ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM KASUS SENGKETA EKONOMI SYARIAH DI PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA TENTANG WANPRESTASI AKAD MURABAHAH (PUTUSAN NO. 1720/Pdt.G/2013/PA.Pbg) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam Oleh: Eko Mulyono NIM: 21412007 JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2017
143
Embed
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2557/1/Skripsi Eko...Ayahku Sukiman dan Ibuku Rusminah yang tidak henti-hentinya selalu mendo’akan,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM KASUS SENGKETA EKONOMI SYARIAH
DI PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA TENTANG WANPRESTASI AKAD MURABAHAH
(PUTUSAN NO. 1720/Pdt.G/2013/PA.Pbg)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh: Eko Mulyono
NIM: 21412007
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2017
ii
NOTA PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga
di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan
dan koreksi, maka skripsi mahasiswa:
Nama : Eko Mulyono
NIM : 21412007
Judul : ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM
KASUS SENGKETA EKONOMI SYARIAH DI
PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA TENTANG
WANPRESTASI AKAD MURABAHAH (PUTUSAN
NO. 1720/Pdt.G/2013/PA.Pbg)
dapat diajukan kepada Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga untuk diujikan
dalam sidang munaqasyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan
digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
iii
iv
v
MOTTO
Jangan patah semangat walau apapun yang terjadi, jika kita menyerah, maka habislah sudah. (Top Ittipat)
vi
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini kepada:
Ayahku Sukiman dan Ibuku Rusminah yang tidak henti-hentinya selalu
mendo’akan, membimbing dan mendukungku
Almamaterku Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah
IAIN Salatiga
Alm. Simbah Kyai Slamet Idris, Sang Maha Guru penulis selama
nyantri di PonPes Al-Islah Tingkir Lor Salatiga
Alm. Ahmad Kautsar (Mamat), teman, sahabat, saudara terbaikku.
Tenanglah di syurga-Nya kawan
Untuk diriku sendiri, tantangan yang lebih besar telah menantimu!
vii
ABSTRAK
Mulyono, Eko. 2017. Analisis terhadap Putusan Hakim dalam kasus Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama Purbalingga tentang Wanprestasi Akad Murabahah (Putusan No. 1720/Pdt.G/2013/PA. Pbg). Skripsi. Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Dr. Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si.
Kata kunci: putusan, sengketa ekonomi syariah, wanprestasi, akad, murabahah
Salah satu pengadilan agama yang telah memutus sengketa ekonomi syariah adalah Pengadilan Agama Purbalingga. Putusan No. 1720/Pdt.G/2013/PA.Pbg merupakan putusan yang dikeluarkan Pengadilan Agama Purbalingga tentang wanprestasi akad murabahah. Penggugat menggugat Para Tergugat yang merupakan pasangan suami istri dengan tuduhan telah melakukan wanprestasi akad jual beli murabahah no: 43. Dalam gugatannya, Penggugat menuntut Para Tergugat untuk membayar harga pokok barang beserta margin keuntungan, denda, biaya kunjungan dan biaya kuasa hukum. Penggugat juga meminta sita jaminan atas tanah pekarangan milik Para Tergugat. Namun, Majelis Hakim yang memutus perkara ini hanya mengabulkan gugatan Penggugat sebagian dan menolak selebihnya. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa yang menjadi dasar hukum dan pertimbangan Hakim dalam memutus perkara No. 1720/Pdt.G/2013/PA.Pbg dalam perkara sengketa ekonomi syariah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian studi putusan. Pendekatan penelitian yang peneliti gunakan adalah yuridis normatif, yakni pendekatan yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah teknik dokementasi.
Berdasarkan hasil penelitian, pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutus Putusan No. 1720/Pdt.G/2013/PA.Pbg ini adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan diubah dengan perubahan kedua Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan Herzien Inlandsch Reglement (HIR). Terhadap pertimbangan hukum oleh hakim tersebut, penggunaan UU No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas kuranglah tepat sebab undang-undang tersebut telah diganti dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Sementara terhadap penggunaan UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, KHES dan HIR sebagai pertimbangan hukum oleh hakim sudahlah tepat.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puja dan puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,
karena berkat rahmat-Nya penulisan skripsi ini dapat penulis selesaikan sesuai
dengan yang diharapkan. Penulis juga bersyukur atas rizki dan kesehatan yang
telah diberikan oleh-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini tanpa suatu halangan yang berarti.
Sholawat dan salam selalu penulis sanjungkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW beserta segenap keluarga, para sahabat, dan pengikut-Nya,
syafa’at beliau sangat penulis nantikan di hari pembalasan nanti.
Penulisan skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana dalam Hukum Islam di Jurusan Hukum Ekonomi
Syariah Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga dengan judul: “Analisis terhadap Putusan
Hakim dalam Kasus Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama
Purbalingga tentang Wanprestasi Akad Murabahah (Putusan No.
1720/Pdt.G/2013/PA. Pbg)”. Penulis mengakui bahwa dalam menyusun penulisan
skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak.
Karenanya, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah di IAIN
Salatiga.
3. Ibu Evi Ariyani, M.H, selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah di IAIN
Salatiga.
4. Bapak Dr. Nafis Irkhami, M.Ag, selaku dosen pembimbing akademik.
5. Bapak Dr. Ilyya Muhsin, S.HI, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang
selalu memberi arahan, pemahaman, dan selalu membagi ilmunya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Hakim dan Staf Pengadilan Agama Purbalingga yang telah membantu proses
penelitian penulis.
ix
7. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf administrasi
Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga yang tidak bisa penulis sebut satu persatu
yang selalu memberikan ilmunya pada penulis.
8. Kedua orang tua tercinta, Bapak Sukiman dan Ibu Rusminah yang tak henti-
hentinya memberikan dukungan, semangat dan doa sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini tanpa suatu halangan.
9. Adik-adik penulis tercinta, Rahmat Kasyfan, Endang Semiati dan Muhammad
Rifky Habibi yang senantiasa memberikan motivasi pada penulis untuk
menyelesaikan skripsi.
10. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ishlah Tingkir Lor Salatiga: Ustad Asyiq
Ma’ruf, Ustad Musthofa, Ustad Munawwar Sa’id, terima kasih atas wejangan-
wejangan dan ilmu yang telah diberikan pada penulis.
11. Teman-teman santri Pondok Pesantren Al-Ishlah Tingkir Lor Salatiga: Fared,
Putusan ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang bila terhukum
tidak mau melaksanakan isi putusan secara sukarela, maka atas
permohonan penggugat, putusan dapat dilaksanakan dengan paksa
(executin force) oleh pengadilan agama yang memutuskanya. Amar
putusan kondemnatoir yang ditetapkan di pengadilan agama antara lain:
1) Penyerahan pembagian harta bersama;
2) Penyerahan hak nafkah iddah, mut’ah;
3) Penyerahan hak biaya alimentasi anak dan sebagainya.
Pada prinsipnya, putusan kondemnatoir merupakan putusan
penghukuman untuk:
1) Menyerahkan suatu barang;
2) Membayar sejumlah uang;
3) Melakukan suatu perbuatan tertentu;
4) Mengentikan suatu perbuatan/keadaan;
5) Mengosongkan tanah/rumah lain-lain.
3. Bentuk dan Isi Putusan
Suatu putusan terdiri dari 5 (lima) bagian, yaitu sebagai berikut:
23
a. Kepala putusan
Pada bagian kepala putusan tertulis judul putusan dan nomor
putusan di bawahnya. Di bawahnya lagi tertulis kata
“BISMILLAHIRROHMAANIRROHIM” dengan huruf besar diikuti
dengan kalimat “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KEADILAN
YANG MAHA ESA” dengan huruf besar.
b. Nama pengadilan dan jenis perkara
Bagian ini menjelaskan nama pengadilan dan jenis perkara yang
sedang diperiksanya, misalnya: Pengadilan Agama Jakarta Timur
mengadili perkara perdata pada tingkat pertama dalam persidangan
majelis telah menjatuhkan putusan dalam perkara cerai gugat.
c. Identitas para pihak
Bagian ini berisi tentang identitas penggugat dan tergugat atau
pemohon dan termohon dan kuasa hukumnya secara lengkap.
d. Tentang duduk perkara
Bagian ini menggambarkan dengan singkat dan jelas tentang
kronologi persidangan, mulai dari usaha perdamaian, dalil gugatan,
jawaban tergugat, replik, duplik, bukti, saksi, hasil pemeriksaan setempat
bila ada, hasil pemeriksaan jaminan bila ada, dan kesimpulan para pihak.
e. Kaki putusan
Kaki putusan berisi tentang hari dan tanggal putusan, nama majelis
hakim, panitera pengganti, jumlah biaya perkara, dan penanggung biaya
perkara (Mardani, 2009: 122).
24
4. Kekuatan Hukum Putusan
Putusan pengadilan mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu sebagai berikut:
a. Kekuatan mengikat
Putusan hakim mengikat para pihak yang berperkara. Kekuatan
mengikat suatu putusan dapat berarti positif dan berarti negatif. Dalam
arti positif, yaitu bahwa yang telah diputus hakim harus dianggap benar
(res judicato pro veriatate habetur). Dalam arti negatif, yaitu bahwa
hakim tidak boleh memutus lagi perkara yang sama, pokok perkara yang
sama, dan pihak yang sama (nebis in idem).
b. Kekuatan pembuktian
Kekuatan pembuktian suatu putusan artinya putusan hakim telah
memperoleh kepastian hukum, bukti kebenaran hukum, dan mempunyai
kekuatan hukum tetap serta dapat dijadikan bukti dalam sengketa perdata
yang sama.
c. Kekuatan eksekutorial
Kekuatan eksekutorial yaitu kekuatan untuk melaksanakan suatu
putusan peradilan secara paksa oleh aparat negara (Mardani, 2009: 122).
5. Pembuktian
a. Pengertian dan tujuan pembuktian
Secara etimologis, pembuktian dalam istilah Arab disebut Al-
Bayyinah, yang artinya satu yang menjelaskan. Secara terminologis,
pembuktian berarti memberikan keterangan dengan dalil yang
meyakinkan.
25
Pembuktian merupakan sesuatu yang sangat penting, sebab
pembuktian merupakan penentu jalannya suatu perkara dalam sidang.
Yang harus dibuktikan adalah apa yang dikemukakan oleh penggugat itu
dibantah oleh tergugat. Apa yang tidak dibantah maka tidak perlu
dibuktikan. Dan yang harus dibuktikan adalah sesuatu yang belum jelas,
seperti ada sesuatu benda berada di tangan seseorang, tiba-tiba datang
orang lain yang mengaku bahwa barang itu kepunyaannya. Dalam hal ini,
orang yang tiba-tiba mengaku bahwa barang itu kepunyaannya, harus
membuktikan bahwa barang itu benar kepunyaannya, sebab barang yang
menjadi sengketa tadi belum jelas kepunyaannya. Bila dapat
membuktikan bahwa ia pemiliknya, maka barulah ia berhak memiliki
barang itu. Orang yang harus membuktikan adalah seseorang yang
menuntut sesuatu hal atau mengingkari sesuatu hal atau peristiwa
kejadian.
Hakim dalam memeriksa perkara harus berdasarkan pembuktian.
Tujuan pembuktian adalah untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran
dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan atau untuk
memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah
(Mardani, 2009: 106-107).
b. Alat-alat bukti
Menurut Koosmargono dan Dja’is (1995: 88), yang disebut alat-
alat bukti yaitu:
26
1) Surat/tulisan (Pasal 165 HIR)
Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi dua yaitu surat yang
merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta. Sedang akta
terbagi atas akta autentik dan akta di bawah tangan.
a) Akta autentik
Akta autentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan
pejabat umum yang berwewenang untuk memberikan bukti yang
cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya.
b) Akta di bawah tangan
Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat dan
ditanda tangani oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan
dari seorang pejabat.
c) Surat lain yang bukan akta
Surat-surat non akta bentuknya dapat berupa surat biasa,
catatan harian dan sebagainya. Surat-surat tersebut tidak sengaja
dibuat untuk alat bukti.
Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian
hakim. Jika isinya mengandung fakta maka dapat dipergunakan
sebagai bukti permulaan atau sebagai surat keterangan yang
memerlukan dukungan alat bukti lain.
2) Kesaksian (Pasal 139-168 HIR)
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di
persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan
27
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah
satu pihak dalam perkara yang dipanggil ke persidangan.
Pada dasarnya, pembuktian dengan saksi baru diperlukan apabila
bukti dengan surat atau tulisan tidak ada atau kurang lengkap untuk
mendukung dan menguatkan kebenaran dalil-dalil yang menjadi dasar
pendirian para pihak.
Keterangan saksi yang dapat dijadikan alat bukti yang sah menurut
hukum harus terbatas pada peristiwa-peristiwa yang dialami, dilihat
atau didengar sendiri dan harus pula disertai alasan-alasan bagaimana
diketahuinya peristiwa yang diterangkan oleh saksi.
Dalam menimbang kesaksian, hakim harus memperhatikan
kesesuaian kesaksian saksi yang satu dengan yang lainnya, alasan atau
sebab kenapa saksi-saksi memberikan keterangan tersebut, cara hidup,
adat dan martabat saksi dan segala ihwal yang dapat mempengaruhi
saksi sehingga saksi itu dapat dipercaya atau kurang dipercaya.
3) Persangkaan (Pasal 173 HIR)
Persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-
undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang dikenal ke
arah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti.
4) Pengakuan (Pasal 174-175 HIR)
Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam
satu perkara dimana ia mengakui apa-apa yang dikemukakan oleh
pihak lawan. Pengakuan yang diucapkan dihadapan hakim cukup
28
untuk menjadi bukti yang memberatkan orang yang mengaku itu,
entah pengakuan itu diucapkannya sendiri atau dengan perantaraan
orang lain yang diberi kuasa khusus.
5) Sumpah (Pasal 155, 156, 177 HIR)
Sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau
diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan
mengingat akan sifat Maha Kuasa Tuhan, dan percaya bahwa siapa
yang memberikan keterangan atau janji yang tidak benar akan
dihukum oleh-Nya. Jadi, sumpah merupakan tindakan yang bersifat
religius yang digunakan dalam persidangan di pengadilan.
B. Ekonomi Syariah
a. Definisi dan Ruang Lingkup Ekonomi Syariah
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
telah menetapkan sembilan bidang tugas peradilan agama, yakni:
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan
ekonomi syariah. Dengan berlakunya undang-undang inilah, masalah
ekonomi syariah menjadi kompetensi absolut peradilan agama (Anshori,
2007: 80).
Pergertian ekonomi syariah yang telah tercantum dalam Pasal 49
huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip
syariah atau dengan hukum Islam. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum
29
Ekonomi Syariah (KHES) yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (2008),
ekonomi syariah didefinisikan sebagai usaha atau kegiatan yang dilakukan
oleh orang perorang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum
atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang
bersifat komersial dan tidak komersial menurut prinsip syariah.
Dari beberapa definisi ekonomi syariah di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa ekonomi syariah adalah segala bentuk perilaku manusia
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berlandaskan prinsip
syariah.
Bidang-bidang yang meliputi ekonomi syariah antara lain:
a. Bank syariah
Bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembiayaan serta
peredaran uang yang pengoprasiannya disesuaikan dengan prinsip-
prinsip hukum Islam.
b. Lembaga keuangan mikro syariah
Dalam undang-undang memang tidak dijelaskan tentang lembaga
keuangan mikro syariah adalah baitul mal wat-tamwil, namun dalam
Pasal 1 Peraturan Dasar Baitul Mal Wat-Tamwil menyebutkan bahwa
baitul mal wat-tamwil adalah suatu lembaga rakyat kecil yang berupaya
menggembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam
meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha menengah bawah dan kecil
berdasarkan prinsip syariah dan prinsip koperasi.
30
c. Asuransi syariah
Asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong
menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk
aset atau tabbaru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan
syariah .
d. Reasuransi syariah
Dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun
2008 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 73
Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Perusahaan Perasuransian,
disebutkan bahwa perusahaan reasuransi adalah perusahaan yang
memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap resiko yang
dihadapi oleh perusahaan asuransi.
e. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memfatwakan bahwa
obligasi syariah adalah surat-surat berharga jangka panjang berdasarkan
prinsip syariah yang dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi
syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada
pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/ margin/ fee serta membayar
kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo (Fatwa DSN Nomor 32/
DSN-MUI/ IX/ 2002 tentang obligasi syariah).
31
f. Reksadana syariah
Reksadana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun
dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam
portofolio efek oleh manajer investasi (Pasal 2 angka 27 UU Nomor
8/1995 tentang Pasar Modal). Dan dalam fatwa MUI Nomor 20/DSN-
MUI/I/IX/2001 disebutkan bahwa reksadana syariah adalah reksadana
yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip syariah Islam baik dalam
bentuk akad antara pemodal sebagai shahib al-mal dengan manager
investasi sebagai wakil shahib al-mal, maupun antara manager investasi
sebagai wakil shahib al-mal dengan pengguna investasi.
g. Sekuritas syariah
Sekuritas syariah adalah bukti utang piutang atau pemilikan modal
dalam bentuk surat berharga yang dapat diperdagangkan sesuai dengan
prinsip syariah, seperti obligasi syariah dan saham syariah.
h. Pembiayaan syariah
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 Tentang
Pelaksanaan Prinsip Syariah menyebutkan bahwa yang termasuk dalam
pembiayaan/produk bank syariah adalah wadi’ah, mudharabah,
musyarakah, murabahah, salam, istisna’, ijarah dan qard.
i. Pegadaian syariah
Gadai syariah diatur dalam fatwa MUI Nomor 25/DSN-
MUI/III/2002 yang secara etimologis dipadankan dengan rahn, yang
berarti tetap, kekal, dan jaminan. Menurut istilah syara’, rahn
32
dirumuskan sebagai penahanan terhadap sejumlah harta yang diserahkan
sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai
tebusan.
j. Dana pensiun lembaga keuangan syariah
Dana pensiun lembaga keuangan adalah dana pensiun yang
dibentuk oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa untuk
menyelenggarakan program pensiun iuran pasti bagi perorangan maupun
pekerja mandiri yang terpisah dari dana pensiun pemberi kerja dari
karyawan bank atau perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan. Salah
satu kegunaan bank umum syariah adalah sebagai pendiri dana pensiun
dan pengurus dana pensiun berdasarkan prinsip syariah (Pasal 20 ayat (1)
huruf (d) UU Nomor 21/2008).
k. Bisnis syariah
Bisnis syariah adalah semua kegiatan dagang, industri atau
keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah (Rasyid dan Saifuddin,
2009: 32-49).
b. Prinsip-prinsip Ekonomi Syariah
Syarat suatu bangunan agar berdiri kokoh adalah tiang yang kokoh.
Jika bangunan yang kokoh tersebut adalah ekonomi syariah, maka tiang
penyangganya adalah sebagai berikut:
a. Siap menerima resiko
Prinsip-prinsip ekonomi syariah yang dapat dijadikan pedoman
oleh setiap muslim dalam bekerja untuk menghidupi dirinya dan
33
keluarganya yaitu menerima resiko yang terkait dengan pekerjaannya itu.
Keuntungan dan manfaat yang diperoleh juga terkait dengan jenis
pekerjaannya. Karena itu, tidak ada keuntungan atau manfaat yang
diperoleh seseorang tanpa resiko. Hal ini merupakan jiwa dari prinsip
“Dimana ada manfaat, disitu ada resiko (Al Kharaj bid Dhaman)”.
b. Tidak melakukan penimbunan
Dalam sistem ekonomi syariah, tidak seorangpun diizinkan untuk
menimbun uang dan menyimpan uang tanpa dipergunakan. Dengan kata
lain, Hukum Islam tidak memperbolehkan uang kontan (cash) yang
menganggur tanpa dimanfaatkan. Sistem ekonomi bagaikan koin yang
terdiri dari dua sisi, yaitu sisi jual dan sisi beli. Uang itu harus secara
kontinu mengalir dalam ekonomi, bukan berhenti di satu simpul.
c. Tidak memonopoli
Dalam sistem ekonomi syariah, tidak diperbolehkan seseorang baik
dari perseorangan maupun lembaga bisnis untuk melakukan monopoli,
harus ada kondisi persaingan, bukan monopoli atau oligopoli. Islam
mendorong persaingan dalam ekonomi sebagai jiwa dari Fastabiqul
Khairat.
d. Pelarangan riba
Ada banyak pendapat mengenai hukum dari bunga bank, namun
mayoritas ulama mengatakan bahwa bunga bank adalah riba. Beberapa
orang juga berpendapat bahwa riba hanya terdapat pada kegiatan
perdagangan seperti yang dipraktikkan pada zaman jahiliyyah, bukan
34
pada kegiatan produksi seperti yang dipraktikkan oleh bank konvensional
saat ini.
e. Solidaritas sosial
Solidaritas sosial seorang muslim terhadap sesamanya dapat
diibaratkan dalam satu tubuh. Jika anggota tubuh sakit, maka seluruh
tubuh akan merasakan sakit juga. Jika seorang muslim mengalami
problem kemiskinan, maka tugas kaum muslimin lainnya adalah
menolongnya (dengan membayar zakat, infaq dan shadaqah). Harta
merupakan amanah dari Allah, karenanya manusia harus menjaga
amanah tersebut dengan memanfaatkannya untuk menolong sesamanya.
c. Manfaat Ekonomi Syariah
Apabila ekonomi syariah dapat diamalkan maka akan
mendatangkan manfaat yang besar bagi umat Islam itu sendiri, yaitu berupa:
a. Mewujudkan integritas seorang muslim yang kaffah;
b. Menerapkan dan mengamalkan ekonomi syariah melalui lembaga
keuangan syariah akan mendapatkan keuntungan di dunia dan di akhirat;
c. Praktek ekonomi yang berdasarkan syariat adalah ibadah, karena telah
mengamalkan syariat dari Allah;
d. Mengamalkan ekonomi syariah melalui lembaga keuangan syariah
berarti mendukung kemajuan lembaga keuangan umat Islam itu sendiri;
e. Mengamalkan ekonomi syariah melalui membuka tabungan, deposito
atau menjadi nasabah, berarti mendukung upaya pemberdayaan ekonomi
umat Islam itu sendiri (Ali, 2008: 11).
35
d. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Meskipun ekonomi syariah dilandasi atas dasar prinsip syariah,
namun tidak tertutup kemungkinan terjadi sengketa antara pihak yang
mengikatkan diri dengan akad syariah, ditambah dengan semakin
meningkatnya produk-produk syariah dengan berbagai bentuk dan
ragamnya. Maka kemungkinan akan munculnya suatu sengketa yang
berkaitan dengan ekonomi syariah juga semakin beragam.
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebagaimana sengketa
lainnya di bidang hukum perdata, dapat dilakukan melalui jalur litigasi
maupun non litigasi.
a. Penyelesaian litigasi
Salah satu cara penyelesaian sengketa ekonomi syariah adalah
melalui litigasi. Dalam hal ini, Pengadilan Agama yang diberi
kewenangan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah
sebagaimana ketentuan Pasal 49 huruf (i) UU No 3/2006 yaitu:
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang beragama islam di bidang: a. Perkawinan; b. Waris; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Zakat; g. Infaq; h. Shadaqah, dan i. Ekonomi syariah.
Hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum
acara yang berlaku pada Peradilan Umum. Hal ini disebutkan dalam
36
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3400,
selanjutnya disebut UU/1989) yang menyebutkan, “Hukum acara yang
berlaku dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata
yang berlaku pada pengadilan lingkungan Peradilan Umum, kecuali
disebutkan atau diatur khusus dalam undang-undang ini”.
b. Penyelesaian non litigasi
Penyelesaian sengketa melalui non litigasi merupakan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan yang diambil oleh para pihak ketika terjadi
sengketa. Langkah penyelesaian sengketa dengan cara non litigasi ini
diantaranya dapat dilakukan dengan penyelesaian internal antara kedua
belah pihak, musyawarah atau melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS).
1) Musyawarah internal
Musyawarah internal dapat terjadi misalkan pihak yang terkait
utang dengan pihak bank tetapi pada waktu jatuh tempo, utang
tersebut tidak dapat dibayarakan karena berbagai hal yang
sesungguhnya bukan keinginan debitur, seperti usaha bangkrut karena
tingkat inflasi yang tinggi. Maka bank melakukan upaya musyawarah
dengan memberikan kepada nasabah melalui langkah penyelesaian
secara internal antara lain dengan revitalisasi proses, yaitu dengan
evaluasi ulang pembiayaan apabila terdapat indikasi bahwa usaha
37
nasabah masih berjalan dan hasil usaha nasabah diyakini masih
mampu untuk memenuhi kewajiban angsuran kepada bank.
2) Alternative dispute resolution (ADR)
Alternative dispute resolution (ADR) merupakan lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan
dengan cara seperti konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan
penilaian para ahli.
Jika para pihak yang bersengketa sudah melakukan upaya
penyelesaian sengketa sesuai kesepakatan sebagaimana yang telah
ditentukan dari awal, baik melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi atau
yang lainnya namun di tengah-tengah penyelesaian sengketa
menemukan kebuntuan dan ketidaksepahaman, maka barulah para
pihak dapat mengajukan penyelesaian sengketanya kepada Badan
Arbitrase.
3) Arbitrase syariah
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah
perubahan dari Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang
merupakan salah satu wujud dari Arbitrase Islam yang pertama kali
didirikan di Indonesia.
BASYARNAS adalah salah satu penyelesaian di luar pengadilan
(non litigasi) setelah kata mufakat dari hasil musyawarah tidak
tercapai. Namun penyelesaian melalui BASYARNAS dapat dilakukan
38
apabila terjadi kesepakatan dan dicantumkan dalam akta akad sejak
awal sebelum sengketa disebut (Pactum de compromittendo) (Hudiata,
2015: 21).
C. Wanprestasi
a. Pengertian Wanprestasi
Wanprestasi berasal dari istilah dalam bahasa Belanda yang artinya
prestasi yang buruk atau jelek. Secara umum wanprestasi berarti tidak
memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan
yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena
undang-undang.
Wanprestasi atau cidera janji adalah suatu kondisi dimana debitur
tidak melaksanakan kewajiban yang ditentukan di dalam perikatan,
khususnya perjanjian (kewajiban kontraktual). Wanprestasi dalam hukum
perjanjian mempunyai makna debitur tidak melaksanakan kewajiban
prestasinya atau kreditur tidak memperoleh apa yang dijanjikan oleh pihak
lawan (Khairandy, 2013: 279).
Terjadinya wanprestasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari
pihak yang wanprestasi) dirugikan, apalagi kalau pihak lain tersebut adalah
pedagang, maka bisa kehilangan keuntungan yang diharapkan (Miru, 2013:
74).
b. Bentuk Wanprestasi
Diantara bentuk-bentuk wanprestasi adalah sebagai berikut:
39
a. Debitur Sama Sekali Tidak Berprestasi
Yang dimaksud debitur sama sekali tidak berprestasi adalah debitur
dalam hal ini sama sekali tidak memberikan prestasinya. Hal itu bisa
disebabkan karena debitur memang tidak mau berprestasi atau bisa juga
disebabkan karena memang kreditur secara objektif tidak mungkin
berprestasi lagi atau secara subjektif tidak ada gunanya lagi untuk
berprestasi.
b. Debitur Keliru Berprestasi
Debitur keliru berprestasi adalah keadaan di mana debitur dalam
pemikirannya telah memberikan prestasi, tetapi dalam kenyataannya
yang diterima kreditur adalah lain daripada yang diperjanjikan. Contoh
debitur keliru berprestasi adalah kreditur membeli bawang putih, ternyata
yang dikirim bawang merah. Dalam hal demikian, kreditur tetap
beranggapan bahwa debitur tidak berprestasi.
c. Debitur Terlambat Berprestasi
Debitur terlambat berprestasi adalah debitur dalam hal ini sudah
berprestasi, objek prestasinya pun betul, tetapi waktu pelaksanaan
prestasi tidak sebagaimana yang diperjanjikan. Orang yang terlambat
berprestasi dapat dikatakan dalam keadaan lalai.
c. Wanprestasi dan Kaitannya Kesalahan Debitur
Timbulnya wanprestasi dapat berasal dari kesalahan debitur, yakni
debitur tidak melaksanakan kewajiban kontraktual yang seharusnya
ditunaikan. Kesalahan tersebut dalam arti luas bisa berupa kesengajaan
40
(opzet) atau kealfaan (onachtzaamheid) dan dalam arti sempit, kesalahan
bermakna kesengajaan.
Kesalahan dalam wanprestasi adalah kesalahan yang menimbulkan
kerugian bagi kreditur dan perbuatan itu harus dapat
dipertanggungjawabkan oleh debitur jika terdapat unsur kesengajaan atau
kelalaian dalam peristiwa tersebut. Kerugian yang diderita kreditur tersebut
dapat berupa biaya-biaya (ongkos-ongkos) yang telah dikeluarkan kreditur,
kerugian yang menimpa harta benda milik kreditur, atau hilangnya
keuntungan yang diharapkan.
Tuntutan apa yang harus ditanggung oleh pihak yang wanprestasi
tersebut tergantung pada jenis tuntutan yang dipilih oleh pihak yang
dirugikan (kreditur). Bahkan apabila tuntutan itu dilakukan dalam bentuk
gugatan di pengadilan, pihak yang wanprestasi tersebut juga dibebani biaya
perkara.
d. Hak Kreditur terhadap Debitur Yang Wanprestasi
Dalam Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) dapat disimpulkan apabila seorang kreditur yang menderita
kerugian karena debitur melakukan wanprestasi, kreditur memiliki alternatif
untuk melakukan upaya hukum atau hak sebagai berikut:
a. Meminta pelaksanaan perjanjian;
b. Meminta ganti rugi;
c. Meminta pelaksanaan perjanjian sekaligus meminta ganti rugi;
41
d. Dalam perjanjian timbal balik, dapat diminta pembatalan perjanjian
sekaligus meminta ganti rugi.
e. Pembatalan Perjanjian Karena Wanprestasi
Apabila kreditur yang dirugikan akibat tindakan wanprestasi
debitur, maka kreditur harus membuktikan kesalahan debitur (yakni
kesalahan tidak berprestasi), kerugian yang diderita, dan hubungan kausal
antara kerugian dan wanprestasi. Masalah pembatalan perjanjian karena
kelalaian atau wanprestasi telah diatur dalam Pasal 1266 KUHPerdata. Pasal
1266 ayat (1) menentukan bahwa syarat batal selalu dicantumkan dalam
perjanjian jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Pada dasarnya perjanjian dibuat untuk saling menguntungkan dan
bukan untuk saling merugikan atau untuk merugikan pihak lain. Oleh karena
itu, walaupun undang-undang memungkinkan pihak yang dirugikan untuk
membatalkan kontrak, selayaknya wanprestasi-wanprestasi kecil tidak
dijadikan alasan untuk pembatalan kontrak, melainkan hanya pemenuhan
kontrak baik yang disertai tuntutan ganti rugi maupun tidak. Hal ini penting
untuk dipertimbangkan karena dalam kasus-kasus tertentu, pihak yang
wanprestasi dapat mengalami kerugian besar jika kontrak dibatalkan.
Pembatalan perjanjian pun harus dimintakan kepada hakim, tidak
mungkin perjanjian sudah batal dengan sendirinya pada waktu debitur
nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Disebutkan juga oleh Pasal 1266 ayat
(2) bahwa perjanjian itu tidak batal demi hukum.
42
f. Ganti Rugi
Apabila seorang debitur telah diperingatkan atau sudah dengan
tegas ditagih janjinya lalu ia tetap tidak melaksanakan prestasinya, maka ia
berada dalam keadaan lalai. Terhadap debitur yang demikian, kreditur dapat
menjatuhkan sanksinya kepada debitur. Salah satu sanksi tersebut adalah
ganti rugi.
Pasal 1243 KUHPerdata memerinci ganti rugi yang mencakup
biaya (konsten), kerugian (schade), dan bunga (intresten). Biaya adalah
semua pengeluaran atau ongkos yang secara riil dikeluarkan oleh pihak
dalam perjanjian. Adapun kerugian yang dimaksud di sini adalah kerugian
yang secara nyata diderita dan menimpa harta benda kreditur akibat
kelalaian debitur. Dan yang dimaksud dengan bunga adalah kerugian
terhadap hilangnya keuntungan yang diharapkan (winstderving) andai
debitur tidak wanprestasi (Khairandy, 2013: 288).
g. Kerugian Tanpa Kesalahan (Resiko)
Kerugian tanpa kesalahan ini merupakan suatu hal yang sangat erat
terkait dengan pembelaan debitur yang dituduh lalai, terutama tentang
pembelaan yang berupa keadaan terpaksa (overmacht). Tidak selamanya
kerugian muncul karena adanya kesalahan salah satu atau kedua belah
pihak, karena dalam keadaan tertentu dapat timbul kerugian tetapi kerugian
tersebut bukan disebabkan karena kesalahan atau kelalaian seseorang.
Kerugian tanpa kesalahan inilah yang disebut dengan resiko.
43
Resiko dalam pengertian hukum merupakan kerugian yang diderita
oleh seseorang, tetapi pembayaran ganti rugi tidak dapat dibebankan kepada
orang lain karena tidak ada orang lain yang merupakan penyebab timbulnya
kerugian. Dengan demikian, pada umumnya resiko ditanggung oleh pemilik
barang.
Sebagai contoh, jika seseorang meminjam mobil orang lain,
misalnya si A meminjam mobil si B, kemudian ketika si A memakai mobil
tersebut, dia bermaksud memarkir mobil di pinggir jalan. Karena mobil
masih baru, si A mencari tempat parkir yang teduh agar mobil tersebut
terlindung dari sengatan matahari sehingga si A memarkir di bawah pohon
yang rindang. Tetapi entah kenapa sebabnya, tiba-tiba pohon tersebut
tumbang dan menimpa mobil tersebut sehingga mobil milik si B rusak berat.
Sebagian besar orang pasti berpikir bahwa yang harus memperbaiki
mobil tersebut adalah si A karena dia telah meminjam mobil sehingga
sangat tidak wajar jika dikembalikan dalam keadaan rusak. Akan tetapi,
kalau sebagian orang mau berpikir secara hukum bahwa kerugian tersebut
sama sekali di luar kesalahan atau kejadian tersebut tidak pernah diduga
oleh si A, maka menurut hukum si A tidak dapat dibebani kewajiban untuk
memperbaiki mobil tersebut. Hal yang berbeda seandainya si A dengan
sukarela memperbaiki mobil tersebut, hal itu bukan karena dia diharuskan
oleh hukum, tetapi hanya karena mungkin secara moral dia merasa patut
untuk memperbaikinya (Miru, 2013: 84).
44
D. Akad
a. Pengertian Akad
Kata ‘aqad secara bahasa berarti ikatan. Secara istilah, akad adalah
menghubungkan antara dua perkataan, termasuk juga di dalamnya janji dan
sumpah, karena sumpah menguatkan niat berjanji untuk melaksanakan isi
sumpah atau meninggalkannya. Demikian juga halnya dengan janji sebagai
perekat hubungan antara kedua belah pihak yang berjanji dan menguatkan
(Azzam, 2010: 15).
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dalam Pasal 20
mendefinisikan akad sebagai kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua
pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan
hukum tertentu (KHES, 2008).
b. Asas-asas Akad
Akad dilakukan berdasarkan asas:
a. Ikhtiyari/sukarela
Setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari
keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain.
b. Amanah/menepati janji
Setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan
kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang
sama terhindar dari cidera janji.
45
c. Ikhtiyati/kehati-hatian
Setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan
dilaksanakan secara tepat dan cermat.
d. Luzum/tidak berubah
Setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan
yang cermat, sehingga terhindar dari praktek spekulasi atau maisir.
e. Saling menguntungkan
Setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak
sehingga tercegah dari praktek manipulasi dan merugikan salah satu
pihak.
f. Taswiyah/kesetaraan
Para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan
mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.
g. Transparansi
Setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak
secara terbuka.
h. Kemampuan
Setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak,
sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.
i. Taisir/kemudahan
Setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan
kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai
dengan kesepakatan.
46
j. Itikad baik
Akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan, tidak
mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.
k. Sebab yang halal
Setiap akad dilakukan tidak bertentangan dengan hukum, tidak
dilarang oleh hukum dan tidak haram.
l. Al-hurriyah/(kebebasan berkontrak)
m. Al-kitabah (tertulis)
c. Rukun Akad
Rukun akad terdiri atas:
a. Pihak-pihak yang berakad
Pihak-pihak yang berakad adalah orang perseorangan, kelompok
orang, persekutuan, atau badan usaha. Orang yang berakad harus cakap
hukum, berakal dan tamyiz.
b. Obyek akad
Obyek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang
dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Obyek akad harus suci,
bermanfaat, milik sempurna, dan dapat diserah terimakan.
c. Tujuan pokok akad
Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad.
47
d. Kesepakatan/sighat akad
Sighat akad dapat dilakukan dengan jelas, baik secara lisan, tulisan
dan atau perbuatan.
d. Kategori Hukum Akad
Hukum akad terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu:
a. Akad yang sah
Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-
syaratnya.
b. Akad yang fasad/dapat dibatalkan
Akad yang fasad adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-
syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut
karena pertimbangan maslahat.
c. Akad yang batal/batal demi hukum
Akad yang batal adalah akad yang kurang rukun atau syarat-
syaratnya (KHES: 2008).
E. Murabahah
a. Pengertian Murabahah
Murabahah berasal dari bahasa Arab ar-ribhu (الربح) yang berarti
untung. Dalam jual beli secara umum, mekanisme pembayaran secara
tunai, dengan mekanisme murabahah, jual beli menjadi bersifat tangguh
dalam pembayaran, serta penjual dapat mengambil tambahan keuntungan
)الربح ) dari barang yang dibeli (Dahlan, 2012: 190).
48
Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang
dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui
transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan
harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi
shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur
(KHES, 2008).
Sedangkan menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2001: 101), bai’
al-murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan
keuntungan yang disepakati. Dalam bai’ al-murabahah, penjual harus
memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat
keuntungan sebagai tambahannya. Misalnya, pedagang eceran membeli
komputer dari grosir dengan harga Rp 10.000.000,00-, kemudian ia
menambahkan keuntungan sebesar Rp 750.000,00- dan ia menjual kepada si
pembeli dengan harga Rp 10.750.000,00-. Pada umumnya, si pedagang
eceran tidak akan memesan dari grosir sebelum ada pesanan dari calon
pembeli dan mereka sudah menyepakati tentang lama pembiayaan, besar
keuntungan yang akan diambil pedagang eceran, serta besarnya angsuran
kalau memang akan dibayar secara angsuran.
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
yang disebut murabahah adalah transaksi jual beli dengan menegaskan
harga belinya kepada pembeli dengan mengambil keuntungan yang telah
disepakati adapun cara pembayarannya dapat langsung tunai atau dicicil.
49
b. Landasan Hukum Murabahah
a. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 275
… ... ) ٢٧٥: البقرة(
Artinya: “…Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (Al-Baqarah: 275)
b. Al-Hadis (Sunan Ibnu Majah, Hadis nomor 2289)
: صلى هللا علیھ وسلم سول هللا ر قال : بیھ قال أ عن ،ھیب صالح بن ص عن
ط البر بالشعیر ال خ ا البیع إلى أجل والمقارضة و : فیھن البركة ثالث
)رواه ابن ما جھ(للبیت ال للبیع
Artinya: Dari Sholeh bin shuhaib, dari ayahnya berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah)
c. Syarat Murabahah
a. Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah;
b. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan;
c. Kontrak harus bebas dari riba;
d. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang
sesudah pembelian;
e. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang;
Secara prinsip, jika syarat dalam (a), (d), atau (e) tidak dipenuhi,
pembeli memiliki pilihan:
a. Melanjutkan pembelian seperti apa adanya;
50
b. Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang
yang dijual;
c. Membatalkan kontrak (Antonio, 2001: 102).
d. Rukun Murabahah
Rukun dari akad murabahah yang harus dipenuhi dalam transaksi
ada beberapa, yaitu:
a. Pelaku akad, yaitu ba’i (penjual) adalah pihak yang memiliki barang
untuk dijual, dan musytari (pembeli) adalah pihak yang memerlukan dan
akan membeli barang;
b. Objek akad, yaitu mabi’ (barang dagangan) dan tsaman (harga); dan
c. Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Murabahah pada awalnya merupakan konsep jual beli yang sama
sekali tidak ada hubungannya dengan pembiayaan. Namun demikian,
bentuk jual beli ini kemudian digunakan oleh perbankan syariah dengan
menambah beberapa konsep lain sehingga menjadi bentuk pembiayaan
(Ascarya, 2011: 82).
e. Bentuk Akad Murabahah
Bentuk-bentuk akad murabahah diantaranya adalah:
a. Murabahah sederhana
Murabahah sederhana adalah bentuk akad murabahah ketika
penjual memasarkan barangnya kepada pembeli dengan harga sesuai
harga perolehan ditambah marjin keuntungan yang diinginkan.
51
b. Murabahah kepada pemesan
Bentuk murabahah ini melibatkan tiga pihak, yaitu pemesan,
pembeli dan penjual. Bentuk murabahah ini juga melibatkan pembeli
sebagai perantara karena keahliannya atau karena kebutuhan pemesan
akan pembiayaan. Bentuk murabahah inilah yang diterapkan perbankan
syariah dalam pembiayaan (Ascarya, 2011: 90).
f. Karakteristik Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan.
Dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang
setelah ada pemesanan dari nasabah.
Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau
tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya. Dalam
murabahah pesanan mengikat, pembeli tidak dapat membatalkan
pesanannya. Apabila aktiva murabahah yang telah dibeli bank (sebagai
penjual) dalam murabahah pesanan mengikat mengalami penurunan nilai
sebelum diserahkan kepada pembeli, maka penurunan nilai tersebut menjadi
beban penjual (bank) dan penjual (bank) akan mengurangi nilai akad.
Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan.
Selain itu, dalam murabahah juga diperkenankan adanya perbedaan dalam
harga barang untuk cara pembayaran yang berbeda. Bank dapat memberikan
potongan apabila nasabah:
52
a. Mempercepat pembayaran cicilan;
b. Melunasi piutang murabahah sebelum jatuh tempo.
Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual dan
harga beli harus diberitahukan. Jika bank mendapat potongan dari
pemasok, maka potongan itu merupakan hak nasabah. Apabila potongan
tersebut terjadi setelah akad, maka pembagian potongan tersebut
dilakukan berdasarkan perjanjian yang dimuat dalam akad.
Bank dapat meminta nasabah menyediakan agunan (jaminan) atas
piutang murabahah, antara lain dalam bentuk barang yang telah dibeli
dari bank. Bank dapat meminta kepada nasabah urbun sebagai uang
muka pembelian pada saat akad apabila kedua belah pihak bersepakat.
Urbun menjadi bagian pelunasan piutang murabahah apabila murabahah
jadi dilaksanakan. Tetapi apabila murabahah batal, urbun dikembalikan
kepada nasabah setelah dikurangi dengan kerugian sesuai dengan
kesepakatan. Jika uang muka itu lebih kecil dari kerugian bank, maka
bank dapat meminta tambahan dari nasabah.
Apabila nasabah tidak dapat memenuhi piutang murabahah sesuai
dengan yang diperjanjikan, bank berhak mengenakan denda kecuali jika
dapat dibuktikan bahwa nasabah tidak mampu melunasi. Denda
diterapkan bagi nasabah mampu yang menunda pembayaran. Denda
tersebut didasarkan pendekatan ta’zir yaitu untuk membuat nasabah lebih
disiplin terhadap kewajibannya. Besarnya denda sesuai dengan yang
53
diperjanjikan dalam akad dan dana yang berasal dari denda
diperuntukkan sebagai dana sosial (qardhul hasan) (Nabhan, 2008: 94).
g. Skema Bai’ al-Murabahah
a. Skema murabahah sederhana
Sumber: (Ascarya, 2011: 82)
b. Skema murabahah perbankan/pesanan
2. Akad Jual Beli
6. Bayar
5. Terima Barang
3. Beli Barang 4. Kirim
Sumber: (Antonio, 2001: 107)
Penjual Pembeli Akad Murabahah
Barang
Cost + Margin
Bank Nasabah
1. Negosiasi &
Persyaratan
Suplier
Penjual
54
BAB III
DESKRIPSI PERKARA NOMOR 1720/Pdt.G/2013/PA.Pbg
TENTANG WANPRESTASI AKAD MURABAHAH
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Purbalingga
1. Sejarah
Pengadilan Agama merupakan salah satu lembaga penegak hukum
di Indonesia yang telah ada semenjak masuknya agama Islam di Nusantara
pada abad ke-VII Masehi. Perkembangan dari awal keberadaan sampai saat
ini telah mengalami pasang surut sesuai dengan keadaan masa-masa yang
ada pada zaman yang selalu berjalan, yakni masa sebelum penjajahan,
kemudian keadaan pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, dan berlanjut
pada masa kemerdekaan. Bahkan pada tahun 2006, Pengadilan Agama
mengalami kemapanan dalam hal kewenangan yang diberikan oleh undang-
undang (pa-purbalingga.go.id, diakses pada tanggal 23 Juni 2017).
a. Masa Sebelum Penjajahan
Kabupaten Purbalingga berdiri pada tanggal 18 Desember 1831.
Setelah Kerajaan Pajang runtuh, maka Kabupaten Purbalingga berada di
bawah kekuasaan Kerajaan Mataram. Sultan Agung adalah Raja
Mataram yang pertama kali mengadakan perubahan di dalam tata hukum
di bawah pengaruh agama Islam. Perubahan tersebut pertama-tama
55
diwujudkan khusus dalam norma Pengadilan. Pengadilan yang semula
bernama Pengadilan Pradata diganti dengan nama Pengadilan Serambi,
begitu juga dengan tempat yang semula di sitihinggil dan dilaksanakan
oleh Raja, kemudian dialihkan ke serambi Masjid Agung dan
dilaksanakan oleh para Penghulu dan dibantu oleh para Alim Ulama.
Sebagai bagian dari pemerintahan umum pada Kerajaan Mataram,
Kabupaten Purbalingga mempunyai jabatan keagamaan di tingkat desa
yang disebut Kaum, Amil, Modin, Kayim, Lebai dan sebagainya. Pada
tingkat kecamatan atau kawedanan, jabatan keagamaan disebut dengan
Penghulu Naib. Pada tingkat kabupaten, seorang Bupati didampingi oleh
seorang Patih untuk bidang kepemerintahan umum dan seorang Penghulu
kabupaten untuk bidang keagamaan. Sedangkan pada tingkat pusat
Kerajaan Mataram, jabatan ini disebut dengan Kanjeng Penghulu atau
Penghulu Ageng.
Penghulu Ageng dan Penghulu Kabupaten berfungsi pula sebagai
Hakim pada Majlis Pengadilan Agama yang ada pada waktu itu dengan
pola masyarakat Kerajaan Mataram. Dengan demikian, dapat dipastikan
bahwa di Kabupaten Purbalingga ini telah ada pula Pengadilan Agama
yang melaksanakan tugas untuk menyelesaikan sengketa antara umat
Islam di bidang perkara-perkara tertentu dan yang bertindak sebagai
Hakim adalah Penghulu Kabupaten. Pada perkembangan berikutnya,
yakni pada masa akhir pemerintahan Mataram muncul 3 (tiga) macam
56
peradilan, yaitu: Pengadilan Agama, Pengadilan Drigama dan Pengadilan
Cilaga.
Pengadilan Agama mengadili perkara atas dasar hukum Islam,
Pengadilan Drigama mengadili perkara berdasarkan hukum Jawa Kuno
yang telah disesuaikan dengan adat setempat. Sedangkan Pengadilan
Cilaga adalah semacam Pengadilan Wasit, khusus mengenai sengketa
perniagaan (pa-purbalingga.go.id, diakses pada tanggal 23 Juni 2017).
b. Masa Penjajahan Belanda
Pengadilan Agama sebagai lembaga penegak hukum mempunyai
kedudukan yang kuat dalam masyarakat. Hal ini terbukti dengan
munculnya kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Nusantara dengan
melaksanakan hukum Islam dan melembagakan sistem peradilan sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dengan keseluruhan sistem pemerintahan
di wilayah kekuasaannya. Pengadilan Agama Purbalingga yang wilayah
hukumnya meliputi wilayah Kabupaten Purbalingga masuk di wilayah
tanah Jawa kemudian menjadi daerah jajahan Belanda.
Berdasarkan Statsblad (lembar negara) Tahun 1882 Nomor 152
tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dinyatakan
mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 1882. Pembentukan tersebut
merupakan legitimasi terhadap Pengadilan Agama yang memang sudah
ada semenjak sebelum kedatangan penjajah Belanda.
Dengan terbitnya Statsblad Tahun 1882 Nomor 152 tersebut, maka
secara resmi Pengadilan Agama diakui sebagai Pengadilan yang sah di
57
wilayah jajahan Belanda. Ketika itu, pimpinan Pengadilan Agama dijabat
oleh seorang Ketua yang dirangkap oleh seorang pejabat Adviseur Bij De
Landrad atau yang populer dengan sebutan Penghulu Landrad
(Pengadilan Negeri). Sedangkan Mahkamah Islam Tinggi berdiri sejak
tanggal 1 Januari 1937 berdasarkan surat Gubernur Jendral Hindia
Belanda tanggal 12 Nopember 1937 Nomor 18 dan mengadakan sidang
pertama kali pada tanggal 7 Maret 1938.
Daerah yurisdiksi Mahkamah Islam Tinggi berdasarkan Statsblad
Tahun 1882 Nomor 152 adalah meliputi Pengadilan Agama di seluruh
Jawa dan Madura. Sedangkan daerah luar Jawa dan Madura seperti untuk
daerah sekitar Banjarmasin dan Kalimantan Selatan adalah dengan nama
Kerapatan Qadi bagi Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah untuk
tingkat pertama dan Kerapatan Qadi Besar bagi Pengadilan Tinggi
Agama/Mahkamah Syar’iyah Propinsi untuk tingkat Banding.
Kemudian berdasarkan Statsblad tahun 1937 Nomor 116,
kekuasaan dan kewenangan Pengadlan Agama yang sebelumnya juga
meliputi masalah kewarisan dan kebendaan yang berkaitan dengan
perkawinan telah dikurangi. Kekuasaan dan kewenangan Pengadilan
Agama terbatas pada hal-hal sebagai berikut :
1) Memeriksa perselisihan-perselisihan antara suami istri yang beragama
Islam;
2) Memeriksa perkara-perkara lain tentang Nikah, Talak, Rujuk dan
Percerian antara orang yang beragama Islam;
58
3) Memeriksa dan memutus perceraian dan menyatakan bahwa syarat
untuk jatuh talak sudah ada atau memenuhi syarat;
4) Memeriksa dan memutus gugatan nafkah dan mas kawin yang belum
dibayar serta hak-hak bekas istri yang diceraikan seperti nafkah dan
mut’ah (pa-purbalingga.go.id, diakses pada tanggal 23 Juni 2017).
c. Masa Penjajahan Jepang
Pada masa penjajahan Jepang, Pengadilan Agama tetap
dipertahankan, meskipun pada waktu itu Mahkamah Islam Tinggi pada
tanggal 7 Maret 1942 harus ditutup dan tidak diperbolehkan untuk
melaksanakan persidangan serta kantor disegel. Kantor baru dapat dibuka
kembali pada tanggal 18 April 1942 dengan nama Koikyoo Kaatoo
Hooin, sedangkan Pengadilan Agama diberi nama Sooryo Hooin.
Berdasarkan Peraturan Peralihan pasal 3 Undang-Undang Bala Tentara
Jepang (Osamu Soire) Nomor 1 tanggal 7 Maret 1942, Pengadilan
Agama masuk dalam Kementerian Kehakiman (Shihobu) dengan nama
Soooryo Hooin tersebut (pa-purbalingga.go.id, diakses pada tanggal 23
Juni 2017).
d. Masa Kemerdekaan
Pada saat permulaan Indonesia merdeka, Pengadilan Agama berada
di bawah Kementerian Kehakiman. Setelah berdiri Kementerian Agama
pada tanggal 3 Januari 1946, maka berdasarkan Penetapan Pemerintah
Nomor 5/SD tanggal 25 Maret 1946, Pengadilan Agama dipindahkan
dari Kementerian Kehakiman dan masuk Kementerian Agama.
59
Pada tahun 1948 keluarlah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948
tentang Susunan dan Kekuasaan Kehakiman dan Kejaksaan. Dalam
undang-undang ini, kedudukan dan kewenangan Pangadilan Agama
dimasukkan dalam Pengadilan Umum secara istimewa yang diatur dalam
pasal 33, 35 ayat (2) dan pasal 75.
Undang-undang ini bermaksud untuk mengatur tentang peradilan
dan sekaligus menyempurnakan isi Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1947 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan
yang mulai berlaku tanggal 3 Maret 1947. Lahirnya undang-undang ini
mendapat reaksi dari berbagai pihak terutama dari para Ulama Sumatra
seperti Aceh, Sumatra Barat dan Sumatra Selatan. Mereka sepakat
menolak kehadiran undang-undang tersebut dan mengusulkan agar
Mahkamah Syar’iyah yang sudah ada tetap berjalan.
Dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 24 Undang-Undang
Dasar 1945, pada tahun 1964 keluarlah Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
yang kemudian diganti dan disempurnakan dengan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
menentukan bahwa kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh 4 (empat)
lingkungan peradilan, yaitu: Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Keberadaan Pengadilan Agama Purbalingga jauh sebelum masa
kemerdekan, bahkan seiring dengan masuknya agama Islam di
60
Purbalingga sudah berjalan. Namun, keberadaannya baru dapat diketahui
secara struktural mulai tahun 1947. Pengadilan Agama Purbalingga pada
waktu itu masih berkantor di rumah pribadi KH. Iskandar di Jalan
Mayjen Panjaitan Nomor 65 Purbalingga dan pada tahun 1979 baru
pindah di Jalan Mayjen Panjaitan Nomor 117 Purbalingga. Semenjak itu,
secara periodik Pengadilan Agama Purbalingga dipimpin oleh Ketua
secara berturut-turut: KH. Iskandar (1947-1960), KH. Siradj Chazin
(1960-1970), Drs. Solihin (1970-1981), Drs. Amir Hasan Asy (1981-
1987), Drs. H. Agus Salim, S.H (1987-1992), Drs. H. Muhaimin MS.,
S.H. (1992-2003), Drs. H. Nawawi Kholil, S.H. (2003-2005), Dra. Hj.
Siti Muniroh, S.H. (2005-2007), Drs. H. Syadzali Musthofa, S.H. (2007-
2010), Drs. H. Noor Kholil, MH. (2010-2012) dan H. Hasanuddin, SH.,
MH. (2012-sekarang).
Sedangkan untuk jabatan Wakil Ketua Pengadilan Agama
Purbalingga baru dapat diketahui sejak KH. A. Miftah Idris. Semenjak itu
secara pereodik Wakil Ketua dijabat secara berturut-turut oleh: KH. A.
A. Dasar Pertimbangan Putusan Hakim Nomor: 1720/Pdt.G/2013/PA.Pbg
Tentang Wanprestasi Akad Murabahah
Pengajuan gugatan sengketa ekonomi syariah yang diteliti penulis ini
terjadi di Pengadilan Agama Purbalingga dengan register perkara yang telah
terdaftar pada Kepaniteraan Pengadilan Agama Purbalingga dengan nomor
perkara 1720/Pdt.G/2013/PA.Pbg tentang wanprestasi akad murabahah.
Penulis akan menguraikan tentang dasar-dasar pertimbangan Hakim sebelum
memutus perkara ini yang kemudian akan dianalisis oleh penulis.
Pertimbangan-pertimbangan Hakim sebelum menjatuhkan putusan untuk
perkara ini adalah sebagai berikut:
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.5 Akad Jual Beli Murabahah
yang ditandatangani oleh Penggugat dan Para Tergugat bahwa alamat para
Tergugat merupakan alamat tetap, yakni di wilayah hukum Penggadilan
Agama Purbalingga dan juga sesuai bukti P.1 H. AMAN WALIYUDIN, SE.,
MSI., dalam kedudukannya selaku Direktur Utama Perseroan berdomisili di
wilayah hukum Pengadilan Agama Purbalingga, oleh karena itu perkara ini
menjadi wewenang relatif Pengadilan Agama Purbalingga;
83
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.5 pasal 15 tentang Penyelesaian
Perselisihan, para pihak sepakat bahwa penyelesaian perselisihan para pihak
melalui Pengadilan Agama Purbalingga, sehingga oleh karenanya sesuai
dengan pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, perkara ini menjadi
wewenang absolut Pengadilan Agama Purbalingga;
Menimbang, bahwa oleh karena ternyata Para Tergugat meskipun telah
dipanggil dengan patut tidak datang menghadap, dan ternyata, bahwa tidak
datangnya itu disebabkan oleh sesuatu halangan yang tidak sah, Para Tergugat
harus dinyatakan tidak hadir, maka perkara ini diperiksa dan diadili tanpa
hadirnya Para Tergugat;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.4, yang berupa Akta Pernyataan
Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa Perseroan Terbatas
Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah Buana Mitra Perwira Nomor: 05 tanggal 14
Juli 2011, telah menetapkan dan mengangkat H. Aman Waliyudin, SE., MSI.,
sebagai Direktur Utama Perseroan;
Menimbang, bahwa Pasal 1 huruf 4 Undang-Undang Nomor: 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa Direksi adalah organ
perseroan yang bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk
kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroaan baik di dalam
maupun di luar Pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar;
84
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas H. Aman
Waliyudin, SE., MSI., Selaku Direktur Utama Bank Pembiayaan Rakyat
Syari’ah Buana Mitra Perwira mempunyai kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan gugatan dalam perkara ini;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.3 Pasal 7 diperjanjikan adanya
jaminan yang berupa sebidang tanah dengan sertifikat Hak Milik Nomor
577/Purbalingga, bukti mana diperkuat oleh bukti P.7 yang berupa Sertifikat
Hak Milik dan P.8 yang berupa Sertifikat Hak tanggungan;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti tersebut serta keretangan
Penggugat di persidangan, ternyata barang barang yang dimohonkan untuk
dilaksanakan sita jaminan (Conservatoir Beslaag), telah dijadikan sebagai Hak
tanggungan yang pemegangnya adalah PT. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS) Buana Mitra Perwira dan untuk permohonan sita jaminan tersebut
Penggugat tidak menyertainya dengan bukti permulaan sehingga tidak ada
alasan dan tanda tanda atau kekawatiran barang barang tersebut akan dialihkan
oleh Para Tergugat;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Majelis
Hakim telah memberikan Penetapan Nomor : 1720/Pdt.G/2013/PA. Pbg
tanggal 19 Desember 2013, bahwa permohonan Penggugat dalam hal sita
jaminan ditolak;
Menimbang, bahwa yang menjadi pokok gugatan Penggugat adalah bahwa
Para Tergugat telah cidera janji/ingkar janji/wanprestasi tersebut Penggugat
merasa dirugikan secara materiil yaitu sesuai dengan Akad Jual Beli
85
Murabahah Nomor: 43 tertanggal 18 Agustus 2010 yang perinciannya
pertanggal 31 Agustus 2013 sebagai berikut:
Harga Pokok : Rp. 36.787.193.-
Margin / keuntungan Bank : Rp. 17.216.409.-
Denda Keterlambatan : Rp. 275.000.-
Biaya Kunjungan : Rp. 110.000.-
Biaya Kuasa Hukum : Rp. 5.438.000,-
Total kewajiban Para Tergugat : Rp. 59.826.602,-
Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis akan mempertimbangkan
terlebih dahulu hal-hal yang berkaitan dengan akad, sesuai pasal 20 angka 1
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah bahwa akad adalah kesepakatan dalam
suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan hukum tertentu;
Menimbang, bahwa pasal 20 angka 6 Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari’ah menyebutkan bahwa Murabahah adalah pembiayaan saling
menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang
membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga
pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan
keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan
secara tunai atau angsur;
Menimbang, bahwa sesuai pasal 22 Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah
bahwa rukun akad terdiri dari Pihak-pihak yang berakad, Obyek akad, Tujuan
pokok akad, dan Kesepakatan;
86
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.5 yang berupa Akad Jual Beli
Murabahah No. 43, ternyatalah bahwa akad tersebut dibuat di hadapan Dyah
Saraswati, SH. Notaris Purbalingga oleh para pihak antara PT. Bank
Pembiayaan Rakyat Syari’ah Buana Mitra Perwira yang diwakili oleh Aman
Waliyudin selaku direktur utama dengan Mulia Lastro Wibowo, SE., dengan
disetujui isterinya;
Menimbang, bahwa surat perjanjian tersebut telah ditanda tangani oleh
para pihak dan saksi-saksi setelah seluruh kalimat dan kata kata yang
tercantum di dalamnya dibaca dan dibacakan oleh Dyah Saraswati, SH. Notaris
Purbalingga kepada para pihak tersebut, sehingga para pihak menyatakan benar
benar telah memahami seluruh isinya serta menerima segala kewajiban dan hak
yang timbul karenanya;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut telah terbukti
bahwa PT. Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS) Buana Mitra Perwira
telah mengadakan akad Jual Beli Murabahah untuk keperluan pembelian
barang berupa satu unit mobil Panther Merah Tahun 1997 dan satu unit Mobil
Daihatsu Expass hijau Tahun 1994, dengan kesepakatan-kesepakatan dalam
akadnya, oleh karena itu akad dimaksud telah memenuhi syarat dan rukun
akad, sehingga akad Jual Beli Murabahah Nomor: 43 Tanggal 18 Agustus 2010
yang dibuat Penggugat dengan Para Tergugat harus dinyatakan sah;
Menimbang, bahwa sesuai dengan akad yang dibuat oleh Penggugat dan
Para Tergugat bahwa jangka waktu pembiyaan yang diberikan Penggugat
kepada para Tergugat selama 36 (tiga puluh enam) bulan yaitu sejak
87
ditandatanganinya akad tersebut, yakni tanggal 18 Agustus 2010 sampai
dengan tanggal 18 Agustus 2013, dengan cara mengangsur setiap bulan sesuai
dengan jadwal angsuran yang telah ditetapkan, namun ternyata para Tergugat
telah menunggak angsuran dan untuk hal tersebut Penggugat telah
menyampaikan beberapa kali somasi (bukti P.10, P.11 dan P.12), namun
sampai gugatan ini didaftarkan ke Pengadilan Para Tergugat belum memenuhi
kewajibannya tersebut;
Menimbang, bahwa sesuai pasal pasal 44 Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari’ah bahwa semua akad yang dibentuk secara sah berlaku nash syari’ah
bagi mereka yang mengadakan akad, demikian juga pasal 46 Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah menyebutkan bahwa suatu akad hanya berlaku
antara pihak-pihak yang mengadakan akad;
Menimbang, bahwa sesuai pasal 21 huruf (b) Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah bahwa akad dilakukan berdasarkan asas amanah/menepati
janji, setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan
kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama
terhindar dari cidera-janji;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim juga mendasarkan kepada firman
Allah dalam surat Al Maidah ayat 1 yang berbunyi:
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”;
Dan hadits riwayat Abu Daud, Ahmad, Tirmidzi dan Daruqutni yang berbunyi:
88
المسلمون على شروطھم
Artinya: “ orang-orang Islam terikat pada akad perjanjian yang mereka buat”;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut maka harus
dinyatakan terbukti Para Tergugat telah tidak melaksanakan isi perjanjian
untuk membayar harga pokok sesuai dengan perincian pertanggal 31 Agustus
2013 sebesar Rp. 36.787.193,- (tiga puluh enam juta tujuh ratus delapan puluh
tujuh ribu seratus sembilan puluh tiga rupiah) dan margin/keuntungan Bank
sebesar 17.787.193 (tujuh belas juta tujuh ratus delapan puluh tujuh ribu
seratus sembilan puluh tiga rupiah) sehingga harus dinyatakan Para Tergugat
telah melakukan perbuatan cidera janji/ingkar janji/wanprestasi terhadap akad
Jual Beli Murabahah Nomor: 43 tersebut;
Menimbang, bahwa oleh karena Para Tergugat telah tidak melaksanakan
pembayaran pokok sesuai dengan perincian pertanggal 31 Agustus 2013
sebesar Rp. 36.787.193,- (tiga puluh enam juta tujuh ratus delapan puluh tujuh
ribu seratus sembilan puluh tiga rupiah) dan margin/keuntungan Bank sebesar
17.787.193 (tujuh belas juta tujuh ratus delapan puluh tujuh ribu seratus
sembilan puluh tiga rupiah) sampai batas waktu yang perjanjikan yaitu tanggal
18 Agustus 2013, maka berdasarkan pasal 6 Akad Jual Beli Murabahah
Nomor: 43 Para Tergugat patut dihukum untuk membayar denda keterlambatan
sesuai dengan peraturan perusahaan (bank) yang ditetapkan sebesar Rp.
275.000,- (dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) untuk dana qardhul hasan;
Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 6 Akad Jual Beli Murabahah
Nomor: 43 yang dibuat antara Penggugat dengan Para Tergugat telah
89
disepakati bahwa dalam hal nasabah ingkar janji sehingga bank memerlukan
jasa penasehat hukum dan kunjungan petugas, maka biaya jasa penasehat
hukum tersebut ditanggung oleh nasabah;
Menimbang, bahwa Penggugat dalam perkara ini telah menggunakan jasa
kuasa hukum, sebesar Rp. 5.438.000,- (lima juta empat ratus tiga puluh delapan
ribu rupiah), (bukti P.9) dan biaya kunjungan sebesar Rp. 110.000,- (seratus
sepuluh ribu rupiah);
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, maka harus dinyatakan terbukti Penggugat telah mengalami kerugian
material berupa:
Harga Pokok : Rp. 36.787.193.-
Margin / keuntungan Bank : Rp. 17.216.409.-
Denda Keterlambatan : Rp. 275.000.-
Biaya Kunjungan : Rp. 110.000.-
Biaya Kuasa Hukum : Rp. 5.438.000,-
Total kewajiban Para Tergugat : Rp. 59.826.602,-
Menimbang, bahwa dengan telah terbuktinya Para Tergugat ingkar
janji/cidera tidak melaksanakan akad Akad Jual Beli Murabahah tersebut, maka
para Tergugat dihukum untuk membayar kerugian materiil sebesar
Rp. 59.826.602,-, dengan perincian sebagai berikut;
Harga Pokok : Rp. 36.787.193.-
Margin / keuntungan Bank : Rp. 17.216.409.-
Denda Keterlambatan : Rp. 275.000.-
90
Biaya Kunjungan : Rp. 110.000.-
Biaya Kuasa Hukum : Rp. 5.438.000,-
Total kewajiban Para Tergugat : Rp. 59.826.602,-
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan pertimbangan tersebut di
atas, maka berdasarkan pasal 125 HIR gugatan Penggugat dapat dikabulkan
dengan verstek sebagian dan ditolak selebihnya;
Menimbang, bahwa oleh karena Para Tergugat adalah pihak yang kalah,
maka berdasarkan pasal 181 HIR biaya yang timbul dalam perkara ini
dibebankan kepada Para Tergugat (Berkas Putusan No.
1720/Pdt.G/2013/PA.Pbg).
B. Analisis Dasar Pertimbangan Putusan Hakim Nomor:
1720/Pdt.G/2013/PA.Pbg Tentang Wanprestasi Akad Murabahah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama memberikan
kewenangan bagi pengadilan agama untuk menangani sengketa ekonomi
syariah. Hal tersebut dapat dijumpai di Pasal 49 yang berbunyi:
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; b. Waris; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Zakat; g. Infaq
91
h. Shadaqah; dan i. Ekonomi syari’ah.
Atas dasar undang-undang tersebut, Penggugat menggugat Para Tergugat
di Pengadilan Agama Purbalingga dengan tuduhan telah melakukan
wanprestasi akad murabahah. Selain karena hal tesebut merupakan
kewenangan absolut pengadilan agama, Penggugat juga mendasarkan
gugatannya pada isi akad jual beli murabahah nomor: 43 yang dibuat oleh
Penggugat dan Para Tergugat. Pada pasal 15 akad jual beli murabahah tersebut
menjelaskan tentang kesepakatan para pihak yang berakad jika di kemudian
hari terjadi sengketa, mereka bersepakat menyelesaikannya di pengadilan
agama.
Pengadilan agama bukanlah satu-satunya jalan dalam menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah. Para pihak pembuat akad dapat menempuh jalur
penyelesaian sengketa non litigasi. Maksud dari penyelesaian sengketa non
litigasi adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan, seperti meminta
tolong kepada BASYARNAS, negosiasi maupun mediasi. Penyelesaian
sengketa non litigasi hanya dapat terjadi ketika para pihak pembuat akad
menyertakan klausul tersebut dalam perjanjian. Hal ini sesuai dengan Undang-
Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Pasal 55 yang
berbunyi:
4. Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
5. Dalam hal perkara pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian dilakukan sesuai isi akad.
6. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.
92
Gugatan yang diajukan Penggugat pada Para Tergugat bukannya tanpa
celah, peneliti setidaknya menemukan dua kekurangan dalam gugatan ini.
Pertama, penggunaan istilah “Piutang” dalam akad jual beli murabahah
tidaklah tepat. Peneliti telah menjelaskan di bab sebelumnya bahwa murabahah
termasuk jenis jual beli dengan menegaskan harga beli barang pada pembeli
dan mengambil keutungan sesuai kesepakatan yang pembayarannya dapat
dilakukan kontan maupun kredit. Jual beli dan piutang merupakan dua hal yang
berbeda. Jual beli merupakan bagian dari akad tijaroh (perdagangan) yang
bertujuan untuk mendapatkan untung. Sedangkan piutang merupakan bagian
dari akad tabarru’ (kebaikan) yang tujuannya adalah murni untuk tolong
menolong sesama dan tidak boleh ada unsur komersil di dalamnya.
Kedua, gugatan yang diajukan Penggugat pada Para Tergugat tentang
kewajiban membayar harga pokok dan margin keuntungan bank tidaklah jelas.
Ketidakjelasan yang peneliti maksud adalah tentang berapa harga pokok dan
margin keuntungan bank yang harus dibayar oleh Para Tergugat tiap bulan,
sebab akad murabahah tersebut disepakati selama 36 bulan. Padahal pada awal
gugatan, harga pokok dan margin keuntungan bank secara total sudah
disepakati. Namun dalam posita gugatan, Penggugat hanya menyebut angka
secara total dari kekurangan pembayaran oleh Para Tergugat, bukan
merincinya.
Pertimbangan hukum lain yang digunakan hakim dalam memutus
perkara ini adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan
Terbatas Pasal 1 ayat (4). Undang-undang ini berkaitan dengan legal standing
93
Penggugat yang merupakan seorang direksi dari bank yang membuat akad
dengan Para Tergugat. Berdasarkan pengamatan peneliti, undang-undang ini
merupakan undang-undang lama yang sudah diganti dengan Undang-Undang
No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Maka sudah sepantasnya
hakim menggunakan undang-undang yang terbaru. Pengertian direksi sendiri
menurut Pasal 1 ayat (5) UU No. 40 Tahun 2007 adalah:
Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Pertimbangan hukum lain yang digunakan hakim adalah Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES). KHES merupakan dasar pertimbangan
hukum pertama hakim dalam kasus sengketa ekonomi syariah. KHES sendiri
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung sebagai jawaban atas berkembangnya
praktek ekonomi syariah di Indonesia. Demikian halnya dengan Putusan No.
1720/Pdt.G/2013/PA.Pbg ini yang menggunakan KHES sebagai pertimbangan
hukum utama. Pasal-pasal dalam KHES yang digunakan oleh hakim sebagai
pertimbangan hukum adalah: pasal 20 ayat (1), ayat (6), pasal 21 huruf (b),
pasal 22, pasal 44 dan pasal 46.
Pasal 20 ayat (1) dan (6) KHES menyangkut mengenai definisi akad dan
murabahah. Bunyi pasal tersebut adalah:
(1). Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.
(6). Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual
94
terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.
Penggunaan pasal ini sebagai dasar pertimbangan hukum sudah sepatutnya
digunakan, sebab Penggugat dan Para Tergugat telah membuat kesepakatan
untuk melaksanakan akad jual beli murabahah nomor 43.
Pasal 21 huruf (b) KHES menjelaskan mengenai asas dalam berakad.
Bunyi pasal tersebut adalah:
(b). Amanah/menepati janji; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera janji.
Pasal inilah yang digunakan pertimbangan hukum oleh hakim dalam memutus
gugatan yang diajukan Penggugat. Para Tergugat dianggap telah melakukan
cidera janji/wanprestasi terhadap akad jual beli murabahah nomor 43 dengan
tidak melakukan pembayaran angsuran sehingga Penggugat membawa kasus
ini ke pengadilan agama.
Pasal 22 KHES menjelaskan mengenai rukun akad. Bunyi pasal tersebut
adalah:
Rukun akad terdiri atas: a. Pihak-pihak yang berakad. b. Obyek akad. c. Tujuan pokok akad. d. Kesepakatan. Dari rukun-rukun yang terdapat dalam Pasal 22 KHES, kesemuanya sudah
dipenuhi dalam akad jual beli murabahah nomor 43. Pihak-pihak yang berakad
adalah Penggugat dan Para Tergugat yang keduanya telah cakap hukum,
berakal dan tamyiz. Obyek akad adalah barang yang suci dan bermanfaat, yakni
mobil. Tujuan pokok akad adalah memenuhi kebutuhan hidup, dan
95
kesepakatan adalah kesanggupan dari kedua belah pihak untuk menjalankan isi
akad.
Pasal 44 dan 46 KHES menjelaskan tentang akibat dari suatu akad.
Bunyi pasal tersebut adalah:
44. Semua akad yang dibuat secara sah berlaku sebagai nash syariah bagi mereka yang mengadakan akad.
46. Suatu akad hanya berlaku antara pihak-pihak yang mengadakan akad. Inti dari kedua pasal tersebut adalah menjelaskan tentang akibat hukum dari
suatu akad/perjanjian. Suatu akad dapat menjadi suatu peraturan yang berlaku
bagi kedua belah pihak. Dan suatu akad hanya berlaku diantara pihak yang
mengikatkan diri dalam akad tersebut. Akad jual beli murabahah nomor 43
tentu hanya berlaku diantara Penggugat dan Para Tergugat.
Pertimbangan hukum terakhir yang digunakan oleh hakim adalah
Herzien Inlandsch Reglement (HIR). HIR adalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku baik di pengadilan negeri maupun pengadilan agama. Pasal yang
digunakan hakim adalah Pasal 125 dan Pasal 181 HIR.
Pasal 125 ayat (1) HIR menjelaskan mengenai putusan verstek. Bunyi
pasal ini adalah:
125 (1): Jika tergugat tidak menghadap pada hari persidangan meskipun telah dipanggil dengan patut, atau tidak menyuruh orang lain untuk menghadap, maka gugatan diputus dengan verstek, kecuali kalau menurut pengadilan gugatan itu melawan hukum atau tidak beralasan.
Putusan verstek ini jelas hakim jatuhkan dalam perkara nomor
1720/Pdt.G/2013/PA.Pbg. Sebab selama jalannya persidangan, tidak sekalipun
Para Tergugat hadir di muka sidang. Dan berdasarkan pemeriksaan
persidangan, gugatan Penggugat dapat dibuktikan dengan bukti surat-surat dan
96
keterangan Penggugat. Maka menurut undang-undang, putusan haruslah tetap
dibacakan guna menghormati Penggugat yang telah merelakan waktu dan
mungkin juga biaya untuk menghadiri persidangan.
Pasal 181 ayat (1) HIR menjelaskan mengenai hal siapa membayar biaya
perkara. Bunyi pasal ini adalah:
181 (1): Barangsiapa dikalahkan akan membayar biaya perkara. Akan tetapi biaya perkara dapat dibebankan bersama-sama terhadap suami-isteri, keluarga dalam garis lurus, saudara laki-laki atau perempuan, atau keluarga semenda dalam derajat yang sama, dan juga dalam hal-hal di mana para pihak ada bagian-bagian yang dikalahkan.
Pasal ini mengandung arti bahwa pihak yang kalah dalam persidangan harus
menanggung biaya yang timbul akibat perkara. Para Tergugat merupakan pihak
yang kalah dalam persidangan, oleh karenanya mereka berkewajiban
membayar baiaya perkara. Biaya yang timbul dalam perkara bisa meliputi:
biaya pendaftaran, biaya proses, biaya pemanggilan sidang dan lain-lain.
Berdasarkan analisa yang peneliti telah paparkan di atas, maka dapat
peneliti simpulkan bahwa dalam memutus perkara nomor
1720/Pdt.G/2013/PA.Pbg, Majelis Hakim menggunakan sumber hukum
berupa: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas, Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah (KHES) dan Herzien Inlandsch Reglement (HIR).
Terhadap penggunaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang
Perseroan Terbatas sebagai dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara
97
ini, peneliti tidak sependapat. Sebab undang-undang tersebut termasuk undang-
undang lama yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 Tentang Perseroan Terbatas. Meskipun secara substansi, Pasal 1 ayat (4)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 sama dengan Pasal 1 ayat (5) Undang-
Undang No. 40 Tahun 2007, yakni berisi tentang definisi seorang direksi. Hal
ini sejalan dengan salah satu asas hukum yang berbunyi, “Lex posteriori
derogat legi priori”. Maksudnya adalah undang-undang yang baru
mengabaikan atau mengesampingkan undang-undang yang lama dalam hal
yang sama.
Pun demikian, peneliti memberikan apresiasi kepada hakim yang
memutus perkara ini. Sebab dalam memutus perkara ini, hakim telah
menggunakan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama
dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) sebagai dasar pertimbangan
hukum. Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama
merupakan undang-undang terbaru dan merupakan perubahan yang kedua dari
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah dirubah dengan
perubahan pertama Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama yang mana undang-undang tersebut memuat kewenangan absolut
pengadilan agama untuk menangani sengketa ekonomi syariah. Sementara
untuk penggunaan KHES oleh hakim sebagai dasar pertimbangan dalam
memutus perkara ini, peneliti sependapat. Sebab, KHES merupakan sumber
hukum utama dalam memutus sengketa ekonomi syariah.
98
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan dan berdasarkan
rumusan masalah mengenai analisis terhadap dasar pertimbangan Putusan
Hakim Nomor 1720/Pdt.G/2013/PA.Pbg, maka dapat disimpulkan bahwa
sumber hukum yang digunakan oleh Hakim dalam putusan Nomor
1720/Pdt.G/2013/PA.Pbg adalah:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
3. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) dan;
4. Herzien Inlandsch Reglement (HIR).
Terhadap dasar pertimbangan hukum oleh hakim dalam memutus perkara
no. 1720/Pdt.G/2013/PA.Pbg tentang wanprestasi akad murabahah di atas,
peneliti tidak sependapat dengan penggunaan Undang-Undang No. 1 Tahun
1995 Tentang Perseroan Terbatas. Sebab undang-undang tersebut merupakan
undang-undang lama yang telah diganti dengan Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 Tentang Perseroan Terbatas.
99
Sementara terhadap penggunaan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009
Tentang Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan
HIR (Herzien Inlandsch Reglement), peneliti sependapat. Sebab, Undang-
Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama merupakan undang-
undang terbaru yang merupakan perubahan kedua dari Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Sementara KHES merupakan sumber
hukum utama dalam memutus sengketa ekonomi syariah. Sedangkan HIR
merupakan hukum acara perdata yang berlaku baik di pengadilan umum
maupun di pengadilan agama.
B. Saran
Berdasarkan Kesimpulan di atas, maka peneliti memberikan saran:
1. Untuk para Bapak/Ibu Hakim Pengadilan Agama Purbalingga agar
senantiasa memperbarui dan meng-update undang-undang yang terbaru
yang dikeluarkan oleh Pemerintah, baik undang-undang tentang Hukum
Acara Perdata maupun Hukum Acara Peradilan Agama, lebih-lebih yang
menyangkut ekonomi syariah.
2. Untuk Penggugat agar terlebih dahulu memeriksa dan mengecek berkas
gugatan sebelum diajukan kepada Pengadilan Agama, sebab dengan
ketidakjelasan berkas gugatan dapat menjadikan gugatan menjadi kabur
(obscuur libel).
3. Untuk Para Pembuat Akad supaya menyertakan klausul tentang
penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi, baik melalui
100
BASYARNAS, negosisasi maupun mediasi terlebih dahulu sebelum
memilih menyelesaikan sengketa lewat pengadilan agama.
4. Untuk Pemerintah dalam hal ini Pengadilan Agama Purbalingga untuk
memberikan sosialisasi kepada masyarakat supaya sadar akan keberadaan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama bahwa
pengadilan agama diberikan kewenangan absolut dalam memutus sengketa
ekonomi syariah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Kelompok Buku
Ali, Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika . 2008. Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: Sinar Grafika Anshori, Abdul Ghofur. 2007. Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 Sejarah, Kedudukan, dan Kewenangan. Yogyakarta: UII Press
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik.
MK Nomor 93/PUU-X/2012: Litigasi dan Non Litigasi. Yogyakarta: UII Press
Ikatan Bankir Indonesia. 2014. Memahami Bisnis Bank Syariah. Jakata: PT
Gramedia Pustaka Utama Khairandy, Ridwan. 2013. Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif
Perbandingan (Bagian Pertama). Yogyakarta: FH UII Press Koosmargono dan Moch. Dja’is. 1995. Membaca dan Mengerti HIR.
Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Mardani. 2009. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyyah. Jakarta: Sinar Grafika
Miru, Ahmadi. 2013. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta:
Rajawali Pers Nabhan, Faqih. 2008. Dasar-dasar Akutansi Bank Syariah. Yogyakarta:
Lumbung Ilmu Rasyid, Chatib dan Syaifuddin. 2009. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktik pada Peradilan Agama. Yogyakarta: UII Press Saifulloh, Moh. 2005. Fiqih Islam Lengkap. Surabaya: TERBIT TERANG Zuhriah, Erfaniah. 2009. Peradilan Agama Indonesia: Sejarah Pemikiran dan
Realita. Malang: UIN Malang Press
B. Internet Al Hakim, Ikhsan. 2013. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di
Pengadilan Agama Purbalingga (Studi Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama Oleh Pengadilan Agama Purbalingga). Skripsi. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (www.lib.unnes.ac.id, diakses pada 7 Februari 2017)
Naryanti, Yunita. 2010. Gugatan Wanprestasi Yang Diajukan Oleh Pt Bpr
Syariah Buana Mitra Perwira Berdasarkan Akad Perjanjian Pembiayaan Al Musyarokah (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Purbalingga Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg). Skripsi. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (www.fh.unsoed.ac.id, diakses pada 20 Maret 2017)
Ningsih, Pratami Wahyudya. 2010. Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam
Perkara Gugatan Pemenuhan Kewajiban Akad Pembiayaan al-Musyarakah di Pengadilan Agama Purbalingga (Studi Terhadap Putusan Nomor: 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg). Skripsi. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta (www.dglib.uns.ac.id, diakses pada 7 Februari 2017)
Purnanisa, Martina. 2016. Analisis Putusan Pengadilan terhadap Penyelesaian
Hukum Ekonomi Syariah (Studi Kasus Putusan PA Madiun No.0403/Pdt.G/2004.Pa.Mn). Tesis. Banjarmasin: Pascasarjana Progdi Hukum Ekonomi Syariah IAIN Antasari Banjarmasin (www.idr.iain-antasari.ac.id, diakses pada 7 Februari 2017)
Sidiq, Fitriawan. 2013. Analisis Terhadap Putusan Hakim dalam Kasus Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama Bantul (Putusan No. 700/Pdt.G/2011/PA.Btl). Skripsi. Sleman: Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (www.dglib.uinsuka.ac.id, diakses pada 20 Maret 2017)
pa-purbalingga.go.id (diakses pada tanggal 23 Juni 2017)
C. Undang-Undang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Tahun 2008 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Berkas Putusan Pengadilan Agama Purbalingga tentang Sengketa Ekonomi Syariah Nomor 1720/Pdt.G/2013/PA.Pbg
Dalam rangka penulisan Skripsi Mahasiswa Program Sarjana (S.1) Saudara ditunjuk
Judul Skripsi: Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Kasus Sengketa Ekonomi
Syariah di Pengadilan Agama Purbalingga Tentang Wanprestasi Akad
Apabila dipandang perlu Saudara diminta mengkoreksi tema Skripsi di atas.
Syari’ah Akademik
Helmy, Lc., M.A. NIP. 19740104 200003 1 003
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
Jl. Nakula Sadewa VA No 9 Telp. (0298) 3419400 Fak 323433 Salatiga Website: www.iainsalatiga.ac.id E
Nomor : B-684/In.21/D1.2/PP.05.02/07/2017Lamp : - Hal : Permohonan Izin Penelitian
Kepada Yth. Ketua Pengadilan Agama Purbalingga
Di – Tempat Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh Dengan ini kami menerangkan bahwa mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga berikut:
Nama : Eko MulyonoNIM : 214-12-007Jurusan : Hukum Ekonomi Syariah
Dalam rangka penyelesaian studi Program S.1 di IAIN Salatiga, diwajibkan memenuhi salah satu persyaratan yang berupa pembuatan Skripsi.Adapun judul yang diambil adalah: “Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Kasus Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama Purbalingga Tentang Wanprestasi Akad Murabahah (Putusan No. 1720/Pdt.G/2013/PA.Pbg)” Dosen Pembimbing : Dr. Ilyya Muhsin, M.Si untuk menyelesaikan Skripsi tersebut, kami mohon Bapak memberi izin kepada mahasiswa tersebut untuk mengadakan penelitian guna memperoleh data atau keterangan dan bahan yang diperlukan.Kemudian atas pemberian izin Bapak, kami sampaikan terima kasih. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
KEMENTERIAN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYARIAH Jl. Nakula Sadewa VA No 9 Telp. (0298) 3419400 Fak 323433 Salatiga
Dengan ini kami menerangkan bahwa mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Eko Mulyono 007
: Hukum Ekonomi Syariah
Dalam rangka penyelesaian studi Program S.1 di IAIN Salatiga, diwajibkan memenuhi salah satu persyaratan yang berupa pembuatan Skripsi. Adapun judul yang diambil adalah:
“Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Kasus Sengketa Ekonomi Syariah di gama Purbalingga Tentang Wanprestasi Akad Murabahah (Putusan
No. 1720/Pdt.G/2013/PA.Pbg)”
Dosen Pembimbing : Dr. Ilyya Muhsin, M.Si
untuk menyelesaikan Skripsi tersebut, kami mohon Bapak memberi izin kepada mahasiswa tersebut untuk mengadakan penelitian di Pengadilan Agama Purbalingga, guna memperoleh data atau keterangan dan bahan yang diperlukan. Kemudian atas pemberian izin Bapak, kami sampaikan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
Jl. Nakula Sadewa VA No 9 Telp. (0298) 3419400 Fak 323433 Salatiga 50722 [email protected]
19 Juli 2017
Dengan ini kami menerangkan bahwa mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Dalam rangka penyelesaian studi Program S.1 di IAIN Salatiga, diwajibkan memenuhi
“Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Kasus Sengketa Ekonomi Syariah di gama Purbalingga Tentang Wanprestasi Akad Murabahah (Putusan
untuk menyelesaikan Skripsi tersebut, kami mohon Bapak memberi izin kepada di Pengadilan Agama Purbalingga,
DAFTAR NILAI SKK
Nama : Eko Mulyono Jurusan : Hukum Ekonomi Syari’ah