengangkut penumpang antarpulau.
B. Alat-alat pertanian
Alat-alat pertanian orang Bugis-Makassar, khususnya untuk pengolahan tanah
persawahan (padi) dipergunakan alat-alat yang pada umumnya sama dengan
alat-alat pertanian daerah-daerah lain di Indonesia seperti :
Gambar 2.4 Alat Bajak Sawah
a. Alat utama pada pembajakan sawah dipergunakan lukuh, (sakkala, pajjeko)
yang ditarik oleh kerbau. Sistem pengairan pun dikenal, walaupun masih
lebih dari separuh tanah persawahan di Sulawesi Selatan belum
mempergunakan pengairan teknis. Disamping mempergunakan lukuh atau
bajak, dibeberapa tempat tanah sawah yang berair itu untuk menjadikannya
baik bila ditanami padi, maka ke dalam petak-petak sawah dikerahkan
kerbau untuk menginjak-injaknya. setelah tanah menjadi lembut berlumpur,
maka dilakukanlah pembersihan kemudian ditanami.
Gambar 2.5 Pacul Dan Linggis
b. Pacul dan linggis juga dikenal sebagai alat-alat pertanian di Sulawesi
Selatan. Pada tanah-tanah tegalan untuk membongkar tanah dipergunakan
linggis kemudian menggemburkannya dengan pacul. Tanah demikian
ditanami jagung atau palawija.
2. Senjata Tradisional
Gambar 2.6 Senjata Badik/Kawali
1. Badik yang berasal dari Makassar, Bugis, atau Patani masing-masing memiliki
bentuk dan sebutan yang berbeda yang menunjukkan perbedaan jenis badik di
setiap daerah tersebut. Di Makassar, badik dikenal dengan nama badik sari
yang memiliki kale (bilah) yang pipih, batang (perut) buncit dan tajam serta
cappa’ (ujung) yang runcing. Badik sari ini terdiri dari bagian pangulu (gagang
badik), sumpa’ kale (tubuh badik) dan banoang (sarung badik). Sementara itu,
badik Bugis disebut kawali, seperti kawali raja (Bone) dan kawali rangkong
(Luwu). Kawali Bone terdiri dari bessi (bilah) yang pipih, bagian ujung agak
melebar serta runcing. Sedangkan kawali Luwu terdiri dari bessi yang pipih
dan berbentuk lurus. Kawali memiliki bagian-bagian: pangulu (ulu), bessi
(bilah) dan wanoa (sarung).
Pada umumnya, badik digunakan untuk membela diri dalam mempertahankan
harga diri seseorang atau keluarga. Hal ini didasarkan pada budaya sirri’
dengan makna untuk mempertahankan martabat suatu keluarga. Konsep sirri
ini sudah menyatu dalam tingkah laku, sistem sosial budaya dan cara berpikir
masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar di Sulawesi Selatan. Selain itu, ada
pula badik yang berfungsi sebagai benda pusaka, seperti badik saroso, yang
memiliki nilai sejarah. Ada juga sebagian orang yang meyakini bahwa badik
berguna sebagai azimat yang berpengaruh pada nilai baik dan buruk
Gambar 2.7 Senjata Madakapeng Tungke
2. Madakapeng Tungke adalah : salah satu hasil karya panre baitullah, konon
badik ini pada saat penyepuhan di jepit pada ‘kemaluan’wanita, sehingga
dipercaya tidak ada orang kebal ketika berhadapan dengan badik ini
Gambar 2.8 Lagecong
3. Lagecong ada dua versi , yang pertama Gecong di ambil nama dari nama sang
pandre (empu) yang bernama la gecong, yang kedua diambil dari bahasa bugis
gecong atau geco, yang bisa diartikan sekali geco (sentuh) langsung mati,
sampai saat ini banyak yang percaya kalau gecong yang asli adalah gecong
yang terbuat dari daun nipah serta terapung di air dan melawan arus, wallahu
alam, panjang gecong biasanya sejengkalan orang dewasa, pamor lonjo,
bentuknya lebih pipih,tipis tapi kuat Pakaian Adat.
3. Pakaian Adat
1. Pakaian Adat Pernikahan
Gambar 2.9 Pakaian Adat Pernikahan
a. Pengantin Wanita
Busana pengantin menjadi simbol budaya yang dimiliki suatu daerah.
Demikian pula dengan busana pengantin Bugis – Makassar. Pengantin wanita
mengenakan busana yang disebut Baju Bodo yang berarti tanpa lengan,
dipadu dengan warna keemasan dari hiasan yang terbuat dari lempengan
berwarna emas. Lempengan emas tersebut dipasang sepanjang pinggiran
bagian bawah dan atas busana. Terkesan mewah dan elegan. Di bagian
bawah, pengantin wanita mengenakan sarung bermotif berhiaskan payet dan
lempengan emas. Tampilan busana semakin mewah dengan kehadiran
perhiasan seperti gelang dan kalung. Di masa lalu, perhiasan tersebut
biasanya terbuat dari emas murni atau perak yang menunjukkan status sosial
si pemakainya. Perhiasan seperti kalung berantai, kalung rantekote, kalung
besar. Sedangkan di tangan juga dpenuhi dengan beragam perhiasan seperti
gelang keroncong bersusun atau biasa disebut bossa, perhiasan lengan atas
(lola), perhiasan lengan bawah (paturu), perhiasan lengan baju sima-sima.
Pada bahu sebelah kiri diselempangkan selendang berwarna keemasan dan
dipindahkan ke bahu sebelah kanan jika selesai akad nikah.
b. Pengantin Pria
Busana pengantin pria tak kalah elegan dan mewah dengan busana pengantin
wanita. Pengantin pria mengenakan belladada atau serupa dengan jas
berkerah yang dipadu dengan sarung bermotif (tope) dan warna yang sama
dengan yang dikenakan pengantin wanita. Busana ini dipadu dengan
perhiasan keemasan seperti gelang, rante sembang, salempang, kalung, sapu
tangan (passapu ambara), dan keris berbentuk ular naga. Keris yang biasa
digunakan oleh kalangan bangsawan adalah keris dengan kepala dan sarung
terbuat dari emas yang biasa disebut pasattimpo atau tatarapeng.
c. Tata rias yang digunakan
1. Pengantin Wanita
Tata rias pengantin Bugis-Makassar tergolong unik. Pengantin wanita
mengenakan sanggul yang bentuknya berdiri tegak di belakang kepala,
biasa dikenal dengan nama Simpolong Teppong. Sanggul tersebut dipadu
dengan berbagai aksesoris rambut berupa Pinang Goyang (mirip dengan
kembang goyang), Bunga Sibali dan Bunga Simpolong, Mahkota Saloko
(mirip dengan bando yang diletakan di bagian atas kepala). Selain itu,
tatanan rambut pengantin wanita Bugis-Makassar menggunakan hiasan
hitam pada dahi (mirip dengan paes pengantin Jawa) yang disebut Dadesa.
Selain Dadesa, pengantin wanita juga mengenakan anting yang disebut
Bangkara. Semua terkesan mewah dan elegan. Apalagi umumnya
perhiasan yang dikenakan terbuat dari emas.
2. Pengantin Pria :
Untuk pengantin pria, penggunaan Sigarak (penutup kepala) merupakan
sebuah kewajiban. Di bagian depan Sigarak terdapat sebuah hiasan yang
bentuknya mirip dengan kembang goyang. Perhiasan yang hadir hanyalah
Kalung Rante.
2. Pakaian Adat
Gambar 2.10 Pakaian Adat Bugis
Corak kain sarung Bugis ada beberapa macam, di antaranya adalah corak
kotak-kotak kecil yang disebut balo renni. Sementara itu, corak kotak-kotak
besar seperti kain tartan Skotlandia, diberi nama balo lobang. Selain corak
kotak-kotak, terdapat pula corak zig-zag yang diberi nama corak bombang.
Corak ini menggambarkan gelombang lautan. Pola zig-zag ini dapat
diterapkan di seluruh permukaan sarung atau di bagian kepala sarung saja,
adapun bagian kepala sarung justru terletak di area tengah sarung, dan sering
juga corak bombang ini digabungkan dengan corak kotak-kotak.
Selain corak-corak tersebut, ada pula pola kembang besar yang disebut sarung
Samarinda. Meskipun Samarinda berada di Kalimantan Timur, rupanya,
kebudayaan menenun sarung di Samarinda, dibawa oleh masyarakat Bugis
yang mencari suaka ke Kerajaan Kutai Kartanegara akibat perjanjian Bungaja
antara Kerajaan Gowa dan Belanda sekitar abad ke-16. Dan orang Bugis
pendatang itulah yang mengembangkan corak asli tenun Bugis, menjadi tenun
Samarinda, yang kemudian malah memperkaya seni kain tradisional Bugis.
4. Wadah
Gambar 2.11 Wadah Air Gumbang,Bempa dan busu
a. Gumbang
Gumbang dibuat dari bahan Batu Padat (Bugis : Batu Bulu) atau batuan sungai
/ kali (Bugis : Batu Salo), melalui proses pemahatan yang memakan waktu dan
tenaga. Bukan hanya saat membuatnya, untuk menemukan bahan bakunya saja
butuh waktu dan tenaga. Jika menggunakan bahan batu padat, maka para
pallangro batu (perajin/pemahat batu) akan mencarinya dipunggung-punggung
bukit. Tempat penggalian ini, disebut Abbatung (Tambang Batu).
Jika dengan batu kali, maka biasanya tidak dipotong lagi berbentuk kotak.
Tapi utuh, langsung diangkat. Batu terpilih tadi selanjutnya dipotong sesuai
dengan ukuran yang dibutuhkan. Rata-rata berukuran 100 Cm x 80 Cm. Kotak
batu ini selanjutnya dipikul oleh beberapa orang menuju tempat para perajin
pahat batu. Setelah melewati proses pemahatan yang rumit, lalu Gumbang
berbentuk tabung dengan tinggi sekitar 80 Cm daeng diameter sekitar 60 Cm
pada bagian bawah dan 50 Cm pada mulut gumbang tadi.
Angka-angka tadi memiliki makna filosofis, 80 dengan angka pokok 8 dalam
bahasa Bugis disebut Aruwa. Sebuah kata yang memiliki kesamaan bunyi
dengan kata Ruwaa (Ramai). Angka 6 pada angka 60, berfilosofi dengan kata
Manenneng (Sedih), sementara angka 5 pada angka 50 berfilosofi dengan kata
Lima (Tangan). Secara utuh, dalam filosofi ini terangkum dalam bahasa Bugis
yang berbunyi. “ Ruwa-ruwasi lise gumbangmu, anengnengko narekko dee
maratte limai lise’na.artinya: Penuhilah Gumbang-mu dengan air, bersedihlah
jika tanganmu tak lagi mampu menggapai permukaan airnya.
Dalam kesehariannya, gumbang ini dipakai untuk menampung air yang akan
digunakan untuk keperluan Mandi, Cuci dan Kakus. Saat anda melakukan
kegiatan tersebut tadi ,lalu anda harus melakukannya dengan posisi jongkok
disamping gumbang tadi. Runyamnya, saat persediaan air dalam gumbang tadi
menipis dengan tangan anda (dengan bantuan gayung),Jika tak mampu lagi
menimba airnya, anda harus berdiri atau setengahberdiri untuk mengambil air.
Disebut gumbang karena bentuknya yang menggembung pada bagian
pertunya. Ibarat perut manusia yang buncit begitulah rupa badan gumbang ini.
Perut buncit dalam bahasa Bugis adalah Maggumbang Babuana. Jadi buncit
sama dengan gumbang
b. Bempa dan Busu
Untuk menyimpan air sebagai bahan baku memasak, masyarakat suku bugis
menggunakan Bempa. Sedangkan untuk menyimpan air minum yang telah
direbus,dipergunakanlah Busu. Meski ada yang terbuat dari bahan batu padat
atau batu kali, kebanyak Bempa dan Busu berupa hasil kerajinan tangan
berbahan tanahliat. Meski memiliki ukuran yang sama dengan Gumbang.
Bempa dapat dikenali dari bentuknya yang lebih langsing, tapi tidak merit.
Silinder serupa tabung dengan mulut lebih kecil. Sementara Busu, ukurannya
jauh lebih kecil, tak lebih dari tellu jakka x tellu jakka (Jangka) tangan dewasa.
Bentuk serupa dengan Gumbang,dengan perut buncitnya.Jika bertamu
kerumah karib kerabat, saya dapat membedakan mana air yang berasal dari
Busu atau berasal dari wadah ember apalagi dari galon. Air minum dari busu
akan terasa segar dengan hawa dingin yang unik.
Berbeda dengan rasa dingin dari lemari pendingin.Pernahkah anda disuguhi air
minum berwarna semburat merah, tapi tak menyertakan rasa manis ataupun
pahit. Inilah yang disebut wai seppang, sesungguhnya ia adalah air minum
biasa yang dipewarna, hasil dari penguraian warna alami yang terkadung
dalam aju seppang (Kayu Secang / Latin : Sappan lignum). Cara membuatnya
mudah, serpihan-serpihan aju seppang cukup dimasukkan dalam busu, biarkan
ia disana sepanjang waktu. Kandungan warna alami pada sekerat aju seppang
seberat 1 ons, akan mampu mewarnai 10 liter air minum. Bila anda sedang di
kota Yogyakarta atau Solo, carilah minuman Wedang Uwuh, didalamnya ada
aroma dan warna aju seppang tadi.
c. Si Labu Pahit
wadah untuk membawa air wudhu yang terbuat dari Kaddaro Bila (Pohon
Maja / Latin : Aegle marmelo). Atau yang terbuat dari Buah Lawo Pai’ (Labu
Pahit/Latin), di Tanah Bugis disebut Tarompang. Masih adalagi Bira’ Awo,
wadah yang dari bambu.Kaddaro Bila.
Membuat kaddaro bila sangatlah sulit dan memakan waktu setidaknya 1 Bulan.
Dimulai dengan memilih buah maja yang sudah tua, dengan batok yang keras
dan mengeluar bunyi nyaring bila diketuk. Buah maja selanjut diberi 4 lubang
pada bagian atas. Dua lubang berdiameter 3-4 Cm dibuat sejajar. Lubang
sebagai lubang saluran memasukkan air, satu lubang lagi untuk jalur keluarnya
udara, yang tertekan akibat tekanan massa air yang masuk. Dua lubang lainnya
dengan diameter 0,5 cm dibuat berjajar pula tepat diatas 2 lubang besar tadi.
Berfungsi sebagai lubang untuk memasukkan tali pengait bagi wadah air ini
ketika dijinjing atau dipikul. Ingat, lubang ini harus dibuat tepat ditengah dan
presisi. Jika tidak, dipastikan air anda akan terbuang akibat guncangan saat
dijinjing atau dipikul.Setelah lubang dibuat, selanjutnya isi dari buah maja tadi
dikeluarkan semua dengan cara dikerok, lalu dibersihkan. Batok buah maja tadi,
kemudian di keringkan, bukan dijemur dibawah terik matahari. Agar lebih awet
dan tidak gampang pecah. Setelah kering, sebelum digunakan batok tadi
dipendam dilumpur sawah, setidaknya 5 – 7 hari.
4. Makanan Dan Minuman
1. Makanan
Gambar 2.12 Makanan Coto Makasar
a. Coto Makassar atau Coto Mangkasara adalah makanan tradisional
Makassar, Sulawesi Selatan. Makanan ini terbuat dari jeroan (isi perut) sapi
yang direbus dalam waktu yang lama. Rebusan jeroan bercampur daging
sapi ini kemudian diiris-iris lalu dibumbui dengan bumbu yang diracik
secara khusus. Coto dihidangkan dalam mangkuk dan dimakan dengan
ketupat dan "burasa". Saat ini Coto Mangkasara sudah menyebar ke
berbagai daerah di Indonesia, mulai di warung pinggir jalan hingga
restoran. Dan direncanakan mulai bulan November 2008 Coto Makassar
akan menjadi salah satu menu pada penerbangan domestik Garuda
Indonesia dari dan ke Makassar. Makanan ini mirip dengan sop sodara.