BAB I PENDAHULUAN Dalam memilih cara melakukan prosedur anestesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain umur, status fisik (termasuk adanya kelainan/penyakit), posisi pembedahan, keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah, ketrampilan dan pengalaman dokter anestesiologi, keinginan pasien, bahaya kebakaran dan ledakan serta yang lainnya. Sebagian besar prosedur pembedahan (70-75%) dilakukan dengan anestesia umum, sedangkan operasi lainnya dilakukan dengan anestesia regional atau lokal. Operasi sekitar kepala, leher, intra-torakal, intra abdominal paling baik dilakukan dengan menggunalan anestesia umum endotrakea. Anestesia umum dilihat dari cara pemberian obat yaitu secara parenteral, perektal, perinhalasi. Anestesia regional berdasarkan teknik pemberian yaitu infiltrasi lokal, field block, blok saraf, analgesia permukaan (topikal), dan analgesia regional intra vena. 1,2 Pada pasien dengan prolaps katub mitral, teknik anestesi yang terpilih adalah yang paling kecil mengakibatkan takikardia atau yang menggangu status hemodinamik. Untuk prosedur perifer, block syaraf atau plexus atau saddle block yang terpilih. Spinal dan epidural dapat setidaknya secara tiba-tiba menurunkan preload dan afterload, yang dapat memberatkan MVP. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam memilih cara melakukan prosedur anestesia dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain umur, status fisik (termasuk adanya
kelainan/penyakit), posisi pembedahan, keterampilan dan kebutuhan dokter
pembedah, ketrampilan dan pengalaman dokter anestesiologi, keinginan pasien,
bahaya kebakaran dan ledakan serta yang lainnya. Sebagian besar prosedur
pembedahan (70-75%) dilakukan dengan anestesia umum, sedangkan operasi
lainnya dilakukan dengan anestesia regional atau lokal. Operasi sekitar kepala,
leher, intra-torakal, intra abdominal paling baik dilakukan dengan menggunalan
anestesia umum endotrakea. Anestesia umum dilihat dari cara pemberian obat
yaitu secara parenteral, perektal, perinhalasi. Anestesia regional berdasarkan
teknik pemberian yaitu infiltrasi lokal, field block, blok saraf, analgesia
permukaan (topikal), dan analgesia regional intra vena.1,2
Pada pasien dengan prolaps katub mitral, teknik anestesi yang terpilih
adalah yang paling kecil mengakibatkan takikardia atau yang menggangu status
hemodinamik. Untuk prosedur perifer, block syaraf atau plexus atau saddle block
yang terpilih. Spinal dan epidural dapat setidaknya secara tiba-tiba menurunkan
preload dan afterload, yang dapat memberatkan MVP. Menghindari obat-obatan
yang melepaskan histamine, dan pemilihan obat muscle relacsan haruslah dengan
pertimbangan terhadap efek kardiovaskular. Atropin, ketamin hendaknya
dihindari, dan pada keadaan dehidrasi serta penggantian cairan dan darah
hendaknya secara agresif dilakukan. Jika takikardia timbul pada keadaan
euvolemia maka pengobatan dengan beta-bloker sesuai untuk diberikan. Jika
vasopressor dibutuhkan pada keadaan hipovolemia relatif (pada spinal tinggi)
maka phenylepinefrin yang terpilih. 3,4
Sedangkan pada pasien dengan mitral stenosis, epidural anestesi
merupakan tekhik anestesi regional yang terpilih. Hindari hidrasi yang cepat, dan
pertahankan level anestesi yang pelan. Efedrin dapat meningkatkan denyut
jantung. Epinefrin menyebabkan peningkatan afterload ventrikel yang dapat
mencetuskan gagal jantung. 3,4
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANESTESI PADA PASIEN GANGGUAN JANTUNG
2.1.1 PROLAPS KATUP MITRAL
Mitral Valve Prolapsed (MVP) adalah suatu kondisi dimana
produksi urin, pemeriksaan laboratoris berupa analisis gas darh dan elektrolit.
CVP merupakan panduan yang baik untuk memberikan terapi cairan. Namun,
hasilnya dapat meragukan paling tidak dalam 2 situasi berikut:
1. Segera setelah ventrikulotomi, tekanan jantung kanan akan cenderung
tinggi sebagai akibat dari penurunan fungsi jantung kanan, sedangkan
fungsi jantung kiri normal.
2. Setelah penutupan ASD, tekanan atrium kiri untuk sementara waktu
akan lebih tinggi dibandingkan tekanan atrial kanan. Pemasangan
13
kanula pada atrium kiri bias jadi berguna pada beberapa kasus, namun
tidak diperlukan secara rutin.
Kateter arteri pulmonalis yang dipasang dengan tujuan untuk mengukur
tekanan atau curah jantung digunakan pada beberapa sentra, namun hingga saat
ini belum diterima secara luas karena adanya penyulit berupa insersi pada anak
kecil, perubahan letak yang terjadi saat kanulasi atau perbaikan, kemungkinan
menembus defek septum, biaya yang harus dikeluarkan, dan sejauh mana
perannya dalam mempengaruhi outcome penderita belumlah diketahui.7,8
2.1.8 PERTIMBANGAN ANESTESI PADA PENYAKIT
JANTUNG BAWAAN
Dua akibat utama pada penyakit jantung bawaan yang bermakna adalah
gagal jantung kongestif dan sianosis. Gagal jantung kongestif harus dikontrol
dengan digitalis, diuretik, dan atau obatobatan yang mengurangi afterload sebelum
dilakukan tindakan bedah elektif apapun. Terapi obat-obatan harus diteruskan
pada periode perioperatif. Kadar kalium serum yang adekuat dan menghindari
hipokarbia penting untuk menghindari keracunan digitalis pada pasien-pasien
yang mengkonsumsi digitalis. Pengendalian penyakit jantung kongestif dapat
memperbaiki fungsi paru dan mengurangi kemungkinan terjadinya hipoksemia
perioperatif atau gagal nafas.9,10
Sianosis merupakan ciri gangguan jantung dengan shunt kanan ke kiri.
Aliran darah paru yang terbatas, dan atau campuran vena pada sirkulasi sistemik.
Hipoksemia berat menyebabkan polisitemia yang diikuti oleh peningkatan volume
dan viskositas darah, neovaskularisasi, hiperventilasi alveolar untuk
mempertahankan normokarbia pada arteri, dan koagulopati. Clubbing atau
osteoarthropati ruas distal jari-jari tangan dan kaki merupakan tanda dari penyakit
jantung sianotik yang berkepanjangan.9,10
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis harus mencakup penilaian beratnya gangguan kardiopulmonal,
seperti adanya sianosis atau gagal jantung kongestif, toleransi latihan, episode
sianotik akut, tingkat aktivitas, pola makan dan pertumbuhan, gejala-gejala lain
yang bersangkutan, dan abnormalitas anatomis.9,10
14
Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan warna kulit, tingkat aktivitas,
pola dan frekuensi nafas, dan kesesuaian perkembangan untuk usia pasien.
Jantung dan paru harus diauskultasi dan akses intravena serta jalan nafas pasien
harus diperhatikan dengan seksama. Denyut nadi perifer harus dipalpasi dan
tekanan darah diukur pada kedua lengan dan tungkai bawah bila diduga terdapat
koartasio.9,10
Rontgen toraks diperiksa untuk melihat tanda-tanda pembesaran jantung,
adanya gagal jantung kongestif, penurunan aliran darah paru, abnormalitas posisi
jantung, dan adanya abnormalitas dinding toraks. EKG dapat normal walaupun
terdapat kelainan jantung bawaan. Namun, abnormalitas pada EKG dapat menjadi
petunjuk yang penting untuk menentukan kelainan jantung yang mendasarinya.
Echokardiografi akan menunjukkan abnormalitas anatomis, dan dengan doppler,
akan memberikan informasi tentang pola aliran dan gradien tekanan. Kateterisasi
jantung dapat menentukan anatomi, aliran shunt pulmonal dan sistemik, resistensi
vaskuler, dan tekanan pada ruang-ruang intrakardiak.10
Evaluasi preoperatif
Evaluasi preoperatif harus ditujukan untuk mendapatkan gambaran yang
menyeluruh dari anatomi dan semua prosedur bedah yang pernah dijalani. Hanya
dengan adanya hipoksemia, hal ini menunjukkan penanganan yang inadekuat dan
terdapatnya abnormalitas jantung. Selain menentukan derajat hipoksemia pada
keadaan istirahat, riwayat episode hipersianotik termasuk faktor pencetus atau
perubahan yang mendadak pada derajat hipoksemia harus diketahui. Walaupun
penurunan toleransi latihan tidak spesifik untuk hipoksemia, ini dapat menjadi
indikator yang baik untuk fungsi kardiovaskuler secara keseluruhan dan
merupakan bagian anamnesis yang dapat mempengaruhi pengelolaan anestesi.11
Anak dengan hipoksemia biasanya lebih kecil untuk usianya. Walaupun
sangat sulit untuk membedakan apakah hipoksemia disebabkan gangguan pada
jantung atau paru, usaha ini harus dilakukan karena infeksi paru aktif merupakan
indikasi untuk menunda prosedur bedah elektif. Bila terdapat gejala yang
berkaitan dengan hiperviskositas atau hemostasis abnormal, harus dikonsultasikan
dengan ahli hematologi untuk menentukan perlunya phlebotomi preoperatif.
15
Riwayat kerusakan neurologis sebelumnya akibat pembedahan, emboli, atau
infeksi harus diperhatikan.11
Pemeriksaan laboratorium preoperatif harus dimulai dengan hematokrit
dan indeks ukuran eritrosit. Secara umum, hematokrit berhubungan dengan
tingkat keparahan hipoksemia. Namun, anak-anak atau dewasa dapat menderita
defisiensi besi atau phlebotomi yang berlebihan, sehingga hematokrit tampak
berkurang. Bergantung pada besarnya pembedahan, hemostasis yang adekuat
harus dipastikan dengan uji fungsi platelet dan koagulasi. Pemeriksaan
echocardiografi sangat penting untuk menentukan anatomi dan pola aliran darah.
Echocardiografi transesofageal harus dipertimbangkan bila dengan pemeriksaan
prekordial tidak adekuat.9,11
Hipoksemia saja bukan merupakan indikasi untuk pemantauan invasif.
Besarnya pembedahan, fungsi ventrikel, teknik anestesi dan tingkat keparahan
penyakit yang mendasari merupakan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan
sebelum memasang kateter vena sentral atau arteri. Pemasangan kateter pada
arteri pulmonalis secara teknis sulit dan informasi yang didapat sulit untuk
ditafsirkan. Tentu saja, oksimeter yang baik sangat diperlukan. Bila tersedia,
echocardiografi transesofageal dapat memberikan data yang berguna tentang
fungsi ventrikel, volume akhir diastolik dan besarnya shunt kanan ke kiri. Ruang
rugi fisiologis dapat meningkat dan pengukuran end tidal CO2 dapat lebih rendah
dari PCO2 arteri.9,11
Premedikasi dan Pemilihan Obat Anestesi
Premedikasi dapat sangat berguna bila anak mempunyai riwayat
hipoksemia yang diperparah dengan eksitasi atau agitasi. Obat-obatan oral, rektal
atau intramuskular semuanya aman dan efektif. Pemberian melalui oral memiliki
keuntungan yaitu menghindari rasa terkejut atau takut saat memberikan obat
premedikasi. Suplemen oksigen dapat diberikan untuk mempertahankan saturasi
oksigen pada garis dasar.11
Pilihan obat-obat anestesi kurang penting dari pada mencapai kondisi
hemodinamik yang sesuai untuk tiap kelainan jantung. Apapun kelainan jantung
yang mendasarinya, tujuan utama adalah untuk mempertahankan oksigenasi
16
jaringan yang adekuat. Hal ini paling baik dicapai dengan memahami penyebab
yang mendasari hipoksemia pada tiap pasien. Terdapat dua kategori umum pasien
yang mengalami hipoksemia akibat kelainan jantung, yaitu pasien dengan aliran
darah pulmonal yang terbatas dan shunt darah dari kanan ke kiri, dan pasien
dengan aliran darah paru yang tidak terganggu dan terdapat pencampuran darah
vena pulmonal dan vena sistemik. Pengelolaan anestesi pada masing-masing
kondisi ini cukup berbeda, bila aliran darah pulmonal terbatas, sumber obstruksi
aliran harus diidentifikasi dan dilakukan pemeriksaan aliran darah melewati
obstruksi tersebut.
Strategi umum untuk menghindari hipoksemia saat induksi dan
pemeliharaan anestesi pada pasien dengan aliran darah paru terbatas adalah
dengan memastikan hidrasi yang adekuat, mempertahankan tekanan darah
sistemik arteri, meminimalkan resistensi aliran darah pulmonal, dan menghindari
peningkatan kebutuhan oksigen sistemik yang tiba-tiba (menangis, berontak, dan
anestesi yang kurang dalam).8
Pada keadaan-keadaan dimana aliran darah pulmonal tidak terganggu
namun terdapat pencampuran darah vena sistemik dan pulmonal, saturasi arteri
akan bergantung pada perbandingan aliran darah pulmonal dan sistemik (Qp/Qs
ratio). Secara umum, tidak dapat diharapkan darah arteri tersaturasi maksimal.
Peningkatan perbandingan aliran darah pulmonal dan sistemik (Qp/Qs ratio) dapat
meningkatkan beban kerja jantung atau dapat pula menyebabkan penurunan
perfusi sistemik bila fungsi kardiovaskuler sudah maksimal. Pertimbangan utama
anestesi pada kategori pasien ini adalah mempertahankan fungsi ventrikel dan
mencegah terjadinya perubahan Qp/Qs ratio.8,11
Walaupun efek shunting pada kecepatan induksi harus dipertimbangkan,
namun kemaknaan klinisnya minimal. Pertimbangan harus ditujukan pada
pengelolaan hemodinamik.8,9
Pertimbangan postoperatif yang penting adalah tumpulnya respon
kemoreseptor terhadap hipoksia. Situasi ini sama dengan pasien yang telah
mengalami endarterektomi karotid bilateral. Hipoksia yang berat dapat terjadi
tanpa menimbulkan respon normal peningkatan ventilasi, terutama bila diberikan
obat yang menekan respirasi seperti narkotik. Saturasi oksigen harus
17
dipertahankan pada kadar yang sesuai dengan pemberian suplemen oksigen
sampai anak sadar penuh. Mekanisme tumpulnya respon terhadap hipoksia ini
belum diketahui, namun tampaknya respon ventilasi terhadap hipoksemia akan
kembali normal setelah pembedahan untuk mengoreksi hipoksemia. Hipoksemia
kronis tidak menyebabkan perubahan respon ventilasi terhadap karbon dioksida
atau konsentrasi ion hidrogen.8,9
BAB III
KESIMPULAN
Pemilihan cara anestesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
penyakit penderita. Beberapa faktor, antara lain umur, status fisik, posisi
pembedahan, ketrampilan dan kebutuhan dokter pembedah, ketrampilan dan
pengalaman dokter anestesiologi, keinginan pasien, bahaya kebakaran dan
ledakan serta yang lainnya juga mempengaruhi pemilihan teknik anestesi.
Sebagian besar prosedur pembedahan (70-75%) dilakukan dengan anestesia
umum, sedangkan operasi lainnya dilakukan dengan anestesia regional atau lokal.
Pada pasien dengan prolaps katub mitral, teknik anestesi yang terpilih
adalah yang paling kecil mengakibatkan takikardia atau yang menggangu status
hemodinamik. Pada pasien dengan mitral stenosis, epidural anestesi merupakan
tekhik anestesi regional yang terpilih.
Manajeman anastesi dari pasien dengan regurgitasi tricuspid sama, baik
dengan satu kelainan itu saja maupun yang disertai dengan penyakit katup aorta
atau mitral.
Dalam pemberian obat anestesi dalam pembedahan pasien dengan
kelainan jantung bawaan, apapun kelainan jantung yang mendasarinya, tujuan
utama adalah untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat. Hal ini
18
paling baik dicapai dengan memahami penyebab yang mendasari hipoksemia pada
tiap pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta. Bagian anestesiologi dan terapi intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001: 1-8
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Valvular heart disease. In: Clinical anesthesiology. 4th ed. The United States of America. Appleton and lange, 2006:463-78
3. Bready LL, Mullins RM, Noorily SH, Smith RB. Decision making in anesthesiology an algorithmic approach. 3rd ed. Mosby. St Louis Missouri. 2000: 122-34
4. Bongard FS, Sue DY. Critical care diagnosis and treatment. 1st ed. The United States of America. Appleton and lange. 1994: 463-77
5. Stoelting RK, Dierdorf SF. Anesthesia and co-existing disease. 4th ed. Churchill livingstone. Philadelphia. 2002: 25-43
7. Nasution AH. Anestesi pada Ventrikel Septal Defek. Majalah Kedokteran Nusantara, 2008; 41(2): 133-138
8. Morgan, GE, Mikhail, MS & Murray, MJ. Anesthesia for Patients With
19
Cardiovascular Disease. In: Clinical Anesthesiology, 4th edition, McGraw- Hill Companies, New York. 2006, p424-5
9. Ahmad MR. Anesthesia for Non-Cardiac Surgery in Children with Congenital Heart Disease. The Indonesian Journal of Medical Science, 2010; 1(8): 467-476.
10. Hollinger I. Congenital Heart Disease. Clinical cases in anesthesia. 3rd edition. 2005; 69: 409-18.
11. Frankville DD, Lake CL. Anesthesia for noncardiac surgery in children and adults with congenital heart disease. Pediatric Cardiac Anesthesia. 3nd edition. 1998; 26: 485-513.
12. Mashour GA, Avery EG. Anesthesia for cardiac surgery. Dalam: Clinical anesthesia procedures of the Massachusetts general hospital. 7th edition. 2007; 23: 421-3.