Top Banner

of 71

Anestesi undip

Jul 05, 2018

Download

Documents

Azzahra Afifah
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 8/16/2019 Anestesi undip

    1/71

     JAI Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I Nomor 02, Juli 2009

    Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif 

    Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro danIkatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi

    (IDSAI) Jawa Tengah

    Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesiamelalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif 

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    2/71

     Sejawat terhormat,

    Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini

    memuat artikel penelitian klinik dan preklinik.

    Diantaranya adalah mengenai efek sedasi

    midazolam pada variasi genetika Cyp2c19, skor

    histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

    pengaruh Suksinilkolin terhadap kadar Kreatin

    Fosfokinase dan pretreatment Magnesium Sulfat

    untuk mencegah peningkatan TIO akibat

    Suksinilkolin.

    Dua tinjauan pustaka, mengenai peningkatan

    tekanan intrakranial dan regulasi aliran darah

    serebral diharapkan menambah pengetahuan kita

    dalam bidang anestesi.

    Semoga bermanfaat.

    Salam,

    dr. Uripno Budiono, SpAn

    Artikel dalam jurnal ini boleh di-copy untuk

    kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

    Apabila akan menggunakannya sebagai acuan,

    hendaknya mencantumkan artikel tersebut

    sebagai daftar pustaka dengan sitasinya.

     Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Pelindung:

      Dekan Fakultas Kedokteran

    Universitas Diponegoro

      Ketua Program Studi Anestesiologi

    dan Terapi Intensif FK UNDIP

      Ketua Ikatan Dokter Spesialis

    Anestesiologi dan Reanimasi

    Indonesia (IDSAI) Cabang Jawa

    Tengah

    Ketua Redaksi:

    dr. Uripno Budiono, SpAn

    Wakil Ketua Redaksi:

    dr. Johan Arifin, SpAn, KAP

    Anggota Redaksi:

    dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA

    dr. Hariyo Satoto, SpAn

    dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR

    dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO

    dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP

    dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA

    dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC

    dr. Doso Sutiyono, SpAn

    dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR

    dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn

    dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med

    dr. Aria Dian Primatika, SpAn, MSi.Med

    dr. Danu Soesilowati, SpAn,dr. Hari Hendriarto, SpAn, MSi.Med

    Mitra Bestari:

    Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV

    Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO

    Seksi Usaha:

    dr. Mochamat

    Administrasi:

    Maryani, Nik Sumarni

    Jurnal Anestesiologi diterbitkan 3 kali per

    tahun, setiap bulan Maret, Juli dan

    November sejak tahun 2009. Harga

    Rp.200.000,- per tahun.

    Untuk berlangganan dan sirkulasi:

    Ibu Nik Sumarni (081326271093)

    Ibu Kamtini (081325776326)

    Alamat Redaksi:

    Program Studi Anestesiologi dan Terapi

    Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi,

    Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang.Telp. 024-8444346.

     JAI

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    3/71

    DAFTAR ISI

    PENELITIAN Hal

    Sukmiasi Sismadi, Uripno Budiono

    Pengaruh Variasi Genetika Cyp2c19 Terhadap Efek Sedasi Midazolam Intravena

    Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara nilai skor sedasi dengan genotip EM, IM

    dan PM dari CYP2C19. 

    65

    Curniawati Trisasi, Marwoto

    Skor Histologi C-Erbb-2, Proliferasi Endotel Pembuluh Darah : Pada Infiltrasi

    Levobupivakain Terhadap Penyembuhan Luka 

    Ekspresi c-erbB-2 dan indeks proliferasi sel yang dinyatakan dengan mAgNOR pada

    kelompok dengan infiltrasi levobupivakain lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok

    tanpa infiltrasi levobupivakain. Terdapat hubungan antara c-erbB-2 dan mAgNOR pada

    proses penyembuhan luka. 

    72

    R. Cristianto Nugroho, Abdul Lian Siregar

    Pengaruh Midazolam, Atrakurium Terhadap Fasikulasi Dan Kenaikan Kadar KreatinFosfokinase Akibat Suksinilkolin

    Atrakurium sebagai pretreatment terbukti efektif mengurangi fasikulasi, mialgia maupun

    kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah. Midazolam sama efektifnya dengan atrakurium

    dalam hal mengurangi mialgia, namun kurang efektif untuk mengurangi kenaikan kadar

    kreatin fosfokinase dan tidak efektif untuk mencegah fasikulasi. 

    82

    Imam Suyuti, IGN Panji, Mohamad Sofyan Harahap

    Pengaruh Pretreatment Magnesium Sulfat Dan Atrakurium Terhadap Perubahan

    Tekanan Intraokuler Akibat Suksinilkolin 

    Tidak terjadi kenaikan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin pada pasien

    yang mendapat pretreatment magnesium sulfat, maupun yang mendapat pretreatmentatracurium. Tidak terdapat perbedaan yang bermaknapada perubahan tekanan

    intraokuler setelah pernberian magnesium sulfat maupun atracurium.

    90

    TINJAUAN PUSTAKA

    Igun Winarno, Mohamad Sofyan Harahap

    Pemantauan Tekanan Intra Kranial 

    Penanganan penderita dengan peningkatan tekanan intra kranial di mulai dengan

    memonitor tekanannya sendiri baik dengan cara invasive maupun non invasive, kemudian

    dengan pengelolaan secara bedah dan non bedah. Pengelolaan dibidang anestesi sangat

    berperan untuk menurunkan tekanan intra kranial yaitu dimulai dengan menjaga jalannafas, menjaga kestabilan emosi penderita dengan obat-obat sedasi dan anelgetik,

    penggunaan obat-obatan dan agent inhalasi yang tidak mempengaruhi tekanan intra

    kranial serta mengatasi efek yang timbul kemudian. 

    101

    Iwan Dwi Cahyono, Jati Listiyanto, Mohamad Sofyan Harahap 

    Regulasi Aliran Darah Cerebral Dan Aneurisma Cerebral

    Perubahan aliran darah ke otak memiliki regulasi tersendiri mengingat begitu besar

    peranan otak bagi kehidupan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi regulasi aliran

    darah ke otak salah satunya adalah tindakan dan obat anestesi selama pembiusan. Untuk

    menghindari akibat buruk yang mungkin terjadi perlu dipelajari tentang auto regulasi

    darah serebral dengan baik. Penggunaan obat juga perlu dipertimbangkan. Operasi

    dibagian kepala membutuhkan waktu relative lama dibandingkan operasi yang lainnya.

    120

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    4/71

     

    65

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    PENELITIAN

    Pengaruh Variasi Genetika Cyp2c19 Terhadap Efek Sedasi Midazolam Intravena

    Sukmiasi Sismadi*, Uripno Budiono*

    *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

    ABSTRACT

    Background : The cytochrome P450 plays an important role in the metabolism of many

    drugs, chemicals and carcinogens. CYP2C19 is often a major concern because of the high

    difference in each individual and each population. Based on the capacity of CYP2C19 in

    the metabolism sustrat, a person can be classified as extensive metabolizers (EM),

    intermediate metabolizers (IM) and poor metabolizers (PM). Which has the effect of

    midazolam sedation, anxiolytic, and anterograde amnesia is metabolized through the

    CYP2C19 enzyme. These drugs are often used as a premedication drug or as a co-

    induction. In clinical practice that is common with the usual dose of midazolam, not all

     patients show the expected effect. Therefore, the study of genetic influences on intravenous

    midazolam biotransformation.

    Objectives : Assess the effects of intravenous midazolam on the EM genotype, IM and PM

    Methods : The study 24 patients undergoing elective surgery in the installation department

    of the Central Surgical Dr Kariadi Semarang, inclusion and exclusion criteria, with ASA

     physical status I. Previously people with an explanation of the procedures that will be

    undertaken and expressed willingness in the sheet informed consent. Desain phase II

    clinical trials research using cross sectional study to assess the effects of midazolam on the

    body's metabolic functions. Allele / CYP2C19 polymorphisms were identified by PCR-

     RFLP technique.

    Results : The results showed the general characteristics of patients with no laboratory

    abnormalities, had no complications or side effects of midazolam. Sedation score 5

    minutes after administration of midazolam there were no significant differences between

    men and women (3.3 ± 0.59), and found no significant association between age with the

     sedation score (r = 0.250, P = 0.183). CYP2C19 genotype distribution was found

    respectively 6 (20%) of EM, 16 (53.3%) IM and eight (26.7%) PM. These three genotypes

    there were no significant differences by age, sex and sedation score.

    Conclusion : There is no significant relationship between the scores of sedation with

     genotypes EM, IM and PM of CYP2C19.

    Keywords : Intravenous Midazolam, metabolism, CYP2C19

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    5/71

     

    66

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    ABSTRAK

    Latar Belakang : Sitokrom P450 berperan penting dalam metabolisme obat, zat kimia dan

    karsinogen. CYP2C19 sering menjadi perhatian utama karena tingginya perbedaan ditiap

    individu maupun tiap populasi. Berdasarkan kapasitas CYP2C19 dalam metabolisme

     sustrat, seseorang dapat dikelompokkan sebagai extensive metabolizers (EM),

    intermediate metabolizers (IM) dan poor metabolizers (PM). Midazolam yang mempunyai

    efek sedasi, ansiolitik dan anterograde amnesia dimetabolisme melalui enzim CYP2C19.

    Obat ini sering digunakan sebagai obat premedikasi ataupun sebagai koinduksi. Pada

     praktek klinis sering dijumpai dosis midazolam yang lazim, ternyata tidak semua pasien

    menunjukkan efek yang diharapkan. Diteliti seberapa besar pengaruh genetik terhadap

    biotransformasi midazolam intravena.

    Tujuan : Menilai efek midazolam intravena pada genotipe EM, IM dan PM

    Metode : Penelitian pada 24 pasien yang menjalani bedah elektif di Instalasi Bedah Sentral

     RSUP Dr Kariadi Semarang, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dengan status

     fisik ASA I. Sebelumnya penderita mendapatkan penjelasan tentang prosedur yang akan

    dijalani serta menyatakan kesediaannya dalam informed consent. Desain penelitian uji

    klinik fase II ini menggunakan cross sectional untuk menilai efek midazolam terhadap

     fungsi metabolisme tubuh. Alel/polimorfisme CYP2C19 diidentifikasi dengan tehnik PCR-

     RFLP.

    Hasil : Dari hasil penelitian menunjukkan karakteristik umum penderita tidak terdapat

    kelainan laboratorium, tidak mengalami komplikasi atau efek samping terhadap

    midazolam. Skor sedasi 5 menit setelah pemberian midazolam midazolam tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan perempuan (3,3 ± 0,59), serta tidak

    ditemukan hubungan yang bermakna antar usia dengan nilai skor sedasi (r=0,250 ;

     P=0,183). Distribusi genotip CYP2C19 ditemukan masing-masing 6 (20%) EM, 16

    (53,3%) IM dan 8 (26,7%) PM. Ketiga genotip tidak terdapat perbedaan yang bermakna

    dengan usia, jenis kelamin maupun skor sedasi.

    Simpulan : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara nilai skor sedasi dengan

     genotip EM, IM dan PM dari CYP2C19.

    Kata Kunci  : Midazolam intravena, metabolisme, CYP2C19 

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    6/71

     

    67

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    PENDAHULUAN

    Dosis dan frekuensi yang diperlukan

    untuk mencapai kadar obat yang efektif

    dalam darah dan jaringan bervariasi

    karena adanya perbedaan individu di

    dalam metabolisme dan eliminasi obat.

    Perbedaan ini ditentukan oleh faktor

    genetik dan non genetik seperti umur,

     jenis kelamin, fungsi hati, irama

    sirkardian, suhu tubuh dan faktor-faktor

    nutrisi serta pemaparan bersamaan

    terhadap induser dan inhibitor

    metabolisme obat. Perbedaan individu

    dalam kecepatan metabolisme juga

    tergantung pada sifat obat sendiri. Jadi

    dalam individu yang sama, kadar  steady

     state  plasma dapat mencerminkan suatu

    variasi yang sangat besar antara 2 sampai

    30 kali dalam metabolisme satu obat.1,2,3

    Sitokrom P450 berperan penting dalam banyak metabolisme obat, zat kimia dan

    karsinogen. CYP2C19 sering menjadi

     perhatian utama karena tingginya

     perbedaan di tiap individu

    maupunpopulasi. Berdasarkan kapasitas

    CYP2C19 dalam memetabolisme

    substrat, seseorang dapat dikelompokkan

    sebagai extensive metabolizers (EM ),

    intermediate metabolizer   (IM) dan  poormetabolizer   (PM). Konsentrasi

    cycloguanil yang merupakan metabolit

    dari  proguanil , berbeda secara bermakna

    diantara ketiga grup berdasarkan jumlah

    dari alel mutan ( Kruskal Wallis, P

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    7/71

     

    68

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    tempat pembelahan sel pada DNA

    melalui tes PCR yang dapat

    dikembangkan. Midazolam (8-chloro-6-

    (2-fluorophenyl)-1-methyl-4Himidazol-

    (1,5-a)(1,4) benzodiazepine) merupakan

     benzodiazepine agonist yang mempunyai

    sifat ansiolitik, sedatif, antikonvulsif dan

    anterograd amnesia.7,8 

    Obat ini banyak digunakan perioperatif.

    Sediaan komersial dibuffer pada pH 3,5

    untuk menjaga kestabilan dalam air,

     potensinya 1,5  –   2 kali diazepam.

    Midazolam pada pH netral dan basa

    larut dalam air dan dapat dicampur dalam

    larutan infus seperti NaCl 0,9% atau

    glukosa 5% yang tetap stabil secara fisik

    maupun kimiawi untuk 24 jam pada suhu

    kamar.8 

    Asam gama-aminobutirat (GABA) adalah

     penghambat neurotransmiter yang utama pada SSP. Penelitian elektrofisiologi

    menunjukkan bahwa benzodiazepin

    menguatkan neurotransmisi GABAergik

     pada semua tingkat neuroaksis, yang

    mencakup medula spinalis, hipotalamus,

    hipokampus, substansia nigra, korteks

    serebeli dan korteks serebri.

    Benzodiazepin tampaknya meningkatkanefisiensi inhibisi sinaptik GABAergik

    (melalui membran hiperpolarisasi) yang

    menyebabkan penurunan kecepatan

     pencetusan neuron yang krisis dalam

     banyak regio otak. Benzodiazepin tidak

    menggantikan GABA, tetapi tampaknya

    meningkatkan efek GABA tanpa aktivasi

    reseptor GABA secara langsung atau

    saluran klorida yang berhubungan.

    Peningkatan konduksi klorida

    menyebabkan interaksi benzodiazepin

    dengan GABA yang menyebabkan

     peningkatan frekuensi kejadian

    terbukanya saluran. Efek ini mungkin

    sebagian disebabkan oleh meningkatnya

    afinitas untuk GABA.7,9

    Tujuan penelitian ini untuk mengetahui

     pengaruh midazolam intravena pada efek

    sedasi pasien dengan genotipe EM, IM

    dan PM.

    METODE

    Penelitian ini merupakan cross sectional  

    yang akan menilai efek midazolam

    terhadap fungsi metabolisme tubuh.

    Sampel penelitian merupakan penderita

    yang menjalani operasi elektif dengan

    anestesi umum. Di Instalasi Bedah

    Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang.

    Diseleksi berdasarkan kriteria inklusi daneksklusi dan drop out .

    Kriteria Inklusi : umur 16 sampai

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    8/71

     

    69

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    ( Polymerase chain reaction-restriction

    length polymorphism). DNA diisolasi

    dari darah tepi dengan menggunakan

    teknik standar yang digunakan

    dilaboratorium bioteknologi pusat

    kegiatan penelitian UNHAS.

    Setelah mendapatkan informed consent,

    subyek dipuasakan 6 jam sebelum operasi

    dan dibawa keruang operasi tanpa jalur

    intravena dan premedikasi. Setelah

    sampai di ruang operasi dilakukan

     pemasangan jalur intravena sekaligus

    mengambil sampel darah sebanyak 10 cc

    dan infus NaCl 0,9%, kemudian dipasang

    monitor standar rutin dan diberikan

    midazolam 0,07 mg/kgbb intravena

     bolus. Waktu pemberian midazolam

    disebut menit ke-0 dan pada menit ke-5

    dinilai skor sedasi dengan 4 skala

     pengukuran seperti yang digunakan oleh

    field et al ( Field Score)

    7-10

    .

    Skor :

    1.  Aktif ( Alert/active)

    2.  Bangun/tenang ( Awake/calm)

    3.  Mengantuk, respon terhadap suara

    (drowsy but respon verbal )

    4.  Tertidur (asleep)

    Pasien kemudian diinduksi sementara itu

    sampel darah dimasukkan kedalam kotak

    khusus sebagai transport dan dibawa ke

    laboratorium biomolekuler untuk analisa

    genetik tipe dari sitokrom P450 pasien

    termasuk  poor / normal / extensive

    metabolism).

    Data yang terkumpul selanjutnya diberi

    kode, ditabulasi dan dimasukkan sebagai

    data komputer. Analisa data meliputi

    analisis deskriptif dan uji hipotesis

    menggunakan program SPSS 13.0.

    HASIL

    Jumlah subjek penelitian 30 orang yang

    terdiri dari 15 perempuan dan 15 laki-laki

    dengan berbagai jenis tindakan operasi.

    Tidak ditemukan kelainan laboratorium

     pada semua subjek penelitian. Usia rata-

    rata subjek penelitian 30,6 ±8,18 tahun,

    tidak terdapat perbedaan yang bermakna

     pada usia rata-rata antara perempuan

    (29,66 ± 7,04 tahun) dan laki-laki (31,53

    ±9,34 tahun), (p>0,05). Semua subjek

    yang mengikuti penelitian ini tidak

    mengalami komplikasi atau efek samping

    terhadap midazolam.

     Nilai rata-rata skor sedasi 5 menit setelah

     pemberian midazolam 3,3 ± 0,59. Tidak

    terdapat perbedaan yang bermakna nilaiskor sedasi pada perempuan (3,4 ±0,5)

    dan laki-laki (3,2 ±0,67), (p

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    9/71

     

    70

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    PEMBAHASAN

    Telah diteliti nilai skor sedasi pada 30

    subjek yang mendapat 0,07 mg/kgBB

    midazolam intravena dikaitkan dengan

    genotip dari CYP2CI9. Nilai skor sedasi

    didasarkan atas respon kognitif subjek 5

    menit setelah diberikan midazolam

    intravena. Nilai skor sedasi yang

    diperoleh pada penelitian ini berkisar 2

    sampai dengan 4. Variasi dalam nilai skor

    sedasi setelah pemberian midazolam

    dapat dijelaskan melalui 2 hal : variasi

    kadar plasma midazolam (variasi

    farmakokinetik) dan variasi dalam

    sensitifitas terhadap midazolam (variasi

    farmakokinetik) diantara subjek yang

    diteliti.

    Variasi skor sedasi pada penelitian ini

    kemungkinan lebih disebabkan oleh

    faktor farmakodinamik dibandingkan

    faktor farmakokinetik. Beberapa penelitian sebelumnya telah

    membuktikan bahwa orang dengan usia

    lanjut lebih sensitif terhadap efek sedasi

     benzodiazepin. Orang usia lanjut

    membutuhkan dosis lebih rendah

    dibandingkan orang yang lebih muda

    untuk mencapai efek sedasi yang sama.

    Pada penelitian ini dapat dilihat pada dua

    subjek dengan usia muda (16 tahun) nilaisedasinya hanya dua setelah pemberian

    midazolam.

    Walaupun faktor farmakodinamik

    dianggap lebih berperan dalam

    menentukan skor sedasi pada penelitian

    ini, tidak berarti bahwa faktor

    farmakokinetik sama sekali tidak

     berperan. Tidak adanya hubungan yang

     bermakna antara skor sedasi dengan

    genotip PM dan EM dari CYP2C19

     belum dapat menyingkirkan peran faktor

    farmakokinetik.

    Bila faktor farmakokinetik lebih

     berperan, maka penelitian ini

    menghasilkan dua hal penting dalam

     pemberian midazolam. Pertama,

    midazolam merupakan pilihan yang aman

     bagi subjek yang mempunyai genotip PM

    untuk CYP2C19, karena enzim ini bukan

    merupakan jalur utama metabolisme

    midazolam, tetapi menjadi jalur utama

    metabolisme diazepam. Kedua,

     pemberian midazolam bersama dengan

    obat-obat yang menghambat CYP3A4,

    seperti diazepam, anti jamur dan opioid

    akan mempunyai konsekuensi klinik

    yang perlu diwaspadai. Obat-obat di atas

    akan menghambat aktifitas enzim

    tersebut, sehingga kemampuannya untukmemetabolisme midazolam akan

    menurun. Konsekuensinya adalah

    memanjangnya amnesia dan terjadinya

    gangguan psikomotor.11

     

    SIMPULAN

    Dari hasil penelitian ini, disimpulkan

     bahwa tidak terdapat hubungan yang

     bermakna antara nilai skor sedasi dengangenotip EM, IM dan PM dari CYP2C19.

    Ada tiga hal yang kemungkinan dapat

    menjelaskan temuan tersebut. Pertama,

    kadar midazolam dalam plasma

    mengikuti model dua kompartemen dan

    obat masih dalam fase distribusi, belum

     berada dalam fase eliminasi, lima menit

    setelah pemberian intravena. Kedua,

    CYP2C19 bukanlah enzim utama yang

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    10/71

     

    71

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    memetabolisme midazolam. Ketiga,

    faktor farmakodinamik lebih berperan

    dibandingkan faktor farmakokinetik,

    walaupun faktor ini tidak dapat

    diabaikan. Perlu dilakukan penelitian

    mengenai efek sedasi midazolam

    dikaitkan dengan kadar midazolam dalam

    darah. Selain itu untuk menilai apakah

    faktor farmakodinamik dan faktor

    farmakokinetik yang lebih berperan

    dalam efek sedasi midazolam.

    DAFTAR PUSTAKA1.  Holford NHG, Benet. LZ. Farmakokinetik &

    Farmakodinamik: Pemilihan Dosis yang

    rasional & Waktu Kerja Obat. Dalam :

    Katzung BG (ed). Farmakologi Dasar &

    Klinik. Terjemahan Anwar Agus. Jakarta :

    EGC, 1998 : 36-51)

    2.  Correia MA. Biotransformasi Obat. Dalam :

    Katzung BG (ed). Farmakologi Dasar

    &Klinik. Terjemahan Anwar Agus, Jakarta :

    EGC, 1998 : 53-64)

    3. 

    Setiawati A, Bustami ZS, Setiabudy R.Pengantar Farmakologi. Dalam : Gan S.

    Farmakologi dan Terapi. Edisi 3. Jakarta:

    Bagian Farmakologi FKUI, 1987 : 49-63.

    4.  Yusuf I, Djojosubroto MW, Ikawati Lum K,

    Kaneko A, Marzuki M Ethnic and

    geographical distributions of CYP2C19

    alleles in the populations of southeast asia.

    Adv Exp Med Biol. 2003.

    5.  Lamba JK, Dhiman RK, Kohli KK.

    CYP2C19 genetic mutations in North Indian.Clin Pharmacol Ther 2000; 68:328-35.

    6.  Kimura M, leiri I, Mamiya K, Urae A,

    Higuchi S, Genetic Polymorphism of

    cytochrome P450s, CYP2C19 and CYP2C9

    in Japanese population. Ther Drug Monit

    1998;20:243-7

    7.  Amrein R,Hetzel W, Allen SR. Co-induction

    of Anaesthesia: The Rationale.Euro J of

    Anaesth 1995;12:5-11.

    8.  Clarke RSJ. Intravenous Anaesthetic Agent:

    Induction and Maintenance. In: Healy TEJ,Cohen PJ,eds. A Practice of Anaesthesia,

    6thed London: Edward Arnold 1995: 91-101.

    9.  Collin VJ. Intravenous Anesthesia:

     Nonbarbiturates-Nonnarcotics. In: Collin VJ,

    Ed. Principles of Anesthesiology, 3rd

      ed.

    Philadelphia: Lea and Febiger 1993: 756-63.

    10. Setiawat A, Setiabudy R. Adrenergik.

    Dalam: Gan S. Farmakologi dan Terapi.

    Edisi 3. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI

    1987: 49-63.

    11. 

    Hamaoka N, Oda I and Asada A.

    Cytochrome P4502B6 and 2C6 do not

    metabolize midazolam: kinetik analisis and

    inhibition study with monoclonal antibodies.

    Br J Anaesth 2001; 86:540-4. 

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    11/71

     

    72

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    PENELITIAN

    Skor Histologi C-Erbb-2, Proliferasi Endotel Pembuluh Darah: Pada Infiltrasi

    Levobupivakain Terhadap Penyembuhan Luka

    Curniawati Trisasi*, Marwoto*

    *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

    ABSTRACT

    Background:  Postoperative acute pain stimulates clinical pathophysiologic symptoms,

    depress immune responses which leads to delayed wound healing process.

     Levobupivacaine is a long acting local anaesthetic, proven good for pain control.

     Angiogenesis plays an important role in wound healing. C-erbB-2 is a family of epidermal

     growth factor receptor that becomes actively mitogenic when binds to EFGR ligand, and

     stimulates cell proliferation. Levobupivacaine infiltration enhances c-erbB-2 expression,

    leads to endothelial blood vessel proliferation and improves wound healing.

    Objective: To prove the difference between histologic score of c-erbB-2, endothelial blood

    vessel proliferation of the wound healing process with and without levobupivacaine

    infiltration and to prove the correlation between c-erbB-2 and endothelial blood vessel

     proliferation.

    Methode: This study was an animal experimental study with randomized post test only

    control group design. Randomly 15 Wistar rats were divided into 3 groups. Groups I was

    the group for control without treatment. Group II, rats that got incisions without

    levobupivacain infiltration.Group III, rats that got incisions and levobupivacaine

    infiltration every 8 hours for 24 hours. C-erbB-2 at the site of the wound was analized

    using the histologic score from samples with immunohistochemistry staining and the

    amount of AgNOR expressed by mAgNOR and pAgNOR. The samples were taken from

    tissue biopsy on 5th  day. Data were analyzed using Kruskal Wallis test. The correlation

    between histologic score c-erbB-2 and the amount of AgNOR were analyzed using

    Spearmans correlation test.

    Results: This study showed that the tissue with levobupivacaine had higher c-erbB-2

    histologic score (7,2±2,16 vs 9,9±1,29), and mAgNOR (5,94±0,15 vs 11,86±1,02), than

    tissue without levobupivacaine that significantly different (p=0,015 and p=0,02). There

    was a correltion between c-erbB-2 and mAgNOR (π=0,693). 

    Conclusions:   The expressions levels c-erbB-2 and mAgNOR in levobupivacaine

    infiltration group are higher than without levebupivacaine infiltration group. There is a

    correlation between the c-erbB-2 and mAgNOR.

    Keywords: Levobupivacaine, c-erbB-2, AgNOR, wound healing.

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    12/71

     

    73

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    ABSTRAK

    Latar Belakang:  Nyeri akut paska bedah memicu timbulnya gejala klinis patofisiologis,

    menekan respon imun, sehingga menyebabkan penurunan sistem imun yang akan

    menghambat penyembuhan luka. Levobupivakain, anestetik lokal durasi panjang efektif

    mengurangi nyeri akut. Proses angiogenesis merupakan pilar utama penyembuhan luka.

    C-erbB-2 adalah reseptor mitogenik yang ekspresinya pada endotel pembuluh darah bila

    berikatan dengan ligand yang sesuai menyebabkan sel berproliferasi. Infiltrasi

    levobupivakain akan meningkatkan ekspresi c-erbB-2 dan proliferasi sel endotel pembuluh

    darah sehingga mempercepat penyembuhan luka.

    Tujuan:  Membuktikan adanya perbedaan skor histologi c-erbB-2 dan proliferasi endotel

     pembuluh darah antara tikus yang diinfiltrasi levobupivakain dengan yang tidak pada

     proses penyembuhan luka tikus Wistar.

    Metode:  Merupakan penelitian eksperimental pada hewan coba, randomized post test

    only control group design, menggunakan tikus Wistar. Sampel 15 ekor dibagi menjadi 3

    kelompok; kelompok I kontrol, kelompok II insisis subkutis tanpa infiltrsi levobupivakain,

    kelompok III insisi subkutis dan infiltrasi levobupivakain setiap 8 jam selama 24

     jam.Ekspresi c-erbB-2 dan nilai AgNOR yang dihitung sebagai mAgNOR dan pAgNOR

     pada sekitar luka insisi dinilai dengan skor histologi dengan menggunakan pengecatan

     secara imunohistokimia, yang diambil dari biopsi jaringan pada hari kelima. Data

    dianalisis dengan uji beda Kruskal-wallis. Hubungan antara c-erbB-2, mAgNOR dan

     pAgNOR dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman.

    Hasil: Rerata skor histologi c-erbB-2 dan mAgNOR pada kelompok infiltrasi

    levobupivakain lebih tinggi dibandingkan kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain, yaitu

    untuk c-erbB-2 7,2±2,16 vs 9,9±1,29 dan mAgNOR 5,94±0,15 vs 11,86±1,02, dan secara

     statistik berbeda bermakna (p=0,015 dan p=0,02). Hubungan antara c-erbB-2 dan

    mAgNOR secara statistik bermakna (r=0,693;p=0,004). Pada pAgNOR tidak didapat

     perbedaan yang bermakna antara kelompok tersebut.

    Simpulan: Ekspresi c-erbB-2 dan indeks proliferasi sel yang dinyatakan dengan mAgNOR

     pada kelompok dengan infiltrasi levobupivakain lebih tinggi dibandingkan dengan

    kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain. Terdapat hubungan antara c-erbB-2 dan

    mAgNOR pada proses penyembuhan luka.

    Kata kunci : Levobupivakain, c-erbB-2, AgNOR, penyembuhan luka 

    PENDAHULUAN

    Penyembuhan luka adalah faktor penting

     paska operasi yang selalu dihadapi dan

    merupakan fenomena kompleks yang

    melibatkan berbagai proses meliputi

    inflamasi akut menyusul terjadinya

    kerusakan jaringan, regenerasi sel

     parenkim, migrasi dan proliferasi sel

     parenkim, sintesis protein extra cellular

    matrix (ECM), remodeling jaringan ikat

    dan komponen parenkim, kolagenasi dan

    akuisisi kekuatan luka.

    1,2

     

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    13/71

     

    74

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    Dokter bedah membuat luka pada tiap

     pembedahan. Pasca bedah luka ini

    mengakibatkan nyeri karena adanya

    kerusakan jaringan. Nyeri akut sering

    menimbulkan keadaan yang tidak

    menguntungkan bagi penderita sepert

    kegelisahan, perubahan hemodinamik,

    gangguan pernafasan, retensi urin, ileus

    dan lain-lain.3,4

    Keadaan tersebut dapat menghambat

     penyembuhan luka, mobilisasi yang

    terganggu dan lama rawat di rumah sakit

     bertambah. Luka pasca bedah di Inggris

    Raya, menghabiskan dana  National

     Health Services minimal sebesar 1 milyar

     poundsterling setiap tahunnya.3,4

    Pada proses penyembuhan luka

     pembentukan dan perkembangan

     pembuluh darah atau angiogenesis

    merupakan hal yang sangat penting. Tepisel endotel pembuluh darah mengalami

     proliferasi cepat, terjadi pertumbuhan

    tunas baru dari endotel pembuluh darah

    yang sudah ada, membentuk jaringan

    vaskularisasi baru.1

    Terdapat sejumlah faktor sistemik dan

    lokal yang mengganggu penyembuhan

    luka. Faktor lokal yang berpengaruhterhadap penyembuhan luka antara lain

    infeksi, faktor mekanik, benda asing,

    macam, lokasi dan ukuran besarnya

    luka.3  Faktor sistemik yang

    mempengaruhi penyembuhan luka antara

    lain nutrisi, status metabolik, status

    sirkulasi darah dan hormon

    glukokortikoid.3 

    Banyak ditemukan permasalahan dalam

     penyembuhan luka, seperti waktu

     penyembuhan yang lama, terutama bila

    terjadi penyembuhan secara sekunder.

     Nyeri menjadi stressor yang memicu

    timbulnya gejala klinis patofisiologis,

    memicu modulasi respon imun, sehingga

    menyebabkan penurunan sistem imun

    yang berakibat pemanjangan waktu

     penyembuhan luka.1

    Rasa nyeri merupakan salah satu

     pencetus peningkatan hormon

    glukokortikoid. Infiltrasi anestetik lokal,

    dalam hal ini levobupivakain dapat

    mengurangi intensitas nyeri, sehingga

    menurunkan sekresi hormon

    glukokortikoid dan menghilangkan salah

    satu faktor penghambat penyembuhan

    luka.5,6

    Di tingkat sel proses angiogenesismerupakan faktor yang penting dalam

     penyembuhan luka. Proses ini merupakan

     proliferasi endotel yang terus menerus

    membentuk jaringan vaskuler yang

    menunjang semua kebutuhan sel selama

    fase penyembuhan luka.1  Banyak faktor

    mempengaruhi proses proliferasi endotel

    ini, baik faktor eksogen maupun endogen.

    Salah satu faktor endogen yangmempengaruhi proliferasi sel adalah

     Epidermal Growth Factor (EGF).7

    C-erbB-2 adalah glikoprotein yang lebih

    dari 50% strukturnya sama dengan

    reseptor EGF.7  Bila sel mengekpresikan

    reseptor ini dan kemudian reseptor

     berikatan dengan ligan yang cocok

    (epidermal growth factor receptor

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    14/71

     

    75

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    ligands), sel yang bersangkutan akan

    mengalami proliferasi.8

    Salah satu marker proliferasi sel adalah

    dengan pengecatan  Argyrophilic

     Nucleolar Organizer Region (AgNOR),

    dimana ekspresinya akan meningkat pada

    fase G1 dari sel, dan mencapai

     puncaknya pada saat transisi dari fase G1

    ke fase S, dan akan menurun pada fase

    G2.8

    Berdasarkan penjelasan diatas

    dirumuskan masalah sebagai berikut :

    Apakah infiltrasi levobupivakain

    menyebabkan perbedaan ekspresi c-erbB-

    2, proliferasi endotel pembuluh darah

     pada proses penyembuhan luka tikus

    Wistar . Penelitian ini bertujuan untuk

    membuktikan adanya hubungan proses

     penyembuhan luka dengan pemberian

    infiltrasi levobupivakain.

    METODE 

    Penelitian ini merupakan penelitian

    eksperimental laboratorik dengan desain

    “Randomized post test only control group

    design”. Sampel penelitian adalah tikus

    Wistar yang diperoleh dari Fakultas

     peternakan UGM, Yogyakarta. Kriteria

    inklusi tikus Wistar betina keturunanmurni, belum pernah digunakan untuk

     penelitian, umur 2 sampai 2,5 bulan,

     berat badan 250-300 gram, tidak terdapat

    kelainan anatomis. Kriteria ekslusi adalah

    tikus sakit selama masa adaptasi, tikus

    mati selama masa adaptasi dan perlakuan.

    Menurut WHO besar sampel hewan coba

    untuk penelitian jangka pendek tiap

    kelompok minimal 5 ekor, pada

     penelitian ini jumlah sampel yang

    digunakan 15 ekor, masing-masing 5

    ekor untuk tiap kelompok (pemeriksaan

    hari ke5).9

    Randomisasi dilakukan dengan

    mengelompokkan 15 ekor tikus secara

    random menjadi 3 kelompok, yaitu :

      Kelompok 1 (K1 : tikus tanpa

     perlakuan) : 5 ekor tikus

      Kelompok 2 (K2 : infiltrasi tanpa

    anestetik lokal) : 5 ekor tikus  Kelompok 3 (K3 : dengan infiltrasi

    anestetik lokal) : 5 ekor tikus

    Penelitian dan pengumpulan data

    dilakukan selama 6 bulan. Perlakuan pada

    tikus dan proses pengambilan jaringan

    dilakukan di Laboratorium Pusat Antar

    Universitas (PAU) Universitas Gajah

    Mada, Yogyakarta. Proses pembuatan

     preparat dan pewarnaan dilakukan di

    Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas

    Kedokteran UNS Surakarta dan UNDIP

    Semarang.

    Setelah data terkumpul dilakukan data

    cleaning, coding   dan tabulasi. Analisa

    data meliputi analisis deskriptif dalam

     bentuk rerata, standart deviasi, median

    dan grafik dan uji hipotesis. Data

    dikumpulkan, diolah serta dinyatakan

    dalam rerata ± simpang baku (mean  ±

    SD) disertai kisaran (range). Dilakukan

    uji homogenitas menggunakan uji

     Lavene. Distribusi data variabel c-erb-B2

    dan mAgNOR dan p AgNOR diuji

    dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk

    karena sesuai dengan uji non parametric

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    15/71

     

    76

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    dan n

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    16/71

     

    77

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    Tabel 3. Nilai AgNOR (mAgNOR dan pAgNOR) pada hari ke 5

     No. Nilai AgNOR

    mAgNOR pAgNOR

    K1.1 2,4 2

    2 3,2 2

    3 2,1 3

    4 1,4 2

    5 2,2 1K2.1 5,7 3

    2 6,0 23 6,1 4

    4 5,9 1

    5 6,0 2

    K3.1 11,0 2

    2 12,6 2

    3 11,9 3

    4 10,7 35 13,1 3

    Keterangan :mAgNOR : Nilai mean AgNOR

     pAgNOR : Prosentase AgNOR  

    Tabel 4. Nilai rerata c-erbB-2, mAgNOR, pAgNOR

    Variabel Kel N Rerata Simpang Baku Minimal Maksimal

    c-erbB-2 K1 5 4,86 2,11 3,0 7,8

    K2 5 7,28 2,61 4,0 10,7K3 5 9,90 1,29 8,3 10,9

    mAgNOR K1 5 2,26 0,65 1,4 3,2

    K2 5 5,94 0,15 5,7 6,1

    K3 5 11,86 1,02 10,7 13,1

     pAgNOR K1 5 2,00 0,7 1,0 3,0

    K2 5 2,40 1,14 1,0 4,0K3 5 2,60 0,55 2,0 3,0

     Nilai rerata C-erbB-2 pada kelompok

    dengan infiltrasi levobupivakain (K3)

    lebih tinggi dibandingkan dengan

    kelompok tanpa infiltrasi obat tersebut

    (K2). Nilai rerata mAgNOR pada

    kelompok dengan infiltrasi

    levibupivakain (K3) lebih tinggi

    dibandingkan dengan kelompok tanpa

    infiltrasi obat (K2). Nilai rerata pAgNOR

     pada kelompok dengan infiltrasi

    levobupivakain (K3) lebih tinggi dari

    kelompok tanpa infiltrasi obat (K2).

    Tanpa levobupivakain dan dengan

    levobupivakain berbeda bermakna

    ( p=0,015), uji beda mAgNOR berbeda

     bermakna ( p=0,002) dan uji beda

     pAgNOR berbeda tidak bermakna

    ( p=0,453). Rerata dari kelompok dengan

    levobupivakain, lebih tinggi daripada

    kelompok tanpa levobupivakain. Hal ini

    menunjukkan bahwa ekspresi c-erbB-2

    secara bermakna lebih banyak

    dibandingkan pada tikus tanpa infiltrasi

    levobupivakain.

     

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    17/71

     

    78

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    Tabel 5. Uji Normalitas rerata c-erbB-2, mAgNOR dan pAgNOR

    Variabel  P   Uji

    I II III

    c-erbB-2 0,109 0,783 0,017 Shapiro-Wilk  

    mAgNOR 0,968 0,029 0,497 Shapiro-Wilk  

     pAgNOR 0,600 0,725 0,010 Shapiro-Wilk  Ket : p≥0,05 berarti distribusi data normal 

    Distribusi data c-erbB-2, mAgNOR dan

     pAgNOR diuji menggunakan uji

    normolitas Shapiro-Wilk karena sesuai

    untuk uji non parametrik, jumlah sampel

    kecil < 30. Data c-erbB-2 pada kelompok

    1&2 terdistribusi normal ( p=0,109 dan

     p=0,783). Data mAgNOR pada

    kelompok 1 terdistribusi normal

    ( p=0,968). Data pAgNOR pada

    kelompok 1 dan 2 terdistribusi normal

    ( p=0,600 dan p=0,725).

    Dari tabel 6, menunjukkan skor histologi

    c-erB-2 antara kelompok tanpa

    Diketahui nilai rerata c-erbB-2 dan

    mAgNOR dengan levobupivakain (K3)

    lebih besar daripada kelompok tanpa

    levobupivakain (K2). Hal ini

    menunjukkan bahwa ekspresi c-erbB-2

    dan mAgNOR dengan infiltrasi

    levobupivakain akan meningkat. Pada

    kelompok kontrol (K1) ekspresi c-erbB-2

    dan mAgNOR lebih rendah dari

    kelompok tanpa levobupivakain.

    Dari tabel hubungan c-erbB-2 terhadap

    mAgNOR mempunyai koefisien korelasi

    π =0,693 dan  p=0,004. Hasil ini berarti

    ada hubungan bermakna c-erbB-2 dengan

    mAgNOR. Hubungan c-erbB-2 terhadap

     pAgNOR mempunyai koefisien korelasi

    π=0,312. Hasil ini berarti tidak ada

    hubungan c-erbB-2 dengan pAgNOR.

    Hubungan mAgNOR terhadap pAgNOR

    koefisien korelasinya π=0,335 berarti

    tidak ada hubungan antara mAgNOR

    dengan pAgNOR.

    Tabel 6. Uji beda antara kelompok c-erbB-2, mAgNOR dan pAgNOR

    Varia-belKelompok

    Uji PI (n=5) II (n=5) III (n=5)

    c-erbB-2 4,860±2,118 7,280±2,613 9,900±1,288  Kruskal-Wallis 0,015

    mAgNOR 2,260±0,647 5,940±0,15211,860±1,02

    0 Kruskal-Wallis 0,002

     pAgNOR 2,000±0,707 2,400±1,140 2,600±0,548  Kruskal-Wallis 0,453

     p

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    18/71

     

    79

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    PEMBAHASAN

    Dalam penelitian ini 15 ekor tikus betina

    galur Wistar dewasa dibagi dalam 3

    kelompok, kelompok 1 adalah kelompok

    kontrol yang tidak diberi perlakuan

    apapun, kelompok 2 dilakukan insisi

     pada punggung, kemudian disuntik

    dengan alat suntik kosong dan kelompok

    3 diinsisi pada punggung dan diinfiltrasi

    levobupivakain pada sekitar luka dan

    dilihat perbedaannya terhadap skor

    histologi c-erbB-2, mAgNOR dan

     pAgNOR setelah hari kelima.

    Kelompok kontrol bertujuan untuk

    mengetahui apakah terdapat ekspresi c-

    erbB-2 dan apakah ada aktivitas

     proliferasi sel endotel pembuluh darah

    dalam keadaan tidak ada rangsangan pada

    tikus yang tidak dilakukan insisi pada

     punggungnya.

    Pada penelitian ini dilakukan penilaian

    terhadap ekspresi c-erbB-2 dan nilai

    AgNOR dengan tujuan untuk melihat

    apakah infiltrasi levobupivakain

    mempengaruhi ekspresi c-erbB-2, yang

    merupakan up regulator dan

    angiogenesis. Proses angiogenesis

    dimulai bila reseptor pada permukaan sel

     berikatan dengan ligan yang cocok yang bersifat mitogenik, baik yang bersifat

    mengaktifkan tirosin kinase pada

     permukaan membran maupun yang non

    tirosin kinase, mengirimkan sinyal ke inti

    sel yang selanjutnya akan terjadi aktivitas

    mitotik dalam inti sel. Inti sel endotel

     pembuluh darah yang sedang membelah

    memberikan pulasan positif pada

     pengecatan AgNOR.

    Pada penelitian ini mengambil biopsi

     jaringan pada luka yang dilakukan pada

    hari kelima, karena proses angiogenesis

    menjadi sangat aktif pada saat ini.11

    Untuk uji homogenitas ketiga kelompok

    dilihat dengan variabel yang dapat diukur

    yaitu berat badan, dimana didapat hasil

    statistik berbeda tidak bermakna. Berarti

    kedua kelompok berasal dari populasi

    yang homogen, pada umumnya tikus

     berasal dari satu indukan dimana

    mempunyai karakteristik yang mirip.

    Dalam hal ini faktor bias pada hewan

    coba dapat dihindari. Hasil penelitian

    menunjukkan adanya ekspresi c-erbB-2

     pada endotel pembuluh darah kelompok

    kontrol yang tidak diberikan perlakuan

    apapun. Samarut J pada penelitiannya

    reseptor membran sitokin dan reseptor

    hormon inti pada leukemogenesis dan

    diferensiasi hemopoetik memperlihatkanreseptor c-erbB normal diperlukan dalam

    mengontrol pembelahan sel progenitor

    eritrositik.12 

    Skor histologi c-erbB-2 pada kelompok 3

    lebih tinggi dari kelompok 2, hal ini

    menunjukkan bahwa infiltrasi ekspresi c-

    erbB-2 pada endotel pembuluh darah,

    sedangkan mAgNOR pada kelompok 3 juga lebih tinggi dari kelompok 2 dan

    kelompok kontrol, hal ini menunjukkan

     bahwa infiltrasi levobupivakain

    meningkatkan aktivitas proliferasi sel

    endotel pembuluh darah. Pada kelompok

    3 pAgNOR berbeda tidak bermakna, hal

    ini dapat karena aktivitas angiogenesis

    yang terjadi pada proses penyembuhan

    luka bukan merupakan proliferasi yang

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    19/71

     

    80

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

     berlebihan seperti yang terjadi pada

     pertumbuhan tumor.

    Uji korelasi terhadap c-erbB-2 dan

    mAgNOR menunjukkan adanya

    hubungan yang kuat, karena c-erbB-2

    merupakan upregulator angiogenesis.

    Korelasi c-erbB2 dengan pAgNOR tidak

    menunjukkan adanya hubungan, juga

    antara mAgNOR dan pAgNOR.Ini

    mungkin karena sifat proliferasi sel yang

    normal tinggi tidak kearah yang

     berlebihan.

    Pengamatan secara makroskopis

    mengenai jaringan luka dapat dilakukan

    dengan pengambilan biopsi jaringan

    dengan waktu yang berbeda, sehingga

    dapat dibandingkan yang diinfiltrasi

    levobupivakain dengan yang tidak.

    Dengan demikian hasil yang diperoleh

    dapat menyeluruh.

    Dari hasil penelitian ini maka dalam

    aplikasi klinis infiltrasi anestetik lokal

    levobupivakain dapat dijadikan alternatif

    untuk mengendalikan nyeri akut paska

     bedah sehingga penyembuhan luka dapat

    lebih baik.

    SIMPULANSkor histologi c-erbB-2 pada kelompok

    yang diinfiltrasi levobupivakain lebih

    tinggi daripada kelompok yang tidak

    diinfiltrasi levobupivakain. Hal ini berarti

    ekspresi c-erbB-2 meningkat akibat dari

    infiltrasi levobupivakain.

     Nilai mAgNOR kelompok yang

    diinfiltrasi levobupivakain lebih tinggi

    daripada kelompok yang tidak diinfiltrasi

    levobupivakain. Hal ini berarti

     proliferasi endotel pembuluh darah

    meningkat akibat dari infiltrasi

    levobupivakain

    Terdapat hubungan antara skor histologi

    c-erbB-2 dan mAgNOR yang secara

    statistik bermakna. Perlu dilakukan

     penelitian yang melihat langsung

     perbedaan proses penyembuhan luka

     pada yang diinfiltrasi levobupivakain

    dengan yang tidak. Pada pengecatan

    AgNOR untuk melihat proliferasi pada

    endotel pembuluh darah untuk mendapat

    hasil terbaik dapat dilakukan pemilihan

     blok parafin dengan pengecatan

    hematoksilin eosin terlebih dahulu.

    DAFTAR PUSTAKA

    1.  Cotran RS, Kumar V, Collins T. Pathology

     basic of disease. 6th

    ed. Philadelphia:WB

    Saunders Co, 1999.p. 21-20.

    2.  Constantinnides P. General pathobiology.

    1sted. Connecticut: Appleton and

    Lange,1994.p. 173-81.

    3.  Mast AB. Normal wound healing. In:

    Achauer B M, Eriksson E. eds. Plastic

    surgery, indications, operations and

    outcomes. St Louis: Mosby, 2000.p. 37-53.

    4.  Pedersen D. Accelerated surgical stay

     programe. Annals of surgery 1994; 219:

    374-81.

    5.  Bardram L, Funch-Jensen P, Crawford ME,

    Kehlet H. Recovery after laparoscopic

    colonic surgery with epidural analgesia and

    early oral nutrition and mobilitation. Lancet

    1995; 345: 763-4.

    6.  Webster EL, Torpy DJ, Elenkov IJ,

    Chrousos GP. Corticotropin releasing

    hormone and inflammation. Annals of the

     New York Academy of Sciences 1998; 840:

    21-32.

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    20/71

     

    81

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    7.  Carpenter G, Cohen S.  Epidermal growth

     factor. J Biol Chem 1990; 265: 7709.

    8.  Angiogenesis and stromal markers in

    experimental and laryngeal tumor

    development. [editorial]. 2002. Availablefrom:URL:http://herkules.oulu.fi/isbn95142

    69497/html/i251889.html

    9.  World Health Organization. Research

    guidelines for evaluating the safety and

    efficacy of herbal medicines. New York:

    WHO Publications, 1993.p. 37-41.

    10.  Wasito R. Imunihistokimia. Dalam:

     pedoman kuliah immuno-histopatologi.

    DepDikbud. Proyek pengembangan pusat

    fasilitas bersama antar uuniversitas.

    Yogyakarta: PAU Bioteknologi-UniversitasGajah Mada, 1991. Hal. 36-80.

    11.  Pettersson N, Berggren P, Larsson M, Jeff

    R, Thomsen J. Pain relief by wound

    infiltration with bupivacaine or high dose

    rovacaine after inguinal hernia repair. Reg

    Anesth Pain Med 1999; 24: 569-75.

    12. Samarut J. Nuclear hormone receptors

    cytokine membrane receptors in the control

    of chicken hematopoietic differentiation and

    leukemogenesis. 2004. Available from:

    URL:http://www.scilet.com/bioandbiosafety

    /pab/pababs4.html 

    http://herkules.oulu.fi/isbn9514269497/html/i251889.htmlhttp://herkules.oulu.fi/isbn9514269497/html/i251889.htmlhttp://www.scilet.com/bioandbiosafety/pab/pababs4.htmhttp://www.scilet.com/bioandbiosafety/pab/pababs4.htmhttp://www.scilet.com/bioandbiosafety/pab/pababs4.htmhttp://www.scilet.com/bioandbiosafety/pab/pababs4.htmhttp://www.scilet.com/bioandbiosafety/pab/pababs4.htmhttp://herkules.oulu.fi/isbn9514269497/html/i251889.htmlhttp://herkules.oulu.fi/isbn9514269497/html/i251889.htmlhttp://herkules.oulu.fi/isbn9514269497/html/i251889.html

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    21/71

     

    82

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    PENELITIAN

    Pengaruh Midazolam, Atrakurium Terhadap Fasikulasi Dan Kenaikan Kadar

    Kreatin Fosfokinase Akibat Suksinilkolin

    R. Cristianto Nugroho*, Abdul Lian Siregar*

    *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

    ABSTRACT  

    Background : Succinylcholine is commonly used for intubating fascilitation in emergency

    and day-case anesthesia. Most occured side effects of succinylcholine is fasciculation,

    myalgia, and elevation of blood creatine phosphokinase level. Atracurium, like other

    depolarizing muscle relaxants, had been proved as a gold standard for pretreatment

    againts these side effects. Midazolam, that has been known as popular premedication drug,

    has not been studied most for these utilities yet.

    Objective : The aim of this study was to prove that pretreatment with midazolam 0,03

    mg/Kg or atracurium 0,05 mg/Kg could reduce fasciculation, myalgia and elevation of

    CPK level following succinylcholine administration.

    Method : This study was designed as double blind randomly clinical trial on 54 patients

    underwent elective surgery, 16  – 40 years age. ASA I-II and fullfill the inclusion criterias.

     Before pretreatment drug had beengiven, a blood sample for preinduction creatine

     phosphokinase level measurement were taken. Patients was divided into three groups of

     pretreatment drugs, receiving midazolam 0,03 mg/Kg, atracurium 0,05 mg/Kg and NaCl

    0,9% (control group). Three minutes later, anesthesia was induced with thiopentone 4-5

    mg/Kg and succinylcholine 1,5 mg/Kg. Fasciculations were scored followed by intubation.

    Twenty four hours after operation, myalgias were scored and a blood sample for post

    operation CPK level measurement were taken. Statisticsl analysis were performed by

     Anova-post hoc Bonferroni test, chi square  –  Wilcoxon Signed Ranks test and Spearman

    correlation test.

    Result : The characteristic features of the three groups are similar. Threre are significantly

    reduction of fasciculation incidence (p

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    22/71

     

    83

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    ABSTRAK

    Latar Belakang : Pemakaian suksinilkolin sebagai fasilitas intubasi masih merupakan

     pilihan dalam anestesia, terutama untuk kasus emergensi dan rawat jalan. Efek samping

     yang sering timbul adalah fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase

    (CPK) darah. Atrakurium, seperti pelumpuh otot non depolarisasi lain, telah teruji sebagai

    baku emas pretreatment terhadap efek samping ini. Sedangkan Midazolam, yang populer

     sebagai obat premedikasi belum banyak diteliti sebagai pretreatment.

    Tujuan : Membuktikan bahwa pretreatment midazolam 0,03 mg/KgBB atau atrakurium

    0,05 mg/KgBB dapat mengurangi fasikulasi, mialgia, dan kenaikan kadar kreatin

     fosfokinase darah akibat pemberian suksinilkolin.

    Metode : Penelitian ini dirancang untuk uji klinis acak tersamar ganda terhadap 54

     penderita yang akan menjalani operasi elektif, usia 16 –  40 tahun, status fisik ASA I-II dan

    memenuhi kriteria inklusi. Sebelum mendapat obat pretreatment, dilakukan pengambilan

    darah untuk pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan. Penderita dibagi

    menjadi tiga kelompok sesuai pretreatment yang diberikan, yaitu midazolam 0,03

    mg/KgBB iv, atrakurium 0,05 mg/KgBB iv dan kontrol mendapat NaCL 0,9%. Tiga menit

    kemudian semua penderita diinduksi dengan Tiopental 4-5 mg/KgBB iv dan suksinilkolin

    1,5 mg/KgBB iv. Fasikulasi yang timbul dinilai, dilanjutkan dengan intubasi. Duapuluh

    empat jam pasca operasi dilakukan penilaian mialgia dan pengambilan darah untuk

     pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase pasca perlakuan. Uji statistik menggunakan uji

     Anova  –   Post hoc Bonferroni dan uji Kai kuadrat  –   Wilcoxon Signed Rank serta uji

    korelasi dari Spearman.Hasil : Data karakteristik penderita berbeda tidak bermakna pada ketiga kelompok. Pada

    kelompok atrakurium terjadi penurunan kejadian fasikulasi ( p

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    23/71

     

    84

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    PENDAHULUAN

    Suksinilkolin adalah obat pelumpuh otot

    golongan depolarisasi yang saat ini masih

    sering digunakan untuk fasilitas intubasi,

    terutama pada anestesi emergensi (rapid-

     sequence induction) dan anestesi rawat

     jalan (ambulatory/ day case

    anesthesia).1,2,3,4 

    Beberapa keuntungan pemberian

    suksinilkolin untuk intubasi adalah mula

    aksi yang cepat, lama kerja yang pendek,

    murah, dan mudah diperoleh serta

    toksisitas jaringan yang rendah.1,5,6,7 Efek

    samping suksinilkolin meliputi fasikulasi

    otot, disritmia jantung, hiperkalemia,

    reaksi anafilaktik, spasme otot masseter,

    dan mialgia serta peningkatan tekanan

    intragastrik, tekanan intraokuler dan

    tekanan intrakranial, hingga timbulnya

    komplikasi serius berupa hipertermia

    maligna.

    1,4,6,7

    Efek samping kerusakan otot yang

    ditimbulkan akan disertai dengan

     perubahan biokimia berupa peningkatan

    kadar kalium, mioglobin dan kreatin

    fosfokinase darah.7,8,9,10

    Fasikulasi otot dan mialgia akibat

     pemberian suksinilkolin merupakankomplikasi yang sering dijumpai, dimana

     berbagai studi melaporkan kejadian

    mialgia paska suksinilkolin berkisar

    antara 2% hingga 89%.2,11,12,13

     Frekuensi

    dan beratnya komplikasi ini dipengaruhi

    oleh berbagai faktor seperti umur, jenis

    kelamin, latihan otot sebelumnya,

    kelainan metabolit, merokok, lama dan

     jenis operasi, posisi pasien selama

    operasi serta pemberian obat sebelumnya

    ( pretreatment ).14,15

    Berbagai penelitian sebelumnya

    menemukan bahwa ternyata antara

    fasikulasi otot dan mialgia paska operasi

    akibat pemberian suksinilkolin tidak

    terdapat kaitan yang bermakna.8,12,16 

    Banyak jenis obat yang telah diteliti

    untuk mencari upaya alternatif dalam

    mengurangi atau menghilangkan

    fasikulasi otot dan mialgia paska

    suksinilkolin, diantaranya  pretreatment  

    dengan obat anestesi lokal, golongan

     NSAID, preparat kalsium, preparat

    magnesium, klorpromazin, vitamin,

    golongan benzodiazepin dan yang paling

     populer adalah dengan pelumpuh otot

    non depolarisasi dosis kecil.9,10,13,17

    Midazolam adalah obat golongan

     benzodiazepin dengan potensial dua kalilipat dari diazepam dan saat ini

    merupakan obat yang paling sering

    digunakan dalam premedikasi.1,7 Di

    Amerika Serikat pada tahun 1996- 1997,

    lebih dari 75% premedikasi

    menggunakan midazolam18.

    Diazepam, generasi pendahulu

    midazolam, dua dasawarsa yang lalutelah digunakan setidaknya pada dua

     penelitian sebagai obat  pretreatment  

     pencegah fasikulasi dan mialgia dengan

    hasil cukup memuaskan, yaitu

    mengurangi mialgia hingga 30%.17,19,20,21

    Midazolam sendiri sejauh penelusuran

    kepustakaan oleh penulis, baru satu kali

    digunakan pada suatu penelitian yang

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    24/71

     

    85

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    menyimpulkan bahwa midazolam tidak

     bermanfaat dalam mencegah mialgia,

    kenaikan kadar mioglobin dan kenaikan

    kadar kreatin fosfokinase darah.10 

    METODE

    Penelitian ini dilaksanakan dalam ruang

    lingkup anestesiologi, dan merupakan uji

    klinis tahap II fase 3, dirancang sebagai

    uji klinis acak tersamar ganda (double

    blind randomized controlled trial ) yang

    membandingkan 3 kelompok penelitian,

    yaitu kelompok kontrol, kelompok

    midazolam, dan kelompok atrakurium.

    Penelitian ini dilakukan dengan

    rancangan  pre test  –   post test control

     group design untuk variabel kadar kreatin

    fosfokinase darah dan  post test only

    control group design untuk variabel skor

    fasikulasi dan skor mialgia.

    Populasi targetnya adalah penderita yangmengalami operasi selektif dengan

    anestesia umum di instalasi bedah sentral

    RS Dr Kariadi Semarang serta memenuhi

    kriteria inklusi, eksklusi, dan drop out .

    Kriteria inklusi disini meliputi : jenis

    kelamin laki-laki dan perempuan, umur

    16-40 tahun, status fisik ASA I-II, tidak

    memiliki kelainan neuromuskular dan

    atau metabolik, 5 hari sebelumnya tidakmelakukan aktivitas lebih dari aktivitas

    harian, bukan penderita trauma, operasi

    ortopedik atau kardiovaskular, tidak

    sedang hamil dan tidak merokok, serta

    tidak ada kontraindikasi penggunaan

    obat-obat penelitian. Kriteria eksklusi

     penelitian ini meliputi operasi yang

    direncanakan lebih dari 2 jam, mendapat

    injeksi intramuskular dalam 24 jam

    sebelum operasi, mendapat obat jenis

     pretreatment lain 24 jam sebelum operasi,

     posisi operasi direncanakan tidak

    telentang. Sedangkan kriteria drop out  

     penelitian ini adalah lama operasi

    ternyata lebih dari 2 jam, lalu penderita

    mengalami hipertermia maligna saat

    operasi, mendapat injeksi intramuskular

    selama 24 jam paska operasi. Alokasi

     penderita untuk ketiga kelompok

     penelitian dilakukan secara randomisasi

    sederhana. Jumlah sampel 3 kelompok

    adalah 45 orang, dan dengan

    memperhitungkan faktor koreksi drop out  

    (diperkirakan 10%) maka jumlah sampel

    keseluruhan sebanyak 56 orang.

    HASIL

    Telah dilakukan penelitian pengaruh

     pretreatment  midazolam atau atrakurium

    terhadap fasikulasi, mialgia, dankenaikan kadar kreatin fosfokinase darah

    akibat suksinilkolin pada 56 orang

     penderita dengan status fisik ASA I  –   II

    yang dibagi menjadi 3 kelompok,

    masing-masing 19 orang penderita

    kelompok midazolam (M) yang

    mendapat  pretreatment   midazolam 0,03

    mg/kgBB, 19 orang penderita kelompok

    atrakurium (A) yang mendapat pretreatment   atrakurium 0,05 mg/kgBB

    dan 18 orang penderita kelompok kontrol

    (K) yang tidak mendapat pretreatmnet

    (diberi NaCL 0,9%). Dua orang penderita

    dikeluarkan dari penelitian, yakni satu

    orang dari kelompok midazolam karena

    lama operasi lebih dari dua jam (operasi

     polipektomi + CWL) dan satu orang dari

    kelompok atrakurium karena pulang dari

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    25/71

     

    86

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    rumah sakit sebelum 24 jam pasca

    operasi (operasi medis wanita/ MOW).

    PEMBAHASAN

    Data – data karakteristik demografi (umur,

     jenis kelamin, dan tingkat pendidikan),

    kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan,

    lama operasi dan jenis operasi dapat

    dilihat pada tabel-tabel berikut. Jenis

    operasi yang termasuk THT adalah

    tonsilektomi, polipektomi, etmoidektomi

    dan CWL. Jenis operasi ginekologi

    meliputi ooforektomi, miomektomi, dan

    kistektomi. Sedangkan jenis operasi

    digestif meliputi appendiktomi dan

    herniorafi.

    Pada tabel 3 terlihat prosentase skor

    fasikulasi berat kelompok atrakurium dan

    midazolam lebih rendah daripada

    kelompok kontrol. Uji kai kuadrat

    terhadap perbedaan skor fasikulasi antara

    ketiga kelompok menunjukkan

     

    Tabel 1. Data karakteristik demografi, kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan

    VariabelKel.Midazolam

    (n=18)Kel.Atrakurium

    (n=18)Kel.Kontrol

    (n=18)p

    Umur (tahun) 28,72 (SB 8,42) 28,44 (SB 7,50) 29,00 (SB 7,81) 0,978*

    Jenis Kelamin :

    Laki –  laki  4 (22,2%) 4 (22,2%) 4 (22,2%) 1,000*

    Perempuan 14 (77,8%) 14 (77,8%) 14 (77,8%)

    Tingkat Pendidikan : Tak Tamat SD  1 (5,6%) 0 (0%) 0(0%)

    Tamat SD  3 (16,7%) 5 (27,8%) 5 (27,8%)Tamat SLTP 6 (33,3%) 5 (27,8%) 6 (33,3%) 0,662

    **

    Tamat SLTA 6 (33,3%) 5 (27,8%) 7 (38,9%)Tamat PT 2 (11,1%) 3 (16,7%) 0 (0%)

    Kadar CPK Awal 46,22 (SB 27,66) 49,83 (SB 28,45) 67,56 (SB 86,01) 0,462 

    *)uji Anova = berbeda tak bermakna ; **)uji Kai kuadrat=berbeda tak bermakna

    Tabel 2. Lama dan jenis operasi kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol

    VariabelKel.Midazolam

    (n=18)Kel.Atrakurium

    (n=18)Kel.Kontrol

    (n=18) p

    Lama Operasi (menit) 52,00 (SB 24,22) 52,22 (SB 32,67) 56,72 (SB 22,85) 0,839*

    Jenis Operasi :

    THT 5 (27,8%) 6 (33,3%) 5 (27,8%)

    Eksisi Biopsi FAM 5 (27,8%) 5 (27,8%) 6 (33,3%)

    Ginekologi 4 (22,2%) 2 (11,1%) 3 (16,7%) 0,992MOW 2 (11,1%) 3 (16,7%) 3 (16,7%)

    Digestif 2 (11,1%) 2 (11,1%) 1 (5,6%)*)uji Anova = berbeda tak bermakna ;

    **)uji Kai kuadrat=berbeda tak bermakna

    Tabel 3. Skor fakulasi kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol

    Skor Fasikulasi Kel. Midazolam Kel. Atrakurium Kel. Kontrol p

    0 (tidak ada) 0 (0,0 %) 13 (72,2 %) 0 (0,0 %)

    1 (ringan) 9 (50,0 %) 5 (27,8 %) 4 (22,2 %)2 (sedang) 3 (16,7 %) 0 (0,0 %) 6 (33,3 %) 0,000

    **

    3 (berat) 6 (33,3%) 0 (0,0 %) 8 (44,4 %)

    Jumlah 18 (100.00 %) 18 (100,00 %) 18 (100,00 %)**)uji Kai kuadrat = berbeda bermakna

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    26/71

     

    87

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    Tabel 4. Uji Wilcoxon Signed Ranks skor fasikulasi antar kelompok

    Perbedaan Skor

    Fasikulasi

    Kel. Atrakurium –  

    Kel. Midazolam

    Kel. Kontrol –  

    Kel. Atrakurium

    Kel. Kontrol –  

    Kel. Midazolam

    Z -3,464 -3,668 -1,536 p (2 ekor) 0,001 0,000

     0,125

    *) berbeda bermakna

    Tabel 5. Skor mialgia kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol

    Skor Fasikulasi Kel. Midazolam Kel. Atrakurium Kel. Kontrol P

    0 (nihil) 10 (55,6 %) 10 (55,6 %) 0 (0,0 %)

    1 (ringan) 6 (33,3 %) 8 (44,4 %) 6 (33,3%) 0,000 

    2 (sedang) 2 (11,1%) 0 (0,0 %) 8 (44,4 %)

    3 (berat) 0 (0,0 %) 0 (0,0 %) 4 (22,2%)**

    ) uji Kai kuadrat = berbeda bermakna

    Perbedaan Skor MialgiaKel.Atrakurium-

    Kel.Midazolam

    Kel.Kontrol-

    Kel. Atrakurium

    Kel.Kontrol-

    Kel.Midazolam

    Z -3,720 -3,487

     p(2 ekor) 0,480 0,000*

    0,000* 

    *) berbeda bermakna

    Dari data karakteristik tersebut terlihat

    adanya perbedaan yang tidak bermakna

    (p > 0,05) pada seluruh variabel di ketiga

    kelompok penelitian.

    Data hasil penilaian skor fasikulasi dapatdilihat pada tabel 3. Adanya perbedaan

    yang bermakna (p < 0,05). Untuk

    mencari dimana letak perbedaannya,

    analisis dilanjutkan dengan uji Wilcoxon

    Signed Ranks  (non parametrik) dengan

    hasil pada tabel 4.

    Uji hipotesis ini menunjukkan bahwa

    meskipun prosentase skor fasikulasi berat

    kelompok atrakurium dan midazolam

    lebih rendah daripada kelompok kontrol,

     perbedaan ini hanya bermakna pada

    kelompok atrakurium, sedangkan pada

    kelompok midazolam kuadrat terhadap

     perbedaan skor mialgia antara ketiga

    kelompok penelitian menunjukkan

    adanya perbedaan yang bermakna

    (p

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    27/71

     

    88

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    kenaikan kadar kreatin fosfokinase pada

    kelompok midazolam maupun atrakurium

    lebih rendah daripada kelompok kontrol.

    Uji Anova terhadap perbedaan kadar

    kreatin fosfokinase darah akibat

    suksinilkolin. Diantara tiga akibat

    (variabel terikat) pemberian suksinilkolin

    ada korelasi antara mialgia dengan

    kenaikan kadar fosfokinase antara ketiga

    kelompok menunjukkan adanya

     perbedaan yang bermakna (p = 0,013)

    sehingga dilanjutkan dengan uji  Post hoc

     Bonferroni pada tabel 8.

    Uji hipotesis ini menunjukkan bahwa

     perbedaan kenaikan ini pada kelompok

    atrakurium secara statistik bermakna,

    sedangkan pada kelompok midazolam

    tidak bermakna. Perbedaan kenaikan

    kadar kreatin fosfokinase antara

    kelompok atrakurium dan midazolam

    tidak bermakna secara statistik.

     

    Tabel 7. Kadar kreatin fosfokinase kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol

    Kel.Midazolam  Kel.Atrakurium  Kel.Kontrol   pRerata SB Rerata SB Rerata SB

    CPK pra perlakuan 46,22 27,66 49,83 28,45 67,55 86,01 0,462

    CPK pasca perlakuan 97,00 53,07 80,56 70,56 182,00 141,36 0,006*

    Perbedaan CPK 50,78 64,13 30,72 62,30 114,44 116,59 0,013*

    *)uji Anova = berbeda bermakna

    Tabel 8. Uji Post hoc Bonferroni perbedaan kadar kreatin fosfokinase antar kelompok

    Perbedaan Kadar CKKel.Atrakurium –  

    Kel.Midazolam

    Kel.Kontrol –  

    Kel.Atrakurium

    Kel.Kontrol –  

    Kel.Midazolam

    Beda Rerata 20,00 83,72 63,67

    p (2 ekor) 1,000 0,014*

    0,086*)berbeda bermakna

    SIMPULAN 

    Berdasarkan hasil penelitian dan

     pembahasan sebelumnya dapat ditarik

    kesimpulan bahwa atrakurium (dosis 0,05

    mg/kgBB) efektif digunakan sebagai

     pretreatment   dalam mengurangi

    fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar

    fosfokinase darah akibat suksinilkolin.

    Kemudian midazolam (dosis 0,03

    mg/KgBB) sebagai  pretreatment   sama

    efektifnya dengan atrakurium dalam

    mengurangi mialgia akibat suksinilkolin,

    tidak efektif dalam mengurangi fasikulasi

    akibat suksinilkolin, dan kurang efektif

    dibandingkan atrakurium dalam

    mengurangi kenaikan kadar kreatin

    fosfokinase darah, tidak ada korelasi

    antara fasikulasi dengan mialgia, dan

    tidak ada korelasi antara fasikulasi

    dengan kenaikan kadar kreatin

    fosfokinase darah.

    Sesuai dengan kesimpulan di atas, kami

    menyarankan agar atrakurium dapat

    dipergunakan sebagai  pretreatment   yang

    efektif dalam mencegah atau mengurangi

    fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar

    kreatin fosfokinase darah akibat

     pemberian suksinilkolin. Kemudian

    diharapkan dilakukan penelitian lebih

    lanjut terhadap efektivitas midazolam

    sebagai  pretreatment   dengan dosis lebih

     besar, interval waktu pemberian lebih

    lama dan cara atau rute pemberian yang

     berbeda (misalnya secara intramuskular

    yang biasa dilakukan dalam premedikasi)

    serta dengan konfirmasi silang dari hasil

     pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase

    agar hasilnya lebih sahih.

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    28/71

     

    89

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    DAFTAR PUSTAKA

    1.  Rushman GB, Davies NJH, Cashman JN.

    Lee‟s synopsis of anaesthesia. 12th ed.

    Oxford : Butterworth Co, 174  –   99, 200  –  28, 416 –  8.

    2.  Cartwright DP. Suxamethonium in day-case

    anesthesia. Br J Anesth 1993 ; 71(6) : Corr.

    3.  Alikhami S, Robert JT. Airway evaluation

    and management. In : Hurford WE, Bailin

    MT, Davison JK, Haspel KL. Clinical

    anesthesia procedures of the Massachusetts

    General Hospital. 5th ed. Philadelphia :

    Lippincott-Raven, 1998 : 204 –  22.

    4.  Stacey MRW, Barclay K, Asai T, Vaughan

    RS. Effects of magnesium sulphate onsuxamethonium-induced complications

    during rapid-sequence induction of

    anesthesia. Anesthesia 1995 ; 50 : 933 –  6.

    5.  Durant NN, Katz RL. Suxamethonium. Br J

    Anesthesia 1982; 54: 195 –  205.

    6.  Savarese JJ, Caldwell JE. Lien CA, Miller

    RD. Pharmacology of muscle relaxants and

    their antagonists. Miller RD Anesthesia 5th

    ed. Philadelphia : Churchill Livingstone,

    2000 : 412 –  90.

    7.  Stoelting RK. Pharmacology and Physiology

    in Anesthesic Practice 3rd ed. Philadelphia :

    Lippincott-Raven, 1999: 126  –   39, 182  –  

    223, 748 –  51.

    8.  Maddieni VR, Mirakhur RK, Cooper AR.

    Myalgia and biochemical changes following

    suxamethonium after induction of anesthesia

    with thiopenton or propofol. Anesthesia 199;

    48: 626 –  8.

    9.  McLouglin C, Elliot P, McCarty. Muscle

     pains and biochemical changes following

    suxamethonium administration after six

     pretreatment regimens. Anesthesia 1992; 47:

    202 –  6.

    10.  Laurence AS. Myalgia and biochemical

    changes following intermittent

    suxamethonium administration. Anesthesia

    1987; 42: 503 –  10.

    11.  Ferres CJ, Mirakhur RK, Craig HJL.

    Pretreatment with vecuronium as a

     prophylactic againts post-suxamethonium

    muscle pain. Br J Anesthesia 1983; 55: 735

     –  41.

    12.  Raman SK, San WM. Fasciculations,

    myalgia and biochemical changes following

    succinylcholine with atracurium and

    lidocaine pretreatmnet. Can J Anesthesia

    1997; 44: 498 –  502.13.  Cannon JE. Precurarization. Can J Anesth

    1994; 41: 177 –  83.

    14.  Houghton IT, Aun CST, Gin T.

    Suxamethonium myalgia: an ethnic

    comparison with and without pancuronium

     pretreatment. Anesthesia 1993; 48: 377 –  81.

    15.  Brodsky JB, Ehrenwerth J. Postoperative

    muscle pain and suxamtethonium. Br J

    Anesth 1980; 52: 215 –  8.

    16.  Kahraman S, Ercan S, Aypar U, Erdem K.

    Effect of preoperative i.m. administration of

    diclofenac on

    17.  Pace NL. Prevention of succinylcholine

    myalgias: a meta-analysis. Anesth Analg

    1990; 70: 477 –  83.

    18.  Tramer MR, Schneider J, Marti RA, Rifat K.

    Role of Magnesium Sulphate in

    Postoperative Analgesia. Anesthesiology

    1996; 84: 340-7.

    19.  Koinig H, Wallner T, Marhofer P,

    Magnesium Sulphate Reduces Intra and

    Postoperative Analgesic Requirements.

    Anesthesia and Analgesia 1998; 87: 206-10.

    20.  Wilder-Smith CH, Knopfli R, Wilder-Smith

    OH. Perioperative Magnesium Infusion and

    Postoperative Pain. Acta Anesthesiologica

    Scandinavica 1997; 41: 1023-7.

    21.  Seong-Hoon K, Hye-Rin L, Dong-Chan K,

    Magnesium Sulphate does not Reduces

    Postoperative Analgesic Requierments.

    Anesthesiology 2001; 95: 640-6.

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    29/71

     

    90

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    PENELITIAN

    Pengaruh Pretreatmen t Magnesium Sulfat Dan Atrakurium Terhadap Perubahan

    Tekanan Intraokuler Akibat Suksinilkolin

    Imam Suyuti*, IGN Panji*, Mohammad Sofyan Harahap *

    *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

    ABSTRACT

    Background :Succinylcholine is the only one muscle relaxant with rapid action and short

    duration, but it has some side effects, such as increasing of intraocular pressure.

     Precurarisation with non depolarizing muscle relaxants could prevent this but may

    increase the succinylcholine dose. Magnesium sulphate works competitively in the

    neuromuscular junctionon prejunctionaly site.

    Purpose:   To proof that magnesium sulphate pretreatment to prevent has the same

    efficiency with atracurium in preventing the increased of intraocular pressure caused by

     succinylcholine administration.

    Methods :  The study was clinical trial stage II, with double blind randomized controlled

    trial. The number of samples was 54 patients divided into 2 groups; Group I :threated with

    magnesium sulphate 40 m/kg intravenously in l0 minutes, 3 minutes before inductin. Group

     II : administrationNaCl20 in in l0 ml, subsequently atracurium 0,05 ml/kg in 3 ml, 3

    minutes before induction, in l0minutes, 13 minutes before induction, subsequently NaCl 3

    ml, 3 minutes before induction.

    Results:  There was no increased in intraoccular pressurc 2 minutes after succinylcholine

    administration both groups. But there was a decreased in intraoccular pressure on both

     goups. There was, no Siqnificant change of intraoccular pressure in both groups after

     sucynilcholine administration

    Conclusion:   There was no intraocular prcssure increase after

     succinylcholineadministration in patients treated by magnesium sulphate, and atracurium.

    There was no significant difference in the change of intraocular pressure after

     pretreatment with magnesium sulphate and also atracurium.

    Keywords: Succinylcholine atracurium, magnesium sulphate, intraocular pressure.

    ABSTRAK

    Latar belakang :  Suksinilkolin satu-satunya pelumpuh otot dengan onset cepat dan durasi

    kerja sangat singkat, tetapi mempunyai efek samping diantaranya menaikkan tekanan

    intraokuler. Prekurarisasi dengan pelumpuh otot non depolarisasi menyebabkan

     peningkatan dosis suksinilkolin. Magnesium bekerja secara kompetitif pada

    neuromuscular junction menduduki prejunctional site.

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    30/71

     

    91

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    Tujuan : Membuktikan bahwa pretreatment magnesium sulfat sama baiknya dengan

     pretreatment atracurium untuk mencegah kenaikan tekanan intraokuler akibat pemberian

     suksinilkolin.

    Metode:   Penelitian ini merupakan uji klinis tahap II, dirancang sebagai double blind

    randomized controlled trial. Sampel 54 pasien, dibagi dalam 2 kelompok; kelompok I :

    diberikan magnesium sulfat 40 mg/kg diencerkan sampai 20 ml, i.v dimasukkan dalam 10

    menit, 13 menit sebelum induksi, dilanjutkan NaCl 3 ml 3 menit sebelum induksi. Kelompok

     II (kontrol) : mendapatkan NaCl 20 ml dimasukkan dalam l0 menit, dilanjutkan

    atracurium 0.05 mg/kg diencerkan sampai 3 ml, 3 menit sebelum induksi. Tekanan

    intraokuler diukur sebelum perlakuan, 2 menit setelah pemberian suksinilkolin dan segera

     setelah intubasi.

    Hasil:   Tidak terjadi peningkatan tekanan intraokuler 2 menit setelah pemberian

     suksinilkolin pada kelompok I maupun kelompok II, justru terjadi penurunan tekanan

    intaokuler pada kedua kelompok. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna, pada

     perubahan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin pada kelompok I maupun

     II.

    Simpulan:   Tidak terjadi kenaikan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin

     pada pasien yang mendapat pretreatment magnesium sulfat, maupun yang mendapat

     pretreatment atracurium. Tidak terdapat perbedaan yang bermaknapada perubahan

    tekanan intraokuler setelah pernberian magnesium sulfat maupun atracurium.

    Kata kunci  : suksinilkotin, tekanan intraokuler, magnesium sulfat, atracurium. 

    PENDAHULUAN

    Suksinilkolin adalah satu-satunya obat

     pelumpuh otot golongan depolarisasi,

    yang digunakan dalam praktek klinik.

    Suksinilkolin merupakan satu-satunya

    obat anestesi dengan kejadian komplikasi

    yang begitu tinggi yang masih tetap

    digunakan sampai saat ini, karena obat inimempunyai onset yang cepat dan durasi

    kerja yang sangat singkat walaupun hal

    ini tidak selalu menguntungkan.1,2,3 

    Penggunaan suksinilkolin hanya untuk

    fasilitas intubasi, terutama pada anestesi

    keadaan darurat (rapid-sequence

    induction), anestesi rawat jalan

    (ambulatory/day-case anaesthesia), dan

     pada pasien dengan prediksi kesulitan

    intubasi.l,2,3,4

    Keuntungan lain penggunaan

    suksinilkolin untuk fasilitas intubasi

    adalah harganya murah, mudah diperoleh,

    stabil disimpan dalam suhu kamar serta

    toksisitas jaringan yang rendah.

    1,5,6,7

     Efeksamping suksinilkolin adalah fasikulasi

    otot disritmia jantung hiperkalemia

    reaksi anafilaktik spasme otot masseter,

    mialgia, peningkatan tekanan intragastrik

    kenaikan tekanan intraokuler dan tekanan

    intrakranial, sampai komplikasi serius

     berupa hipertermi maligna. 1,4,6,7

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    31/71

     

    92

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    Fasikulasi adalah kontraksi otot rangka

    secara cepat terus menerus (tetanik), tidak

    sinkron disebabkan oleh depolarisasi

    yang terus-menerus, akibat ikatan

    suksinilkolin dengan reseptor membran

     post sinap.7  Fasikulasi ini menyebabkan

    efek samping yang tidak diinginkan

    seperti kenaikan kadar kalium,

     peningkatan tekanan intrakranial,

    kenaikan tekanan intragastrik dan

    kenaikan tekanan infaokuler.7

    Berbagai

    metode dan jenis obat telah diteliti

    sebagai  pretreatment   untuk mencegah

    atau mengurangi efek samping akibat

     pemberian suksinilkolin, diantaranya

    adalah: magnesium,8,9  golongan NSAID,

     benzodiazepin, obat pelumpuh otot

    golongan non depolarisasi kalsium dan

    magnesium.10,11

    Efek suksinilkolin yang menaikkan

    tekanan intraokuler membatasi penggunaannya terutama pada pasien

    dengan trauma tembus mata dan operasi

    mata yang akan membuka bilik

    anterior.12,13,14

      Kenaikan tekanan

    intraokuler setelah pemberian

    suksinilkolin disebabkan karena efek

    langsung dari kontraksi (fasikulasi) otot

    ekstraokuler,13,14  dan mungkin karena

    dilatasi sementara dari pembuluh darahkoroid.

    15

    Berbagai jenis obat pelumpuh otot

    golongan non depolarisasi telah diteliti

    untuk mencegah timbulnya efek samping

    akibat pemberian suksinilkolin mulai dari

    tubokurarin, galamin, pankuronium,

    alkuronium, atrakufium, vekuronium,

    okuronium hingga mivakurium.

    16,17,18

    Tetapi pemberian obat pelumpuh otot

    golongan non depolarisari sebelum

     pemberian suksinilkolin untuk mencegah

    kenaikan tekanan intraokuler

    menyebabkan peningkatan jumlah

    suksinilkolin yang dibutuhkan untuk

    relaksasi sampai antara 50-90%.15,19 

    Sedangkan menurut Bartkowski dan

    Savarese, pemberian prekurarisasi dengan

    makurium dan pelumpuh otot non

    depolarisasi lainnya mengakibatkan

     perlambatan mula kerja dan penurunan

    kualitas (kondisi intubasi) blok

    neuromuskuler oleh suksinilkolin,

    sehingga dosis suksinilkolin harus

    ditingkatkan 50% dari 1 mg/kgBB

    menjadi 1,5 mg/kgBB, yang juga berarti

    akan menaikkan resiko komplikasinya.6,19

    Efek magnesium pada neuromuscular

     junction  adalah ion magnesium bekerja

    secara kompetitif dengan ion kalsiumuntuk menduduki  prejunctional site.

    Magnesium memblok pelepasan kalsium

    oleh retikulum sarkoplasma sehingga

    menyebabkan penutupan kanal kalsium20

    ,

    masing-masing ion bekerja secara

    antagonis satu sama lain, ion magnesium

    yang tinggi akan menghambat pelepasan

    asetilkolin sedangkan ion kalsium yang

    tinggi akan meningkatkan pelepasanasetilkolin dari  presinaptic nerve

    terminal .

    Diketahui juga bahwa ion magnesium

    memiliki efek inhibisi pada

     postjunctional potential   dan

    mengakibatkan turunnya eksitabilitas

    membran pada serat-serat otot.20  Namun,

    sampai saat ini secara langsung belum

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    32/71

     

    93

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    diketahui efek  pretreatment   magnesium

    sulfat terhadap kenaikan tekanan

    intraokuler karena pemberian

    suksinilkolin.

    METODE

    Penelitian ini dilaksananakan dalam

    ruang lingkup anestologi, penelitian ini

    memerlukan waktu sekitar 10 minggu

    dan dimulai sejak usulan ini disetujui.

    Penelitian ini merupakan uji klinis tahap

    II dan dirancang sebagai uji klinis acak

    ganda (double blind randomized

    controlled trial ) yang membandingkan 2

    kelompok penelitian, yaitu kelompok

    magnesium sulfat (I) dan atrakurium (II).

    Penelitian dengan rancangan  pre-test

     post-test group design.

    Sampel kami adalah Penderita yang

    menjalani operasi elektif di Instalasi

    Bedah Sentral RS. Dr. KariadiSemarang serta memenuhi kriteria

    inklusi.

    Kriteria inklusi :

    1.  Pasien yang menjalani operasi dengan

    anestesi umum

    2. 

    Jenis kelamin laki - laki dan

     perempuan

    3. 

    Usia 16-40

    4. 

    Status fisik ASA I-II5.  Pasien setuju diikutsertakan dalam

     penelitian

    Kriteria eksklusi :

    1.  Kelainan metabolisme (hiper-

     paratiroid, hipoparatiroid, diabetes

    melitus)

    2.  Hipertensi

    3.  Kelainan otot

    4. 

    Menderita glaukoma

    5.  Menderita trauma mata

    6.  Kelainan ginjal

    7.  Terdapat kontra indikasi terhadap

    obat-obat yang dipakai dalam

     penelitian

    Alokasi penderita untuk kedua kelompok

     penelitian dilakukan secara random

    sederhana dengan consecutive sampling  

    (quota sampling ). Membuat daftar urutan

     perlakuan (kontrol/perlakuan) sebanyak

    54 pasien dengan menggunakan daftar

     bilangan acak, nomer ganjil untuk

     perlakuan dan genap untuk kontrol.

    Penelitian ini menggunakan metode

    double blinding . Penderita dipuasakan 6

     jam sebelum operasi dan kebutuhan

    cairan selama puasa dipenuhi dengan

     pemberian infus ringer laktat sejak puasa.

    Di ruang perawatan penderita tidak

    mendapatkan premedikasi, setelah

    sampai di ruang operasi dilakukan pemasangan monitor kemudian diukur

    tekanan darah (TD), tekanan arteri rerata

    (TAR) dan laju jantung (LJ) sebagai data

    dasar pada penelitian ini. Salah satu mata

     pasien ditetesi pantokain l1%, ditunggu 1

    menit dan diukur tekanan intraokulernya

    dengan tonometri dibantu oleh seorang

    dokter spesialis Ilmu Penyakit Mata yang

    telah ditunjuk.

    Penderita mendapat pretreatment  masing-

    masing sesuai kelompok yang telah

    ditentukan secara acak sebelumnya.

    Kelompok I diberikan MgSO4 40% 40

    mg/kgBB diencerkan sampai 20 ml,

    diberikan dalam waktu l0-13 menit

    sebelum induksi, kemudian diberikan

     NaCl 3 ml, 3 menit sebelum induksi.

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    33/71

     

    94

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    Kelompok II diberikan NaCl 20 ml dalam

    10 menit, 13 menit sebelum induksi,

    kemudian diberikan atracurium 0,05

    mg/kgBB, 3 menit sebelum induksi.

    Setelah 3 menit, pada kelompok I dan II

    dilakukan induksi dengan propofol 1%

    secara titrasi intravena (2-2,5 mg/kgBB)

    dengan kecepatan 0,5 cc/detik. Setelah

    reflek bulu mata hilang, diikuti

     pemberian suksinilkolin 1 mg/kgBB

    intravena dalam l0 detik. Dua menit

    kemudian peneliti pembantu mengukur

    kembali tekanan introkuler dengan alat

    tonometri yang telah disiapkan, kemudian

    dilakukan intubasi endotrakea. Satu menit

    setelah intubasi, tekanan infaokuler

    diukur kembali, TD, TAR dan LJ dicatat

    siap dilakukan pengukuran tekanan

    intraokuler.

    Analgetik digunakan tramadol 2

    mg/kgBB intravena dan sebagai rumatananestesi digunakan isofluran, O2  : N2O

    (50%:50%) dan trakrium hingga selesai.

    Data yang terkumpul akan dilakukan

    edit ing, coding  dan dimasukkan ke dalam

    file kemudian dilakukan cleaning .

    Setelah itu dilakukan analisis statistik

    sebagai berikut:

    1. 

    Dilakukan analisis deskriptif dengan

    menghitung nilai mean±SD untuk nilaitekanan intraokuler (bila distribusi

    normal). Namun, bila distribusi tidak

    normal akan dihitung mediannya.

    Hasil disusun dalam bentuk tabel.

    2. 

    Analisis bivariate akan menguji

    komparabilitas karateristik (umur,

     jenis kelamin, kelainan metabolik, dll)

    menurut kelompok perlakuansesuai

    dengan skala pengukuran variabel.

    3.  Analisis statistik selanjutnya akan

    menguji perbedaan tekanan intraokuler

    sebelum dan sesudah pemberian

    suksinilkolin, pada kelompok

    magnesium dan atracurium dengan

    menggunakan  Paired t-test   (bila

    distribusi normal) atau Wilcoxon Rank

    Sum test  (bila distribusi tidak normal).

    4.  Kemudian akan diuji perbedaan

     perubahan tekanan intraokuler antara

    kelompok I, II dengan menggunakan

    independent t-test (bila disribusi

    normal) atau menggunakan  Mann-

    Whitney U test   (bila disribusi tidak

    normal).

    HASIL

    Subyek penelitian ini adalah penderita

    yang menjalani operasi atau tindakan

     bedah elektif dengan anestesi umum di

    Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Dr.

    Kariadi Semarang. Jumlah subyek penelitian 54 orang, yang terbagi

    menjadi dua kelompok yaitu kelompok

    magnesium dan kelompok atrakurium,

    dengan masing-masing 27 orang tiap

    kelompok.

    Subyek penelitian ini terdiri dari 26 laki-

    laki dan 28 perempuan. Pada kelompok

    magnesium, subyek perempuan lebih banyak daripada laki-laki, yaitu 48% laki-

    laki dan 52% perempuan 52%.

    Sedangkan pada kelompok atracurium

    terdiri dari 48% laki-laki dan 52%

     perempuan.

    Dari tabel 1, bisa kita lihat, rerata umur

    dan rerata  Body Mass Indeks  (BMI)

    kelompok magnesium dan kelompok

  • 8/16/2019 Anestesi undip

    34/71

     

    95

    Jurnal Anestesiologi Indonesia

    Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

    atrakurium tidak didapatkan perbedaan

    yang bermakna.

    Untuk variabel tekanan darah sistolik,

    diastolik dan TAR antara kelompok

    magnesium dan atracurium tidak ada

     perbedaan yang bermakna. Sedangkan

    tekanan irtraokuler antara kelompok

    magnesium dan atracurium sebelum

     perlakuan juga tidak pada perbedaan

    yang bermakna. Dengan demikian, kedua

    kelompok ini layak untuk dibandingkan.

    Dari tabel 4 setelah dilakukan intubasi,

    tekanan darah sistolik & diastolik, TAR

    dan jantung tidak terdapat perbedaan

    yang bermakna antara kelompok

    magnesium dan (p>0,05). Sedangkan

    tekanan intraokuler antara kelompok

    magnesium dan atracurium terdapat

     perbedaan bermakna (p>0,05)

    Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian

    No. Variabel

    Kelompok Perlakuan

    (Magnesium)(n=27)

    Kelompok Kontrol

    (Atracurium)(n=27)

    Uji statistik P

    1. Umur (tahun) 32,33±9,60 33,41±6,91 Uji-t 0,639

    2.Jenis kelamin

    (%)

    - Laki-laki 48,1 48,1 Mann-Whitney 1- Perempuan 51,9 51,9

    3. BMI 21,96±2,39 21,81±2,04 Uji-t 0,808

    Tabel 2. Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik, Tekanan Arteri Rerata, Laju Jantung, Tekanan Intraokuler

    Sebelum Anestesi pada Kelompok Magnesium dan Atrakurium

    No. Variabel

    Kelompok

    Perlakuan

    (Magnesium)(n=27)

    Kelompok

    Kontrol

    (Atracurium)(n=27)

    Uji statistik P

    1. TDS 115,44±12,14 114,96±11,95  Indepen t test 0,884

    2. TDD 69,85±13,03 68,70±12,04  Indepen t test 0,730

    3. TAR 84,81±10,07 83,04±9,84  Indepen t test 0,515

    4. LJ 85,00±6,89 84,85±11,10  Indepen t test 0,953

    5. TIO 15,14±1,39 14,19±1,43  Indepen t t