BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia dewasa ini menghadapi era globalisasi yang sangat
dahsyat. Masyarakat menjadi makin urban dan modern. Kalau tiga
puluh tahun yang lalu masyarakat urban baru mencapai sekitar 20
persen dari seluruh penduduk Indonesia, dewasa ini sudah mendekati
50 persen. Namun, Indonesia masih sangat terkenal dengan sebutan
negara dengan tingkat kematian ibu hamil dan melahirkan paling
tinggi di dunia. Salah satu sebabnya adalah karena masyarakat masih
miskin dan tingkat pendidikannya rendah. Tingkah laku masyarakat
umumnya dicerminkan oleh keadaan sumber daya manusia yang rendah
mutunya itu.Untuk beberapa lama telah dikembangkan upaya besar
untuk menurunkan angka kematian ibu hamil dan melahirkan itu.
Biarpun telah dicapai hasil yang memadai, tetapi dirasakan masih
kurang cepat dibandingkan dengan tuntutan masyarakat yang makin
luas. Dalam suasana seperti ini kita harus mengembangkan strategi
komunikasi yang jitu untuk lebih lanjut menurunkan tingkat kematian
ibu mengandung dan melahirkan yang masih tinggi itu. Kematian Ibu
(AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia merupakan angka
tertinggi dibandingkan dengan negara negara ASEAN lainnya. Angka
kematian ibu (AKI di Indonesia saat ini masih merupakan masalah
nasional yang harus mendapat perhatian serius, dalam upaya
mempercepat penurunan angka kematiannya sekaligus untuk mencapai
target 125/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010. Salah satu
upaya yang dilakukan adalah dengan metode Making Pregnancy Safer
(MPS=membuat persalinan hidup) yang diprakarsai Badan Kesehatan
Dunia (WHO) dan merupakan strategi sektor kesehatan yang bertujuan
mempercepat penurunan angka kematian ibu. Berbagai faktor yang
terkait dengan resiko terjadinya komplikasi yang berhubungan dengan
kehamilan dan cara pencegahannya telah diketahui, namun demikian
jumlah kematian ibu dan bayi masih tetap tinggi (Depkes RI, 2001).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2006, AKI Indonesia adalah
307/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2002, sedangkan AKB di
Indonesia sebesar 35/1000 kelahiran hidup. Angka Kematian Ibu (AKI)
di Indonesia pada tahun 2007 masih tertinggi di negara negara ASEAN
(Soejoenoes, 2007; Supari, 2007). Data hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) pada tahun 2003. AKI di Indonesia mencapai 109 per
100.000 kelahiran hidup (Ariadi, Rahayu, & Sudarso, 2004 ;
Utomo, 2007). Penyebab kematian ibu karena komplikasi kehamilan dan
persalinan di seluruh dunia adalah perdarahan sebanyak 25%, karena
penyakit yang memperberat kehamilannya sebanyak 20%, infeksi 15%,
aborsi yang tidak aman 13%, eklampsia 12%, pre eklampsia 1.7%,
sepsis 1.3%, perdarahan post partum 1%, persalinan lama 0.7% (WHO,
2005 dalam Adriaansz (2007). Penyebab langsung kematian maternal
yang paling umum di ndonesia adalah perdarahan 28%, eklamsi 24%,
dan infeksi 11%. Di Indonesia permasalahan AKI dalam dasa warsa
terakhir ini memang telah menurun sekitar 25 % dari kondisi semula
yaitu dari 450 per 100.000 kelahiran pada tahun 1996 menjadi 334
per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1997 berdasarkan Survei
Demografi Kesehatan 1997. Namun angka tersebut masih tinggi
dibandingkan negara-negara tetangga dan diperkirakan tidak dapat
mencapai target yang ingin dicapai pada akhir tahun 2000, yaitu 225
per 100.000 kelahiran.
Ditambahkannya, penyebab dan latar belakang kematian ibu di
Indonesia sangat kompleks dan menyangkut bidang-bidang yang
ditangani banyak sektor baik lingkungan pemerintah maupun swasta,
termasuk universitas serta organisasi profesi. Untuk itu upaya
percepatan penurunannya memerlukan penanganan menyeluruh terhadap
masalah yang ada dan melibatkan semua sektor terkait.
Namun karena keterbatasan sumber daya yang ada, tidak semua
kegiatan yang berkaitan dengan upaya penurunan angka kematian ibu
dilaksanakan dengan intensitas yang sama. Kegiatan prioritas yang
cost efektif dan mempunyai dampak langsung terhadap penurunan
jumlah kematian ibu adalah MPS sebagai pilihan utama.
Pelayanan kesehatan ibu difokuskan pada upaya pencapaian ketiga
pesan kunci program MPS, yaitu persalinan ditolong oleh tenaga
kesehatan terlatih, setiap komplikasi obstetri dan neonatal
mendapat pelayanan yang adekuat dan setiap wanita usia subur harus
mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan
dan penanganan komplikasi keguguran. Walaupun MPS memfokuskan pada
tiga pesan kunci, namun keberhasilannya memerlukan dukungan dari
sektor non kesehatan, organisasi profesi, swasta danpartisipasi
luas dari keluarga dan masyarakat, selain dukungan dan kegiatan
lainnya yang dapat digali di masing-masing daerah, sehingga program
penurunan angka kematian ibu bisa tercapai sesuai target. Saat ini
telah dirumuskan strategi MPS, yaitu peningkatan kualitas dan akses
pelayanan yang didukung dengan kerja sama lintas program, lintas
sektor terkait dan masyarakat termasuk swasta, pemberdayaan
keluarga dan perempuan serta pemberdayaan masyarakat.Salah satu
upaya yang dilakukan Departemen Kesehatan dalam mempercepat
penurunan AKI adalah mendekatkan pelayanan kebidanan kepada setiap
ibu yang membutuhkannya. Penempatan bidan di desa adalah upaya
untuk menurunkan AKI, bayi dan anak balita. Masih tingginya AKB dan
AKI menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan masih belum memadai dan
belum menjangkau masyarakat banyak, khususnya dipedesaan. Namun
bidan di desa yang sudah ditempatkan belum didayagunakan secara
optimal dalam upaya menurunkan AKI dan AKB. Asuhan persalinan
normal dengan paradigma baru (aktif) yaitu dari sikap menunggu dan
menangani komplikasi menjadi mencegah komplikasi yang mungkin
terjadi, terbukti dapat memberi manfaat membantu upaya penurunan
AKI dan AKB. Sebagian besar persalinan di Indonesia terjadi di desa
atau di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Tingkat keterampilan
petugas dan sarana kesehatan sangat terbatas, maka paradigma aktif
menjadi sangat strategis bila dapat diterapkan pada tingkat
tersebut. Tujuan dari asuhan persalinan normal adalah mengupayakan
kelangsungan hidup dan mencapai derajat kesehatan yang tinggi bagi
ibu dan bayinya, melalui berbagai upaya yang terintegrasi dan
lengkap serta intervensi minimal sehingga prinsip keamanan dan
kualitas pelayanan dapat terjaga pada tingkat yang optimal. Hal ini
berarti bahwa upaya asuhan persalinan normal harus didukung oleh
adanya alasan yang kuat dan berbagai bukti ilmiah yang dapat
menunjukkan adanya manfaat apabila diaplikasikan pada setiap proses
persalinan. Kajian kinerja petugas pelaksana pertolongan persalinan
(bidan) di jenjang pelayanan dasar, mengindikasikan adanya
kesenjangan kinerja yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan bagi
ibu hamil dan bersalin. Hal ini terbukti dari masih tingginya angka
kematian ibu dan bayi.
Banyak hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu tujuan
yang sudah dirancang sedemikian rupa, dan yang paling sering
disebut adalah faktor sumber daya manusia (tenaga kerja), serta
faktor sarana dan prasarana pendukung atau fasilitas kerja. Dari
kedua faktor tersebut sumber daya manusia atau tenaga kerja lebih
penting daripada sarana dan prasarana pendukung karena, secanggih
dan selengkap apa pun fasilitas pendukung yang dimiliki suatu
organisasi kerja, tanpa sumber daya yang memadai, baik kuantitas
(jumlah) maupun kualitas (kemampuannya), maka niscaya organisasi
tersebut dapat berhasil mewujudkan tujuan organisasinya.
Di berbagai negara di dunia, upaya menurunkan angka kematian ibu
telah menunjukkan banyak keberhasilan. Negara-negara tersebut
berhasil menekan angka kematian ibu sedemikian rupa, karena adanya
kebijakan yang dilakukan secara intensif, misalnya menambah subsidi
masyarakat untuk pencegahan penyakit, perbaikan kesejahteraan, dan
pemeriksaan kesehatan ibu. Beberapa masalah khusus, seperti
tromboemboli, perdarahan, preeklampsia dan eklampsia, dan
sebab-sebab mayor lainnya mendapat prioritas utama, karena
persentase kematian ibu akibat masalah-masalah tersebut begitu
tinggi. Sistem administrasi klinis juga perlu dibina, yang meliputi
akreditasi pelayanan, manajemen risiko, peningkatan
profesionalitas, dan pengaduan pasien.Dengan mengenali berbagai
masalah utama terkait angka kematian ibu dan upaya-upaya potensial
yang efektif dalam menurunkannya, maka secara keseluruhan tidak
hanya mengurangi jumlah kematian, tetapi juga menurunkan angka
kesakitan dan kematian ibu dan bayi. Meskipun intervensi kesehatan
yang dilakukan hanya meliputi aspek yang terbatas, seperti
pengadaan tenaga terampil dalam pertolongan persalinan, tatalaksana
gawat darurat obstetri yang memadai, dan keluarga berencana. Namun,
keberhasilan dalam upaya perbaikan kesehatan maternal ini secara
tidak langsung akan meningkatkan derajat kesehatan bangsa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Kematian Ibu
Kematian ibu menurut International Classification of Diseases
(ICD) adalah kematian wanita dalam kehamilan atau 42 hari pasca
terminasi kehamilan, tanpa memandang usia kehamilan dan kelainan
kehamilan, yang disebabkan baik oleh kehamilannya maupun
tatalaksana, namun bukan akibat kecelakaan. Kematian ini terbagi
dua, yaitu kematian langsung dan tidak langsung. Kematian yang
bersifat koinsidental, terjadi selama masa kehamilan atau 42 hari
pascaterminasi kehamilan, namun tidak terkait dengan
kehamilannya.
Saat ini, WHO telah menetapkan sistem klasifikasi kematian ibu.
Sistem klasifikasi kematian ibu bertujuan:
Mengembangkan sistem klasifikasi standar guna identifikasi kausa
kematian ibu yang akurat, diperlukan perbandingan berbagai studi
penelitian
Menjamin sistem tersebut dapat diterapkan secara luas
Mengembangkan sistem klasifikasi paralel terhadap morbiditas
maternal berat.
Hal-hal yang mendasari sebab kematian ibu, dapat
diklasifikasikan berdasarkan sejumlah variabel, yaitu sebab/kondisi
yang secara langsung mendasari kematian, gejala/tanda dari penyakit
yang menyebabkan kematian, misalnya perdarahan pascapartum, dan
kondisi lain yang memperberat sebab kematian, misalnya HIV dan
Anemia. Prinsip sistem klasifikasi kematian ibu menurut WHO,
yaitu:
Harus dapat diterapkan dan dipahami dalam penggunaannya, baik
oleh dokter, ahli epidemiologi, dan pihak-pihak lain yang
terkait.
Kondisi/penyakit spesifik dengan sebab yang belum jelas harus
dipisah dari kondisi lainnya.
Sistem klasifikasi baru harus sesuai dengan International
Classification of Diseases (ICD).Penyebab kematian ibu di berbagai
belahan dunia dapat dilihat pada gambar berikut:
II. Angka Kematian Ibu Melahirkan (AKI)
Angka kematian ibu merupakan angka yang didapat dari jumlah
kematian ibu untuk setiap 100.000 kelahiran hidup, sehingga
berkaitan langsung dengan kematian ibu. Penyebab kematian tersebut
dapat berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kehamilan,
dan umumnya terdapat sebab utama yang mendasari. Dalam upaya
memudahkan identifikasi kematian ibu, WHO telah menetapkan sejumlah
sistem klasifikasi kematian ibu. Dengan adanya sistem ini,
diharapkan akan meningkatkan kewaspadaan, perencanaan tindakan, dan
pada akhirnya akan menurunkan angka kematian ibu.
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk
melihat derajat kesehatan perempuan. Angka kematian ibu juga
merupakan salah satu target yang telah ditentukan dalam tujuan
pembangunan millenium yaitu tujuan ke 5 yaitu meningkatkan
kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015
adalah mengurangi sampai resiko jumlah kematian ibu. Dari hasil
survei yang dilakukan AKI telah menunjukkan penurunan dari waktu ke
waktu, namun demikian upaya untuk mewujudkan target tujuan
pembangunan millenium masih membutuhkan komitmen dan usaha keras
yang terus menerus.Pencapaian dan Proyeksi Angka Kematian Ibu (AKI)
Tahun 1994-2015
(Dalam 100.000 Kelahiran Hidup)
Gambar diatas menunjukkan trend AKI Indonesia secara Nasional
dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2007, dimana menunjukkan
penurunan yang signifikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan SDKI
survei terakhir tahun 2007 AKI Indonesia sebesar 228 per 100.000
Kelahiran Hidup, meskipun demikian angka tersebut masih tertinggi
di Asia. Sementara target Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) ada sebesar 226 per 100.000 Kelahiran Hidup.
III. Penyebab Kematian Ibu Melahirkan
Sejumlah kondisi mayor terkait dengan angka mortalitas maternal.
Penyebab mayor dari kematian ibu ternyata berkontribusi besar
terhadap kematian bayi.
Rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil
menjadi faktor penentu angka kematian, meskipun masih banyak faktor
yang harus diperhatikan untuk menangani masalah ini. Persoalan
kematian yang terjadi lantaran indikasi yang lazim muncul. Yakni
pendarahan, keracunan kehamilan yang disertai kejang, aborsi, dan
infeksi. Namun, ternyata masih ada faktor lain yang juga cukup
penting. Misalnya, pemberdayaan perempuan yang tak begitu baik,
latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan
masyarakat dan politik, kebijakan juga berpengaruh. Kaum lelaki pun
dituntut harus berupaya ikut aktif dalam segala permasalahan bidang
reproduksi secara lebih bertanggung jawab. Selain masalah medis,
tingginya kematian ibu juga karena masalah ketidaksetaraan gender,
nilai budaya, perekonomian serta rendahnya perhatian laki-laki
terhadap ibu hamil dan melahirkan. Oleh karena itu, pandangan yang
menganggap kehamilan adalah peristiwa alamiah perlu diubah secara
sosiokultural agar perempuan dapat perhatian dari masyarakat.
Sangat diperlukan upaya peningkatan pelayanan perawatan ibu baik
oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat terutama suami.Penyebab
kematian ibu adalah perdarahan, eklampsia atau gangguan akibat
tekanan darah tinggi saat kehamilan, partus lama, komplikasi
aborsi, dan infeksi. Perdarahan, yang biasanya tidak bisa
diperkirakan dan terjadi secara mendadak, bertanggung jawab atas 28
persen kematian ibu. Sebagian besar kasus perdarahan dalam masa
nifas terjadi karena retensio plasenta dan atonia uteri. Hal ini
mengindikasikan kurang baiknya manajemen tahap ketiga proses
kelahiran dan pelayanan emergensi obstetrik dan perawatan neonatal
yang tepat waktu. Eklampsia merupakan penyebab utama kedua kematian
ibu, yaitu 24 persen kematian ibu di Indonesia (rata-rata dunia
adalah 12 persen). Pemantauan kehamilan secara teratur sebenarnya
dapat menjamin akses terhadap perawatan yang sederhana dan murah
yang dapat mencegah kematian ibu karena eklampsia.
Distribusi Persentase Penyebab Kematian Ibu Melahirkan
Aborsi yang tidak aman. Bertanggung jawab ter hadap 11 persen
kematian ibu di Indonesia (ratarata dunia 13 persen). Kematian ini
sebenarnya dapat dicegah jika perempuan mempunyai akses terhadap
informasi dan pelayanan kontrasepsi serta perawatan terhadap
komplikasi aborsi. Data dari SDKI 20022003 menunjukkan bahwa 7,2
persen kelahiran tidak diinginkan.
Prevalensi pemakai alat kontrasepsi. Kontrasepsi modern
memainkan peran penting untuk menurunkan kehamilan yang tidak
diinginkan. SDKI 20022003 menunjukkan bahwa kebutuhan yang tak
terpenuhi (unmet need) dalam pemakaian kontrasepsi masih tinggi,
yaitu sembilan persen dan tidak mengalami banyak perubahan sejak
1997. Angka pemakaian kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate)
di Indonesia naik dari 50,5 persen pada 1992 menjadi 54,2 persen
pada 20026 (Gambar 2 dan Tabel 1). Untuk indikator yang sama, SDKI
20022003 menunjukkan angka 60.3 persen.
Pertolongan persalinan oleh petugas kesehatan terlatih. Pola
penyebab kematian di atas menunjukkan bahwa pelayanan obstetrik dan
neonatal darurat serta pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
terlatih menjadi sangat penting dalam upaya penurunan kematian ibu.
Walaupun sebagian besar perempuan bersalin di rumah, tenaga
terlatih dapat membantu mengenali kegawatan medis dan membantu
keluarga untuk mencari perawatan darurat. Proporsi persalinan yang
ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih terus meningkat dari 40,7
persen pada 1992 menjadi 68,4 persen pada 2002. Akan tetapi,
proporsi ini bervariasi antarprovinsi dengan Sulawesi Tenggara
sebagai yang terendah, yaitu 35 persen, dan DKI Jakarta yang
tertinggi, yaitu 96 persen, pada 20028 (Tabel 2 dan 3). Proporsi
ini juga berbeda cukup jauh mengikuti tingkat pendapatan. Pada ibu
dengan dengan pendapatan lebih tinggi, 89,2 persen kelahiran
ditolong oleh tenaga kesehatan, sementara pada golongan
berpendapatan rendah hanya 21,39 persen. Hal ini menunjukkan tidak
meratanya akses finansial terhadap pelayanan kesehatan dan tidak
meratanya distribusi tenaga terlatih terutama bidan.
Penyebab tidak langsung. Risiko kematian ibu dapat diperparah
oleh adanya anemia dan penyakit menular seperti malaria,
tuberkulosis (TB), hepatitis, dan HIV/AIDS. Pada 1995, misalnya,
prevalensi anemia pada ibu hamil masih sangat tinggi, yaitu 51
persen, dan pada ibu nifas 45 persen.10 Anemia pada ibu hamil
mempuyai dampak kesehatan terhadap ibu dan anak dalam kandungan,
meningkatkan risiko keguguran, kelahiran prematur, bayi dengan
berat lahir rendah, serta sering menyebabkan kematian ibu dan bayi
baru lahir. Faktor lain yang berkontribusi adalah kekurangan energi
kronik (KEK). Pada 2002, 17,6 persen wanita usia subur (WUS) men
derita KEK. Tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan, faktor
budaya, dan akses terhadap sarana kesehatan dan transportasi juga
berkontribusi secara tidak langsung terhadap kematian dan kesakitan
ibu. Situasi ini diidentifikasi sebagai 3 T (terlambat). Yang
pertama adalah terlambat deteksi bahaya dini selama kehamilan,
persalinan, dan nifas, serta dalam mengambil keputusan untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan ibu dan neonatal. Kedua, terlambat
merujuk ke fasilitas kesehatan karena kondisi geografis dan
sulitnya transportasi. Ketiga, terlambat mendapat pelayanan
kesehatan yang memadai di tempat rujukan.
4T (Terlambat)
1. Terlambat deteksi dini adanya resiko tinggi pada ibu hamil di
tingkat keluarga2. Terlambat untuk memutuskan mencari pertolongan
pada tenaga kesehatan3. Terlabat untuk datang di fasilitas
pelayanan kesehatan4. Terlambat untuk mendapatkan pertolongan
pelayanan kesehatan yang cepat dan berkualitas di fasilitas
pelayanan kesehatan
4T (Terlalu), yang mempunyai resiko tinggi:
1. Terlalu muda
2. Terlalu tua
3. Terlalu sering
4. Terlalu banyak
IV. Cakupan Pertolongan Persalinan Oleh Bidan atau Tenaga
Kesehatan
Salah satu faktor tingginya AKI di Indonesia adalah disebabkan
karena relatif masih rendahnya cakupan pertolongan oleh tenaga
kesehatan. Departemen Kesehatan menetapkan target 90 persen
persalinan ditolong oleh tenaga medis pada tahun 2010. Perbandingan
dengan hasil survei SDKI bahwa persalinan yang ditolong oleh tenaga
medis profesional meningkat dari 66 persen dalam SDKI 2002-2003
menjadi 73 persen dalam SDKI 2007. Angka ini relatif rendah apabila
dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia,
Thailand di mana angka pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
hampir mencapai 90%. Apabila dilihat dari proyeksi angka
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan nampak bahwa ada
pelencengan dari tahun 2004 dimana angka pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan dibawah dari angka proyeksi, apabila hal ini
tidak menjadi perhatian kita semua maka diperkirakan angka
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan sebesar 90 % pada
tahun 2010 tidak akan tercapai, konsekuensi lebih lanjut bisa
berimbas pada resiko angka kematian ibu meningkat. Kondisi
geografis, persebaran penduduk dan sosial budaya merupakan beberapa
faktor penyebab rendahnya aksesibilitas terhadap tenaga pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan, dan tentunya disparitas antar
daerah akan berbeda satu sama lain.
Tempat Persalinan dan Penolong Persalinan dengan Kualifikasi
Terendah
Distribusi Persentase Anak Lahir Hidup Terakhir Dalam Lima
Tahun
Sementara dilihat dari latar belakang pendidikan, ibu dengan
status tidak sekolah lebih banyak ditolong oleh Dukun bayi.
Apabila dilihat dari tren pertolongan persalinan oleh bidan atau
tenaga kesehatan dari tahun 2000-2007 menunjukkan bahwa pertolongan
persalinan oleh dokter dari tahun trendnya meningkat baik di desa
maupun di kota. Bahkan di daerah perkotaan angka pertolongan
persalinan oleh dokter pada tahun 2007 telah lebih dari 20%.
Sedangkan cakupan pertolongan persalinan oleh bidan relatif tidak
banyak bergerak bahkan apabila dibandingkan antara tahun 2007 dan
2004 secara total pertolongan persalinan oleh bidan kecenderunganya
menjadi turun.
V. Upaya Menurunkan AKI1. Peningkatan pelayanan kesehatan
primer( menurunkan AKI 20%
2. Sistem rujukan yang efektif( menurunkan sampai 80%
Upaya safe motherhood
Tahuin 1988 diadakan Lokakarya Kesejahteraan Ibu, yang merupakan
kelanjutan konferensi tentang kematian ibu di Nairobi setahuin
sebelumnya. Lokakarya bertujuan mengemukakan betapa kompleksnya
masalah kematian ibu, sehingga penanganannya perlu dilaksanakan
berbagai sector dan pihak terkait. Pada waktu itu ditandatangani
kesepakatam oleh sejumlah 17 sektor. Sebagai koordinator dalam
upaya itu ditetapkan Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (
sekarang : Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan ).
Tahun 1990-1991, Departemen Kesehatan dibantu WHO, UNICEF, dan
UNDP melaksanakan Assessment Safe Motherhood. Suatu hasil dari
kegiatan ini adalah rekomendasi Rencana Kegiatan Lima Tahun.
Departemen Kesehatan menerapkan rekomendasi tersebut dalam bentuk
strategi operasional untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu
( AKI ). Sasarannya adalah menurunkan AKI dari 450 per 100.000
kelahiran hidup pada 1986, menjadi 225 pada tahun 2000.
Awal tahun 1996, Departemen Kesehatan mengadakan Lokakarya
Kesehatan Reproduksi, yang menunjukkan komitmen Indonesia untuk
melaksanakan upaya kesehatan resproduksi sebagaimana dinyatakan
dalam ICPD di Kairo. Pada pertengahan tahun itu juga, Menperta
meluncurkan Gerakan Sayang Ibu, yaitu upaya advokasi dan mobilisasi
social untuk mendukung upaya percepatan penurunan AKI.Intervensi
Strategis Dalam Upaya Safe Motherhood
Empat pilar Safe Motherhood
Intervensi strategis dalam upaya safe motherhood dinyatakan
sebagai empat pilar safe motherhood, yaitu :
a. Keluarga berencana, yang memastikan bahwa setiap
orang/pasangan mempunyai akses ke informasi dan pelayanan KB agar
dapat merencanakan waktu yang tepat untuk kehamilan, jarak
kehamilan dan jumlah anak. Dengan demikian diharapkan tidak ada
kehamilan yang tak diinginkan. Kehamilan yang masuk dala, kategori
4 terlalu, yaitu terlalu muda atau terlalu tua untuk kehamilan,
terlalu sering hamil dan terlalu banyak anak.
b. Pelayanan antenatal, untuk mencegah adanya komplikasi
obstetrik bila mungkin dan memastikan bahwa komplikasi dideteksi
sedini mungkin serta ditangani secara memadai.
c. Persalinan yang aman, memastikan bahwa semua penolong
persalinan mempunyai pengetahuan, keterampilan dan alat untuk
memberikan pertolongan yang aman dan bersih, serta memberikan
pelayanan nifas kepada ibu dan bayi
d. Pelayanan obstetrik esensial, memastikan bahwa pelayanan
obstetrik untuk resiko tinggi dan komplikasi tersedia bagi ibu
hamil yang membutuhkannya.
Keempat intervensi strategis diatas perlu dilaksanakan lewat
pelayanan kesehatan dasar, dan bersendikan kesetaraan hak dan
status bagi wanita.
Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam penurunan AKI
Tingginya AKI di Indonesia yaitu 390 per 100.000 kelahiran hidup
( SDKI, 1994 ) tertinggi di ASEAN, menempatkan upaya penurunan AKI
sebagai program prioritas. Penyebab langsung kematian ibu di
Indonesia, seperti halnya di negara lain adalah pendarahan,
infeksi, dan eklampsia. Ke dalam pendarahan dan infeksi sebagai
penyebab kematian, sebenarnya tercakup pula kematian akibat abortus
terinfeksi dan partus lama. Hanya sekitar 5% kematian ibu
disebabkan oleh penyakit yang memburuk akibat kehamilan, misalnya
penyakit jantung dan infeksi yang kronis.
Selain itu, keadaan ibu sejak pra-hamil dapat berpengaruh
terhadap kehamilannya. Penyebab tak langsung kematian ibu ini
antara lain adalah anemia, kurang energi kronis ( KEK ) dan keadaan
4 terlalu ( terlalu muda/tua, terlalu sering, dan terlalu banyak ).
Tahun 1995, kejadian anemia ibu hamil sekitar 51%, dan kejadian
resiko KEK pada ibu hamil ( lingkar / lengan atas kurang dari 23,5
cm ) sekitar 30%.
Lagipula, seperti dikemukakan diatas, kematian ibu diwarnai oleh
hal-hal nonteknis yang masuk kategori penyebab mendasar, seperti
rendahnya status wanita, ketidakberdayaannya dan tarif pendidikan
yang rendah. Hal nonteknis ini ditangani oleh sektor terkait diluar
sektor kesehatan, sedangkan sector kesehatan lebih memfokuskan
intervensinya untuk mengatasi penyebab langsung dan tidak langsung
dari kematian ibu.
Dalam menjalankan fokus intervensinya itu Departemen Kesehatan
tetap memerlukan dukungan dari sektor dan pihak terkait lainnya.
Kebijakan Departemen Kesehatan tersebut dalam upaya mempercepat
penurunan AKI pada dasarnya mengacu kepada inventarisasi strategis
Empat pilar Safe Mothehood . Dewasa ini, program keluarga berencana
sebagai pilar pertama telah dianggap berhasil. Namun, untuk
mendukung upaya mempercepat penurunan AKI, diperlukan penajaman
sasaran agar kejadian 4 terlalu dan kehamilan yang tak diinginkan
dapat ditekan serendah mungkin. Akses terhadap pelayanan antenatal
sebagai pilar kedua cukup baik, yaitu 87% pada tahun 1997; namun
mutunya masih perlu ditingkatkan terus.. persalinan yang aman
sebagai pilar ketiga - yang dikategorikan sebagai pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan, pada tahun 1997 baru mempunyai
60%.
Untuk mencapai AKI sekitar 200 per 100.000 kelahiran hidup
diperlukan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan sekitar angka
80%. Cakupan pelayanan obstetrik esensial sebagai pilar keempat
masih sangat rendah, dan mutunya belum optimal. Mengingat kira-kira
90% kematian ibu terjadi di saat sekitar persalinan dan kira-kira
95% penyebab kematian ibu adalah komplikasi obstetrik yang sering
tak dapat diperkirakan sebelumnya, maka kebijaksanaan Departemen
Kesehatan untuk mempercepat penurunan AKI adalah mengupayakan agar
setiap persalinan ditolong atau minimal didampingi oleh bidan, dan
pelayanan obstetrik sedekat mungkin kepada semua ibu hamil.
Salah satu upaya terobosan yang cukup mencolok untuk mencapai
keadaan tersebut adalah pendidikan sejumlah 54.120 bidan
ditempatkan di desa selama 1989/1990 sampai 1996/1997. Dalam
pelaksanaan operasional, sejak tahun 1994 diterapkan strategi
berikut :
a. Penggerakan Tim Dati II ( Dinas Kesehatan dan seluruh
jajarannya sampai ke tingkat kecamatan dan desa, RS Dati II dan
pihak terkait ) dalam upaya mempercepat penurunan AKI sesuai dengan
peran dan fungsinya masing-masing.
b. Pembinaan daerah yang intensif di setiap Dati II, sehingga
pada akhir Pelita VII :
Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan mencapai 80% atau
lebih.
Cakupan penanganan kasus obstetrik ( resiko tinggi dan
komplikasi obstetrik ) minimal meliputi 10% seluruh persalinan.
Bidan mampu memberikan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan
obstetrik neonatal dan puskesmas sanggup memberikan pelayanan
obstetrik-neonatal esensial dasar ( PONED ), yang didukung oleh RS
Dati II sebagai fasilitas rujukan utama yang mampu menyediakan
pelayanan obstetrik-neonatal esensial komprehensif ( PONEK ) 24
jam; sehingga tercipta jaringan pelayanan obstetrik yang mantap
dengan bidan desa sebagai ujung tombaknya.
c. Penerapan kendali mutu layanan kesehatan ibu, antara lain
melalui penerapan standar pelayanan, prosedur tetap, penilaian
kerja, pelatihan klinis dan kegiatan audit maternal-perinatal.
d. Meingkatkan komunikasi, informasi, dan esukasi ( KIE ) untuk
mendukung upaya percepatan penurunan AKI
e. Pemantapan keikutsertaan masyrakat dalam berbagai kegiatan
pendukung untuk mempercepat penurunan AKI.
Keterlibatan Lintas Sektor
Dalam mempercepat penurunan AKI, keterlibatan sector lain
disamping kesehatan sangat diperlukan. Berbagai bentuk keterlibatan
lintas sector dalam upaya penurunan AKI adalah sebagai berikut
:
a. Gerakan Sayang Ibu ( GSI )
GSI dirintis oleh kantor Menperta pada tahun 1996 di 8 kabupaten
perintis di 8 propinsi. Ruang lingkup kegiatan GSI meliputi
advokasi dan mobilisasi social. Dalam pelaksanaannya, GSI
mempromosikan kegiatan yang berkaitan dengan Kecamatan Sayang Ibu
dan Rumah Sakit Sayang Ibu, unruk mencegah tiga macam
keterlambatan, yaitu :
Keterlambatan di tingkat keluarga dalam mengenali tanda bahaya
dan membuat keputusan untuk segera mencari pertolongan.
Keterlambatan dalam mencapai fasilitas pelayanan kesehatan
Keterlambatan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapat
pertolongan yang dibutuhkan.
Kegiatan yang terkait dengan Kecamatan Sayang Ibu berusaha
mencegah keterlambatan pertama dan kedua, sedangkan kegiatan yang
terkait dengan Rumah Sakit Sayang Ibu adalah mencegah keterlambatan
ketiga.
Pada tahun 1997 diadakan Rakornas GSI yang diadakan bersamaan
dengan Rakerkesnas. Pada saat itu pengalaman di 8 kabupaten
perintis diinformasikan ke wakil-eakil semua propinsi dan
selanjutnya mereka diharapkan akan melaksanakan kegiatan GSI.
Sampai pertengahan 1998 upaya perluasan kegiatan GSI masih terus
dilaksanakan.
b. Kelangsungan hidup, perkembangan dan perlindungan ibu dan
anak
Upaya yang dirintis sejak 1990 oleh Dirjen Pembangunan Daerah,
Depdagri, dengan bantuan UNICEF yang lebih dikenal sebagai upaya
KHPPIA ini bertujuan menghimpun koordinasi lintas sector dalam
penentuan kegiatan dan pembiayaan dari berbagai sumber dana, antara
lain untuk menurunkan AKI dan AKB. Kegiatan utamanya adalah
koordinasi perencanaan kegiatan dari sector terkait dalam upaya
itu. Propinsi yang dilibatkan adalah mereka yang mendapat bantuan
UNICEF, namun pola ini akan diperluas oleh Depdagri ke semua
propinsi.
c. Gerakan Reproduksi keluarga Sehat ( GRKS )
GRKS dimulai oleh BKKBN sebagai kelanjutan dari Gerakan Sayang
Ibu Sehat Sejahtera. Gerakan ini intinya merupakan upaya promosi
mendukung terciptanya keluarga yang sadar akan pentingnya
mengupayakan kegiatan reproduksi. Di antara masalah yang
dikemukakan adalah masalah kematian ibu. Karena itu, promosi yang
dilakukan melalui GRKS juga termasuk promosi untuk kesejahteraan
ibu.
Selain ketiga upaya lintas sector tersebut, masih ada perbagai
kegiatan lain yang dilaksanakan pihak terkait, seperti organisasi
profesi, yaitu POGI, IBI, Perinasia, PKK, dan pihak lain sesuai
dengan peran dan fungsinya masing-masing
Pemantauan dan Evaluasi
Dalam memantau program kesehatan ibu, dewasa ini digunakan
indicator cakupan, yaitu : cakupan antenatal ( K1 untuk askes dan
K4 untuk kelengkapan layanan antenatal ), cakupan persalinan oleh
tenaga kesehatan dan cakupan kunjungan neonatal/nifas. Untuk itu,
sejak awal tahun 1990-an telah digunakan alat pantau berupa
Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak ( PWS-KIA ),
yang mengikuti jejak program imunisasi. Dengan adanya PWS-KIA, data
cakupan layanan program kesehatan ibu dapat diperoleh setiap
tahunnya dari semua propinsi.
Walau demikian, disadari bahwa indikator cakupan tersebut cukup
memberikan gambaran untuk menilai kemajuan upaya menurunkan AKI.
Mengingat bahwa mengukur AKI, sebagai indicator dampak, secara
berkala dalam waktu kurang dari 5-10 trahun tidak realistis, maka
para pakar dunia menganjurkan pemakaian indikator praktis atau
indikator outcome. Indicator tersebut antara lain :
a. Cakupan penanganan kasus obstetrik
b. Case fatality rate kasus obstetric yang ditangani.
c. Jumlah kematian absolute
d. Penyebaran fasilitas pelayanan obstetric yang mampu PONEK dan
PONED
e. Persentase bedah sesar terhadap seluruh persalinan di suatu
wilayah
Indikator gabungan tersebut akan lebih banyak digunakan dalam
Repelita VII, agar pemantauan dan evaluasi terhadap upaya penurunan
AKI lebih tajam.
Antenatal Care
Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan oleh tenaga
kesehatan untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai
dengan standar pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar
Pelayanan Kebidanan (SPK). Pelayanan antenatal sesuai standar
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan),
pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus, serta intervensi umum
dan khusus (sesuai risiko yang ditemukan dalam pemeriksaan). Dalam
penerapannya terdiri atas:
1. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan.
2. Ukur tekanan darah.
3. Nilai Status Gizi (ukur lingkar lengan atas).
4. Ukur tinggi fundus uteri.
5. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ).
6. Skrining status imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi
Tetanus Toksoid (TT) bila diperlukan.
7. Pemberian Tablet zat besi minimal 90 tablet selama
kehamilan.
8. Test laboratorium (rutin dan khusus).
9. Tatalaksana kasus
10. Temu wicara (konseling), termasuk Perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi (P4K) serta KB pasca persalinan.
Pemeriksaan laboratorium rutin mencakup pemeriksaan golongan
darah, hemoglobin, protein urine dan gula darah puasa. Pemeriksaan
khusus dilakukan di daerah prevalensi tinggi dan atau kelompok
berrisiko, pemeriksaan yang dilakukan adalah hepatitis B, HIV,
Sifilis, malaria, tuberkulosis, kecacingan dan thalasemia.
Dengan demikian maka secara operasional, pelayanan antenatal
disebut lengkap apabila dilakukan oleh tenaga kesehatan serta
memenuhi standar tersebut. Ditetapkan pula bahwa frekuensi
pelayanan antenatal adalah minimal 4 kali selama kehamilan, dengan
ketentuan waktu pemberian pelayanan yang dianjurkan sebagai berikut
:
Minimal 1 kali pada triwulan pertama. Minimal 1 kali pada
triwulan kedua. Minimal 2 kali pada triwulan ketiga.Standar waktu
pelayanan antenatal tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan
kepada ibu hamil, berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan dan
penanganan komplikasi.
Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan antenatal
kepada Ibu hamil adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter, bidan
dan perawat.
Pertolongan PersalinanPertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan adalah pelayanan persalinan yang aman yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang kompeten. Pada kenyataan di lapangan, masih
terdapat penolong persalinan yang bukan tenaga kesehatan dan
dilakukan di luar fasilitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu
secara bertahap seluruh persalinan akan ditolong oleh tenaga
kesehatan kompeten dan diarahkan ke fasilitas pelayanan
kesehatan.
Pada prinsipnya, penolong persalinan harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
1. Pencegahan infeksi
2. Metode pertolongan persalinan yang sesuai standar.
3. Manajemen aktif kala III
4. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani ke tingkat pelayanan
yang lebih tinggi.
5. Melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
6. Memberikan Injeksi Vit K 1 dan salep mata pada bayi baru
lahir.
Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan
pertolongan persalinan adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter
dan bidan.VI. Mempercepat Penurunan AKI1. Peningkatan deteksi dan
penanganan RISTI
2. Peningkatan cakupan pertolongan/pendampingan
3. Peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan
maternal
4. Peningkatan pembinaan teknis bidan
5. Pemantapan kerja Dinkes dan RS
6. Pemantapan kemampuan pengelolaan KIA
7. Peningkatan peran serta lintas program
VII. Indikator Keberhasilan1. Jumlah kematian maternal
menurun
2. Cakupan akses dan pelayanan ANC
3. Cakupan persalinan yang ditolong/didampingi
4. Adanya fasilitas POED dan POEK
5. Proporsi RISTI yang ditangani adekuat
6. Case fatality rate RISTI per tahun dibagi jumlah RISTI yang
ditangani kali 100%
7. Presentasi bedah sesar terhadap seluruh persalinan
VIII. Program Dari PuskesmasStandar minimal ANC:1. Medical
record
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan fisik 7K
4. Pemeriksaan penunjang K1: golongan darah, Hb, AL, urine
(protein, reduksi)
5. Pemeriksaan pada minggu 12: Hb, AL, urine, konsultasi
gizi
6. Pemeriksaan pada minggu ke 36: Hb, AL, CT, BT, urine
7. Konsultasi dokter ahli pada minggu 12, 28, 36, 40
8. USG:
Minggu 12: kondisi janin
Minggu 28: presentasi, kelainan plasenta
Minggu 36: presentasi, rencana persalinan
IX. Hipertensi pada Kehamilan (Pre-eklampsia/Eklampsia)Terdapat
tiga kategori besar kelainan hipertensi yang disebabkan oleh
kehamilan (pregnancy-induced hypertension).
Penelitian berbagai faktor risiko terhadap hipertensi pada
kehamilan / pre eklampsia / eklampsia :
1. UsiaInsidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada
primigravida tua. Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun
insidens > 3 kali lipatPada wanita hamil berusia lebih dari 35
tahun, dapat terjadi hipertensi laten
2. Paritasangka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun
tua, primigravida tua risiko lebih tinggi untuk pre-eklampsia
berat
3. Ras / golongan etnikbias (mungkin ada perbedaan perlakuan /
akses terhadap berbagai etnikdi banyak negara)
4. Faktor keturunanJika ada riwayat pre-eklampsia/eklampsia pada
ibu/nenek penderita, faktor risiko
meningkat sampai + 25%
5. Faktor genDiduga adanya suatu sifat resesif (recessive
trait), yang ditentukan genotip ibu dan janin
6. Diet / gizi Tidak ada hubungan bermakna antara menu / pola
diet tertentu (WHO). Penelitian lain : kekurangan kalsium
berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi. Angka kejadian juga
lebih tinggi pada ibu hamil yang obese / overweight
7. Iklim / musimDi daerah tropis insidens lebih tinggi
8. Tingkah laku / sosioekonomiKebiasaan merokok : insidens pada
ibu perokok lebih rendah, namun merokok selama hamil memiliki
risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat yang jauh
lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil : istirahat baring yang
cukup selama hamil mengurangi kemungkinan / insidens hipertensi
dalam kehamilan.
9. HiperplasentosisProteinuria dan hipertensi gravidarum lebih
tinggi pada kehamilan kembar, dizigotik lebih tinggi daripada
monozigotik.
Hidrops fetalis : berhubungan, mencapai sekitar 50% kasus
Diabetes mellitus : angka kejadian yang ada kemungkinan
patofisiologinya bukan pre-eklampsia murni, melainkan disertai
kelainan ginjal / vaskular primer akibat diabetesnya.Mola
hidatidosa : diduga degenerasi trofoblas berlebihan berperan
menyebabkan pre-eklampsia. Pada kasus mola, hipertensi dan
proteinuria terjadi lebih dini / pada usia kehamilan muda, dan
ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada
pre-eklampsia.
Etiologi
The disease of theory, Beberapa teori yang dianggap berkaitan
dengan terjadinya Preeklampsia dan Eklampsia antara lain;
1. kerusakan sel endothelial
2. perubahan aktivitas vaskuler
3. ketidak-seimbangan antara prostasiklin dan tromboksan
4. regangan otot uterus (iskemi), 5. faktor diet, 6. faktor
genetik. dllPatofisiologi
Sampai sekarang etiologi pre-eklampsia belum diketahui.
Membicarakan patofisiologinya tidak lebih dari "mengumpulkan"
temuan-temuan fenomena yang beragam. Namun pengetahuan tentang
temuan yang beragam inilah kunci utama suksesnya penangaan
pre-eklampsia. Sehingga pre-eklampsia / eklampsia disebut sebagai
"the disease of many theories in obstetrics."A "proposed" sequence
of events in the pathogenesis of toxemia of pregnancy. The main
features are : 1) decreased uteroplacental perfusion, 2) increased
vasoconstrictors and decreased vasodilators, resulting in local
(placental) and systemic vasoconstriction, and3) disseminated
intravascular coagulation (DIC). The primary cause(s) of
pre-eclampsia / eclampsia still unknown.Perubahan
kardiovaskular
Turunnya tekanan darah pada kehamilan normal : karena
vasodilatasi perifer.Vasodilatasi perifer disebabkan penurunan
tonus otot polos arteriol, akibat :1. meningkatnya kadar
progesteron dalam sirkulasi2. menurunnya kadar vasokonstriktor
(adrenalin/noradrenalin/ angiotensin II)3. menurunnya respons
dinding vaskular terhadap vasokonstriktor akibat produksi
vasodilator / prostanoid yang juga tinggi (PGE2 / PGI2)4.
menurunnya aktifitassusunan saraf simpatis vasomotorPada trimester
ketiga akan terjadi peningkatan tekanan darah yang normal ke
tekanan darah sebelum hamil. 1/3 pasien pre-eklampsia : terjadi
pembalikan ritme diurnal, tekanan darah naik pada malam hari. Juga
terdapat perubahan lama siklus diurnal menjadi 20 jam per hari,
dengan penurunan selama tidur, yang mungkin disebabkan perubahan di
pusat pengatur tekanan darah atau pada refleks baroreseptor.
Regulasi volume darahPengendalian garam dan homeostasis juga
meningkat pada pre-eklampsia.Kemampuan mengeluarkan natrium
terganggu, tapi derajatnya bervariasi. Pada keadaan berat mungkin
juga tidak ditemukan edema (suatu "pre-eklampsia kering"). Jika ada
edema interstisial, volume plasma lebih rendah dibandingkan wanita
hamil normal, dan dengan demikian terjadi hemokonsentrasi. Porsi
cardiac output untuk perfusi perifer relatif turun. Perfusi
plasenta melakukan adaptasi terhadap perubahan2 ini, maka pemakaian
diuretik adalah TIDAK sesuai karena justru akan memperburuk
hipovolemia. Plasenta juga menghasilkan renin, diduga berfungsi
cadangan untuk mengatur tonus dan permeabilitas vaskular lokal demi
mempertahankan sirkulasi fetomaternal.Perubahan metabolisme steroid
tidak jelas. Kadar aldosteron turun, kadar progesteron tidak
berubah. Kelainan fungsi pembekuan darah ditunjukkan dengan
penurunan AT III. Rata-rata volume darah pada penderita
pre-eklampsia lebih rendah sampai 500 ml dibanding wanita hamil
normal.Fungsi organ-organ lain
Otak Pada hamil normal, perfusi serebral tidak berubah, namun
pada pre-eklampsia terjadi spasme pembuluh darah otak, penurunan
perfusi dan suplai oksigen otak sampai 20%. Spasme menyebabkan
hipertensi serebral, faktor penting terjadinya perdarahan otak dan
kejang / eklampsia.
Hati Terjadi peningkatan aktifitas enzim-enzim hati pada
pre-eklampsia, yang berhubungan dengan beratnya penyakit.
Ginjal Pada pre-eklampsia, arus darah efektif ginjal berkurang +
20%, filtrasi glomerulus berkurang + 30%. Pada kasus berat terjadi
oligouria, uremia, sampai nekrosis tubular akut dan nekrosis
korteks renalis. Ureum-kreatinin meningkat jauh di atas normal.
Terjadi juga peningkatan pengeluaran protein ("sindroma nefrotik
pada kehamilan").Sirkulasi uterus, koriodesidua dan plasenta
Perubahan arus darah di uterus, koriodesidua dan plasenta adalah
patofisiologi yang TERPENTING pada pre-eklampsia, dan merupakan
faktor yang menentukan hasil akhir kehamilan.
1. Terjadi iskemia uteroplasenter, menyebabkan ketidakseimbangan
antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi darah
sirkulasi yang berkurang.2. hipoperfusi uterus menjadi rangsangan
produksi renin di uteroplasenta, yang mengakibatkan vasokonstriksi
vaskular daerah itu. Renin juga meningkatkan kepekaan vaskular
terhadap zat-zat vasokonstriktor lain (angiotensin, aldosteron)
sehingga terjadi tonus pembuluh darah yang lebih tinggi.
3. karena gangguan sirkulasi uteroplasenter ini, terjadi
penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke janin. Akibatnya bervariasi
dari gangguan pertumbuhan janin sampai hipoksia dan kematian
janin.
Gambaran Klinis
1. Kejang
Kejang klonik dan kejang tonik Kejang pada Eklampsia terbagi
dalam 4 tingkat :
1. Tingkat Awal atau aura
2. Tingkat kejangan tonik3. Tingkat kejangan klonik 4. Tingkat
koma.
2. Respirasi
setelah kejang respirasi naik ( diafragma terfiksasi ( respirasi
berhenti
3. Suhu badan meningkat
4. Diuresis Berkurang
5. Edema ( Edema ekstremitas atau edema paru
6. Proteinuria beratDiagnosisDiagnosis pre-eklampsia ditegakkan
berdasarkan :
1. peningkatan tekanan darah yang lebih besar atau sama dengan
140/90 mmHg2. atau peningkatan tekanan sistolik > 30 mmHg atau
diastolik > 15 mmHg3. atau peningkatan mean arterial pressure
>20 mmHg, atau MAP > 105 mmHg4. proteinuria signifikan, 300
mg/24 jam atau > 1 g/ml5. diukur pada dua kali pemeriksaan
dengan jarak waktu 6 jam6. edema umum atau peningkatan berat badan
berlebihan
Tekanan darah diukur setelah pasien istirahat 30 menit (ideal).
Tekanan darah sistolik adalah saat terdengar bunyi Korotkoff I,
tekanan darah diastolik pada Korotkoff IV. Bila tekanan darah
mencapai atau lebih dari 160/110 mmHg, maka pre-eklampsia disebut
berat. Meskipun tekanan darah belum mencapai 160/110 mmHg,
pre-eklampsia termasuk kriteria berat jika terdapat gejala lain
seperti disebutkan dalam tabel.
Kriteria Diagnostik Preeklampsia Berat
1. Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau diastolik > 110
mmHg.2. Proteinuria = 5 atau (3+) pada tes celup strip.3. Oliguria,
diuresis < 400 ml dalam 24 jam4. Sakit kepala hebat dan gangguan
penglihatan5. Nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas abdomen
atau ada ikterus6. Edema paru atau sianosis7. Trombositopenia8.
Pertumbuhan janin yang terhambat
Pre-eklampsia dapat terjadi pada usia kehamilan setelah 20
minggu, atau bahkan setelah 24 jam post partum. Bila ditemukan
tekanan darah tinggi pada usia kehamilan belum 20 minggu, keadaan
ini dianggap sebagai hipertensi kronik. Pre-eklampsia dapat
berlanjut ke keadaan yang lebih berat, yaitu eklampsia. Eklampsia
adalah keadaan pre-eklampsia yang disertai kejang.
Gejala klinik pre-eklampsia dapat bervariasi sebagai akibat
patologi kebocoran kapiler dan vasospasme yang mungkin tidak
disertai dengan tekanan darah yang terlalu tinggi. Misalnya, dapat
dijumpai ascites, peningkatan enzim hati, koagulasi intravaskular,
sindroma HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme, low platelets),
pertumbuhan janin terhambat, dan sebagainya.
Bila dalam asuhan antenatal diperoleh tekanan darah diastolik
lebih dari 85 mmHg, perlu dipikirkan kemungkinan adanya
pre-eklampsia membakat. Apalagi bila ibu hamil merupakan kelompok
risiko terhadap pre-eklampsia.
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, pada kecurigaan
pre-eklampsia sebaiknya diperiksa juga :
1. pemeriksaan darah rutin serta kimia darah : ureum-kreatinin,
SGOT, LD, bilirubin
2. pemeriksaan urine : protein, reduksi, bilirubin, sedimen
3. kemungkinan adanya pertumbuhan janin terhambat, konfirmasi
USG bila ada.
4. nilai kesejahteraan janin (kardiotokografi).Komplikasi
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin.
Komplikasi lain yang biasa terjadi antara lain : Solusio Plasenta,
Hipofibrinogenemia, Hemolisis, Perdarahan otak
Edema paru-paru.
Nekrosis hati, Sindroma HELLP
Kelainan ginjal.
Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan fraktura karena
jatuh akibat kejang kejang
Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.
PenatalaksanaanPENATALAKSANAAN PRE-EKLAMPSIAPrinsip
penatalaksanaan pre-eklampsia 1. melindungi ibu dari efek
peningkatan tekanan darah
2. mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia
3. mengatasi atau menurunkan risiko janin (solusio plasenta,
pertumbuhan janin terhambat, hipoksia sampai kematian janin)
4. melahirkan janin dengan cara yang paling aman dan cepat
sesegera mungkin setelah matur, atau imatur jika diketahui bahwa
risiko janin atau ibu akan lebih berat jika persalinan ditunda
lebih lama.
Penatalaksanaan pre-eklampsia ringan1. dapat dikatakan tidak
mempunyai risiko bagi ibu maupun janin
2. tidak perlu segera diberikan obat antihipertensi atau obat
lainnya, tidak perlu dirawat kecuali tekanan darah meningkat terus
(batas aman 140-150/90-100 mmHg).
3. istirahat yang cukup (berbaring / tiduran minimal 4 jam pada
siang hari dan minimal 8 jam pada malam hari)
4. pemberian luminal 1-2 x 30 mg/hari bila tidak bisa tidur
5. pemberian asam asetilsalisilat (aspirin) 1 x 80 mg/hari.
6. bila tekanan darah tidak turun, dianjurkan dirawat dan diberi
obat antihipertensi : metildopa 3 x 125 mg/hari (max.1500 mg/hari),
atau nifedipin 3-8 x 5-10 mg/hari, atau nifedipin retard 2-3 x 20
mg/hari, atau pindolol 1-3 x 5 mg/hari (max.30 mg/hari).
7. diet rendah garam dan diuretik TIDAK PERLU
8. jika maturitas janin masih lama, lanjutkan kehamilan, periksa
tiap 1 minggu
9. indikasi rawat : jika ada perburukan, tekanan darah tidak
turun setelah 2 minggu rawat jalan, peningkatan berat badan
melebihi 1 kg/minggu 2 kali berturut-turut, atau pasien menunjukkan
tanda-tanda pre-eklampsia berat. Berikan juga obat
antihipertensi.
10. jika dalam perawatan tidak ada perbaikan, tatalaksana
sebagai pre-eklampsia berat. Jika perbaikan, lanjutkan rawat
jalan
11. pengakhiran kehamilan : ditunggu sampai usia 40 minggu,
kecuali ditemukan pertumbuhan janin terhambat, gawat janin, solusio
plasenta, eklampsia, atau indikasi terminasi lainnya. Minimal usia
38 minggu, janin sudah dinyatakan matur.
12. persalinan pada pre-eklampsia ringan dapat dilakukan
spontan, atau dengan bantuan ekstraksi untuk mempercepat kala
II.
Penatalaksanaan pre-eklampsia beratDapat ditangani secara aktif
atau konservatif. Aktif berarti : kehamilan diakhiri / diterminasi
bersama dengan pengobatan medisinal.Konservatif berarti : kehamilan
dipertahankan bersama dengan pengobatan medisinal.Prinsip : Tetap
PEMANTAUAN JANIN dengan klinis, USG, kardiotokografi1. Penanganan
aktif.Penderita harus segera dirawat, sebaiknya dirawat di ruang
khusus di daerah kamar bersalin. Tidak harus ruangan
gelap.Penderita ditangani aktif bila ada satu atau lebih kriteria
ini : 1. ada tanda-tanda impending eklampsia2. ada HELLP syndrome
3. ada kegagalan penanganan konservatif4. ada tanda-tanda gawat
janin atau IUGR5. usia kehamilan 35 minggu atau lebih Pernah ada
kasus 31 minggu, berhasil, kerjasama dengan perinatologi, bayi
masuk inkubator dan NICU)
JANGAN LUPA : OKSIGEN DENGAN NASAL KANUL, 4-6 L / MENIT !!
Pengobatan medisinal : diberikan obat anti kejang MgSO4 dalam infus
dextrose 5% sebanyak 500 cc tiap 6 jam. Cara pemberian MgSO4 :
dosis awal 2 gram intravena diberikan dalam 10 menit, dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan sebanyak 2 gram per jam drip infus (80
ml/jam atau 15-20 tetes/menit).Syarat pemberian MgSO4 :- frekuensi
napas lebih dari 16 kali permenit - tidak ada tanda-tanda gawat
napas - diuresis lebih dari 100 ml dalam 4 jam sebelumnya - refleks
patella positif.MgSO4 dihentikan bila : - ada tanda-tanda
intoksikasi - atau setelah 24 jam pasca persalinan - atau bila baru
6 jam pasca persalinan sudah terdapat perbaikan yang nyata.Siapkan
antidotum MgSO4 yaitu Ca-glukonas 10% (1 gram dalam 10 cc NaCl
0.9%, diberikan intravena dalam 3 menit).
Obat anti hipertensi diberikan bila tekanan darah sistolik lebih
dari 160 mmHg atau tekanan darah diastolik lebih dari 110 mmHg.
Obat yang dipakai umumnya nifedipin dengan dosis 3-4 kali 10 mg
oral. Bila dalam 2 jam belum turun dapat diberi tambahan 10 mg
lagi.Terminasi kehamilan : bila penderita belum in partu, dilakukan
induksi persalinan dengan amniotomi, oksitosin drip, kateter
Folley, atau prostaglandin E2. Sectio cesarea dilakukan bila syarat
induksi tidak terpenuhi atau ada kontraindikasi partus pervaginam.
Pada persalinan pervaginam kala 2, bila perlu dibantu ekstraksi
vakum atau cunam.
2. Penanganan konservatifPada kehamilan kurang dari 35 minggu
tanpa disertai tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan janin
baik, dilakukan penanganan konservatif.Medisinal : sama dengan pada
penanganan aktif. MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mencapai
tanda-tanda pre-eklampsia ringan, selambatnya dalam waktu 24 jam.
Bila sesudah 24 jam tidak ada perbaikan maka keadaan ini dianggap
sebagai kegagalan pengobatan dan harus segera dilakukan
terminasi.JANGAN LUPA : OKSIGEN DENGAN NASAL KANUL, 4-6 L / MENIT
!!Obstetrik : pemantauan ketat keadaan ibu dan janin. Bila ada
indikasi, langsung terminasi.
Penatalaksanaan eklampsiaEklampsia adalah kelainan akut pada
wanita hamil, dalam persalinan atau nifas, yang ditandai dengan
timbulnya kejang dan / atau koma. Sebelumnya wanita hamil itu
menunjukkan gejala-gejala pre-eklampsia (kejang-kejang dipastikan
BUKAN timbul akibat kelainan neurologik lain). Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala-gejala pre-eklampsia disertai kejang dan atau
koma.Tujuan pengobatan : menghentikan / mencegah kejang,
mempertahankan fungsi organ vital, koreksi hipoksia / asidosis,
kendalikan tekanan darah sampai batas aman, pengakhiran kehamilan,
serta mencegah / mengatasi penyulit, khususnya krisis hipertensi,
sebagai penunjang untuk mencapai stabilisasi keadaan ibu seoptimal
mungkin.Sikap obstetrik : mengakhiri kehamilan dengan trauma
seminimal mungkin untuk ibu.Pengobatan medisinal : sama seperti
pada pre-eklampsia berat. Dosis MgSO4 dapat ditambah 2 g intravena
bila timbul kejang lagi, diberikan sekurang-kurangnya 20 menit
setelah pemberian terakhir. Dosis tambahan ini hanya diberikan satu
kali saja.Jika masih kejang, diberikan amobarbital 3-5 mg/kgBB
intravena perlahan-lahan.JANGAN LUPA : OKSIGEN DENGAN NASAL KANUL,
4-6 L / MENIT !!Perawatan pada serangan kejang : dirawat di kamar
isolasi dengan penerangan cukup, masukkan sudip lidah ke dalam
mulut penderita, daerah orofaring dihisap. Fiksasi badan pada
tempat tidur secukupnya.Sikap dasar semua kehamilan dengan
eklampsia HARUS diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan
janin. Pertimbangannya adalah keselamatan ibu.Kehamilan diakhiri
bila sudah terjadi stabilisasi hemodinamika dan metabolisme ibu,
paling lama 4-8 jam sejak diagnosis ditegakkan. Yang penting adalah
koreksi asidosis dan tekanan darah.Cara terminasi juga dengan
prinsip trauma ibu seminimal mungkin.Bayi dirawat dalam unit
perawatan intensif neonatus (NICU).Pada kasus pre-eklampsia /
eklampsia, jika diputuskan untuk sectio cesarea, sebaiknya dipakai
ANESTESIA UMUM. Karena kalau menggunakan anestesia spinal, akan
terjadi vasodilatasi perifer yang luas, menyebabkan tekanan darah
turun. Jika diguyur cairan (untuk mempertahankan tekanan darah)
bisa terjadi edema paru, risiko tinggi untuk kematian ibu.Pasca
persalinan : maintenance kalori 1500 kkal / 24 jam, bila perlu
dengan selang nasogastrik atau parenteral, karena pasien belum
tentu dapat makan dengan baik. MgSO4 dipertahankan sampai 24 jam
postpartum, atau sampai tekanan darah terkendali.Cara Terminasi /
Pengakhiran Kehamilan belum dalam persalinan/BDP induksi ; perlu
dipertimbangkan dengan bishop score dan adanya penekanan terhadap
kondisi janin (foetal well beeing yaitu F.C & F.D) mengingat
risiko tinggi preeclampsia/eclampsia pd ibu hami; cenderung utk
dilakukan bedah caesar. dlm persalinan/DP
kala I fase laten---seksio caesarea
kala I fase aktif---amniotomi, bila 6 jam setelah amniotomi
tidak tercapai pembukaan lengkap(seksio caesarea
kala II : *ekstraksi vakum
*ekstraksi forsipal
PENCEGAHAN
Usaha pencegahan preeklampsia dan eklampsia sudah lama
dilakukan, telah banyak penelitian dilakukan untuk menilai manfaat
berbagai kelompok bahan-bahan non-farmakologi dan baban farmakologi
seperti: diet rendah garam, vitamin C, a tocopherol (Vit. E), beta
karoten, minyak ikan (eicosapen tanoic acid), zink, magnesium,
diuretik, antihipertensi, aspirin dosis rendah dan kalsium uutuk
mencegah terjadinya preeklampsia dan eklampsia.
Sayangnya berbagai cara di atas belum mewujudkan hasil yang
menggembirakan. Belakangan juga diteliti manfaat penggunaan
anti-oxidant seperti N. Acetyl cystein yang diberikan bersama
dengan vitamin A, B6, B12, C, E, dan berbagai mineral lainnya
(Rumiris D. dkk., 2005) yang nampaknya dapat menurunkan angka
kejadian preeklampsia pada kasus risiko tinggi. Pada pasien dengan
risiko tinggi terjadinya preeklampsia, pemeriksaan antenatal
trimester I1 harus dilakukan secara teratur untuk menilai keadaan
ibu dan kesejahteraan jauin.
Pemeriksaan klinis pada ibu hamil yang mempunyai keluhan seperti
gangguan visus, nyeri kepala, rasa panas di muka, uyeri
epigastrium, mual, muntah ataupun kejang harus dilakukan. Di
samping itu pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan proteinuria,
menentukan tinggi fundus uteri untuk menilai pertumbuhan janin
harus dilakukan secara teratur. Di samping itu juga harus dilakukan
pemeriksaan biometri janin, kesejahteraan janin dengan NST (Non
Stress Test) dan bioprojile janin.
Pemeriksaan Doppler arteri uterina pada kehamilan 18-24 rninggu
pada pasien dengan risiko tinggi, juga dapat digunakan sebagai
seleksi untuk terjadinya preeklampsia dan eklampsia jika dijumpai
peningkatan RI > 0,5 8 atau dijumpai takik diastolic (Coleman
Mag. dkk., 2000). Masalah yang sering dihadapi pada penderita
preeklampsia dan eklampsia adalah: penderita tidak melakukan
pemeriksaan antenatal secara teratur dan sering datang terlambat ke
rumah sakit: 40% serangan kejang pada penderita eklampsia biasanya
terjadi sebelum pepderita masuk ke rumah sakit.
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama
: Ny. M.I.
Umur
: 37 th
Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga
Agama
: Katholik
Alamat
: Tlogo RT 05 Tamantirto KasihanPendidikan: SMA
PELACAKAN KEMATIANNy. M.I., 37 th.
Jarak rumah ke puskesmas atau bidan terdekat 3 km.
Jarak RS terdekat 11 km.
HPHT: 01-03-2009
HPL: 08-12-2009
RPD:
Sebelum hamil: t.a.k
Saat hamil:
G2P1A0 anak pertama usia 5 th.
Kontrol rutin ke dr. Andang, Sp.OG di RS Amanda sampai umur
kehamilan 38 minggu, di tenaga kesehatan s.d. 39 minggu. TD 160/100
mmHg disarankan untuk SC, di rujuk ke Happy Land, dr. Anestesi
menyarankan rujuk ke RS Sardjito. Di sana operasi SC, hari ke 5
BLPL. Di rumah mendadak sesak nafas kemudian masuk ICU. TD 220/160
mmHg, kemudian meninggal dunia. Riwayat anemia selama kehamilan
(+)Riwayat Obstetri:
G2P1A0, anak pertama lahir secara spontan
Komplikasi terdahulu (-)
Perdarahan sebelum melahirkan, perdarahan banyak setelah
melahirkan, retensio plasenta, partus macet, pre eklampsia, kejang
karena eklampsia, operasi SC, perkiraan janin besar, dan lain-lain
tidak ada.
Keadaan anak yang dilahirkan: Hidup 1, umur 5 th. Lahir mati,
lahir hidup kemudian mati, prematur, BB< 2500gr, BB>4000gr
tidak ada.
Riwayat ANC sekarang: Umur kehamilan saat ANC pertama 6
minggu
Jumlah pemeriksaan kehamilan 12 kali Trimester 1: 4 kali;
trimester 2: 4 kali; Trimester 3: 4 kali
Pemberi pelayanan ANC dokter spesialis obsgynPelayanan yang
diterima saat ANC:
Pemeriksaan kehamilan
Tablet besi
Imunisasi TT
USG 4 kali
Resiko tinggi saat antenatal: Hb 32 minggu, letak sungsang pada
kehamilan pertama, gemeli, perkiraan janin besar, edema muka dan
tangan, TD >140/90 mmHg, sakit kepala yang tak hilang, penyakit
kronis tidak ada.
Saat persalinan ibu mengalami komplikasi (+), jenis komplikasi:
pre eklampsia TD 235/135 mmHg. Cara persalinan SC di RS Sardjito.
Petugas penolong: dokter, dokter Sp.OG, anggota keluarga (dokter
anestesi). Rujukan ke RS Sardjito tgl. 30-11-2009
Riwayat pemeriksaan:
25/09/2009
BB: 60kg
TD: 100/60
Nyeri perut kiri.
Px: TFU: 27cm; presbo, DJJ(+)
28/09/2009
BB: 60Kg
TD: 110/80
UK: 31 minggu
USG: presbo
12/10/2009
BB: 60kg
TD: 110/70
UK: 32+2 minggu
USG: presbo (UK: 34 minggu)
19/10/2009
BB: 61kg
TD: 120/70
Hb: 11gr%
protein urun(+)
USG: lintang
edema kaki kiri (+)
16/11/2009
BB: 61kg
TD: 110/80
USG: PLR
23/11/2009
BB: 64kg
TD:120/80
USG: preskep
UK: 39+1mgg
DAFTAR PUSTAKA
Roeshadi, R.H.. 2007. Upaya Menurunkan Angka Kesakitan dan Angka
Kematian Ibu pada Penderita Preeklampsia dan Eklampsia. Bagian KSMF
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara Medan
Rahmawan, Ahmad. 2009. Upaya menurunkan angka kematian ibu.
Bagian/smf ilmu kebidanan dan penyakit kandungan FK Unlam RSUD Ulin
Banjarmasin
Ashari, M.A. 2009. Preeclampsia dan Eklampsia. RSUD Panembahan
Senopati Bantul
Departemen Kesehatan RI. Kajian Kematian Ibu dan Anak di
Indonesia. Jakarta, 2004.
Adiyono, Darmono. 1996.Optimalisasi pelayanan kesehatan ibu dan
anak menjelang tahun 2000. Badan Penerbit Undip: Semarang.WHO.
Making Pregnancy Safer, a HealthSector Strategy for Reducing
Maternal/ PerinatalMortality, 1999.
SAFE MOTHERHOOD
KB
ASUHAN
ANTE
NATAL
PELAYANAN KEBIDANAN DASAR
PELAYANAN OBSTETRI ESENSIAL
PERSALINAN BERSIH DAN AMAN
PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
PEMBERDAYAAN WANITA
1