This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana terjadinya pencurian
kendaraan bermotor roda empat di daerah Jakarta serta modus yang digunakan.Metode dam desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif eksploratif dengan pendekatan
hukum normative untuk menggambarkan bagaimana tentang manusia, keadaan atau hipotesa agar
dapat membantu dalam memperkuat teori-teori lama atau didalam penyusunan teori-teori baru.i
Dalam hal ini penulis mengkaji peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri)
tentang petunjuk pelaksanaan penyidikan.Data pada penelitian ini adalah data sekunder yang diambil dari literatur- literatur dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia.Dalam usaha penulis mendapatkan data yang diperlukan untuk penyusunan tesis, penulis mempergunakan data sekunder.Adapun analisa yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah analisa kualitatif diskriptif.Hasil penelitian ini adalah bahwa pencurian terjadi karena kelalaian pemilik kendaran dan lingkungan yang kurang terawasi.
dan Peraturan• peraturan lainnya, meningkatkan mental maupun motivasi personil serta melakukan
operasi khusus kepolisian yang diarahkan pada kejahatan pencurian kendaraan roda
empat.Kualitas personil merupakan salah satu faktor kunci di dalam menentukan keberhasilan
operasional dilapangan, sesuai dengan pendapat guru besar sosiologi hukum Universitas Indonesia
Soeijono Soekanto, bahwa penegakan hukum diperlukan beberapa faktor pendukung, diantaranya
pada si penegak hukum yakni masalah pokok penegak hukum terletak pada faktor penegak
hukumnya.iii.Dengan penjelasan diatas faktor penegak hukum adalah Direktorat Reserse Kriminal
Umum Polda Metro Jaya harus mampu mengaplikasikan taktik dan teknik penyidikan yang tidak
menyimpang dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Petunjuk Pelakasanaan /
Juklak, Petunjuk Teknis ( Juknis ) Peraturan Kapolri ( Perkap ) maupun undang-undang yang
lain.Kasus pencurian kendaraan roda empat sulit diselesaikan, karena para pelaku terdiri dari suatu
jaringan operasi yang meliputi lebih dari satu kota. Jaringan dikelola secara profesional, rapi dan
terorganisasi. Pelaku mampu menghilangkan jejak pelaku pencurian kendaraan roda empat dan
menghilangkan jejak pencurian.Kendaraan roda empat merupakan sarana transportasi dengan
mobilitas tinggi dengan mudah dipindah tempat dari satu tempat ketempat lain dengan
mengandalkan kecanggihan mesin.
TINJAUAN PUSTAKA UNSUR – UNSUR TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN
RODA EMPAT
1. Pengertian Tindak Pidana
Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa Belanda hanya dikenal satu isilah untuk keduanya, yaitu Straf. Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata, administratif, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah
pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana.iv.Saut Roma Sianturiv merumuskan pidana dengan istilah: "Strajbaar feit" yaitu suatu handling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang- undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab. Wirjono Prodjodikoro
mengemukakan bahwavi: Tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang yaitu hukun perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah yang oleh
pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. viiZainal Abidin Farid mengusulkan istilah perbuatan kriminal karena "perbuatan pidana" kurang tepat.Roeslan Saleh menyatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai
perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan.viii.
Van Hamel merumuskan tindak pidana dengan istilah"strajbaar feit" itu sama dengan
yang dirumuskan oleh Sianturi, hanya ditambahkan dengan kalimat "tindakan mana bersifat dapa
t dipidana".Sianturi,Jonkers, merumuskan "strafbaar feit" adalah suatu kelakuan (gedraging)
manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam pidana.
Menurut Sianturi,Jonkers defenisi "Strajbaarfeit" adalah:
a. "Strajbaar feit "adalah suatu kejadian yang dapat diancam pidana oleh undang-undang.
b. "Strajbaar feit "adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan
dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pompe merumuskan bahwa: "Strajbaar feit " adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban hukum) terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan
umum. ix Sedangkan Rusli Effendy memakai istilah pidana yang menyatakan bahwa: delik perbuatan oleh hukum pidana dilarang dan diancam pidana barang siapa melanggar larangan
tersebut, untuk itu disebut peristiwa pidana atau delik.x.Moeljatno menyatakan istilah tindak pidana dengan perbuatan pidana yaitu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan merupakan perbuatan yang anti
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
sosial.xi.Moeljatno menyatakan bahwa untuk menerjemahkan istilah tersebut beliau menggunakan istilah perbuatan pidana dengan alasan: perbuatan adalah perkataan lazim digunakan dalam
percakapan sehari-hari, seperti: perbuatan tidak senonoh, perbuatan jahat dan sebagainya.xii.
Moeljatno mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum
yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
a. Menentukan perbuatan yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapatdilaksanakan apabila
ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.xiii
Perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman atau sanksi yang
berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut, lazim disebut sebagai
perbuatan pidana, tindak pidana, peristiwa pidana, delik (starjbaar feit, criminal act). Menurut
sistem KUHP, starjbaar feitdibagi menjadi dua jenis yaitu kejahatan (misdrijven) diatur dalam
Buku II KUHP dan pelanggaran (overtredingen) diatur dalam Buku III KUHP.
Pengaturan starjbaar feit tersebut kedalam dua buku seperti yang kita kenai sekarang, menurut
sistem RUU KUHP disatukan dalam satu buku yaitu buku II tentang Tindak Pidana. RUU KUHP
hanya terdiri dari dua buku, yaitu buku I yang mengatur tentang Ketentuan Umum dan Buku II
mengatur tentang Tindak Pidana.Untuk menentukan kapan seseorang dapat dikatakan telah
melakukan suatu perbuatan pidana, KUHP mengenal asas yang prinsipil yaitu asas legalitas
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu suatu asas yang menentukan bahwa
tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang.
Dalam asas legalitas tampak adanya jaminan kepastian hukum, tumpuan dari hukum pidana dan
hukum acara pidana. Sesuai dengan jiwa Pasal 1 KUHP diisyaratkan juga bahwa ketentuan
undang• undang harus dirumuskan secermat mungkin (asas lex certa : undang-undang yang dapat
dipercaya). Dalam hubungan asas legalitas ini, Anselm von Feuerbach, seseorang sarjana hukum
pidana Jerman (1975 - 1833), merumuskan asas legalitas tersebut dalam bahasa latin sebagai
berikut : nulla poena sine lege (pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang);
nulla poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana); nul/urn crimen sine poena legal
(tiada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang). Selanjutnya rumusan
tersebut dirangkum dalam satu kalimat : nu/lum, nulla poena sine praevia lege (tidak ada perbuatan
pidana, tidak ada pidana, tanpa ketentuan undang-undang terlebih dahulu).Menurut Prof. Muljatno
pengertian hukum pidana sebagaimana tersebut diatas meliputi hukum pidana materiil dan hukum
pidana formil (hukum acara pidana).Menurut pendapat para ahli hukum pidana Belanda, seperti
Hazewinkel Suringa, Vos atau Simons, mereka mendefinisikan hukum pidana menjadi hukum
pidana obyektif dan hukum pidana subyektif.Sedangkan hukum pidana subyektif atau jus puniendi
adalah hak negara untuk menuntut pidana, hak untuk menjatuhkan pidana dan hak untuk
melaksanakan pidana.xiv.Senada dengan Suringa, menurut Vos hukum pidana terdiri dari hokum
pidana obyektif (jus punale) dan hukum pidana subyektif (jus puniendi). Jus punale adalah aturan-
aturan hukum obyektif, yakni aturan hukum pidana.Hukum pidana materiil mengatur keadaan yang
timbul dan tidak sesuai dengan hukum serta hukum acara beserta sanksi (hukum penitentiair) aturan
mengenai kapan, siapa, dan bagaimana pidana dijatuhkan.Sedangkan hukum pidana subyektif atau
jus peniendi adalah hak subyektif penguasa terhadap pemidanaan, terdiri dari hak untuk menuntut
pidana, menjatuhkan pidana, dan melaksankaan pidana.xv.Demikian pula Simons, membagi hukum
pidana menjadi hukum pidana obyektif dan hukum pidana subyektif. Hukum pidana obyektif adalah
seluruh larangan atau hal yang dilarang sebagai pelanggaran oleh negara atau kekuasaan umum
yang dapat dikenal pidana terhadap pelanggar dan bagaimana pidana itu diterapkan. Hukum pidana
obyektif adalah hukum pidana positif atau jus poenae.Hukum pidana subyektif adalah hak negara
memberikan hukuman terhadap pelanggaran yang dilakukan disebut
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
juga jus puniendi.xvi.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum pidana adalah merupakan
bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku dalam suatu negara yang terdiri dari baik hukum
pidana materiil (mengatur perbuatan• perbuatan apa saja yang dilarang dengan memberikan
ancaman pidana bagi yang melanggarnya), maupun hukum pidana formil atau hukum acara
pidana (mengatur tata cara hukum pidana materiil itu dipertahankan/ dilaksanakan).
2. Ruang Lingkup Hukum Pidana
Ruang Lingkup Hukum Pidana (KUHP), meliputi tempat terjadinya delik (locus delicti) dan
waktu terjadinya delik (tempus delicti).Tempat terjadinya perbuatan pidana (locus delicti), perlu
diketahui untuk :
a. Menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana
tersebut atau tidak. Ini berhubungan dengan Pasal 2-8 KUHP
b. Menentukan kejaksaan dan pengadilan mana yang harus mengurus perkaranya. Ini
berhubungan dengan kompetensi relatif.
Mengetahui waktu terjadinya delik (tempus delicti) adalah penting berhubung dengan :
a. Pasal 2 KUHP : Apakah perbuatan yang bersangkut paut pada waktu itu sudah dilarang dan
diancam dengan pidana?
b. Pasal 44 KUHP apakah terdakwa ketika itu mampu bertanggungjawab?
c. Pasal 45 KUHP : Apakah terdakwa ketika melakukan perbuatan sudah berumur 16
tahun? Jika belum berumur 16 tahun, maka boleh memilih antara ketiga kemungkinan
• Mengembalikan anak tersebut kepada orangtuanya tanpa diberi pidana apapun;
• Menyerahkan anak tersebut kepada pemerintah untuk dimasukkan rumah pendidikan;
• Menjatuhi pidana seperti orang dewasa maksimum daripada pidana•pidana pokok dikurangi 1/3 (lihat Pasal47 KUHP).Pasal 49 KUHP (verjaring atau daluarsa). Dihitung mulai hari setelah perbuatan pidana terjadi.Pasal 57 HIR. Diketahuinya perbuatan dalam keadaan
tertangkap tangan (opheterdaad). xvii
Sejak tahun 1981, ketentuan mengenai "tertangkap tangan" diatur dalam Pasal 1 angka 19
KUHAP, yaitu tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana itu dilakukan,
atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau
apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk
melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan
atau membantu melakukan tindak pidana.
Mengenai locus delicti, didalam kepustakaan dikenal 3 (tiga) teori, yaitu :
Teori perbuatan materiil (leer van de lichamelijke daad). Menurut teori ini maka yang
menjadi locus delicti ialah tempat dimana pembuat melakukan segala perbuatan yang kemudian
dapat mengakibatkan delik yang bersangkutan.
a. Teori alat yang dipergunakan (leer van het instrument), yang mengatakan bahwa delik
dilakukan ditempat dimana alat yang dipergunakan itu menyelesaikannya, dengan lain
perkataan yang menjadi locus delicti ialah tempat dimana ada "uitwerking" alat yang
dipergunakan.
b. Teori akibat (leer van het gevolg). Menurut teori ini yang menjadi locus delicti ialah
tempat akibat dari perbuatan itu terjadi.xviii
Moeljanto, mengatakan bahwa teori tentang locus delicti ada 2 (dua) aliran, yaitu:
a. Aliran yang menentukan disatu tempat, yaitu tempat dimana terdakwa berbuat.
b. Aliran yang menentukan dibeberapa tempat, yaitu mungkin tempat kelakuan, dan
mungkin pula tempat akibat.xix
W.v.S, tidak menentukan secara tegas dalam pasal-pasalnya tentang locus delicti (tempat
terjadinya tindak pidana/delik). Berbeda dengan RUU KUHP tahun 2006, mengenai locus delicti ini
diatur dengan tegas dalam Pasal 10 yang menentukan bahwa tempat tindak pidana adalah :
a. Tempat pembuat melakukan perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
hukum".xxxxi.R.Soesilo mengatakan bahwa "Pencurian dapat dikatakan selesai jika barang yang
dicari sudah pindah tempat". xxiiPengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya
dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi : "Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang
lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp. 900 (Sembilan Ratus
rupiah)".xxiii.Untuk lebih jelasnya, apabila dirinci rumusan itu terdiri dari unsur - unsur objektif
(perbuatan mengambil, objeknya suatu benda, dan unsur keadaan yang menyertai/melekat pada benda, yaitu benda tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain) dan unsur - unsur subjektif
(adanya maksud, yang ditujukan untuk memiliki, dan dengan melawan hukum)..Suatu perbuatan atau peristiwa, baru dapat dikualifisir sebagai pencurian apabila terdapat semua unsur tersebut di
atas.
a. Unsur Tindak Pidana Pencurian Obyektif
Mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan
membawa benda tersebut ke dalam kekuasaan. Berdasarkan hal tersebut,maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut
ke dalam kekuasaannya secara nyata dan mutlak.xxiv Unsur berpindahnya kekuasaan benda
secara mutlak dan nyata adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu pencurian secara sempurna. Sebagai
ternyata dari Arrest Hoge Raad (HR) tanggal 12 Nopember 1894 yang menyatakan bahwa "perbuatan mengambil telah selesai, jika benda berada pada pelaku, sekalipun ia
kemudian melepaskannya karena diketahui".
b. Melawan hukum
Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan pada melawan
hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah
mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain (dengan cara yang demlkian) itu adalah
bertentangan dengan hukum. Berhubung dengan alasan inilah, maka unsur melawan hukum dalam
pencurian digolongkan ke dalam unsur melawan hukum subjektif.Pendapat ini kiranya sesuai
dengan keterangan dalam MvT yang menyatakan bahwa, apabila unsur kesengajaan dicantumkan
secara tegas dalam rumusan tindak pidana berarti kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur
yang ada di belakangnya.xxv Unsur maksud adalah merupakan bagian dari kesengajaan.
Dalam praktik hukum terbukti mengenai melawan hukum dalam pencurian ini lebih condong
diartikan sebagai melawan hukum subjektif sebagaimana pendapat Mahkamah Agung yang
tercermin dalam pertimbangan hukum putusannya (No. 680 K/Pid/1982 tanggal 30-7-
1983) 6. Azas Legalitas Dalam KUHP
Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang fundamental. Pertama kali asas
ini dituangkan dalam konstitusi Amerika 1776, dan sesudah itu dalam Pasal 8 Declaration de
droits de J'homme et du citoyem 1798. Asas legalitas ini kemudian tercantum dalam KUHP
berbagai negara di dunia Di Prancis asas ini pertama kali termuat dalam Pasal 4 Code Penal yang
disusun Napoleon Bonaparte (tidak. ada pelanggaran, tidak ada delik tidak ada kejahatan yang
dapat dipidana berdasarkan aturan hukurn yang ada, sebelum aturan hukum itu dibuat terlebih
dahulu), di Belanda asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht yang
dengan tegas menentukan "Green feit is strajbaar dan uit kracht van eenedaaraan
voorafgenane wettelijke strafbepaling, ". Demikian pada dalam WvS (KUHP) Indonesia, asas
legalitas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) : "Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana,
kecuali atas perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan".Menurut
Machteld Boot, asas legalitas mengandung beberapa syarat : pertama, nullum crimen, noe/a poena
sine lege praevia, yang berarti tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang
sebelumnya. Konsekuensi dari makna ini adalah menentukan bahwa hukum pidana tidak boleh
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
Serangan harus bersifat melawan hukum, kalau tidak berarti tidak ada noodweer. Di
samping serangan yang bersifat melawan hukum.
Ada 3 (tiga) asas yang sangat penting untuk ajaran alsan penghapus pidana, yaitu:
a. Asas Subsidiaritas
Menurut asas ini, melanggar kepentingan hukum seseorang untuk melindungi kepentingan
hukum orang lain, baru diperkenankan atau dibenarkan, kalau tidak ada kemungkinan
yang lebih baik atau jalan yang lain. Pembelaan tidak menjadi keharusan (jadi tidak akan
dibenarkan) selama orang masih bisa melarikan diri.
b. Asas Proporsionalitas
Melanggar kepentingan hukum seseorang untuk melindungi kepentingan hukum orang lain
dilarang, kalau kepentingan hukum yang dilindungi tidak seimbang dengan pelanggaran.
Jadi, harus ada keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi dan kepentingan yang
dilanggar.
c. Asas "Culpa in Causa"
Menurut asas ini, barang siapa yang keberadaannya dalam situasi darurat dapat dicelakan kepadanya tetap bertanggungjawab. Ini berarti, bahwa seseorang yang karena ulahnya sendiri diserang oleh orang lain secara melawan hukum, tidak dapat membela diri karena
pembelaan terpaksa.xxvii
Menurut Sudarto, perbuatan orang yang membela diri itu seolah-olah perbuatan main
hakim sendiri, tetapi dalam hal syarat-syarat seperti tersebut dalam Pasal 49 KUHP, maka
perbuatannya dianggap tidak melawan hukum yang ditujukan kepada dirinya, sementara negara
dengan alat-alat perlengkapannya tidak dapat tepat pada waktunya melindungi kepentingan hukum
dari orang yang diserang itu, maka pembelaan darurat itu merupakan alasan pembenar.Pembelaan
diri ini bersifat menghilangkan sifat melawan hukum.Bahwa dalam hal pembelaan darurat ada 2
(dua) hal yang pokok, yaitu:
a. Ada serangan,seketika,langsung mengancam,melawan hokum,sengaja ditujukan pada badan,
peri kesopanan dan harta benda.
b. Ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu dengan syarat,pembelaan harus dan perlu dilakukan,pembelaan harus menyangkut kepentingan-kepentingan yang disebut dalam undang-undang yakni serangan pada badan (lift), peri kesopanan (eerbaarheid) dan
harta benda (goed) kepunyaan sendiri dan orang lain.xxviii
10. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Roda Empat
Pertanggungjawaban pidana adalah suatu syarat yang diperlukan adalah si pembuat harus
mampu bertanggungjawab, dengan lain dengan perkataan harus ada kemampuan bertanggungjawab
dari si pembuat. Mengenai apa yang dimaksud dengan kemampuan bertanggungjawab
(toerekening svatbaarheid) ini KUHP tidak merumuskannya, sehingga harus dicari dalam dokrin
atau memorie van toelichting (MvT).Simons rnengatakan : "'kernampuan bertanggungjawab dapat
diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian, yang mernbenarkan adanya penerapan sesuatu
upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya". Selanjutnya dikatakan,
bahwa seseorang mampu bertanggungjawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila :
a. Mampu mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum.
b. dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
Menurut van Hamel, kemampuan bertanggungjawab adalah sesuatu keadaan normalitas
psikis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 (tiga) kemampuan:
a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri;
b. Mampu tintuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
Penyidikan adalah serangkaian kegiatan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang
diatur dalam undang undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya dan penyelidikan adalah
serangkaian kegiatan penyelidik yang menurut tata cara undang undang untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur oleh Undang-undang.
PROSES PENCEGAHAN PENGUNGKAPAN PENCURIAN KENDARAAN RODA
EMPAT
1. Proses Pencegahan Tindak Pidana Pencurian
Dengan melakukan pengawasan lingkungan yang baik serta kunci pengaman pada
kendaraan dapat mencegah terjadinya pencurian kendaraan bermotor roda empat.
2. Kegiatan Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian kegiatan penyelidik yang menurut tata cara undang
undang untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur oleh Undang-
undang.Dalam KUHAP Pasal 102 ayat 1 Penyelidikan yang mengetahui menerima laporan atau
pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib
melakukan tindakan penyelidikan.Dalam hal tertangkap tangan dalam melakukan penyelidikan ,
Penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang dilakukan yang perlu dalam rangka melakukan
penyelidikansebagaimana tersebut pasal 5 ayat 1 huruf b.
3. Kegiatan Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian kegiatan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.xxxxxxi
Data Pelaku Pencurian Kendaraan Roda Empat DKI Jakarta 2011-2012
Tabel 5.1
Hasil Penelitian Data Pelaku Pencurian Kendaraan Roda Empat DKI Jakarta 2011-2012
NO. BULAN Tahun2011 Tahun2012
L P JML L p JML
1. Januari 1100 2 13 2222 2 24
2. Pebruari 4 2 6 4 1 5
3. Maret 9 2 11 9 5 15
4. April 7 - 7 10 2 12
5. Mei 13 - 13 15 12 17
6. Juni 7 1 8 4 5 9
7. Juli 14 - 14 19 - 9
8. Agustus 12 1 13 15 1 6
9. September 6 - 6 11 - 1
10. Oktober 8 3 11 14 1 5
11. Nopember 25 - 25 25 22 47
12. Desember - - - 5 5
Jum/a 116 11 127 148 56 20444
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
bila terjadi pencurian kendaraan roda empat di tempat mereka bekerja sehingga dengan
cepat dapat diantisipasi dam dapat menangkap pelakunya.
c. Bersama - sama dengan instansi terkait mengadakan pengawasan terhadap para pelaku yang
telah divonis dan dijatuhkan hukuman agar tidak melakukan atau mengulangi perbuatannya.
10. Pencegahan Kejahatan
a. Perasaan takut terhadap pelaku kejahatan sehingga perasaan aman masyarakat terganggu.
b. Akar masalah kejahatan menyangkut Faktor Korelatif Kriminogen.
c. Pencegahan kejahatan adalah upaya bersama yang dilakukan oleh aparat dan masyarakat
umum dalam menjaga kelembagaan sosial, sistem sosial, dan peran-peran masyarakat
melalui mekanisme yg telah melembaga untuk mewujudkan perasaan aman. Pencegahan =
antisipansi sebelum masalah terjadi, penanganan kejahatan pada hulu permasalahan.
11. Pencegahan Refresif
Pencegahan refresif adalah pencegahan yang terak.hir, pencegahan ini dilakukan kepada
para pelaku tindak pidana pencurian kendaraan roda empat dengan cara :
a. Melakukan penangkapan terhadap para pelaku yang diduga keras melakukan pencurian,
penggelapan, penipuan, pemalsuan surat-surat kendaraan roda empat dan penadahan
kendaraan roda empat guna diproses sesuai hukum yang berlaku.
b. Melakukan tindakan tegas terhadap para pelaku tindak pidana pencurian kendaraan roda
empat dengan cara melumpuhkan bila ada pelaku tersebut melakukan perlawanan maupun
bila mengancam jiwa petugas yang sedang melakukan penindakan.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian, pelaku pencurian kendaraan bermotor roda empat di wilayah Polda Metro
Jaya terjadi disebabkan kelalayan pemilik kendaraan serta lingkungan yang kurang terawasi.
2. Saran
Aparat Kepolisian perlu melakukan tindakan tegas terhadap setiap tindakan criminal agar bias
menjadi efek jera pada pelaku yang lain
DAFTAR PUSTAKA
i Ibid.,
ii Awaloedin Djamin, Kumpulan Makalah tentang Kepolisian, pada makalah Polri Bukan Penyidik
tunggal melainkan penyidik professional, Jakarta, 991 hlm.5 iii Soejono Soekarno, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, CV. Rajawali, Jakarta,
1993, hlm.5. iv Andi Hamzah, Azas-Azas Hukum Pidana,Rineka Cipta,Jakarta,2008,hal.27 v E.Y. Kanter & S.R. Sianturi, Azas-azas Hukum Pidana, Alumni AHM, PTHM, Jakarta 1982, hlm
205.
vi Wirjono Prodjokoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003,
hlm 1. vii viii Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Rhineka Cipta, 1983. Hlm. 211.
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
ix W.P.J.Pompe, Alasan-Alasan Penghapusan Pidana,PT.Gramedia,1997,hal.112 x Rusli Effendy,
Pengertian Tindak Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1986, hlm. 17. xi Moeljatno, Azas-azas Hukum
Pidana, Rineka Cipta,, Jakarta, 1993, hlm 15. xii E.Y. Kanter & S.R. Sianturi, Azas-Azas Hukum Pidana dan Penerapannya di Indonesia, Alumni,
AHM., PTHM, Jakarta 1982, hlm 205. xiii Moeljanto, Azas-Azas Hukum Pidana, Rhineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 25. xiv Eddy O.S. Hiariej, Azas Legalitas dan Penemuan Hukum dan Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta,
2009., hlm. 3 xv Ibid. hlm. 85 xvi E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Azas-Azas Hukum Pidana dan Penerapannya di Indonesia, Alumni
AHM. PTHM., Jakarta 1982., hlm. 206. xvii Moeljanto, Azas-azas Hukum Pidana, Rhineka Cipta, Jakarta, 2008., hlm. 43-44 xviii R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal,
Politea, Bogor, 1995., hlm. 22-23. xix Ibid, hlm. 43-44 xxi Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertenu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung
2003, hlm. 10. xxii R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor, 1991, hlm. 15 xxiii R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1981, hlm.
376. xxiv Satochid Kartanegara, dan P.A.P, Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung. 1979, hlm. 79-80. xxv Moetjatno, 0p.cit
xxvi Ibid, hlm. 24 xxvii Op.cit xxviii
Ibid,
xxix Henkie, Liklikuwata, Sosiologi Hukum Pidana Kejahatan dan Penjahat (Suatu Sketsa), Ind
Hilco, Jakarta, 1990., hlm. 34 xxx Sumber Data : Subbag Opsnal Dit Reskrim Polda Metro Jaya, 2009., xxx Ibid., xxx Awaloedin Djamin, Kumpulan Makalah tentang Kepolisian, pada makalah Polri Bukan
Penyidik tunggal melainkan penyidik professional, Jakarta, 991 hlm.5 xxx Soejono Soekarno, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, CV. Rajawali,
Jakarta, 1993, hlm.5. xxx Andi Hamzah, Azas-Azas Hukum Pidana,Rineka Cipta,Jakarta,2008,hal.27 xxx E.Y. Kanter & S.R. Sianturi, Azas-azas Hukum Pidana, Alumni AHM, PTHM, Jakarta 1982,
hlm 205. xxx Wirjono Prodjokoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung,
211. xxx W.P.J.Pompe, Alasan-Alasan Penghapusan Pidana,PT.Gramedia,1997,hal.112 xxx Rusli Effendy, Pengertian Tindak Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1986, hlm. 17. xxx Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Rineka Cipta,, Jakarta, 1993, hlm 15. xxx E.Y. Kanter & S.R. Sianturi, Azas-Azas Hukum Pidana dan Penerapannya di Indonesia, Alumni,
AHM., PTHM, Jakarta 1982, hlm 205. xxx Moeljanto, Azas-Azas Hukum Pidana, Rhineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 25. xxx Eddy O.S. Hiariej, Azas Legalitas dan Penemuan Hukum dan Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta,
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1 April 2019 Hal 62-79
2009., hlm. 3 xxx Ibid. hlm. 85 xxx E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Azas-Azas Hukum Pidana dan Penerapannya di Indonesia,
Alumni AHM. PTHM., Jakarta 1982., hlm. 206. xxx Moeljanto, Azas-azas Hukum Pidana, Rhineka Cipta, Jakarta, 2008., hlm. 43-44 xxx R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal,
Politea, Bogor, 1995., hlm. 22-23. xxx Ibid, hlm. 43-44 xxx Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertenu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung
2003, hlm. 10. xxx R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor, 1991, hlm. 15 xxx R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1981, hlm.
376. xxx Satochid Kartanegara, dan P.A.P, Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,