ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS KARENA ERROR IN PERSONA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG R.I. NOMOR 90 PK/PID/2008) SKRIPSI Oleh : DIMAS SIGIT TANUGRAHA E1A009146 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
100
Embed
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS KARENA - fh.unsoed.ac.idfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI_7.pdf · DIMAS SIGIT TANUGRAHA NIM. E1A009146. iv KATA PENGANTAR ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS KARENA
ERROR IN PERSONA
(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG R.I. NOMOR 90
PK/PID/2008)
SKRIPSI
Oleh :
DIMAS SIGIT TANUGRAHA
E1A009146
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
i
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS KARENA
ERROR IN PERSONA
(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG R.I. NOMOR 90
PK/PID/2008)
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
DIMAS SIGIT TANUGRAHA
E1A009146
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya :
Nama
NIM
Judul
:
:
:
DIMAS SIGIT TANUGRAHA
E1A009146
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS KARENA ERROR
IN PERSONA (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung R.I
Nomor 90 PK/PID/2008)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya
sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang
lain.
Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut
diatas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkannya sesuai ketentuan yang
berlaku.
Purwokerto, Agustus 2013
DIMAS SIGIT TANUGRAHA NIM. E1A009146
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsinya yang diberi judul :
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS KARENA ERROR IN PERSONA
(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG R.I. NOMOR: 90
PK/PID/2008). Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh
gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman.
Berbagai hambatan dan kesulitan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi
ini. Namun berkat ketegaran penulis serta bimbingan dan arahandari berbagai
pihak, maka skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Oleh karena itu
penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat:
1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto beserta para Pembantu Dekan dan seluruh
jajarannya;
2. Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I atas segala bantuan,
arahan, bimbingan, kesabaran, dan masukan yang telah diberikan selama
Kakak Kandung penulis dan Ipar Pertama (Kak Henny), Ipar Kedua (Kak
Erni) selaku Saudara Ipar penulis
11. Teman-Teman Angkatan 2009 Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto serta pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu
persatu yang telah memberi bantuan, saran serta doa demi kelancaran
penulisan skripsi ini.
Semoga amal kebaikan serta bantuan yang telah diberikan mendapat
balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Skripsi ini hanyalah hasil karya manusia
biasa yang memiliki banyak kekurangan, oleh karenanya kritik dan masukan demi
kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan.
Purwokerto, Agustus 2013
Penulis
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Pada page ini sebagai page pengingat, Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih terutama dan yang paling utama kepada Tuhan Yesus sebagai satu-satunya Tuhan yang ku percaya dan ku yakini. Serta mempersembahkan skripsi ini kepada Orang Tua kandung, saudara kandung (Kakak Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat, Kelima) dan saudara ipar ku, yang telah banyak membantu dalam doa dan dana. Tak lupa sahabat karib ku Rizki Prabowo, Kekasih ku yang masih dirahasiakan Tuhan. Paman, Bibi, sepupu, Nenek yang membantu selama penulis menempuh kuliah di Purwokerto. Teman-teman seperjuangan, Raymon Fanal (kadang ngeselin, kadang ngangenin, bercita-cita jadi pengacara, lanjutin kuliah di Belanda, amin), Ateng (teman sma, manusia gajelas dialah orangnya), Ali (ce’es paling bijak dan berpengalaman soal cinta “macem pangeran tiengfeng/patkai”, tapi jadi paling sibuk dengan LKHS’nya, entahlah), Mukti (cita-cita dari awal ingin jadi pengacara, terwujud ga yah jadi pengacara? Semoga Tuhan, ini orang kadang nyolotin tapi tetap peduli ama gw) dan Rosi (adenya mukti ini yang kadang nyolotin, ga beda jauh sama kakanya, tp dia tetap baik), Redo (gw suka cara lo menyombongkan diri, belakangan ada hubungan special dengan Azi Bondan). Diperindah dengan kedatangan Tyas-ini COWO bukan CEWE (yang telah banyak membantu, apalagi keluarga lo yang rumahnya dekat dengan kontrakan gw dan Bude Pade yang suka kasih makan gratis), menyusul Aditya Pradana/Kopet (mendadak 1 semester hukum islam duduk jejeran terus), Danang (ini orang di duga homo sejati), SubiyanTHORo (di duga calon pengusaha ini), Dimas Pranowo (banyak gosip tak sedap menimpanya), Subkhan Tekkel semoga jadi hakim pengadilan agama. Diperlengkap dengan kedatangan sebagian Gengnya Melda, yaitu Acca (pokoke seneng pisan kalo liat acca senyum), Irma (paling enak diajakin ngegosip, thanks udha banyak bantu mae hahha), Indah (ga pernah lupa pas kumpul plkh perdata, sambil tertawa licik bilang “rekam aja omongan capung di hp”, diem gw), Deni (dari namanya gw kira dia cowo, maaf yaa). Ga lupa sama temen-temen gw yang lain yang mau temenan ama gw. Ga lupa sama teman SMA (LSM) yang selalu nemenin gw main DOTA. Serta anak-anak PMK FH yang mau ngajak gw gabung ke oraganisasi itu.
“I’m not a genius man, but I’m a diligent and lucky man”, satu lagi
“Meninggi bukan untuk merendahkan”
vii
ABSTRAK
Penegakan hukum mempunyai 3 (tiga) pilar yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman. Peran Penyidik Polri sangat penting karena penyidik yang membuat berita acara penyidikan, mencari tersangka dan mencari identitas dari korban serta penyidik secara langsung ada di Tempat Kejadian Perkara (TKP) dibandingkan jaksa dan hakim. Apabila pada tahap awal sudah terjadi rekayasa oleh penyidik kemudian jaksa dan hakim percaya begitu saja dengan data dari penyidik maka dapat terjadi yang namanya salah tangkap yang terjadi dalam putusan Pengadilan No. 49 PK/PID/2008. Dalam skripsi ini akan membahas mengenai 1. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim yang membebaskan terdakwa
dalam PutusanMahkamah Agung No. 90 PK/PID/2008? 2. Bagaimanakah akibat hukum bagi penyidik dalam hal salah tangkap (error in
persona) dalam Putusan Mahkamah Agung No. 90 PK/PID/2008?
Dalam pertimbangan hukum Hakim, dengan adanya PeninjauanKembali dari pelaku sebenarnya, dan adanya tes DNA yang membuktikan bahwa mayat yang menjadi korban pembunuhan bukan mayat yang dituduhkan penyidik kepada Terpidana. Atas dasar Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Hakim mengabulkan peninjauan kembali dari Permohon peninjauan kembali. Dengan adanya salah tangkap, maka penyidik yang melakukan penyidikan kasus tersebut terkena sanksi Pasal 21 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Kepolisian. Dalam melakukan penyidikan, penyidik diharapkan dapat bertindak secara professional, teliti, dan tidak boleh menyimpang dari peraturan yang berlaku. Sehingga setiap kasus dapat terselesaikan dengan tepat, baik pelaku dan korban yang diajukan ke pengadilan merupakan orang yang tepat, sehingga putusan yang dijatuhkan Hakim tidak keliru. Kata Kunci :Penegakan Hukum, Salah Tangkap, Penyidik
viii
ABSTRACT Law enforcement has three (3) pillars namely police, prosecutors and the Judiciary. Police Investigator role is very important because the investigator who made the news event investigation, looking for suspects and are looking for the identity of the victim and the investigator directly at the crime scene (TKP) compared to prosecutors and judges. If in the early stages has occurred investigators then engineered by prosecutors and judges believe it with the data from this investigation may have been no wrongful arrests that occurred in the Court's decision No..49 PK/PID/2008. In this paper will discuss the 1. How le gal reasoning the judge to acquit the defendant in the Supreme Court Decision. 90 PK/PID/2008? 2. How legal consequences for the investigator in the case of false arrest (error in persona) dalamPutusan Supreme Court. 90 PK/PID/2008? In consideration of the law judge, in the presence of a judicial review of the actual perpetrator, and a DNA test which proved that the bodies were victims of homicide investigators alleged corpse not to convict. On the basis of Article 191 paragraph (1) of Act 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure, the Judge granted a judicial review of plea reconsideration. With the false arrest, the investigators are investigating the case of sanctions of Article 21 paragraph (1) of Regulation No police chief. 14 Year 2011 About the Police Code. In conducting the investigation, the investigator is expected to act in a professional, thorough, and should not deviate from the regulations. So that each case can be resolved appropriately, both the perpetrator and victim are brought to justice is the right person, so the judge handed down the verdict was not erroneous. Keywords: Law Enforcement, False Arrest, Investigators
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL. ……………………………………………….…………… i
HALAMAN PENGESAHAN……….…………………………………………... ii
SURAT PERNYATAAN……………...………………………………………... iii
KATA PENGANTAR……...…………...……………….……………………… iv
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………..……. vi
ABSTRAK…………………………………………………...…………………. vii
ABSTRACT..……………………………………………..……………………. viii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………. ix
BAB I PENDAHULUAN……………………………...………….……………. 1
A. Latar Belakang…………………………………….……...…………….. 3
B. Rumusan Masalah………………………………….…………………… 4
C. Tujuan Penelitian……………………………………...….…………….. 5
D. Kegunaan Penelitian…………………………………...….……………. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………...…………...……... 6
A. Penyidik Polri……………………………………..........………...……… 6
B. Pembuktian………………………………………………………..….… 12
C. Putusan Hakim………………………………………………………….. 23
D. Upaya Hukum………………………………………………………....... 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN…………………………….…….…. 29
A. Metode Pendekatan……………………………………….…………...... 29
B. Spesifikasi Penelitian…………………………………………………… 30
C. Sumber Data…………………………………………………………….. 30
D. Metode Pengumpulan Data.....……………………………….…...….…. 31
a. Bahan Hukum Primer….…………………………..…….…..……..... 31
b. Bahan Hukum Sekunder…………………….……………………….. 31
E. Metode Penyajian Data…………………………….……...……...…….. 32
F. Metode Analisis Data………………………………………...…...…….. 32
BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………….....…........ 34
A. Hasil Penelitian…………………………………………….…..….……. 36
B. Pembahasan…………………………………………………...….…....... 61
x
BAB V PENUTUP………………………………………………….....…….… 74
A. Simpulan…………………………………………………...……….…... 74
B. Saran………………………………………………………....………..... 75
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS KARENA
ERROR IN PERSONA
(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG R.I. NOMOR: 90
PK/PID/2008)
SKRIPSI
Oleh :
DIMAS SIGIT TANUGRAHA
E1A009146
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS KARENA
ERROR IN PERSONA
(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG R.I. NOMOR: 90
PK/PID/2008)
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
DIMAS SIGIT TANUGRAHA
E1A009146
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS KARENA
ERROR IN PERSONA
(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG R.I. NOMOR: 90
PK/PID/2008)
Oleh :
DIMAS SIGIT TANUGRAHA
E1A009146
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan Disahkan
Pada tanggal Agustus 2013
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya,
Nama : DIMAS SIGIT TANUGRAHA
NIM : E1A009146
Judul Skripsi : “ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN
BEBAS KARENA ERROR IN PERSONA (Studi Kasus : Putusan Mahkaah
Agung Nomor 90 PK/PID/2008)”
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya
sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang
lain.
Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas,
maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto, 20 Agustus 2013
DIMAS SIGIT TANUGRAHA NIM. E1A009146
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunianya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsinya yang diberi judul : ANALISIS
YURIDIS PUTUSAN BEBAS KARENA ERROR IN PERSONA (STUDI
KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG R.I. NOMOR: 90 PK/PID/2008).
Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana
hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman.
Berbagai hambatan dan kesulitan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi
ini. Namun berkat ketegaran penulis serta bimbingan dan arahandari berbagai
pihak, maka skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Oleh karena itu
penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada :
1. Dr. Angkasa, S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jendral
Soedirman
2. Pranoto., S.H.M.H selaku Dosen Pembimbing I Skripsi
3. Handri Wirastuti Sawitri S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing II Skripsi
4. Dr. Hibnu Nugroho S.H.,M.H selaku Dosen Penguji Skripsi
5. Rochati S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik
6. Sanyoto S.H., M.Hum. selaku Kepala Bagian Acara
7. Seluruh dosen, staf dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman
8. Bp. Andreas Suyud Digyo Saputro BSc.,S.H sebagai Ayah Kandung
tercinta dari penulis
9. Ny. Sri Sundari sebagai Ibu Kandung tercinta dari penulis
10. Kakak Pertama (Mas Jodi), Kakak Kedua (Mas Wowo), Kakak Ketiga
selaku Kakak Kandung penulis dan Ipar Pertama (Kak Henny), Ipar Kedua
(Kak Erni) selaku Saudara Ipar penulis
11. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman khususnya
angkatan 2009
12. Semua pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu
Semoga amal kebaikan serta bantuan yang telah diberikan
mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Skripsi ini hanyalah hasil karya
manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan, oleh karenanya kritik dan
masukan demi kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan.
Purwokerto, Agustus 2013
Penulis
ABSTRAK
Penegakan hukum mempunyai 3 (tiga) pilar yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman. Peran Penyidik Polri sangat penting karena penyidik yang membuat berita acara penyidikan, mencari tersangka dan mencari identitas dari korban serta penyidik secara langsung ada di Tempat Kejadian Perkara (TKP) dibandingkan jaksa dan hakim. Apabila pada tahap awal sudah terjadi rekayasa oleh penyidik kemudian jaksa dan hakim percaya begitu saja dengan data dari penyidik maka dapat terjadi yang namanya salah tangkap yang terjadi dalam putusan Pengadilan No. 49 PK/PID/2008. Dalam skripsi ini akan membahas mengenai
1. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim yang membebaskan terdakwa
dalam PutusanMahkamah Agung No. 90 PK/PID/2008?
2. Bagaimanakah akibat hukum bagi penyidik dalam hal salah tangkap (error in persona) dalam Putusan Mahkamah Agung No. 90 PK/PID/2008?
Dalam pertimbangan hukum Hakim, dengan adanya PeninjauanKembali dari pelaku sebenarnya, dan adanya tes DNA yang membuktikan bahwa mayat yang menjadi korban pembunuhan bukan mayat yang dituduhkan penyidik kepada Terpidana. Atas dasar Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Hakim mengabulkan peninjauan kembali dari Permohon peninjauan kembali. Dengan adanya salah tangkap, maka penyidik yang melakukan penyidikan kasus tersebut terkena sanksi Pasal 21 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Kepolisian.
Dalam melakukan penyidikan, penyidik diharapkan dapat bertindak secara professional, teliti, dan tidak boleh menyimpang dari peraturan yang berlaku. Sehingga setiap kasus dapat terselesaikan dengan tepat, baik pelaku dan korban yang diajukan ke pengadilan merupakan orang yang tepat, sehingga putusan yang dijatuhkan Hakim tidak keliru.
Kata Kunci :Penegakan Hukum, Salah Tangkap, Penyidik
ABSTRACT
Law enforcement has three (3) pillars namely police, prosecutors and the Judiciary. Police Investigator role is very important because the investigator who made the news event investigation, looking for suspects and are looking for the identity of the victim and the investigator directly at the crime scene (TKP) compared to prosecutors and judges. If in the early stages has occurred investigators then engineered by prosecutors and judges believe it with the data from this investigation may have been no wrongful arrests that occurred in the Court's decision No..49 PK/PID/2008. In this paper will discuss the
1. How legal reasoning the judge to acquit the defendant in the Supreme Court Decision. 90 PK/PID/2008?
2. How legal consequences for the investigator in the case of false arrest (error in persona) dalamPutusan Supreme Court. 90 PK/PID/2008?
In consideration of the law judge, in the presence of a judicial review of the actual perpetrator, and a DNA test which proved that the bodies were victims of homicide investigators alleged corpse not to convict. On the basis of Article 191 paragraph (1) of Act 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure, the Judge granted a judicial review of plea reconsideration. With the false arrest, the investigators are investigating the case of sanctions of Article 21 paragraph (1) of Regulation No police chief. 14 Year 2011 About the Polic e Code.
In conducting the investigation, the investigator is expected to act in a professional, thorough, and should not deviate from the regulations. So that each case can be resolved appropriately, both the perpetrator and victim are brought to justice is the right person, so the judge handed down the verdict was not erroneous.
Keywords: Law Enforcement, False Arrest, Investigators
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.…………………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN……….…………………………………………... ii
SURAT PERNYATAAN……………...………………………………………... iii
KATA PENGANTAR……...…………...……………….……………………… iv
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………………. v
DAFTAR ISI……………………………………………………………………. vi
ABSTRAK…………………………………………………...…………………. vii
ABSTRACT..……………………………………………..……………………. viii
BAB I PENDAHULUAN……………………………...………….……………. 1
A. Latar Belakang…………………………………….……...…………….. 3
B. Rumusan Masalah………………………………….…………………… 4
C. Tujuan Penelitian……………………………………...….…………….. 5
D. Kegunaan Penelitian…………………………………...….……………. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………...…………………... 6
A. Penyidik Polri……………………………………....…………...……… 6
B. Pembuktian………………………………………………………..….… 12
C. Putusan Hakim………………………………………………………….. 23
D. Upaya Hukum………………………………………………………....... 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN…………………………………….…. 29
A. Metode Pendekatan……………………………………….…………...... 29
B. Spesifikasi Penelitian…………………………………………………… 30
C. Sumber Data…………………………………………………………….. 30
D. Metode Pengumpulan Data.....……………………………….…...….…. 31
a. Bahan Hukum Primer….………………………………………..... 31
b. Bahan Hukum Sekunder………………………………………….. 31
E. Metode Penyajian Data…………………………….…………...…….. 32
F. Metode Analisis Data…………………………………………...…….. 32
BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………………........ 34
A. Hasil Penelitian………………………………………………….……. 36
B. Pembahasan…………………………………………………….…....... 61
BAB V PENUTUP…………………………………………………...…….… 74
A. Kesimpulan………………………………………………….………... 74
B. Saran……………………………………………………….………..... 75
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
A. Latar Belakang
Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk mencapai atau
menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat baik itu
merupakan usaha pencegahan maupun pemberantasan atau penindakan setelah
terjadinya pelanggaran hukum, dengan perkataan lain baik secara preventif
maupun represif. Sejauh ini peraturan yang mengatur tentang penegakan hukum
dan perlindungan hukum terhadap keluhuran harkat martabat manusia di dalam
proses pidana pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sistem
peradilan pidana adalah pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-
lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana1.
Sementara itu Muladi menegaskan bahwa sistem peradilan pidana adalah jaringan
(network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya,
baik hukum pidana materiil, hukum pidana formal, maupun hukum pelaksana
pidana2.
Ketika seorang hakim sedang menangani perkara maka diharapkan dapat
bertindak arif dan bijaksana demi untuk mendapatkan kebenaran materiil yaitu
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
1O.C Kaligis, 2006, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Tersangka, Terdakwa,
dan Terpidana, P.T Alumni. Bandung, hlm 4 2Muladi, 2002, Kapita Selekta Hukum Peradilan Pidana, UNDIP, Semarang, hlm 5
2
menerapkan ketentuan hukum acara pidana sebagaimana yang tertuang dalam
pasal demi pasal yang ada di dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan
kebenaran materiil diatas maka hakim dalam mengemban tugas harus dijamin
kemandiriannya guna menegakkan keadilan sebagaimana yang disebutkan dalam
Pasal 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
bahwa :
“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”
Menurut Yahya Harahap3,
“Titik pangkal pemeriksaan di hadapan penyidik ialah tersangka. Dari dialah diperoleh keterangan tentang peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Akan tetapi, sekalipun seorang tersangka yang menjadi titik tolak pemeriksaan, terhadapnya harus diberlakukan asas akusatur. Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat martabat”
Dengan adanya asas “praduga tak bersalah” (persumption of innocent), Menurut
Lilik Mulyadi4, bahwa tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana
wajib dilindungi hak-haknya baik ketika di tingkat penyidikan sampai tingkat
peradilan. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan sebagai objek. Menurut Djoko
Prakoso5, memberikan ciri-ciri pengertian sistem akusatur:
1. Tentang kedudukan atau posisi tersangka/terdakwa
3M.Yahya Harahap, 2004,Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP; Sinar Grafika,
Jakarta,hlm 134 4Lilik Mulyadi, 2007,Hukum Acara Pidana Normatif,Teoritis, Praktik dan
Permasalahannya,P.T Alumni,Bandung, hlm 51 5Djoko Prakoso, 1985,Kedudukan Justisiabel Di Dalam KUHAP, Ghalia Indonesia,Jakarta,
hlm 62
3
Tersangka atau penuntut umum mempunyai kedudukan yang sama. Kedua beah pihak saling berhadapan sebagai pihak yang sama haknya dalam melakukan pertarungan hukum di muka hakim yang tidak memihak. Jadi dalam sistem akusatur ada tiga subjek acara yaitu terdakwa, orang yang mendakwa dan hakim.
2. Sifat tugas Hakim yang pasif Dalam sisem akusatur pihak hakim hanya akan bertindak atau memulai tugasnya apabila telah diterima suatu pengaduan atau perkosaan hukum, atau dari petugas negara dalam soal kepidanaan. Hakim tidak memihak dan berada di atas kedua belah pihak.
3. Sifat pemeriksaan yang terbuka untuk umum Khalayak ramai harus diberi kesempatan untuk menyaksikan jalannya persidangan, sehingga mereka dapat mengawasi atau mengontrol jalannya persidangan atau pemeriksaan sehingga sifat kejujuran, kebebasan hakim dan putusan yang adil dari hakim dapat diawasi dengan sebaik-baiknya.
4. Campur tangan Pembela/Penasihat hukum Dalam pemeriksaan perkara pidana dengan mempergunakan sistem akusatoir, maka Pembela/Penasehat hukum sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap tersangka/terdakwa diperbolehkan menghubungi dan memberikan nasehat hukum kepadanya serta mendampinginya setiap pemeriksaan terhadap tersangka/terdakwa, baik di Kepolisian, Kejaksaan, mapun dalam sidang Pengadilan.
Dalam kasus ini kesalahan yang dilakukan oleh Penyidik Polri bermula
dari proses penyidikan dan penangkapannya, dimana penyidik melakukan
tindakan penangkapan terhadap DEP meskipun yang bersangkutan telah
menjelaskan bahwa orang yang hendak ditangkap bukanlah yang diduga sebagai
pelaku namun penyidik tetap menangkapnya. Penyidik menduga bahwa DEP yang
telah membunuh korban bernama MA yang dilakukan bersama dua orang
rekannya. Namun setelah proses perkara dilimpahkan ke pengadilan dan telah
diputus oleh hakim, belakangan diketahui bahwa korban pembunuhan atau mayat
yang dinyatakan oleh polisi bernama MA itu ternyata bukan mayat MA melainkan
mayat orang lain. Bagi terpidana dengan ditemukanya fakta baru ini dimana
bahwa polisi telah melakukan kesalahan dalam penangkapannya, maka fakta ini
4
dapat digunakan sebagai bukti baru atau novum. Novum tersebut dapat dijadikan
alasan kuat bagi terpidana untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung agar segera dibebaskan. Sebab apabila bukti baru
tersebut diketahui sebelum putusan majelis hakim dijatuhkan maka akan
mengubah isi dari putusan tersebut secara signifikan dan terpidana ini juga dapat
menuntut Ganti kerugian Rehabilitasi.
Konsekuensi hukum dalam kasus salah tangkap tersebut seharusnya tidak
hanya bagi pihak korban yang menjadi korban salah tangkapnya saja, namum
seharusnya demi memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat semestinya juga ada
akibat hukum dari polisi penyidiknya sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, melihat pentingnya dasar pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan putusan serta akibat hukum bagi penyidik yang salah
tangkapmaka penulis tertarik memilih dan menetapkan judul untuk diteliti yaitu
“ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS KARENA Error In
Persona (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung R.I.No. 90 PK/PID/2008)
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim yang membebaskan terdakwa
dalam Putusan Mahkamah Agung No. 90 PK/PID/2008?
2. Bagaimanakah akibat hukum bagi penyidik dalam hal salah tangkap (error
in persona) dalam Putusan Mahkamah Agung No. 90 PK/PID/2008?
C. Tujuan Penelitian
5
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim yang membebaskan terdakwa
dalam Putusan Mahkamah Agung No. 90 PK/PID/2008
2. Untuk mengetahuiakibat hukum bagi penyidik dalam hal salah tangkap (error
in persona) dalam Putusan Mahkamah Agung No. 90 PK/PID/2008
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Sebagai tambahan wacana, referensi dan acuan penelitian yang sejenis dari
permasalahan yang berbeda. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memajukan
perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan di bidang Hukum Acara Pidana
pada khususnya.
2. Kegunaan Praktis
Sebagai bahan pertimbangan bagi instansi terkait untuk perkembangan
Hukum Acara Pidana Indonesia dan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan
pembaca juga dapat menjadi pedoman atau acuan bagi mereka yang melakukan
penelitian serupa.
6
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Penyidik Polri
1. Pengertian Penyidik
Pengertian Penyidik Polri terdapat di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, menyebutkan :
“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”
Berdasarkan pasal tersebut, maka penyidik dapat melakukan penyidikan menurut
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana, menyebutkan :
“Penyidikan adaalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangka”
Dalam hal ini, penyidik melakukan proses penyidikan yang dibantu oleh penyidik
pembantu. Proses penyidikan yang dilakukan Penyidik Polri sangatlah penting
untuk menemukan pelaku kejahatan yang sesungguhnya. Menurut Yahya
Harahap6,
“Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya”
6M.Yahya Harahap, 2004,Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP; Sinar Grafika,
Jakarta, hlm 109
7
Berdasarkan hal tersebut, Penyidik Polri yang terpilih untuk melakukan
serangkaian tindakan penyidikan, maka haruslah professional dan mengetahui
tugas dan wewenang Penyidik Polri, aturan hukum serta tata cara tindakan
penyidikan yang berlaku di Indonesia.
2. Tugas Dan Wewenang Penyidik POLRI
Penyidik Polri dalam melakukan serangkaian tindakan penyidikan harus
mengetahui tugas dan wewenangnya dalam melakukan penyidikan, karena hal
tersebut yang memberikan Penyidik Polri tata cara dan batasan yang dapat
dilakukan Penyidik Polri dalam menentukan tersangka dalam suatu tindakan
kejahatan. Tugas dan Wewenang Polri diatur dalam Pasal 13 sampai Pasal 19
Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, menyebutkan :
Pasal 13 Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 14 (1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap
kegiatanmasyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban,
dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran
hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum danperaturan perundang-undangan;
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
8
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani olehinstansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalamlingkup tugas kepolisian; serta
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15 (1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dan14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: a. Menerima laporan dan/atau pengaduan; b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum; c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancampersatuan dan kesatuan bangsa; e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif
kepolisian; f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian
dalam rangka pencegahan g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. Mencari keterangan dan barang bukti; j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam
rangka pelayanan masyarakat; l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan lainnya berwenang : a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan
masyarakat lainnya; b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
9
e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha dibidang jasa pengamanan;
g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;
k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16 (1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dan14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara
untuk kepentingan penyidikan; c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan; d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan; i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
10
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia.
Pasal 17 Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalankan tugas dan wewenangnya diseluruh wilayah negara Republik Indonesia, khususnya di daerah hukum pejabat yangbersangkutan ditugaskan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18 (1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalammelaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 19 (1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan.
Dari ketentuan Pasal 13 sampai Pasal 19 Undang-Undang No.2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, telah jelas mengenai tugas dan
wewenang Penyidik Polri dalam melakukan tindakan penyidikan untuk
menentukan seseorang dijadikan tersangka dalam tindakan kejahatan yang
dilakukan. Tindakan Penyidik Polri inilah sebagai langkah awal dalam proses
penegakan hukum. Menurut Andi Hamzah7, menyebutkan :
“Penyidik pada waktu melakukan pemeriksaan pertama kali di tempat kejadian sedapat mungkin tidak mengubah, merusak keadaan di tempat kejadiaan agar bukti-bukti tidak hilang atau menjadi kabur. Hal ini terutama dimaksudkan agar sidik jari begitu pula bukti-bukti yang lain
7 Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 126
11
seperti jejak kaki, bercak darah, air mani, rambut, dan sebagainya tidak hapus atau hilang”
Penyidik Polri dalam melakukan tindakan penyidikan tidak boleh mengabaikan
ketentuan tersebut, karena apabila Penyidik Polri lalai dan melakukan kesalahan
dalam proses penyidikan, yang mengakibatkan salah menentukan tersangka
(Error in Persona) maka Penyidik Polri tersebut dapat terkena sanksi Kode Etik
yang diatur di dalam Peraturan Kepala Kepolisian Indonesia No. 14 Tahun 2011
Tentang Kode Etik Kepolisian.
3. Sanksi Bagi Penyidik POLRI
Dalam proses penegakan hukum diawali dengan kegiatan Penyidik Polri
dalam menentukan tindakan kejahatan dan menangkap pelaku kejahatan yang
sebenarnya. Dalam proses penyidikan oleh Penyidik Polri harus tepat dalam
membuat terang suatu tindak kejahatan pidana, salah satu nya adalah menentukan
seseorang menjadi tersangka. Apabila Penyidik Polri salah menentukan tersangka
maka akan terjadi kasus salah tangkap. Dengan adanya salah tangkap maka harus
ada akibat hukum dari perbuatan yang dilakukan Penyidik Polri berupa sanksi
yang tercantum di dalam Pasal 21 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Indonesia
No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Kepolisian, yang menyebutkan :
Anggota Polri yang dinyatakan sebagai Pelanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dikenakan sanksi Pelanggaran KEPP berupa: a) Perilaku Pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela; b) Kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan Sidang
KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan;
c) Kewajiban Pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi, sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan;
12
d) Dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
e) Dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
f) Dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun; dan/atau
g) PTDH sebagai anggota Polri.
B. Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian
Sejak berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana maka aspek pembuktian tampak diatur dalam ketentuan hukum
pidana formal. Menurut Hibnu Nugroho8, Bahwa :
“Tahap pembuktian dalam persidangan merupakan ‘jantungnya’ sebuah proses peradilan guna menemukan kebenaran materiil, sebagai tujuan adanya hukum acara pidana. Kebenaran materiil diartikan sebagai suatu kebenaran yang diupayakan mendekati kebenaran sesungguhnya atas tindak pidana yang telah terjadi”
Pembuktian menurut Soedirjo9,
“Dikaji secara umum pembuktian berasal dari kata ‘bukti’ yang berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi (memperlihatkan) bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan”
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pembuktian adalah suatu proses,
cara, perbuatan membuktikan, usaha menunjukan benar atau salahnya terdakwa
8Hibnu Nugroho, 2010,Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia, Universitas
Negeri Diponegoro, Semarang, hlm 27 9Soedirjo, 1985,Jaksa dan Hakim Dalam Proses Pidana. CV Akademika Presindo,
Jakarta, hlm 47
13
dalam sidang pengadilan10. Dilihat dari perspektif yuridis, menurut M. Yahya
Harahap11, bahwa :
“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuanyang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa”
Pengertian hukum pembuktian menurut Bambang Poernomo adalah sebagai
berikut12,
“Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekontruksi suatu kenyataan yang besar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana”
Suatu pembuktian menurut hukum pada dasarnya merupakan proses untuk
menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui
ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu
yang tidak terang menjadi fakta-fakta yang terang dalam hubungannya dengan
perkara.
2. Alat Bukti Menurut KUHAP
10Departemen Pendidikan Nasional RI, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Edisi Ketiga, Cetakan Keempat, Balai Pustaka, hlm 172
11M.Yahya Harahap, 2005,Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali; Sinar Grafika, Jakarta, hlm252
12 Bambang Poernomo, 1986, Pola Teori dan Azaz Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta, Liberty, hlm 39
14
Di dalam suatu putusan yang dijatuhkan hakim harus berdasarkan Pasal
183 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang
menyatakan bahwa :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”
Menurut Hari Sasongko dan Lily Rosita13,
”Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untik menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian”
Menurut Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril14,
“Dengan pembuktian ini lah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalah yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, para hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian”
Dalam rangka melakukan pembuktian di Persidangan, menurut Moch. Faisal
Salam15, maka hakim harus membuktikan, yaitu :
1. Apakah betul suatu peristiwa pidana itu telah terjadi; 2. Apakah peristiwa itu telah terjadi, maka harus dibuktikan bahwa peristiwa
yang telah terjadi itu merupakan suatu tindak pidana; 3. Hakim harus membuktikan pula apa yang menjadi alasan atau yang
menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut;
13Hari Sasongko dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,
Mandar Maju, Bandung, hlm 10 14Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2010,Hukum Acara Pidana, Dalam Teori
dan Praktek, Cetakan Kedua,Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm 102 15Moch Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Mandar
Maju, Bandung, hlm 295
15
4. Di dalam peristiwa yang telah terjadi itu, harus diketahui pula siapa-siapa yang terlibat dalam peristiwa itu
Dari ketentuan Pasal 183 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut dapat diketahui bahwa adanya dua
alat bukti yang sah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bagi
seseorang tetapi dari alat-alat bukti yang sah itu hakim juga perlu memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa telah
bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Sebaliknya adanya keyakinan pada
hakim saja tidak cukup apabila keyakinan tersebut tidak didukung oleh sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah adanya alat bukti diatur dalam Pasal 184 ayat
(1) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, adalah
a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa
ad. a Keterangan Saksi
Pengertiannya diatur dalam Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu sebagai
berikut,
“Keterangan saksi salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, bahwa :
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”
16
Menurut Hibnu Nugroho16,
“Proses mendapatkan alat bukti dimulai sejak pemeriksaan tahap penyidikan. penyidik mengumpulkan alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Salah satu alat bukti yang diperlukan adalah keterangan saksi. Pemeriksaan terhadap saksi harus dilakukan dalam keadaan bebas tanpa tekanan dari pihak mana pun. Keterangan saksi dicatat oleh penyidik dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Setelah pemeriksaan selesai, saksi diperkenankan untuk membaca keterangan yang telah dicatat oleh penyidik kemudian menandatangani (Pasal 118 KUHAP). Dalam tahap ini peran penyidik untuk dapat menggali keterangan para saksi dan terdakwa sangat diperlukan, sebab cara-cara yang dipergunakan tidaklah boleh melanggar ketentuan HAM”
Di dalam praktek sering dijumpai adanya beberapa jenis saksi, yaitu :
1. Saksi A Charge (memberatkan terdakwa) dan Saksi A De Charge (meringankan terdakwa)
Menurut sifat dan eksistensinya, keterangan saksi A Charge adalah keterangan
seorang saksi dengan sifat memberatkan terdakwa dan lazimnya diajukan
Jaksa/Penuntut Umum, sedangkan saksi A De Charge adalah keterangan saksi
dengan sifat meringankan terdakwa dan lazim diajukan oleh tedakwa/Penasihat
Hukum. Di dalam ketentun Pasal 160 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, bahwa :
“Dalam hal ada saksi yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam suatu pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau Penasihat Hukum atau Penuntut Umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, Hakim Ketua Sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut”
2. Saksi Verbalisant
Secara fundamental kata “verbalisant” adalah istilah yang lazim tumbuh dan
berkembang di dalam praktik serta tidak diatur dalam KUHAP.
16Hibnu Nugroho, 2010, Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia, Universitas
Negeri Diponegoro, Semarang, hlm28
17
Menurut JCT Simorangkir, Edwin Rudy dan Prasetyo17, bahwa
“Verbalisant (Bld) adalah Petugas (Polisi atau seorang yang diberi tugas khusus) untuk menyusun, membuat atau mengarang proses verbal”
saksi verbalisant ini tidak termasuk alat bukti sabagai mana dimaksud dalam
Pasal 184 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Namun saksi verbalisant ini hanya untuk menambah keyakinan hakim
ad. b. Keterangan Ahli
Pasal 179 dan Pasal 180 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana, bahwa hakim diberi wewenang untuk menghadirkan saksi
ahli dan meminta di hadir bahan baru untuk menambah keyakinan hakim, ini
berarti hakim dapat meminta tes DNA untuk mendapat keakuratan korban dan
menambah keyakinan hakim. Menurut Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
menyebutkan:
“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”
Akan tetapi, menurut penjelasan Pasal 186 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa
keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh
penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan
dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut
umum, maka pada pemeriksaan disidang, diminta untuk memberikan keterangan
dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah
ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim. Bukti keterangan ahli itu
bukan apa yang oleh ahli diterangkan di muka penyidik atau penuntut umum
walaupun dengan mengingat sumpah diwaktu menerima jabatan atau pekerjaan,
tetapi berupa apa yang orang ahli nyatakan di sidang pengadilan setelah ia
mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim. Menurut R. Soeparmono18,
bahwa
“Keterangan ahli sangat diperlukan dalam setiap tahapan pemeriksaan, oleh karena ia diperlukan baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, tahap penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di siding pengadilan. Jaminan akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas keterangan ahli atau para ahli didasarkan pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang-bidang keilmuannya, akan dapat menambah data, fakta dan pendapatnya, yang dapat ditarik oleh Hakim dalam menimbang-nimbang berdasarkan pertimbangan hukumnya, atas keterangan ahli itu dalam memutus perkara yang bersangkutan. Sudah tentu, masih harus dilihat dari kasus perkasus dari perkara tindak pidana tersebut masing-masing, atas tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa dalam surat dakwaan dari penuntut umun di sidang pengadilan”
ad. c. Surat
Dalam ketentuan Pasal 187 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, menyebutkan :
“Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya”
Menurut M Yahya Harahap,19 nilai pembuktian surat sebagai berikut :
18R. Soeparmono, 2002, Keterangan Ahli Visum Et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara
Pidana, Mandar Maju, Bandung, hlm 3 19 M. Yahya Harahap, 2008, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Sinar Grafika, Jakarta, hlm 309-310
19
a) Ditinjau dari segi formal Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah alat bukti yang “sempurna”. Sebab bentuk surat-surat yang disebut di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan.
b) Ditinjau dari segi materiil Dari sudut materiil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, “bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat”. Pada diri alat bukti surat itu tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat, sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang “bersifat bebas”.
ad. d. Petunjuk
Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”
Pada prinsipnya, dalam praktik penerapan alat bukti petunjuk cukup rumit dan
tidak semudah yang dibayangkan secara teoritik.
ad. e. Keterangan Terdakwa
Pasal 189 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, menyebutkan:
1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya
3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri
20
4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Menurut Lilik Mulyadi20, apabila ketentuan Psal 189 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dijabarkan
lebih detail, dapatlah dikonklusikan bahwa:
1. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (Pasal 189 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Pada prinsipnya hanya keterangan terdakwa yang diterangkan di muka sidang atas pertanyaan hakim ketua sidang, hakim anggota; penuntut umum; terdakwa atau penasihat hukum yang dapat berupa pernyataan, pengakuan, ataupun penyangkalan dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah. Untuk itu pernyataan, pengakuan ataupun penyangkalan tersebut haruslah terhadap perbuatan yang dilakukan dan diketahui sendiri oleh terdakwa serta juga tentang apa yang terdakwa alami sendiri khususnya terhadap tindak pidana yang bersangkutan.
2. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Pada prinsipnya keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dan dapat dipergunakan untuk membantu menentukan bukti di sidang asal didukung suatu alat bukti sah lainnya. Dalam praktik peradilan lazimnya terhadap keterangan terdakwa ketika diperiksa penyidik kemudian keterangan tersebut dicatat dalam berita acara penyidikan dan ditandatangani oleh penyidik dan terdakwa. Konkret dan singkatnya keterangan terdakwa dalam BAP yang dibuat penyidik. Jika ditelaah lebih lanjut, keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang harus didukung oleh suatu alat bukti lain yang sifatnya adalah limitative oleh karena jika judex facti mempermasalahkan terdakwa hanya berdasarkan keterangan terdakwa yang diberkan di luar sidang, tanpa diperkuat oleh alat bukti lain yang sah.
3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri dan keterangan tersebut tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
20 Lilik Mulyadi, 2007, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia (Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat, dan Permasalahannya). Citra Aditya, Bandung, hlm 114-116
21
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain (Pasal 189 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Sesuai konteks ini maka secara teoretis keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri dan keterangan terdakwa tidak cukup untuk membuktikan tentang kesalahan terdakwa (Pasal 189 ayat (3), (4), dan (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Dalam praktik, semenjak era KUHAP yang tidak mengejar “pengakuan terdakwa”, maka pada tahap pemeriksaan di depan persidangan terdakwa dijamin kebebasannya dalam memberi keterangannya (Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Begitupun sebaliknya, walupun keterangan terdakwa tersebut berisikan “pengakuan” tentang perbuatan yang ia lakukan, barulah mempunyai nilai pembuktian apabila didukung dan berkesesuaian dengan alat bukti lainnya (Pasal 184 ayat (1) huruf a, b, c, dan d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
3. Macam-Macam Sistem Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana
Teori Sistem Pembuktian berdasarkan praktek peradilan pidana,
dikenal ada empat macam teori pembuktian yang menjadi pegangan bagi
hakim di dalam melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa disidang
pengadilan. Di dalam bukunya, Menurut Andi Hamzah21, menyebutkan
bahwa :
Terdapat beberapa sistem atau teori pembuktian untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori pembuktian itu antara lain:
a. Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim (conviction
intime) Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim maka hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Teori pembuktian ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Tidak ada alat bukti yang dikenal selain alat bukti
21 Muhammad Rusli, 2007, Hukum Acara Pidan Kotemporer, P.T Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm 186
22
berupa keyakinan hakim. Artinya jika pada pertimbangan hakim sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nuraninya menganggap terbukti suatu perbuatan yang dilakukan terdakwa maka terhadap diri terdakwa dapat dijatuhkan putusan pidana. Keyakinan hakim pada teori ini adalah menentukan dan mengabaikan hal-hal lainnya jika sekiranya tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata. Sistem ini dianut oleh peradilan juri di Perancis.
b. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Conviction Raisonnee) . Sistem pembuktian ini adalah sistem pembuktian yang tetap menggunakan keyakinan hakim tetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan-alasan yang masuk akal atau rasional. Tegasnya, keyakinan hakim dalan teori ini harus dilandasi alasan-alasan yang dapat diterima, artinya keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar yang logis dan benar-benar dapat diterima akal, tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.
c. Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positif Wettelijk Bewijsheorie) Menurut teori ini, sistem pembuktian bergantung kepada sebagaimana disebutkan dalam undang-undang atau dengan kata lain undang-undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim harus mempergunakan kekuatan alat-alat bukti tersebut dan bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili.
d. Sistem Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Stelsel) Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative merupakan gabungan antara teori sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan system pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction intime) yaitu bahwa pembuktian selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-undang juga menggunakan keyakinan hakim. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative ini memiliki dua komponen, yaitu pertama bahwa pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang dan yang kedua bahwa pembuktian tersebut harus juga didasarkan pada
23
keyakinan hakim dan keyakinan tersebut harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Sistem pembuktian perkara pidana menurut Nicholas Simanjutak22, menganut
prinsip bahwa yang harus dibuktikan adalah ditemukannya kebenaran materiil.
Pasal 183 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakw alah yang bersalah melakukannya”
Maka berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut nyatalah bahwa system
pembuktian yang dianut KUHAP adalah sistem pembuktian menurut undang-
undang secara negative. Dari ketentuan Pasal 183 Undang-Undang No.8
Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut
dapat diketahui bahwa adanya dua alat bukti yang sah belum cukup bagi
hakim untuk menjatuhkan pidana bagi seseorang tetapi dari alat-alat bukti
yang sah itu hakim juga perlu memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak
pidana tersebut. Sebaliknya adanya keyakinan pada hakim saja tidak cukup
apabila keyakinan tersebut tidak didukung oleh sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah. Sistem pembuktian yang dianut KUHAP sebagaimana telah
22Nicholas Simanjutak, 2009, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum , Ghalia
Indonesia, Bogor, hlm 18
24
disebutkan diatas adalah sistem pembuktian menurut undang-undang yang
bersifat negatif (Negatief wettelijke stelsel) yaitu23:
a. Disebut wettelijke atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian, undang-undanglah yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada.
b. Disebut negatif karena adanya jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang itu belum dapat membuat hakim harus menjatuhkan pidana bagi seorang terdakwa, apabila jenis-jenis dan banyaknya alat bukti itu belum dapat menimbulkan keyakinan pada dirinya, bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
Dari uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa menurut sistem
pembuktian yang dianut KUHAP, penilaian atas kekuatan pembuktian dari
alat-alat bukti yang diajukan ke sidang pengadilan oleh penuntut umum,
sepenuhnya diserahkan pada majelis hakim.
C. Putusan Hakim
1. Pengertian Putusan
Putusan hakim pidana di dalam KUHAP telah diatur, sebagaimana
dikatakan di dalam Pasal 1 butir 11 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana :
“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal ini serta merta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”
Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah mendapat keyakinan
bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap
bahwa perbuatan terdakwa dapat dipidana. Suatu proses peradilan berakhir
23P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, 2010, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana Dan Yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 408-409
25
dengan putusan akhir (vonnis). Dalam putusan itu hakim menyatakan
pendapatnya tentang apa yang telah dipertimbangkan dan putusannya. Pengertian
putusan menurut Leden Marpaung24,
“Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan’. Demikian dimuat dalam buku Peristilahan Hukum dalam Praktik yang dikeluarkan Kejaksaan Agung RI 1985 halaman 221. Rumusan di atas terasa kurang tepat selanjutnya jika dibaca pada buku tersebut, ternyata ‘putusan’ dan ‘keputusan’ dicampuradukan. Ada juga yang mengartikan ‘Putusan’ (vonnis) sebagai ‘vons tetap’ (definitif) (Kamus istilah hukum Fockema Andrea). Rumusan-rumusan yang kurang tepat terjadi sebagai akibat penerjemahan ahli bahasa yang bukan ahli hukum. Sebaliknya dalam pembangunan hukum yang sedang berlangsung diperlukan kecermatan dalam penggunaan istilah. Mengenai kata ‘Putusan’ yang diterjemahkan dari hasil vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Ada juga yang disebut ‘Interlocutoir’ yang diterjemahkan dengan keputusan antara atau keputusan seladan ‘preparatoire’ yang diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan/keputusan persiapan serta keputusan ‘provosionel’ yang diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara”
Sedangkan pengertian Putusan dalam Kamus Istilah Aneka Hukum, Putusan
adalah hasil atau kesimpulan suatu pemeriksaan perkara yang didasarkan pada
pertimbangan yang menetapkan apa hukum25. Perihal putusan hakim atau putusan
pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan
perkara pidana. Oleh karena itu, dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasannya
putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa memperolehkepastian hukum
(rechtszekerhelds) tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah
berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian berupa menerima putusan
ataupun melakukan upaya hukum verzet, banding, kasasi, melakukan grasi dan
24Leden Marpaung, 1995, Proses Penanganan Perkara PidanaBagian Kedua, Sinar Grafika. Jakarta, hlm 406
25 C.S.T Kansil, 2009, Kamus Istilah Aneka Hukum. Jala Permata Aksara, Jakarta, hlm 371
26
sebagainya. Sedangkan di lain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang
mengadili perkara, putusan hakim merupakan mahkota sekaligus puncak
pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki hak asasi manusia,
penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni dan fakual, serta
visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan
2. Jenis/Bentuk Putusan;
Adapun macam-macam bentuk putusan yang akan dijatuhkan oleh
hakim dalam sidang pengadilan berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat dibagi atas
tiga macam, yaitu:
a. Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa (vrijspraak )
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang
No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana yaitu pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan
di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa
diputus bebas.
b. Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan
hukum (ontslag van rechtvervolging) sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 191 ayat (2) Undang-Undang No.8 Tahun 1981
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu jika
pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada
27
terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana.
c. Putusan yang mengandung suatu penghukuman terdakwa, Pasal 193
Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana.
D. Upaya Hukum
1. Pengertian Upaya Hukum
Ketentuan Umum Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No.8 Tahun 1981
Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yaitu bahwa putusan
pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan
terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum dalam hal ini serta merta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
Jadi, dapat dikatakan bahwa putusan hakim merupakan akhir dari
proses persidangan pidana untuk tahap pemeriksaan di Pengadilan
Negeri.Namun terhadap putusan hakim tersebut masih dapat dilakukan upaya
hukum. Pengertian upaya hukum menurut R. Atang Ranoemihardja, upaya
hukum adalah suatu usaha melalui saluran hukum dari pihak-pihak yang
merasa tidak puas terhadap suatu keputusanhakim yang dianggapnya kurang
28
adil atau kurang tepat26. Jadi upaya hukum merupakan bentuk dari
ketidakpuasan yang merasa dirugikan secara langsung akibat adanya putusan
hakim tersebut. Adanya upaya hukum ini juga merupakan bentuk pengujian
terhadap keputusan hakim apakah putusan hakim tersebut sudah tepat atau
belum, melanggar asas-asas atau peraturan perundangan atau tidak.
2. Macam-Macam Upaya Hukum
Mengenai upaya hukum dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu :
a. Upaya hukum biasa yakni ;
1. Pelawanan/verzet
Tahap ini adalah perlawanan yang belum masuk ke dalam pokok perkara
2. Banding
Pemeriksaan banding merupakan suatu penilaian baru. Jadi, dapat diajukan
saksi-saksi, ahli-ahli dan surat-surat baru. KUHAP tidak melarang hal demikian,
khususnya Pasal 238 ayat (4) KUHAP menyebutkan :
“Jika dipandang perlu, pengadilan tinggi mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya” “Jika pengadilan tinggi berpendapat bahwa dalam pemeriksaan tingkat pertama ternyata ada kelalaian dalam penerapan hukum acara tau kekeliruan atau ada yang kurang lengkap, maka pengadilan tinggi dengan keputusan dapat memerintahkan pengadilan negeri untuk memperbaiki hal itu atau pengadilan tinggi melakukannya sendiri”
Walaupun demikian, dapat dikatakan bahwa acara pada pemeriksaan
pertama tetap menjadi dsar pemeriksaan banding kecuali kalau ada
penyimpangan-penyimpangan dan kekecualian-kekecualian.
26 R. Atang Ranoenimihardja, 1976, Hukum Acara Pidana, Tarsito, Bandung, hlm 123
29
3. Kasasi
Kasasi bertujuan menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan
membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau kekeliruan
dalam menerapkan hukum. Berdasarkan alasan-alasan atau pertimbangan-
pertimbangan yang ditentukan oleh undang-undang yang menjadi dasar suatu
putusan pengadilan yang kurang jelas.
b. Upaya hukum luar biasa yakni :
1. Kasasi untuk kepentingan hukum
Dalam peraturan lama kasasi demi kepentingan hukum ini telah diatur bersama
kasasi biasa dalam satu pasal, yaitu Pasal 17 Undang-Undang Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 1950, menyebutkan :
“Kasasi dapat dilakukan atas permohonan pihak yang berkepentingan atau atas permohonan Jaksa Agung karena jabatanya” Dengan pengertian bahwa kasasi atas permohonan Jaksa Agung hanya semata-
mata untuk kepentingan hukum dengan tidak dapat merugikan pihak-pihak yang
berkepentingan. Jadi, hanya dibedakan kasasi pihak dan kasasi karena jabatan
Jaksa Agung. Kasasi jabatan inilah yang sama dengan kasasi demi kepentingan
hukum sebagai upaya hukum luar biasa.
2. Peninjauan Kembali
Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa apabila sudah mendapat
putusan yang berkekuatan hukum tetap dan ditemukannya bukti baru atau novum.
Hal ini untuk memberi kesempatan bila terjadi kesalahan di tingkat Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi dan tingkat MA dengan disodorkannya bukti baru.
3. Upaya Hukum Peninjauan Kembali
30
Pada hakikatnya, putusan hakim dalam perkara pidana amarnya hanya
mempunyai tiga sifat yaitu pemidanaan apabila hakim/pengadilan berpendapat
bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan menurut hukum terbukti bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan (Pasal 193 ayat (1) Undang-Undang
No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana) kemudian putusan bebas
apabila hakim berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, terdakwa tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum atas perbuatan yang
didakwakan (Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana) dan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum jika
hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti,
tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2)
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana,). Berdasarkan
Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana, menyebutkan :
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”
Upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a
Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang
menyebutkan :
“Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara ini diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan”
31
Keadaan baru sebagaimana dimaksud dalam pasal diatas adalah novum atau bukti
baru. dimana novum ini merupakan bukti yang dapat meringankan atau
membebaskan terdakwa dari tuduhan yang didakwakan kepadanya. Pasal 263 ayat
(2) huruf a Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana ini
yang menjadikan dasar bagi Hakim Mahkamah Agung menerima atau menolak
permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali. Apabila
hakim menolak permohonan peninjauan kembali, maka Hakim Mahkamah Agung
akan memberikan alasan penolakan permohonan peninjauan kembali yang
diajukan. Bagi terpidana dengan ditemukanya fakta baru ini dimana bahwa polisi
telah melakukan kesalahan dalam penangkapannya, maka fakta ini dapat
digunakan sebagai bukti baru atau novum. Novum tersebut dapat dijadikan alasan
kuat bagi terpidana ini untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung agar segera dibebaskan. Sebab apabila bukti baru
tersebut diketahui sebelum putusan majelis hakim dijatuhkan maka akan
mengubah isi dari putusan tersebut secara signifikan.
32
BAB III
Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum yuridis (normatif) dengan metode pendekatan perundang-undangan,
metode pendekatan kasus (Case Approach ) serta metode pendekatan
analitis.Penelitian hukum doktrinal (normatif) adalah penelitian yang difokuskan
untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum
positif.27 Pendekatan perundang-undangan (statute approach) di sini berarti
peneliti melihat hukum sebagai system tertutup yang memiliki sifat-sifat
comprehensive (norma-norma hukum yang ada terkait satu dengan lainnya), all
inclusive (norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum
yang ada sehingga tidak ada kekurangan hukum) serta systematic ( di samping
bertautan antara yang satu dengan yang lain, norma hukum tersebut harus tersusun
secara hierarkis), sedangkan pendekatan kasus (Case Approach) di sini bertujuan
untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan
dalam praktik hukum, terutama kasus-kasus yang telah diputus oleh pengadilan.
Kasus tersebut dapat dipelajari untuk mendapat gambaran tentang dampak
dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum.jelasin
metode pendekatan perundang-undangan.
27Johny Ibrahim, 2008,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media,
Malang, hlm 294.
33
Pendekatan analitis di sini berfungsi untuk mengetahui makna yang
dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan
secara konsepsional sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan
putusan-putusan hukum.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Pendekatan Perundang-Undangan dimana dalam Perundang-Undangan ini
terdapat tiga kegiatan pokok, yaitu; pertama, penetapan kriteria identifikasi untuk
menyeleksi norma-norma yang dimasukkan sebagai norma hukum positif dan
norma-norma yang dianggap sebagai norma sosial (nonhukum). Selanjutnya
adalah melakukan pengumpulan norma-norma yang sudah diidentifikasikan
sebagai norma hukum tersebut, dan akhirnya dilakukan pengorganisasian norma-
norma yang sudah diidentifikasikan dan dikumpulkan itu ke dalam suatu system
yang komprehensif (menyeluruh).28Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa
penelitian ini bersifat Preskriptif, dimana penelitian ini menganalisis persoalan
hukum dengan aturan yang berlaku dan cara mengoperasionalkan aturan tersebut
dalam peristiwa hukum.29
3. Sumber Data
Sumber bahan penulisan karya ilmiah ini adalah bahan hukum sekunder,
yaitu bahan hukum yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan
dokumentasi, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang
28 Rony Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan
Ketiga, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 13 29Peter Mahmud Marzuki, 2010,Penelitian Hukum, Kencara Media Group, Jakarta, hlm 22
34
sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi yang biasanya
disediakan di perpustakaan, atau milik pribadi peneliti.
Dari bahan hukum sekunder tersebut akan dibagi dan diuraikan ke
dalam tiga bagian yaitu :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat. Bahan hukum primer
terdiri atas peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, catatan resmi, lembar
negara penjelasan, risalah, putusan hakim dan yurisprudensi.30
1. Putusan Mahkamah Agung No. 90 PK/PID B/2008
2. Putusan Negeri Jombang No. 49/PID B/2008/PN.JMB
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari pustaka dibidang ilmu hukum,
penelitian di bidang ilmu hukum, jurnal hukum, artikel ilmiah, laporan hukum,
berita dan semua publikasi baik dari media cetak maupun elektronik.
4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua metode,
yaitu metode kepustakaan dan metode dokumenter. Metode kepustakaan di sini
adalah suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran terhadap
bahan pustaka (literatur, hasil penelitian, majalah ilmiah, jurnal ilmiah, dan
sebagainya), sedangkan metode dokumenter adalah suatu cara pengumpulan
30Ibid., hlm. 141
35
bahan dengan menelaah terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun
nonpemerintah (putusan pengadilan, publikasi, dan sebagainya).
5. Metode Penyajian Data
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang tersusun
secara sistematis, artinya data sekunder yang diperoleh akan dihubungkan satu
dengan yang lain disesuaikan dengan permasalahan yang diteliti, sehingga secara
keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh sesuai dengan kebutuhan
penelitian.
6. Metode Analisis Data
Dalam penelitian hukum doktrinal (normatif) ini yang digunakan adalah
logika deduktif melalui metode analisis normatif kualitatif. Metode analisis
normatif merupakan cara menginterpretasikan dan mendiskusikan bahan hasil
penelitian berdasarkan pada pengertian hukum, norma hukum, teori hukum serta
doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
36
BAB IV
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
A. Data Sekunder
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap Putusan
Mahkamah Agung Nomor 90 PK/PID/2008 mengenai Putusan Bebas Karena
Error in Persona dan dengan melakukan studi pustaka yang berhubungan dengan
obyek penelitian maka dapat diperoleh hasil penelitian sebagai berikut :
1. Duduk Perkara
Memeriksa perkara pidana peninjauan kembali telah memutuskan dalam
perkara Terpidana, tempat lahir Jombang, tanggal lahir 13 Desember 1988, umur
19 tahun, jenis kelamin laki-laki, kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Dusun
Ngemplak, Desa Pagerwojo, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang, agama
Islam, pekerjaan swasta.
Pada awalnya ditemukan sesosok mayat yang ditemukan warga disekitar
kebun tebu di Dusun Braan. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan
penyidikTerdakwa mempunyai hubungan khusus (homo) dengan Sdr. IC als.
Kemat, yang sebelumnya Sdr. IC als. Kemat sudah mempunyai hubungan khusus
(homo) bersama korban MA dan hubungannya putus karena korban mempunyai
cowok lagi yang lebih tampan dari Sdr. IC als. Kemat, selanjutnya pada hari dan
tanggal tidak dapat diingat 3 hari sebelum kejadian di Salon Ayu Sdr. IC als.
Kemat menyampaikan niatnya kepada Terdakwa untuk menghabisi korban MA,
karena Sdr. IC als. Kemat sakit hati / cemburu dengan korban yang telah
37
mempunyai cowok lebih ganteng, dan niat tersebut disetujui oleh Terdakwa
(pasangan homo Sdr. IC als. Kemat yang baru dan telah berjalan selama 3 bulan).
Kemudian ditentukannya hari pelaksanaannya yaitu hari Sabtu malam
Minggu tanggal 22 September 2007 ; kemudian Terdakwa bersama ICdengan
membawa mobil mengajak korban untuk pulang bersama. Namun korban di bawa
ke rumah kosong yang telah ditentukan.Sdr. IC als. Kemat. Di tempat itu
Terdakwa dan rekannya memukul kepala MA hingga pingsan dan membawa MA
ke kebun tebu di desa Braan selanjutnya Terdakwa bersama Sdr. IC als. Kemat
membuang mayat di kebun tebu tersebut, selanjutnya Sdr. IC als. Kemat menusuk
dan merobek perut korban hingga ususnya ke luar terburai dengan pisau untuk
memastikan korban telah meninggal dunia kemudian Terdakwa mengambil oli
bekas yang berada di mobil kemudian oli tersebut disiramkan oleh Sdr. IC als.
Kemat ke muka korban dan menutupinya dengan daun tebu untuk menghilangkan
identitas korban. Berdasarkan hal tersebut Terdakwa di Pidana 12 tahun penjara
oleh Pengadilan Negeri Jombang. Kemudian muncul pengakuan VIH alias Ryan
yang mengaku membunuh MA dan membuang mayatnya di belakang rumah
orang tua VIH. Berdasarkan hal tersebut dilakukan tes DNA yang sebelumnya
tidak dilakukan penyidik. Kemudian terbukti bahwa mayat di kebun tebu
bukanlah MA namun FS. Kemudian DEP mengajukan peninjauan kembali
berdasarkan novum ke Mahkamah Agung.
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
1) Kesatu
38
Penuntut Umum mendakwa dengan bentuk dakwaan alternatif. Perbuatan
pengertian kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP.
Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP tidak mengatur pengertian istilah kekhilafan
Hakim atau kekeliruan yang nyata. Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP hanya
mengatur mengenai rumusan umum dari salah satu dasar atau alasan pengajuan
permohonan peninjauan kembali. Pengertian umum menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta pada halaman 504, "
khilaf “ mempunyai pengertian " keliru / salah ", sedangkan " kekhilafan "
mempunyai pengertian " kekeliruan / kesalahan ". Dan selanjutnya " kekhilafan "
yang nyata diartikan dengan " kekeliruan / kesalahan " yang menyolok dan serius ;
Pengertian tersebut kemudian diintrodusir ke dalam pengertian kekhilafan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP, di mana
pengertian " kekhilafan yang nyata " dalam praktek hukum dimaksudkan sebagai
salah atau cacat dalam pertimbangan atau perbuatan (an error or defect of
judgment or conduct). Atau, dengan kata lain, tidak sempurna pertimbangan
putusan yang diambil (incomplete judgment). Atau juga diartikan bahwa putusan
atau tindakan yang diambil atau diartikan atau dilakukan, menyimpang dari
ketentuan yang semestinya (any deviation).Bahkan pertimbangan yang ringkas
(shortcoming) yang tidak cermat dan menyeluruh, dikualifikasikan sebagai
putusan yang mengandung kekhilafan. Oleh karena itu, kurang cermat dan kurang
hati-hati mempertimbangkan semua faktor dan aspek yang relevan dan urgen
dikualifikasikan sebagai kekhilafan yang mengabaikan fungsi mengadili (under
53
general liability principle of judiciary), kekhilafan adalah pelanggaran atas
implementasi hukum yang mesti dipertimbangkan dan diterapkan dalam
memberikan putusan dalam suatu perkara ; Berkaitan dengan kekhilafan yang
dilakukan oleh Judex Facti dalam perkara a quo, hukum acara pidana yang
merupakan undang-undang adalah bersifat imperatif atau memaksa, sehingga
tidak dapatditafsirkan lain. Putusan Mahkamah Agung adalah merupakan suatu
panutan untuk kepentingan peradilan di bawahnya. Apabila keputusan Judex Facti
tersebut menyimpang, maka kepastian hukum yang ada akan menjadi rancu.
Kekhilafan yang dilakukan oleh Judex Facti dalam perkara a quo adalah sebagai
berikut :
Tidak dipenuhinya batas minimal pembuktian sebagaimana diatur dalam
Pasal 183 KUHAP. Tidak ada saksi fakta dalam perkara a quo, saksi yang
diajukan adalah saksi De Auditu, saksi Verbalisen (saksi Polisi Pemeriksa Perkara
/ Penyidik) dan saksi mahkota yang bertentangan dengan hukum pembuktian.
Saksi-saksi yang dihadirkan di muka persidangan pada tingkat pertama
yang terdiri dari IH, S, MJ, AW, Ksyn, BH, Spd, BS, AHS, H. Dj, AW, ICadalah
sebagai saksi untuk memberikan keterangan terkait dengan berkas perkara tindak
pidana pembunuhan berencana terhadap korban MA (yang ditemukan di kebun
tebu Desa Braan, Kabupaten Jombang). Apabila Judex Facti mencermati catatan
sidang mengenai keterangan paras saksi tersebut di atas, jelas bahwa pengetahuan
atas pernyataan yang mereka sampaikan di atas tidak diperoleh dari
pengetahuannya sendiri (de auditu), tidak ada saksi fakta yang mampu
menjelaskan cara kejahatan, waktu kejahatan dan tempat kejahatan yang tepat
54
dilakukan oleh Pemohon PK. Pengajuan saksi Verbalisen adalah dagelan gaya
kampung yang dilakukan sekedaruntuk memenuhi syarat formil jumlah saksi,
apalagi dalam perkara ini terungkap bahwa baik Pemohon Peninjauan Kembali
maupun IC alias Kemat dalam perkara ini mengalami penyiksaan untukmengaku
sebagai pelaku pembunuhan sampai muncul pemeriksaansaksi mahkota dengan
memanfaatkan kebingungan dan ketidaktahuan hukum dari masing-masing
pelaku.
Jelas bahwa Judex Facti telah melanggar ketentuan Pasal 1 ayat (26)
tentang Klasifikasi Seorang Saksi sebagai orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri ;
Keterangan saksi-saksi tersebut di atas juga tidak bersesuaian antara satu dengan
lainnya sehingga apabila Judex Facti mengikuti sidang dengan cermat, maka
Judex Facti tidak akan sampai pada kesimpulan bahwa Pemohon Peninjauan
Kembali bersalah dan akhirnya dihukum dengan pidana penjara selama 12 (dua
belas) tahun.
Dalam menjatuhkan putusan Majelis Hakim Perkara No.
48/Pid.B/2008/PN.JMB., Judex Facti hanya mendasarkan pada keterangan
Terdakwa yang diberikan karena diintimidasi dan disiksa dan hasil Visum Et
Repertum Jenazah atas nama MANo. 371/04/415.39/X/2007 tertanggal 25
Oktober 2007 oleh Dr. Rudy Prayudiya Ariyanto Dokter Bedah pada Rumah Sakit
Umum Jombang dengan hasil pemeriksaan tanggal 1 Oktober 2007 jam 10.00
dengan hasil sebagai berikut :
55
A. Pemeriksaan Luar :
Pakaian : Tanpa menggunakan pakaian ;
Tinggi Badan : 160 Cm ;
Kepala : Rambut hitam, gigi tonggos ;
Leher : Tidak ada kelainan ;
Perut : Ada robekan 5 (lima) Cm di atas pusar, 1 (satu) Cm dari garis tengah
tubuh berbentuk ellips dengansudut tajam di kedua sudutnya dengan ukuran 2 Cm
x 4 Cm, tidak didapatkan jembatan jaringan,didapatkan usus yang terburai dari
lubang robekan dan terjadi pembusukan pada seluruh tubuh ;
B. Pemeriksaan Dalam :
Sebagian usus besar ke luar dari rongga perut lewat lubang (robekan) yang
terdapat pada dinding perut dan sebagian besar organ dalam mengalami
pembusukan ;
C. Kesimpulan :
Tidak dapat disangkal bahwa korban meninggal dunia karena pendarahan
rongga perut , karena robekan dinding perut sebagai akibat persentuhan dengan
benda tajam tanpa disertai denganalat bukti lainnya sebagaimana diatur dalam
Pasal 184 KUHAP. Hasil Visum Et Repertum tersebut terdapat beberapa
ketidaksesuaian antara lain:
Keterangan yang diberikan oleh kakak kandung MA yang berinisial AW yang
mengatakan MA memiliki gigi tulang sebelah kiri agak keluar (gingsul) tetapi
berdasarkan hasil Visum Et Repertum No. 371/04/415.39/X/2007 tertanggal 25
Oktober 2007oleh Dr. Rudy Prayudiya Ariyanto menyatakan hasil pemeriksaan
56
luar terhadap Kepala : gigi tonggos, adalah suatu pengetahun yang bersifat
umum (notoir feiten) bahwa keadaan antara gigi tulang sebelah kiri agak keluar
(gingsul) dan gigi tonggos adalah berbeda, tonggos adalah bentuk gigi yang
cenderung maju ke depan, sedangkan gingsul adalah gigi tulang yang lebih
menonjol dari gigi lainnya pada barisan depan gigi manusia.
Terhadap hasil pemeriksaan dipersidangan Pemohon Peninjauan Kembali
mengatakan MS memukul kepala korban bagian belakang dari arah samping
korban yang mengakibatkan korban jatuh ke lantai tidak sadarkan diri tetapi
berdasarkan hasil Visum Et Repertum No. 371/04/415.39/X/2007 tertanggal 25
Oktober 2007 oleh Dr. Rudy Prayudiya Ariyanto menyatakan hasil
pemeriksaan luar leher : tidak ada kelainan, terdapat pertentangan terhadap
hasil Visum yang menyatakantidak ada kelainan dan fakta dipersidangan leher
dipukul dengan balok kayu yang seharusnya akan timbul luka atau patah tulang
terhadap leher tersebut sebagai akibat dipukul dengan balok kayu ;
Terhadap hasil Visum Et Repertum pemeriksaan luar dinyatakan " pada bagian
perut ada robekan 5 (lima) Cm di atas pusar, 1 (satu) Cm dari garis tengah
tubuh berbentuk ellips dengan sudut tajam di kedua sudutnya dengan ukuran 2
Cm x 4 Cm .... dst ", apabila dikaitkan dengan barang bukti berupa pisau dapur
yang disita dari rumah IC alias Kemat maka luka berbentuk ellips tersebut pada
Visum Et Repertum adalah bukan karena ditusuk dengan pisau dapur yang
memiliki satu sudut tajam, lebih-lebih terhadap pisau dapur yang dijadikan
barang bukti tersebut tidak pernah diperiksa forensik apakah terdapat bekas-
bekas darah yang identik dengan darah korban ;
57
Dari fakta-fakta tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil Visum Et
Repertum No. 371/04/415.39/X/2007 tertanggal 25 Oktober 2007 oleh Dr. Rudy
Prayudiya Ariyanto bertentangan dengan keterangan-keterangan yang
disampaikan oleh saksi AW dan saksi IC alias Kemat, yang seharusnya dicermati
oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara No. 49/Pid.B/2008/PN.JMB.
sehingga dapat dipastikan. Jadi tidak satupun alat bukti yang diajukan dalam
persidangan ini memiliki persesuaian satusama lain, sehingga kesimpulan Majelis
Hakim yang memeriksa perkara No. 49/Pid.B/2008/PN.JMB. yang telah
menghukum Pemohon Peninjauan Kembali adalah keliru. Perkara No.
49/Pid.B/2008/PN.JMB telah diputus dengan tidak memenuhi batas minimum
pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP.
7. Putusan Mankamah Agung
1) Pertimbangan Hukum Hakim
Alasan peninjauan kembali tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti
(Pengadilan Negeri) salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai
berikut :
a. Adanya bukti-bukti PK.4, PK.13 dan PK.14, yang menjelaskan bahwa korban
mati yang digali dari kebun rumah VIH alias Riyan ternyata dari hasil sample
darah adalah anak pasangan DM dan MJ yang berinisial MA;
b. Korban yang di kebun tebu adalah anak dari pasangan Ny. S yang berinisial FS.
c. Terdakwa didakwa telah melakukan pembunuhan terhadap MA sedangkan
dalam kasus perkara itu kemudian ditemukan tersangka yang mengakui
58
bernama VIH alias Riyan adalah pelakunya, sebagaimana terangkum dalam
bukti-bukti (PK.6, PK.7 dan PK.8) ;
d. Sesuai bukti-bukti PK.9, PK.10, PK11 dan PK.12 ternyata mayat yang
ditemukan oleh masyarakat teridentifikasi berinisial MA sebagai korban
pembunuhan VIH alias Riyan, sedangkan kemudian ternyata korban mati yang
di kebun tebu adalah FS als. Antonius ” ;
Dengan demikian jika Terpidana DEP telah diperiksa dan dihukum pidana serta
berkekuatan hukum tetap sebagai “telah membunuh MA” padahal ternyata yang
diketemukan di kebun tebu tersebut adalah mayat “ FS als. Antonius “ ;
Dapat disimpulkan bahwa dalam kasus a quo telah terjadi error in subyektif
kesalahan Terdakwanya dan terjadi kesalahan menangkap ;
Dengan adanya novum tersebut maka Terpidana harus dinyatakan tidak terbukti
dan karenanya harus dibebaskan. Oleh karena alasan peninjauan kembali yang
mendasarkan atas adanya novum dapat dibenarkan maka pertimbangan tentang
alasan peninjauan kembali selebihnya dipandang tidakrelevan lagi ;
Alasan peninjauan kembali karena kekeliruan nyata dari Judex Facti (Pengadilan
Negeri) adalah sebagai akibat dari alat-alat bukti yang ada dan diyakini cukup
dapat dijadikan dasar pemidanaan maka harus dipandang alasan tersebut tidak
dapat dibenarkan. Walaupun seolah-olah dengan adanya Novum tersebut, Judex
Facti (Pengadilan Negeri) telah salah menerapkan hukumpembuktian, karena
Judex Facti (Pengadilan Negeri) telah memeriksa dan mengadili perkara tersebut
sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan khususnya hukum pembuktian.
59
Berdasarkan tersebut di atas, permohonan peninjauan kembali harus dinyatakan
dapat dibenarkan, oleh karena itu berdasarkan Pasal 263 (2) jo. Pasal 266 ayat (2)
huruf b KUHAP terdapat cukup alasan untuk membatalkan putusan Pengadilan
Negeri Jombang No. 49/Pid.B/2008/PN.JMB.tanggal 8 Mei 2008 dan Mahkamah
Agung akan mengadili kembali perkara tersebut dengan amar seperti yang akan
disebutkan di bawah ini. Oleh karena permohonan peninjauan kembali dari
Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana dikabulkan dan Pemohon Peninjauan
Kembali / Terpidana dibebaskan dari segala dakwaan maka biaya perkara dalam
semua tingkat peradilan dibebankan kepada Negara.
Memperhatikan pasal-pasal dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, Undang-
Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan Peraturan Perundang-undangan lain yang
bersangkutan.
2) Amar Putusan Mahkamah Agung
M E N G A D I L I
Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali
/ Terpidana tersebut ;
Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jombang No. 49/Pid.B/2008/-
PN.JMB.tanggal 8 Mei 2008.
M E N G A D I L I K E M B A L I
60
1. Menyatakan Terpidana tersebut di atas tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan
Primair dan Subsidair ;
2. Membebaskan oleh karena itu kepada Terpidana dari segala dakwaan ;
3. Memulihkan hak Terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya ;
4. Memerintahkan agar Terpidana segera dikeluarkan dari tahanan, kecuali
Terpidana ditahan karena perkara lain ;
5. Menyatakan barang bukti berupa :
- 1 (satu) unit mobil Suzuki Cary warna biru No. Pol. L 1057 KD ;
- 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Jupiter Z warna merah No. Pol. S 4088 WJ ;
- 1 (satu) buah jaket parasit warna biru ;
- 1 (satu) buah switer hitam bergaris putih ;
- 1 (satu) buah celana jean warna hitam ;
- 1 (satu) buah ikat pinggang warna hitam ;
- 1 (satu) buah pisau dapur gagang kayu panjang 32 Cm ;
- 1 (satu) pasang sandal jepit warna biru ;
- 1 (satu) buah sandal jepit sebelah kanan warna hitam ;
- 1 (satu) buah batang kayu bekas bangunan ;
- 1 (satu) buah helm warna hitam kaca riben ;
Dikembalikan dari mana barang bukti tersebut disita ;
Membebankan biaya perkara dalam semua tingkat peradilan kepada Negara.
61
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan Pengadilan Negeri Jombang
dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan dengan melakukan studi
pustaka yang berhubungan dengan obyek penelitian penulis, maka dapat diperoleh
analisis data sebagai berikut :
1. Pe rtimbangan hukum hakim yang membebaskan terdakwa dalam
Putusan Mahkamah AgungNo. 90 PK/PID/2008.
Penegakan hukum merupakan upaya untuk mendapatkan kepastian
hukum, keadilan dan kemanfaatan. Di dalam Putusan Mahkamah Agung No. 90
PK/PID/2008 pada pokoknya terdapat 2 (dua) dasar hukum yang dipakai Majelis
Hakim Mahkamah Agung dalam membebaskan terdakwa.
1. Adanya peninjauan kembali
2. Error in Persona
Ad. 1. Adanya Peninjauan Kembali
Pengajuan PK dalam tenggang waktu 180 hari sesudah penetapan/putusan
pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap atau sejak diketemukan bukti
adanya kebohongan/bukti baru, dan bila alasan Pemohon PK berdasarkan bukti
baru (Novum), maka bukti baru tersebut dinyatakan di bawah sumpah dan
disahkan oleh pejabat yang berweenang.
Mahkamah Agung merupakan badan peradilan yang fungsinya adalah
menilai suatu penerapan hukum yang diterapkan peradilan di bawahnya.
62
Mahkamah Agung merupakan badan peradilan yang menerima upaya hukum yang
berupa kasasi dan peninjauan kembali. Di dalam putusan Mahkamah Agung No.
90 PK/PID/2008 merupakan upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan
oleh pemohon (Terdakwa DEP). Syarat peninjauan kembali yang diatur dalam
Pasal 263 ayat (2) huruf a Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana yang menyebutkan :
“Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara ini diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan”
Apabila dihubungkan dengan putusan Mahkamah Agung No.90 PK/PID/2008,
bahwa syarat ada nya bukti baru sudah terpenuhi. Pemohon peninjauaan kembali
mengajukan novum (bukti baru) berupa :
1. Adanya pengakuan VIH
Bukti baru yang diajukan ini adalah pengakuan dari pelaku tindak pidana
yang sebenarnya, dimana VIH mengakui telah membunuh MA dan
mengubur mayatnya di belakang rumah orang tua VIH. Dari pengakuan itu
bertentangan dengan dakwaan yang diajukan Penuntut Umum Pengadilan
Negeri Jombang kepada Terdakwa DEP, yang mendakwa Terdakwa telah
turut serta membunuh MA yang mayatnya dibuang di kebun tebu Desa
Braan Jombang. Berdasarkan hal tersebut, maka pengakuan VIH tersebut
dianggap bukti baru.
2. Tes DNA mayat yang dikubur di belakang rumah orang tua VIH
63
Bukti baru yang berupa pengakuan dari VIH itu menjadi dasar
dilakukannya identifikasi mayat yang ada di belakang rumah orang tua
VIH oleh kedokteran forensik untuk membuktikan kebenaran mayat
tersebut adalah MA. Setelah dilakukan identifikasi, ternyata berdasarkan
surat hasil tes DNA No. Pol. : R/08012.D/DNA/VIII/2008/Biddokpol
tanggal 27 Agustus 2008 terbukti bahwa mayat yang ada di rumah orang
tua VIH berinisial MA.
3. Tes DNA mayat yang ada di kebun tebu Desa Braan Jombang
Berdasarkan tes DNA tersebut, maka mayat yang ada di kebun tebu Desa
Braan Jombang bukan mayat MA berdasarkan surat pemeriksaan DNA
No. R/08012.E/DNA/-IX/2008/Biddokpol tanggal 16 September 2008
bukan mayat MA namun mayat FS setelah dicocokan dengan keluarga FS
yang kehilangan anaknya sejak tahun 2008
Ad. 2 . Error in Persona
Putusan yang dijatuhkan hakim berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang No.8
Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”
Dari ketentuan Pasal 183 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut dapat diketahui bahwa adanya dua
alat bukti yang sah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bagi
seseorang tetapi dari alat-alat bukti yang sah itu hakim juga perlu memperoleh
64
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa telah
bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Sebaliknya adanya keyakinan pada
hakim saja tidak cukup apabila keyakinan tersebut tidak didukung oleh sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah adanya alat bukti diatur dalam Pasal 184 ayat
(1) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, adalah
f. Keterangan saksi g. Keterangan ahli h. Surat i. Petunjuk j. Keterangan terdakwa
Menurut Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril31,
“Dengan pembuktian ini lah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, para hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian”
Dengan adanya keterangan terdakwa, keterangan ahli berupa surat Visum
et Repertum dan saksi Verbalisant serta keyakinan hakim maka Hakim Pengadilan
Negeri Jombang menjatuhkan putusan Pidana Penjara dengan dasar hukum Pasal
193 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana,
yang menyebutkan :
“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”
31Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2010,Hukum Acara Pidana, Dalam Teori
dan Praktek, Cetakan Kedua,Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm 102
65
Dalam kasus DEP yang merupakan korban salah tangkap. Adanya novum yang
diajukan oleh pemohon peninjauan kembali dalam hal ini DEP. Hal terjadinya
kasus salah tangkap, maka hakim memiliki dasar hukum untuk membebaskan
korban salah tangkap. Rumusan itu dapat dilihat berdasarkan Pasal 191 ayat (1)
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, menyebutkan :
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”
Rumusan Pasal inilah yang digunakan Majelis Hakim Mahkamah Agung yang
yaitu memeriksa perkara No. 90 Pk/PID/2008. Setelah adanya bukti baru
(novum), berupa pengakuan VIH, pemeriksaan mayat melalui tes DNA mayat
yang ada di belakang rumah orang tua VIH, serta tes DNA mayat yang ada di
kebun tebu. Bukti baru (novum) itu menguatkan keyakinan majelis hakim agar
membebaskan DEP yang tidak bersalah.
2. Akibat hukum bagi penyidik dalam hal salah tangkap (error in persona)
dalam putusan Mahkamah AgungNo. 90 PK/PID/2008.
Berhubungan dengan adanya putusan bebas Mahkamah Agung tersebut,
maka terdapat kesalahan di dalam proses penyidikan dan penangkapan yang
dilakukan oleh team Penyidk Polri sehingga terjadi salah tangkap. Definisi korban
salah tangkap dapat ditemukan dalam Pasal 95 Undang-Undang No. 8 Tahun
1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan:
“Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”
66
Menurut M.Yahya Harahap32,
“Kekeliruan dalam penangkapan mengenai orangnya diistilahkan dengan disqualification in person yang berarti orang yang ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan, sedangkan orang yang ditangkap tersebut telah menjelaskan bahwa bukan dirinya yang dimaksud hendak ditangkap atau ditahan”
Sedangkan menurut Yurisprudensi dari Mahkamah Agung berdasarkan Putusan
Nomor. 89 KP/PID/2008 terdapat istilah lain tentang menangkap orang dan salah
mendakwa orang yang disebut sebagai error in subjectif. Tujuan peradilan pidana
adalah untuk memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak, peradilan pidana
dilakukan dengan prosedur yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan
yang mencakup semua batas-batas konstitusional dan berakhir pada proses
pemeriksaan di pengadilan.
Bagi penyidik yang melakukan salah tangkap, maka penyidik dapat dikenai :
1. Sanksi pidana
2. Sanksi administrasi
Ad.1. Sanksi Pidana
Pasal yang dapat dipakai untuk menjerat penyidik yang melakukan tindakan tidak
professional, dalam hal ini melakukan tindakan menyiksa atau menyakiti, yaitu
ada 2 (dua) :
1) Pasal 351 Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana
2) Pasal 335 Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana
32M.Yahya Harahap, 2004, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Sinar Grafika, Jakarta, hlm45
67
Pertama, Sanksi pidana diberikan kepada penyidik bila dalam hal ini ada
bukti yang dapat membuktikan bahwa penyidik pada saat melakukan pemeriksaan
melakukan tindakan yang bersifat menganiaya, menyakiti atau dalam hal ini
menerapkan sistem akusatur. Dalam Pasal 351 Undang-Undang No. 1 tahun 1946
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan :
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana
Bila dihubungkan dengan kasus DEP, maka pasal di atas sangat lah jelas, bila
memang terdapat tindakan penganiyaan terhadap DEP, maka penyidik yang
melakukan tindakan penganiayaan dapat dijerat dengan pasal diatas. Sistem
akusatur menempatkan tersangka sabagai objek, jadi penyidik menggunakan cara-
cara kekerasan untuk mendapatkan pengakuan dari Tersangka. Dalam kasus DEP,
di dalam putusan No. 90 PK/PID/2008, diakui oleh DEP mendapatkan tekanan
baik fisik maupun psikis, karena tidak tahan dengan siksaan yang diberikan
penyidik dan memanfaatkan ketidaktahuan hukum si tersangka, maka DEP
terpaksa mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya. Dalam hal tersebut maka
penyidik yang melakukan kekerasan dapat dikenai Pasal 351 KUHP mengenai
penganiayaan yang pada intinya penganiayaan diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan bulan. Dan apabila membuat luka-luka diancam
pidana lima tahun. Di dalam kasus DEP, penyidik yang memeriksa perkara
68
tersebut tidak mendapat tindakan sanksi pidana, karena belum ada bukti yang kuat
untuk menjerat para penyidik.
Kedua, penyidik dapat dijerat dengan Pasal 335 Undang-Undang No.1
Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menyebutkan :
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah ; 1. Barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya
melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain
2. Barangsiapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis
(2) Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas aduan orang yang terkena Bila dihubungkan dengan kasus yang menimpa DEP, maka penyidik dapat
dikenakan pasal diatas. Karena apabila terbukti bahwa terdapat rekayasa, atau
penyidik menekan DEP, menyuruh DEP untuk melakukan sesuatu dalam hal ini
mengakui dengan cara paksa untuk melakukan tindakan pidana yang tidak
diperbuat, maka perbuatan penyidik tersebut dapat disebut perbuatan yang
memaksa orang lain melakukan sesuatu. Namun bila dilihat lagi pasal tersebut
diatas. Ayat (2) dalam pasal 335 KUHP tersebut besifat pengaduan yang dapat
diajukan oleh orang yang terkena, dalam hal ini DEP. Jadi apabila tidak diadukan
maka penyidik tidak dapat dijerat Pasal 335 KUHP. Dalam kasus yang menimpa
DEP. Korban salah tangkap, yaitu DEP tidak melakukan pengaduan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 335 KUHP. Jadi penyidik yang memeriksa perkara DEP
tidak dapat dijerat oleh PAsal 335 KUHP. Penyidik POLRI memang dalam
bertugas ada aturan yang memberi keleluasan dalam bertindak, artinya polisi
69
dalam hal tertentu mempunyai alasan pembenar. Namun dalam kasus yang
menimpa DEP, dimana sistem akusatur sudah tidak diutamakan, dan pengakuan
terdakwa bukan lagi dalam urutan pertama di dalam KUHAP, namun sudah ada di
dalam urutan kelima di dalam KUHAP. Hal itu berarti pengakuan atau keterangan
terdakwa sudah tidak diutamakan lagi. Serta dengan adanya HAM, maka cara-
cara kekerasan tidak dapat dibenarkan lagi, jadi tidak ada alasan pembenar di
dalam tindakan penganiayaan yang dengan tujuan untuk memperoleh pengakuan
dari pelaku tindak pidana semata. Bila dihubungkan dengan kasus DEP maka
cara-cara yang dilakukan penyidik untuk memperoleh pengakuan yang diingkan
penyidik dengan cara-cara penyiksaan tidak dapat dibenarkan.
Ad. 2. Sanksi Administratif
Dalam Perkara Nomor 90 PK/PID B/2008, penyidik Polri telah
melanggar Pasal 14 huruf g dan h Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian, menyebutkan:
1. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya
2. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
Serta Penyidik telah mengabaikan Pasal 15 ayat (1) huruf h dan j Undang-Undang
No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, menyebutkan:
1. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; 2. Mencari keterangan dan barang bukti;
70
Maksud ayat diatas yaitu penyidik mencari keterangan yang sebenarnya mengenai
identitas pelaku dan juga identitas korban. Menurut Koesparmono Irsan dan
Rony33, bahwa :
“Menentukan identitas korban, seperti halnya menentukan identitas pelaku kejahatan merupakan bagian terpenting dari suatu penyidikan. Dengan ditentukannya didentitas mayat korban dengan tepat, dapat dihindari kekeliruan dalam proses peradilan (Error in Persona), atau salah tangkap”
Oleh sebab itu penyidik pelanggar dapat dikenakan sanksi kode etik kepolisian.
Suatu landasan rasional dimana pekerjaan investigasi disaat ini diletakan secara
benar adalah dengan metode ilmiah. Penyidik tidak bisa hanya mengandalkan
mata telanjang dan identifikasi yang bersifat sekunder saja. Sebagai seorang
penyidik Kepolisiaan mempunyai wewenang, menurut Pasal 7 ayat (1) butir h
Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, menyebutkan :
”Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara” Pasal 133 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana, menyebutkan :
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya”
Pasal 133 ayat (2) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana, menyebutkan :
“Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas
33Koesparnomo Irsan dan Rony, 2007,Ilmu kedokteran Kehakiman, Universitas
Pembangunan Nasional “veteran”, Jakarta, hlm 82
71
untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat”
Dengan kata lain, menurut pasal tersebut diatas, penyidik diberi kewenangan
untuk mengajukan permintaan keterangan ahli kepada seorang ahli
kedokterankehakiman atau dokter lainnya, misalnya ahli sidik jari (daktiloskopi),
ahli kedokteran gigi (ontology), pathologi, ahli DNA atau ahli-ahli lainnya untuk
kepentingan peradilan. Dalam hal pengidentifikasian terhadap mayat yang sudah
dalam keadaan yang rusak berat harus dilakukan tes DNA oleh ahli forensik.
Karena keakurasian tes DNA adalah mendekati 100% 34. Pada akhirnya dapat
dipastikan siapakah sosok mayat tersebut.
Dalam hal terjadi salah tangkap dikarenakan kurang berfungsinya Rule Of
Law, yaitu Supremacy Of Law, Equality Before The Law, Due Process Of Law35.
Dalam suatu Negara memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Supremacy Of Law merujuk pada adanya pengakuan normative dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. 2. Equality Before The Law mempersyaratkan mempersamakan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yaitu diakui secara normative dan dilaksanakan secara empiric. tidak boleh ada bentuk diskriminasi dalam bentuk apapun. 3. Due Process Of Law merupakan rambu yang mempersyaratkan seluruh organ dalam Negara termasuk pemerintahan bergerak atas perundang-undangan berlaku legalitas.
Menurut Hibnu Nugroho,36
“Untuk dapat mencapai tujuan diketemukannya kebenaran materiil dalam suatu kasus maka sangat diperlukan adanya integralisasi dari masing-
34Djaja S Atmaja, Evi Untoro, Peranan Analisis DNA Pada Penanganan Forensik. 2007,
FKUI, 35 Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta,
Liberty, hlm 22 36Nugroho, Hibnu, 2010,Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia, Universitas
Negeri Diponegoro, Semarang, hlm 27
72
masing sub sistem penegak hukum yang ada. Adanya komitmen yang selaras untuk melakukan penegakan hukum yang benar akan melahirkan suatu putusan yang tidak menciderai rasa keadilan masyarakat”
Menurut Adami Chazawi37,
“Kebenaran materiil dapat ditemukan apabila para aktor penegak hukum menjalankan fungsinya sesuai dengan asas-asas hukum dan norma hukum acara pidana”
Dalam kasus salah tangkap pembunuhan Asrori, ketiga ciri utama Rule Of Law ini
ternodai karena kesimpulan yang diperoleh penyidik saat itu hanya dari
pengakuan tersangka, karena pengakuan tersebut diberi di bawah “tekanan”
sehingga yang diduga sebagai pelaku terpaksa mengakui perbuatan yang tidak
dilakukannya. Ini berarti asas akusatur yang dianut KUHAP telah dilanggar. Asas
akusatur ini menempatkan seorang tersangka dipandang sebagai subjek sejajar
dengan pemeriksa, yang mempunyai hak diam, atau hak menyangkal tuduhan
penyidik38. Padahal asas praduga tak bersalah yang menempatkan seorang
tersangka tetap dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang
memperoleh kekuatan hukum tetap itu menjamin bahwa tersangka harus tetap
dijaga nama baik dan hak-hak asasinya.
Menurut Hibnu Nugroho39,
Dalam tahap ini peran penyidik untuk dapat menggali keterangan para saksi dan terdakwa sangat diperlukan, sebab cara-cara yang dipergunakan tidaklah boleh melanggar ketentuan HAM”
37Adami Chazawi, 2010,Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan
Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 137 38 Andi Hamzah, 2008,Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm 67 39Hibnu Nugroho, 2010,Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia, Universitas
Negeri Diponegoro, Semarang, hlm28
73
Karena lebih baik membebaskan sepuluh orang yang bersalah daripada
menghukum satu orang yang tidak bersalah.
Dengan adanya salah tangkap maka harus ada akibat hukum dari
perbuatan yang dilakukan Penyidik Polri berupa sanksi yang tercantum di dalam
Pasal 21 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Indonesia No. 14 Tahun 2011
Tentang Kode Etik Kepolisian, yang menyebutkan :
Anggota Polri yang dinyatakan sebagai Pelanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dikenakan sanksi Pelanggaran KEPP berupa: h) Perilaku Pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela; i) Kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan Sidang
KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan;
j) Kewajiban Pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi, sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan;
k) Dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
l) Dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
m) Dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun; dan/atau
n) PTDH sebagai anggota Polri.
Bila dihubungkan dengan kasus No. 90 PK/PID/2008, kelima belas penyidik di
pindah tugaskan, namun tidak secara rinci dijelaskan sanksi tersebut. Serta
atasannya dikenakan sanksi tidak boleh melakukan penyidikan selama 2 tahun dan
dipindahtugaskan.
74
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan diatas, penulis mencoba merumuskan
beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Simpulan
[1] Bahwa terhadap pertimbangan hukum majelis hakim Mahkamah
Agung. Maka harus terdapat alas an peninjauan kembali yaitu berupa
bukti baru (novum) serta adanya Error in Persona
a. Berdasarkan novum (bukti baru) tersebut maka terpidana
DEPmengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan
kembali, mengingat Putusan Pengadilan Negeri Jombang telah
berkekuatan hukum tetap.
b. Berdasarkan novum yang diajukan pemohon peninjauan kembali
maka Mahkamah Agung menerima permohonan peninjauan
kembali dan menjatuhkan putusan bebas Terpidana berdasarkan
Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana.
[2] Dalam terjadi salah tangkap, maka penyidik yang melakukan
pemeriksaan terhadap kasus DEP dapat dikenakan sanksi, yaitu :
a. Sanksi Pidana
Pasal yang dikenakan kepada penyidik yang memeriksa perkara
DEP dapat dijerat dengan Pasal 335 KUHP karena dengan memaksa
menyuruh DEP untuk mengakui perbuatan yang tidak dilakukan
75
DEP dan Pasal 351 tentang penganiayaan yang dilakukan penyidik
POLRI bila memang dapat dibuktikan unsur penganiayaan yang
dilakukan penyidik.
b. Sanksi Administratif
Berdasarkan Error in Persona (salah tangkap) yang dilakukan
Penyidik Polri karena telah mengabaikan perintah undang-undang,
maka Penyidik Polri yang memeriksa perkara Terpidana dikenakan
sanksi yang tercantum di dalam Pasal 21 ayat (1) Peraturan Kepala
Kepolisian Indonesia No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik
Kepolisian.
2. Saran
Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan diatas, meskipun masih
sederhana. penulis mencoba merumuskan beberapa saran dengan harapan dapat
memberikan masukan yang positif, antara lain :
[1] Hakim dalam menetapkan putusan terhadap suatu perkara pidana harus
lebih dulu mempunyai keyakinan akan keadaan yang sesungguhnya
mengenai suatu perkara dan memperhatikan kebenaran alat bukti. Oleh
karena itu faktor ketelitian, kehati-hatian, dan kecermatan diperlukan
agar dapat memberikan suatu putusan pidana yang benar dari keadaan
yang sesungguhnya.
[2] Dalam proses penyidikan, kiranya Penyidik Polri bersikap professional
dan menerapkan penyidikan berdasarkan peraturan yang berlaku dan
hukum acara pidana serta kode etik kepolisian. Penyidik tidak
76
memberikan tekanan kepada tersangka sehingga tersangka mengakui
hal yang tidak dilakukannya.
[3] Dalam proses pemeriksaan tersangka, kiranya perlu diperhatikan hak-
hak dari tersangka, bahwa ada asas praduga tak bersalah dan perlu
didampingi penasihat hukum untuk menghindari penyidik melakukan
sistem inkuisitur terhadap tersangka.
[4] Perlunya kerjasama antar institusi penegak hukum dan sanksi bagi
pelanggar yang melanggar kode etik atau peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
77
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, Djaja S, Evi Untoro, 2007,Peranan Analisis DNA Pada Penanganan Forensik. FKUI.
Chazawi, Adami, 2010,Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana,
Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat, Jakarta, Sinar Grafika
Harahap,M.Yahya,2004, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP,
Sinar Grafika. ________________, 2005,Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali; Jakarta, Sinar Grafika
Hamzah, Andi,2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi kedua, Jakarta. Sinar
Grafika Ibrahim, Johny, 2008, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif , Malang,
Bayu Media Irsan, Koesparnomo dan Rony, 2007, Ilmu kedokteran Kehakiman, Jakarta,
Universitas Pembangunan Nasional “veteran” Kaligis, O.C. 2006, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Tersangka,
Terdakwa, dan Terpidana,Bandung, P.T Alumni Kansil. C.S.T. 2009. Kamus Istilah Aneka Hukum. Jakarta. Jala Permata Aksara Makarao, Mohammad Taufik dan Suhasril, 2010, Hukum Acara Pidana, Dalam
Teori dan Praktek, Cetakan Kedua, Jakarta, Ghalia Indonesia Marpaung, Leden, 1995,Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua.
Jakarta, Sinar Grafika. Marzuki, Peter Mahmud, 2010,Penelitian Hukum, Jakarta, Kencara Media Group
Mulyadi, Lilik, 2007, Hukum Acara Pidana Normatif,Teoritis,Praktik Dan Permasalahannya,Bandung, P.T Alumni
Muladi, 2002, Kapita Selekta Hukum Peradilan Pidana,Semarang, UNDIP Nugroho, Hibnu, 2010, Bunga Rampai Penegakan Hukum Di
Indonesia,Semarang,Universitas Negeri Diponegoro
78
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, 2010, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana Dan Yurisprudensi,Jakarta,Sinar Grafika Poernomo, Bambang, 1986, Pola Teori dan Azaz Umum Hukum Acara Pidana,
Yogyakarta, Liberty Prakoso, Djoko, 1985,Kedudukan Justisiabel Di Dalam KUHAP,Jakarta, Ghalia
Indonesia Ranoenimihardja, R. Atang, 1976, Hukum Acara Pidana, Tarsito Bandung Rusli, Muhammad,2007, Hukum Acara Pidan Kotemporer, Jakarta, P.T Citra
Aditya Bakti Salam, Moch Faisal, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek,
Bandung, Mandar Maju Sasongko, Hari dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara
Pidana,Bandung, Mandar Maju Nicholas Simanjutak, 2009, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum,
Bogor, Ghalia Indonesia
Soedirjo, 1985. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana,Jakarta,CV Akademika
Jakarta,Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia R. Soeparmono, 2002, Keterangan Ahli Visum Et Repertum Dalam Aspek Hukum
Acara Pidana, Bandung, Mandar Maju Peraturan Perundang -undangan :
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Wacana Intelektual
________, Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
_________, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik
Indonesia _________, Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No 14 Tahun 2011
Tentang Kode Etik Kepolisian
79
Lain-lain : Putusan Mahkamah Agung Nomor 49 PK/ PID B/ 2008 Putusan Pengadilan Negeri Jombang No 49/ PID B/ 2008/ PN.JMB Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1992 tanggal 21 Oktober 1992 Departemen Pendidikan Nasional RI. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Edisi Ketiga, Cetakan Keempat, Balai Pustaka.