Saluran Transmisi Analisis Analisis Analisis Analisis Sistem Tenaga Sistem Tenaga Sistem Tenaga Sistem Tenaga Darpublic – Edisi Juli 2012 Sudaryatno Sudirham
Saluran Transmisi
Analisis Analisis Analisis Analisis
Sistem TenagaSistem TenagaSistem TenagaSistem Tenaga
Darpublic – Edisi Juli 2012
Sudaryatno Sudirham
i
Analisis
Sistem Tenaga
oleh Sudaryatno Sudirham
ii
Hak cipta pada penulis
SUDIRHAM, SUDARYATNO Analisis Sistem Tenaga Darpublic, Kanayakan D-30, Bandung, 40135.
iii
Pengantar
Buku ini berisi bahasan analisis sistem tenaga, yang merupakan suatu analisis pada tingkat transmisi (tidak termasuk sistem distribusi); pembahasan disajikan dalam lima bab. Bab pertama berisi tinjauan umum pada sistem tenaga, mencakup ketersediaan sumber energi sampai dengan sistem polifasa, pada pembebanan seimbang dan tak seimbang; di sini diberikan penjelasan mengenai perhitungan dalam per-unit serta komponen simetris yang akan dimanfaatkan pada pembahasan di bab-bab selanjutnya. Tiga bab berikutnya berisi bahasan mengenai piranti utama sistem tenaga, mencakup saluran transmisi, transformator, dan mesin sinkron; di tiga bab ini dibahas rangkaian ekivalen serta kondisi pembebanan yang mungkin terjadi. Bab terakhir berisi bahasan mengenai permasalahan aliran daya, dengan salah satu metoda silusi yaitu metoda Newton-Raphson. Pada dasarnya kondisi operasional sistem yang dibahas adalah kondisi mantap; hanya sedikit disinggung situasi transien pada saluran transmisi dan mesin sinkron. Stabilitas transien dan analisis keadaan hubung singkat belum dibahas dalam buku ini.
Mudah-mudahan sajian ini bermanfaat bagi para pembaca. Saran dan usulan para pembaca untuk perbaikan dalam publikasi selanjutnya, sangat penulis harapkan.
Bandung, Juli 2012 Wassalam, Penulis.
iv
Darpublic Kanayakan D-30, Bandung, 40135
Dalam format .pdf buku ini dapat diunduh bebas di www.buku-e.lipi.go.id dan www.ee-cafe.org
Selain Buku-e, di www.ee-cafe.org
tersedia juga open course dalam format .ppsx beranimasi dan .pdf
v
Daftar Isi
Kata Pengantar iii
Daftar Isi v
Bab 1: Tinjauan Pada Sistem Tenaga 1
Energi yang Tersedia. Struktur Sistem Tenaga Listrik. Penyaluran Energi Listrik. Sumber Energi Primer. Beban. Sistem Polifasa. Sistem Tiga-fasa Seimbang. Sistem Tiga-fasa Tak Seimbang. Pernyataan Sistem Tenaga.
Bab 2: Saluran Transmisi 47
Impedansi dan Admitansi. Rangkaian Ekivalen. Perubahan Pembebanan. Perubahan Panjang Saluran. Lossless Line. Analisis Pembebanan Saluran Transmisi. Transien Pada Saluran Transmisi.
Bab 3: Transformator 113
Transformator Satu –fasa. Transformator Pada Sistem Tiga-fasa. Transformator Tiga Belitan. Transformator Tiga-fasa Dibangaun Dari Transformator Satu-fasa. Pergeseran Fasa Pada Hubungan Y-∆. Sistem Per-Unit Pada Saluran Dengan Transformator. Transformator Polifasa.
Bab 4: Mesin Sinkron 157
Mesin Sinkron Kutub Menonjol. Mesin Sinkron Rotor Silindris. Kopling Turbin-Generator. Daya Mesin Sinkron. Batas Operasi Mesin Sinkron. Transien Pada Mesin Sinkron. Lebih Lanjut Tentang Mesin Sinkron Kutub Menonjol.
vi
Bab 5: Analisis Aliran Daya 197 Analisis Aliran Daya. Persamaan Arus-Tegangan. Persamaan Aliran Daya. Metoda Newton-Raphson. Contoh Sistem Dua Bus. Contoh Sistem Tiga Bus.
Daftar Pustaka 225
Biodata Penulis 226
Indeks 227
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
1
BAB 1 Tinjauan Umum Pada Sistem Tenaga
1.1 Energi Yang Tersedia dan Energi Listrik
Energi tersedia di alam dalam berbagai bentuk, dan manusia mengubahnya ke dalam bentuk energi listrik untuk memenuhi kebutuhannya. Pengubahan atau konversi ini memberikan keuntungan namun konversi tersebut juga memerlukan biaya yang tidak kecil.
Berbagai bentuk energi yang mungkin dikonversikan ke dalam energi listrik:
• Energi radiasi (sinar matahari). • Energi panas bumi. • Energi kimia (batubara, minyak bumi). • Energi kinetik gelombang laut. • Energi kinetic arus laut. • Energi potensial air terjun. • Energi nuklir.
Bentuk energi listrik memberikan beberapa keuntungan:
• Lebih mudah diatur/dikendalikan. • Dapat ditransmisikan dengan kecepatan cahaya. • Dapat dikonversikan ke bentuk energi lain dengan efisiensi
tinggi. • Bebas polusi, walaupun dalam konversinya dari bentuk
aslinya menimbulkan juga masalah polusi. • Konversi ke bentuk lain biasanya mudah dan sederhana.
Kelemahan energi listrik terutama adalah bahwa proses penyediaannya memerlukan pendanaan cukup besar. Kita sadari bahwa sistem tenaga listrik adalah besar baik dilihat dari ukurannya, investasinya, jumlah energi yang dikelola, besaran fisisnya (tegangan, arus) sampai kepada piranti-pirantinya. Oleh karena itu pembangunan sistem biasanya dilakukan tidak selalu dari nol melainkan mengembangakan sistem yang sudah ada; kebutuhan energi listrik yang terus tumbuh, memaksa sistem tenaga listrik
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
2 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
selalu di-modifikasi dengan mengambil manfaat dari perkembangan teknologi yang terjadi.
Dalam Tinjauan Sistem Tenaga Listrik ini, kita banyak menoleh ke PLN. Energi listrik diperkenalkan pertama kali di Indonesia pada tahun 1897 (masih zaman penjajahan) dengan didirikannya perusahaan listrik pertama yang bernama Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (NIEM) di Batavia (sekarang Jakarta) dengan kantor pusat di Gambir. Dua belas tahun setelah itu di Surabaya didirikan Algemeene Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) pada tahun 1909 oleh perusahaan gas NIGM [Ensiklopedi Blora, 2011]. Frekuensi yang digunakan pada sistem tenaga yang dibangun adalah 50 Hz, standar Eropa.
Yang menarik dalam kaitan perkembangan kelistrikan di Indonesia adalah bahwa pengenalan energi listrik di Indonesia tidaklah jauh dari perkembangan kelistrikan di Amerika. Kita baca misalnya dalam buku Charles A Gross [1] bahwa pada tahun 1890-an perusahaan Westinghouse baru bereksperimen dengan apa yang disebut “alternating current”. Persaingan berkembang antara General Electric dan Westinghouse dalam menentukan apakah dc atau ac yang sebaiknya digunakan oleh industri. Pada akhirnya bentuk ac dapat diterima, antara lain oleh alasan-alasan berikut:
• Transformator (ac) memberikan kemungkinan untuk mengubah tegangan maupun arus secara mudah.
• Generator ac jauh lebih sederhana dibandingkan dengan generator dc.
• Motor-motor ac juga lebih sederhana dan lebih murah dari motor dc.
Pada sekitar 1900 masih diperdebatkan mengenai frekuensi yang harus digunakan dalam mencatu daya ac, apakah 25, 50, 60, 125, dan 133 Hz. Jika tidak di-standarkan akan diperlukan beaya untuk peralatan konversi agar antar sistem dapat dihubungkan. Pada waktu itu pembangkit hidro cenderung menggunakan 25 Hz karena turbin air dapat dirancang untuk mencapai efisiensi yang lebih baik pada kecepatan yang sesuai dengan pembangkitan 25 Hz. Masalah yang timbul pada penggunaan frekuensi ini adalah terjadinya flicker pada lampu pijar. Pada akhirnya diterimalah frekuensi 60 Hz sebagai frekuensi standar karena pada frekuensi ini flicker tidak lagi terasa dan turbin uap berkinerja baik pada kecepatan perputaran yang
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
3
berkaitan yaitu 3600 dan 1800 rpm. Sementara itu di Eropa ditetapkan frekuensi 50 Hz sebagai frekuensi standar.
Pemanfaatan energi listrik yang pertama kali adalah untuk keperluan penerangan. Lampu listrik terus dikembangkan untuk memperoleh lumen per watt semakin tinggi. Kebutuhan energi listrik kemudian berkembang, tidak hanya untuk memenuhi keperluan penerangan tetapi juga keperluan akan energi untuk mengoperasikan berbagai alat rumah tanggga, alat kantor, pabrik-pabrik, gedung-gedung, sampai ke arena hiburan. Kebutuhan yang terus meningkat tersebut memerlukan penyaluran energi dengan tegangan yang lebih tinggi. Dibuatlah transformator penaik tegangan untuk mengirimkan energi dan transformator penurun tegangan untuk disesuaikan dengan kebutuhan pengguna.
1.2 Struktur Sistem Tenaga Listrik
An electrical power system can be defined as follows: An electrical power system is a network of interconnected components designed to convert nonelectrical energy continuously into the electrical form; transport the electrical energy over potentially great distances; transform the electrical energy into a specific form subject to close tolerances; and convert the electrical energy into a usable nonelectrical form. [1].
Agar dapat diimplementasikan, sistem ini harus aman, dapat diandalkan, ekonomis, ramah lingkungan, dan secara sosial dapat diterima. Sistem tenaga dapat dipandang terdiri dari beberapa sub-sistem, yaitu
Pembangkitan (Generation) Transmisi (Transmission) Subtransmission Distribusi: primer, sekunder Beban
1.2.1 Pembangkitan
Piranti utama di sub-sistem pembangkitan adalah generator yang merupakan sumber energi listrik. Istilah “sumber energi” di sini agaknya kurang tepat, mengingat bahwa sesungguhnya generator hanyalah mengubah energi non-listrik menjadi energi listrik. Generator ini, di pusat pembangkit tenaga air misalnya, digerakkan (diputar) oleh turbin air dan turbin sendiri digerakkan
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
4 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
oleh air terjun. Air terjunlah yang sesungguhnya sumber energi. Namun demikian pembahasan kita hanya menyangkut sistem tenaga listrik, sehingga peralatan-peralatan “di depan generator” tidak kita bicarakan dan kita menganggap generator sebagai sumber energi.
Pada umumnya generator merupakan mesin berputar, yang membangkitkan daya mulai dari puluhan kW hingga lebih dari 1000 MW, dengan tegangan mulai dari 380 V sampai 25 kV. Sisi keluaran generator merupakan sistem tiga-fasa.
1.2.2 Transmisi
Daya listrik dari pusat pembangkit disalurkan ke berbagai tempat melalui saluran transmisi. Tegangan saluran transmisi di sistem PLN adalah 150 kV, yang disebut Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan 275 – 500 kV yang disebut Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET). Di Amerika digunakan tegangan mulai 115 kV sampai 765 kV.
Sesungguhnya ada dua kemungkinan pembangunan saluran transmisi yaitu bawah tanah (underground) dan diatas tanah (overhead) yang kita sebut saluran udara. Saluran udaralah yang umum digunakan. Saluran udara ini biasanya panjang sampai ratusan kilometer. Konduktor yang digunakan adalah konduktor telanjang (tanpa isolasi padat) sehingga ia harus didukung oleh isolator yang terpasang pada menara. Saluran ini berhubungan langsung dengan udara sekitarnya sehingga sangat terpengaruh oleh kondisi alam seperti polusi dan petir.
Jaringan transmisi harus memiliki fleksibilitas untuk menyalurkan daya besar melalui sejumlah route. Ia harus dirancang sedemikian rupa sehingga gagalnya sejumlah kecil saluran tidak menyebabkan kegagalan seluruh sistem. Saluran ini juga harus mampu berfungsi sebagai penghubung yang mampu menyalurkan energi ke kedua arah.
Piranti yang menghubungkan generator dan saluran transmisi adalah transformator, yang berfungsi untuk mengubah tegangan keluaran generator ke tegangan transmisi yang lebih tinggi.
1.2.3 Subtransmissi
Di Indonesia (jaringan PLN), istilah “subtransmisi” tidak digunakan. Di PLN pernah digunakan saluran dengan tegangan 30
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
5
kV dan 70 kV, namun telah mulai ditinggalkan. Saluran subtransmisi biasanya tidak panjang (kurang dari beberapa puluh kilometer), kapasitas rendah (kurang dari 100 MVA) dan banyak cabang untuk mencatu pusat-pusat beban.
1.2.4 Distribusi
Saluran transmisi mencatu gardu-gardu induk, di mana tegangan diturunkan menjadi tegangan distribusi primer. Jaringan distribusi primer mencatu pelanggan tegangan menengah 20 kV. Pernah pula digunakan tegangan 6 dan 12 kV namun telah ditinggalkan.
Jaringan distribusi primer bisa dirancang sebagai jaringan radial ataupun loop. (lihat Gb.1.1) Pada jaringan radial daya mengalir satu arah yaitu dari sumber (gardu) ke beban (pengguna/pelanggan). Pada jaringan loop, beban dapat menerima daya lebih dari satu arah. Selain radial dan loop, dikembangkan pula struktur jaringan spindle.
Pada tahap terakhir, tegangan diturunkan lagi menjadi 380/220 V. Jaringan yang melayani pengguna pada tegangan rendah ini merupakan jaringan distribusi sekunder. Jaringan ini bisa sangat rumit, terutama di lokasi padat pengguna.
1.2.5 Beban
Beban (pengguna/pelanggan) mengambil energi listrik dari jaringan. Ada hal-hal yang harus dipenuhi dalam melayani beban ini.
1. Tegangan harus konstan, tidak naik-turun.
Radial
Loop Gb.1.1 Jaringan radial dan loop.
GI
Beban 1 Beban 2
Beban 3 Beban 4
GI
Beban 1 Beban 2
Beban 3 Beban 4
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
6 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
2. Frekuensi harus konstan.
3. Bentuk gelombang tegangan sedapat mungkin sinusoidal.
Untuk menentukan apakah ketentuan ini terpenuhi atau tidak, digunakan indeks kinerja.
1. Regulasi Tegangan: Deviasi nilai tegangan pada waktu beban berubah dalam batas-batasnya. Biasanya diambil sekitar 5%.
2. Regulasi Frekuensi: Pada keadaan normal, variasi frekuensi biasanya cukup kecil, Hz 1.0± , dan tidak terasa oleh beban.
3. Kandungan Harmonisa: (Lihat: Analisis Rangkaian Listrik Jilid-3).
1.3 Penyaluran Energi Listrik
Kita mengenal dua cara penyaluran energi listrik yaitu penyaluran menggunakan arus searah (selanjutnya kita sebut sistem arus searah, disingkat sistem AS) dan menggunakan arus bolak-balik sinusoidal (selanjutnya kita sebut sistem arus bolak-balik, disingkat sistem ABB). Berikut ini kita akan melihat perbandingan daya maksimum yang mampu disalurkan melalui beberapa konfigurasi saluran.
1.3.1. Daya
Perhatikan situasi penyaluran daya antar dua jaringan seperti diperlihatkan pada Gb.1.2. Hubungan antara A dan B digambarkan hanya dengan dua garis. Namun penyaluran daya dari A ke B biasanya dilakukan dengan sejumlah konduktor (2, 3, 4 konduktor) dengan susunan tertentu, yang kita sebut konfigurasi saluran.
Daya (laju aliran energi) dari A ke B adalah
vip = (1.1)
p = daya, v = tegangan, i = arus (yang ditulis dengan huruf kecil untuk menunjukkan bahwa mereka merupakan fungsi waktu).
Gb.1.2. Penyaluran daya antara dua jaringan.
Jaringan B
+ v −
i
Jaringan A
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
7
Untuk memperbesar aliran daya, v dan/atau i harus diperbesar. Akan tetapi upaya memperbesar kedua besaran ini dibatasi oleh kemampuan teknologi. Arus dibatasi oleh kemampuan hantar arus dari konduktor, sedangkan tegangan dibatasi oleh kekuatan isolasi.
Konduktor dibuat dari material yang memiliki konduktivitas listrik yang tinggi, memiliki kekuatan mekanis yang sesuai, serta ekonomis. Untuk itu banyak digunakan aluminum untuk saluran transmisi, dan tembaga untuk saluran distribusi serta bagian-bagian tertentu sistem tenaga. Kemampuan hantar arus dari suatu konduktor terkait erat dengan kerapatan arus dan luas penampangnya.
AJI maxmax = (1.2)
maxI = arus maksimum, maxJ = kerapatan arus maksimum, A =
luas penampang konduktor. Kerapatan arus maksimum, maxJ ,
ditentukan oleh pembatasan temperatur maksimum konduktor agar tidak terjadi kerusakan konduktor serta isolasinya.
1.3.2. Konfigurasi Saluran
Berikut ini kita akan memperbandingkan daya maksimum yang mampu disalurkan melalui suatu konfigurasi saluran tertentu.[1]. Ada enam konfigurasi yang akan kita lihat yaitu sistem AS 2 kawat, sisten AS 3 kawat, sistem ABB 1 fasa 2 kawat, sistem ABB 2 fasa 3 kawat, dan sistem ABB 3 fasa 4 kawat.
Pada setiap konfigurasi, salah satu kawat di-tanah-kan, dan disebut kawat netral; kawat yang tidak ditanahkan disebut kawat fasa. Dalam memperbandingkan kemampuan penyaluran setiap konfigurasi ini kita tetapkan bahwa
1. Luas penampang konduktor total, yaitu total jumlah luas penampang kawat fasa dan kawat netral, adalah sama yaitu A. Karena salah satu saluran adalah saluran balik (netral) maka luas penampang konduktor yang sesungguhnya digunakan untuk mengirim daya adalah lebih kecil dari A.
2. Kerapatan arus yang mengalir tidak melebihi batas kerapatan arus maksimum yang di tentukan, yaitu J0. Pembatasan ini diperlukan karena kita akan memperbandingkan kemampuan penyaluran daya pada berbagai konfigurasi. Bukan arus yang kita tetapkan mempunyai batas maksimum karena setiap konfigurasi
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
8 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
memiliki luas penampang konduktor kirim yang berbeda. Dengan membatasi kerapatan arus maksimum, maka setiap konfigurasi memiliki arus maksimum yang berbeda.
3. Tegangan setiap konduktor ke ground (tegangan fasa ke netral) tidak melebihi batas maksimum yang ditentukan yaitu V0. Tegangan antara kawat fasa dan kawat netral, berbeda antara satu konfigurasi dengan konfigurasi yang lain. Tegangan maksimum ini kita batasi untuk melihat berapakah daya yang dapat disalurkan pada tegangan fasa-netral maksimum dengan kerapatan arus yang juga maksimum.
4. Kawat netral (yang ditanahkan) merupakan saluran balik.
Konfigurasi (a): Sistem AS, 2 kawat, salah satu kawat adalah kawat netral yang merupakan saluran balik.
Total luas konduktor adalah A, koduktor yang ditanahkan merupakan penghantar balik. Jadi sistem ini menyalurkan daya melalui konduktor dengan luas penampang 0,5A. Daya yang mampu disalurkan paling tinggi adalah
000 5.0)5.0( PVJAPa == dengan 000 VAJP = (1.3)
Selanjutnya kita menggunakan 000 VAJP = sebagai referensi untuk
melihat kemampuan penyaluran daya pada konfigurasi yang lain; yaitu berapa kali P0 kemampuan penyaluran dayanya.
Konfigurasi (b) : Sistem AS, 3 kawat; dua kawat merupakan saluran kirim, satu bertegangan positif dan yang satu lagi bertegangan negatif. Kawat ke-tiga adalah saluran balik yang ditanahkan.
Konduktor pertama bertegangan positif sedangkan konduktor kedua bertegangan negatif, konduktor ketiga ditanahkan. Karena tegangan berlawanan, arus di konduktor pertama dan kedua juga berlawanan
+V0
0,5A 0,5A n
−V0
V0
0,5A 0,5A n
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
9
arah. Konduktor ketiga merupakan konduktor netral sebagai penghamtar balik sehingga di konduktor ini arus balik dari konduktor pertama dan kedua berlawanan arah; jika pembebanan seimbang kedua arus balik ini saling meniadakan. Hal ini memungkinkan penampang konduktor netral dibuat kecil saja sehingga total penampang konduktor dapat dikatakan tetap sama dengan A. Daya maksimum yang dapat ditransmisikan adalah
000)5.0(2 PVJAPb =×= (1.4)
Dari persamaan (1.4) terlihat bahwa kemampuan menyalurkan daya pada konfigurasi (b) ini dua kali lipat dari konfigurasi (a).
Konfigurasi (c): Sistem ABB satu fasa, dua kawat; satu kawat fasa dan yang lain kawat netral.
Misalkan gelombang tegangan sefasa dengan arusnya,
tVv m ω= cos tIi m ω= cos (1.5)
Daya sesaat adalah
( )tIVtIVvip mm
mmc ω+=ω== 2cos12
cos2 (1.6)
Daya ini berfluktuasi dengan frekuensi 2ω. Nilai rata-rata bagian yang berada dalam tanda kurung adalah 1, sehingga daya rata-rata (atau daya nyata) adalah
VIIVIV
P mmmm ===222
(1.7)
dengan V dan I adalah nilai efektif (rms). Arus efektif maksimum yang bisa disalurkan adalah
05.0 AJI = (1.8)
(di sini kita menganggap bahwa arus bolak-balik yang menglir di konduktor terdistribusi secara merata di seluruh penampang walaupun kenyataannya tidak demikian karena terjadi efek kulit. Namun anggapan ini cukup layak untuk keperluan diskusi.)
0,707V0
0,5A 0,5A n
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
10 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Karena kita telah menetapkan bahwa tegangan konduktor tidak lebih dari nilai batas V0 maka tegangan efektif maksimum adalah
00 707,02
VV
V == (1.9)
Nilai ini yang dicantumkan pada gambar konfigurasi.
Daya maksimum yang dapat ditransmisikan adalah
0000
0 354.0354.02
5.0 PVAJV
AJIVPc ==== (1.10)
Persamaan (1.10) menunjukkan bahwa kemampuan penyaluran daya pada konfigurasi ini hanya sekitar 35% dari kemampuan sistem AS 3 kawat. Selain itu, sebagaimana ditunjukkan oleh (1.6) penyaluran daya berfluktuasi, berarti laju penyaluran energi tidaklah konstan. Penyaluran energi semacam ini akan memaksa turbin penggerak generator juga memasok energi dengan laju yang berfluktuasi. Hal demikian tentu tidak dikehendaki. Oleh karena itu konfigurasi ini tidak digunakan untuk keluaran generator di pusat pembangkit.
Konfigurasi (d): sistem ABB satu fasa tiga kawat.
Sistem ini memiliki keuntungan seperti halnya untuk arus searah; oleh karena itu daya maksimum yang mampu disalurkan adalah dua kali lipat kemampuan penyaluran daya pada sistem ABB satu fasa dua kawat (konfigurasi (c)).
0707,02 PPP cd == (1.11)
Nilai daya sesaat diperlihatkan pada Gb.1.3, bersama dengan nilai sesaat daya pada konfigurasi (c). Perhatikan bahwa daya berfluktuasi dengan nilai rata-rata yang positif. Walaupun daya rata-rata bernilai positif, fluktuasi daya yang terjadi merupakan kelemahan dari konfigurasi (d) dan (c). Penyaluran energi tidak terjadi secara mantap; aliran energi berfluktuasi.
Konfigurasi (e): Sistem ABB, 2 fasa, 3 kawat; dua kawat fasa dan satu kawat netral.
0,707V0
0,5A 0,5A n
0,707V0
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
11
Jika tegangan dan arus di fasa x adalah
tVv mx ω= cos tIi mx ω= cos (1.12.a)
dan di fasa y berbeda 90o,
tVv my ω= sin tIi my ω= sin (1.12.b)
maka daya sesaat menjadi
( ) mmmmyyxxe IVttIVivivp =ω+ω=+= 22 sincos (1.13)
Persamaan (1.13) ini cukup mengejutkan. Perhatikan bahwa daya sesaat bernilai konstan. Daya rata-rata sama dengan daya sesaat.
mmee IVpP == (l5.14)
Karena tegangan tidak boleh melebihi batas V0 maka tegangan maksimum adalah
0VVm = (1.15.a)
Arus di kedua fasa berbeda 90o, sehingga penghantar netral
mengalirkan arus 2 kali arus fasa; luas penampangnya juga harus
dibuat 2 kali sehingga perbandingan luas penampang konduktor
fasa dan netral adalah 1:1: 2 . Luas penampang konduktor fasa
menjadi ( =+ )22/(1 0,293 kali A. Arus maksimum konduktor fasa
adalah
2)293.0(0 AJIm = (1.15.b)
Sehingga daya rata-rata adalah
000 414.0
2
2)293,0(
2P
AJVIVP mme === (1.16)
0,707V0
0,293A 0,293A n
0,707V0
0,414A x y
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
12 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Perhatikan bahwa konduktor netral berpenampang lebih besar dari
konduktor fasa sebab ia harus mengalirkan arus 2 kali dari arus fasa, jika sistem beroperasi dalam keadaan seimbang. Hal ini dapat dimengerti karena arus balik dari kedua fasa berbeda 90o dan bukan 180o sehingga tidak saling meniadakan. Akan tetapi di konfigurasi ini aliran daya tidak berfluktuasi seperti dinyatakan oleh persamaan (1.13).
Konfigurasi (f): Sistem ABB 3 fasa, 4 kawat; tiga kawat fasa dan satu kawat netral.
Tegangan dan arus fasa berbeda 120o. Dengan urutan fasa positif, tegangan dan arus tersebut adalah:
).120(cos ;0120(cos ;cos
).120(cos );120(cos ;cosoo
oo
+ω=−ω=ω=
+ω=−ω=ω=
tIitIitIi
tVvtVvtVv
mcmbma
mcmbma (1.17)
Daya sesaat adalah
( ))120(cos)120(coscos o2o22 +ω+−ω+ω=
++=
tttIV
ivivivp
mm
ccbbaaf (1.18)
Dengan memanfaatkan relasi trigonometri
2
2cos1cos2
θ+=θ (1.19)
persamaan (1.18) menjadi
( )
2
3
)2402cos()2402cos(2cos32
oo
mm
mmf
IV
tttIV
p
=
+ω+−ω+ω+= (1.20)
Sekali lagi kita lihat di sini bahwa daya sesaat sama dengan daya rata-rata, yaitu
VIIV
pP mmff 3
2
3 === (1.21)
0,707V0
0,333A n
0,707V0
0,707V0
0,333A 0,333A
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
13
Tegangan dan arus efektif yang diperkenankan adalah
00 333.0dan 2
AJIV
V == (1.22)
sehingga
000 707.0333.02
3PAJ
VPf == (1.23)
Gb.1.3. Kurva daya terhadap waktu pada enam konfigurasi saluran.
Hasil perhitungan untuk enam konfigurasi di atas, dimuatkan dalam Tabel-1.1.
Tabel-1.1: Daya maksimum yang mampu ditransmisikan pada enam kofigurasi
Konfigurasi Modus operasi Daya maksimum
a) Dua kawat AS 0.500P0
b) Tiga kawat AS 1,000P0
c) Dua kawat ABB, 1 fasa 0,354P0
d) Tiga kawat ABB, 1fasa 0,707P0
e) Tiga kawat ABB, 2fasa 0,414P0
f) Empat kawat ABB, 3 fasa 0,707P0
Bagaimana memilih konfigurasi yang akan digunakan untuk menyalurkan energi? Misalkan kita memilih sisem ABB. Konfigurasi c) dan d) kelihatannya terpaksa kita tolak karena
1,141P0
1,000P0
0,707P0
0,500P0
0,354P0
Konfig. (a)
Konfig.(b)
Konfig. (e)
Konfig. (d), (f)
Konfig. (c)
t
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
14 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
terjadinya fluktuasi aliran daya pada konfigurasi ini. Di antara konfigurasi e) dan f) kita lebih memilih f) karena konfigurasi ini memiliki kemampuan penyaluran daya lebih tinggi.
Bagaimanakah sistem penyaluran energi dengan jumlah fasa lebih banyak? Sistem multifasa dengan konfigurasi N fasa, N+1 kawat akan memiliki kemampuan penyaluran daya sebesar 0,707P0. Jadi sistem 3 fasa 4 kawat merupakan sistem multi fasa yang paling sederhana ditinjau dari kemampuan penyaluran daya.
Perhitungan-perhitungan di atas ditujukan hanya untuk melihat kemampuan penyaluran daya di setiap konfigurasi. Dalam pembangunan saluran transmisi masih harus diperhitungkan banyak faktor, misalnya keperluan akan isolator, menara, susut energi. Makin banyak kita gunakan saluran fasa, makin bayak diperlukan isolator dan perancangan menara pun harus disesuaikan.
Jika kita perhatikan Tabel-1.1 di atas, transmisi AS tiga kawat, memiliki kemampuan penyaluran daya paling tinggi untuk total luas penampang konduktor yang sama. Kemajuan teknologi telah memungkinkan digunakannya sistem transmisi AS dan mengatasi kendala yang selama ini dihadapi. Mulai dari suatu jarak transmisi tertentu, biaya pembanguan sistem transmisi AS sudah menjadi lebih rendah dari sistem ABB. PLN merencanakan pembangunan transmisi AS untuk menghubungkan Sumatra dan Jawa.
1.4 Sumber Energi Primer
Sebagaimana telah disinggung, generator yang kita sebut sebagai sumber, tidak lain adalah piranti pengubah (konversi) energi dari energi non-listrik ke energi listrik. Dalam hal konversi elektro-mekanik, energi non-listrik berupa energi mekanik yang diberikan oleh turbin, dan turbin sendiri menerima energi masukan berupa energi thermal yang diubah olehnya menjadi gerak putar untuk memutar generator. Masukan energi thermal ke turbin berasal dari sumber energi primer, yang dapat berupa energi thermal maupun non-thermal.
1.4.1. Sumber Energi Primer pada Pusat Pembangkit Thermal
Batubara. Cadangan batubara Indonesia terlihat pada gambar berikut.
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
15
Data: Pusat Informasi & Statistik Batubara dan Mineral, Ditjen GSM, DESDM. / RUKN.
Untuk pembangkitan, batubara harus diangkut dari lokasi tambang ke pusat pembangkit. Untuk pusat pembangkit di Jawa, biaya angkut ini tidak sedikit dan dapat terganggu bila cuaca buruk. Hasil tambang batubara ada dua kategori yaitu batubara dengan kandungan kalori tinggi dan kandungan kalori rendah.
Minyak Bumi. Gambar berikut menginformasikan cadangan minyak Indonesia.
Data: Pusat Informasi Energi, DESDM. / RUKN.
Penggunaan minyak sebagai sumber energi primer untuk pembangkitan energi listrik terus diusahakan untuk dikurangi proporsinya karena harga yang terlalu tinggi.
Gas Alam. Cadangan gas bumi Indonesia terbaca pada gambar berikut. Penggunaan gas alam sebagai sumber energi primer untuk pembangkitan energi listrik diperbesar proporsinya untuk
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
16 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
menggantikan minyak. Pengangkutan gas dari sumber gas ke pusat pembangkit dilakukan melalui pipa gas.
Data: Pusat Informasi Energi, DESDM. / RUKN.
Panas Bumi..Energi panas bumi cukup banyak tersedia di Indonesia. Penggunaan energi ini masih perlu dikembangkan. Gambar dan daftar berikut ini memperlihatkan distribusi lokasi sumber energi panas bumi.
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
17
Biomassa. Sumber energi ini belum berkembang walaupun dalam skala rumah tangga telah mulai dirintis.
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
18 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Sampah. Sampah sebagai sumber pembangkit energi listrik masih diwacanakan terutama untuk mengatasi masalah sampah di kota Bandung.
Energi Nuklir. Penggunaan energi nuklir di Indonesia masih dalam tingkat wacana. Sementara itu Jerman sudah mulai meninggalkan penggunaan energi nuklir untuk pembangkitan energi listrik.
1.4.2. Sumber Energi Primer Pusat Pembangkit Nonthermal
Tenaga Air (Hydro). Tenaga air merupakan sumber energi yang paling murah dan kelangsungannya dapat dipercaya. Namun pembangunannya memerlukan waktu lama dibandingkan dengan pembangkit thermal. Dibandingkan dengan pembangkit thermal, pembangkit tenaga air dapat di-start dengan sangat cepat; sementara untuk men-start pembangkit thermal diperlukan waktu untuk pemanasan. Oleh karena itu pembangkit tenaga air biasanya digunakan sebagai pembangkit untuk memenuhi beban puncak, sementara pembangkit thermal menanggung beban dasar.
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
19
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
20 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Angin. Di Eropa energi angin telah banyak dimanfaatkan namun di Indonesia masih belum berkembang walaupun telah ada.
Tenaga Surya. Di Indonesia Sumber energi ini telah mulai dimanfaatkan baik sebagai sumber tenaga listrik “stand alone” maupun sebagai pusat pembangkit walaupun masih dalam skala yang tidak besar.
Pusat Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
21
Gelombang Laut. Sumber energi ini belum termanfaatkan di Indonesia.
Arus laut . Di Indonesia sumber energi ini masih menjadi wacana.
Listrik Tenaga Surya
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
22 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
1.5. Beban
1.5.1. Pengelompokan Beban
Tujuan dibangunnya suatu sistem tenaga adalah untuk mencatu energi ke beban yang berupa peralatan-peralatan yang mengubah energi listrik menjadi bentuk energi yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Jenis peralatan sangat beragam, ada yang statis, ada yang berputar, ada pula yang merupakan gabungan statis dan berputar. Dalam pengusahaan tenaga listrik beban tidak diklasifikasikan berdasarkan peralatan yang dicatu akan tetapi berdasarkan sifat-sifat umum pengguna akhir. PLN melakukan klasifikasi beban (pelanggan) sebagai berikut.
Beban Rumah Tangga. Energi di jenis beban ini digunakan untuk mencatu peralatan rumah tangga yang sangat beragam. Beban ini biasanya tersebar dalam area yang luas.
Beban Industri. Beban ini membutuhkan sejumlah besar energi untuk keperluan manufaktur dan proses-proses produksi. Beban demikian biasanya terlokalisasi pada titik-titik beban di area tertentu.
Beban Komersial. Jenis beban ini bisa sekumpulan peralatan kecil seperti di rumah tangga, akan tetapi memerlukan daya agak besar untuk penerangan, pemanasan dan pendinginan. Beban ini lebih tersebar dibandingkan dengan beban industri tetapi tidak se-tersebar beban rumah tangga; misalnya pusat perbelanjaan, bandara, hotel.
Beban Lain. Beban lain yang dimaksud di sini adalah beban-beban yang terkait dengan pentarifan ataupun pelayanan tertentu. Termasuk di dalamnya adalah beban kantor pemerintah, sosial, dan penerangan jalan umum.
Di PLN jumlah pelanggan Rumah Tangga sangat dominan; sementara jumlah pelanggan Industri dan pelanggan Komersial sangat sedikit dibanding dengan jumlah pelanggan Rumah Tangga. Namun demikian daya tersambung ke pelanggan tidaklah proporsional dengan jumlah pelanggan. Dan sudah barang tentu demikian juga dengan penggunaan energi per kelompok pelanggan.
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
23
1.5.2. Model Beban
Untuk keperluan analisis, kita perlu “mengombinasikan” berbagai karakteristik piranti listrik yang jumlahnya ribuan ke satu titik beban tertentu. Melakukan kombinasi secara harfiah tentulah tidak mungkin. Oleh karena itu kita membangun model beban; beban dapat kita modelkan sebagai sumber tegangan, atau sumber arus, atau impedansi.
Model sumber tegangan Model sumber arus Model impedansi
Gb.1.4. Model-model beban
Model yang kita pilih tentulah yang mewakili sifat-sifat yang menonjol dari beban. Beban yang pasif misalnya, kita modelkan sebagai suatu impedansi. Beban yang karakter arusnya menonjol, kita modelkan sebagai sumber arus; hal ini misalnya digunakan pada beban nonlinier.
1.5.3. Pengaruh Perubahan Tegangan dan Perubahan Frekuensi
Daya yang mengalir ke beban tergantung dari tegangan maupun frekuensi. Apabila terjadi perubahan tegangan dan/atau perubahan frekuensi, daya yang mengalir ke beban akan berubah pula. Sesungguhnya, beban mengharapkan tegangan dan frekuensi tidak berubah-ubah. Namun situasi operasional sering memaksa terjadinya perubahan-perubahan besaran tersebut. Masuknya beban besar yang tiba-tiba ke jaringan akan diikuti oleh penurunan tegangan; keluarnya beban besar yang tiba-tiba akan menyebabkan kenaikan tegangan. Di jaringan sistem tenaga, dipasang peralatan untuk membatasi lama terjadinya suatu perubahan tegangan. Pada umumnya, jika perubahan tegangan tidak besar (karena tegangan seharusnya tidak berubah-ubah, sesuai standar) pasokan daya ke beban dapat didekati dengan hubungan linier
ff
QV
V
QPQf
f
PV
V
PPP ∆
∂∂+∆
∂∂+=∆
∂∂+∆
∂∂+= 00 ; (1.24)
Beban
+ −
Z
E
Beban
+ −
+ −
Z
E
Beban Z
E +−
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
24 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
dengan 0VVV −=∆ = perubahan tegangan sekitar titik referensi
V0, 0fff −=∆ = perubahan frekuensi sekitar titik referensi f0.
Diferensial parsial f
Q
V
Q
f
P
V
P
∂∂
∂∂
∂∂
∂∂
,,, dapat diturunkan melalui
rangkaian dengan model beban. Mereka juga dapat diturunkan dari data-data yang dikumpulkan dari pengukuran praktis yang kemudian dihitung menggunakan computer.
CONTOH-1.1: Kita akan memperbandingkan pengaruh perubahan tegangan dan perubahan frekuesi pada rangkaian R-L seri dan rangkaian R-L parallel dengan melihat
VPVQfPVP ∂∂∂∂∂∂∂∂ /dan ,/,/,/ .
Solusi untuk rangkaian seri:
222
2
222
2
222
22oo
)( 0
0
LR
LVj
LR
RV
LjRLR
V
LjR
V
LjR
VVSseri
ω+
ω+ω+
=
ω+ω+
=ω−
=
ω+∠∠==
∗∗IV
222
2222
2322222
222
2
2222222
22
222
2
2
;)(
2)(
2 ;
)(
2
LR
LV
V
Q
LR
VLLVLRQ
LR
LVQ
LR
RV
V
P
LR
LRVP
LR
RVP
seri
seriseri
seriseriseri
ω+
ω=∂
∂ω+
ω−ω+=ω∂
∂⇒
ω+
ω=
ω+=
∂∂
ω+
ω=ω∂
∂⇒
ω+=
L
R + v −
R L + v −
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
25
Solusi untuk rangkaian parallel:
L
V
V
Q
L
LVQ
L
VQ
R
V
V
PP
R
VP
L
Vj
R
V
LjRS
paralelparalelparalel
paralelparalelparalel
paralel
ω=
∂∂
ω−=
ω∂∂
⇒ω
=
=∂
∂=
ω∂∂
⇒=
ω+=
ω+==
∗∗
2 ;
)(
2 ; 0
2
22
2
22VVVIV
Perhatikan: ketergantungan terhadap tegangan kedua rangkaian ini sama, yaitu sebanding dengan tegangan. Akan tetapi ketergantungan terhadap frekuensi sangat berbeda. Polinom pangkat 4 dari penyebut pada ω∂∂ /seriP membuat penyebut
hampir tak berubah bila terjadi perubahan ω hanya 10% misalnya; Oleh karena itu ω∂∂ /seriP dapat dikatakan berbanding lurus
dengan ω. Sebaliknya ω∂∂ /paralelP bernilai nol; perubahan
frekuensi tidak mempengaruhi besarnya daya nyata.
1.6. Sistem Polifasa
Kita telah mempelajari salah satu sistem polifasa yaitu sistem tiga-fasa. Di sub-bab ini kita akan melihat secara lebih umum, dan juga akan melihat bagaimana perhitungan-perhitungan dilakukan baik pada kondisi pembebanan seimbang maupun tidak seimbang.
1.6.1. Sistem Polifasa Secara Umum
Kita lihat secara umum suatu sistem polifasa. Gb.1.5. berikut ini memperlihatkan hubungan dua jaringan secara umum yaitu jaringan A dan B yang dihubungkan dengan (N+1) konduktor. Salah satu konduktor adalah konduktor netral; jadi sistem ini adalah sistem N fasa.
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
26 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Gb.1.5. Dua jaringan dihubungkan dengan (N+1) konduktor.
Tegangan konduktor fasa terhadap netral adalah sebagai berikut
aaaan V α∠∠∠∠======== VV = tegangan fasa a.
bbbbn V α∠∠∠∠======== VV = tegangan fasa b.
………………
zzzzn V α∠∠∠∠======== VV = tegangan fasa z.
Arus di setiap penghantar fasa adalah
aaa I β∠∠∠∠====I = arus fasa a.
bbb I β∠∠∠∠====I = arus fasa b.
………………
zzz I β∠∠∠∠====I = arus fasa z.
nnn I β∠∠∠∠====I = arus penghantar netral.
Menurut hukum arus Kirchhoff
0....... ====++++++++++++++++++++ nzcba IIIII (1.25)
Daya kompleks total (sejumlah N fasa) yang mengalir ke B adalah:
n
a
b
z
znV
aI
bI
zI
nI
anV bnV
Jaringan A
Jaringan B
.
.
.
. . . .
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
27
∑=
∗∗∗ =+++=z
aiizzbbaaNf SS IVIVIV ...... (1.26.a)
dengan
zcbai
S iii
,.......,,======== ∗∗∗∗IV (1.26.b)
Dapat dimengerti pula bahwa
iiii
z
aiiNf IVPPP ψ==∑
=cos , (1.27.a)
iiii
z
aiiNf IVQQQ ψ==∑
=sin , (1.28.b)
Dalam kondisi pembebanan seimbang
fzba VVVV ==== ...... (1.29.a)
dan, dengan mengambil fasa a sebagai referensi,
360
dan
..... ;2 ; ;0o
N
nncba
=θ
θ−=αθ−=αθ−=α=α (1.29.b)
Dalam pembebanan seimbang ini, arus fasa dan sudut ψ adalah:
fzba IIII ==== ...... = arus fasa (1.30.a)
ψψψψψ ==================== zcba ....... = sudut faktor daya (1.30.b)
Urutan penamaan fasa abc. . . z kita sebut urutan positif. Jika seandainya urutan penamaan ini kita balik, z . . cba maka kita mempunyai urutan negatif.
Sementara itu tegangan fasa-fasa adalah
jjii
jiij
VV
zcbaji
αα ∠∠∠∠−−−−∠∠∠∠====
====−−−−====
.......,,, VVV (1.31)
yang dalam kondisi seimbang akan menjadi
fji V======== VV = tegangan fasa-netral (1.32)
dan
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
28 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
)]cos(1[2 jifij VV αα −−−−−−−−==== (1.33)
Perhatikan Gb.1.6. Gambar ini memperlihatkan hubungan tegangan fasa-netral znbnan VVV ......... ,, serta tegangan fasa-fasa
abV dan azV . Diperlihatkan pula arus fasa aI yang lagging
terhadap anV .
Perbandingan tegangan fasa-fasa terhadap tegangan fasa-netral untuk N dari 2 sampai 12 (dinormalisasi terhadap Va) diberikan pada Tabel -1.1.
Daya sesaat total untuk N ≥ 3 adalah
ψ=
β−ωα−ω== ∑∑==
cos
)cos()cos()2)(2(
ff
z
aii
z
aiiiNf
INV
ittIVivp (1.34)
Persamaan (1.26) menunjukkan bahwa sistem ABB multifasa memberikan transfer daya yang konstan seperti pada sistem AS. Itulah sebabnya sistem tenaga dibangun sebagai sistem multifasa yang beroperasi seimbang. Jika kita lanjutkan perhitungan kita akan memperoleh relasi
abV
anV
znV
θ
θ
bnV
N
o360====θ
ψ
aI
azV
Gb.1.6 Fasor tegangan sistem N-fasa seimbang.
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
29
ψ=
ψ=
=
sin
cos
ffNf
ffNf
ffNf
INVQ
INVP
INVS
(1.35)
Table 1.1. Rasio tegangan fasa-fasa terhadap tegangan fasa untuk sistem 2 ÷ 12 fasa, dinormalisir terhadap Va [1]
N: 1 2 3 4 5 6
Vab/Va 2,000 1,732 1,414 1,176 1,000
Vac/Va 1,732 2,000 1,902 1,732
Vad/Va 1,414 1,902 2,000
Vae/Va 1,176 1,732
Vaf/Va 1,000
N: 7 8 9 10 11 12
Vab/Va 0,868 0,765 0,684 0,618 0,563 0,518
Vac/Va 1,564 1,414 1,286 1,176 1,081 1,000
Vad/Va 1,950 1,848 1,732 1,618 1,511 1,414
Vae/Va 1,950 2,000 1,970 1,902 1,819 1,732
Vaf/Va 1,564 1,848 1,970 2,000 1,980 1,932
Vag/Va 0,868 1,414 1,732 1,902 1,980 2,000
Vah/Va 0,765 0,286 1,618 1,819 1,932
Vai/Va 0,684 1,176 1,511 1,732
Vaj/Va 0,618 1,081 1,414
Vak/Va 0,563 1,000
Val/Va 0,518
1.6.2. Hubungan Bintang dan Hubungan Mesh
Jika jaringan B adalah jaringan pasif, ia dapat dinyatakan dengan model impedansi. Impedansi pada sistem multifasa dapat dihubungkan bintang ataupun mesh; rangkaian ini diperlihatkan pada Gb.1.7.
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
30 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Bintang Mesh
Gb.1.7 Hubungan bintang dan hubungan mesh.
Transformasi dari rangkaian bintang ke mesh diturunkan sebagai berikut.
Rangkaian bintang :
Y
f
Y
anaY Z
V
Z
o0∠∠∠∠========
VI (1.36)
Rangkaian mesh:
(((( ))))
)cos1(2
)101101(
1
θθθ∆∆
∆∆∆∆
−−−−====∠∠∠∠−−−−∠∠∠∠++++−−−−∠∠∠∠−−−−∠∠∠∠====
−−−−++++−−−−====++++====
Z
V
Z
V
ZZZ
foof
znanbnanazab
a VVVVVV
I (1.37)
Jika kedua rangkaian ini harus sama maka
YaYa ZZII )cos1(2 θ∆∆ −−−−====⇒⇒⇒⇒==== (1.38)
CONTOH-1.2: Sumber 6 fasa seimbang dengan V 01000 o∠=aV ,
urutan fasa abc, mencatu beban 6 fasa seimbang S6f = 900 kVA, faktor daya = 0.8 lagging. (a) Hitunglah arus fasa; (b) Hitung
aYIZY
ZY
ZY
ZY
.
.
.
a
b
c
z
∆aIa
b
c
z
Z
Z
Z
Z
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
31
tegangan fasa-fasa ac; (c) Hitung impedansi ekivalen Y, ZY ; (d) Hitung impedansi ekivalen ∆, Z∆.
Solusi:
kV 01V 01000 oo ∠=∠=aV
(a) A 1501
6/9006/6 === φ
fasafasa V
SI
(b) V 031732120100001000 ooo −∠=−∠−∠=−= caac VVV
(c) o1 9.36)8.0(cos ; 67.6150
1000 ±==ψΩ=== −
fasa
fasaY I
VZ
o9.3667.6 +∠=YZ
oo 9.3667.6)2/1(2)60cos1(2 +∠===−=∆ YYY ZZZZ
1.7. Sistem Tiga-fasa Seimbang
Sistem tiga-fasa adalah sistem multifasa yang paling sederhana. Lihat Gb.1.8. Dengan urutan positif abc, tegangan-tegangan fasa adalah
oo
o
o
120240
120
0
+∠=−∠==
−∠==
∠==
ffccn
fbbn
faan
VV
V
V
VV
VV
VV
(1.39)
Tegangan fasa-fasa adalah
o
o
o
1503
903
303
+∠=−=
−∠=−=
∠=−=
facca
fcbbc
faaab
V
V
V
VVV
VVV
VVV
(1.40)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
32 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Gb.1.8. Sistem tiga-fasa.
Jika jaringan B adalah jaringan pasif, ia dapat dimodelkan dengan impedansi dan impedansi ini dapat terhubung Y atau ∆, seperti diperlihatkan oleh Gb.1.9.
Gb.1.9. Beban terhubung ∆ dan terhubung Y.
Dalam kondisi seimbang, arus-arus fasa pada hubungan Y adalah
0
)240(
)120(
)0(
o
o
o
=
ψ−−∠=
ψ−−∠=
ψ−∠=ψ−∠==
n
fc
fb
fY
f
Y
aa
I
I
IZ
V
Z
I
I
I
VI
(1.41)
a
b
c
Y
YZ
YZ
YZ
∆Z
a
b
c∆
∆Z
∆Z
n
a
b
c
aV bV cV
aI
bI
cI
nI
Jaringan B
Jaringan A
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
33
Gb. 1.8. memperlihatkan diagram fasor tegangan dan arus pada sistem tiga-fasa seimbang dengan beban induktif; arus lagging terhadap tegangan.
Transformasi hubungan Y ke ∆ diberikan oleh (1.30), yang untuk
sistem tiga-fasa o120====θ .
YY ZZZ 3)cos1(2 =θ−=∆ (1.42)
Jika diperlukan, arus pada cabang-cabang hubungan ∆ dapat dihitung, dengan relasi
∆∆∆===
ZZZca
cabc
bcab
abV
IV
IV
I ; ; (1.43)
Hubungan arus fasa aI pada Gb.1.8, yang juga disebut arus saluran
(line current) LI , dengan arus pada cabang ∆ adalah
bccacabbcbcaaba IIIIIIIII −=−=−= ; ; (1.44)
1.8. Sistem Tiga-fasa Tak-seimbang
Dalam sistem tiga-fasa seimbang, besar tegangan adalah sama di semua fasa dan antara fasa yang berurutan terdapat beda fasa 120o. Demikian pula halnya dengan arus; keadaan ini membuat arus di
Gb.1.10. Diagram fasor sistem tiga fasa seimbang; urutan fasa abc.
abV
aV
caV
bcV
cV−−−−bV
cV
aV−−−−
bV−−−−cI
aIbI
ψ
ψ
ψ
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
34 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
penghantar netral bernilai nol. Tidak demikian halnya dengan keadaan tak-seimbang; tegangan dan arus di setiap fasa tidak sama dan beda fasa antar tegangan fasa-netral tidak 120o.
1.8.1. Komponen Simetris
Tegangan di setiap fasa (fasa-netral) sistem tak-seimbang dapat kita tuliskan sebagai
cccbbbaaa VVV α∠=α∠=α∠= VVV ; ;
Satu kesatuan tiga fasor tak-seimbang ini, dipandang sebagai terdiri dari tiga komponen fasor seimbang yaitu:
komponen urutan positif
komponen urutan negatif
komponen urutan nol
Komponen urutan positif adalah fasor tiga-fasa seimbang dengan selisih sudut fasa 120o, dengan urutan abc. Komponen urutan negatif adalah fasor tiga-fasa seimbang dengan selisih sudut fasa 120o dengan urutan cba, dan komponen urutan nol adalah fasor tiga-fasa tanpa selisih sudut fasa. Tiga set fasor seimbang ini digambarkan pada Gb.1.9. Perhatikanlah bahwa baik komponen urutan positif maupun negatif, memiliki selisih sudut fasa 120o; artinya kemunculan tegangan berselisih 120o secara berurutan, sedangkan komponen urutan nol tidak memiliki selisih sudut fasa, yang berarti gelombang tegangan di ketiga-fasa muncul dan bervariasi secara bersamaan. Oleh karena itu jumlah fasor arus urutan nol di titik penghatar netral tidaklah nol melainkan 3 kali arus urutan nol.
Komponen urutan nol diberi tambahan indeks 0, urutan positif diberi tambahan indeks 1, urutan negatif dengan tambahan indeks 2. Komponen-komponen ini disebut komponen simetris. Dengan komponen simetris ini maka pernyataan tegangan semula (yang tidak seimbang) menjadi
210
210
210
;
;
cccc
bbbb
aaaa
VVVV
VVVV
VVVV
++=
++=
++= (1.45)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
35
Urutan nol Urutan positif Urutan negatif
Gb.1.11. Komponen seimbang dari fasor tegangantiga-fasa tak-seimbang.
1.8.2. Operator a
Penulisan komponen urutan dilakukan dengan memanfaatkan operator a, yang sesungguhnya adalah fasor satuan yang berbentuk
o1201∠∠∠∠====a (1.46)
Suatu fasor, apabila kita kalikan dengan a akan menjadi fasor lain yang terputar ke arah positif sebesar 120o; dan jika kita kalikan dengan a2 akan terputar ke arah posistif 240o (operator semacam
ini telah pernah kita kenal yaitu operator o901∠=j ). Kita
manfaatkan operator a ini untuk menuliskan komponen urutan positif dan negatif. Dengan operator a ini, indeks a,b,c dapat kita hilangkan karena arah fasor sudah dinyatakan oleh operator a, sehingga kita dapat menuliskan
2222
222
02
11111
0000
; ;
; ;
VVVVVV
VVVVVV
VVVV
aa
aa
cba
acba
cba
===
===
===
sehingga
22
10
212
0
210
VVVV
VVVV
VVVV
aa
aa
c
b
a
++=
++=
++=
(1.47)
Agar lebih jelas, perhatikan Gb.1.10 berikut ini.
2bV
2aV
2cV
1cV
1aV
1bV
000 ,, cba VVV
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
36 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Urutan nol Urutan positif Urutan negatif
Gb.1.12. Penulisan komponen urutan dengan menggunakan operator a.
Persamaan (1.47) dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks menjadi
=
2
1
0
2
2
1
1
111
V
V
V
V
V
V
aa
aa
c
b
a
(1.48)
1.8.3. Mencari Komponen Simetris
Komponen simetris adalah besaran-besaran hasil olah matematik; ia tidak diukur dalam praktek. Yang terukur adalah besaran-besaran yang tak-seimbang yaitu cba VVV , , . Komponen simetris
dapat kita cari dari (1.47.a) dengan menjumlahkan fasor-fasor dan dengan mengingat bahwa (1 + a + a2) = 0, yaitu
22
10
212
0
210
VVVV
VVVV
VVVV
aa
aa
c
b
a
++=
++=
++=
⇒ 022
12
0 3)1()1(3 VVVVVVV =++++++=++ aaaacba
⇒ ( )cba VVVV ++=3
10 (1.49.a)
Jika baris ke-dua (1.47.a) kita kalikan dengan a dan baris ke-tiga kita kalikan dengan a2, kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:
0V
11 ca VV ====
11 aVV ====
112
ba VV ====
22 aVV ====
22 ba VV ====
222
ca VV ====
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
37
24
13
022
22
13
0
210
VVVV
VVVV
VVVV
aaaa
aaaa
c
b
a
++=
++=
++=
⇒ 122
1022 3)1(3)1( VVVVVVV =++++++=++ aaaaaa cba
⇒ ( )cba aa VVVV 21 3
1 ++= (1.49.b)
Jika baris ke-dua (1.47.a) kita kalikan dengan a2 dan baris ke-tiga kita kalikan dengan a, kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:
23
12
0
23
14
022
210
VVVV
VVVV
VVVV
aaaa
aaaa
c
b
a
++=
++=
++=
⇒ 2212
022 33)1()1( VVVVVVV =++++++=++ aaaaaa cba
⇒ ( )cba aa VVVV ++= 21 3
1 (1.49.c)
Relasi (1.49.a,b,c) kita kumpulkan dalam satu penulisan matriks:
=
C
B
A
aa
aa
V
V
V
V
V
V
1
1
111
3
1
2
2
2
1
0
(1.50)
Dengan demikian kita mempunyai dua relasi antara besaran fasa dan komponen simetrisnya yaitu (1.48) dan (1.50) yang masing-masing dapat kita tuliskan dengan lebih kompak sebagai berikut:
abc
abc
VTV
VTV~
][~
~ ][
~
1012
012
−=
= (1.51.a)
dengan
[ ]
1
1
111
T2
2
=aa
aa dan [ ]
=−
aa
aa2
21
1
1
111
3
1T (1.51.b)
Dengan cara yang sama kita dapat memperoleh relasi untuk arus
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
38 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
abc
abc
ITI
ITI~ ][
~
~ ][
~
1012
012
−=
= (1.51.c)
1.8.4. Relasi Transformasi
Relasi (1.51) inilah pasangan relasi untuk menghitung komponen urutan jika diketahui besaran fasanya, dan sebaliknya menghitung besaran fasa jika diketahui komponen urutannya; mereka kita sebut relasi transformasi fasor tak-seimbang. Perhatikan sekali lagi bahwa masing-masing komponen urutan membentuk fasor seimbang; komponen simetris adalah besaran-besaran hasil olah matematik, tidak diukur dalam praktek; yang terukur adalah besaran-besaran yang tak-seimbang yaitu cba VVV , , .
CONTOH-1.3: Diketahui 0 and ,601 ,601 oo =−∠=∠= cba III ,
hitunglah komponen-komponen simetrisnya .
Solusi:
( ) ( )( )
( ) ( )o
oo21
6023
1732,11
3
1
0)866,05,0()866,05,0(3
1
06016013
1
3
1
∠=+=
++++=
+∠+∠=++=
j
jj
aa cba IIII
( ) ( )( )
( ) o
oo22
120333,0866,05,03
1
01)866,05,0(3
1
018016013
1
3
1
∠=+−=
+−+=
+∠+∠=++=
j
j
aa cba IIII
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
39
( ) ( )( )
( ) o
oo0
0333,0013
1
0)866,05,0()866,05,0(3
1
06016013
1
3
1
∠=+=
+−++=
+∠+∠=++=
j
jj
cba IIII
Perhatikan: perhitungan dalam soal ini memberikan
o
00
ooo2
22
ooooo11
0333,0
360333,0120333,02401
180667,0)60120(3
260
3
21201
∠==
∠=∠×∠==
∠=+∠=∠×∠==
II
II
II
c
c
c
a
a
sedangkan diketahui 0 =cI
Kita yakinkan:
0 333,0333,0667,0021 ≈++−=++= cccc IIII
1.8.3. Impedansi Urutan
Jika impedansi CBA Z ZZ ,, merupakan impedansi-impedansi
dengan tegangan antar terminal masing-masing ''' , , ccbbaa VVV
maka
=
c
b
a
ABC
cc
bb
aa
Z
I
I
I
V
V
V
][
'
'
'
atau lebih kompak
abcABCabc Z IV~ ][
~)'( = (1.52)
)'(~
abcV adalah tegangan antar terminal impedansi dan abcI~
adalah arus yang melalui impedansi. [ ]ABCZ adalah matriks 3 × 3,
yang elemen-elemennya merupakan impedansi total yang terdiri dari impedansi sendiri dan impedansi bersama. Kita akan melihat sebuah contoh saluran transmisi yang mendapat pembebanan tidak seimbang.
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
40 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
CONTOH-1.4: Suatu saluran tiga-fasa masing masing memiliki reaktansi sediri Xs sedangkan antar fasa terdapat reaktansi bersama Xm. Resistansi konduktor diabaikan. Tentukanlah impedansi urutan. Perhatikan bahwa Xs adalah reaktansi sendiri dan Xm adalah reaktansi bersama antar konduktor.
Solusi:
csbmamcccc
cmbsambbbb
cmbmasaaaa
jXjXjX
jXjXjX
jXjXjX
IIIVVV
IIIVVV
IIIVVV
++=−=
++=−=
++=−=
''
''
''
yang dapat dituliskan dalam bentuk matriks
=
−
c
b
a
smm
msm
mms
c
b
a
c
b
a
XXX
XXX
XXX
j
I
I
I
V
V
V
V
V
V
'
'
'
dan dapat dituliskan dengan lebih kompak
abcABCabcabc Z IVV~ ][
~~ =′−
Karena
0121
012012~
][~
dan ,~
][~
,~
][~
ITIVTVVTV === −abcabcabc
maka relasi diatas menjadi
012012012~
][ ][~
][~
][ ITVTVT ABCZ=′− atau
0121
012012~
][ ][][~~
ITTVV ABCZ−=′−
.
.
.
mX mX
mX sX
sX
sX
aI
bI
cI
cba III ++
aV
bV
cV
aV ′
bV ′
cV ′
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
41
Pada relasi terakhir ini terdapat faktor
[ ] [ ][ ] T T 1ABCZ−
yang dapat kita hitung sebagai berikut:
[ ] [ ][ ]
−−
+=
++++−++++−
+++=
=
ms
ms
ms
msmsms
msmsms
msmsms
smm
msm
mms
ABC
XX
XX
XX
j
aa
aa
XaaXXaXaXX
XaXaXaaXXX
XXXXXXj
aa
aa
XXX
XXX
XXX
j
aa
aaZ
00
00
002
1
1
111
)1()1(
)1()1(
222
3
1
1
111
1
1
111
3
1T T
2
2
22
22
2
2
2
21-
Hasil perhitungan ini memberikan relasi berikut
012012012
2
1
0
012012012
~ ][
~
00
00
00
~
00
00
002~~
II
IVV
Z
Z
Z
Z
XX
XX
XX
j
ms
ms
ms
=
=
=
−−
+=′−
Jika didefinisikan:
Impedansi urutan nol )2(0 ms XXjZ +=
Impedeansi urutan positif )(1 ms XXjZ −=
Impedansi urutan negatif )(2 ms XXjZ −=
Rangkaian ekivalen urutan dari rangkaian dalam relasi ini digambarkan sebagai berikut:
Urutan nol Urutan positif Urutan negatif
0Z
0V 0V ′1Z
1V 1V ′2Z
2V 2V ′
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
42 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
1.9.4. Daya Pada Sistem Tak-seimbang
Daya pada sistem tiga-fasa adalah jumlah daya setiap fasa.
∗∗∗ ++= ccbbaafS IVIVIV3 atau dalam bentuk matriks
[ ] ∗
∗
∗
∗
=
= abcabcT
c
b
a
cbafS IV
I
I
I
VVV~~
3 (1.53)
( abcTV~
adalah transposisi dari abcV~
)
Karena 012012~
][~
dan ~
][~
ITIVTV == abcabc , maka relasi
diatas menjadi
∗∗= 0120123~
][][~
ITTV TfS (1.54)
Catatan: TTabcTabc ][~~
~
][~
012012 TVVVTV =⇒= ∗∗∗ =⇒= 012012
~][
~~ ][
~ITIITI abcabc
Pada (1.54) terdapat faktor [ ] [ ]∗TT T yang dapat kita hitung
[ ] [ ]
=
=
=∗
100
010
001
3
300
030
003
1
1
111
1
1
111
TT2
2
2
2
aa
aa
aa
aaT
Dengan demikian (1.54) dapat dituliskan
∗= 0120123~~
3 IV TfS atau
( )∗∗∗ ++= 2211003 3 IVIVIVfS (1.55)
CONTOH-1.5: Hitunglah daya tiga-fasa pada kondisi tidak seimbang seperti berikut:
A
10
10
10
dan kV
0
10
10
−−=
−=j
ABCABC IV
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
43
Solusi (1):
[ ]
−−
−=−= ∗
10
10
10
dan 01010
j
ABCABCT IV
Kita akan menghitung daya tiga-fasa langsung dengan mengalikan kedua matriks kolom ini
[ ] kVA )100100( 0100100
10
10
10
010103 jj
j
S f −=++−=
−−
−−=
Hasil ini kita peroleh dengan mengaplikasikan langsung formulasi daya dengan mengambil nilai-nilai tegangan dan arus yang tidak simetris. Berikut ini kita akan menyelesaikan soal ini
melalui komponen simetris.
Solusi (2):
Tegangan urutan adalah:
[ ]
+−+−=
−
== −
01010
01010
0
3
1
0
10
10
1
1
111
3
1~T
~
22
21012
a
a
aa
aaABCVV
Dari sini kita hitung T012~V
[ ]1010101003
1~ 2012 aaT −−=⇒ V
Arus urutan adalah:
[ ]
+−+−=⇒
++=
−−−−=
−−
==
∗
−
1010
1010
0
3
1~
1010
1010
0
3
1
101010
101010
0
3
1
10
10
10
1
1
111
3
1~T
~
012
2
2
2
21012
j
j
j
j
aaj
aaj
j
aa
aaABC
I
II
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
44 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Daya tiga-fasa adalah
[ ]
[ ]( ) kVA )100100(300300
3
1
)1010)(1010()1010)(1010(03
1
1010
1010
0
101010-1003
1
3
13
~3
2
2
0120123
jj
jaja
j
jaa
S Tf
−=−=
+−−++−−+=
+−+−−××=
= ∗IV
(catatan: 12 −=+ aa )
Komentar: Hasil perhitungan dengan perkalian langsung tegangan dan arus tak-seimbang sama dengan hasil perkalian melalui komponen simetris. Jika hasilnya sama, mengapa kita harus bersusah payah mencari komponen simetris terlebih dulu? Persoalan pada pembebanan tak-seimbang tidak hanya menghitung daya, tetapi juga arus dan tegangan; misalnya menghitung arus hubung singkat yang tidak simetris, yang tetap memerlukan perhitungan komponen simetris.
1.9. Pernyataan Sistem Tenaga
Sistem tenaga merupakan rangkaian listrik yang rumit. Disamping banyaknya macam piranti yang ada di dalamnya, sistem ini juga sistem multifasa (umumnya tiga-fasa), dan ia beroperasi pada banyak tingkat tegangan. Agar analisis dapat dilakukan, maka sistem tenaga harus dapat dinyatakan secara mudah.
1.9.1. Diagram Satu Garis
Langkah pertama dalam analisis adalah memindahkan rangkaian sistem tenaga ke atas kertas dalam bentuk diagram rangkaian. Diagram rangkaian untuk sistem tenaga berupa diagram satu garis (single line diagram). Diagram ini sederhana namun menunjukkan secara lengkap interkoneksi berbagai piranti. Walaupun hanya satu garis, ia menggambarkan sistem multifasa. Berikut ini contoh dari diagram satu garis.
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
45
Gb.1.11. Diagram satu garis.
Gb.1.11. memperlihatkan sebuah generator terhubung Y, dengan titik netral yang ditanahkan melalui sebuah impedansi. Generator ini dihubungkan ke trasformator tiga belitan melalui bus-1. Belitan primer trafo terhubung ∆, belitan sekunder terhubung Y dengan titik netral ditanahkan langsung dan terhubung ke bus-2, sedangkan belitan tertier dihubungkan ∆ masuk ke bus-3 untuk mencatu beban.
Dari bus-2 melalui circuit breaker masuk ke saluran transmisi melalui bus-4. Ujung saluran transmisi melalui bus-5 terhubung ke transformator 2 belitan; transformator ini terhubung Y-∆ dengan titik netral primernya ditanahkan langsung. Sekunder transformator terhubung ke bus-6 untuk mencatu beban.
Dalam diagram satu garis, impedansi-impedansi tidak digambarkan. Untuk analisis, diagram satu garis perlu “diterjemahkan” menjadi diagram rangkaian listrik model satu fasa seperti terlihat pada Gb. 1.12.
Gb.1.12. Model satu fasa dari diagram satu garis Gb.1.11.
Transformator
Rangkaian ekivalen π
saluran transmisi
Transformator
beban beban
Circuit breaker
Generator
1
3
2 4 5 6
+ ∼∼∼∼
Generator
Y-ditanahkan melalui
impedansi
beban
Saluran transmisi
Trafo 2 belitan
beban Nomer bus
Trafo 3 belitan
Circuit Breaker
GY Z
Y
∆
∆
Y ∆ 1
3
2 4
5 6
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
46 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Dengan model satu fasa inilah analisis dilakukan. Dalam Gb.1.12. ini saluran transmisi dinyatakan dengan rangkaian ekivalennya, yaitu rangkaian ekivalen π, yang akan kita pelajari lebih lanjut.
1.9.2. Sistem Per-Unit
Sistem per-unit sesungguhnya merupakan cara penskalaan atau normalisasi. Besaran-besaran sistem dalam satuan masing-masing, tegangan dalam volt – arus dalam ampere – impedansi dalam ohm, ditransformasikan ke dalam besaran tak berdimensi yaitu per-unit (disingkat pu). Pada mulanya transformasi ke dalam per-unit dimaksudkan untuk mempermudah perhitungan, namun dengan perkembangan penggunaan computer maksud penyederhanaan itu sudah kurang berarti lagi. Walaupun demikian, beberapa keuntungan yang terkandung dalam sistem per-unit (yang akan kita lihat kemudian) masih terasakan dan oleh karena itu kita akan pelajari.
Nilai per-unit dari suatu besaran merupakan rasio dari besaran tersebut dengan suatu besaran basis. Besaran basis ini berdimensi sama dengan dimensi besaran aslinya sehingga nilai per-unit besaran itu menjadi tidak berdimensi
snilai basi
ngguhnyanilai sesu unit -per Nilai =
Nilai sesungguhnya mungkin berupa bilangan kompleks, namun nilai basis yang ditetapkan adalah bilangan nyata. Oleh karena itu sudut fasa nilai dalam per-unit sama dengan sudut fasa sesungguhnya.
Sebagai contoh kita ambil daya kompleks
)( β−α∠== ∗ VIS IV (1.56)
di mana α adalah sudut fasa tegangan dan β adalah sudut fasa arus. Untuk menyatakan S dalam per-unit kita tetapkan Sbasis yang berupa bilangan nyata, sehingga
)()( β−α∠=β−α∠= pu
basispu S
S
SS (1.57)
Didefinisikan pula bahwa
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
47
basisbasisbasis IVS ×= (1.58)
Nilai Sbasis dipilih secara bebas dan biasanya dipilih angka yang memberi kemudahan seperti puluhan, ratusan dan ribuan. Jika Sbasis sudah ditentukan kita harus memilih salah satu Vbasis atau Ibasis untuk ditentukan secara bebas, tetapi tidak kedua-duanya bisa dipilih bebas.
Jika kita hitung Spu dari (1.56) dan (1.57) kita peroleh
∗=β−∠α∠== pupubasisbasisbasis
pu IVIV
IV
S
SS (1.59)
Nilai basis untuk impedansi ditentukan menggunakan relasi
basis
basis
basis
basisbasis S
V
I
VZ
2
== (1.60)
Dengan Zbasis ini relasi arus dan tegangan I
VIV == atau Z Z
akan memberikan
basisbasisbasis IVZ
Z
/
/ IV= atau pu
pupu I
VZ = (1.61)
Karena jXRZ += maka
basisbasisbasisbasis Z
Xj
Z
R
Z
jXR
Z
Z +=+= atau
pupupu jXRZ += (1.62)
Jadi tidaklah perlu menentukan nilai basis untuk R dan X secara sendiri-sendiri. Selain itu tidak pula diperlukan menentukan nilai basis untu P dan Q secara sendiri-sendiri pula.
basisbasis S
jQP
S
S += atau
pupupu jQPS += (1.63)
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
48 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Contoh-1.6: Nyatakanlah besaran-besaran pada rangkaian satu fasa berikut ini dalam per-unit dengan mengambil Sbasis = 1000 VA dan Vbasis = 200 V.
Solusi:
V 200 VA; 1000 == basisbasis VS
A 5200
1000===basis
basisbasis V
SI
Ω=== 405
200
basis
basisbasis I
VZ
Maka: pu 01200
0200 oo
∠=∠=puV
pu 1,040
4 ==puR
pu 1,040
4 ==CpuX
pu 2,040
8 ==LpuX
Transformasi rangkaian dalam per-unit menjadi seperti gambar di bawah ini.
pu 4521,01,01,02,01,01,0 o∠=+=+−= jjjZ pu
pu 45254520,1
01 oo
o−∠=
∠
∠==pu
pupu Z
VI
pu 4525452501 ooo ∠=∠×∠== ∗pupupu IVS
pu 1,0 pu 1,0j−pu 2,0jpu 01 o∠ ∼
V 0200 o∠=VΩ4 Ω− 4j
Ω 8j∼
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
49
1.9.3. Sistem Per-Unit Dalam Sistem Tiga-fasa
Di sub-bab sebelumnya, kita lihat aplikasi sistem per-unit pada sistem satu fasa. Untuk sistem tiga-fasa (yang kita ketahui bahwa sistem tiga-fasa ini sangat luas dipakai dalam penyediaan energi listrik) dikembangkan pengertian nilai basis tambahan sebagai berikut.
3/
3
3
3
3
basisbasis
basisYbasis
basisasisf
basisbasis
basisYbasis
basisbasisff
basisbasisf
II
II
II
ZZ
ZZ
VV
SS
=
=
===
=
=
∆
∆ (1.64)
Bagaimana implementasi dari nilai-nilai basis di atas, akan kita lihat pada contoh berikut ini.
Contoh-1.5: Sebuah sumber tiga-fasa dengan tegangan fasa-fasa 6 kV mencatu dua beban seimbang yang tersambung parallel: beban-A: 600 kVA, faktor daya 0,8 lagging, beban-B: 300 kVA, faktor daya 0,6 leading. Tentukan nilai basis untuk sistem ini, hitung arus saluran dalam per-unit dan dalam ampere, dan impedansi beban A.
Solusi: Penentuan nilai basis adalah sembarang. Kita pilih S3f basis = 600 kVA dan Vff basis = 6 kV, sehingga
Ω===
===
==
==
6074,57
3464
A 74,573/6
200
V 34643
6
2003
600
basis
basisbasis
basis
basisbasis
basis
basis
I
VZ
V
SI
V
kVAS
Sumber ini terbebani seimbang sehingga hanya ada urutan positif. Besaran per fasa adalah:
Tinjauan Pada Sistem Tenaga
50 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Beban-A:
9,361200
9,36200
kVA 9,36200
) (f.d. 9,36)8,0(cos kVA; 2003
600
oo
o
o1
∠=+∠==→
∠=
+==ϕ== −
basis
AApu
A
AA
S
SS
S
lagS
6,08,09,3619,36101
9,361
;013/6
3/6
oo
o
o
jIV
SI
V
ApuApu
ApuApu
Apu
−=−∠=⇒∠=∠
∠==
∠==
∗
Beban-B:
4,03,01,535,0
1,535,001
1,535,0
01
1,535.0200
1,53100
kVA 1,53100
) (f.d. 1,53)6,0cos( kVA; 1003
300
o
oo
o
o
oo
o
o
jI
V
SI
VV
S
SS
S
leadS
Bpu
Bpu
BpuBpu
ApuBpu
basis
BBpu
B
BB
+=∠=⇒
−∠=∠−∠==
∠==
−∠=−∠==⇒
−∠=
−==ϕ==
∗
Arus saluran: 2,01,14,03,06,08.0 jjjIII BpuApupu −=++−=+=
A3,1055,6455,1151,6374,57)2,01,1( o−∠=−=×−= jjI
Impedansi beban-A:
oo
o9,361
361
01 ∠=−∠
∠==Apu
ApuApu I
VZ
Ω+=∠=⇒ )3648(9,3660 o jZA
Saluran Transmisi
51
BAB 2 Saluran Transmisi
Saluran transmisi merupakan koridor yang harus dilalui dalam penyaluran energi listrik. Saluran transmisi biasanya dinyatakan menggunakan rangkaian ekivalen. Hal ini telah kita lihat secara selintas pada pembahasan diagram satu garis, Gb.1.9. Walaupun rangkaian ekivalen saluran transmisi cukup sederhana, ada empat hal yang perlu kita perhatikan yaitu:
• Resistansi konduktor,
• Imbas tegangan di satu konduktor oleh arus yang mengalir di konduktor yang lain,
• Arus kapasitif karena adanya medan listrik antar konduktor,
• Arus bocor pada isolator.
Dalam analisis sistem tenaga, arus bocor pada isolator biasanya diabaikan karena cukup kecil dibandingkan dengan arus konduktor. Namun masalah arus bocor menjadi sangat penting jika kita membahas isolator karena arus bocor ini mengawali terjadinya kerusakan pada permukaan isolator yang dapat mengakibatkan flashover dan kegagalan sistem.
Karena saluran udara memanfaatkan udara sebagai bahan isolasi, perlu kita lihat besaran-besaran fisis udara yang akan masuk dalam perhitungan-perhitungan saluran transmisi, yaitu:
Permeabilitas: permeabilitas magnetik udara dianggap sama dengan permeabilitas ruang hampa:
H/m 104 700
−×π=µ≈µµ=µ r
Permitivitas: permitivitas listrik udara dianggap sama dengan permitivitas ruang hampa:
F/m 36
10 9
00 π=ε≈εε=ε
−
r
Saluran Transmisi
52 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
2.1. Impedansi dan Admitansi
2.1.1. Resistansi
Material yang biasa digunakan sebagai konduktor adalah tembaga dan aluminum. Untuk saluran transmisi banyak digunakan aluminum dan kita mengenal jenis-jenis konduktor aluminum, seperti:
• Aluminum: AAL (all aluminum coductor) • Aloy aluminum: AAAL (all aluminum alloy conductor) • Aluminum dengan penguatan kawat baja: ACSR
(aluminum conductor steel reinforced)
Data mengenai ukuran, konstruksi, resistansi [Ω per km], radius [cm], GMR [cm] (Geometric Mean Radius), serta kemampuan mengalirkan arus [A], dapat kita peroleh dari standar / spesifikasi; untuk sementara kita tidak membahasnya.
Relasi resistansi untuk arus searah adalah
Ωρ= A
lRAS (2.1)
dengan l panjang konduktor [m], A luas penampang konduktor [m2], dan ρ adalah resistivitas bahan.
C][20 Ω.m 1077,1
C][20 Ω.m 1083,2o8
o8
−
−
×=ρ
×=ρ
Al
Al
Resistansi tergantung dari temperature,
01
0212 TT
TTTT +
+ρ=ρ (2.2)
Untuk aluminum C228o0 =T ; untuk tembaga C 241 o
0 =T
Resistansi untuk arus bolak-balik lebih besar dari resistansi untuk arus searah karena ada efek kulit yaitu kecenderungan arus bolak-balik untuk mengalir melalui daerah pinggiran penampang konduktor.
Saluran Transmisi
53
Selain daripada itu, kondukor saluran transmisi merupakan pilinan konduktor sehingga panjang konduktor sesungguhnya lebih dari panjang lateral yang kita ukur.
2.1.2. Induktansi
Arus di suatu konduktor menimbulkan medan magnit di sekelilingnya dan juga di dalam konduktor itu sendiri walaupun yang di dalam konduktor tidak merata di seluruh penampang. Menurut hukum Ampere, jika arus yang mengalir pada konduktor adalah i maka medan magnet H di sekitar konduktor diperoleh
dengan relasi ∫ =l
iHdl . Di titik berjarak x di luar konduktor
relasi ini menjadi
x
iH x π
=2
(2.3)
Jika konduktor kita anggap sangat panjang dan l adalah satu segmen dari padanya, maka fluksi magnet yang melingkupi segmen ini sampai jarak Dx dari konduktor adalah
r
Dildx
x
ilHldx xD
r
D
r
xxln
22 πµ=
πµ=µ=λ ∫∫ (2.4)
dimana r adalah radius konduktor. Persamaan (2.4) ini adalah fluksi lingkup di luar konduktor. Masih ada fluksi di dalam konduktor yang harus diperhitungkan. Untuk mencakup fluksi di dalam konduktor tersebut, didefinisikan suatu radius ekivalen yang disebut Geometric Mean Radius (GMR), r′, sehingga (2.4) menjadi
r
Dil x
′πµ=λ′ ln2
(2.5)
GMR adalah suatu radius fiktif yang lebih kecil dari radius fisik konduktor. Radius fiktif (GMR) ini kita anggap sebagai radius konduktor manakala kita berbicara tentang fluksi magnet sekitar konduktor. Denganr ′ yang lebih kecil dari r ini, kita telah memperhitungkan adanya fluksi magnet di dalam konduktor.
Saluran Transmisi
54 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
2.1.2.1. Sistem Dua Konduktor
Kita perhatikan suatu saluran daya listrik yang terdiri dari dua konduktor, satu adalah saluran kirim dan satu lagi saluran balik. Saluran kirim dialiri arus i sedangkan saluran balik juga dialiri arus i tetapi dengan arah yang berlawanan; hal ini digambarkan pada Gb.2.1. Kita pandang sistem dua konduktor ini sebagai satu segmen dari loop yang sangat panjang. Pada ujung-ujung segmen loop ini terdapat tegangan di antara kedua konduktor, yaitu AA vv ′dan .
Jika panjang segmen ini adalah l maka arus iA di saluran A memberikan fluksi lingkup menembus bidang segmen loop ini sebesar
A
ANAAN r
Dli
′πµ
=λ ln21 (2.6.a)
Arus iA di saluran balik N memberikan fluksi lingkup sebesar
N
ANAAN r
Dli
′πµ
=λ ln22 (2.6.b)
Di ruang antara A dan N, fluksi 1ANλ
dan 2ANλ saling menguatkan sehingga
fluksi lingkup total menjadi
NA
ANAAAAN rr
Dli
′′πµ
=λ+λ=λ2
21 ln2
(2.6.c)
ANλ adalah fluksi lingkup konduktor
A-N yang ditimbulkan oleh iA, dan
Gb.2.1. Saluran kirim A dan saluran balik N.
N′
A
N
A ′Ai
Ai
Av Av′ Nkonduktor :
Akonduktor :
N keA jarak :
GMRr
GMRr
D
N
A
AN
′′
A
AND
N
Fluksi saling menguatkan
Saluran Transmisi
55
merupakan fluksi sendiri yang akan memberikan induktansi sendiri LAA.
2.1.2.2. Sistem Tiga Konduktor
Kita lihat sekarang sistem tiga konduktor, saluran kirim A dan B serta saluran balik N, seperti terlihat pada Gb.2.2. Arus iA dan iB masing-masing mengalir di A dan B sedang di N mengalir arus balik )( BA ii + . Kita akan menghitung fluksi lingkup segmen
loop yang menjadi perhatian kita yaitu fluksi lingkup pada segmen loop yang dibentuk oleh saluran A dan saluran balik N.
Dalam situasi ini arus iA di konduktor A dan arus balik (iA+i B) di N memberikan fluksi lingkup sebesar
N
ANBA
A
ANAANB r
Dlii
r
Dli
′π+µ
+′π
µ=λ ln
2
)(ln
21 (2.7.a)
Sementara itu arus iB di konduktor B juga memberikan fluksi
B
BNB
B
ABBANB r
Dli
r
Dli
′πµ
+′π
µ=λ ln
2ln
22 (2.7.b)
Karena arus iB searah dengan iA maka suku pertama (2.7.b) memperlemah fluksi antara A dan B, sedangkan suku ke-dua memperkuat fluksi antara B dan N. Fluksi lingkup antara A dan N dengan kehadiran B menjadi
′+
′−
′πµ+
′+
′πµ=
λ+λ=λ
B
BN
B
AB
N
ANB
N
AN
A
ANA
ANBANBANB
r
D
r
D
r
Dli
r
D
r
Dlilnlnln
2lnln
2
21
Gb.2.2. Saluran kirim A dan B, dan saluran balik N
A
B
N
A ′
B′
N′
Ai
Bi
BA ii +
Saluran Transmisi
56 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
atau
′πµ
+′′π
µ=λ
ABN
BNANB
NA
ANAANB
Dr
DDli
rr
Dliln
2ln
2
2
(2.7.c)
ANBλ adalah fluksi lingkup segmen loop A-N dengan kehadiran
arus di konduktor B yang jika kita bandingkan dengan (2.6.c) terlihat bahwa suku ke-dua (2.7.c) adalah tambahan yang disebabkan oleh adanya arus iB.
Kita lihat sekarang fluksi lingkup segmen loop B-N antara konduktor B dan N. Fluksi lingkup yang ditimbulkan oleh arus di B dan arus di N adalah
N
BNAB
B
BNBBNA r
Dlii
r
Dli
′π+µ
+′π
µ=λ ln
2
)(ln
21 (2.8.a)
dan fluksi yang ditimbulkan oleh iA yang memperkuat fluksi
1BNAλ adalah
AB
ANA
A
AB
A
ANABNA D
Dli
r
D
r
Dliln
2lnln
22 πµ
=
′−
′πµ
=λ (2.8.b)
sehingga fluksi lingkup konduktor B-N menjadi
NAB
ANBNA
NB
BNBBNABNABNA rD
DDli
rr
Dli
′πµ
+′′π
µ=λ+λ=λ ln
2ln
2
2
21 (2.8.c)
Kita lihat bahwa formulasi (2.8.c) mirip dengan (2.7.c); suku pertama adalah fluksi yang ditimbulkan oleh arus iB sedangkan suku kedua adalah tambahan yang disebabkan oleh arus iA.
2.2.1.3. Sistem Empat Konduktor
Dengan cara yang sama, kita menghitung fluksi-fluksi lingkup pada sistem empat konduktor dengan tiga konduktor A, B, dan C masing-masing dengan arus iA, iB, dan iC, dan konduktor balik N dengan arus )( CBA iii ++ seperti terlihat pada Gb.2.3.
Saluran Transmisi
57
Fluksi lingkup konduktor A-N, B-N, dan C-N adalah:
′+
′+
′′πµ=
′−
′πµ+
′−
′πµ+
′+++
′πµ=λ
ACN
CNANC
ABN
BNANB
NA
ANA
C
ACC
C
CNC
B
ABB
B
BNB
N
ANCBA
A
ANAAN
Dr
DDi
Dr
DDi
rr
Di
l
r
Di
r
Di
r
Di
r
Di
r
Diii
r
Di
l
lnlnln2
lnln2
lnln2
ln)(ln2
2
(2.9.a)
′++
′′+
′πµ=
′−
′πµ+
′−
′πµ+
′+++
′πµ=λ
BCN
CNBNC
NB
BNB
ABN
ANBNA
C
BCC
C
CNC
A
ABA
A
ANA
N
BNCBA
B
BNBBN
Dr
DDi
rr
Di
Dr
DDi
l
r
Di
r
Di
r
Di
r
Di
r
Diii
r
Di
l
lnlnln2
lnln2
lnln2
ln)(ln2
2
(2.9.b)
′′+
′+
′πµ=
′−
′πµ+
′−
′πµ+
′+++
′πµ=λ
NC
CNC
BCN
BNCNB
ACN
ANCNA
B
BCB
B
BNB
A
ACA
A
ANA
N
CNCBA
A
CNCCN
rr
Di
Dr
DDi
Dr
DDi
l
r
Di
r
Di
r
Di
r
Di
r
Diii
r
Di
l
2
lnlnln2
lnln2
lnln2
ln)(ln2
(2.9.c)
Gb.2.3. Sistem empat konduktor.
A
B
C
N
A ′
B′
C′
N′
ANv
BNv
CNv
ANv′
BNv′
CNv′
Bi
Ci
CBA iii ++
N C, B, A, : , ; konduktor ; dan konduktor jarak : jiiGMRrjiD iij =′
Saluran Transmisi
58 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Penurunan relasi (2.9) sudah barang tentu tidak terbatas hanya untuk empat konduktor. Akan tetapi dalam pembahasan ini kita mengaitkannya dengan keperluan kita untuk meninjau sistem tiga-fasa. Oleh karena itu kita batasi tinjauan pada sistem empat konduktor. Dalam bentuk matriks, (2.9) dapat kita tuliskan sebagai
′′πµ
′πµ
′πµ
′πµ
′′πµ
′πµ
′πµ
′πµ
′′πµ
=
λλλ
C
B
A
NC
CN
BCN
BNCN
ACN
ANCN
BCN
CNBN
NB
BN
ABN
ANBN
ACN
CNAN
ABN
BNAN
NA
AN
CN
BN
AN
i
i
i
rr
D
Dr
DD
Dr
DD
Dr
DD
rr
D
Dr
DD
Dr
DD
Dr
DD
rr
D
l
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
2
2
2
(2.10)
Turunan terhadap waktu dari fluksi lingkup memberikan tegangan imbas
′′πµ
′πµ
′πµ
′πµ
′′πµ
′πµ
′πµ
′πµ
′′πµ
=
′
′
′
dt
didt
didt
di
rr
D
Dr
DD
Dr
DD
Dr
DD
rr
D
Dr
DD
Dr
DD
Dr
DD
rr
D
v
v
v
lC
B
A
NC
CN
BCN
BNCN
ACN
ANCN
BCN
CNBN
NB
BN
ABN
ANBN
ACN
CNAN
ABN
BNAN
NA
AN
CC
BB
AA
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
1
2
2
2
(2.11)
Jika tegangan dan arus adalah sinusoidal, persamaan matriks di atas dapat kita tuliskan dalam fasor
′′πµ
′πµ
′πµ
′πµ
′′πµ
′πµ
′πµ
′πµ
′′πµ
ω=
′
′
′
C
B
A
NC
CN
BCN
BNCN
ACN
ANCN
BCN
CNBN
NB
BN
ABN
ANBN
ACN
CNAN
ABN
BNAN
NA
AN
CC
BB
AA
rr
D
Dr
DD
Dr
DD
Dr
DD
rr
D
Dr
DD
Dr
DD
Dr
DD
rr
D
jl
I
I
I
V
V
V
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
ln2
1
2
2
2
(2.12)
Persamaan ini menunjukkan tegangan imbas pada setiap konduktor, sepanjang segmen l (jika faktor l pindah ke ruas kanan).
Saluran Transmisi
59
2.1.3. Impedansi
Resistansi dan tegangan imbas (baik oleh fluksinya sendiri maupun oleh fluksi yang timbul karena arus di konduktor lain) pada setiap konduktor membentuk impedansi di setiap konduktor. Dalam memperhitungkan resistansi, kita amati hal berikut:
Semua arus fasa melalui masing-masing konduktor fasa, sedangkan arus balik melalui konduktor netral secara bersama-sama. Oleh karena itu impedansi sendiri suatu fasa akan mengandung resistansi konduktor fasa dan resistansi konduktor netral, sedangkan impedansi bersama akan mengandung resistansi konduktor netral saja. Persamaan (2.12) dapat kita tuliskan menjadi:
=
′
′
′
C
B
A
CCCBCA
BCBBBA
ACABAA
CC
BB
AA
ZZZ
ZZZ
ZZZ
lI
I
I
V
V
V
1
(2.13.a)
dengan ZXX adalah impedansi sendiri konduktor X dan ZXY adalah impedansi konduktor X karena adanya imbas dari konduktor Y; impedansi ini adalah per satuan panjang. (Perhatikan adanya faktor 1/l di ruas kiri (2.13.a))
ACN
BNCNNCB
ACN
ANCNNCA
NC
CNNCCC
BCN
CNBNNBC
ABN
ANBNNBA
NB
BNNBBB
ACN
CNANNAC
ABN
BNANNAB
NA
ANNAAA
Dr
DDjRZ
Dr
DDjRZ
rr
DjRRZ
Dr
DDjRZ
Dr
DDjRZ
rr
DjRRZ
Dr
DDjRZ
Dr
DDjRZ
rr
DjRRZ
′πωµ+=
′πωµ+=
′′πωµ++=
′πωµ+=
′πωµ+=
′′πωµ++=
′πωµ+=
′πωµ+=
′′πωµ++=
ln2
ln2
;ln2
ln2
ln2
;ln2
ln2
ln2
;ln2
2
2
2
(2.13.b)
Saluran Transmisi
60 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Walaupun matriks impedansi pada (2.13.a) terlihat simetris namun tidak diagonal. Matrik impedansi urutan akan berbentuk diagonal jika konfigurasi konduktor memiliki kesimetrisan seperti pada konfigurasi ∆ atau dibuat simetris melalui transposisi, seperti yang akan kita lihat berikut ini.
2.1.3.1. Konfigurasi ∆∆∆∆ (Segitiga Sama-Sisi)
Konfigurasi ini adalah konfigurasi segitiga sama-sisi di mana konduktor fasa berposisi di puncak-puncak segitiga.
DDDD ACBCAB ===
Konduktor netral berposisi di titik berat segitiga, sehingga
3/DDDD CNBNAN ===
Gb.2.4. memperlihatkan konfigurasi ini.
Jika kita anggap resistansi konduktor fasa sama besar yaitu R dan GMR-nya pun sama yaitu r ′ , maka jika kita masukkan besaran-besaran ini ke (2.13.b) kita peroleh persamaan (2.14) di bawah ini. Perhatikan impedansi sendiri ZXX yang akan kita sebut Zs dan impedansi bersama ZXY yang akan kita sebut Zm dalam persamaan yang diperoleh ini.
D D
D
3/D
Gb.2.4 Konfigurasi ∆ (equilateral).
Saluran Transmisi
61
NNCB
NNCA
N
CNNCC
NNBC
NNBA
N
BNNBB
NNAC
NNAB
NNAA
r
DjRZ
r
DjRZ
rr
DjRRZ
r
DjRZ
r
DjRZ
rr
DjRRZ
r
DjRZ
r
DjRZ
rr
DjRRZ
′πωµ+=
′πωµ+=
′′πωµ++=
′πωµ+=
′πωµ+=
′′πωµ++=
′πωµ+=
′πωµ+=
′′πωµ++=
3ln
2
3ln
2 ;
3ln
2
3ln
2
3ln
2 ;
3ln
2
3ln
2
3ln
2 ;
3ln
2
2
2
2
(2.14)
Pada (2.14) ini terlihat bahwa
mCABCAB ZZZZ === dan sCCBBAA ZZZZ ===
sehingga (2.13.a) dapat dituliskan:
=
′
′
′
C
B
A
smm
msm
mms
CC
BB
AA
ZZZ
ZZZ
ZZZ
lI
I
I
V
V
V
1
(2.15.a) dengan
/m 3
ln2
/m 3
ln2
2
Ω′π
ωµ+=
Ω′′π
ωµ++=
NNs
NNs
r
DjRZ
rr
DjRRZ
(2.15.b)
jika R dan RN dinyatakan dalam Ω/m, dan µ dalam H/m. D, r ′ , dan Nr ′ dinyatakan dengan satuan yang sama (biasanya dalam
meter disesuaikan dengan D yang juga diukur dalam meter).
Impedansi urutan dapat kita peroleh dengan cara seperti yang kita pelajari di bab sebelumnya, yaitu
Saluran Transmisi
62 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
[ ] [ ] [ ][ ]
−−
+=
++++−++++−
+++=
=
= −
ms
ms
ms
msmsms
msmsms
msmsms
smm
msm
mms
ABC
ZZ
ZZ
ZZ
aa
aa
ZaaZZaZaZZ
ZaZaZaaZZZ
ZZZZZZ
aa
aa
ZZZ
ZZZ
ZZZ
aa
aa
ZZ
00
00
002
1
1
111
)1()1(
)1()1(
222
3
1
1
1
111
1
1
111
3
1
T T
2
2
22
22
2
2
2
2
1012
(2.16.a)
Dengan memasukkan (2.15.b) ke (2.16.a) kita peroleh
/km ln2
/km )(27
ln2
32
21
3
4
0
Ω′π
ωµ+=−==
Ω′′π
ωµ++=+=
r
DjRZZZZ
rr
DjRRZZZ
ms
NNms
(2.16.b)
CONTOH-2.1: Penyulang tegangan menengah tiga-fasa, 20 kV, 50 Hz, panjang 20 km. Konduktor penyulang berpenampang 95 mm2 dan memiliki radius efektif 6 mm. Resistivitas konduktor adalah 0,0286 Ω.mm2/m dan penyulang dibangun dalam konfigurasi ∆ dengan jarak antar konduktor 1 m. Hitunglah impedansi sendiri dan impedansi bersama serta impedansi urutan positif, dengan mengabaikan kapasitansi.
Solusi:
Resistansi konduktor:
/m 00031,095
0286,0 Ω==ρ=A
lRA
Dengan konfigurasi ∆, impedansi sendiri dan impedansi bersama fasa A dihitung menggunakan formulasi (2.14) dengan panjang saluran l = 20 km = 20000 m:
Saluran Transmisi
63
ABlACl
ABl
AAl
ZZ
,j,
jZ
,j,
jZ
=Ω∠=+=
×
×π×π×π+=
Ω∠=+=
×
××π×π×π+
+=
−
−
96,3968,7055026
20000006,03
1ln
2104100
00031,0
86,4661,1785120412
20000
006,0006,03
1ln
2
104100
00031,000031,0
o
27
o
27
Impedansi urutan positif dihitung dengan relasi (2.16.b)
35,5286,98,702,6
05,502,685,1204,12 1
∠=+=−−+=
−=−=
j
jj
ZZZZZ ABlAAlms
CONTOH-2.2: Beban 5000 kW dengan faktor daya 0,8 dicatu melalui penyulang tegangan menengah tiga-fasa, 20 kV, 50 Hz, sepanjang 20 km dengan konfigurasi seperti yang diberikan pada Contoh-2.1. Dengan mengabaikan kapasitansi antar konduktor, hitunglah tegangan di ujung kirim apabila tegangan di ujung terima (beban) ditetapkan 20 kV dengan cara: a) menggunakan besaran-besaran fasa; b) menggunakan besaran urutan.
Solusi:
a) Karena kapasitansi diabaikan, maka perbedaan tegangan antara ujung kirim dan ujung terima hanya disebabkan oleh impedansi saluran. Dengan pembebanan seimbang, perhitungan dilakukan menggunakan model satu-fasa. Kita amati fasa A. Impedansi sendiri total dan impedansi bersama total fasa A telah dihitung pada contoh-2.1:
Ω∠=+==
Ω∠=+=
96,3968,7055026
86,4661,1785120412o
o
,j,ZZ
,j,Z
AClABl
AAl
Saluran Transmisi
64 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Dengan menggunakan tegangan fasa-netral ujung terima fasa A sebagai referensi, maka tegangan fasa-netral ujung terima fasa A, B, dan C adalah
kV 24055,11
kV 12055,11
kV 055,1103
20
o
o
oo
−∠=
−∠=
∠=∠=
rC
rB
rA
V
V
V
Arus fasa A, B, dan C adalah
A 87,2764,180
A 87,1564,180
A 87,364,180A 4,1808,055,11
3/5000
o
o
o
−∠=
−∠=
−∠=→=×
=
C
B
AA
I
I
II
Tegangan jatuh di fasa A adalah:
84,47404,1714
43,118790,77393,126339,64134,55133,3129
87,2764,18096,3986,7
87,1564,18096,3986,787,364,18086,4661,17 oo
oooo
j
jjj
ZZZ CACBABAAAAA
+=+−−−+=
−∠×∠+
−∠×∠+−∠×∠=
++=′ IIIV
Tegangan fasa-netral di ujung kirim:
kV 22,1348,071,155,11 o∠=++=+= ′ jAArAsA VVV
Tegangan fasa-fasa di ujung kirim:
kV 8,2232,13 ==sffV
b). Pada pembebanan seimbang, besaran urutan yang ada hanyalah urutan positif. Impedansi urutan positif telah dihitung pada contoh-2.1.
Ω∠=+= 35,5286,98,702,6 o1 jZ
Tegangan jatuh di fasa A adalah:
Saluran Transmisi
65
V 48,071,148,1559,1778
87,364,18035,5286,9o
oo1
j
Z AAA
+=∠=
−∠×∠=×=′ IV
Tegangan fasa-netral di ujung kirim
kV 22,1348,071,155,11 o∠=++=+= ′ jAArAsA VVV
Tegangan fasa-fasa di ujung kirim:
kV 8,2232,13 ==sffV
2.1.3.2. Transposisi
Suatu upaya untuk membuat konfigurasi menjadi simetris adalah melakukan transposisi, yaitu mempertukarkan posisi konduktor sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan transmisi mempunyai konfigurasi simetris ataupun hampir simetris. Panjang total saluran, d, dibagi dalam tiga seksi dan posisi konduktor fasa dipertukarkan secara berurutan, seperti diperlihatkan secara skematis oleh Gb.2.5.
3
2
1
DD
DD
DD
CN
BN
AN
===
1
3
2
DD
DD
DD
CN
BN
AN
===
2
1
3
DD
DD
DD
CN
BN
AN
===
Gb.2.5. Transposisi.
Kita misalkan ketiga konduktor fasa pada Gb.2.5 memiliki resistansi per satuan panjang sama besar dan demikian juga jari-jari serta GMR-nya;
RRRR CBA === , rrrr CBA === , dan rrrr CBA ′=′=′=′ .
Saluran Transmisi
66 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Kita dapat mencari formulasi impedansi fasa dan impedansi urutan dengan melihat seksi per seksi. Jika panjang keseluruhan saluran adalah d, maka untuk konduktor A:
seksi pertama:
′πωµ+=
′πωµ+=
′′πωµ++=
NACNAC
NABNAB
NNAA
rD
DDjRZ
rD
DDjR
dZ
rr
DjRR
dZ
3121
21
ln23
1 ;ln
23
;ln23
(2.17.a) seksi ke-dua:
′πωµ+=
′πωµ+=
′′πωµ++=
NACNAC
NABNAB
NNAA
rD
DDjRZ
rD
DDjR
dZ
rr
DjRR
dZ
1232
22
ln23
1 ;ln
23
;ln23
(2.17.b) seksi ke-tiga
′πωµ+=
′πωµ+=
′′πωµ++=
NACNAC
NABNAB
NANAA
rD
DDjRZ
rD
DDjR
dZ
rr
DjRR
dZ
2313
23
ln23
1 ;ln
23
;ln23
(2.17.c)
Impedansi per satuan panjang konduktor A menjadi:
3/123
3/112
3/131
3/113
3/132
3/121
3/123
3/122
3/121
ln2
ln2
ln2
′
′
′πωµ+=
′
′
′πωµ+=
′′
′′
′′πωµ++=
NACNACNACNAC
NABNABNABNAB
NNNNAA
rD
DD
rD
DD
rD
DDjRZ
rD
DD
rD
DD
rD
DDjRZ
rr
D
rr
D
rr
DjRRZ
(2.18)
Saluran Transmisi
67
Jika didefinisikan:
3321 DDDDh = dan 3
ACBCABf DDDD = (2.19)
maka formulasi (2.18) menjadi
′πωµ+=
′πωµ+=
′′πωµ++=
Nf
hNAC
Nf
hNAB
N
hNAA
rD
DjRZ
rD
DjRZ
rr
DjRRZ
22
2
ln2
; ln2
; ln2
(2.20)
Fasa B dan C memiliki formula yang mirip dengan fasa A. Relasi lengkap untuk ketiga fasa adalah:
=
′
′
′
C
B
A
smm
msm
mms
CC
BB
AA
ZZZ
ZZZ
ZZZ
lI
I
I
V
V
V
1
(2.21.a)
dengan
/m ln2
/m ln2
2
2
Ω
′πωµ+=
Ω
′′πωµ++=
Nf
hNm
N
hNs
rD
DjRZ
rr
DjRRZ
(2.21.b)
Impedansi urutan
[ ] [ ] [ ][ ]T T 1012 ABCZZ −=
dan dengan (2.21.b) kita peroleh:
r
DjRZZZZ
rrD
DjRRZZZ
fms
Nf
hNms
′πωµ+=−==
′′πωµ++=+=
ln2
)(ln
232
21
32
6
0
(2.22)
Saluran Transmisi
68 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
CONTOH-2.3: Hitunglah impedansi urutan positif pada frekuensi 50 Hz dari suatu saluran transmisi dengan transposisi yang mempunyai konfigurasi sebagai berikut:
Solusi: (perhatikan bahwa R dinyatakan dalam Ω/km; µ juga harus dinyatakan sebagai H/km = 1000 × H/m)
Untuk menggunakan relasi (2.22), kita hitung lebih dulu Df dengan menggunakan relasi (2.19):
m 29,58443 =××=fD
Jadi:
/km 3896,0088,0
01073,0
29,5ln
2
1000104502088,0
7
1
Ω+=π
××π××π+=−
j
jZ
2.1.4. Admitansi
Kita pandang satu konduktor lurus dengan panjang tak hingga dan mengandung muatan dengan kerapatan ρ per satuan panjang. Pada konfigurasi sederhana ini, penerapan hukum Gauss untuk menghitung displacement D menjadi sederhana.
lDds
S
ρ=∫
dengan S adalah luas dinding silinder sepanjang l dengan sumbu yang berimpit pada konduktor. Bidang equipotensial di sekitar konduktor akan berbentuk silindris. Kuat medan listrik di suatu titik berjarak x dari konduktor adalah:
xlx
lDEx πε
ρ=×π×ε
ρ=ε
=22
Untuk udara, F/m 1036
1 90
−×π
=ε=ε
A 900 : arus Kapasitas
cm 073,1
cm 350,1
km/ 088.0
rrrr
rrrr
RRR
CBA
CBA
CBA
=′=′=′=′====
Ω===m 2,4
A C
m 2,4
m 4,8
B
Saluran Transmisi
69
Kuat medan listrik ini menyebabkan terjadinya perbedaan potensial antara dua titik di luar konduktor, seperti digambarkan pada Gb.2.6.
Gb.2.6. Dua titik di luar konduktor.
A
Bx
x
x
xAB x
xdx
xEdxv
B
A
B
A
ln22 περ=
περ== ∫∫
(2.23)
ABv adalah penurunan potensial dari A ke B yang bernilai positif
jika xB > xA. Jika ρ adalah muatan negatif maka ABv adalah
kenaikan potensial.
2.1.4.1. Beda Potensial Dua Konduktor Tak Bermuatan
Kita lihat sekarang satu konduktor k dengan jari-jari rk dan bermuatan ρk. Dua konduktor lain yang tidak bermuatan, i dan j, berjarak Dik dan Djk dari konduktor k seperti terlihat pada Gb.2.7.
Gb.2.7. Satu konduktor bermuatan dan dua konduktor tak bermuatan.
Potensial konduktor i yang diakibatkan oleh adanya muatan di konduktor k adalah beda potensial antara titik di permukaan konduktor k dan posisi konduktor i. Sedangkan beda potensial antara konduktor k dan j adalah beda potensial antara permukaan konduktor k dan posisi konduktor j. Beda potensial antara konduktor i dan j adalah selisih antara keduanya.
ij
ikk
jk
k
ikkkikjij
D
D
rk
D
r
Dvvv
kkk
ln2
lnln2
περ=
−
περ=−= ρρρ
(2.24)
i j
ikDjkD
kkrk ρ , ,
A BAx
Bx
Saluran Transmisi
70 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
2.1.4.2. Beda Potensial Tiga Konduktor Bermuatan
Tiga konduktor bermuatan A, B, C diperlihatkan pada Gb.2.8. Setiap muatan di setiap konduktor akan menyebabkan beda potensial di dua konduktor yang lain.
Gb.2.8. Tiga konduktor bermuatan.
CBABCBCBCBC vvvv ρρρ ++=
AB
ACABC D
Dv
Aln
2περ
=ρ ; B
BCBBC r
Dv
Bln
2περ
=ρ ;
BC
CCBC D
rv
cln
2περ=ρ
Jadi
ρ+ρ+ρ
πε=
BC
CC
B
BCB
AB
ACABC D
r
r
D
D
Dv lnlnln
2
1(2.25)
2.1.4.3. Beda Potensial Empat Konduktor Bermuatan
Empat konduktor bermuatan terlihat pada Gb.2.9:
Gb. 2.9. Sistem empat konduktor.
Kita akan meninjau sistem empat konduktor seperti terlihat pada gambar di atas dengan ketentuan konservasi muatan, yaitu
0=ρ+ρ+ρ+ρ AAAA (2.26)
AAr ρ , ,A BBr ρ , ,B CCr ρ , ,CNNr ρ , ,N
ABD BCD
AAr ρ , ,A BBr ρ , ,B CCr ρ , ,C
ACD
Saluran Transmisi
71
0lnlnlnln2
1
lnlnlnln2
1
lnlnlnln2
1
lnlnlnln2
1
=
ρ+ρ+ρ+ρ
πε=
ρ+ρ+ρ+ρ
πε=
ρ+ρ+ρ+ρ
πε=
ρ+ρ+ρ+ρ
πε=
NN
NNN
CN
CNC
BN
BNB
AN
ANANN
CN
NN
C
CNC
BC
BNB
AC
ANACN
BN
NN
BC
CNC
B
BNB
AB
ANABN
AN
NN
AC
CNC
AB
BNB
A
ANAAN
D
D
D
D
D
D
D
Dv
D
r
r
D
D
D
D
Dv
D
r
D
D
r
D
D
Dv
D
r
D
D
D
D
r
Dv
(2.27)
Jika kita terapkan relasi konservasi muatan yaitu
0=ρ+ρ+ρ+ρ ncba atau ( )cban ρ+ρ+ρ−=ρ
maka ρN akan ter-eliminasi dari persamaan (2.27).
ρ+ρ+ρ
πε=
ρ+ρ+ρ
πε=
ρ+ρ+ρ
πε=
NC
CNC
NBC
BNCNB
NAC
ANCNACN
NBC
CNBNC
NB
BNB
NAB
BNANABN
NAC
CNANC
NAB
BNANB
NA
ANAAN
rr
D
rD
DD
rD
DDv
rD
DD
rr
D
rD
DDv
rD
DD
rD
DD
rr
Dv
2
2
2
lnlnln2
1
lnlnln2
1
lnlnln2
1
(2.28.a)
yang dalam bentuk matriks kita tuliskan:
ρρρ
πεπεπε
πεπεπε
πεπεπε
=
C
B
A
nc
CN
nBCB
BNCN
nAC
ANCN
nBC
CNBN
nb
BN
nAB
ANBN
nAC
CNAN
nAB
BNAN
na
AN
C
B
A
rr
D
rD
DD
rD
DD
rD
DD
rr
D
rD
DD
rD
DD
rD
DD
rr
D
v
v
v
ln2
1ln
2
1ln
2
1
ln2
1ln
2
1ln
2
1
ln2
1ln
2
1ln
2
1
2
2
2
(2.28.b)
atau secara singkat
Saluran Transmisi
72 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
ρρρ
=
C
A
A
CCCBCA
BCBBAB
ACABAA
C
B
A
fff
fff
fff
v
v
v
(2.28.c)
atau lebih ringkas
[ ] ABCABCABC ρFv ~ ~ = (2.28.d)
dengan CBAjirD
DDf
nij
jninij , ,, ; ln
2
1 =πε
= (2.28.e)
Untuk tegangan sinusoidal keadaan mantap, (2.28.c) dapat kita tuliskan:
=
C
B
A
CCCBCA
BCBBBA
ACABAA
C
B
A
fff
fff
fff
ρ
ρ
ρ
V
V
V
(2.29.a)
atau
=
−
C
B
A
CCCBCA
BCBBBA
ACABAA
C
B
A
fff
fff
fff
V
V
V
ρ
ρ
ρ1
(2.29.b)
Atau
[ ] [ ] ABCABCABCABCABC VCVFρ~
~~ -1 == (2.29.c)
Kita ingat relasi kapasitor CVQ = . Dari (2.29.c) kita turunkan
[ ] [ ] F/m -1ABCABC FC = (2.30)
dan kita peroleh admitansi
[ ] [ ] /m Ωω= ABCABC j CY (2.31)
Saluran Transmisi
73
Namun kita tidak menghitung [YABC] dengan menggunakan (2.31) melainkan dari (2.30) dengan menghitung [ ]ABCF dan
sini menghitung [ ]012F sehingga diperoleh [ ]012C dan [ ]012Y .
[ ]
=
CCCBCA
BCBBBA
ACABAA
ABC
fff
fff
fff
F (2.32)
nilai urutannya adalah
[ ] [ ] [ ][ ]TFTF 1012 ABC
−= (2.33)
dan akan kita peroleh
[ ] [ ] 1012012
−= FC sehingga [ ] [ ]012012 CY ω= j (2.35)
2.1.4.4. Konfigurasi ∆∆∆∆
Pada konfigurasi ∆,
DDDD ACBCAB === ; 3/DDDD CNBNAN ===
[ ]
=
πεπεπε
πεπεπε
πεπεπε
=
smm
msm
mms
nnn
nnn
nnn
ABC
fff
fff
fff
rr
D
r
D
r
D
r
D
rr
D
r
D
r
D
r
D
rr
D
F
3ln
2
1
3ln
2
1
3ln
2
1
3ln
2
1
3ln
2
1
3ln
2
1
3ln
2
1
3ln
2
1
3ln
2
1
2
2
2
(2.35)
[ ] [ ] [ ]
−−
+=
= −
ms
ms
ms
smm
msm
mms
ff
ff
ff
fff
fff
fff
F
00
00
002
T T 1012
(2.36)
r
DffFF
rr
DffF
ms
nms
ln2
1
)(27
ln2
12
21
3
4
0
πε=−==
πε=+=
(2.37)
Saluran Transmisi
74 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Kapasitansi
)/ln(
21
])(27/ln[
21
21
1
340
0
rDC
FC
rrDFC
N
πε===
πε==
(2.38)
Admitansi
)/ln(
2
])(27/ln[
2
211
3400
rDjYCjY
rrDjCjY
N
πεω==ω=
πεω=ω=
(2.39)
2.1.4.5. Transposisi
Kita telah melihat bahwa jika transposisi dilakukan, maka impedansi urutan dapat berbentuk matriks diagonal. Hal yang sama akan terjadi pada admitansi. Dengan transposisi matriks [FABC] berbentuk
[ ]
=
smm
msm
mms
ABC
fff
fff
fff
F
(2.40)
Pada tahap ini kita perlu mengingat kembali bahwa walaupun dalam analisis rangkaian listrik besaran resistansi, induktansi, impedansi, serta admitansi difahami sebagai konstanta proporsiaonalitas rangkaian linier, namun sesungguhnya mereka adalah besaran-besaran dimensional. Mereka merupakan besaran yang tergantung dari ukuran yang dimilikinya serta sifat-sifat fisis material yang membentuknya. Oleh karena itu, selama dimensinya sama, pengolahan aritmatika dapat dilakukan.
Dalam kasus transposisi saluran transmisi, sebagaimana ditunjukkan oleh matriks [FABC] di atas, konduktor-konduktor memiliki nilai sama jika dilihat dalam selang saluran yang ditransposisikan yaitu yang terdiri dari tiga seksi. Dengan
Saluran Transmisi
75
demikian maka admitansi dapat kita peroleh dengan mengambil nilai rata-rata dari admitansi per seksi.
( )
jiff
jiff
ffff
mif
sij
ijijijij
≠=
==
++=
jika
jika dengan 3
13-seksi 2-seksi 1-seksi
(2.41)
Kita memperoleh
3133221
33
23
22
21
ln6
1
ln6
1
NACBCABm
Ns
rDDD
DDDDDDf
rr
DDDf
πε=
πε=
(2.42)
Dengan definisi:
3321 DDDDh =
3
ACBCABf DDDD =
kita peroleh
Nf
hm
N
hs
rD
Df
rr
Df
22
ln2
1 ln
2
1
πε=
πε=
(2.43) sehingga
r
DffFF
rrD
DffF
fms
nf
hms
ln2
1
)(
ln2
12
21
32
6
0
πε=−==
πε=+=
(2.44)
Kapasitansi adalah
F/m )/ln(
21
F/m ])(/ln[
21
21
1
3260
0
rDC
FC
rrDDFC
f
Nfh
πε===
πε==
(2.45)
Saluran Transmisi
76 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Admitansi adalah
S/m )/ln(
2
S/m )/ln(
2
21
32600
rDjYY
rrDDjCjY
f
Nfh
πεω==
πεω=ω=
(2.46)
CONTOH-2.4: Hitunglah admitansi urutan positif pada frekuensi 50 Hz dari suatu saluran transmisi dengan transposisi yang mempunyai konfigurasi seperti berikut:
Solusi:
Dengan menggunakan relasi (2.46), di mana Df sudah dihitung pada Contoh-2.3. Dengan
F/m 10)36/1( 9−×π=ε maka:
S/km 923,2S/m 10923,2
)01350,0/29,5ln(
10)36/1(2502
)/ln(
2
9
9
1
µ=×=
×π×π××π=πεω=
−
−
jj
jrD
jYf
2.2. Rangkaian Ekivalen
Di sub-bab sebelumnya kita telah memperoleh formulasi impedansi dan admitansi per satuan panjang dari saluran transmisi. Selain itu kita telah melihat bahwa dengan transposisi saluran transmisi dibuat menjadi simetris dan memberikan matriks besaran urutan yang diagonal.
Dengan menggunakan model satu-fasa, kita akan melihat bagaimana perubahan tegangan dan arus sepanjang saluran. Setelah itu kita akan melihat rangkaian ekivalen yang diperlukan dalam analisis.
A 900 : arus Kapasitas
cm 073,1
cm 350,1
km/ 088.0
rrrr
rrrr
RRR
CBA
CBA
CBA
=′=′=′=′====
Ω===m 2,4
A C
m 2,4
m 4,8
B
Saluran Transmisi
77
Rangkaian ekivalen ini diperlukan karena saluran transmisi terhubung dengan peralatan lain, transformator misalnya.
2.2.1. Persamaan Saluran Transmisi
Impedansi dan admitansi suatu saluran transmisi terdistribusi sepanjang saluran yang ratusan kilometer panjangnya. Karena impedansi dan admitansi terdistribusi sepanjang saluran maka dalam penyaluran daya akan terjadi perbedaan tegangan dan arus antara setiap posisi yang berbeda. Kita lihat model satu fasa saluran transmisi seperti pada Gb.2.10.
Gb.2.10 Model satu-fasa saluran transmisi.
Saluran transmisi ini bertegangan sV di ujung kirim dan rV di
ujung terima. Kita tinjau satu posisi berjarak x dari ujung terima dan kita perhatikan satu segmen kecil ∆x ke-arah ujung kirim. Pada segmen kecil ini terjadi hal-hal berikut:
• Di posisi x terdapat tegangan xV .
• Di posisi (x + ∆x) terdapat tegangan xx ∆+V karena terjadi
tegangan jatuh xx xZ IV ∆=∆ (Z adalah impedansi per satuan
panjang).
• Arus xI mengalir dari x menuju ujung terima.
• Arus xx xY VI ∆=∆ mengalir di segmen ∆x (Y adalah
admitansi per satuan panjang).
• Arus xx ∆+I mengalir menuju titik (x + ∆x) dari arah ujung
kirim.
sV rVxVxs ∆+V
xs ∆+I xIxxZ I∆
xxY V∆
x∆
x
rI
Saluran Transmisi
78 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
xxxx
xxxx
xxxx
xxxx
Yx
xY
Zx
xZ
VII
VII
IVV
IVV
=∆
−∆=−
=∆
−∆=−
∆+∆+
∆+∆+
atau
atau
Jika ∆x mendekati nol, maka
xx
xx Y
dx
dZ
dx
dV
II
V== dan (2.47)
Jika (2.47) kita turunkan sekali lagi terhadap x kita peroleh
dx
dY
dx
d
dx
dZ
dx
d xxxx VIIV==
2
2
2
2
dan (2.48)
Substitusi (2.47) ke (2.48) memberikan
xx
xx ZY
dx
dZY
dx
dI
IV
V ==2
2
2
2dan (2.49)
2.2.2. Konstanta Propagasi
Persamaan (2.49) ini telah menjadi sebuah persamaan di mana ruas kiri dan kanan berisi peubah yang sama sehingga solusi dapat dicari. Untuk mencari solusi tersebut didefinisikan
ZYZY =γ=γ atau 2 (2.50)
γ disebut konstanta propagasi. Karena Z memiliki satuan Ω/m dan Y memiliki satuan S/m, maka γ memiliki satuan per meter. Selain itu karena Z dan Y merupakan bilangan kompleks maka γ juga merupakan bilangan kompleks yang dapat dituliskan sebagai
β+α=γ j (2.51)
α disebut konstanta redaman, yang akan mengubah amplitudo tegangan dari satu posisi ke posisi yang lain.
β disebut konstanta fasa, yang akan mengubah sudut fasa tegangan dari satu posisi ke posisi yang lain.
Saluran Transmisi
79
2.2.3. Impedansi Karakteristik
Dengan menggunakan pengertian konstanta propagasi maka persamaan tegangan dan arus, (2.49) dapat dituliskan menjadi
xx
xx
dx
d
dx
dI
IV
V 22
22
2
2dan γ=γ= (2.52.a)
atau
0dan 0 22
22
2
2
=γ−=γ− xx
xx
dx
d
dx
dI
IV
V (2.52.b)
Solusi persamaan (2.52.b) adalah :
dan 2121x
ix
ixx
vx
vx ekekekek γ−γγ−γ +=+= IV (2.52.c)
Kita lihat lebih dulu persamaan pertama (2.52.c) yaitu
xv
xvx ekek γ−γ += 11 V (2.53.a)
Turunan (2.53.a) terhadap x memberikan
xv
xv
x ekekdx
d γγ γ−γ= 21 V
(2.53.b)
sedangkan persamaan pertama (2.47) memberikan
xx Z
dx
dI
V=
sehingga (2.53.b) dan (2.47) memberikan
xx
vx
v Zekek I=γ−γ γγ21 (2.53.c)
Konstanta propagasi γ didefinisikan pada (2.50) yaitu
ZY=γ
Kita masukkan γ ke (2.53c) dan kita peroleh
( ) xx
vx
v ZekekZY I=− γγ21
atau
Saluran Transmisi
80 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
xxx
vx
v Y
Z
ZY
Zekek II ==− γγ
21 (2.53.d)
Perhatikan bahwa ruas paling kiri (2.53.d) adalah ruas kanan persamaan (2.53a), yaitu tegangan. Hal ini berarti bahwa ruas
paling kanan juga berdimensi tegangan. Oleh karena itu Y
Z di
ruas paling kanan (2.53.c) haruslah berdimensi impedansi; impedansi ini disebut impedansi karakteristik, Zc.
Y
ZZc = (2.54)
Perhatikan bahwa kita sedang meninjau satu segmen kecil dari suatu saluran transmisi yaitu sepanjang ∆x; dan kita memperoleh suatu besaran impedansi yaitu impedansi karakteristik, Zc. Kita dapat menduga bahwa impedansi ini terasakan/terdapat di setiap segmen saluran transmisi dan oleh karena itu dia menjadi karakteristik suatu saluran transmisi.
Dengan pengertian impedansi karakteristik ini maka (2.53.d) kita tulis menjadi
xcx
vx
v Zekek I=− γγ21 (2.55)
Kita lihat sekarang situasi di ujung terima, dimana x = 0. Persamaan pertama (2.53.c) memberikan tegangan di setiap poisi x, yaitu
xv
xvx ekek γ−γ += 11 V
Dengan memberikan x = 0 pada (2.53.c) ini kita dapatkan tegangan di ujung terima
21 rvv kk V=+ (2.56.a)
sedangkan pada x = 0 persamaan (2.55) memberikan arus di ujung terima yaitu
rcvv Zkk I=− 21 (2.56.b)
Dari (2.56.a) dan (2.56.b) kita peroleh
Saluran Transmisi
81
2
2 21rcr
vrrc
vZ
kZ
kIVVI −
=+
= (2.56.c)
Dengan (2.56.c) ini maka persamaan tegangan di setiap posisi x, yaitu persamaan pertama (2.52.c) menjadi
)sinh()cosh( 22
2
2
21
xZx
eeZ
ee
eZ
eZ
ekek
rcr
xx
rc
xx
r
xrcrxrrc
xv
xvx
λ+γ=
−++=
−+
+=
+=
γ−γγ−γ
γ−γ
γ−γ
IV
IV
IVVI
V
(2.57)
Inilah persamaan tegangan di setiap posisi x apabila tegangan dan arus di ujung terima adalah rV dan rI .
Selanjutnya persamaan arus di setiap posisi x yaitu persamaa ke-dua (2.52.c) dapat kita olah dengan cara yang sama.
xc
xi
xi
xx
ix
ixx
ix
ix
Zekek
Yekekdx
dekek
V
VI
I
1
21
2121
=−→
=γ−γ=→+=
γ−γ
γ−γγ−γ
(2.58.a)
Untuk x = 0,
rc
iirii Zkkkk VI
1 2121 =−=+
sehingga diperoleh
2
/
2
/21
crri
crri
Zk
Zk
VIVI −=
+= (2.58.b)
Dengan (2.58.b) ini kita peroleh
)cosh()sinh(
22
2
/
2
/
xxZ
eeee
Z
eZ
eZ
rc
r
xx
r
xx
c
r
xcrrxcrrx
γ+λ=
++−=
−+
+=
γ−γγ−γ
γ−γ
IV
IV
VIVII
(2.58.c)
Saluran Transmisi
82 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Jadi untuk saluran transmisi kita peroleh sepasang persamaan
)cosh()sinh(
)sinh()cosh(
xxZ
xZx
rc
rx
rcrx
γ+γ=
γ+γ=
IV
I
IVV
(2.59)
Persamaan (2.59) ini memberikan nilai tegangan di setiap posisi x pada saluran transmisi apabila tegangan dan arus di ujung terima diketahui. Dengan bantuan komputer tidaklah terlalu sulit untuk melakukan perhitungan untuk setiap nilai x. Parameter yang terlibat dalam perhitungan adalah konstanta propagasi γ dan impedansi karakteristik Zc. Konstanta propagasi mempunyai satuan per meter yang ditunjukkan oleh persamaan (2.50); impedansi karakteristik mempunyai satuan ohm (bukan ohm per meter) yang ditunjukkan oleh (2.54).
2.2.4. Rangkaian Ekivalen ππππ
Jika panjang saluran adalah d, tegangan dan arus di ujung kirim
adalah ss IV dan maka dari (2.59) kita peroleh
)cosh()sinh(
)sinh()cosh(
ddZ
dZd
rc
rs
rcrs
γ+γ=
γ+γ=
IV
I
IVV
(2.60)
Rangkaian ekivalen diperlukan dalam analisis jika saluran transmisi terhubung dengan piranti lain. Kita akan meninjau suatu rangkaian ekivalen yang disebut rangkaian ekivalen π seperti terlihat pada Gb.2.11.
Gb.2.11. Rangkaian ekivalen π
sV rV
sI rI
tZ
2tY
2tY
Saluran Transmisi
83
Pada rangkaian ekivalen ini, impedansi dan admitansi yang terdistribusi sepanjang saluran dimodelkan sebagai impedansi dan admitansi tergumpal. Aplikasi hukum Kirchhoff pada rangkaian ini memberikan:
rtrtt
rt
rtrs ZYZY
Z IVVIVV +
+=
++=2
1 2
(2.61.a)
rtt
rttt
rtrttt
rt
r
st
rt
rs
YZYYZ
ZYZYY
YY
IV
IVVI
VVII
++
+=
+
+++=
++=
21
222
21
22
22
(2.61.b)
Kita ringkaskan (2.61.a dan b) menjadi :
rtt
rttt
s
rtrtt
s
YZYYZ
ZYZ
IVI
IVV
++
+=
+
+=
21
222
21
(2.62)
Jika kita perbandingkan persamaan ini dengan persamaan tegangan dan arus pada (2.60) yaitu
)cosh()sinh(
)sinh()cosh(
ddZ
dZd
rc
rs
rcrs
γ+γ=
γ+γ=
IV
I
IVV
kita dapatkan
)sinh(1
222
)sinh(
)cosh(2
1
dZ
YYZ
dZZ
dYZ
c
ttt
ct
tt
γ=
+
γ=
γ=+
(2.63)
Substitusi persamaan pertama (2.63) ke persamaan ke-tiga (2.63) memberikan
Saluran Transmisi
84 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
( )
γ=+
−=
++×−=
++−=
+γγ=
γ−γ
γ−γ
γ−γ
γ−γγ−γ
γ−γ
γ−γ
2tanh
1
)(
)(
)(
)()(
2/)2(
2/)(
1)cosh(
)sinh(
2
2/2/
2/2/
22/2/
2/2/2/2/
d
ZeeZ
ee
eeZ
eeee
eeZ
ee
dZ
dY
cdd
c
dd
ddc
dddd
ddc
dd
c
t
Jadi dalam rangkaian ekivalen π
)sinh( dZZ ct γ= dan
γ=2
tanh1
2
d
Z
Y
c
t (2.64)
dengan d = jarak antara ujung-terima dan ujung-kirim, Zc = impedansi karakteristik.
Rangkaian ekivalen π diturunkan dari model satu-fasa rangkaian tiga-fasa seimbang. Untuk rangkaian tiga-fasa tak-seimbang, fasor-fasor tak seimbang kita uraikan menjadi komponen-komponen simetris. Masing-masing komponen simetris merupakan fasa-fasa seimbang sehingga masing-masing komponen dapat di analisis menggunakan rangkaian ekivalen satu-fasa. Dengan kata lain masing-masing komponen memiliki rangkaian ekivalen, yaitu rangkaian ekivalen urutan positif, urutan negatif, dan urutan nol, seperti terlihat pada Gb.2.12.
Besaran rangkaian ekivalen adalah:
Konstanta propagasi urutan:
222111000 ; ; YZYZYZ =γ=γ=γ (2.65)
Impedansi karakteristik urutan:
22
111
000
/2
/
/
YZZ
YZZ
YZZ
c
c
c
=
=
=
(2.66)
Impedansi urutan:
Saluran Transmisi
85
dZZ
dZZ
dZZ
c
c
c
222
111
000
sinh
sinh
sinh
γ=γ=γ=
(2.67)
Admitansi urutan:
2tanh
1
2
2tanh
1
2
2
tanh1
2
2
2
2
1
1
1
0
0
0
d
Z
Y
d
Z
Y
d
Z
Y
c
c
c
γ=
γ=
γ=
(2.68)
Rangkaian Urutan Nol
Rangkaian Urutan Positif
Rangkaian Urutan Negatif
Gb.2.12. Rangkaian ekivalen urutan.
2sV 2rV
2sI 2rI
2tZ
22tY
22tY
1sV 1rV
1sI 1rI
1tZ
21tY
21tY
0sV 0rV
0sI 0rI
0tZ
20tY
20tY
Saluran Transmisi
86 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
CONTOH-2.5: Dari saluran transmisi 50 Hz dengan transposisi yang mempunyai konfigurasi seperti pada Contoh-2.3, tentukan
(a) impedansi karakteristik; (b) konstanta propagasi; (c) rangkaian ekivalen π.
Solusi:
Impedansi dan admitansi per satuan panjang saluran ini telah dihitung pada dua contoh sebelumnya.
/km 3896,0088,01 Ω+= jZ S/km 923,21 µ= jY
a) Impedansi karakteristik adalah:
Ω∠=+×=
×+== −
6,4-67,369923,2
3896,0088,010
10923,2
3896,0088,0
o3
6
j
j
j
j
Y
ZZc
b) Konstanta propagasi
kmper 10)074,11198,0(
)10923,2)(3896,0088,0(
3
6
−
−
×+=
×+==γ
j
jjZY
c) Untuk jarak antara ujung kirim dan ujung terima 100 km, elemen-elemen rangkaian ekivalen π adalah
Ω∠=+=
×+−∠=
γ=−
77.339.87 89,3877,8
]10)074,11198,0sinh[()4,667,369(
)sinh(
o
1o
j
j
dZZ ct
A 900 : arus Kapasitas
cm 073,1
cm 350,1
km/ 088.0
rrrr
rrrr
RRR
CBA
CBA
CBA
=′=′=′=′====
Ω===m 2,4
A C
m 2,4
m 4,8
B
Saluran Transmisi
87
mS 1463,0 101463,01014,3
2
10010)074,11207,0(tanh
4,667,369
1
2
tanh1
2
38
3
o
jj
j
d
Z
Y
c
t
≈×+×=
××+−∠
=
γ=
−−
−
16.2.5. Rangkaian Ekivalen Pendekatan
Apabila kita melakukan perhitungan dengan menggunakan computer, pendekatan ini sebenarnya tidak diperlukan. Namun untuk saluran pendek, perhitungan secara manual kadang-kadang diperlukan sehingga diperlukan besaran pendekatan. Pada saluran yang pendek, 1<<γd . Dalam situasi ini kita dapat membuat
pendekatan sebagai berikut
22/
1
2
1
2tanh
1
2
)(sinh
Ydd
ZY
YZ
d
Z
d
Z
Y
ZddZYY
ZdZdZZ
cc
t
cct
==γ≈γ=′
==γ≈γ=′ (2.69)
Rangkaian ekivalen π yang dibuat dengan menggunakan nilai-nilai pendekatan ini disebut juga rangkaian ekivalen nominal.
CONTOH-2.6: Tentukan rangkaian ekivan π pendekatan untuk saluran pada Contoh-2.5.
Solusi: Dengan menggunakan relasi (2.69) elemen rangkaian ekivalen pendekatan adalah:
mS 1461,01002
10923,2100
22
96,388,81006
1
1
jjYY
jZZ
t
t
=××=×=′
Ω+=×=′−
sV rV
sI rI89,3877.8 j+
1463,0j 1463,0j
Saluran Transmisi
88 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
2.2.6. Saluran Pendek
Kinerja saluran transmisi dinyatakan oleh persamaan (2.60) yaitu
)cosh()sinh(
)sinh()cosh(
ddZ
dZd
rc
rs
rcrs
γ+γ=
γ+γ=
IV
I
IVV
Pada saluran yang pendek, 1<<γd . Dalam situasi ini kita dapat
membuat pendekatan 1)cosh(dan )sinh( ≈γγ≈γ ddd . Dengan
pendekatan ini persamaan kinerja saluran transmisi pendek dapat ditulis dengan lebih sederhana:
rr
cs
rcrs
Z
d
dZ
IVI
IVV
+γ=
γ+=
) (
(2.70.a)
Sementara itu
YYZ
ZY
ZZZY
Y
ZZ
cc ==γ=×=γ
/dan (2.70.b)
sehingga (2.24.a) menjadi
rrs
rrs
Yd
Zd
IVI
IVV
+=
+=
)(
) ( (2.70.c)
Persamaan (2.24.c) ini memberikan diagram rangkaian ekivalen seperti terlihat pada Gb.2.13. di samping ini, yang kita sebut rangkaian ekivalen pendekatan untuk saluran pendek.
Gb.2.13. Diagram rangkaian ekivalen pendekatan.
sV rV
sIrI
ZdYd
Saluran Transmisi
89
Rangkaian ekivalen pendekatan hanya kita pakai apabila kita perlukan. Dalam analisis selanjutnya kita akan menggunakan rangkaian ekivalen π yang sebenarnya.
2.2.7. Konstanta ABCD
Kinerja saluran transmisi dinyatakan oleh persamaan (2.60) yaitu
)cosh()sinh(
)sinh()cosh(
ddZ
dZd
rc
rs
rcrs
γ+γ=
γ+γ=
IV
I
IVV
Persamaan ini dapat ditulis dengan dengan menggunakan konstanta A, B, C, D seperti berikut:
rrs
rrs
IDVCI
IBVAV
+=
+= (2.71.a)
dengan
ADBC
BA
=γ==γ=
γ=γ=
dZZ
d
dZd
cc
c
cosh ; 1sinh
sinh ; cosh
2
(2.71.b)
Konstanta-konstanta ini dapat pula diturunkan dari rangkaian ekivalen π yang telah kita peroleh pada persamaan (2.60) yaitu
rtt
rttt
s
trtt
s
YZYYZ
ZYZ
IVI
IVV
++
+=
+
+=
21
222
21
yang jika kita perbandingkan dengan (2.71.a) kita dapatkan
ADC
BA
=
+=
+=
=
+=
21
222
2
1
ttttt
ttt
YZYYZ
ZYZ
(2.71.c)
Saluran Transmisi
90 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Konstanta-konstanta A, B, C, D, adalah bilangan-bilangan kompleks karena Zt maupun Yt adalah bilangan kompleks yang nilainya ditentukan oleh ukuran, konfigurasi, dan panjang saluran. Kita lihat lagi saluran pada Contoh-7.1. untuk memberi gambaran tentang nilai konstanta-konstanta ini.
CONTOH-2.7: Dari saluran transmisi 50 Hz dengan transposisi yang mempunyai konfigurasi seperti pada Contoh-2.3, sedangkan panjang saluran 100 km, tentukan konstanta A, B, C, D saluran transmisi ini.
Solusi:
γ dan Zc telah dihitung pada Contoh-2.5:
Ω∠= 6,4-67,369 ocZ
kmper 10)074,11198,0( 3−×+=γ j
Menggunakan formulasi (2.71.b), nilai konstanta A, B, C, D, adalah
o
o2
o
o
0,070,9943cosh
90,020,00031sinh
77,3039,87sinh
0,070,9943cosh
∠==γ=
∠==γ=
∠=γ=
∠=γ=
AD
BC
B
A
d
ZZ
d
dZ
d
cc
c
Dengan menggunakan konstanta A,B,C,D, ini, kita akan mecermati kinerja saluran.
CONTOH-2.8: Jika saluran transmisi pada Contoh-2.7 mencatu beban sebesar 250 MVA dengan faktor daya 0.9 lagging pada tegangan 270 kV. Hitunglah tegangan di ujung kirim, arus di ujung kirim, tegangan jatuh di saluran, daya di ujung kirim, faktor daya di ujung kirim, dan susut daya di saluran.
A 900 : arus Kapasitas
cm 073,1
cm 350,1
km/ 088.0
rrrr
rrrr
RRR
CBA
CBA
CBA
=′=′=′=′====
Ω===m 2,4
A C
m 2,4
m 4,8
B
Saluran Transmisi
91
Solusi: Dengan model satu-fasa, tegangan beban 270 kV digunakan sebagai referensi. Tegangan fasa-netral adalah
kV 0 88,5513
270 o∠==rV
Karena faktor daya 0,9 lagging maka arus beban:
kA 25,8-0.5339,0270
250 o∠=××
=rI
Tegangan fasa-netral di ujung kirim:
kV 5.7169.1 16.713.30.2155
77,3039,870,070,9943o
oo
∠=+++=
∠+∠=
jj
rrs IVV
Arus di ujung kirim:
kV 21,2-0.51
0.230.480.0510-2 o
-5
∠=
−++×=+= jjrrs IDVCI
Tegangan jatuh di saluran adalah
kV 53,72116,912,4
088,1557,51,169o
oo
∠=+=
∠−∠=−=∆
j
rs VVV
atau 12%1001,169
21 ≈× dari tegangan di ujung kirim.
Daya kompleks ujung kirim
MVA 272602,2151,07,51,16933 o∠=∠×∠×=×= ∗sssS IV
Faktor daya ujung kirim 0.89)27cos( o =
Daya nyata ujung kirim MW 23289,0260 =×=sP
Daya nyata ujung terima MW 2259.0250 =×=rP
Susut yang terjadi di saluran adalah
3.1%%100 =×−
=s
rssaluran P
PPP .
Saluran Transmisi
92 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
2.3. Perubahan Pembebanan
Dalam Contoh-2.8 di atas, pembebanan 250 MVA dengan faktor daya 0,9 menyebabkan tegangan jatuh 12% dan susut daya 3,1% sementara faktor daya di ujung kirim 0,89. Berikut ini kita akan melihat situasi jika terjadi perubahan pembebanan
CONTOH-2.9: Dengan panjang tetap 100 km, saluran transmisi pada Contoh-2.8 dibebani 200, 250, 300 MVA dengan faktor daya tetap 0.9 lagging. Hitunglah tegangan jatuh di saluran, daya di ujung kirim, faktor daya di ujung kirim, dan susut daya di saluran.
Solusi:
Perhitungan dilakukan dengan cara yang sama seperti pada Contoh-2.8. Hasil perhitungan dimuatkan dalam tabel berikut.
Beban [MVA]
200 250 300
Panjang 100 km 100 km 100 km
rV [kV] 155,88∠0o 155,88∠0o 155,88∠0o
rI [kA] 0.43∠-25.8o 0.53∠-25.8o 0.64∠-25.8o
sV [kV] 166.2∠4.7o 169.1∠5.7o 172.1∠6.7o
sI [kA] 0.40∠-20o 0.51∠-21.2o 0.62∠-22o
V∆ [kV] 16.7∠54.3o 21∠53.7o 25.2∠53.3o
V∆ [%] 10 12 15
Ss [MVA] 203 260 320
f.d. 0.9 0.89 0.88
Susut [%] 2.5 3.1 3.75
Saluran Transmisi
93
2.4. Perubahan Panjang Saluran
Perubahan panjang saluran akan mengubah konstanta saluran. Kita lihat contoh berikut.
CONTOH-2.10: Dengan beban tetap 250 MVA dan faktor daya 0,9 lagging, hitunglah tegangan jatuh di saluran, daya di ujung kirim, faktor daya di ujung kirim, dan susut daya di saluran untuk panjang saluran 100, 150, 200 km
Solusi:
Perhitungan dilakukan dengan cara yang sama seperti pada Contoh-2.8. Hasil perhitungan dimuatkan dalam tabel berikut.
Panjang Saluran
100 150 200
Beban 250 MVA 250 MVA 250 MVA
A 0.9943∠0.07o 0.9872∠0,17o 0.9773∠0.3o
B [Ω] 39.867∠77.3o 59.658 ∠77.3o 79.28∠77.4o
C [mS] 0.2917∠90.02o 0.4366 ∠90.06o 0.5802∠90.1o
D 0.9943∠0.07o 0.9872∠0.17o 0.9773∠0.3o
rV [kV] 155.88∠0o 155.88∠0o 155.88∠0o
rI [kA] 0.53∠-25.8o 0.53∠-25.8o 0.53∠-25.8o
sV [kV] 169.1∠5.7o 175.6∠8.3o 181.9∠10.8o
sI [kA] 0.51∠-21.2o 0.50∠-18.7o 0.49∠-16o
V∆ [kV] 21∠53.7o 31∠54.9o 41∠56.1o
V∆ [%] 12 18 22
Ss [MVA] 260 264 267
f.d. 0.89 0.89 0.89
Susut [%] 3.1 4.5 5.8
Saluran Transmisi
94 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
2.5. Lossless Line
Konstanta ABCD saluran transmisi diberikan oleh (2.71.b) yaitu
ADBC
BA
=γ==γ=
γ=γ=
dZZ
d
dZd
cc
c
cosh ; 1sinh
sinh ; cosh
2
Untuk d tertentu, konstanta A dan D ditentukan oleh konstanta propagasi γ yang didefinisikan pada (2.50)
ZYZY =γ=γ atau 2
dimana Z impedansi seri per satuan panjang, dan Y admitansi per satuan panjang. Konstanta propagasi ini merupakan besaran kompleks yang dapat dituliskan sebagai
β+α=γ j
α disebut konstanta redaman, sedangkan β disebut konstanta fasa.
Konstanta redaman α muncul dari impedansi seri sss jXRZ += .
Jika resistansi seri Rs = 0, konstanta redaman juga 0.
β=β+=γ jj0 (2.72)
Keadaan ideal ini, dimana Rs atau α bernilai nol menjadikan saluran transmisi lossless, tidak menyerap daya atau tidak terjadi susut energi di saluran transmisi. Dalam situasi ini, konstanta A dan D adalah
cos 2
cosh β=+=γ==β−β jj ee
dDA (2.73)
Konstanta B menjadi
β=−=γ=β−β
sin2
sinh jZee
ZdZ c
jj
ccB (2.74)
Kondisi ideal ini akan kita gunakan dalam membahas surge impedance loading di sub-bab 2.6.6.
Saluran Transmisi
95
2.6. Analisis Pembebanan Saluran Transmisi
Kenaikan tegangan jatuh serta kenaikan susut daya seiring dengan peningkatan pembebanan sudah dapat kita duga. Pada pembebanan yang kita hitung pada Contoh-2.8 sebesar 250 MVA, tegangan jatuh sudah mencapai 12% dan susut daya sudah 3,1%. Padahal jika kita mengingat kapasitas arus konduktor yang 900 A dan seandainya saluran kita bebani sesuai dengan kemampuan arus konduktornya, daya yang bisa diterima di ujung kirim adalah
MVA 42039,02703fasa =××=rS
Jika pembebanan sebesar ini kita paksakan, maka tegangan jatuh di saluran akan mencapai 20% dan susut mencapai 5,2%.
2.6.1. Pembebanan Thermal
Sebagian energy yang melalui saluran transmisi terkonversi menjadi panas di saluran sebanding dengan kuadrat arus.
saluranfasasaluran RIP ××= 23
Batas thermal menentukan seberapa besar arus yang diperkenankan mengalir pada konduktor agar tidak terjadi pemanasan yang berlebihan di saluran. Kenaikan temperatur konduktor akan menyebabkan pemuaian; jika temperature meningkat maka andongan akan bertambah .
Dari relasi daya tiga-fasa 33 VIS fasa = kita dapat menghitung
berapa daya yang dapat dipasok melalui suatu saluran transmisi. Saluran transmisi dengan tegangan fasa-fasa 150 kV misalnya, setiap 10 amper arus berarti penyaluran daya sebesar
MVA 5,23150 = ; pada transmisi 500 kV berarti penyaluran daya 85 MVA setiap 10 ampere arus. Namun bukan daya ini saja yang menjadi batas dalam menghitung pembebanan suatu saluran transmisi. Beberapa hal akan kita lihat berikut ini.
Saluran Transmisi
96 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
2.6.2. Tegangan dan Arus di Ujung Kirim
Kita misalkan: konstanta saluran: α∠= AA dan β∠= BB ,
tegangan ujung terima o0∠= rr VV (sebagai referensi)
arus beban lagging oϕ−∠= rr II ,
maka tegangan di ujung kirim adalah
)()0( ϕ−β∠++α∠=+= rrrrs BIAVIBVAV (2.75.a)
Sudut α∠A dan β∠B adalah konstanta yang ditentukan hanya
oleh parameter saluran, yang bernilai konstan selama saluran tidak berubah. Oleh karena itu jika faktor daya beban dipertahankan pada nilai tertentu (ϕ konstan) fasor tegangan di ujung kirim ditentukan hanya oleh arus beban Ir . Gb.2.14. memperlihatkan peristiwa tersebut.
Gb.2.14. Perubahan rI menjadi rI ′ menyebabkan perubahan
sV menjadi sV ′ .
Jika kita misalkan θ∠= cc ZZ , maka persamaan ke-dua
(2.71.a) menjadi:
)()20(
2
2
ϕ−α∠+θ−∠=
+=
r
c
r
rrc
s
AIZ
BV
ZIAV
BI
(2.75.b)
Impedansi karakteristik Zc juga merupakan besaran konstan untuk satu saluran transmisi tertentu. Jika faktor daya beban dipertahankan konstan, beda susut fasa antara arus di ujung terima dan di ujung kirim hanya ditentukan oleh parameter saluran.
rV
rI
rVArIB
sV
α Re
Im
ϕ−β
rI ′
sV ′
Saluran Transmisi
97
2.6.3. Tegangan Jatuh Pada Saluran
Peningkatan arus Ir berarti peningkatan pembebanan. Selain batas thermal sebagaimana telah dikemukakan di atas, ada pembatasan lain yang akan kita lihat berikut ini.
Jika δ adalah sudut antara rs VV dan maka dari relasi tegangan
rrs IBVAV += kita peroleh arus beban
)()(
β−α∠−β−δ∠=
−=
B
AV
B
V rs
rsr B
VA
B
VI
(2.76)
Daya per fasa di ujung terima adalah
)()( 2
r1fasa
α−β∠−δ−β∠=
= ∗
B
AV
B
VV
S
rsr
rr IV (2.77)
Jika kita menghendaki tegangan jatuh tidak melebihi nilai tertentu, kita dapat menetapkan tegangan di ujung terima dan di ujung
kirim. Jika hal ini dilakukan maka srVV dan 2rV pada persamaan
daya (2.77) akan bernilai konstan. Persamaan ini akan menunjukkan bahwa hanya sudut δ yang akan bervariasi apabila terjadi perubahan permintaan daya di ujung terima. Sudut ini, δ, disebut sudut daya.
Diagram fasor perubahan sudut daya diperlihatkan pada Gb. 2.15.
Gb.2.15. Perubahan sudut δ.
rV
rI
rVArIB
sV
α Re
Im
δ
Saluran Transmisi
98 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
2.6.4. Diagram Lingkaran
Daya tiga-fasa di ujung terima diperoleh dari (2.77) yaitu
)(3
)(3 2
3fasa α−β∠−δ−β∠=B
AV
B
VVS rsr
r (2.78)
Jika Vr dan Vs dipertahankan konstan, hanya sudut δ yang dapat bervariasi mengikuti perubahan daya. Karakteristik perubahan daya akan mengikuti bentuk kurva lingkaran.
Kita amati bahwa sudut α jauh lebih kecil dari sudut β. Oleh karena itu sudut fasa suku ke-dua (2.78) akan berada di sekitar nilai β. Selain itu jika tegangan jatuh di saluran tidak lebih dari 10%, nilai VrVs di suku pertama tidak pula jauh berbeda dengan
nilai 2rV di suku ke-dua. Pengamatan ini kita perlukan karena kita
akan menggambarkan diagram lingkaran tanpa skala, yang diperlihatkan pada Gb.2.16.
Gb.2.16. Diagram lingkaran.
O
M
M ′
N
δ−βα−β
N ′
N ′′M ′′
δ
Re
Im
Saluran Transmisi
99
Penjelasan dari Gb.2.16 adalah sebagai berikut:
1. Pada bidang kompleks kita gambarkan fasor
)(3 2
α−β∠B
AVr yaitu OM kemudian kita gambar
)(3 2
α−β∠−B
AVr yaitu MO ′ .
2. Pada fasor MO ′ kita tambahkan fasor )(3
δ−β∠B
VV sr
yaitu fasor NM ′ .
3. Sudut antara NM ′ dengan sumbu mendatar adalah )( δ−β .
4. Pada perubahan sudut δ fasor NM ′ akan bergerak
mengikuti lingkaran yang berpusat di M ′ berjari-jari NM ′ .
5. Sudut δ sendiri adalah sudut antara fasor NM ′ dengan garis MM ′′′ yaitu garis sejajar fasor OM seandainya α = 0.
6. Daya nyata maksimum terjadi jika 0)( =δ−β yaitu pada
waktu NM ′ menjadi NM ′′
7. Daya reaktif maksimum terjadi jika o90)( =δ−β .
2.6.5. Batas Stabilitas Keadaan Mantap
Dalam meninjau daya maksimum ini, kita akan menyederhanakan relasi (2.77) dengan melihat saluran transmisi pada tegangan pengenalnya yang kita sebut V, misalnya transmisi 70 kV atau 150 kV, dan tidak membedakan Vr atau Vs. Dengan pengertian ini maka (2.77) menjadi:
)(3
)(3
22
1fasa α−β∠−δ−β∠=B
AV
B
VSr (2.79.a)
Daya tiga-fasa menjadi
)()(22
3fasa α−β∠−δ−β∠=B
AV
B
VSr (2.79.b)
Pada nilai δ = 0, kita tetap mendapatkan daya kompleks, bukan daya nyata. Daya nyata kita peroleh dengan mengambil bagian nyata dari relasi daya ini, dan daya reaktif adalah bagian imajinernya.
Saluran Transmisi
100 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
)cos()cos(
)()(Re
Re
22
22
3fasa 3fasa
α−β−δ−β=
α−β∠−δ−β∠=
=
B
AV
B
V
B
AV
B
V
SP rr
(2.80.a)
dan daya reaktif Q adalah
)sin()sin(
)()(Im
Im
22
22
3fasa 3fasa
α−β−δ−β=
α−β∠−δ−β∠=
=
B
AV
B
V
B
AV
B
V
SQ rr
(2.80.b)
Daya nyata pada relasi (2.80.a) akan mencapai nilai maksimum pada waktu 0)( =δ−β atau β=δ . Daya nyata maksimum ini
merupakan daya maksimum yang bisa dicapai dalam tinjauan keadaan mantap (steady state); besarnya adalah
[ ])cos(12
mantap maks 3fasa α−β−= AB
VPr (2.81)
Pada waktu δ = β, yaitu pada waktu daya nyata mencapai nilai maksimum mantap, daya reaktif adalah
)sin(2
mantap maks 3fasa α−β−=B
AVQr (2.82)
Dan daya kompleks maksimum dalam keadaan mantap adalah
)cos(21 22
22mantap maks fasa 3
α−β−+=
+=
AAB
V
QPS (2.83)
Ini merupakan daya kompleks tiga-fasa maksimum yang bisa dibebankan pada suatu saluran transmisi. Jika konduktor yang digunakan dalam saluran ini mempunyai kapasitas arus sebesar Ic, maka berdasarkan kapasitas arus ini daya yang bisa dibebankan pada saluran transmisi adalah
Saluran Transmisi
101
3saluran fasa 3 cVIS = (2.84)
dan daya kompleks maksimum dalam keadaan mantap menjadi batas pembebanan saluran transmisi dan menjadi batas stabilitas keadaan mantap
saluran fasa 3mantap maks 3fasa SS <
CONTOH-2.11: Tinjaulah batas pembebanan saluran transmisi pada Contoh-2.8. di mana saluran transmisi mencatu beban sebesar 100 MW dengan faktor daya 0.9 lagging pada tegangan 270 kV.
Sistem ini kita anggap memiliki tegangan penunjuk 275 kV. Beban beroperasi pada 270 kV dan tegangan di ujung kirim telah dihitung pada sebelumnya sebesar 279 kV. Konstanta A dan B telah dihitung yaitu
oo 77,3039,87dan 0,070,9943 ∠=∠= BA
Daya maksimum yang dapat dibebankan pada saluran ini menurut (2.83) adalah
MVA 417
)07,030,77(cos(09943,029943,0187,39
275
)cos(21 22
mantap maks 3fasa
=
−×−+=
α−β−+= AAB
VS
Dengan kapasitas arus sebesar 900 A, maka pembebanan saluran
MVA 42839,02753saluran fasa 3 =××== cVIS
⇒ saluran fasa 3mantap maks 3fasa SS <
Jadi 417 MVA merupakan batas pembebanan maksimum.
A 900 : arus Kapasitas
cm 073,1
cm 350,1
km/ 088.0
rrrr
rrrr
RRR
CBA
CBA
CBA
=′=′=′=′====
Ω===m 2,4
A C
m 2,4
m 4,8
B
Saluran Transmisi
102 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
2.6.6. Surge Impedance Loading (SIL)
SIL kita tinjau untuk suatu lossless line. Dalam kondisi ini
coscosh β=γd dan β=γ sinsinh jd
Jika selain lossless saluran, transmisi ini dibebani dengan beban sebesar impedansi karakteristik Zc (beban dimodelkan sebagai satu impedansi) sehingga tegangan di ujung terima (beban) menjadi
rcr Z IV = atau c
rr Z
VI = (2.85)
maka tegangan di ujung kirim menjadi
( ))(
)sin()cos(
)sin()cos(
)sinh()cosh(
d
djd
dZ
jZd
dZd
r
r
c
rcr
rcrs
β∠=
β+β=
β+β=
γ+γ=
V
V
VV
IVV
(2.86)
Persamaan (2.86) ini menunjukkan bahwa besar tegangan di ujung
kirim sama dengan besar tegangan di ujung terima, rs VV = ,
berapapun panjang saluran transmisi. Panjang saluran transmisi d hanya menentukan perbedaan sudut fasa. Dengan kata lain, jika d tertentu maka tegangan di seluruh posisi pada saluran transmisi sama besar; persamaan (2.86) dapat kita tulis
xrs β∠= VV (2.87)
Dalam kondisi ini daya yang tersalur ke beban disebut surge impedance loading (SIL).
Gb.2.17. Saluran transmisi lossless, beban = Zc.
x
rV
d
)(xVTegangan sepanjang
saluran
0
Saluran Transmisi
103
cc
r
Z
V
Z
VSIL
223 === (2.88)
dengan V adalah tegangan penunjuk saluran transmisi, misalnya 150 kV, 270 kV. Perhatikan bahwa dalam perhitungan ini beban dimodelkan sebagai impedansi karakteristik, yaitu
YZZc /=
dengan Z dan Y adalah besaran per satuan panjang; dan Z tetap mengandung resistansi, jXRZ += .
Pembebanan sesungguhnya bisa lebih besar atau lebih kecil dari SIL. Jika tegangan di ujung terima, Vr, dipertahankan pada suatu nilai tertentu, pembebanan yang lebih besar dari SIL mengharuskan tegangan di ujung kirim lebih besar dari tegangan ujung terima, rs VV > . Jika pembebanan lebih kecil dari SIL,
tegangan di ujung kirim lebih kecil dari tegangan di unjung terima maka rs VV >
CONTOH-2.12: Dari saluran transmisi 50 Hz, 275kV, dengan panjang saluran 100 km seperti pada Contoh-2.8, tentukan SIL. Bandingkanlah dengan contoh-2.8 dimana saluran dibebani 250 MVA.
A 900 : arus Kapasitas
cm 073,1
cm 350,1
km/ 088.0
rrrr
rrrr
RRR
CBA
CBA
CBA
=′=′=′=′====
Ω===m 2,4
A C
m 2,4
m 4,8
B
Gb.2.18. Pembebanan >SIL atau < SIL.
SIL
x
rV
d
)(xVSIL>
SIL<
Saluran Transmisi
104 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Solusi:
Zc telah dihitung pada sebelumnya, yaitu
Ω∠= 6,4-67,369 ocZ
MVA 20567,369
27522===
cZ
VSIL
Jika saluran dibebani lebih besar dari SIL, maka tegangan di ujung kirim akan lebih besar dari 275 kV. Hal ini terlihat pada contoh-2.8, dimana pada pembebanan 250 MVA, tegangan
ujung kirim adalah o7,51,169 ∠=sV yang berarti tegangan fasa-
fasa adalah
kV 29331,169 ==sV
lebih besar dari tegangan penunjuk 275 kV.
2.7. Transien Pada Saluran Transmisi
2.7.1. Isolasi Saluran Transmisi
Udara adalah isolasi utama pada saluran udara. Namun konduktor saluran transmisi harus ditopang oleh menara untuk mencapai ketinggian tertentu terhadap permukaan tanah. Untuk mendukung konduktor ini, diperlukan isolator yang memisahkan konduktor dari menara.
Untuk memilih isolator, ada tiga hal utama yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
Tegangan kerja sistem itu sendiri.
Tegangan surja yang mungkin timbul oleh sambaran petir.
Tegangan surja yang timbul pada waktu penutupan/pembukaan circuit breaker.
Tegangan yang paling menentukan adalah tegangan surja karena kalau isolator mampu menahan tegangan uji surja tertentu, biasanya ia juga mampu menahan tegangan kerja sistem. Untuk uji surja, bentuk gelombang tegangan uji didefinisikan. Bentuk
Saluran Transmisi
105
gelombang surja dinyatakan sebagai T1 × T2 dimana keduanya dinyatakan dalam mikrodetik (µs). Jika tegangan puncaknya adalah V0 maka T1 adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak sedangkan T2 adalah waktu untuk turun mencapai 0,5V0. Bentuk gelombang surja, secara matematis dinyatakan menggunakan fungsi eksponensial ganda
[ ]12 //1)( τ−τ− −= tt eeVtv (2.89.a)
dengan
)443,1/(01
11
122
2
21
2,05
; 443,1)2ln(
TTeVV
TT
TT
=
==τ==τ (2.89.b)
Pengujian isolator dilakukan pada suatu kondisi yang ditentukan, dengan bentuk gelombang uji yang terdefinisi secara baik. Beberapa pengertian perlu kita fahami, yaitu:
Critical Flashover Voltage (CFO): adalah tegangan maksimum dimana probabilitas terjadinya flashover adalah 0,50.
Withstand Voltage: Tegangan maksimum 3 × standar deviasi dibawah CFO.
Basic (lightning) Impulse Insulation Level (BIL): Tegangan puncak dimana kemungkinan terjadinya flashover adalah 0,01 pada surja uji 1,2/50 µs.
Basic (switching) Surge Impulse Insulation Level (BSL): Tegangan puncak dimana kemungkinan terjadinya flashover adalah 0,01 pada surja uji 250/2500 µs.
2.7.2. Surja Petir
Petir (lightning) sangat berbahaya bagi saluran transmisi. Indonesia terkenal sebagai daerah yang kaya akan petir. Arus petir yang pernah teramati di Jawa ini berkisar dari 7 sampai 130 A dengan rata-rata 30 kA, tapi di daerah Sumatra bisa sampai di atas 200 kA.
Saluran transmisi dilengkapi dengan kawat tanah yang dipasang di puncak menara dan berfungsi sebagai pelindung kawat fasa
Saluran Transmisi
106 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
terhadap sambaran petir. Berdasar pengalaman, kawat-kawat fasa yang berada dalam sektor 60o di bawah kawat tanah ini “aman” terhadap sambaran petir langsung. Walaupun kawat fasa terlindungi, sambaran petir langsung ke kawat tanah dapat terjadi. Pada sambaran ini akan mengalir arus sangat tinggi ke tanah melalui badan menara. Aliran arus yang sangat tinggi ini dapat mengakibatkan kenaikan tegangan (beberapa saat) yang melebihi tegangan flshover isolator. Terjadilah apa yang disebut backflash yaitu tembus udara antara kawat tanah dengan konduktor fasa. Sekali hal ini terjadi, flashover ini akan dipertahamkan oleh tegangan sistem; ia akan dapat dihilangkan dengan cara mematikan sistem. Hal yang sama juga bisa terjadi jika kawat fasa terkena sambaran langsung. Tegangan dan arus tinggi pada saluran transmisi juga bisa terjadi jika ada sambaran petir tidak jauh dari saluran; peristiwa ini disebut sambaran tak langsung.
Salah satu upaya yang paling sederhana untuk menghindari kerusakan akibat sambaran petir adalah pemasangan rod gap. Rod gap berupa suatu sela udara yang dibangun antara kawat fasa dan menara dengan perantaraan dua batang logam. Sela udara dibuat sedemikian rupa sehingga ia akan tembus bila terjadi kenaikan tegangan yang tidak diinginkan. Kelemahan alat sederhana ini adalah bahwa tembus yang terjadi tidak dapat hilang dengan sendirinya; di samping itu terjadi pula kerusakan pada batang logam.
Gangguan petir terhadap saluran transmisi bisa berupa sambaran langsung seperti disinggung di atas, ataupun sambaran tidak langsung. Sambaran tidak langsung akan menimbulkan tegangan imbas pada saluran transmisi. Lonjakan tegangan di saluran transmisi, baik oleh sambaran langsung maupun sambaran tak langsung, yang berlangsung hanya beberapa saat, akan merambat sepanjang saluran transmisi. Lonjakan tegangan ini merupakan peristiwa transien.
2.7.3. Transien Pada Saluran Transmisi
Dalam pelajaran analisis rangkaian listrik kita telah mempelajari gejala transien. Penutupan saklar S pada rangkaian RLC Gb.2.19.
memberikan persamaan orde dua pada +≥ 0t sebagai berikut
Saluran Transmisi
107
invvdt
diLRi =++
Persamaan ini diperoleh dengan pandangan bahwa begitu saklar ditutup, seluruh tegangan vin terterapkan pada seluruh rangkaian RLC dan hukum Kirchhoff dapat kita terapkan pada rangkaian ini. Pandangan ini tidak dapat kita aplikasikan begitu saja pada saluran transmisi.
Panjang saluran transmisi adalah ratusan kilometer. Jika kita menutup circuit breaker di ujung kirim, tegangan tidak serta merta terasakan di ujung terima; artinya tegangan masuk di ujung kirim tidak segera mencakup seluruh rangkaian. Tegangan di ujung kirim harus merambat dan memerlukan waktu untuk sampai ke ujung terima, walaupun waktu yang diperlukan itu sangat pendek. Oleh karena itu kita harus hati-hati menerapkan hukum Kirchhoff.
Kita akan melihat kasus tegangan durasi terbatas yang muncul pada t = 0 di ujung kirim, sementara saluran transmisi tidak memiliki simpanan energi sebelum t = 0. Tegangan dengan durasi terbatas ini ditunjukkan pada Gb.2.20.
Tegangan ini merupakan fungsi waktu dan muncul pada t = 0 di ujung kirim; persamaannya adalah
)()( tutvv inin =
Di posisi lain di saluran transmisi, misalkan pada posisi x dari ujung kirim, tegangan ini belum muncul; ia akan muncul beberapa waktu kemudian, misalnya baru terasa pada t = Tx. Jadi terdapat pergeseran waktu kemunculan tegangan ini di posisi x. Tegangan
Gb.2.19. Rangkaian RLC seri.
−
+
invi
vvC =
dtdiLvL / =iRvR =S
∪∩
Gb.2.20. Tegangan dengan durasi terbatas diterapkan di ujung kirim.
t
v)()( tutvvin =
0
Saluran Transmisi
108 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
di posisi x ini ditunjukkan pada Gb.2.21 dengan persamaan yang dapat kita tuliskan sebagai
)()( xxx Ttutvv −= (2.90)
Sesungguhnya bentuk gelombang tegangan di posisi x tidak sama dengan bentuk tegangan di ujung kirim (x = 0) karena ada faktor redaman di saluran transmisi. Namun untuk analisis gejala transien
ini, kita menganggap saluran transmisi sebagai lossless line). Dengan anggapan ini maka kita boleh menganggap pula bentuk gelombang tidak berubah sepanjang saluran.
Dengan demikian kita mengerti bahwa bentuk
gelombang yang merambat di saluran transmisi, yang disebut gelombang berjalan (travelling wave), tidak hanya merupakan fungsi t tetapi juga merupakan fungsi x. Bentuk gelombang ini dapat kita tuliskan sebagai
)()(),( xttutvtxv −= (2.91)
Kita tinjau satu segmen saluran transmisi sepanjang x∆ yang kecil, seperti ditunjukkan oleh Gb.2.22.
Gb.2.22. Situasi di satu segmen kecil saluran transmisi, ∆x.
Perhatikan bahwa kita menghitung jarak x dari ujung kiri (ujung kirim), bukan dari ujung kanan (ujung terima) karena kita sedang
),( txv ),(),( txvtxv ∆−
),(),( txitxi ∆−),( txi
x∆
x
xL∆
xC∆
Gb.2.21. Tegangan di posisi x.
t
v)()( xx Ttutvv −=
0xT
Saluran Transmisi
109
membicarakan gelombang yang merambat dari ujung kirim, atau lebih tepatnya dari ujung sumber masuknya gelombang tegangan. Pada segmen kecil terdapat induktansi seri xL∆ dan kapasitansi
xC∆ dengan L dan C adalah induktansi dan kapasitansi per satuan panjang, sedangkan resistansi diabaikan karena kita menganggap saluran transmisi adalah lossless. Pada segmen kecil inilah kita dapat menerapkan hukum Kirchhoff.
t
vxCtxi
t
ixLtxv
∂∂∆=∆−
∂∂∆=∆− ),(dan ),( (2.92)
Jika ∆x cukup kecil maka kita dapatkan formulasi diferensial
t
vC
x
txit
iL
x
txv
∂∂=
∂∂−
∂∂=
∂∂−
),(
),(
(2.93)
Persamaan (2.93) kita tuliskan sebagai
),(),(
),(),(
txvt
Ctxix
txit
Ltxvx
∂∂−=
∂∂
∂∂−=
∂∂
(2.94)
Perhatikan persamaan pertama (2.94). Ruas kiri adalah turunan parsial terhadap x dari ),( txv , ruas kanan adalah turunan parsial
terhadap t dari ),( txi . Transformasi Laplace ruas kiri
memberikan ),( sxx
V∂∂
sedangkan transformasi Laplace ruas
kanan adalah )0,(),( xisxsL −− I dengan )0,(xi adalah nilai awal
dari i; jika tidak ada simpanan energi awal pada saluran transmisi maka nilai awal i adalah nol sehingga transformasi Laplace ruas kanan menjadi ),( sxsLI− . Argumen yang sama berlaku untuk
persamaan kedua dari (2.94). Dengan demikian maka transformasi Laplace dari (2.94) adalah
),(),(
),(),(
sxsCsxx
sxsLsxx
VI
IV
−=∂∂
−=∂∂
(2.95)
Diferensiasi terhadap x persamaan (2.95) memberikan
Saluran Transmisi
110 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
),(),(
),(),(
2
2
2
2
sxx
sCsxx
sxx
sLsxx
VI
IV
∂∂−=
∂∂
∂∂−=
∂∂
(2.96)
Ruas kanan persamaan (2.96) ini memiliki nilai seperti ditunjukkan oleh (2.95); jika kita substitusikan, akan kita peroleh
),(),(
),(),(
22
2
22
2
sxLCssxx
sxLCssxx
II
VV
=∂∂
=∂∂
(2.97)
Pada persamaan (2.97) ini turunan kedua suatu fungsi sama bentuknya dengan fungsi itu sendiri. Fungsi yang demikian adalah fungsi eksponensial. Kita duga bentuk fungsi itu adalah
pxesVsx )(),( =V dan qxesIsx )(),( =I ; jika fungsi dugaan ini
kita masukkan ke (2.97) kita peroleh
0)()(
0 )()(22
22
=−
=−qxqx
pxpx
esLCIsesIq
esLCVsesVp (2.98)
Dari sini kita peroleh
LCsqLCsq
LCspLCsp
±=⇒=−
±=⇒=−
0
0 22
22
(2.99)
Kita masukkan hasil ini ke fungsi dugaan, kita peroleh
xLCs
xLCs
esIsx
esVsx
±
±
=
=
)(),(
)(),(
I
V (2.100)
Untuk menafsirkan persamaan di kawasan s ini, kita lakukan transformasi balik guna melihat bentuk persamaannya di kawasan t. Kita gunakan salah satu sifat transformasi Laplace yaitu pergeseran di kawasan t,
L [ ] )()( atuatf −− = )(se asF− (2.101)
Kita terapkan sifat ini pada (2.100), dan kita peroleh
Saluran Transmisi
111
)()(),(
)()(),(
xLCtuxLCtitxi
xLCtuxLCtvtxv
±±=
±±= (2.102.a)
Kita lihat persamaan pertama (2.102.a) dengan mengambil tanda minus
)()(),( xLCtuxLCtvtxv −−= (2.102.b)
Faktor )( xLCtu − menunjukkan pergeseran waktu tibanya
gelombang di posisi x sedangkan bentuk gelombang itu sendiri adalah
)(),( xLCtvtxv −= (2.102.c)
Untuk suatu nilai konstan Atxv =),( , ruas kanan juga harus
konstan. Jika t bertambah besar harus diimbangi dengan x yang bertambah besar pula. Artinya jika waktu makin bertambah posisi A makin menjauh dari ujung kirim; gelombang ini bergerak ke-kanan yang disebut gelombang maju. Kita simpulkan pula bahwa jika kita mengambil tanda plus, gelombang ini akan bergerak ke kiri dan disebut gelombang mundur. Penafsiran yang sama berlaku pula untuk persamaan kedua (2.102.a). Jika gelombang maju kita beri indeks atas “+” dan gelombang mundur kita beri indeks atas “−”, maka bentuk persamaan (2.102.a) menjadi
)()()()(),(
)()()()(),(
xLCtuxLCtixLCtuxLCtitxi
xLCtuxLCtvxLCtuxLCtvtxv
+++−−=
+++−−=−+
−+ (2.103)
Pada persamaan (2.102.c) , )(),( xLCtvtxv −= , xLC haruslah
berdimensi waktu, t. Karena x adalah jarak, maka LC/1 haruslah berdimensi jarak/waktu; dan inilah kecepatan perambatan gelombang maju maupun gelombang mundur.
Persamaan (2.103) ini adalah persamaan di kawasan waktu. Persamaan di kawasan s telah kita peroleh yang kita tulis ulang menjadi
xLCsxLCs
xLCsxLCs
esIesIsx
esVesVsx
+−−+
+−−+
+=
+=
)()(),(
)()(),(
I
V (2.104)
Saluran Transmisi
112 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
2.7.4. Pernyataan I(x,s) dalam Tegangan
Pemahaman gejala transien akan lebih mudah difahami jika kita melakukan analisis pada gelombang tegangan. Oleh karena itu kita akan menyatakan arus pada persamaan (2.104) dalam tegangan. Hal ini dapat kita lakukan melalui persamaan
),(),(
),(),(
sxsCsxx
sxsLsxx
VI
IV
−=∂∂
−=∂∂
Apabila ),( sxV dari persamaan pertama ini dimasukkan ke
persamaan pertama (2.104) kita dapatkan
xLCsxLCs
xLCsxLCs
esVLCsesVLCs
esVesVx
sxx
+−−+
+−−+
+−=
+
∂∂
=∂∂
)()(
)()(),(V (2.105.a)
Dengan (2.105.a) ini, persamaan pertama (2.104) menjadi
xLCsxLCs esVLCsesVLCs
sxsLsxx
+−−+ +−=
−=∂∂
)()(
),(),( IV (2.105.b)
dan dari sini diperoleh
xLCsxLCs
xLCsxLCs
esVL
CesV
L
C
esVsL
LCsesV
sL
LCssx
+−−+
+−−+
−=
−+
−−=
)()(
)()(),(I(2.105.c)
Dalam persamaan (2.105.c) ini, ruas kiri adalah pernyataan arus di
kawasan s sedangkan di ruas kanan merupakan LC / kali pernyataan tegangan yang juga di kawasan s. Kita dapat berharap
bahwa LC / adalah admitansi atau CLLC ///1 = adalah impedansi yang juga merupakan pernyataan impedansi di kawasan s. Kita lihat hal ini sebagai berikut.
Saluran Transmisi
113
Pada lossless line impedansi seri adalah LjXZ = karena R = 0.
Impedansi ini adalah besaran kompleks dan bukan merupakan fungsi waktu sehingga tidak dapat melakukan transformasi Laplace. Namun kita mengetahui bahwa peubah s dalam analisis di kawasan s adalah peubah kompleks. Kita dapat mendefinisikan pernyataan impedansi di kawasan s yaitu sL=Z dengan s adalah operator Laplace. Dengan argument yang sama, pernyatan admitansi CjXY = di kawasan s adalah sC=Y . Dengan
pengertian impedansi karakteristik yang sudah kita kenal, impedansi karekteristik di kawasan s adalah
C
L
sC
sLc ===
YZ
Z (2.106)
Dengan (2.106) ini maka arus pada (2.105.c) menjadi
c
xLCs
c
xLCs esVesVsx
ZZI
+−−+−= )()(
),( (2.107)
Dengan (2.107) ini maka persamaan tegangan dan arus
c
xLCs
c
xLCs
xLCsxLCs
esVesVsx
esVesVsx
ZZI
V
+−−+
+−−+
−=
+=
)()(),(
)()(),(
(2.108)
Persamaan (2.108) inilah persamaan gelombang berjalan di saluran transmisi dengan arus yang juga dinyatakan dalam tegangan.
2.7.5. Situasi di Ujung Saluran
Kita lihat sekarang situasi di ujung saluran (ujung terima). Di posisi ini, x = d. Jadi persamaan tegangan dan arus (2.108) menjadi
c
dLCs
c
dLCs
dLCsdLCs
esVesVsd
esVesVsd
ZZI
V
+−−+
+−−+
−=
+=
)()(),(
)()(),(
(2.109)
Saluran Transmisi
114 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Rasio antara tegangan dan arus di ujung terima adalah impedansi di ujung terima. Kita bagi persamaan pertama pada (2.109) dengan persamaan yang kedua untuk mendapatkan impedansi di ujung terima Zr.
dLCsdLCs
dLCsdLCs
c
c
dLCs
c
dLCs
dLCsdLCs
r
esVesV
esVesV
esVesV
esVesV
sd
sd
+−−+
+−−+
+−−+
+−−+
−
+=
−
+==
)()(
)()(
)()(
)()(
),(
),(
Z
ZZ
IV
Z
(2.110.a)
atau
+=
−
+−−+
+−−+
xLCsxLCsc
xLCsxLCsr
esVesV
esVesV
)()(
)()(
Z
Z (2.110.b)
atau
xLCsrc
xLCscr esVesV +−−+ +=− )()()()( ZZZZ (2.110.c)
sehingga
xLCs
rc
crxLCs esVesV −++−+−= )(
)(
)()(
ZZZZ (2.110.d)
Persamaan (2.23.d) memperlihatkan bahwa di ujung saluran terdapat gelombang mundur yang merambat balik menuju ujung kirim. Inilah gelombang pantulan yang terjadi di ujung saluran. Besar gelombang pantulan ini adalah suatu faktor kr dikalikan besar gelombang maju. Faktor kr itu adalah
)(
)(
rc
crrk
ZZ
ZZ
+−= (2.110.e)
Saluran Transmisi
115
2.7.6. Superposisi Gelombang Maju Dan Gelombang Pantulan
Dalam perjalanannya menuju ujung kirim, gelombang pantulan akan ter-superposisi dengan gelombang maju yang masih akan datang dari ujung kirim. Jadi persamaan pertama (2.18) yang memberikan persamaan tegangan sebagai fungsi x di kawasan s menjadi
xLCs
rc
crxLCs
xLCsxLCs
esVesV
esVesVsx
−+−+
+−−+
+−+=
+=
)()(
)()(
)()(),(
ZZZZ
V (2.111)
Persamaan (2.111) ini menunjukkan bahwa gelombang tegangan di setiap posisi saluran transmisi merupakan superposisi dari gelombang maju dan gelombang pantulan. Besar gelombang pantulan sama dengan besar gelombang maju dengan faktor skala k
)(
)(
rc
crrk
ZZ
ZZ
+−=
yang disebut koefisien pantulan.
Koefisien pantulan ini bisa bernilai nol, positif, atau negatif. Jika k = 0, yaitu jika cr ZZ = , tidak terjadi pantulan di ujung saluran;
hanya ada gelombang maju. Seandainya gelombang maju ini adalah gelombang sinusoidal, yaitu gelombang yang ter-injeksi ke saluran transmisi pada waktu penutupan circuit breaker di ujung kirim, maka hanya gelombang inilah yang ada di semua posisi pada saluran transmisi. Hal ini berarti bahwa tegangan di semua posisi sama besar; inilah situasi yang kita ulas pada surge impedance loading di sub-bab-2.6.6
2.7.7 Pantulan di Ujung Kirim
Gelombng patulan di ujung terima, setibanya di ujung kirim akan dipantulkan oleh ujung kirim karena ada perbedaan impedansi karakteristirk saluran dengan impedansi sumber. Gelombang yang dipantulkan di ujung kirim akanmerambat ke ujung terima dan sesampai di ujung terima akan dipantulkan lagi menuju ujung
Saluran Transmisi
116 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
kirim. Di saluran akan terjadi superposisi gelombang gelombang pantul ini. Koefisien pantulan di ujung kirim adalah
)(
)(
sc
cssk
ZZ
ZZ
+−= (2.112)
Zs adalah impedansi ujung kirim.
Transformator
117
BAB 3 Transformator
3.1. Transformator Satu-fasa
Transformator banyak digunakan dalam teknik elektro. Dalam sistem komunikasi, transformator digunakan pada rentang frekuensi audio sampai frekuensi radio dan video, untuk berbagai keperluan. Kita mengenal misalnya input transformers, interstage transformers, output transformers pada rangkaian radio dan televisi. Transformator juga dimanfaatkan dalam sistem komunikasi untuk penyesuaian impedansi agar tercapai transfer daya maksimum.
Dalam penyaluran daya listrik banyak digunakan transformator berkapasitas besar dan juga bertegangan tinggi. Dengan transformator tegangan tinggi ini penyaluran daya listrik dapat dilakukan dalam jarak jauh dan susut daya pada jaringan dapat ditekan. Di jaringan distribusi listrik banyak digunakan transformator penurun tegangan, dari tegangan menengah 20 kV menjadi 380 V untuk distribusi ke rumah-rumah dan kantor-kantor pada tegangan 220 V. Transformator daya tersebut pada umumnya merupakan transformator tiga-fasa. Dalam pembahasan ini kita akan melihat transformator satu-fasa lebih dulu.
Kita telah mempelajari transformator ideal pada waktu membahas rangkaian listrik. Berikut ini kita akan melihat transformator tidak ideal sebagai piranti pemroses daya. Akan tetapi kita hanya akan membahas hal-hal yang fundamental saja, karena transformator akan dipelajari secara lebih mendalam pada pelajaran mengenai mesin-mesin listrik.
Mempelajari perilaku transformator juga merupakan langkah awal untuk mempelajari konversi energi elektromekanik. Walaupun konversi energi elektromekanik membahas konversi energi antara sistem mekanik dan sistem listrik, sedangkan transformator merupakan piranti konversi energi listrik ke listrik, akan tetapi kopling antar sistem dalam kedua hal tersebut pada dasarnya sama yaitu kopling magnetik
Transformator
118 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
3.1.1. Teori Operasi Transformator
3.1.1.1. Transformator Dua Belitan Tak Berbeban.
Diagram transformator dua belitan tak berbeban diperlihatkan pada Gb.3.1. Belitan pertama kita sebut belitan primer dan yang ke-dua kita sebut belitan sekunder.
Jika fluksi di rangkaian magnetiknya adalah tmaks ωΦ=φ sin , maka fluksi ini akan
menginduksikan tegangan di belitan primer sebesar
tNdt
dNe maks ωωΦ=φ= cos111 (3.1)
atau dalam bentuk fasor :
efektif nilai ; 02
0 1o1o
11 =∠Φω
=∠= EN
E maksE (3.2)
Karena ω = 2π f maka:
maksmaks NfNf
E Φ=Φπ
= 11
1 44.42
2
(3.3)
Di belitan sekunder, fluksi tersebut menginduksikan tegangan sebesar
maksNfE Φ= 22 44.4 (3.4)
Dari (3.3) dan (3.4) kita peroleh:
masi transforrasio 2
1
2
1 =≡= aN
N
E
E
(3.5)
sV+
− N2 N1
Gb.3.1. Transformator dua belitan.
φ
+
−
∼ 1E 2E
fI
Transformator
119
Perhatikan bahwa 1E sefasa dengan 2E karena dibangkitkan
oleh fluksi yang sama. Karena 1E mendahului φ dengan sudut 90o
maka 2E juga mendahului φ dengan sudut 90o. Jika rasio
transformasi a = 1, dan resistansi belitan primer adalah R1 , diagram fasor tegangan dan arus adalah seperti ditunjukkan oleh Gb.3.2.a. Arus 1I adalah arus magnetisasi, yang dapat dipandang
sebagai terdiri dari dua komponen yaitu φI (90o dibelakang 1E )
yang menimbulkan φ dan cI (sefasa dengan 1E ) guna mengatasi
rugi inti. Resistansi belitan R1 dalam diagram fasor ini muncul sebagai tegangan jatuh 1RfI .
3.1.1.2. Fluksi Bocor
Fluksi di belitan primer transformator dibangkitkan oleh arus yang mengalir di belitan primer. Dalam kenyataan, tidak semua fluksi magnit yang dibangkitkan tersebut akan melingkupi baik belitan primer maupun sekunder. Selisih antara fluksi yang dibangkitkan oleh belitan primer dengan fluksi bersama (yaitu fluksi yang melingkupi kedua belitan) disebut fluksi bocor. Fluksi bocor ini hanya melingkupi belitan primer saja
1V
Gb.3.2. Diagram fasor transformator tak berbeban
a). tak ada fluksi bocor
φ
b). ada fluksi bocor
φ
φl
fI fIφI φI
21 EE =21 EE =
1RfI1RfI
lf Xj IcI
cI1V
Gb.3.3. Transformator tak berbeban. Fluksi bocor belitan primer.
∼ φl1
φ
sV
fI
2E
Transformator
120 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
dan tidak seluruhnya berada dalam inti transformator tetapi juga melalui udara. (Lihat Gb.3.3). Oleh karena itu reluktansi yang dihadapi oleh fluksi bocor ini praktis adalah reluktansi udara. Dengan demikian fluksi bocor tidak mengalami gejala histerisis sehingga fluksi ini sefasa dengan arus magnetisasi. Hal ini ditunjukkan dalam diagram fasor Gb.16.2.b.
Fluksi bocor, secara tersendiri akan membangkitkan tegangan induksi di belitan primer (seperti halnya φ menginduksikan 1E ).
Tegangan induksi ini 90o mendahului φl1 (seperti halnya 1E 90o
mendahului φ) dan dapat dinyatakan sebagai suatu tegangan jatuh ekivalen, 1lE , di rangkaian primer dan dinyatakan sebagai
11 XjI fl =E (3.6)
dengan X1 disebut reaktansi bocor rangkaian primer. Hubungan tegangan dan arus di rangkaian primer menjadi
1111111111 XjRR l IIEEIEV ++=++= (3.7)
Diagram fasor dengan memperhitungkan adanya fluksi bocor ini adalah Gb.3.2.b.
3.1.1.3. Transformator Berbeban.
Rangkaian transformator berbeban resistif, RB, diperlihatkan oleh Gb.3.4. Tegangan induksi
2E (yang telah
timbul dalam keadaan tranformator tidak berbeban) akan menjadi sumber di rangkaian sekunder dan memberikan arus sekunder 2I . Arus 2I
ini membangkitkan fluksi yang berlawanan arah dengan fluksi bersama φ dan sebagian akan bocor (kita sebut fluksi bocor sekunder).
Gb.3.4. Transformator berbeban.
φ
φl1 ≈
1I2I
φl2 RB sV 2V
Transformator
121
Fluksi bocor ini, φl2 , sefasa dengan 2I dan menginduksikan
tegangan 2lE di belitan sekunder yang 90o mendahului φl2.
Seperti halnya untuk belitan primer, tegangan 2lE ini diganti
dengan suatu besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada reaktansi bocor sekunder X2 di rangkaian sekunder. Jika resistansi belitan sekunder adalah R2 , maka untuk rangkaian sekunder kita peroleh hubungan
2222222222 XjRR l IIVEIVE ++=++= (3.8)
dengan 2V adalah tegangan pada beban RB.
Sesuai dengan hukum Lenz, arus sekunder membangkitkan fluksi yang melawan fluksi bersama. Oleh karena itu fluksi bersama akan cenderung mengecil. Hal ini akan menyebabkan tegangan induksi di belitan primer juga cenderung mengecil. Akan tetapi karena belitan primer terhubung ke sumber yang tegangannya tak berubah, maka arus primer akan naik. Jadi arus primer yang dalam keadaan transformator tidak berbeban hanyalah arus magnetisasi
fI , bertambah menjadi 1I setelah transformator berbeban.
Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa sehingga fluksi bersama φ dipertahankan dan 1E juga tetap seperti semula.
Dengan demikian maka persamaan rangkaian primer (3.7) tetap terpenuhi.
Pertambahan arus primer dari fI menjadi 1I adalah untuk
mengimbangi fluksi lawan yang dibangkitkan oleh 2I sehingga φ
dipertahankan. Jadi haruslah
( ) ( ) 02211 =−− III NN f (3.9)
Pertambahan arus primer )( 1 fII − disebut arus penyeimbang
yang akan mempertahankan φ. Makin besar arus sekunder, makin besar pula arus penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin besar pula arus primer. Dengan cara inilah terjadinya transfer daya dari primer ke sekunder. Dari (3.9) kita peroleh arus magnetisasi
( )aN
Nf
212
1
21
IIIII −=−= (3.10)
Transformator
122 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
3.1.2. Diagram Fasor Transformator
Dengan persamaan (3.7) dan (3.8) kita dapat menggambarkan secara lengkap diagram fasor dari suatu transformator. Penggambaran kita mulai dari belitan sekunder dengan langkah-langkah:
Gambarkan 2V dan 2I . Untuk beban resistif, 2I sefasa dengan
2V . Selain itu kita dapat gambarkan a/22 II =′ yaitu besarnya
arus sekunder jika dilihat dari sisi primer.
Dari 2V dan 2I kita dapat menggambarkan 2E sesuai dengan
persamaan (3.8) yaitu
2222222222 XjRR l IIVEIVE ++=++=
Sampai di sini kita telah menggambarkan diagram fasor rangkaian sekunder.
Untuk rangkaian primer, karena 1E sefasa dengan 2E maka
1E dapat kita gambarkan yang besarnya 21 EE a= .
Untuk menggambarkan arus magnetisasi fI kita gambarkan
lebih dulu φ yang tertinggal 90o dari 1E . Kemudian kita
gambarkan fI yang mendahului φ dengan sudut histerisis γ.
Selanjutnya arus belitan primer adalah '21 III += f .
Diagram fasor untuk rangkaian primer dapat kita lengkapi sesuai dengan persamaan (3.7), yaitu
XjRR l 111111111 IIEEIEV ++=++=
Dengan demikian lengkaplah diagram fasor transformator berbeban. Gb.3.5. adalah contoh diagram fasor yang dimaksud, yang dibuat dengan mengambil rasio transformasi N1/N2 = a > 1
Transformator
123
CONTOH-3.1 : Belitan primer suatu transformator yang dibuat untuk tegangan 220 V(rms) mempunyai jumlah lilitan 160. Belitan ini dilengkapi dengan titik tengah (center tap). a). Berapa persenkah besar fluksi maksimum akan berkurang jika tegangan yang kita terapkan pada belitan primer adalah 110 V(rms)? b). Berapa persenkah pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 55 V (rms) pada setengah belitan primer? c). Berapa persenkah pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 110 V (rms) pada setengah belitan primer? d). Jika jumlah lilitan di belitan sekunder adalah 40, bagaimanakah tegangan sekunder dalam kasus-kasus tersebut di atas?
Solusi :
a). Dengan mengabaikan resistansi belitan, fluksi maksimum Φm adalah
ω=
ω=
ω=Φ
160
222022
1
1
1
1
N
V
N
Em
Jika tegangan 110 V diterapkan pada belitan primer, maka
ω=
ω′
=Φ′160
21102
1
1
N
Vm
Penurunan fluksi m aksimum adalah 50 %, Φ′m = Φm / 2.
b). Jika tegangan 55 V diterapkan pada setengah belitan primer,
ω=
ω=
ω′′
=Φ ′′160
2110
80
255
)2/1(
2
1
1
N
Vm
φ γ
Gb.3.5. Diagram fasor lengkap, transformator berbeban resistif . a > 1
fI
1V11Xj I
11RI1E
22 Xj I2E
22RI2V2I'2I
1I
Transformator
124 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Penurunan fluksi maksimum adalah 50 %, Φ″m = Φm / 2.
c). Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan maka
ω=
ω=
ω′′′
=Φ ′′′160
2220
80
2110
)2/1(
2
1
1
N
Vm
Tidak terjadi penurunan fluksi maksimum, Φ′″m =Φm.
d). Dengan N1/N2 = 160/40 = 4 maka jika tegangan primer 220 V, tegangan sekunder adalah 55 V. Jika tegangan primer 110 V, tegangan sekundernya 229.5 V. Jika tegangan 55 V diterapkan pada setengah belitan primer, tegangan sekunder adalah 27.5 V. Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan primer, tegangan sekunder adalah 55 V.
CONTOH-3.2 : Sebuah transformator satu-fasa mempunyai belitan primer dengan 400 lilitan dan belitan sekunder 1000 lilitan. Luas penampang inti efektif adalah 60 cm2. Jika belitan primer dihubungkan ke sumber 500 V (rms) yang frekuensinya 50 Hz, tentukanlah kerapatan fluksi maksimum dalam inti serta tegangan di belitan sekunder.
Solusi :
Dengan mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor, maka
2
11
weber/m94.0006.0
00563.0 : maksimum fluksi Kerapatan
weber00563.0502400
2500500
2
==→
=×π×
=Φ→=Φω
=
m
mm
B
NV
Tegangan belitan sekunder adalah V 1250500400
10002 =×=V
CONTOH-3.3 : Dari sebuah transformator satu-fasa diinginkan suatu perbandingan tegangan primer / sekunder dalam keadaan tidak berbeban 6000/250 V. Jika frekuensi kerja adalah 50 Hz dan fluksi dalam inti transformator dibatasi sekitar 0.06 weber, tentukan jumlah lilitan primer dan sekunder.
Transformator
125
Solusi :
Pembatasan fluksi di sini adalah fluksi maksimum. Dengan mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor,
75.184506000
250
45006.0502
260006000
2
2
11
1
=×=⇒
=××π
=→=Φω
=
N
NN
V m
Pembulatan jumlah lilitan harus dilakukan. Dengan melakukan pembulatan ke atas, batas fluksi maksimum Φm tidak akan terlampaui. Jadi dapat kita tetapkan
lilitan 48020250
6000 lilitan 20 12 =×=⇒=⇒ NN
3.1.3. Rangkaian Ekivalen Transformator
Transformator adalah piranti listrik. Dalam analisis, piranti-piranti listrik biasanya dimodelkan dengan suatu rangkaian listrik ekivalen yang sesuai. Secara umum, rangkaian ekivalen hanyalah penafsiran secara rangkaian listrik dari suatu persamaan matematik yang menggambarkan perilaku suatu piranti. Untuk transformator, ada tiga persamaan yang menggambarkan perilakunya, yaitu persamaan (3.7), (3.8), dan (3.10), yang kita tulis lagi sebagai satu set persamaan (3.11).
aN
N
XjRXjR
f
22
1
2'2
'21
222222111111
dengan
; ;
III
III
IIVEIIEV
==
+=
++=++=
(3.11)
Dengan hubungan E1 = aE2 dan I ′2 = I 2/a maka persamaan ke-dua dari (3.11) dapat ditulis sebagai
; ; dengan
)()(
22
222
222
2222222
222
221
222221
XaXRaRaVV
XjRXajRaa
XjaRaa
=′=′=′
′′+′′+′=′+′+=⇒
′+′+=
IIVIIVE
IIVE
(3.12)
Transformator
126 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Dengan (3.12) maka (3.11) menjadi
21
222221
111111
;
;
III
IIVE
IIEV
′+=
′′+′′+=
++=
f
XjRa
XjR
(3.13)
'2I , R′2 , dan X′2 adalah arus, resistansi, dan reaktansi sekunder
yang dilihat oleh sisi primer. Dari persamaan (3.13) dibangunlah rangkaian ekivalen transformator seperti Gb.3.6. di bawah ini.
Gb.3.6. Rangkaian ekivalen diturunkan dari persamaan (3.13).
Arus magnetisasi dapat dipandang sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu I c dan I φ . I c sefasa dengan E1 sedangkan I φ 90o dibelakang E1. Dengan demikian maka impedansi Z pada rangkaian ekivalen Gb.3.6. dapat dinyatakan sebagai hubungan paralel antara suatu resistansi Rc dan impedansi induktif jXφ sehingga rangkaian ekivalen transformator secara lebih detil menjadi seperti Gb.3.7.
Gb.3.7. Rangkaian ekivalen transformator lebih detil.
Rangkaian Ekivalen Yang Disederhanakan. Pada transformator yang digunakan pada tegangan bolak-balik yang konstan dengan frekuensi yang konstan pula (seperti misalnya transformator pada sistem tenaga listrik), besarnya arus magnetisasi hanya sekitar 2 sampai 5 persen dari arus beban penuh transformator. Keadaan ini bisa dicapai karena inti transformator dibangun dari material
R′2
∼
B
jX′2 R1 jX1
jXc Rc
22 VV a=′
1I '2I
fI
φI1E1V
cI
Z
R′2
∼
B
jX′2 R1 jX1
E1
1I '2I
2'2 VV a=fI
1V
Transformator
127
dengan permeabilitas magnetik yang tinggi. Oleh karena itu, jika I f diabaikan terhadap I1 kesalahan yang terjadi dapat dianggap cukup kecil. Pengabaian ini akan membuat rangkaian ekivalen menjadi lebih sederhana seperti terlihat pada Gb.3.8.
3.1.4. Impedansi Masukan Transformator
Resistansi beban B adalah RB = V2/I2. Dilihat dari sisi primer resistansi tersebut menjadi
BB RaI
Va
aI
aV
I
VR 2
2
22
2
2
2
2
/===
′′
=′ (3.14)
Dengan melihat rangkaian ekivalen yang disederhanakan Gb.16.10, impedansi masukan adalah
eBein jXRaRZ ++== 2
1
1
I
V (3.15)
3.1.5. Penentuan Parameter Transformator
Dari rangkaian ekivalen lengkap Gb.3.7. terlihat ada enam parameter transformator yang harus ditentukan, R1 , X1 , R′2 , X′2 , Rc , dan Xφ . Resistansi belitan primer dan sekunder dapat diukur langsung menggunakan metoda jembatan. Untuk menentukan empat parameter yang lain kita memerlukan metoda khusus seperti diuraikan berikut ini.
'2I
Gb.3.8. Rangkaian ekivalen transformator disederhanakan dan diagram fasornya.
∼
B
jXe =j(X1+ X′2) Re = R1+R′2
'21 II =
1V 2V ′
1V
2V ′ eXj '2I
Transformator
128 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
3.1.5.1. Uji Tak Berbeban ( Uji Beban Nol )
Uji beban nol ini biasanya dilakukan pada sisi tegangan rendah karena catu tegangan rendah maupun alat-alat ukur tegangan rendah lebih mudah diperoleh. Sisi tegangan rendah menjadi sisi masukan yang dihubungkan ke sumber tegangan sedangkan sisi tegangan tinggi terbuka. Pada belitan tegangan rendah dilakukan pengukuran tegangan masukan Vr, arus masukan Ir, dan daya (aktif) masukan Pr. Karena sisi primer terbuka, Ir adalah arus magnetisasi yang cukup kecil sehingga kita dapat melakukan dua pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah mengabaikan tegangan jatuh di reaktansi bocor sehingga Vr sama dengan tegangan induksi Er. Pendekatan yang kedua adalah mengabaikan kehilangan daya di resistansi belitan sehingga Pr menunjukkan kehilangan daya pada Rcr (Rc dilihat dari sisi tegangan rendah) saja.
θ==
θ==⇒
θ=θ=⇒
−=θ→
==θ=
φφ
φ
sin ;
cos
sin ; cos
sin
cos ; :masukan kompleks Daya
22
r
r
r
rr
r
r
cr
rcr
rrrcr
r
rr
rr
r
r
rrrr
I
V
I
VX
I
V
I
VR
IIII
S
PS
IV
P
S
PIVS
(3.16)
3.1.5.2. Uji Hubung Singkat
Uji hubung singkat dilakukan di sisi tegangan tinggi dengan si`si tegangan rendah dihubung-singkat. Sisi tegangan tinggi menjadi sisi masukan yang dihubungkan dengan sumber tegangan. Tegangan masukan harus cukup rendah agar arus di sisi tegangan rendah masih dalam batas nominalnya. Pengukuran di belitan tegangan tinggi dilakukan seperti halnya pada uji beban nol, yaitu tegangan masukan Vt, arus masukan It, dan daya (aktif) masukan Pt. Tegangan masukan yang dibuat kecil mengakibatkan rugi-rugi inti menjadi kecil sehingga kita dapat membuat pendekatan dengan mengabaikan rugi-rugi inti. Dengan demikian kita dapat menggunakan rangkaian ekivalen yang disederhanakan Gb.3.9. Daya Pt dapat dianggap sebagai daya untuk mengatasi rugi-rugi
Transformator
129
tembaga saja, yaitu rugi-rugi pada resistansi ekivalen yang dilihat dari sisi tegangan tinggi Ret.
22
22
;
etetet
tetettt
t
tetettt
RZXI
VZZIV
I
PRRIP
−=→=→=
=→=
(3.17)
Dalam perhitungan ini kita memperoleh nilai Ret = R1 + R′2 . Nilai resistansi masing-masing belitan dapat diperoleh dengan pengukuran terpisah sebagaimana telah disebutkan di atas.
Untuk reaktansi, kita memperoleh nilai Xet = X1 + X′2 . Kita tidak dapat memperoleh informasi untuk menentukan reaktansi masing-masing belitan. Jika sekiranya nilai reaktansi masing-masing belitan diperlukan kita dapat mengambil asumsi bahwa X1 = X′2 . Kondisi ini sesungguhnya benar adanya jika transformator dirancang dengan baik.
CONTOH-3.5 : Pada sebuah transformator 25 KVA, 2400/240 volt, 50 Hz, dilakukan uji beban nol dan uji hubung singkat. Uji beban nol pada sisi tegangan rendah memberikan hasil
Vr = 240 volt, Ir = 1.6 amper, Pr = 114 watt Uji hubung singkat yang dilakukan dengan menghubung-singkat belitan tegangan rendah memberikan hasil pengukuran di sisi tegangan tinggi
Vt = 55 volt, I t = 10.4 amper, Pt = 360 watt a). Tentukanlah parameter transformator dilihat dari sisi tegangan tinggi. b). Hitung rugi-rugi inti dan rugi-rugi tembaga pada beban penuh.
Solusi :
a). Uji beban nol dilakukan di sisi tegangan rendah. Jadi nilai Rc dan Xφ yang akan diperoleh dari hasil uji ini adalah dilihat dari tegangan rendah, kita sebut Rcr dan Xφr.
Ω=×
==Ω=×
=θ
==
=×
−×=θ=
×==θ
φφ 158
95.06.1
240 ; 500
3.06.1
240
cos
240
95.06.1240
114)6.1240(sin ; 3.0
6.1240
114cos
22
I
VX
II
VR
VI
P
rc
cr
Transformator
130 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Jika dilihat dari sisi tegangan tinggi :
Ω==
Ω=×
==
φφ k 8.15
k 50500240
2400
2
22
rt
crct
XaX
RaR
Resistansi ekivalen dan reaktansi bocor ekivalen diperoleh dari uji hubung singkat. Uji hubung singkat yang dilakukan di sisi tegangan tinggi ini memberikan
Ω===→Ω===
Ω===
1.433.329.5 29.54.10
55
; 33.3(10.4)
360
22
22
ett
tet
t
tet
XI
VZ
I
PR
b). Pada pembebanan penuh fluksi bersama dalam inti transformator hampir sama dengan fluksi dalam keadaan beban nol. Jadi rugi-rugi inti pada pembebanan penuh adalah 114 Watt.
Rugi-rugi tembaga tergantung dari besar arus. Besar arus primer pada beban penuh adalah sama dengan arus sisi tegangan tinggi pada percobaan hubung singkat, yaitu
W36033.3)4.10(A 4.102400
25000 221
11 =×==→=== etcu RIP
V
SI
Karena pada uji hubung singkat arus sisi tegangan tinggi dibuat sama dengan arus beban penuh, maka rugi-rugi tembaga adalah penunjukan wattmeter pada uji hubung singkat.
3.1.6. Efisiensi dan Regulasi Tegangan
Efisiensi suatu piranti didefinisikan sebagai
[watt]masukan daya
[watt]keluaran daya=η (3.18)
Karena daya keluaran sama dengan daya masukan dikurangi rugi-rugi daya, maka efisiensi dapat dinyatakan sebagai
Transformator
131
[watt]masukan daya
[watt] daya rugi-rugi1−=η (3.19)
Formulasi (3.19) ini lebih sering digunakan. Untuk transformator rugi-rugi daya dapat segera diperoleh melalui uji beban nol dan uji hubung singkat, yaitu jumlah rugi inti dan rugi tembaga.
Regulasi tegangan transformator didefinisikan sebagai perubahan besarnya tegangan sekunder bila arus berubah dari beban penuh ke beban nol dengan tegangan primer dijaga tetap. Jadi
2
21
2
21
2
21
penuhbeban 2
penuhbeban 2nolbeban 2
/
Tegangan Regulasi
V
VV
V
VV
V
VV
′′−
=−
=−
=
−=
a
aa
V
VV
(3.25)
Dengan memperhatikan diagram fasor Gb.16.9. maka (3.25) menjadi
2
222 )(Tegangan Regulasi
V
VIV
′′−+′+′
= ee jXR (3.26)
CONTOH-3.6 : Transformator pada Contoh-16.5. mencatu beban 25 KVA pada faktor daya 0.8. a). Hitunglah efisiensinya. b). Hitunglah regulasi tegangannya.
Solusi :
a).
% 97.6atau 976.020
474.01 : Efisiensi
KW 208.025000 :keluaran Daya
KW 0.474 W474360114 : daya rugi Total
o
=−=η
=×===+=+
P
P cuc
b). Mengambil V2 sebagai referensi : V′2 = 10×240 = 2400∠0o V.
% 2.2atau 022.0 2400
2400)1.433.3(8.364.1002400 Tegangan Reg.
8.364.108.0cos10/)240/25000(/
oo
o122
−+−∠+∠=
−∠=−∠==′ −
j
aII
Transformator
132 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
3.1.7. Konstruksi Transformator
Dalam pembahasan transformator, kita melihat transformator dengan satu inti dua belitan. Belitan primer digulung pada salah satu kaki inti dan belitan sekunder digulung pada kaki inti yang lain. Dalam kenyataan tidaklah demikian. Untuk mengurang fluksi bocor, belitan primer dan sekunder masing-masing dibagi menjadi dua bagian dan digulung di setiap kaki inti. Belitan primer dan sekunder digulung secara konsentris dengan belitan sekunder berada di dalam belitan primer. Dengan cara ini fluksi bocor dapat ditekan sampai hanya beberapa persen dari fluksi bersama. Pembagian belitan seperti ini masih mungkin dilanjutkan untuk lebih menekan fluksi bocor, dengan beaya yang sudah barang tentu lebih tinggi.
Gb.3.9. Dua tipe konstruksi transformator.
NT : jumlah lilitan tegangan tinggi; NR : jumlah lilitan tegangan rendah.
Dua tipe konstruksi yang biasa digunakan pada transformator satu-fasa adalah core type (tipe inti) dan shell type (tipe sel). Gb.3.9.a. memperlihatkan konstruksi tipe inti dengan belitan primer dan sekunder yang terbagi dua. Belitan tegangan rendah digulung dekat dengan inti yang kemudian dilingkupi oleh belitan tegangan tinggi. Konstruksi ini sesuai untuk tegangan tinggi karena masalah isolasi lebih mudah ditangani. Gb.3.9.b. memperlihatkan konstruksi tipe sel. Konstruksi ini sesuai untuk transformator daya dengan arus besar. Inti pada konstruksi ini memberikan perlindungan mekanis lebih baik pada belitan.
NR / 4 NT / 2 NR / 2 NT / 2 NR / 4
NT / 2
NR / 2 NR / 2 NT / 2
a). tipe inti. a). tipe sel.
Transformator
133
3.2. Transformator Pada Sistem Tiga-fasa
Pada sistem tiga-fasa, penaikan dan penurunan tegangan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
(a) menggunakan tiga unit transformator satu-fasa,
(b) menggunakan satu unit transformator tiga-fasa.
Transformator tiga-fasa mempunyai inti dengan tiga kaki dan setiap kaki mendukung belitan primer dan sekunder. Untuk penyaluaran daya yang sama, penggunaan satu unit transformator tiga-fasa akan lebih ringan, lebih murah dan lebih efisien dibandingkan dengan tiga unit transformator satu-fasa. Akan tetapi penggunaan tiga unit transformator satu-fasa juga mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan satu unit transformator tiga-fasa. Misalnya beaya awal yang lebih rendah, jika untuk sementara beban dapat dilayani dengan dua unit saja dan unit ketiga ditambahkan jika penambahan beban telah terjadi. Terjadinya kerusakan pada salah satu unit tidak mengharuskan pemutusan seluruh penyaluran daya. Pemilihan cara mana yang lebih baik, tergantung dari berbagai pertimbangan keadaan-khusus. Pada dasarnya kedua cara adalah sama. Berikut ini kita akan melihat hubungan primer-sekunder transformator, dengan melihat pelayanan sistem tiga-fasa melalui tiga unit transformator satu-fasa.
3.2.1. Hubungan ∆∆∆∆−−−−∆∆∆∆
Pada waktu menghubungkan tiga transformator satu-fasa untuk melayani sistem tiga-fasa, hubungan sekunder harus diperhatikan agar sistem tetap seimbang. Diagram hubungan ini diperlihatkan pada Gb.3.10. Fasa primer disebut dengan fasa U-V-W sedangkan fasa sekunder disebut fasa X-Y-Z. Fasor tegangan fasa primer kita sebut VUO , VVO , VWO dengan nilai VFP , dan tegangan fasa sekunder kita sebut VXO , VYO , VZO dengan nilai VFS. Nilai tegangan saluran (tegangan fasa-fasa) primer dan sekunder kita sebut VLP dan VLS . Nilai arus saluran primer dan sekunder masing-masing kita sebut ILP dan ILS sedang nilai arus fasanya IFP dan IFS . Rasio tegangan fasa primer terhadap sekunder aVV FSFP =/ .
Dengan mengabaikan rugi-rugi untuk hubungan ∆-∆ kita peroleh :
Transformator
134 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
aI
I
I
Ia
V
V
V
V
FS
FP
LS
LP
FP
FP
LS
LP 1
3
3 ; ==== (3.27)
Gb.3.10. Hubungan ∆-∆.
3.2.2. Hubungan ∆∆∆∆-Y
Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.3.11. Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan tegangan fasa primer, sedangkan tegangan fasa-fasa sekunder sama dengan √3 kali tegangan fasa sekunder dengan perbedaan sudut fasa 30o. Dengan mengabaikan rugi-rugi kita peroleh
aI
I
I
I
a
V
V
V
V
FS
FP
LS
LP
FS
FP
LS
LP
33
33
==
==
(3.28)
Fasor tegangan fasa-fasa sekunder mendahului primer 30o.
VUV = VUO VXY = VXO
U
V
X
Y
VUO VXO
VVO VYO
VWO VZO
Transformator
135
Gb.3.11. Hubungan ∆-Y
3.2.3. Hubungan Y-Y
Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.3.12. Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer dengan perbedaan sudut fasa 30o, tegangan fasa-fasa sekunder sama dengan √3 kali tegangan fasa sekunder dengan perbedaan sudut fasa 30o. Perbandingan tegangan fasa-fasa primer dan sekunder adalah
aI
I
I
I
aV
V
V
V
FS
FP
LS
LP
FS
FP
LS
LP
1
3
3
==
== (3.29)
Antara fasor tegangan fasa-fasa primer dan sekunder tidak terdapat perbedaan sudut fasa.
VUV = VUO
VXY
VXO
VYO
VZO
U
V
X
Y
VUO VXO
VVO VYO
VWO VZO
Transformator
136 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Gb.3.12. Hubungan Y-Y
3.2.4. Hubungan Y-∆∆∆∆
Hubungan ini terlihat pada Gb.3.13. Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer dengan perbedaan sudut fasa 30o, sedangkan tegangan fasa-fasa sekunder sama dengan tegangan fasa sekunder. Dengan mengabaiakan rugi-rugi diperoleh
3
1
33
3 aV
I
I
I
aV
V
V
V
FS
FP
LS
LP
FS
FP
LS
LP
==
== (3.30)
Fasor tegangan fasa-fasa primer mendahului sekunder 30o.
VUV VXY
VXO
VYO
VZO
VUO
VVO
VWO
U
V
X
Y
VUO VXO
VVO VYO
VWO VZO
Transformator
137
Gb.3.13. Hubungan Y-∆
CONTOH-3.7 : Sebuah transformator penurun tegangan 3 fasa, tegangan primernya dihubungkan pada sumber 6600 V dan mengambil arus 10 A. Jika rasio transformasi adalah 12, hitunglah tegangan saluran sekunder, arus saluran sekunder dan daya keluaran untuk hubungan-hubungan berikut : (a) ∆-∆ ; (b) Y-Y ; (c) ∆-Y ; (d) Y-∆ .
Solusi :
a). Untuk hubungan ∆-∆ :
A. 120101233
33
; V 55012
6600
=×====
=====
LPFPFSLS
LPFPFSLS
IaaIII
a
V
a
VVV
b). Untuk hubungan Y-Y :
A. 1201012
; V 55012
66003
333
=×=====
=====
LPFPFSLS
LPFPFSLS
aIaIII
a
V
a
VVV
VUV VXY = VXO
VYO
VZO
VUO
VVO
VWO
U
V
X
Y
VUO VXO
VVO VYO
VWO VZO
Transformator
138 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
c). Untuk hubungan ∆-Y :
A. 3,693
1012
3
; V 953312
6600333
=====
=====
LPFPFSLS
LPFPFSLS
IaaIII
a
V
a
VVV
d) Untuk hubungan Y-∆ :
.A 20831012333
; V 3183
6600
12
1
3
1
=××====
=====
LPFPFSLS
LPFPFSLS
aIaIII
V
aa
VVV
Dengan mengabaikan rugi-rugi daya keluaran sama dengan daya masukan.
kVA. 3,1143106,63 =×=== LPLPmasukankeluaran IVSS
3.3. Transformator Tiga Belitan
3.3.1. Transformator Ideal Tiga Belitan
Hubungan belitan primer, sekunder, dan tertier tansformator satu-fasa tiga belitan terlihat pada Gb.3.14. Konvensi titik kita gunakan di sini.
Gb.3.14. Hubungan belitan transformator tiga belitan. Indeks 1, 2, 3 menunjukkan primer, sekunder, tertier.
321 ,, VVV : tegangan.
321 ,, III : arus, digambarkan masuk pada ujung belitan
yang bertanda titik.
321 ,, NNN : jumlah lilitan.
1V
1I2I
3I
2V
3V
+
− +
− +
−
1N
2N
3N
Transformator
139
Untuk keperluan analisis ini kita menganggap resistansi belitan transformator nol, sehingga hubungan tegangan, arus dan jumlah lilitan adalah:
3
1
3
1
3
2
3
2
2
1
2
1 ; ;N
N
N
N
N
N ===VV
VV
VV
(3.31)
Kita juga menganggap tidak terjadi fluksi bocor dan permeabilitas magnetik inti inti yang sempurna, sehingga
0332211 =++ III NNN (3.32)
Contoh-3.8: Sebuah transformator tiga belitan (Gb.3.14), memiliki jumlah lilitan 2000,500,1000 321 === NNN .Belitan primer
terhubung ke sumber tegangan ideal, V 01000 o1 ∠=V . Belitan
sekunder terhubung ke resistor 20 Ω. Belitan tertier terhubung ke induktor dengan reaktansi 100 Ω. Hitung arus dan daya di belitan primer, 1I dan S1.
Solusi:
Arus di belitan primer dapat dihitung setelah arus di belitan sekunder dan tertier diperoleh; arus-arus ini adalah arus beban.
V 02000010001000
2000
V 0500010001000
500
oo1
1
33
oo1
1
22
∠=∠×==
∠=∠×==
VV
VV
N
N
N
N
Dengan referensi arah arus seperti tergambar pada Gb.16.1, kita dapatkan
A 200902090100
02000
A 025025020
0500
oo
o
3
33
oo
o
2
22
jZ
jZ
−=−∠=∠
∠==−
+=∠=∠∠==−
VI
VI
Arus di belitan primer dihitung dengan menggunakan formulasi (3.32) adalah
Transformator
140 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
A 6,729,41405,12
1000
)20(200025500
0
o1
33221
332211
−∠=−=
−×+×=−−=⇒
=++
j
j
N
NN
NNN
III
III
Daya kompleks yang masuk di belitan adalah
kVA 6,729,416,729,4101000 ooo111 ∠=+∠×∠== ∗IVS
Karena kita menganggap transformator ideal, tidak ada rugi-rugi daya pada transformator, daya masuk di belitan primer harus sama dengan jumlah daya keluar dari belitan sekunder dan tertier. Kita jakinkan hal itu sebagai berikut
kVA 41,9VA 419004000012500
VA 40000902002000)(
VA 12500250500)(
32
oo333
o222
==+=+⇒
=+∠×∠=−=
=×∠=−=∗
∗
jSS
jS
S
IV
IV
Ternyata benar 132 SSS =+
3.3.2. Transformator Nyata Tiga Belitan
Dalam kenyataan belitan-belitan transformator mengandung impedansi; impedansi belitan primer, sekunder, tertier, dapat kita nyatakan sebagai 111 jXRZ += , 222 jXRZ += , dan
333 jXRZ += . Selain itu terdapat rugi-rugi inti yang dalam
rangkaian dinyatakan dengan cabang parallel Rφ dan Xφ . Jika elemen-elemen ini tidak kita abaikan dan kita nyatakan juga dalam per-unit, maka rangkaian pada Gb.3.14. akan berbentuk seperti Gb.3.15.
Transformator
141
Contoh-3.9: [1] Hitunglah 1I pada contoh-3.8 jika diketahui pula
∝=====
===
φφ
pu 03,0
pu 01,0
321
321
XR
XXX
RRR
Solusi:
Dengan ∝== φφ XR , jika kita melihat ke belitan primer, kita
dapatkan
o
3322
3322111
92,71245,1184,138654,0
)31,102,4(
)28,101,0( )03,001,4(03,001,0
)25,1()4(
)25,1( )4(
∠=+=
+++++=
+++++++++++=
j
j
jjj
jjXRjXR
jjXRjXRjXRZ pu
Maka pu 71,92803,071,921,245
01 oo
o
1
11 −∠=
∠∠==
ZpuV
I
Perbedaan segera dapat kita lihat dengan hasil perhitungan
traformator ideal yang memberikan pu 6,72838,0 o1 −∠=I .
Perbedaan ini adalah sekitar 4%. Perbedaan arus 4% ini, jika kita
tinjau dari sisi daya dimana ∗= IV S berarti pula ada perbedaan daya sekitar 4%. Ditinjau dari kacamata bisnis, hal ini cukup besar.
1I1
o01∠ 25,1j
4
∼∼∼∼ +
−−−−
2
32I
3I
11 XR
22 XR
33 XRφφ XR
Gb.3.15. Rangkaian transformator nyata satu-fasa tiga belitan.
Transformator
142 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
3.4 Transformator Tiga-fasa Dibangun dari Tiga Transformator Satu-fasa
Untuk memperoleh transformator tiga-fasa tiga belitan kita dapat menggunakan tiga buah transformator satu-fasa tiga belitan. Masing-masing transformator satu-fasa tersebut sudah barang tentu memiliki tiga belitan, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Jadi dengan tiga buah transformator satu-fasa kita mempunyai 3 belitan primer, 3 sekunder, dan 3 tersier. Masing-masing kelompok belitan tersebut secara sendiri-sendiri dapat dihubungkan Y atau ∆. Pada diagram satu garis Gb.1.11. di bab-14, transformator tiga-fasa tiga belitan yang terhubung ke generator, mempunyai sisi primer terhubung ∆, sisi sekunder yang terhubung Y menuju CB kemudian ke saluran transmisi, dan sisi tertier yang terhubung ∆ mencatu beban. Gb.3.16. memperlihatkan penggalan diagram satu garis tersebut.
Gb.3.16. Penggalan diagram satu garis Gb.1.11 untuk memperlihatkan hubungan transformator tiga-fasa tiga belitan.
3.4.1. Tinjauan Pada Sisi Primer Terhubung Y, dengan Netral Ditanahkan Melalui Impedansi
Kita akan melihat belitan primer terlebih dulu, dengan menganggap belitan sekunder dan belitan tertier terbuka. Pada Gb.3.16. belitan ini terhubung ∆. Namun dalam pembahasan transformator ini kita akan melihat sisi primer yang terhubung Y lebih dulu dengan titik netral yang dihubungkan ke tanah melalui sebuah impedansi. Karena sisi sekunder dan tersier terbuka, maka setiap transformator satu-fasa yang tersedia (untuk dibangun menjadi transformator tiga-fasa) mempunyai diagram rangkaian seperti pada Gb.3.17.
Generator
beban
Saluran transmisi G
Y
∆
∆
12
3CB
Transformator
143
Gb.3.17. Sisi primer transformator satu-fasa tiga belitan dengan sisi sekunder dan tersier terbuka.
Dari terminal primer terlihat impedansi, yang kita sebut impedansi fasa primer Zf1, sebesar
φφ ++=+= ZjXRZZZ f 1111 (3.33)
dengan
φφ
φφφ +
×=
jXR
jXRZ (3.34)
Impedansi Zf1 inilah kita hubungkan Y membentuk sisi primer transformator tiga-fasa. Dalam membentuk hubungan Y ini, di titik netral kita sambungkan satu impedansi Zn1 untuk pentanahan. Dengan demikian kita memperoleh rangkaian tiga-fasa abc seperti terliht pada Gb.3.18.
Gb.3.18. Hubungan Y sisi primer transformator tiga-fasa
tiga belitan.
Relasi tegangan-arus pada hubungan Y ini adalah
a
c1bV
1cV
1aV b
1fZ
1fZ
1fZ
1nZn
1I1
+
2
3
1V
11 XR
φφ XR
Transformator
144 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
++
+=
1
1
1
1111
1111
1111
1
1
1
)(
)(
)(
c
b
a
nfnn
nnfn
nnnf
c
b
a
ZZZZ
ZZZZ
ZZZZ
I
I
I
V
V
V
(3.35)
Matriks impedansi kita transformasikan ke impedansi urutan,
[ ] [ ] [ ] [ ]TT012 11
1 abcZZ −=
kita peroleh
[ ]
+=
)00
00
00)3(
1
1
11
f
f
nf
primer
Z
Z
ZZ
Z012 (3.36.a)
Catatan: indeks 012 yang menunjukkan impedansi urutan, ditulis dengan huruf tebal untuk membedakan dengan indeks 1 yang menunjuk pada belitan primer.
3.4.2. Tinjauan Pada Sisi Sekunder dan Tersier Terhubung Y, dengan Netral Ditanahkan Melalui Impedansi
Persamaan (3.36.a) adalah impedansi urutan dilihat dari sisi primer. Jika kita memperlakukan sisi sekunder dan tersier sama seperti sisi primer, yaitu membuatnya terhubung Y dengan impedansi pada titik netralnya, kita akan mendapatkan rangkaian belitan sekunder dan tersier seperti terlihat pada Gb.3.19. Pada gambar ini Zf2 dan Zf3 adalah impedansi fasa sekunder dan impedansi fasa tersier.
Sekunder Tersier
Gb.3.19. Hubungan Y sisi sekunder dan tersier.
a
ccsV
2aVb
2fZ
2fZ
2fZ
2nZn
2bV
a
c3bV
3cV
3aVb
3fZ
3fZ
3fZ
3nZn
Transformator
145
Dengan cara yang sama seperti mencari impedansi urutan pada sisi primer, kita peroleh impedansi urutan di sisi sekunder dan tertier yaitu
[ ]
+=
2
2
22
00
00
003
f
f
nf
sekunder
Z
Z
ZZ
Z012 (3.36.b)
dan
[ ]
+=
3
3
33
00
00
003
f
f
nf
tersier
Z
Z
ZZ
Z012 (3.36.c)
Persamaan (3.36.a), (3.36.b), dan (3.36.c) memberi jalan untuk menggambarkan rangkaian impedansi urutan taransformator. Kita kumpulkan impedansi urutan sebagai berikut:
333222111 3 ;3 ;3 nfnfnf ZZZZZZZZZ +=+=+= 000 (3.37.a)
; ; 332211 fff ZZZZZZ === 111 (3.37.b)
; ; 332211 fff ZZZZZZ === 222 (3.37.c)
dan seperti (3.33)
φφφ +=+=+= ZZZZZZZZZ fff 332211 ; ; (3.37.d)
Persamaan pertama (3.37.a) dan (3.37.d) memberikan rangkaian urutan nol seperti pada Gb.3.20. Terminal 1, 2, 3 adalah terminal primer, sekunder, dan tersier.
Gb.3.20. Rangkaian urutan nol transformator tiga
belitan.
Persamaan pertama (3.37.b) dan (3.37.d) memberikan rangkaian urutan positif seperti pada Gb.3.21.
3
2Z 223 nZ
3Z 33 nZ1 13 nZ
φZ
1Z
Transformator
146 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Gb.3.21. Rangkaian urutan positif transformator tiga belitan.
Persamaan pertama (3.37.c) dan (3.37.d) memberikan rangkaian urutan negatif seperti pada Gb.3.22.
Gb.3.22. Rangkaian urutan negatif transformator tiga belitan.
3.4.3. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan Terhubung Y Dengan Ketiga Titik Netral Ditanahkan Langsung
Jika titik netral ditanahkan secara langsung (solidly grounded), baik di sisi primer maupun sekunder dan tersier, maka
0321 === nnn NZZ . Rangkaian urutan pada Gb.16.22 yang
berubah hanyalah rangkaian urutan nol; rangkaian urutan positif dan negatif tidak berubah. Rangkaian urutan nol menjadi sama dengan rangkaian urutan yang lain.
3.4.4. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan Terhubung Y, dengan Ketiga Titik Netral Tidak Ditanahkan.
Jika titik netral tidak di tanahkan maka =∝== 321 nnn NZZ .
Rangkaian urutan pada Gb.16.22 yang berubah juga hanya rangkaian urutan nol; rangkaian urutan positif dan negatif tidak berubah. Rangkaian urutan nol menjadi terbuka baik di sisi primer, sekuder, maupun tersier.
3
2Z 2
3Z1 1Z
φZ
3
2Z 2
3Z1 1Z
φZ
Transformator
147
3.4.5. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan dengan Ketiga Sisi Terhubung
Hubungan ∆ dapat kita cari ekivalennya dalam hubungan Y. Jika ini kita lakukan maka kita mendapatkan transformator terhubung Y dengan netral tidak ditanahkan. Rangkaian urutan nol menjadi terbuka. Jadi belitan yang terhubung ∆ memiliki rangkaian urutan nol yang terbuka (kita menganggap impedansi di ketiga belitan identik).
3.4.6. Tinjauan Pada Transformator Tiga-fasa Tiga Belitan dengan Sisi Primer, Sekunder, dan Tersier Memiliki Hubungan Berbeda.
Contoh dari situasi ini adalah situasi yang diperlihatkan pada diagram satu garis Gb.15.9. Dalam gambar ini sisi pimer terhubung ∆, sisi sekunder terhubung Y dengan netral ditanahkan langsung, dan sisi tersier terhubung ∆. Rangkaian urutan nol sisi primer dan tersier terbuka, sedangkan rangkaian urutan nol sekunder tidak mengandung 23 nZ
Demikianlah kita dapat membangun rangkaian urutan dari transformator tiga-fasa tiga belitan, dengan belitan terhubung Y maupun ∆. Namun ada sedikit catatan untuk belitan yang terhubung ∆: hubungan ini adalah hubungan yang membentuk loop tertutup; jika ketiga belitan yang membentuk ∆ ini tidak benar-benar idektik, ada kemungkinan terjadi arus sirkulasi di belitan ini.
Contoh-3.10: [1] Tiga transformator 1 fasa identik pada contoh-3.9 dipakai untuk membangun transformator 3 fasa dengan hubungan-hubungan belitan sebagai berikut:
Belitan-1: dihubungkan Y, titik netral ditanahkan melalui impedansi 04,0jZn =
Belitan-2: dihubungkan Y, titik netral ditanahkan langsung. Belitan-3: dihubungkan ∆
Gambarkanlah rangkaian urutan.
Solusi: Resistansi dan reaktansi dalam per-unit belitan trafo adalah:
Transformator
148 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
∝=====
===
φφ
pu 03,0
pu 01,0
321
321
XR
XXX
RRR
Rangkaian urutan nol adalah (Gb.3.20)
Dengan memasukkan nilai-nilai yang diketahui, rangkaian urutan nol menjadi
Rangkaian urutan positif adalah (Gb.3.21)
Dengan memasukkan nilai-nilai yang diketahui, rangkaian urutan positif menjadi
Rangkaian urutan negatif sama dengan rangkaian urutan positif.
1 03,001,0 j+3
203,001,0 j+
03,001,0 j+
3
2Z 2
3Z1 1Z
φZ
1 12,0j 03,001,0 j+3
203,001,0 j+
03,001,0 j+
3
2Z 223 nZ
3Z 33 nZ1 13 nZ
φZ
1Z
Transformator
149
3.4. Pergeseran Fasa Pada Hubungan Y-, Transformator Tiga-fasa Dua Belitan
Pada hubungan sisi primer-sekunder Y-Y ataupun ∆-∆, diagram fasor tegangan fasa-netral di kedua sisi transformator tidak berbeda fasa. Akan tetapi pada hubungan Y-∆ atau ∆-Y terjadi pergeseran fasa. Untuk melihat pergeseran fasa ini, kita tinjau transformator tiga-fasa dua belitan seperti terlihat pada Gb.3.23. Pada gambar ini terlihat 21 sefasa aba VV , 21 sefasa bcb VV , 21 sefasa cac VV .
Tegangan fasa-netral di sisi primer yang terhubung Y sefasa dengan tegangan fasa-fasa di sisi sekunder yang terhubung ∆. Kalau kita buat rangkaian ekivalen Y dari ∆, hal tersebtu berarti tegangan fas-netral di sisi sekunder berbeda fasa 30o dengan tegangan fasa-netral di sisi primer.
Berkaitan dengan terjadinya pergeseran fasa pada hubungan Y-∆ ataupun ∆-Y, penamaan fasa pada suatu transformator diberi ketentuan sebagai berikut:
Penamaan fasa baik pada hubugan Y-∆ ataupun ∆-Y haruslah sedemikian rupa sehngga urutasn positif di sisi tegangan tinggnya mendahului 30o dari pasangan di tegangan rendahnya.
Ketentuan ini untuk urutan negatif berarti kebalikannya, yaitu bahwa tegangan urutan negatif tegangan di sisi tegangan tinggi tertinggal 30o dari tegangan di sisi tegangan rendahnya.
Pergeseran fasa ini tidak berpengaruh pada urutan nol.
a
c1bV
1cV
1aV b
n
a
c
b
2abV
2bcV
2caV
Gb.3.23. Hubungan Y-∆ transformator tiga-fasa.
Transformator
150 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
3.5. Sistem Per-Unit Pada Saluran Dengan Transformator
Adanya transformator dalam sistem tenaga membuat sistem tenaga terbagi-bagi dalam banyak segmen yang masing-masing segmen memiliki tegangan kerja sendiri-sendiri. Dengan memanfaatkan sistem per-unit, maka representasi suatu sistem tenaga menjadi lebih sederhana dan perhitungan-perhitungan menjadi lebih mudah dilakukan. Dalam uraian berikut ini kita memusatkan perhatian pada sistem tiga-fasa.
Penetuan besaran basis untuk penggunaan sistem per-unit adalah sebagai berikut:
a) Tetapkan daya 3 fasa basis, kita sebut basisfS 3 . Penetapan
daya basis ini biasanya mengambil angka-angka yang mudah, seperti 1, 10, 100, 1000. Karena untuk analisis sistem tiga-fasa kita menggunakan model satu-fasa maka harus kita hitung daya basis untuk satu-fasa, yaitu:
3
3
basisfbasisf
SS =
b) Tetapkan tegangan basis di bus tertentu sebagai referensi, yaitu tegangan nominal. Tegangan nominal adalah nilai tegangan yang dirancang untuk sistem bekerja pada pembebanan seimbang. Tegangan nominal fasa-fasa, Vff di Indonesia misalnya 20 kV, 150 kV, 500 kV. Karena kita melakukan analisis menggunakan model rangkaian satu-fasa maka kita tetapkan tegangan basis fasa-netral di bus ini yaitu
3/ basisffbasisfn VV = .
c) Dalam menentukan besaran-besaran basis, kita menganggap semua saluran dan transformator adalah ideal. Dengan demikian maka bus-bus yang terhubung langsung oleh saluran transmisitanpa melalui transformator akan memiliki tegangan basis yang sama.
Tegangan basis bus-bus yang dihubungkan oleh saluran transmisi melewati suatu transformator berbanding lurus dengan perbandingan jumlah lilitan di kedua sisi transformator. Dengan demikian maka nilai per-unit tegangan di kedua sisi transformator tidak lagi tergantung dari tegangan transformator.
Transformator
151
d) Arus basis di setiap bagian sistem adalah daya basis di bagian tersebut dibagi dengan tegangan basisnya.
basisfn
basisfbasis V
SI
=
e) Impedansi basis di tiap bagian sistem adalah tegangan basis dibagi arus basis
basisf
basisfnbasis I
VZ =
Walaupun demikian, relasi ini dapat kita uraikan sebagai berikut:
( )basisf
basisff
basisf
basisff
basisf
basisff
basisf
basisfn
basisfnbasisf
basisfn
basisf
basisfnbasis
S
V
S
V
S
V
S
V
VS
V
I
VZ
3
2
2
2
2
3
3/
/
===
===
Relasi terakhir ini yang biasa digunakan menentukan impedansi basis, yaitu
basisf
basisffbasis S
VZ
3
2 =
f) Besaran dalam per-unit adalah besaran sesungguhnya dibagi dengan besaran basis. Dengan besaran dalam per-unit kita gambarkan diagram rangkaian model satu-fasa.
Contoh-3.11: [1] Gambarkan rangkaian model satu-fasa dalam per-unit dari sistem tiga-fasa yang diagram satu garisnya diberikan berikut ini. Gunakan daya basis tiga-fasa di bus-2
MVA 100 3 =basisfS
dan tegangan basis fasa-fasa
kV 345 =basisffV
Transformator
152 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Solusi:
a) Kita harus membuat rangkaian ekivalen model 1 fasa dalam per-unit. Oleh karena itu besaran-besaran harus dinyatakan sebagai besaran fasa-netral. Daya basis 3 fasa telah ditentukan untuk bus-2 dengan memilih angka yang mudah yaitu
MVA 100 3 =basisfS
Dengan penetapan daya basis 3 fasa ini maka daya basis per fasa adalah
MVA 33,33
100 ==basisfnS
Daya basis per fasa ini berlaku untuk semua bus.
Tegangan nominal sistem ini adalah 345 kV fasa-fasa. Tegangan basis fasa-netral adalah
kV 1993
345
3
nominal === ffbasisfn
VV
Rangkaian ekivalen model satu-fasa yang harus kita bangun harus menggunakan basis ini, artinya semua besaran akan dilihat dari sisi tegangan tinggi, termasuk impedansi-impedansi di sisi tegangan rendah transformator. Rangkaian ekivalen saluran transmisinya adalah rangkaian ekivalen π dengan ujung di bus 2 terhubunhg ke transformator T1 dan ujung di bus-3 terhubung ke transformator T2. Rangkaian ekivalen sistem ini akan berbentuk seperti berikut:
Transformator T1
1 trafo 3 fasa, 120 MVA 35 kV ∆, 350 kV Y
Z=(1+j8%) pada ratingnya
∆ Y ∆ 1 2 3 4Y
Transformator T2
3 trafo 1 fasa, 30 MVA 200 kV / 20 kV
Z=(1+j7%) pada ratingnya
Z = 12,8 + j64 Ω
Y/2 = j280 mS
Transformator
153
1, 2, 3, 4: nomer bus
1TZ : impedansi trafo T1; 2TZ : impedansi trafo T2
Zs ; impedansi seri saluran transmisi; 2
Y: admitansi saluran transmisi
Kita lihat situasi di setiap bus sebagai berikut:
Bus-2. Daya basis di bus ini adalah MVA 33,3 =basisfnS dan
tegangan basis kV 199 2.. == basisfnbusbasisfn VV
Arus basis bus-2: kA 167,0199
3,33
2.. ===
basisfn
basisfbusbasisf V
SI
Impedansi basis: Ω=== 1190167,0
199
2..
basisf
basisfnbusbasis I
VZ
Bus-3. Daya basis di bus ini juga MVA 33,3=fbasisS Bus ini
terhubung ke bus-2 tanpa melalui transformator. Oleh karena itu tegangan basis bus ini sama dengan tegangan basis bus-2, yaitu
kV 199.3. =busbasisfnV
Arus basis bus-3: kA 167,0199
3,33
3.. ===
basisfn
basisfbusbasisf V
SI
Impedansi basis bus-3: Ω=== 1190167,0
199
3..
basisf
basisfnbusbasis I
VZ
Bus-1. Daya basis di bus ini sama dengan daya basis yang telah ditetapkan yaitu MVA 33,3 =basisfnS . Bus ini terhubung pada
transformator Y-∆ dengan perbadingan tegangan fasa-fasa 350 kV
1TZ2TZsZ
2
Y
2
Y
1 2 3 4
Transformator
154 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
: 35 kV atau tegangan fasa-netral kV 3/350 : kV 3/35 . Tegangan basis di bus-1 dapat kita hitung yaitu
kV 19,91993/350
3/35 2..
2.
1. 1.. =×=×= busbasisfn
busfn
busfnbusbasisfn V
V
VV
Arus basis di bus-1: kA 674,19,19
3,33
1.. ===
basisfn
basisfbusbasisf V
SI
Impedansi basis: Ω=== 9,11674,1
9,19
1.
basisf
basisfnbusbasis I
VZ
Bus-4. Basis daya di bus ini sama dengan basis daya yang telah ditetapkan yaitu MVA 33,3=fbasisS . Bus ini bertegangan fasa-
fasa 20 kV yaitu tegangan sisi sekunder trafo yang terhubung ∆.
Ini berarti tegangan fasa–netral adalah kV 3/20 , walaupun tak terlihat titik netral. Sisi primer transformator terhubung Y dengan tegangan fasa-fasa 350 kV atau tegangan fasa-netral
kV 2003/350 = . Tegangan basis di bus-4 ini adalah
kV 11,5199200
3/203..
3.
4. 4.. =×=×= busbasisfn
busfn
busfnbusbasisfn V
V
VV
Arus basis bus-4: kA 889,25,11
3,33
4..b ===
basisfn
basisfusbasisf V
SI
Impedansi basis: Ω===− 97,3889,2
5,11
basis
4
f
basisfbusbasis I
VZ
Untuk melihat dengan lebih jelas, hasil perhitungan di atas kita kumpulkan dalam satu tabel seperti di bawah ini.
Transformator
155
Bus Sbasis
MVA
Vbasis
kV
Ibasis
kA
Zbasis
Ω
1 33,3 19,9 1,674 11,9
2 33,3 199 0,167 1190
3 33,3 199 0,167 1190
4 33,3 11,5 2,889 3,97
b) Saluran Transmisi. Impedansi dan admitansi saluran dalam per-unit dihitung dengan menggunakan impedansi dan admitansi basis di bus-2 atau bus-3
pu 333,01190/1
100280,0
2
pu 0538,00108,01190
648,12
3pu
pu
jjY
jj
Z
ZZ
basissal
basis
salsal
=×
=
+=+
==
−
c) Impedansi transformator.
Nilai dalam per-unit impedansi transformator yang diberikan adalah:
T1: ratingnya) pada (pu 08,001,0pu 1 jZT +=
T2: ratingnya) pada (pu 07,001,0pu 2 jZT +=
Impedansi ini dinyatakan dalam per-unit dengan basis rating masing-masing transformator.
Transformator T1. Transformator T1 adalah sebuah transformator tiga-fasa, dua belitan. Rating daya T1 adalah 120 MVA, dengan tegangan nominal (sisi tegangan tinggi) 345 kV (fasa-fasa). Hal ini berarti bahwa basis yang di gunakan untuk menghitung ZT1pu adalah Zbasis rating yaitu
Ω= 3
2
ratingf
ratingffratingbasis S
VZ
Transformator
156 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Dengan basis inilah impedansi per-unit yang telah diberikan, yaitu pu 08,001,01 jZT += . Impedansi ini harus kita ubah
menggunakan basis sistem yaitu MVA 100 3 =basisfS dan
tegangan nominal 345 kV dan Zbasis di bus-2 (tempat dihubungkannya T1) yang telah dihitung sebesar 1190 Ω. Perubahan nilai impedansi dari basis rating ke basis sistem kita lakukan sebagai berikut:
( )
( )pu 0,0667)0,0083(
1190
120/345)08,001,0(
1190
/)08,001,0(
)08,001,0(
2
32
istem
sistem basis 1
j
j
SVj
Z
ZjZ
ratingfratingff
sbasis
ratingbasisT
+=
×+=
×+=
×+=
Transformator T2. Transformator T2 adalah transformator 3 fasa yang dibangun dari 3 tansformator 1 fasa dua belitan. Rating daya trafo ini adalah 30 MVA dengan tegangan rating 200 kV. Sisi primer dihubungkan Y agar sesuai dengan tegangan sistem di sisi tegangan tinggi (345 kV), dan sisi sekunder dihubungkan ∆ dengan tegangan sekunder 20 kV. Impedansi yang diberikan adalah
ratingnya) pada (pu 07,001,02 jZT +=
Impedansi ini harus kita ubah dengan menggunakan basis sistem.
( )pu 0,0784)0,0112(
1190
30/200)07,001,0( 2
sistem basis 2
j
jZT
+=
×+=
Dengan hasil perhitungan ini, rangkaian ekivalen satu-fasa menjadi sebagai berikut:
Transformator
157
3.6. Transformator Polifasa
Dari transformator satu-fasa dapat pula dibangun transformator polifasa. Berikut ini kita lihat contoh transformator enam fasa yang dibangun dari enam transformator satu-fasa. Setiap transformator satu-fasa ini mempunyai rating masing-masing.
Contoh-3.12: [1] Enam buah transformator satu-fasa dua belitan yang identik dihubungkan sebagai berikut:
- dua-dua belitan primer di hubungkan paralel,
- kemudian tiga set paralel tersebut dihubungkan membentuk sisi primer transformator 3 fasa yang terhubung Y.
- enam belitan sekunder dari enam transformator dihubungkan membentuk sisi sekunder transformator 6 fasa.
Rating setiap transformator adalah 13,8 kV / 138 kV, 15 MVA, X = 7% (pada ratingnya). Tegangan nominal fasa-netral dari sistem adalah 13,2 kV pada bus tegangan rendah yang terhubung Y. Dengan menggunakan daya 3 fasa basis MVA 10063 == ff SS .
(a) Hitung semua besaran basis di kedua sisi transformator.
(b) Jika sisi primer terhubung pada sumber seimbang dengan tegangan fasa-netral kV 2,13=anV hitunglah tegangan fasa
dan tegangan urutan di kedua sisi transfomator.
(c) Gambarkan rangkaian urutan positif dengan X dalam per-unit.
Solusi:
Tranformator yang terbentuk terhubung Y- yang skema hubungan serta diagram fasor tegangannya terlihat pada gambar berikut.
0,07840,0112 j+0,06670,0083 j+
0538,00108,0 j+
333,0j
1 2 3 4
333,0j
Transformator
158 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
(a)
Besaran-besaran basis:
Bus tegangan rendah
MVA 3,333
100 ==basisfS
kV 2,13 =basisfnV
A 52,22,13
3,33
basis ===
basisfn
fbasisf V
SI
Ω=== 23,552,2
2,13
basis
basisf
fnbasis I
VZ
Bus tegangan tinggi
MVA 7,166
100 ==basisfS
Jika sisi tegangan Van=13,2 kV:
kV 1328,13
138 2,13 =
=ANV
kV 132 =basisfnV
A 126,0132
7,16
basis ===
basisfn
fbasisf V
SI
Ω=== 1045126,0
132
basis
basisf
fnbasis I
VZ
ab
c
BC
D
FE
A
a
b
c
A
B
C
D
F
E
Transformator
159
(b)
Dengan sumber 13,2 kV:
Bus tegangan rendah
Tegangan fasa-netral:
kV 2,13=== cnbnan VVV
Dalam per-unit:
pu 1,0 2,13
2,13 ==anV
Tegangan urutan:
020 == VV
kV 2,13) 3(3
11 == anVV
Dalam per-unit:
pu 0,12,13
2,131 ==V
Bus tegangan tinggi
Tegangan fasa-netral:
kV 132=====
FNDN
CNBNAN
VV
VVV
Dalam per-unit:
pu 1,0132
132 ==ANV
Tegangan urutan:
054320 ===== VVVVV
kV 132) 6(6
11 == ANVV
Dalam per-unit:
pu 0,1132
1321 ==V
c) Rangkaian urutan positif.
Rangkaian urutan positif dari transformator ini hanya berupa satu impedansi yang mengubungkan bus di sisi primer dan sisi sekunder. Kita dapat melihat trafo ini dari sisi tegangan rendah ataupun sisi tegangan tinggi.
Dari sisi tegangan rendah:
Reaktansi dalam per-unit trafo)rating (padapu 07,0%7 ==X .
Rating trafo adalah 15 MVA, 13,8 kV sehingga impedansi basis menurut rating trafo adalah
15
8,13 22
==rating
ratingratingbasis S
VZ
Transformator
160 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Dalam membangun sisi tegangan rendah, dua belitan primer trafo satu-fasa diparalelkan menjadi salah satu-fasa hubungan Y, sehingga reaktansi menjadi setengahnya, yaitu
Ω=××=××= 444,015
8,1307,0
2
107,0
2
1 2
ratingbasisZX
Impedansi basis sistem sudah dihitung sebesar 5,23 Ω. Impedansi basis ini memberikan reaktansi dalam per-unit:
pu 0850,023,5
0444,0 ==X . Rangkaian urutan positif menjadi :
Dari sisi tegangan tinggi:
Ω=×= 8,8815
13807,0
2X
Dalam per-unit: pu 0,0850 1045
8,88 ==X . Rangkaian urutan positif
menjadi :
pu 0850,0
pu 0850,0
Mesin Sinkron
161
BAB 4 Mesin Sinkron
Kita telah melihat bahwa pada transformator terjadi alih energi dari sisi primer ke sisi sekunder. Energi di ke-dua sisi transformator tersebut sama bentuknya (yaitu energi listrik) akan tetapi mereka mempunyai peubah sinyal (yaitu tegangan dan arus) yang berbeda besarnya. Kita katakan bahwa transformator merupakan piranti konversi energi dari energi listrik ke energi listrik.
Kita perhatikan pula bahwa peubah-peubah sinyal di sisi sekunder transformator muncul karena fluksi di inti transformator merupakan fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu ini dibangkitkan oleh arus di sisi primer, yang juga merupakan fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu dapat pula dibangkitkan dengan cara lain misalnya secara mekanis; cara inilah yang dilaksanakan pada piranti konversi energi dari energi mekanis ke energi listrik atau disebut konversi energi elektromekanik. Konversi energi elektromekanik ini tidak hanya dari mekanis ke listrik tetapi juga dari listrik ke mekanis, dan dilandasi oleh dua hukum dasar yang kita kenal yaitu hukum Faraday dan hukum Ampere. Secara matematis kedua hukum ini dinyatakan dalam dua persamaan berikut
dt
dN
dt
de
φ−=λ−= dan )( θ= fiBKF B
Persamaan pertama menunjukkan bagaimana tegangan dibangkitkan dan persamaan ke-dua menunjukkan bagaimana gaya mekanis ditimbulkan.
Berikut ini kita akan mempelajari mesin konversi energi yang sangat luas digunakan di pusat-pusat pembangkit listrik, yang disebut generator sinkron. Ada dua macam konstruksi yang akan kita lihat yaitu konstruksi kutub menonjol dan konstruksi rotor silindris.
4.1. Mesin Sinkron Kutub Menonjol
Skema konstruksi mesin ini adalah seperti terlihat pada Gb.4.1.a. Mesin ini terdiri dari bagian stator yang mendukung belitan-belitan a1a11 sampai c2c22 pada alur-alurnya, dan bagian rotor yang berputar yang mendukung kutub-kutub magnit. Belitan pada stator tempat
Mesin Sinkron
162 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
kita memperoleh energi disebut belitan jangkar. Belitan pada rotor yang dialiri arus eksitasi untuk menimbullkan medan magnit disebut belitan eksitasi. Pada gambar ini ada empat kutub magnit. Satu siklus kutub S-U pada rotor memiliki kisar sudut (yang kita sebut sudut magnetis atau sudut listrik) 360o. Kisar sudut 360o ini melingkupi tiga belitan di stator dengan posisi yang bergeser 120o antara satu dengan lainnya. Misalnya belitan a1a11 dan belitan b1b11 berbeda posisi 120o, belitan b1b11 dan c1c11 berbeda posisi 120o, dan mereka bertiga berada di bawah satu kisaran kutub S-U. Tiga belitan yang lain, yaitu a2a22, b2b22, dan c2c22 berada dibawah satu kisaran kutub S-U yang lain dan mereka juga saling berbeda posisi 120o.
konstruksi kutub menonjol belitan fluksi magnetik
Gb.4.1. Mesin sinkron kutub menonjol
Karena mesin yang tergambar ini merupakan mesin empat kutub (dua pasang kutub) maka satu perioda siklus mekanik (perputaran rotor) sama dengan dua perioda siklus magnetik. Jadi hubungan antara sudut kisaran mekanik dan sudut kisaran magnetik adalah
][2][ derajatderajat mekanikmagnetik θ×=θ
atau secara umum
][2
][ derajatp
derajat mekanikmagnetik θ×=θ (4.1)
dengan p adalah jumlah kutub.
a1 a11
S
U
S
U a2 a1
b1 a11 c1
b2 c2
b11
c22
a22
b22
c11 φ
φ φ
180o mekanis = 360o
a) b) c)
Mesin Sinkron
163
Kecepatan sudut mekanik adalah
mekanikmekanik
mekanik fdt
d 2π=
θ=ω (4.2)
Frekuensi mekanik fmekanik adalah jumlah siklus mekanik per detik yang tidak lain adalah kecepatan perputaran rotor per detik. Biasanya kecepatan perputaran rotor dinyatakan dengan jumlah rotasi per menit (rpm). Jadi jika kecepatan perputaran rotor adalah n
rpm, maka jumlah siklus per detik adalah 60
n atau
60
nfmekanis=
siklus per detik.
Kecepatan sudut magnetik adalah
magnetikmagnetik
magnetik fdt
d 2π=
θ=ω (4.3)
Dengan hubungan (4.1) maka (4.3) menjadi
120
2
602
2 2
22
npnpf
ppmekanikmekanikmagnetik π=π=π=ω=ω
yang berarti 120
npfmagnetik= siklus per detik (4.4)
Perubahan fluksi magnetik akan membangkitkan tegangan induksi di setiap belitan. Karena fluksi magnetik mempunyai frekuensi
Hz 120
npfmagnetik= maka tegangan pada belitanpun akan
mempunyai frekuensi
Hz 120
npf tegangan= (4.5)
Dengan (4.5) ini jelaslah bahwa untuk memperoleh frekuensi tertentu, kecepatan perputaran rotor harus sesuai dengan jumlah kutub. Jika diinginkan f = 50 Hz misalnya, untuk p = 2 maka n = 3000 rpm; jika p = 4 maka n = 1500 rpm; jika p = 6 maka n = 1000 rpm, dan seterusnya. Konstruksi mesin dengan kutub menonjol seperti pada Gb.17.1. sesuai untuk mesin putaran rendah tetapi tidak sesuai untuk mesin putaran tinggi karena kendala-kendala mekanis.
Mesin Sinkron
164 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Untuk mesin putaran tinggi digunakan rotor dengan konstruksi silindris.
Dengan pergeseran posisi belitan 120o magnetik untuk setiap pasang kutub, maka kita mendapatkan tegangan sistem tiga-fasa untuk setiap pasang kutub, yaitu ea1 pada belitan a1a11 , eb1 pada b1b11 , dan ec1 pada c1c11 . Demikian pula kita memperoleh tegangan ea2 , eb2 dan ec2 pada belitan-belitan di bawah pasangan kutub yang lain. Jadi setiap pasang kutub akan membangkitkan tegangan sistem tiga-fasa pada belitan-belitan yang berada dibawah pengaruhnya. Tegangan yang sefasa, misalnya ea1 dan ea2 , dapat dijumlahkan untuk memperoleh tegangan yang lebih tinggi atau diparalelkan untuk memperoleh arus yang lebih besar.
Tegangan yang terbangkit di belitan pada umumnya diinginkan berbentuk gelombang sinus
tAv ω= cos , dengan pergeseran 120o untuk belitan fasa-fasa yang lain. Tegangan sebagai fungsi waktu ini pada transformator dapat langsung diperoleh di belitan sekunder karena fluksinya merupakan fungsi waktu. Pada mesin sinkron, fluksi dibangkitkan oleh belitan eksitasi di rotor yang dialiri arus searah sehingga fluksi tidak merupakan fungsi waktu. Akan tetapi fluksi yang ditangkap oleh belitan stator harus merupakan fungsi waktu agar persamaan (4.1) dapat diterapkan untuk memperoleh tegangan. Fluksi sebagai fungsi waktu diperoleh melalui putaran rotor. Jika φ adalah fluksi yang dibangkitkan di rotor dan memasuki celah udara antara rotor dan stator dengan nilai konstan maka, dengan mengabaikan efek pinggir, laju pertambahan fluksi yang ditangkap oleh belitan stator adalah
magnetikmagnetiks
dt
d
dt
dωφ=
θφ=
φ (4.6)
Gb.4.2. Perhitungan fluksi.
180o mekanis = 360o magnetik
φs
a1
a11
θ
Mesin Sinkron
165
Karena 120
2 2
npfmagnetikmagnetik π=π=ω , maka
60
np
dt
d s πφ=φ
(4.7)
Dari (4.4) kita peroleh tegangan pada belitan, yaitu
60
npN
dt
dNv s πφ−=
φ−= (4.8)
Jika φ bernilai konstan, tidaklah berarti (4.8) memberikan suatu tegangan konstan karena φ bernilai konstan positif untuk setengah perioda dan bernilai konstan negatif untuk setengah perioda berikutnya. Maka (4.8) memberikan tegangan bolak-balik yang tidak sinus. Untuk memperoleh tegangan berbentuk sinus, φ harus berbentuk sinus juga. Akan tetapi ia tidak dibuat sebagai fungsi sinus terhadap waktu, akan tetapi sebagai fungsi sinus posisi, yaitu terhadap θmaknetik . Jadi jika
maknetikm θφ=φ cos (4.9)
maka laju pertambahan fluksi yang dilingkupi belitan adalah
( )
magnetikmmmagnetikmagnetikm
magnetikmagnetikmmagnetikm
s
np
dt
d
dt
d
dt
d
dt
d
θ
πφ−=θωφ−=
θθφ−=θφ=φ=φ
sin 120
2sin
sincos (4.10)
sehingga tegangan belitan
tNNf
npN
dt
dNe
mmagnetikm
magnetikms
ωφω=θφπ=
θφπ=φ
−=
sin sin 2
sin60
(4.11)
Persamaan (4.11) memberikan nilai sesaat dari dari tegangan yang dibangkitkan di belitan stator. Nilai maksimum dari tegangan ini adalah
Volt mm NE φω= (4.12)
dan nilai efektifnya adalah
Volt 44,4
2
2
2
2
m
mmm
rms
Nf
NfNE
E
φ=
φπ
=φω
== (4.13)
Dalam menurunkan formulasi tegangan di atas, kita menggunakan perhitungan fluksi yang merupakan penyederhanaan dari konstruksi mesin a. Di sini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan yaitu:
Mesin Sinkron
166 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
1. Belitan terdiri dari hanya satu gulungan, misalnya belitan a1a11, yang ditempatkan di sepasang alur stator, walaupun gulungan itu terdiri dari N lilitan. Belitan semacam ini kita sebut belitan terpusat.
2. Lebar belitan, yaitu kisar sudut antara sisi belitan a1 dan a11 adalah 180o magnetik. Lebar belitan semacam ini kita sebut kisar penuh.
Dalam praktek lilitan setiap fasa tidak terpusat di satu belitan, melainkan terdistribusi di beberapa belitan yang menempati beberapa pasang alur stator. Belitan semacam ini kita sebut belitan terdistribusi, yang dapat menempati stator sampai 1/3 kisaran penuh (60o magnetik). Selain dari pada itu, gulungan yang menempati sepasang alur secara sengaja dibuat tidak mempunyi lebar satu kisaran penuh; jadi lebarnya tidak 180o akan tetapi hanya 80% sampai 85% dari kisaran penuh. Pemanfaatan belitan terdistribusi dan lebar belitan tidak satu kisar penuh dimaksudkan untuk menekan pengaruh harmonisa yang mungkin ada di kerapatan fluksi. Sudah barang tentu hal ini akan sedikit mengurangi komponen fundamental dan pengurangan ini dinyatakan dengan suatu faktor Kw yang kita sebut faktor belitan. Biasanya Kw mempunyai nilai antara 0,85 sampai 0,95. Dengan adanya faktor belitan ini formulasi tegangan (4.13) menjadi
Volt 44,4 mwrms KNfE φ= (4.14)
Berikut ini beberapa contoh perhitungan tegangan jangkar. Untuk sementara pembahasan mesin sinkron kutub menonjol kita hentikan di sini. Kita akan melihat mesin jenis ini lagi setelah pembahasan mesin sinkron rotor silindris.
CONTOH-4.1: Sebuah generator sinkron tiga-fasa, 4 kutub, belitan jangkar terhubung Y, mempunyai 12 alur pada statornya dan setiap alur berisi 10 konduktor. Fluksi kutub terdistribusi secara sinus dengan nilai maksimumnya 0,03 Wb. Kecepatan perputaran rotor 1500 rpm. Carilah frekuensi tegangan jangkar dan nilai rms tegangan jangkar fasa-netral dan fasa-fasa.
Solusi : Frekuensi tegangan jangkar adalah
Hz 50120
15004
120
=×== npf
Mesin Sinkron
167
Jumlah alur per kutub adalah 34
12 = yang berarti setiap pasang
kutub terdapat 3 belitan yang membangun sistem tegangan tiga-fasa. Jadi setiap fasa terdiri dari 1 belitan yang berisi 10 lilitan. Nilai rms tegangan jangkar per fasa per pasang kutub adalah
V 6,6603,0105044,4 44,4 =×××=φ= mak NfE
Karena ada dua pasang kutub maka tegangan per fasa adalah : 2 × 66,6 = 133 V.
Tegangan fasa-fasa adalah 133 √3 = 230 V.
CONTOH-4.2: Soal seperti pada Contoh-4.1. tetapi jumlah alur pada stator ditingkatkan menjadi 24 alur. Ketentuan yang lain tetap.
Solusi : Frekuensi tegangan jangkar tidak tergantung jumlah alur. oleh karena itu frekuensi tetap 50 Hz.
Jumlah alur per kutub adalah 64
24 = yang berarti setiap pasang
kutub terdapat 6 belitan yang membangun sistem tegangan tiga-fasa. Jadi setiap fasa pada satu pasang kutub terdiri dari 2 belitan yang masing-masing berisi 10 lilitan. Nilai rms tegangan jangkar untuk setiap belitan adalah
V 6,6603,0105044,4 V 44,41 =×××=φ= ma NfE .
Karena dua belitan tersebut berada pada alur yang berbeda, maka terdapat beda fasa antara tegangan imbas di keduanya. Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berurutan adalah
oo
1524
360 = mekanik. Karena mesin mengandung 4 kutub atau 2
pasang kutub, maka 1o mekanik setara dengan 2o listrik. Jadi selisih sudut fasa antara tegangan di dua belitan adalah 30o listrik sehingga tegangan rms per fasa per pasang kutub adalah jumlah fasor tegangan di dua belitan yang berselisih fasa 30o tersebut.
3,338,124)30sin30(cos6,666,66 oo jjak +=++=E
Karena ada 2 pasang kutub maka
V 258)3,33()8,124(2 22 =+×=aE
Mesin Sinkron
168 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Tegangan fasa-fasa adalah 258 √3 = 447 V
CONTOH-4.3: Soal seperti pada Contoh-4.1. tetapi jumlah alur pada stator ditingkatkan menjadi 144 alur, jumlah kutub dibuat 16 (8 pasang), kecepatan perputaran diturunkan menjadi 375 rpm. Ketentuan yang lain tetap.
Solusi :
Frekuensi tegangan jangkar : Hz 50120
37516 =×=f
Jumlah alur per kutub 916
144 = yang berarti terdapat 9 belitan
per pasang kutub yang membangun sistem tiga-fasa. Jadi tiap fasa terdapat 3 belitan. Tegangan di tiap belitan adalah
V 6,6603,0105044,41 =×××=aE ; sama dengan tegangan per
belitan pada contoh sebelumnya karena frekuensi, jumlah lilitan, dan fluksi maksimum tidak berubah. Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berturutan adalah
oo
5,2144
360 = mekanik. Karena mesin memiliki 16 kutub (8
pasang) maka 1o mekanik ekivalen dengan 8o listrik, sehingga beda fasa tegangan pada belitan-belitan adalah
o2085,2 =× listrik. Tegangan per fasa per pasang kutub adalah jumlah fasor dari tegangan belitan yang masing-masing berselisih fasa 20o.
( )6,652,180
)40sin20(sin40cos20cos16,66
406,66206,666,66oooo
oo
j
j
ak
+=++++=
∠+∠+=E
Karena ada 8 pasang kutub maka tegangan fasa adalah
V 15348,1918)6,65()2,180(8 22 =×=+×=aE
Tegangan fasa-fasa adalah 1534 √3 = 2657 V
Mesin Sinkron
169
4.2. Mesin Sinkron Rotor Silindris
Sebagaimana telah disinggung di atas, mesin kutub menonjol sesuai untuk perputaran rendah. Untuk perputaran tinggi digunakan mesin rotor silindris yang skemanya diperlihatkan ada Gb.4.3. Rotor mesin ini berbentuk silinder dengan alur-alur untuk menempatkan belitan eksitasi. Dengan konstruksi ini, reluktansi magnetik jauh lebih merata dibandingkan dengan mesin kutub menonjol. Di samping itu kendala mekanis untuk perputaran tinggi lebih mudah diatasi dibanding dengan mesin kutub menonjol. Belitan eksitasi pada gambar ini dialiri arus searah sehingga rotor membentuk sepasang kutub magnet U-S seperti terlihat pada gambar. Pada stator digambarkan tiga belitan terpusat aa1 , bb1 dan cc1 masing-masing dengan lebar kisaran penuh agar tidak terlalu rumit, walaupun dalam kenyataan pada umumnya dijumpai belitan-belitan terdistribusi dengan lebar lebih kecil dari kisaran penuh.
Karena reluktansi magnetik praktis konstan untuk berbagai posisi rotor (pada waktu rotor berputar) maka situasi yang kita hadapi mirip dengan tansformator. Perbedaannya adalah bahwa pada transformator kita mempunyai fluksi mantap, sedangkan pada mesin sinkron fluksi tergantung dari arus eksitasi di belitan rotor. Kurva magnetisasi dari mesin ini dapat kita peroleh melalui uji beban nol. Pada uji beban nol, mesin diputar pada perputaran sinkron (3000 rpm) dan belitan jangkar terbuka. Kita mengukur tegangan keluaran pada belitan jangkar sebagai fungsi arus eksitasi (disebut juga arus medan) pada belitan eksitasi di rotor. Kurva tegangan keluaran sebagai fungsi arus eksitasi seperti terlihat pada Gb.17.4 disebut karakteristik beban nol. Bagian yang berbentuk garis lurus pada kurva itu disebut karakteristik celah udara dan kurva inilah (dengan
Gb.4.3. Mesin sinkron rotor silindris.
a
b
a1
c1 b1
c
U
S
Mesin Sinkron
170 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
ekstra-polasinya) yang akan kita gunakan untuk melakukan analisis mesin sinkron.
Karakterik lain yang penting adalah karakteritik hubung singkat yang dapat kita peroleh dari uji hubung singkat. Dalam uji hubung singkat ini mesin diputar pada kecepatan perputaran sinkron dan terminal belitan jangkar dihubung singkat (belitan jangkar terhubung Y). Kita mengukur arus fasa sebagai fungsi dari arus eksitasi. Kurva yang akan kita peroleh akan terlihat seperti pada Gb.4.4. Kurva ini berbentuk garis lurus karena untuk mendapatkan arus beban penuh pada percobaan ini, arus eksitasi yang diperlukan tidak besar sehingga rangkaian magnetiknya jauh dari keadaan jenuh. Fluksi magnetik yang dibutuhkan hanya sebatas yang diperlukan untuk membangkitkan tegangan untuk mengatasi tegangan jatuh di impedansi belitan jangkar.
Perhatikanlah bahwa karakteristik beban-nol dan hubung singkat memberikan tegangan maupun arus jangkar sebagai fungsi arus medan. Sesungguhnya arus medan berperan memberikan mmf (lilitan ampere) untuk menghasilkan fluksi dan fluksi inilah yang mengimbaskan tegangan pada belitan jangkar. Jadi dengan karakteristik ini kita dapat menyatakan pembangkit fluksi tidak dengan mmf akan tetapi dengan arus medan ekivalennya dan hal
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
10000
11000
12000
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500Arus medan [A]
Te
ga
ng
an
Fa
sa
-Ne
tra
l [V
]
Gb.4.4. Karakteristik beban-nol dan hubung singkat. Karakteristik celah udara (linier).
beban-nol V=V(If )|I =0
hubung singkat I = I (If ) |V=0
celah udara V=kIf
0 0
Aru
s fa
sa [
A]
Mesin Sinkron
171
inilah yang akan kita lakukan dalam menggambarkan diagram fasor yang akan kita pelajari beikut ini.
4.2.1. Diagram Fasor dan Reaktansi Sinkron
Kita ingat bahwa pada transformator besaran-besaran tegangan, arus, dan fluksi, semuanya merupakan besaran-besaran yang berubah secara sinusoidal terhadap waktu dengan frekuensi yang sama sehingga tidak terjadi kesulitan menyatakannya sebagai fasor. Pada mesin sinkron, hanya tegangan dan arus yang merupakan fungsi sinus terhadap waktu; fluksi rotor, walaupun ia merupakan fungsi sinus tetapi tidak terhadap waktu tetapi terhadap posisi sehingga tak dapat ditentukan frekuensinya. Menurut konsep fasor, kita dapat menyatakan besaran-besaran ke dalam fasor jika besaran-besaran tersebut berbentuk sinus dan berfrekuensi sama. Oleh karena itu kita harus mencari cara yang dapat membuat fluksi rotor dinyatakan sebagai fasor. Hal ini mungkin dilakukan jika kita tidak melihat fluksi rotor sebagai dirinya sendiri melainkan melihatnya dari sisi belitan jangkar. Walaupun fluksi rotor hanya merupakan fungsi posisi, tetapi ia dibawa berputar oleh rotor dan oleh karena itu belitan jangkar melihatnya sebagai fluksi yang berubah terhadap waktu. Justru karena itulah terjadi tegangan imbas pada belitan jangkar sesuai dengan hukum Faraday. Dan sudah barang tentu frekuensi tegangan imbas di belitan jangkar sama dengan frekuensi fluksi yang dilihat oleh belitan jangkar.
Kita misalkan generator dibebani dengan beban induktif sehingga arus jangkar tertinggal dari tegangan jangkar.
Gb.4.5. Posisi rotor pada saat emaks dan imaks.
U
S
sumbu emaks
sumbu magnet
(a)
a
a1
a
a1
U
S
sumbu imaks
sumbu magnet (b)
θ
Mesin Sinkron
172 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Gb.4.5.a. menunjukkan posisi rotor pada saat imbas tegangan di aa1 maksimum. Hal ini dapat kita mengerti karena pada saat itu kerapatan fluksi magnetik di hadapan sisi belitan a dan a1 adalah maksimum. Perhatikanlah bahwa pada saat itu fluksi magnetik yang dilingkupi oleh belitan aa1 adalah minimum. Sementara itu arus di belitan aa1 belum maksimum karena beban induktif. Pada saat arus mencapai nilai maksimum posisi rotor telah berubah seperti terlihat pada Gb.4.5.b.
Karena pada mesin dua kutub sudut mekanis sama dengan sudut magnetis, maka beda fasa antara tegangan dan arus jangkar sama dengan pegeseran rotasi rotor, yaitu θ. Arus jangkar memberikan mmf jangkar yang membangkitkan medan magnetik lawan yang akan memperlemah fluksi rotor. Karena adanya reaksi jangkar ini maka arus eksitasi haruslah sedemikian rupa sehingga tegangan keluaran mesin dipertahankan.
Catatan : Pada mesin rotor silindris mmf jangkar mengalami reluktansi magnetik yang sama dengan yang dialami oleh mmf rotor. Hal ini berbeda dengan mesin kutub menonjol yang akan membuat analisis mesin kutub menonjol memerlukan cara khusus sehingga kita menunda pembahasannya.
Diagram fasor (Gb.4.6) kita gambarkan dengan ketentuan berikut
1. Diagram fasor dibuat per fasa dengan pembebanan induktif.
2. Tegangan terminal aV dan arus jangkar aI adalah
nominal.
3. Tegangan imbas digambarkan sebagai tegangan naik; jadi tegangan imbas tertinggal 90o dari fluksi yang membangkitkannya.
4. Belitan jangkar mempunyai reaktansi bocor Xl dan resistansi Ra.
5. Mmf (fluksi) dinyatakan dalam arus ekivalen.
Dengan mengambil tegangan terminal jangkar Va sebagai referensi, arus jangkar Ia tertinggal dengan sudut θ dari Va (beban induktif). Tegangan imbas pada jangkar adalah
( )laaaa jXR ++= IVE (4.15)
Mesin Sinkron
173
Tegangan imbas aE ini harus dibangkitkan oleh fluksi celah udara
yang dinyatakan dengan arus ekivalen faI yang 90o mendahului
aE . Arus jangkar aI memberikan fluksi lawan dari jangkar yang
dinyatakan dengan arus ekivalen aφI . Jadi fluksi dalam celah udara
merupakan jumlah dari fluksi rotor Φf yang dinyatakan dengan arus ekivalen fI dan fluksi jangkar. Jadi
affa φ+= III atau afaf φ−= III (4.16)
Dengan perkataan lain arus eksitasi rotor fI haruslah cukup untuk
membangkitkan fluksi celah udara guna membangkitkan aE dan
mengatasi fluksi lawan jangkar agar tegangan terbangkit aE dapat
dipertahankan. Perhatikan Gb.4.6: fI membangkitkan tegangan
fE yang 90o di belakang fI dan lebih besar dari aE .
Gb.4.6. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris.
Hubungan antara nilai aE dan faI diperoleh dari karakteristik
celah udara, sedangkan antara nilai aI dan aφI diperoleh dari
karakteristik hubung singkat. Dari karakteristik tersebut, seperti terlihat pada Gb.17.4., dapat dinyatakan dalam bentuk hubungan
fava IkE = dan aia IkI φ= atau
afaf φ−= III
θ
γ
fE
aE
la Xj I
aaRIaV
aIaφI
aφ− I
faI
Mesin Sinkron
174 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
vafa kEI /= dan iaa kII /=φ (4.17)
dengan kv dan ki adalah konstanta yang diperoleh dari kemiringan kurva Gb.17.4. Dari (4.7) dan Gb.17.6. kita peroleh
θ−∠−γ∠=
θ−∠+γ+∠=−= φ
i
a
v
a
i
a
v
aafaf
k
I
k
Ej
k
I
k
E
)180()90( ooIII
(4.18)
Dari (4.18) kita peroleh fE yaitu
ai
vaa
i
va
i
a
v
avfvaa
k
kjI
k
kjE
k
I
k
Ejjkjk
IE
IE
+=θ−∠+γ∠=
θ−∠−γ∠−=−=
(4.19)
Suku kedua (4.19) dapat kita tulis sebagai aajX Iφ dengan
i
va k
kX =φ (4.20)
yang disebut reaktansi reaksi jangkar karena suku ini timbul akibat adanya reaksi jangkar. Selanjutnya (4.19) dapat ditulis
( )( )aaaa
aalaaaaaaf
jXR
jXjXRjX
++=
+++=+= φφ
IV
IIVIEE
(4.21)
dengan ala XXX φ+= yang disebut reaktansi sinkron.
Diagram fasor Gb.4.6. kita gambarkan sekali lagi menjadi Gb.4.7. untuk memperlihatkan peran reaktansi reaksi jangkar dan reaktansi sinkron.
Perhatikanlah bahwa pengertian reaktansi sinkron kita turunkan dengan memanfaatkan karakteristik celah udara, yaitu karakteristik linier dengan menganggap rangkaian magnetik tidak jenuh. Oleh karena itu reaktansi tersebut biasa disebut reaktansi sinkron tak jenuh.
Mesin Sinkron
175
4.2.2. Rangkaian Ekivalen Mesin Sinkron Rotor Silindris
Sumber tegangan cukup memadai untuk menggambarkan rangkaian ekivalen mesin sinkron rotor silindris. Kumparan-kumparan jangkar, tempat dibangkitkannya tegangan, mengandung resistansi dan reaktansi. Selain itu, antar kumparan juga terjadi kopling magnetic karena letak mereka yang saling berdekatan pada posisi yang simetris. Kita anggap bahwa ketiga kumparan jangkar adalah identik, masing-masing dengan resistansi Ra dan reaktansi Xa. Antar ketiga kumparan terjadi reaktansi bersama Xm. Jika tegangan terbangkit di kumparan jangkar adalah cba EEE dan , , dan tegangan fasa-netral di
terminal mesin adalah cnbnan VVV dan , , , maka dapat
digambarkan rangkaian ekivalen seperti pada Gb.4.8.
Pada Gb.4.8. ini cba III dan , , adalah arus fasa a, b, dan c yang
keluar dari terminal mesin dan ketiganya kembali melalui penghantar netral melalui impedansi Zn. Aplikasi hokum Kirchhoff pada rangkaian ini memberikan persamaan
θ
γ
Gb.4.7. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris; reaktansi reaksi jangkar (Xφa) dan reaktansi sinkron (Xa).
afaf φ−= III
aaE
aa Xj φI
aa Xj I
la Xj I
aE
aaRIaV
aIaφI
aφ− I
faI
Mesin Sinkron
176 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
ancmnbmnanaa
ancbmcbanaaaa
jXZjXZZjXR
jXZjXR
VIII
VIIIIIIE
+++++++=
+++++++=
)()()(
)()()(
(4.20.a)
bncmnamnbnaab jXZjXZZjXR VIIIE +++++++= )()()(
(4.20.b)
cnbmnamncnaac jXZjXZZjXR VIIIE +++++++= )()()(
(4.20.c)
Jika kita tuliskan
mnm
naas
jXZZ
ZjXRZ
+=++=
(4.21)
Maka persamaan 4.20.a,b,c menjadi
cnbmamcsc
bncmambsb
ancmbmasa
ZZZ
ZZZ
ZZZ
VIIIE
VIIIE
VIIIE
+++=
+++=
+++=
(4.22)
Dalam bentuk matriks, persamaan (4.22) adalah
+
=
an
an
an
c
b
a
smm
msm
mms
c
b
a
ZZZ
ZZZ
ZZZ
V
V
V
I
I
I
E
E
E
(4.23.a)
cI
a
b
c
bnV
aa jXR
n
aI
bI
cba III ++
mjX
mjXmjX
anV
cnV
N +
+
nZ
∼
∼ ∼
cE
aEbE
aa jXR
aa jXR
Gb.4.8. Rangkaian ekivalen mesin sinkron
Mesin Sinkron
177
atau secara lebih ringkas
[ ] abcabcabcabc Z VIE~~~ += (4.23.b)
Kita ingat bahwa
[ ] 012~
~ITI =abc dan [ ] 012
~
~VTV =abc
dan kita masukkan ke (4.23.b) serta kita kalikan kedua ruas
(4.23.b) dengan [ ] 1−T maka kita peroleh
[ ] [ ] [ ][ ] [ ] [ ]
[ ] 012012012
0121
01211
~~
~~~
VI
VTTITTET
+=
+= −−−
Z
Zabcabc (4.24.a)
Kita hitung ruas kiri (9.24.a)
[ ]
=
=
=−
0
0
0
3
0
3
1
1
1
111
3
1~ 2
2
21ff
f
f
f
abc
a
a
aa
aa EE
E
E
E
ET ( 4.24.b)
[ ]012Z pada (4.24.a) adalah
[ ] [ ] [ ][ ]
−−
+== −
ms
ms
ms
abc
ZZ
ZZ
ZZ
ZZ
00
00
002
1012 TT (4.24.c)
dengan Zs dan Zm diberikan oleh (4.21). Elemen-elemen matriks (4.24.c) menjadi
nmaa
mnnaams
ZXXjR
XjZZjXRZZZ
3)2(
22200
+++=++++=+=
(4.25.a)
)( 11
maa
mnnaams
XXjR
jXZZjXRZZZ
−+=−−++=−=
4.25.b)
)( 22
maa
mnnaams
XXjR
jXZZjXRZZZ
−+=−−++=−=
(4.25.c)
sehingga (4.24.c) menjadi
Mesin Sinkron
178 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
[ ]
=
22
11
00
012
00
00
00
Z
Z
Z
Z (4.25.d)
Dengan (4.25.b) dan (4.25.d) maka (4.23.a) menjadi
+
=
2
1
0
2
1
0
22
11
00
00
00
00
0
0
V
V
V
I
I
I
E
Z
Z
Z
(4.26.a)
Persamaan (4.26.a) ini memberi jalan untuk menggambarkan rangkaian urutan dari mesin sinkron. Dengan mengingat bahwa Zn bukanlah komponen mesin, didefinisikan impedansi urutan mesin sebagai
222111000 ; ; 3 ZZZZZZZ n ==−= (4.26.b)
Berdasarkan (4.26.a) dan (4.26.b) kita gambarkan rangkaian urutan seperti terlihat pada Gb.4.9.
0Z
nZ30V
0I
+
−Rangkaian urutan nol.
1V
1I
+
−
1Z
E ∼
Rangkaian urutan Positif
Rangkaian urutan negatif.
Gb.4.9. Rangkaian urutan mesin sinkron.
2V
2I
+
−
2Z
Mesin Sinkron
179
Penurunan rangkaian urutan di atas cukup sederhana dengan hasil yang sederhana pula dan kita akan menggunakannya dalam analisis. Namun sesungguhnya beberapa hal tidak kita pertimbangkan dalam penurunan tersebut. Misalnya keberadaan damper winding tidak kita singgung; dan demikian juga tegangan terbangkit di kumparan jangkar kita anggap ditimbulkan oleh arus eksitasi yang konstan padahal dalam kenyataannya tidak demikian; rangkaian magnetic mesin juga kita anggap memiliki karakteristik linier walaupun kenyataannya nonlinier. Hal-hal yang kita abaikan ini diperhitungkan oleh pembuat mesin.
4.2. Kopling Turbin-Generator
Generatos sinkron diputar oleh turbin. Turbin memberikan daya mekanis. Jika generator tidak bebeban, torka mekanis yang dikeluarkan oleh turbin hanya digunakan untuk mengatasi gesekan dengan udara dari bagian-bagian yang berputar dan gesekan poros dengan bantalan. Gesekan ini memberikan torka yang melawan torka dari turbin; torka lawan akibat gesekan ini biasanya kecil dibandingkan dengan torka lawan dari generator, dan biasanya diabaikan. Torka lawan dari generator terjadi jika generator diberi beban. Arus yang mengalir di kumparan jangkar sebagai akibat pembebanan, menimbulkan medan magnet yang berinteraksi dengan medan magnet dari rotor. Interaksi ini menimbulkan torka lawan terhadap torka turbin. Jika torka turbin kita sebut Tm (torka mekanis) dan torka lawan dari generator kita sebut Te (torka listrik) maka kita mendapat persamaan
dt
dJTT rm
emω
=− (4.27)
dengan J adalah inersia seluruh massa yang berputar, dan ωrm adalah kecepatan perputaran rotor (kecepatan putar mekanis). Persamaan (4.27) ini sudah barang tentu merupakan persamaan umum yaitu jika memang ωrm berubah terhadap waktu; hal demikian terjadi pada peristiwa transien. Untuk sementara kita tidak melihat kondisi transien, tetapi hanya kondisi mantap. Oleh karena itu 0/ =ω dtd rm sehingga (4.27) menjadi
0=− em TT atau em TT = (4.28)
Mesin Sinkron
180 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Dalam kondisi mantap, kecepatan perputaran mekanis rotor, ωrm, sama dengan kecepatan perputar sinkron, srm ω=ω . Jika
persamaan (4.28) kita kalikan dengan ωrm maka kita peroleh
em
sermermm
PP
TTT
=
ω=ω=ω
atau (4.29)
Persamaan (4.29) menunjukkan bahwa dengan mengabaikan rugi-rugi gesekan dengan udara dan bantalan poros, seluruh daya mekanik diubah menjadi daya listrik.
4.4. Daya Mesin Sinkron
Dalam model satu-fasa, tegangan terbangkit di kumparan jangkar per fasa adalah fE , tegangan di terminal generator adalah V .
Adanya impedansi belitan jangkar membuat fE dan V berbeda fasa.
Jika kita ambil tegangan terminal generator sebagai referensi dan beda sudut fasa antara tegangan terminal dan tegangan terbangkit adalah δ, maka
δ∠=∠= ff EV EV dan 0o (4.30)
dan δ disebut sudut daya (power angle)
Impedansi belitan jangkar tiap fasa adalah
aa jXRZ += (4.31.a)
Karena Xa >> Ra maka
da jXjXZ =≈ (4.31.b)
Xd adalah reaktansi jangkar yang disebut direct axis reactance.
Mesin Sinkron
181
Kita menganggap generator sinkron terbebani seimbang. Oleh karena itu rangkaian ekivalen yang kita perlukan hanyalah rangkaian urutan positif. Jika beban generator sinkron kita modelkan sebagai sumber tegangan, kita memperoleh rangkaian ekivalen generator sinkron dengan bebannya seperti terlihat pada Gb.4.10.
Dengan (4.12.b) daya per fasa yang keluar dari terminal generator adalah
∗∗
−==
d
ff jX
SVE
VIV (4.32.a)
Dengan memasukkan (4.30) maka (4.32.a) menjadi
ffdd
f
d
f
dd
f
d
ff
jQPX
V
X
VEj
X
VE
X
V
X
VE
X
VEVS
+=
−δ+δ=
∠−δ−∠=
∠
∠−δ∠∠=
∗
2
o2
oo
oo
cossin
90)90(90
00
(4.32.b)
dengan
δ= sind
ff X
VEP dan
−δ=
dd
ff X
V
X
VEQ
2cos (4.33)
Pf adalah daya nyata dan Qf adalah daya reaktif (per fasa).
Kita telah melihat pada (4.10) bahwa dengan mengabaikan rugi daya pada gesekan, seluruh daya mekanik dari turbin dikonversi menjadi daya listrik. Turbin hanya memberikan daya nyata, namun generator mengubahnya menjadi daya nyata dan daya reaktif. Hal
V
I
+djX
fE ∼ ∼ +
Gb.4.10. Rangkaian ekivalen model satu-fasa generator sinkron dengan beban
seimbang.
Mesin Sinkron
182 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
ini berarti bahwa jika kita menambah daya turbin dengan menambah uap pada turbin uap atau menambah debit air pada turbin air, daya yang bertambah adalah daya nyata, P. Jika df XVE , , tidak
berubah maka peningkatan P berarti bertambahnya sudut daya δ. Pertambahan daya nyata ini ada batasnya, yaitu pada saat 1sin =δ , dan inilah daya nyata maksimum yang bisa diberikan oleh generator, yang disebut batas stabilitas keadaan mantap. Apabila kita teruskan menambah daya turbin dengan menambah uap lagi, mesin akan keluar dari perputaran sinkron. Oleh karena itu generator sinkron dioperasikan pada nilai yang cukup rendah dari daya maksimumnya, sekitar 20%.
Kelebihan pasokan daya nyata mekanis tidak hanya terjadi jika kita menambah daya turbin. Kelebihan tersebut juga terjadi jika dalam operasi normal tiba-tiba beban hilang sebagian (beban keluar dari jaringan). Dalam hal demikian sudut δ meningkat untuk sementara, perputaran bertambah, sampai governor secara otomatis mengatur masukan uap untuk mengembalikan perputaran turbin ke perputaran semula, dan kondisi operasi kembali normal.
Jika kita perhatikan persamaan untuk Qf pada (4.33), peningkatan δ yang meningkatkan Pf, justru menurunkan Qf. Daya reaktif Qf bisa meningkat jika Ef meningkat yaitu dengan menambah arus eksitasi. Dengan kata lain penambahan Qf dilakukan dengan menambah arus eksitasi. Sebagaimana telah kita pelajari, daya ini mengalir dari sumber ke beban dalam setengah perioda dan mengalir dari beban ke sumber dalam setengah perioda berikutnya. Nilai rata-ratanya adalah nol; daya reaktif tidak memberikan transfer energi. Kita lihat contoh persoalan berikut.
CONTOH-4.4: [1] Beban seimbang generator sinkron memiliki faktor daya 0,8 lagging. Reaktansi ratingnya) (padapu 7,0=dX .
a). Hitung , Pf, Qf, Ef, dan δ, dan gambarkan fasor diagramnya.
V
I
+pu 7,0=djX
fE ∼ ∼ +
Mesin Sinkron
183
b). Daya turbin penggerak generator ditambah sebesar 20% dengan menambahkan pasokan uap. Hitung P, Q, Ef , dan δ, pada keadaan ini, dan gambarkan diagram fasornya bersama dengan diagram fasor keadaan sebelumnya (soal a).
c) Kembalikan pasokan daya turbin pada kondisi a. Sekarang naikkan arus eksitasi sehingga Ef meningkat sebesar 20%. Hitung P, Q, Ef, dan δ, pada keadaan baru ini, dan gambarkan diagram fasornya bersama dengan diagram fasor keadaan sebelumnya (soal a).
Solusi:
a). Kita tetapkan referensi o01∠=V o1 9,36)8,0(cos ==ψ −
6,08,09,361 o j−=−∠=I o5,2153,156,042,11)6,08,0(7,0 ∠=+=+−== jjjjX df IE
⇒ 53,1=fE
o5,21=δ
8,0)5,21sin(7,0
53,11sin o =×=δ=
d
ff X
VEP
6,07,0
1)5,21cos(
7,0
53,11cos
2o
21 =−×=−δ=dd
ff X
V
X
VEQ
Diagram fasornya terlihat pada gambar berikut.
b). Daya turbin penggerak generator ditambah sebesar 20% dengan menambahkan pasokan uap. Hitung P, Q, Ef , dan δ, pada keadaan ini, dan gambarkan diagram fasornya bersama dengan diagram fasor keadaan sebelumnya (soal a).
Tetap gunakan referensi o01∠=V
δV
fEIdjX
Iψ
Mesin Sinkron
184 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
96,08,02,12,1 =×==′ PP (meningkat 20% dari P pada soal a).
53,1==′ ff EE (tidak berubah, eksitasi tidak ditambah).
o11 1,26153,1
7,096,0sinsin =
××=
′′
=δ′ −−VE
XP
f
d (meningkat 21%).
11%)(menurun 535,0
7,0
1)1,26cos(
7,0
153,1cos
2o
2
=
−×=−δ′′
=′dd
f
X
V
X
VEQ
Diagram fasor adalah seperti gambar berikut
.
c) Kembalikan pasokan daya turbin pada kondisi a. Sekarang naikkan arus eksitasi sehingga Ef meningkat sebesar 20%. Hitung P, Q, Ef, dan δ, pada keadaan baru ini, dan gambarkan diagram fasornya bersama dengan diagram fasor keadaan sebelumnya (soal a).
Tetap gunakan referensi o01∠=V .
8,0==′′ PP (tidak berubah)
84,153,12,12,1 =×=×=′′ ff EE (naik 20%)
o11 8,17184,1
7,08,0sinsin =
××=
′′′′
=δ ′′ −−VE
XP
f
d (menurun 17%)
44%) (meningkat 07,1
7,0
1)8,17cos(
7,0
184,1cos
2o
2
=
−×=−δ ′′′′
=′′dd
f
X
V
X
VEQ
δV
fE ′
IdjX
1Iψ
fEδ′
1I ′
I ′djX
Mesin Sinkron
185
Diagram fasor terlihat di bawah ini.
4.5. Batas Operasi Mesin Sinkron
Menambah daya nyata ada batasnya karena menambah daya nyata berarti memperbesar arus jangkar yang berarti menaikkan temperatur kumparan jangkar. Demikian juga halnya dengan daya reaktif. Meningkatkan Ef , untuk menambah daya reaktif, ada batasnya karena meningkatkan Ef berarti menambah arus eksitasi.
Kita lihat lebih dulu upaya menambah daya reaktif dengan menambah arus eksitasi. Makin tinggi arus eksitasi berarti kenaikan temperatur pada belitan eksitasi. Kenaikan temperatur ini harus dibatasi agar tidak merusak belitan eksitasi dengan menetapkan nilai maksimum arus eksitasi, I fmaks. Arus maksimum ini akan memberikan tegangan terbangkit maksimum, Ef maks. Dengan Ef maks
maka daya per fasa generator adalah:
−δ+δ=
dd
fmaks
d
fmaks
Ef X
V
X
VEj
X
VES
fmaks
2cossin (4.34)
yaitu batas daya yang terkait dengan pembatasan Ef. Jika daya ini
kita plot pada bidang P-Q, maka kurva fmaksEfS akan berbentuk
lingkaran dengan jari-jari
d
maksfE X
VEr
=
dan pusat di
−=′
dX
V 2 ,0O
seperti terrlihat pada Gb.4.11.
δ ′′V
fEIdjX
1I ′′ψ ′′
fE ′′
Mesin Sinkron
186 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Akan tetapi tidak seluruh lingkaran merupakan tempat kedudukan
fmaksEfS karena ada nilai maksimum daya nyata yaitu batas
stabilitas keadaan mantap yang terjadi pada nilai o90atau 1sin =δ=δ . Pada o90=δ P mencapai nilai maksimum
dan Q = 0; keadaan ini ditunjukkan oleh posisi titik p. Pada o0=δ , P = 0 dan Q mencapai nilai maksimum; keadaan ini ditunjukkan oleh posisi titik q. Inilah batas operasi generator sinkron yang terkait dengan pembatasan arus eksitasi.
Sekarang kita lihat upaya menambah daya nyata. Penambahan daya nyata, dengasn menambah pasokan uap misalnya, akan menambah arus jangkar; arus jangkar juga harus dibatasi. Kumparan jangkar mengandung resistansi. Arus yang dikeluarkan oleh generator harus melalui resistansi ini dan menimbulkan panas di kumparan jangkar. Upaya pendinginan harus dilakukan agar panas yang timbul di kumparan jangkar tidak melewati batas yang bisa merusakkan isolasi. Perlu kita ingat bahwa suhu jangkar tidaklah merata, akan tetapi ada bagian-bagian tertentu yang lebih tinggi suhunya dari bagian lain. Suhu di titik terpanas inilah yang harus diperhatikan untuk menetapkan batas suhu dalam operasi. Bagaimanapun usaha pendinginan dilakukan, tetap ada batas teratas nilai arus yang harus
P
Q
dX
V2−
Er
fmaksEfS
O'
p
q
Gb.4.11. Kurva fmaksEfS pada bidang P-Q.
Mesin Sinkron
187
ditetapkan yang tak boleh dilampaui. Batas atas yang ditetapkan untuk arus itu disebut rated current, ratedI .
Selain ditetapkan batas atas nilai arus jangkar, ditetapkan juga batas atas nilai tegangan yang juga tak boleh dilampaui, yang disebut rated voltage, Vff rated. Batas arus dan batas tegangan memberikan batas nilai daya tiga-fasa |S3f rated|.
3 3 ××= ratedfratedffratedf IVS (4.35.a)
Daya keluaran mesin pada waktu operasi haruslah
ratedff SS 33 ≤ atau daya per fasa
3 3 ratedf
fS
S ≤ (4.35.b)
Dari rangkaian ekivalen Gb.4.10, batas daya per fasa adalah
ratedratedratedf
ratedd
ratedratedratedratedf
IVS
X
VS
ψ=
ψ∠== ∗
cos
2
IV (4.36)
Faktor daya juga memiliki nilai batas yang terkait dengan batas tegangan terbangkit yang ditetapkan, Ef maks.
Kurva batas daya per fasa ratedfS juga berbentuk lingkaran dengan
pusat di O(0,0)
jari-jari dratedr XVr /2= .
Gb.4.12. memperlihatkan kurva ratedfS bersama dengan kurva
fmaksEfS .
Mesin Sinkron
188 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Titik potong antara kurva ratedfS dan kurva fmaksEfS , yaitu titik a
pada Gb.4.12, harus berarti bahwa titik tersebut menunjukkan batas daya yang terkait dengan ratedrated IV , , mupun terkait dengan Ef
maks; dan garis Oa membuat sudut faktor daya ψrated dengan sumbu P.
Apabila ψ kita turunkan sampai bernilai nol, maka kurvaratedfS
mencapai titik b, dan 1cos =ψ ; daya reaktif nol. Titik b inilah
menunjukkan nilai maksimum daya nyata yang dapat diberikan oleh mesin dan bukan p karena daya nyata di b lebih rendah dari daya nyata di p.
Apabila ψ kita naikkan sampai 90o maka kurva ratedfS mencapai
titik c, dan 0cos =ψ ; daya nyata nol. Akan tetapi titik c tidak
menjadi batas nilai daya reaktif maksimum, karena ada pembatasan lain yang lebih redah yang ditunjukkan oleh titik q yaitu batas daya reakti oleh adanya pembatasan Efmaks.
Berikut ini kita lihat contoh mencari nilai Ef maks pada kedua kondisi limit tersebut.
P
Q
dX
V2− fmaksEfS
O'
ratedfS
ratedψ
O
ab
c
p
q
Gb.4.12. Kurva fmaksEfS dan ratedfS .
Mesin Sinkron
189
CONTOH-4.5. [1] Sebuah generator memiliki Xd = 1,2 pu. Hitung Ef yang diperlukan, agar faktor daya menjadi (a) maksimum, f.d.=1, (b) minimum, f.d. = 0 (lagging),
Solusi: Kita ambil referensi fasor
o01∠=V pada rangkaian ekivalen di samping ini.
a) Agar faktor daya = 1:
0101 o j+=∠=I
o2,5056,1112,1 ∠=+×=+= jjX df VIE
⇒ 56,1=fE
b) Agar faktor daya = 0:
10901 o j−=−∠=I
o020,21)1(2,1 ∠=+−×=+= jjjX df VIE
⇒ 20,2=fE
Contoh-4.5 menunjukkan bahwa pada faktor daya lagging mulai dari 1 sampai 0, Ef yang diperlukan cukup tinggi. Tingginya Ef berarti tingginya arus eksitasi. Sedangkan makin tinggi arus eksitasi berarti kenaikan temperature belitan eksitasi.yang makin tinggi pula. Kenaikan temperatur ini harus dibatasi agar tidak merusak belitan eksitasi dengan menetapkan nilai maksimum arus eksitasi, I f maks. Arus maksimum ini akan memberikan tegangan terbangkit maksimum, Ef maks. Batas yang ditentukan ini tidaklah perlu sampai mencapai kondisi dimana faktor daya nol (Ef =2,20 pada contoh di atas) karena tak ada manfaatnya membuat generator yang dioperasikan untuk tidak memberikan daya nyata.
Tugas generator adalah mencatu daya ke beban. Beban memiliki impedansi dan faktor dayanya sendiri. Jika generator harus menuruti permintaan beban, maka jika faktor daya beban terlalu rendah,
V
I
+djX
fE ∼ ∼ +
Mesin Sinkron
190 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
generator akan menderita karena harus beroperasi pada faktor daya yang terlalu rendah tersebut. Oleh karena itu harus ada persyaratan faktor daya di beban; persyaratan itu misalnya faktor daya beban paling rendah 0,85 lagging.
Kita amati sekarang bagian kurva ratedfS yang berada di bawah
sumbu P. Bagian kurva ini adalah tempat kedudukan ratedfS
dengan faktor daya leading, Q negatif. Makin negatif daya reaktif, makin kecil arus eksitasi karena batas Emaks kecil, namun makin besar sudut daya δ makin besar. Contoh berikut ini akan memberikan gambaran lebih jelas.
CONTOH-4.6: [1] Pada rangkaian ekivalen contoh-4.5, tentukan Ef agar faktor daya menjadi 0,553.
Solusi:
Pada faktor daya 0,553, o1 4,56)553,0(cos ==ψ −
→ o4,561∠=I
o90664,014,5612,1 ∠=+∠×=+= jjX df VIE
⇒ 664,0=fE o90=δ
Untuk pembebanan dengan faktor daya leading eksitasi yang diperlukan cukup rendah. Namun makin rendah Emaks, sudut δ makin besar dan mencapai 90o pada faktor daya 0,553. Inilah nilai δ yang tak dikehendaki karena generator berada pada titik batas stabilitas mantapnya; sedikit saja terjadi kenaikan δ, generator akan keluar dari perputaran sinkron. Oleh karena itu diperlukan suatu nilai maksimum δmaks untuk membatasi operasi. Penetapan nilai δmaks dapat dilakukan dengan menetapkan daya nyata minimum yang tetap harus masih ada jika terjadi pembebanan kapasitif; misalkan Pminimal = 10% Prated atau 9,0sin =δmaks sehingga
o1 2,649,0sin ==δ −maks . Pada suatu maksδ yang ditetapkan, nilai
P dan Q diberikan melalui relasi (4.14) yaitu
Mesin Sinkron
191
maksd
f
X
VEP δ= sin dan
−δ=
dmaks
d
f
X
V
X
VEQ
2cos (4.37)
Dari daya nyata diperoleh relasi
maksd
f P
X
VE
δ=
sin
jika ini kita pakai untuk menyatakan Q kita peroleh:
dmaksdmaks
maks X
VP
X
VPQ
22
tancos
sin−
δ=
−δ
δ= (4.38)
Persamaan (4.38) membentuk kurva garis lurus di bidang P-Q.
Garis ini memotong sumbu Q di dX
V 2− dan memotong sumbu P di
d
maks
X
V δtan2
. Gb.4.13. menunjukkan posisi garis lurus tersebut,
bersama dengan kurva fratedS dan maksEfS ; garis lurus itu
berpotongan dengan kurva fratedS di titk d.
P
Q
dX
V2−
fmaksEfS
O'
ratedfS
ratedψ
O
ab
c
d
q
p
d
maks
X
V δtan2
Gb.4.13. Batas-batas operasi generator sinkron.
Mesin Sinkron
192 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Dengan demikian maka batas-batas operasi generator sinkron, baik karena pembatasan arus eksitasi maupun pembatasan arus jangkar dan tegangan terminal, adalah kurva qabdO’ pada Gb.4.13. Bagian kurva qa adalah batas operasi karena pembatasan arus eksitasi pada pembebanan induktif, kurva ab adalah batas operasi karena pembatasan arus dan tegangan jangkar pada pembebanan induktif, kurva bd adalah batas operasi karena pembatasan oleh arus jangkar dan tegangan jangkar pada pembebanan kapasitif., garis dO’ adalah batas operasi karena pembatasan δmaks. Di dalam batas-batas kurva inilah generator sinkron boleh beroperasi. Bagian kurva di sebelah kiri sumbu Q tidak diperlukan dan dihapus.
Sesungguhnya batas operasi generator tidak hanya oleh pembatasan di rangkaian eksitasi dan rangkaian jangkar saja, tetapi juga pembatasan di rangkaian magnetik stator. Medan magnet bolak-balik di inti stator menimbulkan rugi-rugi inti seperti halnya pada transformator. Pengaruh ini tidak tergambarkan pada Gb.4.13. Perlu kita sadari pula bahwa kerapatan fluksi magnetik tidaklah merata. Pada gigi-gigi alur jangkar terdapat kerapatan medan magnetik yang tinggi dan di sini bisa terjadi kenaikan temperatur yang tinggi yang sudah pasti akan mempengaruhi kenaikan temperatur di kumparan jangkar. Di ujung-ujung stator arah fluksi magnet tegak lurus dengan laminasi jangkar dan kenaikan temperatur di daerah ini juga tinggi. Pembatasan di rangkaian magnetic sudah barang tentu akan memodifikasi bentuk kurva yang telah tergambarkan di Gb.4.13. Untuk sementara perihal rangkaian magnetik ini tidak kita bahas.
4.6. Transien Pada Mesin Sinkron
Peristiwa transien terjadi jika ada pembebanan tiba-tiba pada mesin sinkron. Salah satu contoh yang akan kita uraikan di sini adalah terjadinya hubung singkat tiga-fasa pada terminal generator; hubung singkat tiga-fasa merupakan pembebanan seimbang. Oleh karena itu kita dapat menyatakan rangkaian ekivalen model satu-fasa untuk situasi ini, seperti terlihat pada Gb.4.14.
hsIda jXR +
fE ∼ +
Gb.4.14. Rangkaian ekivalen model satu-fasa, gangguan hubung singkat tiga-fasa.
Mesin Sinkron
193
Peristiwa transien di sini adalah peristiwa transien pada rangkaian orde-2, seperti yang kita pelajari pada Analisis Rangkaian Listrik. Sinyal masukan adalah sinyal sinus. Hasil analisis di kawasan waktu akan memberikan arus hubung singkat yang berbentuk
)1)(sin(ˆ)( / τ−+α−ω= thshs etiti (4.39.a)
α ditentukan oleh saat terjadinya hubung singkat atau masuknya saklar pada rangkaian Gb.4.14. Sudah barang tentu nilainya sangat tidak menentu dan α ini membuat alur variasi arus hubung singkat tidak simetris terhadap sumbu waktu, seperti terlihat pada Gb.4.15.
Gb.4.15. Arus hubung singkat tak simetris terhadap sumbu waktu.
hsi
t
Gb.4.16. Arus hubung singkat simetris terhadap sumbu waktu.
hsi
hsi
t
Mesin Sinkron
194 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Untuk keperluan analisis sistem tenaga, α dianggap nol dan persamaan arus transien yang diperhitungkan berbentuk
)1)(sin(ˆ)( / τ−+ω= thshs etiti (4.39.b)
Kurva arus hubung singkat akan simetris terhadap sumbu waktu seperti terlihat pada Gb.4.16, dan disebut arus hubung singkat simetris.
Penurunan nilai arus hubung singkat ditentukan oleh konstanta waktu τ, yang besarnya tergantung dari proporsi Ra dan Xd. Namun bentuk gelombang arus ini hampir sinusoidal dan kita dapat mendekati nilai arus efektifnya dengan membagi nilai puncak
dengan 2 . Nilai efektif ini dapat kita plot sebagai nilai efektif yang merupakan fungsi waktu seperti terlihat pada Gb.4.17.
Kurva 2/)(ˆ)( titI hshs = dapat didekati dengan suatu nilai
konstan dalam selang-selang waktu tertentu.
Gb.4.17. Kurva arus hubung singkat efektif.
Itt ′′≤≤ :0 1 disebut arus hubung singkat subtransien
Ittt ′≤≤ :21 disebut arus hubung singkat transien
Itt :2≥ disebut arus hubung singkat mantap.
Analisis sistem tenaga dilakukan di kawasan fasor, bukan di kawasan waktu. Oleh karena itu pernyataan arus hubung singkat harus dilakukan dalam bentuk
d
f
da
fhs X
E
jXR
EI ≈
+= (4.40)
Perubahan Ihs terhadap waktu, di kawasan fasor dapat dinyatakan dengan memilih salah satu apakah tegangan sumber Ef konstan dan
2
)(ˆ)(
titI hs
hs =
t
pendekatan
I ′′
I ′I
1t 2t0
Mesin Sinkron
195
Xd yang berubah terhadap waktu, atau Xd konstan dan Ef yang berubah terhadap waktu. Kita memilih Ef tetap dan Xd berubah terhadap waktu. Dengan demikian maka dalam selang
I
EXtt
fd ′′
=′′≤≤ :0 1 disebut reaktansi subtransien
I
EXttt
fd ′
=′≤≤ :21 disebut reaktansi transien
I
EXtt
fd =≥ :2 disebut reaktansi mantap.
Impedansi urutan positif menjadi
da XjRZ ′′+=′′1 ;
da XjRZ ′+=′1 ;
da jXRZ +=1
Nilai-nilai dX ′′ dan dX ′ diberikan oleh pembuat generator. Mana yang akan kita gunakan tergantung dari persoalan yang kita hadapi. Untuk menghitung arus hubung singkat misalnya, kita akan memilih menggunakan reaktansi subtransien, dX ′′ .
4.7. Mesin Sinkron Kutub Menonjol
Rangkaian ekivalen satu-fasa mesin sinkron rotor silindris kita gambarkan sekali lagi pada Gb.4.18. Xd adalah direct axis reactance yang memberikan beda tegangan sebesar IXd antara tegangan terbangkit dan tegangan terminal generator; arus I adalah arus jangkar yang menimbulkan medan magnet berputar yang melawan medan magnet rotor. Medan magnet lawan dari stator ini berbeda fasa secara mekanis dengan magnet rotor. Hal demikian tidak menjadi masalah pada mesin sinkron rotor silindris karena lebar celah udara antara rotor dan stator sama di
V
I
+djX
fE ∼ ∼ +
Gb.4.18. Rangkaian ekivalen model satu-fasa generator sinkron rotor silindris.
Mesin Sinkron
196 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
seluruh keliling rotor. Tidak demikian halnya dengan mesin kutub menonjol; celah udara di depan sepatu kutub lebih sempit disbanding dengan celah udara yang terletak di antara dua sepatu kutub. Lihat Gb.4.19.
Rotor silindris Kutub menonjol
Gb.4.19. Mesin rotor silindris dan kutub menonjol.
Sumbu fluksi magnet rotor adalah sumbu d (direct axis); sumbu yang tegak lurus pada d dan tertinggal 90o adalah sumbu q (quadrature axis). Fluksi lawan jangkar dapat dianggap terdiri dari dua komponen yaitu komponen sejajar sumbu d dan komponen sejajar sumbu q. Masing-masing komponen ini dinyatakan dengan tegangan jatuh ekivalen pada jangkar sebesar qqdd XIXI dan ,
dengan Id dan Iq adalah direct axis current dan quadrature axis current, sedangkan Xd dan Xq adalah direct axis reactance dan quadrature axis reactance. Jika tegangan terbangkit di kumparan fasa adalah fE dan tegangan di terminal generator adalah V maka
dengan mengabaikan resistansi belitan jangkar,
VIIE ++= qqddf XjXj (4.41)
Gb.4.19 menggambarkan mesin sinkron dua kutub, sehingga sudut mekanis θ sama dengan sudut listrik. Pada umumnya generator dibangun dengan lebih dari dua kutub; oleh karena itu kita gunakan sudut listrik δ yang memiliki relasi tertentu dengan sudut mekanis.
Jika V kita ambil sebagai referensi dengan sudut fasa nol, maka
dqa
a1
U
S
sumbu fluksi lawan jangkar
sumbu fluksi rotor
θ
d
qa
a1
U
S
sumbu fluksi lawan jangkar
sumbu fluksi rotor
θ
Mesin Sinkron
197
δ∠=−δ∠=δ∠=ψ−∠=∠= qqddff IIEIV IIEIV ,90 , , ,0 oo
Untuk jelasnya kita gambarkan diagram fasor seperti pada Gb.4.20. Perhatikan bahwa beda fasa antara tegangan terbangkit dan tegangan terminal adalah δ; tegangan jatuh direct axis sefasa dengan tegangan terbangkit; tegangan jatuh quadrature axis berbeda fasa 90o dengan tegangan terbangkit.
Kita perhatikan pula bahwa pada tegangan terminal yang ditetapkan (dalam operasi), sudut δ tergantung dari daya beban dan faktor daya beban (tergantung dari I dan ψ dalam diagram fasor). Nilai Xd dan Xq dapat diberikan oleh pembuat generator, maka menjadi pertanyaan berpakah daya maksimum yang dapat diberikan oleh generator.
Daya per fasa adalah
( )( )( )( )( )
ff
qddq
dq
dq
dq
dq
dqf
jQP
IIjVIIV
jIjIV
jjIjIV
jIIV
S
+=
δ−δ+δ+δ=
δ+δ+δ−δ=
δ−δ+δ−δ=
δ−∠+=
δ−∠+δ−∠=
−δ∠+δ∠==∗∗
)sincos()sincos(
)sincos()sin(cos
)sin(cos)sin(cos
90
)90((
o
o
IIV
IIVIV
(4.42)
Gb.4.20. Diagram fasor mesin kutub menonjol.
V
I
ψ
fE
δdd Xj I
qI
dI
qq Xj IqXjI
)( qdd XXI −
qqXI
Mesin Sinkron
198 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Dari Gb.4.20 kita peroleh
d
fd
ddf
X
VI
V
XI
X
VEI
V
XIE
δ=→=δ
δ−=→
−=δ
sinsin
coscos
(4.43)
sehingga kita peroleh daya nyata
( ) δ−+δ=
δδ
−+δ=
δδ−δ+δδ=
δ
δ−+δδ=
δ+δ=
2sin2
sin
cossinsin
cossinsincossin
sincos
cossin
)sincos(
2
22
22
qdqdd
f
dqd
f
dd
f
q
d
f
q
dqf
XXXX
V
X
VE
X
V
X
V
X
VE
X
V
X
VE
X
V
X
VE
X
VV
IIVP
(4.44)
Jika kita bandingkan persamaan (4.44) ini dengan peramaan (4.33) untuk mesin rotor silindris, yaitu
δ= sind
ff X
VEP
terlihat bahwa daya maksimum mesin kutub menonjol lebih tinggi dan terjadi pada sudut δ yang lebih rendah. Lagipula pada Ef = 0 (kehilangan eksitasi) mesin kutub menonjol masih bisa memberikan daya. Persamaan (4.44) akan menjadi (4.33) bila Xd = Xq.
Untuk daya reaktif mesin kutub menonjol, (4.42) memberikan
Mesin Sinkron
199
qd
qd
qd
qd
d
f
qdqdd
f
qdd
f
qdd
f
qd
fqdf
XX
XXV
XX
XXV
X
VE
X
V
X
V
XX
V
X
VE
X
V
X
V
X
VE
X
V
X
V
X
VE
X
V
X
VEVIIVQ
)(2cos
2
)(cos
cossin11
2
2coscos
cos2
2cossin
2
2coscos
sincoscos
sinsin
coscos
)sincos(
22
22222
22
22
2222
+−δ
−+δ=
δ−δ−
+−δ+δ=
δ−δ+
δ+δ−δ=
δ−δ−δ=
δδ−δ
δ−=δ−δ=
(4.45)
Jika kita bandingkan relasi ini dengan relasi daya reaktif untuk mesin sinkron rotor silindris yang diberikan oleh persamaan (4.33) yaitu:
−δ=
dd
ff X
V
X
VEQ
2cos
terlihat bahwa (4.33) dapat diperoleh dari (4.45) jika Xd = Xq.
Mesin Sinkron
200 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Analisis Aliran Daya
201
BAB 5 Analisis Aliran Daya
Dalam analisis rangkaian listrik pada umumnya, suatu sumber dinyatakan sebagai sumber tegangan ideal atau sumber arus ideal, dan beban dinyatakan sebagai impedansi. Sumber tegangan ideal memberikan daya ke rangkaian pada tegangan tertentu, berapapun besar arus yang dibutuhkan oleh rangkaian; sumber arus ideal memberikan daya pada rangkaian pada arus tertentu, berapapun tegangan yang diperlukan oleh rangkaian. Oleh karena itu apabila rangkaian merupakan rangkaian linier, terdapat hubungan linier antara tegangan, arus dan impedansi; dan dalam analisis, misalnya dengan menggunakan metoda tegangan simpul, kita memperoleh persamaan linier.
Dalam sistem tenaga, kita melihat situasi yang berbeda. Sumber, merupakan sumber daya yang hanya boleh beroperasi pada batas daya dan tegangan tertentu. Sementara itu beban dinyatakan sebagai besar daya yang diminta/diperlukan, pada tegangan yang juga ditentukan. Suatu permintaan daya hanya dapat dilayani selama pembebanan tidak melampaui batas daya yang mampu disediakan oleh sumber. Kita mengetahui bahwa walaupun rangkaian tetap rangkaian linier, relasi daya antara sumber dan beban tidaklah linier. Oleh karena itu jika kita menurunkan persamaan rangkaian, dengan daya sebagai parameter, persamaan rangkaian yang kita peroleh merupakan persamaan nonlinier. Dalam memecahkan persamaan nonlinier ini kita memerlukan cara khusus.
5.1. Analisis Aliran Daya
Dalam analisis aliran daya, kita mengambil ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a). Sistem dalam keadaan seimbang; dengan demikian kita dapat melakukan perhitungan dengan menggunakan model satu-fasa.
b). Semua besaran dinyatakan dalam per-unit; dengan demikian berbagai tingkat tegangan dalam sistem sebagai akibat digunakannya transformator, tidaklah menjadi persoalan.
Analisis Aliran Daya
202 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Bus-bus dalam rangkaian sistem tenaga merupakan simpul-simpul rangkaian yang biasa kita kenal dalam analisis rangkaian listrik. Bus-bus ini dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis:
i) Bus-generator (generator bus), adalah bus dimana generator dihubungkan melalui transformator. Daya yang masuk dari generator ke bus-generator ke-i (bus nomer i) adalah
GiGiGi jQPS += (5.1)
Dari bus ke-i ini mengalir daya ke dua jurusan; yang pertama adalah aliran daya langsung ke beban yang terhubung ke bus ini dan yang kedua adalah aliran daya menuju saluran transmisi. Daya yang langsung menuju beban adalah
BiBiBi jQPS += (5.2)
dan daya yang menuju saluran transmisi menjadi
BiGiiii SSjQPS −=+= (5.3)
ii) Bus yang tidak terhubung ke generator tetapi terhubung hanya ke beban disebut bus-beban (load bus). Dari bus-beban ke-j (nomor bus j) mengalir daya menuju ke beban sebesar SBj atau kita katakan daya mengalir menuju saluran transmisi sebesar
Bjj SS −= (5.4)
iii) Jika kita hanya memperhatikan daya sumber dan daya beban, teorema Tellegen tidak akan terpenuhi karena masih ada daya keluar dari rangkaian yang tidak diketahui yaitu daya yang diserap oleh saluran dan transformator. Oleh karena itu, untuk keperluan analisis, jika tegangan semua bus-beban diketahui, baik melalui dugaan maupun ditetapkan, tegangan bus-generator juga harus dapat ditetapkan kecuali satu di antaranya yang dibiarkan mengambang; bus mengambang ini disebut slack bus. Slack bus seolah berfungsi sebagai simpul sumber tegangan bebas dalam analisis rangkaian listrik yang biasa kita kenal. Dengan cara ini maka teorema Tellegen akan bisa dipenuhi.
Analisis Aliran Daya
203
5.2. Persamaan Arus-Tegangan
Karena relasi linier hanya ada pada tegangan dan arus, tidak pada daya, maka persamaan aliran daya harus diturunkan melalui persamaan arus dan tegangan terlebih dulu. Selain itu, karena kita menggunakan sistem per-unit, impedansi transformator dapat disatukan dengan impedansi generator sehingga transformator tak digambarkan lagi dalam diagram satu garis untuk analisis ini.
Sistem Dengan Dua Bus. Kita tinjau bus-1 (bus-generator nomer-1) yang terhubung melalui saluran transmisi ke bus-2 (bus-generator nomer-2). Diagram satu garis dan model satu-fasa terlihat pada Gb.5.1.
Gb.5.1. Model satu-fasa. Diagram dan rangkaian ekivalen.
ππekivalen rangkaian pada ansmisisaluran tr paralel admitansi :
ekivalen rangkaian dalam busantar seri impedansi :
2.-busdan 1-bus dari (langsung)beban arus : ,
2-busdan 1-bus dari ansmisisaluran tr ke arus : ,
netral-fasa tegangan : ,
generator fasaper daya : ,
12
21
21
11
21
p
BB
GG
y
z
SS
II
II
VV
Arus yang keluar dari bus-1 ke saluran transmisi adalah
212112211211 )()( VVVVVI yyyyy pp −+=−+= (5.5.a)
dengan 1212 /1 zy = adalah admitansi transfer antara bus-1 dan bus-2.
diagram rangkaian
rangkaian ekivalen
1GS 2GS2BS
1I 2I
py py
sz
1-bus 2-bus
1BS
1GS 2GS1V 2V1I 2I
1BI 2BI
∼ ∼
1-bus 2-bus
saluran transmisi
Analisis Aliran Daya
204 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Admitansi total yang dilihat oleh bus-1 didefinisikan sebagai
1211 yyY p += (5.5.c)
Dengan pengertian ini maka relasi (5.5.a) dapat ditulis
2121111 VVI yY −= (5.6.a)
Dengan pengertian yang sama, kita peroleh relasi untuk bus-2 sebagai
1122222 VVI yY −= (5.6.b)
Dengan demikian kita memperoleh persamaan untuk sistem dengan dua bus (dengan mengubah urutan penulisan pada (5.6.b))
1221122
2121111
VVI
VVI
yY
yY
+−=−=
(5.7)
Sistem Dengan Tiga Bus. Untuk sistem dengan tiga bus, relasi (5.7) dikembangkan menjadi
333232123
3231221122
3132121111
VVVI
VVVI
VVVI
Yyy
yYy
yyY
+−−=
−+−=
−−=
(5.8.a)
Secara formal, penulisan persamaan (5.8.a) adalah
333232123
3231221122
3132121111
VVVI
VVVI
VVVI
YYY
YYY
YYY
++=
++=
++=
(5.8.b)
dengan ijij yY −= . Persamaan (5.8.b) dapat kita tuliskan dalam
bentuk matriks sebagai
=
3
2
1
332313
232212
131211
3
2
1
V
V
V
I
I
I
YYY
YYY
YYY
(5.9)
Sistem Dengan n Bus. Persamaan untuk sistem dengan tiga bus (5.9) dikembangkan untuk sistem dengan n bus menjadi
Analisis Aliran Daya
205
=
nnnnnn
n
n
n
n YYYY
YYYY
YYYY
YYYY
V
V
V
V
I
I
I
I
.
.
.....
.
.
.
.3
2
1
321
3332313
2232212
1131211
3
2
1
(5.10.a)
Persamaan (5.10.a) ini dapat kita tulis dengan ringkas:
busbusbus Y VI~
][~ = (5.10.b)
5.3. Persamaan Aliran Daya
Untuk menurunkan persamaan aliran daya kita perhatikan arus yang mengalir ke saluran transmisi (tidak termasuk arus ke beban langsung). Untuk bus ke-i dalam sistim dengan n bus, kita dapatkan
∑=
=n
jjiji Y
1
VI (5.11)
jjjijijij VYYnij ψ∠=θ∠== V ; ;... ,... 2, ,1
Dengan (5.11) ini kita dapat menghitung daya dari bus-i yang menuju saluran transmisi, yaitu
( ) ii
n
jjjijijii
n
jjijiiii
jQPVYV
YS
+=ψ−∠θ−∠ψ∠=
==
∑
∑
=
=
∗∗
)(
1
1
VVIV
(5.12)
ψ−θ−ψ=
ψ−θ−ψ=
∑
∑
=
=
n
jjijijijii
n
jjijijijii
VYVQ
VYVP
1
1
)sin(
dan )cos(
(5.13)
Analisis Aliran Daya
206 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Perhatikan bahwa Si adalah daya yang mengalir ke saluran transmisi. Hubungan dengan daya generator bisa diperoleh melalui relasi (5.3) yaitu
BiGiiii SSjQPS −=+=
sehingga
θ−ψ−ψ=−
θ−ψ−ψ=−
∑
∑
=
=
n
jijjiijjiBiGi
n
jijjiijjiBiGi
YVVQQ
YVVPP
1
1
)sin(
dan )cos(
(5.14)
Persamaan (5.14) adalah dua persamaan yang kita peroleh untuk setiap bus-i. Dalam persamaan ini terdapat enam besaran peubah yang terkait dengan bus yang bersangkutan, yaitu
iiBiBiGiGi VQPQP ψdan , , , , , (5.15)
Besaran yang lain adalah peubah di luar bus-i.
Jika bus-i adalah bus-generator, maka sebagian besaran yang terdapat pada persamaan (5.14) merupakan besaran yang diketahui atau ditentukan:
- PBi dan QBi adalah daya beban yang diketahui.
- PGi merupakan besaran yang diketahui karena daya nyata ini bisa ditentukan dengan mengatur masukan uap di turbin misalnya.
- Vi juga tertentu besarnya karena bisa di atur melalui arus eksitasi.
- QGi walaupun tidak diketahui namun, akan tertentu besarnya jika tegangan dan sudut fasa di bus yang lain diketahui.
- dengan demikian hanya tinggal satu peubah yang harus dihitung yaitu ψi.
Jika bus-i adalah bus-beban, tak ada generator terhubung ke sini; PGi dan QGi bernilai nol, dan BiiBii QQPP −=−= dan keduanya
diketahui (tanda minus pda PBi dan QBi diberikan karena daya
Analisis Aliran Daya
207
dianggap mengalir ke saluran). Dengan demikian untuk bus-beban hanya ada dua besaran peubah yang harus dihitung yaitu Vi dan ψi.
Jadi di setiap bus pada dasarnya hanya ada dua atau satu peubah yang harus dicari, yaitu Vi dan ψi di bus-beban dan ψi saja di bus-generator. Dalam satu jaringan transmisi yang terdiri dari total n bus, dengan nG bus-generator dan satu slack-bus, terdapat besaran yang harus dihitung sebanyak
Gnn −−= )1(2dihitung harusbesaran (5.16)
Kebanyakan bus dalam sistem tenaga adalah bus-beban; hanya sebagian kecil dari total jumlah bus merupakan bus-generator.
5.4. Proses Pencarian Solusi
Solusi suatu persamaan aliran daya adalah mencari profil tegangan di semua bus dalam suatu sistem tenaga. Karena persamaan daya merupakan persamaan non-linier, maka solusi dilakukan dengan cara iterasi. Proses pencarian solusi adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan data teknis dari jaringan, tentukan elemen-elemen dari matriks [Ybus].
2. Pada bus-beban tentukan PB dan QB. 3. Pada bus-generator tentukan nilai tegangan bus V dan PG.
4. Buat slack-bus (bus nomer-1) bertegangan o1 01∠=V .
5. Asumsikan profil tegangan dan sudut fasanya, V dan ψ, bus yang lain.
6. Masukkan data [Ybus] dan profil tegangan yang diasumsikan ke persamaan (5.14) untuk mencari Pi dan Qi. Setiap kali iterasi dilakukan, bandingkan hasil perhitungannya dengan besaran yang ditetapkan sesuai langkah-2 dan langkah-3 atau hasil perhitungan sebelumnya.
7. Selisih yang diperoleh pada langkah-6, digunakan sebagai dasar untuk melakukan koreksi pada langkah iterasi berikutnya sedemikian rupa sehingga selisih tersebut menjadi semakin kecil.
8. Ulangi langkah-langkah iterasi sampai selisih yang didapat mencapai nilai kecil yang dapat diterima. Profil tegangan pada situasi terakhir ini menjadi solusi yang dicari.
Analisis Aliran Daya
208 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
5.4. Metoda Newton-Raphson
5.4.1. Formula Iterasi – Persamaan Rekursi
Dalam buku Vincent del Toro, [2], formula iterasi diturunkan melalui penguraian fungsi nonlinier menjadi deret Taylor dan mengabaikan suku-suku dengan orde tinggi. Di sini kita akan menurunkannya melalui pengamatan grafis.
Persamaan dengan Peubah Tunggal. Kita misalkan sebuah persamaan nonlinier dengan peubah tunggal
0)( =xp (5.17)
dan kita akan mencari solusinya dengan cara iterasi. Ruas kiri persamaan ini dapat kita pandang sebagai sebuah fungsi, dan kita misalkan fungsi ini adalah kontinyu dalam domain yang ditinjau.
Kita dapat menggambarkan kurva fungsi ini di bidang px; nilai x sebagai solusi adalah titik potong kurva dengan sumbu-x, yaitu
solx , seperti terlihat pada Gb.5.2 di bawah ini. Indeks atas digunakan untuk menunjukkan langkah iterasi; misalnya x0 adalah iterasai ke-0 yaitu dugaan awal, x1 adalah iterasi ke-1, dan seterusnya.
Gb.5.2. Proses iterasi untuk persamaan 0)( =xp .
Kita tentukan dugaan awal solusi persamaan, yaitu x0. Jika kita masukkan solusi dugaan ini ke dalam persamaannya, kita
memperoleh )( 0xp . Antara )( 0xp ini dengan nilai yang
p
x
solx
0
dx
dp
0x∆1x∆
)(xp
)( 0xp
0x1x2x
)( 1xp
)( 2xp
Analisis Aliran Daya
209
ditentukan pada persamaan (5.17) yaitu 0, terdapat selisih sebesar
)(0)( 00 xpxp −=∆ ; perhatikan bahwa selisih ini bernilai negatif.
Oleh karena itu kita melakukan dugaan solusi baru yaitu x1 yang mendekati xsol; dugaan baru ini kita masukkan ke persamaan, dan
akan memberikan )( 1xp . Jika )( 1xp belum juga bernilai nol
sebagaimana diminta, kita coba lagi nilai x2, dan demikian seterusnya sampai kita memperoleh suatu nilai x yang memberikan
0)( =xp atau sangat dekat dengan 0.
Menetukan x1 secara efektif dilakukan sebagai berikut. Setelah
dugaan solusi x0 memberikan p(x0), kita buat garis singgung pada
kurva di titik p(x0) yaitu 0
/ dxdp ; garis singgung ini akan
memotong sumbu-x di x1 yang berposisi tergeser sebesar 0x∆ dari
posisi x0. Karena 000/)(/ xxpdxdp ∆= maka
0
00
)/(
)(
dxdp
xpx
∆=∆
dan karena )( 0xp∆ bernilai negatif maka kita dapat menentukan x1
yaitu
0
00001
)/(
)(
dxdy
xpxxxx
∆+=∆+=
x1 akan memberikan )( 1xp yang memungkinkan kita menghitung 111 )/(/)( dxdpxpx ∆=∆ yang akan memberikan x2; dan demikian
seterusnya sampai kita mendapatkan nx∆ yang akan memberikan
0)( ≈nxp .
Secara umum formulasi dari proses iterasi ini dapat kita turunkan sebagai berikut:
Jika xk adalah nilai x untuk iterasi ke-k maka
1
11
)/(
)(−
−− ∆+=
k
kkk
dxdp
xpxx (5.18)
Persamaan (5.18) inilah persamaan rekursi atau formula iterasi.
Analisis Aliran Daya
210 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Uraian di atas adalah untuk persamaan (5.17) dimana ruas kanan bernilai nol. Kita tinjau sekarang persamaan dengan ruas kanan tidak bernilai nol, yang kita tuliskan sebagai
Pxp =)( (5.19)
dengan P adalah tetapan. Ruas kiri (5.19) kita pandang sebagai fungsi x dengan kurva seperti pada Gb.5.2; akan tetapi solusi xsol
yang dicari adalah nilai x pada titik potong antara p(x) dengan garis P sejajar sumbu-x . Situasi ini digambarkan pada Gb.5.3.
Gb.5.3. Proses iterasi untuk persamaan Pxp =)( .
Untuk persamaan (5.19) ini 0x∆ adalah
)/(
0
00
dxdp
pPx x∆+=∆ (5.20)
Kita coba untuk memahami persamaan terakhir ini.
)( 00 xpPpx −=∆ adalah perbedaan antara nilai fungsi yang
seharusnya, yaitu P, dengan nilai fungsi jika dugaan awal peubah x0 kita terapkan; perbedaan ini bernilai negatif. Perbedaan ini harus dikoreksi dengan mengoreksi dugaan awal sebesar ∆x0
sehingga nilai peubah berubah dari x0 menjadi 001 xxx ∆+= ; koreksi inilah koreksi terhadap dugaan awal. Setelah koreksi awal ini, perbedaan nilai fungsi terhadap nilai seharusnya adalah
)( 11 xpPp −=∆ yang lebih kecil dari 0p∆ yang berarti nilai
fungsi mendekati P. Koreksi peubah kita lakukan lagi untuk lebih mendekat lagi ke P; langkah koreksi ini merupakan iterasi pertama. Pada iterasi pertama ini kita akan memperoleh
p
x0x
)( 0xp
solx
0/ dxdp
1x0x∆
2x1x∆
P
)(xp
)()( 10 xpxp −
)( 1xp
Analisis Aliran Daya
211
perbedaan )( 22 xpPpx −=∆ yang mungkin masih harus di koreksi
lagi pada itersi ke-dua. Demikian seterusnya sampai kita peroleh
0))(( ≈− nxpP . Dalam perjalanan menuju P tersebut alur yang
kita lewati adalah kurva p(x). Secara umum, pada iterasi ke-k kita akan mempunyai persamaan yang memberikan perbedaan nilai fungsi dengan nilai seharusnya, yaitu
kkk xdxdpp ∆=∆ )/( (5.21)
Dengan pemahaman ini kita lanjutkan pengamatan pada persamaan dengan dua peubah.
Persamaan Dengan Dua Peubah. Sepasang persamaan dengan dua peubah kita tuliskan sebagai
Qyxq
Pyxp
==
),(
),( (5.22)
dengan P dan Q adalah tetapan. Kita harus melakukan iterasi untuk dua peubah x dan y. Dugaan solusi awal memberikan persamaan yang merupakan pengembangan dari (15.21) yaitu
0000000
0000000
)/()/(),(
)/()/(),(
yyqxxqyxqPq
yypxxpyxpPp
∆∂∂+∆∂∂=−=∆
∆∂∂+∆∂∂=−=∆ (5.23)
yang dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks
00
000
//
//
∆∆
=
∆∆
∂∂∂∂∂∂∂∂
=
∆∆
y
xJ
y
x
ypxp
ypxp
q
p (5.24)
Matriks 2×2 turunan parsial terhadap x dan y disebut jacobian dan dinyatakan dengan J. Apabila ∆p0 dan ∆q0 tidak bernilai nol maka
( ) 001
0
∆∆
=
∆∆ −
q
pJ
y
x (5.25)
Inilah persamaan untuk menentukan besar koreksi. Dengan (5.25) ini dapat dihitung ∆x0 dan ∆y0 sehingga dapat diperoleh x1 dan y1 untuk iterasi selanjutnya.
Analisis Aliran Daya
212 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
01
∆+∆+
=
yy
xx
y
x (5.26)
Pada langkah ke-k kita mempunyai identitas dan persamaan-persamaan sebagai berikut:
( ) kk
kkk
kk
kkk
q
pJ
y
x
yp
xpJ
y
xJ
q
p
ypP
xpP
q
p
∆∆
=
∆∆
∂∂∂∂
=
∆∆
=
∆∆
−−
≡
∆∆
−1 4). ;/
/ ).3
;2). ;)(
)( ).1
(5.27)
Persamaan pertama (5.27) yang berupa identitas akan menentukan perlu tidaknya dilakukan koreksi (iterasi) lagi terhadap hasil perhitungan sebelumnya; oleh karena itu persamaan ini disebut corrective force. Identitas ini menjadi ruas kiri persamaan ke-dua, yang terkait dengan koreksi peubah yang harus dilakukan melalui jacobian Jk yang nilainya diberikan oleh persamaan ke-tiga. Besar koreksi yang harus dilakukan diberikan oleh persamaan ke-empat. Setelah koreksi dilakukan, kita kembali pada persamaan pertama untuk melihat perlu tidaknya iterasi dilanjutkan lagi.
5.4.2. Aplikasi Pada Analisis Aliran Daya
Berapa banyak peubah yang harus ditentukan dalam satu jaringan transmisi diberikaan oleh (5.16). Namun dalam menuliskan persamaan aliran daya, kita memperlakukan semua bus sebagai bus-beban, agar penulisan lebih terstruktur; ini berarti bahwa semua bus megandung dua peubah yaitu tegangan dan sudut fasanya, walupun ada peubah yang sudah ditetapkan di beberapa bus-generator.
Karena slack-bus ditetapkan sebagai bus nomer-1, dengan
tegangan pu 01 o∠ , maka kita bekerja mulai dari bus-2, dan nilai
peubah yang harus dicari agar persamaan aliran daya terpenuhi adalah tegangan serta sudut fasa di setiap bus yaitu (V2 , V3, Vi ,..., Vn) dan (ψ2, ψ3, …., ψi, … ψn). Pengembangan dari (5.28) untuk jaringan transmisi dengan n bus adalah sebagai berikut:
Analisis Aliran Daya
213
k
nkknn
nkk
nkknn
nkk
nkk
n
nk
VqQ
VqQ
VpP
VpP
VpP
q
q
p
p
p
ψ−
ψ−ψ−
ψ−ψ−
≡
∆
∆∆
∆∆
=∆
),.......,(
),.......,(
),.......,(
),.......,(
),.......,(
~ .)1
2
222
2
233
222
2
3
2
M
M
M
M
u (5.28.a)
kkk xJu ∆=∆~ ).2 (5.28.b)
k
n
n
n
nnn
nn
n
nn
n
nnn
nn
nn
k
V
q
V
q
V
q
V
q
V
q
V
q
pp
V
p
V
p
V
p
pp
V
p
V
p
V
p
pp
V
p
V
p
V
p
ψ∂∂
ψ∂∂
∂∂
∂∂
∂∂
ψ∂∂
ψ∂∂
∂∂
∂∂
∂∂
ψ∂∂
ψ∂∂
∂∂
∂∂
∂∂
ψ∂∂
ψ∂∂
∂∂
∂∂
∂∂
ψ∂∂
ψ∂∂
∂∂
∂∂
∂∂
=
2
232
2
2
22
3
2
2
2
232
3
2
33
3
3
2
3
2
2
22
3
2
2
2
).3
LL
M
LL
LL
M
LL
LL
J (5.28.c)
( ) kk
k
n
nk V
V
V
uJx ~~ ).4 1
2
3
2
∆=
ψ∆
ψ∆∆
∆∆
≡∆ −
M
M
(5.28.d)
Kiranya perlu kita fahami arti dari persamaan-persamaan (5.28) sebelum kita melangkah lebih lanjut.
ku~∆ adalah vektor yang berisi perbedaan nilai daya di setiap bus terhadap nilai daya yang ditetapkan untuk setiap bus yang
Analisis Aliran Daya
214 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
bersangkutan pada iterasi ke-k, baik daya nyata maupun daya reaktif.
kx~∆ adalah vektor yang berisi koreksi peubah di setiap bus, yaitu tegangan dan sudut fasanya, yang diperoleh pada iterasi ke-k untuk melakukan iterasi selanjutnya. Pada waktu
menetapkan dugaan awal misalnya, diperoleh 0~x∆ untuk melakukan koreksi pada iterasi ke-1; pada itersai ke-1
diperoleh 1~x∆ untuk melakukan koreksi pada iterasi ke-2; dan seterusnya.
Matriks jacobian adalah matriks yang berisi laju perubahan daya, baik daya nyata maupun reaktif, terhadap perubahan tegangan maupun sudut fasa di setiap bus. Perhatikan bahwa daya merupakan fungsi semua peubah di setiap bus. Oleh karena itu perbedaan nilai daya di setiap bus dengan daya yang ditetapkan pada bus yang bersangkutan pada iterasi ke-k, merupakan hasil kali matriks jacobian pada iterasi ke-k dengan vektor koreksi tegangan maupun sudut fasa pada iterasi ke-k. Jika matriks jacobian tidak bernilai nol, yang berarti bahwa dalam peninjauan secara grafis (pada persamaan dengan peubah tunggal misalnya), garis singgung pada kurva tidak sejajar dengan sumbu-x, besaran koreksi dapat dihitung dengan
relasi (5.28.d), ( ) kkk uJx ~~ 1 ∆=∆ − . Inversi matriks jacobian
dalam relasi ini, akan kita fahami dengan meninjau sistem dengan dua bus seperti dalam contoh berikut.
5.4.3. CONTOH Sistem Dua Bus
Untuk melihat aplikasi dalam perhitungan kita akan melihat sistem dua bus seperti pada gambar berikut. Contoh ini diambil dari buku referensi [3], sedangkan perhitungan-perhitungan dilakukan secara manual dengan menggunakan “excel”. Cara ini akan membuat kita memahami langkah demi langkah proses perhitungan; hasil perhitungan yang kita lakukan ini sedikit berbeda dengan apa yang tercantum dalam buku referensi. Diagram rangkaian untuk contoh ini terlihat pada halaman berikut, dimana saluran transmisi digambarkan sebagai rangkaian ekivale π.
Analisis Aliran Daya
215
Bus-1 adalah bus-generator tanpa beban langsung. Bus-2 adalah bus-beban.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan data jaringan; kemudian data jaringan ini kita nyatakan dalam per unit dengan memilih suatu nilai basis tertentu. Data jaringan adalah:
S 75,650,011865
011495,0002942,0
S 1027,0
S 011765,0002941,0
96,75012127,096,754621,82/1
96,754621,828020
o
122211
3
oo12
o12
−∠=
−=+==
×=
−=−∠=∠=
Ω∠=+=
−
jyyyy
jy
j
y
jz
p
p
Besaran-besaran dinyatakan dalam per-unit setelah ditetapkan nilai basis.
S 001890,0529/1 ; 529230/100
kV 230 ;MVA 1002 ==Ω==⇒
==
basisbasis
basisbasis
YZ
VS
o22112211
o2112
2112
122112
65,75 ;2766,6
04,10418096,75
4151,600189,0/012127,0
−=θ=θ==→
=+−=θ=θ
===−==→
YY
YY
yYY
Peubah dan daya yang ditetapkan di bus adalah:
dihitung) (harus dan
beban)-(bus ;1 ;1:2-
) ( 0 ;1:1-
22
22
o11
ψ−=−=
=ψ=
V
QPBus
busslackVBus
pu 01 o1 ∠=V
1-bus 2-bus11,QP802012 jz +=
S 1027,0 3−×=py py
pu 11
2
j
SB
+=
pu 222 ψ∠= VV
Analisis Aliran Daya
216 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Matriks Y-bus. Dari perhitungan di atas kita peroleh matriks Ybus sebagai berikut
[ ]
−∠∠∠−∠=
=
oo
oo
2221
1211
64,752766,604,1044151,6
04,1044151,664,752766,6YY
YYbusY (5.29)
Persamaan Aliran Daya dan Jacobian. Secara umum, persamaan aliran daya di bus-i adalah
)sin(
)cos(
12
12
jijj
n
jijii
jijj
n
jijii
VYVq
VYVp
ψ−θ−ψ∠=
ψ−θ−ψ∠=
∑
∑
=
=
Untuk bus-2 persamaan ini menjadi
)]sin()sin([
)]sin()sin([
]cos()cos([
)]cos()cos([
2222212121212
2222222121212122
2222212121212
2222222121212122
θ−+ψ−θ−ψ=ψ−θ−ψ+ψ−θ−ψ=
θ−+ψ−θ−ψ=ψ−θ−ψ+ψ−θ−ψ=
VYVYV
VYVYVq
VYVYV
VYVYVp
(5.30)
Daya nyata maupun reaktif untuk bus-2, dituliskan dengan huruf kecil karena ia masih akan berubah menuju nilai yang ditetapkan yaitu P2 dan Q2.
Nilai yang sudah tetap, yaitu 0 , 1 11 =ψ=V di slack bus, dan
elemen-elemen matriks Ybus , dapat kita masukkan ke dalam persamaan daya untuk mendapatkan persamaan yang lebih sederhana. Namun karena kita akan menggunakan excel, kita biarkan persamaan aliran daya ini seperti apa adanya agar mudah ditelusuri dalam spreadsheet.
Karena kita hanya menghadapi dua persamaan daya, yaitu persamaan p dan q dengan dua peubah yaitu V2 dan ψ2, maka matriks jacobian akan berukuran 2×2.
∂∂ψ∂∂∂∂ψ∂∂
=2222
2222
//
//
Vqq
VppJ (5.31.a)
dengan elemen-elemen:
Analisis Aliran Daya
217
)]sin(2)sin(
)cos(
]cos(2)cos(
)sin(
2222212121212
2
121212122
2
2222212121212
2
121212122
2
θ−+ψ−θ−ψ=∂∂
ψ−θ−ψ=ψ∂
∂
θ−+ψ−θ−ψ=∂∂
ψ−θ−ψ−=ψ∂
∂
VYVYV
q
VYVq
VYVYV
p
VYVp
(5.31.b)
Dugaan Awal dan Iterasi. Kita buat dugaan awal yaitu nilai awal daya di bus-2. Seberapa dekat nilai dugaan yang kita buat ini ke nilai yang ditetapkan, akan menentukan seberapa cepat kita sampai ke iterasi terakhir. Kita coba dugaan awal
=
ψ≡1
0~02
020
Vx (5.32)
Kita masukkan dugaan awal ini ke persamaan aliran daya (5.30)
untuk mendapatkan nilai 02
02 dan qp . Darisini kita peroleh
corrective force:
−−−−==
∆∆
=∆02
02
0
2
20
1
1~q
pq
pu (5.33)
Corrective force menentukan besar koreksi
( ) ( )
−−−−=∆=
∆ψ∆≡∆ −−
02
0201001
02
020
1
1~~q
p
VJuJx (5.34)
Formulasi (5.29) sampai dengan (5.34) kita gunakan dalam perhitungan menggunakan excel. Semua besaran akan berubah setiap kali iterasi, kecuali besaran yang sudah ditetapkan, P2, Q2, dan elemen matriks Ybus.
Hasil Perhitungan. Dalam perhitungan ini, sudut fasa tegangan dinyatakan dalam radian. Perhitungan jacobian inversi pada secara umum dilakukan dengan eliminasi Gauss-Jordan. Berikut ini ditulis lagi data Ybus , persamaan aliran daya, kemudian diberikan hasil perhitungan dalam tabel. Elemen matriks jacobian dan inversinya langsung dicantumkan dalam tabel.
[ ]
−∠∠∠−∠=
=
oo
oo
2221
1211
64,752766,604,1044151,6
04,1044151,664,752766,6YY
YYbusY
Analisis Aliran Daya
218 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
)sin()()sin(
)cos()()cos(
222
222121212122
222
222121212122
θ−+ψ−θ−ψ=
θ−+ψ−θ−ψ=
VYVYVq
VYVYVp
P2 -1 (tetapan)
Q2 -1 ψ2 0 (dugaan
awal)
-0.1169 (iterasi ke-1)
V2 1 0.8250
p2 5.29E-06 (substitusi ke persamaan)
-0.8149 (substitusi ke persamaan) q2 -0.14283 -0.8109
u~∆ ∆p2 -1.0000 0~u∆ -0.1851 1~u∆ ∆q2 -0.8572 -0.1891
Jk 6.2235 1.5559 4.9496 0.2959 -1.5559 5.9379 -1.8739 4.0337
(J−1)k 0.1508 -0.0395 0.1966 -0.0144 0.0395 0.1581 0.0913 0.2412
x~∆ ∆ψ2 -0.1169 0~x∆ -0.0337 1~x∆ ∆v2 -0.1750 -0.0625
P2 -1 (tetapan)
Q2 -1 ψ2 -0.1506 (iterasi
ke-2)
-0.1552 (iterasi ke-3)
V2 0.7625 0.7535
p2 -0.9803 (substitusi ke persamaan)
-0.9996 (substitusi ke persamaan) q2 -0.9784 -0.9996
u~∆ ∆p2 -0.0197 2~u∆ -0.0004 3~u∆ ∆q2 -0.0216 -0.0004
Jk 4.5137 -0.0993 4.4518 -0.1543 -1.8849 3.3532 -1.8830 3.2551
(J−1)k 0.2243 0.0066 0.2292 0.0109 0.1261 0.3020 0.1326 0.3135
x~∆ ∆ψ2 -0.0046 2~x∆ -0.0001 3~x∆ ∆v2 -0.0090 -0.0002
Analisis Aliran Daya
219
P2 -1 (tetapan) Q2 -1 ψ2 -0.1553 (iterasi
ke-4) Iterasi ke-5 tidak
dilakukan. 42p dan
42q sudah
dianggap sama dengan P2 dan Q2 yang ditetapkan
V2 0.7533 p2 -0.99999983 (substitusi ke
persamaan) q2 -0.99999981
u~∆ ∆p2 -2.0000 4~u∆ ∆q2 -2.0000
Jk 4.4505 -0.1554 -1.8829 3.2531
(J−1)k 0.2293 0.0110 0.1327 0.3137
x~∆ ∆ψ2 -0.4806 4~x∆ ∆v2 -0.8930 P1 1.1229 Q1 1.2677
Sampai iterasi ke-3, nilai 1dan 1 32
32 −≈−≈ qp . Pada iterasi ke-4
nilai tersebut sudah dapat dikatakan sama dengan nilai P2 dan Q2 yang ditetapkan. Oleh karena itu iterasi ke-5 tidak perlu dilakukan lagi.
Profil Tegangan Sistem dan Daya Pada Bus-Generator. Pada Iterasi terakhir kita perloeh profil tegangan sistem dua bus ini sebagai berikut
o22
o11
-8.90rad 1553,0 ;pu 7533,0
0 pu; 1
=−=ψ=
=ψ=
V
V
dengan diagram fasor:
Pada kondisi ini, daya yang dialirkan ke saluran transmisi dari bus-1 dan bus-2 adalah
beban)-(buspu 1 ;pu 1
generator)-(buspu 1,27 ;pu 12,1
22
11
−=−===
QP
QP
Dalam contoh ini tegangan jatuh di saluran cukup besar, dan susut daya di saluran, yang diperlihatkan oleh selisih P1 dan P2 cukup besar pula yaitu pu 12,0112,1 =−=salP ≈ 12%. (P1 dan Q1 pada
iterasi ke-4 dicantumkan dalam tabel pada dua baris terakhir).
2V 1V
Analisis Aliran Daya
220 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
5.6.4 CONTOH Sistem Tiga Bus
Contoh ini juga diambil dari buku referensi [3]. Seperti pada contoh sebelumnya, perhitungan-perhitungan di sini dilakukan secara manual dengan menggunakan excel.
Diagram rangkaian beserta data jaringan yang diketahui diberikan berikut ini.
S 00189,0529/1 , 529100/230
V 230 MVA, 1002 ==Ω==
==
basisbasis
basisbasis
YZ
VS
kV 15 MVA, 3001 =G
kV 15 MVA, 2503 =G
Saluran transmisi dianggap sebagai lossless line.
Admitansi saluran per fasa sudah dihitung dalam per unit:
o3232
o3131
o323133
o2323
o2121
o231222
o1313
o1212
o131211
9012 ;9015 ;9027
9012 ;9010 ;9022
9015 ;9010 ;9025
∠=−=∠=−=−∠=+=
∠=−=∠=−=−∠=+=
∠=−=∠=−=−∠=+=
yYyYyyY
yYyYyyY
yYyYyyY
Matriks Ybus. Dari perhitungan di atas kita dapatkan matriks sebagai berikut:
−∠∠∠∠−∠∠∠∠−∠
=
=ooo
ooo
ooo
333231
232221
131211
902790129015
901290229010
901590109025
YYY
YYY
YYY
busY (5.35)
pu 01 o1 ∠=V
1-bus2-buspu 1012 jy −=
pu 1513 jy −=
0.2
1.1
3
3
==
P
V
1BS pu 21 =BSpu 1223 jy −=
3-bus
1GS
3GS3G
1G
pu 2j−pu 5,2
pu 2,1j
0,82,5 22,15.22 jjjSB −=−+=
Analisis Aliran Daya
221
Peubah-Peubah Dan Pembebanan Pada Bus.
Bus-1: slack bus, o11 0 1 =ψ=V . Daya di bus 11 dan QP ini
tergantung dari profil tegangan di semua bus; jadi 11 dan QP
merupakan peubah tak bebas.
Bus-2: bus-beban. Beban di bus ini dinyatakan dengan resistor yang menyerap daya nyata pu 5,2=RP , terhubung seri dengan
ystem r yang menyerap daya reaktif pu 2,1 jQL = . Sebuah
kapasitor dihubungkan ke bus-2 dan menyerap daya reaktif sebesar 2jQC −= . Total beban yang tersambung ke bus-2
menjadi 8,05,22 jSB −= . Beban di bus-2 yang mengalir ke
saluran transmisi menjadi 8,0dan 5,2 22 jQP =−= . Peubah di
bus ini adalah tegangan dan sudut fasanya, 22 dan ψV .
Bus-3: bus-generator. Daya nyata dari generator di diberikan melalui pengaturan masukan uap (di turbin) sebesar pu 0,23 =P
sedangkan tegangan diatur melalui arus eksitasi sebesar pu 1,13 =V ; oleh karena itu peubah di bus ini tinggallah sudut
fasa tegangan 3ψ .
Jadi peubah yang ada pada ystem ini adalah 322 dan , , ψψV .
Persamaan Aliran Daya. Bentuk umum persamaan aliran daya adalah
ψ−θ−ψ=
ψ−θ−ψ=
∑
∑
=
=
n
jjijijijii
n
jjijijijii
VYVq
VYVp
1
1
)sin(
)cos(
Karena bus-1 adalah slack bus maka kita akan bekerja pada bus-2 dan bus-3. Di bus-2, daya yang harus dicapai pada akhir iterasi adalah 8,0dan 5,2 22 =−= QP . Sedangkan di bus-3 daya nyata
yang harus dicapai adalah 0,22 =P . Jadi dalam ystem ini
diberikan tiga tetapan daya, dengan tiga peubah. Oleh karena itu persamaan aliran daya terdiri dari tiga persamaan yaitu untuk p2, p3, dan q2.
Analisis Aliran Daya
222 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
)]sin()(
)sin( )sin(
)]cos()(
)cos()cos(
)]cos()(
)cos()cos(
222
222
32323232121212122
332
333
23232323131313133
222
222
32323232121212122
θ−+
ψ−θ−ψ+ψ−θ−ψ=θ−+
ψ−θ−ψ+ψ−θ−ψ=θ−+
ψ−θ−ψ+ψ−θ−ψ=
VY
VYVVYVq
VY
VYVVYVp
VY
VYVVYVp
(5.36)
Jacobian. Persamaan aliran daya terdiri dari tiga persamaan seperti ditunjukkan oleh (5.36) dengan tiga peubah yaitu
322 dan , , ψψV . Matriks jacobian akan berukuran 3×3, yaitu
223222
233323
223222
///
///
///
Vqqq
Vppp
Vppp
J
∂∂ψ∂∂ψ∂∂∂∂ψ∂∂ψ∂∂∂∂ψ∂∂ψ∂∂
= (5.37.a)
Elemen-elemen matriks ini adalah
)sin(2
)sin( )sin(
)cos(
)cos( )cos(
)cos(
)sin()sin(
)sin(
)]cos(2
)cos()cos(
)sin(
)sin()sin(
22222
323232312121212
2
323232323
2
32323232121212122
2
23233232
3
23232323131313133
3
232323232
3
22222
323232312121212
2
323232323
2
32323232121212122
2
θ−+
ψ−θ−ψ+ψ−θ−ψ=∂∂
ψ−θ−ψ−=ψ∂
∂
ψ−θ−ψ+ψ−θ−ψ=ψ∂
∂
ψ−θ−ψ+=∂∂
ψ−θ−ψ−ψ−θ−ψ−=ψ∂
∂
ψ−θ−ψ+=ψ∂
∂θ−+
ψ−θ−ψ+ψ−θ−ψ=∂∂
ψ−θ−ψ+=ψ∂
∂
ψ−θ−ψ−ψ−θ−ψ−=ψ∂
∂
VY
VYVYV
q
VYVq
VYVVYVq
YVV
p
VYVVYVp
VYVp
VY
VYVYV
p
VYVp
VYVVYVp
(5.37.b)
Analisis Aliran Daya
223
Dugaan Awal dan Iterasi. Kita coba dugaan awal
=
ψψ≡∆
0
0
1~
03
02
02
0V
x (5.38)
Kita masukkan dugaan awal ini ke persamaan aliran daya untuk mendapatkan corrective force:
−−
−−=
−−−
=
∆∆∆
≡∆02
03
02
022
033
022
2
3
20
8,0
2
5,2~
q
p
p
pP
pP
q
p
p
u (5.39)
Besar koreksi
( ) ( )
−−
−−=∆=∆ −−
02
03
02
010010
8,0
2
5,2~~
q
p
p
JuJx (5.40)
Hasil Perhitungan. Dalam perhitungan ini, sudut fasa tegangan dinyatakan dalam radian. Perhitungan jacobian inversi pada dilakukan dengan eliminasi Gauss-Jordan. Berikut ini ditulis lagi data Ybus , persamaan aliran daya, formulsi jacobian, kemudian diberikan hasil perhitungan dalam tabel. Elemen matriks jacobian dan inversinya langsung dicantumkan dalam tabel.
−∠∠∠∠−∠∠∠∠−∠
=
=ooo
ooo
ooo
333231
232221
131211
902790129015
901290229010
901590109025
YYY
YYY
YYY
busY
)]sin()(
)sin( )sin(
)]cos()(
)cos()cos(
)]cos()(
)cos()cos(
222
222
32323232121212122
332
333
23232323131313133
222
222
32323232121212122
θ−+
ψ−θ−ψ+ψ−θ−ψ=θ−+
ψ−θ−ψ+ψ−θ−ψ=θ−+
ψ−θ−ψ+ψ−θ−ψ=
VY
VYVVYVq
VY
VYVVYVp
VY
VYVVYVp
Analisis Aliran Daya
224 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
223222
233323
223222
///
///
///
Vqqq
Vppp
Vppp
J
∂∂ψ∂∂ψ∂∂∂∂ψ∂∂ψ∂∂∂∂ψ∂∂ψ∂∂
=
P2 -2.5
(tetapan)
P3 2 Q2 0.8 ψ1 0 V1 1 ψ2 0
(dugaan awal)
-0.0929
(iterasi ke-1) V2 1 1.0962 ψ3 0 0.0260 V3 1.1 (tetapan)
p,q p2 0.0000 (substitusi ke
persamaan aliran daya)
-2.7349 (substitusi ke persamaan aliran
daya) p3 3E-15 2.2399
q2 -1.2000 1.1530 u~∆
∆p2 -2.5 0~u∆
0.2349
1~u∆ ∆p3 2 -0.2399
∆q2 2.0000 -0.3530
Jk
23.2000 -13.2000 0.0000 25.2812 -14.3669 -2.4950
-13.2000 29.7000 0.0000 -14.3669 30.8614 1.5668
0.0000 0.0000 20.8000 -2.7349 1.7175 25.1673
(J-1)k
0.0577 0.0256 0.0000 0.0542 0.0250 0.0038
0.0256 0.0451 0.0000 0.0250 0.0441 -0.0003
0.0000 0.0000 0.0481 0.0042 -0.0003 0.0402 x~∆
ψ2 -0.0929 0~x∆
0.0054 1~x∆ ψ3 0.0260 -0.0046
V2 0.0962 -0.0131
Analisis Aliran Daya
225
P2 -2.5
(tetapan) P3 2 Q2 0.8 ψ1 0 V1 1 ψ2 -0.0876
(iterasi ke-2) -0.0874
(iterasi ke-3) V2 1.0830 1.0828 ψ3 0.0214 0.0217 V3 (tetapan)
p,q
p2 -2.5023 (substitusi ke persamaan aliran
daya)
-2.5000 (substitusi ke persamaan aliran
daya) p3 1.9963 1.9998 q2 0.8049 0.8000
u~∆
∆p2 0.0023 2~u∆
0.0000 3~u∆ ∆p3 0.0037 0.0002
∆q2 -0.0049 0.0000
Jk 24.9999 -14.2111 -2.3105
Proses iterasi dihentikan; nilai p2, p3, dan q2 sudah
dapat dianggap sama dengan nilai tetapan yang diberikan
yaitu P2 = −2,5 P3 = 2 Q2 = 0,8
-14.2111 30.7073 1.4359 -2.5023 1.5551 24.5698
(J-1)k 0.0546 0.0251 0.0037 0.0251 0.0442 -0.0002 0.0040 -0.0002 0.0411
x~∆ ψ2 0.0002
2~x∆ ψ3 0.0002 V2 -0.0002
P1 0.5876 Q1 -2.2832 Q3 1.9653 P12 -0.9448 Q12 0.7870 P13 0.3573 Q13 1.4961 P31 -0.3573 Q31 -1.6539 P32 -1.5552 Q32 -0.3115 P21 -0.9448 Q21 0.9382 P23 -1.5552 Q23 -0.1382
Analisis Aliran Daya
226 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Profil Tegangan Sistem. Pada iterasi terakhir kita perloeh profil tegangan sistem tiga bus ini yaitu
o33
o22
o11
24,1rad 0214,0pu 1,1
0,5rad 0876,0pu 08,1
0 pu; 1
==ψ=
−=−=ψ=
=ψ=
V
V
V
Diagram fasor tegangan di tiga bus tersebut kurang lebih adalah:
Aliran Daya Antar Bus. Kita akan melihat bagaimana aliran daya antar bus di saluran transmisi. Aliran daya ini kita hitung menggunakan relasi
( )
)sin()sin(
)cos()cos(
)(
12
12
jijjijiijiijij
jijjijiijiijij
jijiiijijiijiijiij
VYVVYQ
VYVVYP
YYYS
ψ−θ−ψ−θ−=⇒
ψ−θ−ψ−θ−=⇒
−=−=×= ∗∗∗∗∗∗ VVVVVVVIV
yang tidak lain adalah bentuk awal dari persamaan aliran daya sebelum cara penulisannya diubah untuk memperoleh bentuk pernyataan yang lebih terstruktur. Hasil perhitungan tercantum dalam bagian tabel yang diberi batas garis tebal. Dari bagian tabel tersebut kita peroleh daya kompleks antar bus dan daya kompleks di setiap bus.
Bus-1:
pu 2,2830,588
pu 1,4960,357
pu 0,7870,945
1
13
12
jS
jS
jS
+−=⇒
+=+−=
Bus-3:
pu 1,9651,912
pu 0.311555,1
pu 1,6540,357
3
32
31
jjS
jS
jS
−−=⇒
−−=−−=
3V
1V2V
Analisis Aliran Daya
227
Bus-2:
pu 0,8002,500
pu 138,0555,1
pu 0.938945,0
2
23
21
jS
jS
jS
+−=⇒
−−=+−=
Antara bus-1 dan bus-3 aliran daya hanya terjadi dari bus-3 ke bus-1; daya di bus-3 1,6540,35731 jS −−= sedangkan daya di
bus-1 1,4960,35713 jS += . Daya nyata yang dikirim oleh bus-3
tepat sama dengan daya nyata yang diterima bus-1; hal ini terjadi karena saluran transmisi merupakan lossless line. Perbedaan antara daya reaktif yang dikirim bus-3 dan yang diterima bus-1 adalah daya reaktif yang terserap di saluran yaitu sebesar pu 158,0j .
Aliran daya di bus-2 dari arah bus-1 adalah 0.938945,021 jS +−= sedang dari arah bus-3
138,0555,123 jS −−= dengan jumlah yang sesuai yang
ditetapkan yaitu 0.8002.5002 jS +−= . Penyerapan daya reaktif
di saluran antara bus-1 dan bus-2 adalah pu 151,0j sedangkan
antara bus-3 dan bus-2 pu 499,0j .
Bus-Generator. Kita perhatikan sekarang dua bus-generator pada sistem ini yaitu bus-1 dan bus-3. Seperti kita pelajari di bab sebelumnya, mesin sinkron memiliki batas-batas maksimum dan minimum dalam mencatu daya reaktif agar tidak over-excited ataupun under-excited. Oleh karena itu pada setiap langkah iterasi perlu dicermati apakah batas-batas tersebut tidak dilampaui. Jika pada suatu tahap iterasi batas tersebut dicapai, maka batas tersebut dijadikan besaran tetapan untuk dipakai dalam melakukan iterasi selanjutnya.
Persamaan aliran daya di bus generator adalah (5.14)
θ−ψ−ψ=−
θ−ψ−ψ=−
∑
∑
=
=
n
jijjiijjiBiGi
n
jijjiijjiBiGi
YVVQQ
YVVPP
1
1
)sin(
dan )cos(
Analisis Aliran Daya
228 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
atau iBiGiiBiGi QQQPPP =−=− dan
Dengan demikian maka
pu 3,58684,2283,2412,1
pu 283,20283,2
pu 412,12588,0
o1
111
111
∠=+=⇒
=+=+==+−=+=
jS
QQQ
PPP
G
BG
BG
dan
pu 8,45742,2
pu 965,10965,1
pu 912,10912,1
o3
333
333
∠=⇒
−=+−=+=−=+−=+=
G
BG
BG
S
QQQ
PPP
Karena daya basis adalah 100 MVA, maka
MVA 2742dan MVA 2684 31 == GG SS
Ternyata SG1 masih dalam batas kapasitas G1 yaitu 300 MVA; akan tetapi SG3 melebihi kapasitas generator G3 yang 250 MVA. Kita dapat menurunkan pasokan daya nyata oleh G3; pasokan daya ini ditetapkan pu 23 =GP pada awal iterasi. Jika tetapan ini kita
kurangi dengan diimbangi tambahan daya nyata dari G1 agar kebutuhan daya di seluruh sistem terpenuhi, maka hasil iterasi ulang dari awal (tidak disajikan dalam tabel) memberikan:
profil tegangan
o33
o22
o11
21,0rad 0035,0 pu 1,1
60,5rad 0977,0pu 083,1
0 pu; 1
==ψ=
−=−=ψ=
=ψ=
V
V
V
daya di setiap bus
pu 1.94911.5022
pu 0.80002.5000
pu 2.27720.9978
3
2
1
jS
jS
jS
−−=+−=+−=
daya generator:
pu 52,382,4611,94911,5022
pu 25,662,4882,27721,0022
3
o1
∠=−−=−∠=−=
jS
jS
G
G
229
Daftar Pustaka
1. Charles A. Gross : “Power System Analysis”, John Willey & Son, 1986.
2. Turan Gönen: ”Electric Power Transmission System Engineering”, John Willey & Son, 1988.
3. Vincent Del Toro, “Electric Power Systems”, Prentice-Hall International, Inc., 1992.
4. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listrik”, Penerbit ITB 2002.
5. “Rencana Umum Kelistrikan Nasional”, 2005.
6. Sudaryatno Sudirham, “Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral”, Darpublic, Bandung, , 2011.
7. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listik Jilid 1”, Darpublic, Bandung, , 2012.
8. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listik Jilid 2”, Darpublic, Bandung, , 2012.
9. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listrik Jilid 3”, Darpublic, Bandung, , 2012.
230 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Biodata Penulis
Nama: Sudaryatno Sudirham Lahir: 26 Juli 1943, di Blora. Istri: Ning Utari Anak: Arga Aridarma, Aria Ajidarma.
Pendidikan & Pekerjaan: 1971 : Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung. 1982 : DEA, l’ENSEIHT, INPT, Perancis. 1985 : Doktor, l’ENSEIHT, INPT, Perancis. 1972−2008 : Dosen Teknik Elektro, ITB.
Training & Pengalaman lain: 1974 : TERC, UNSW, Australia; 1975 − 1978 : Berca Indonesia PT, Jakarta; 1979 : Electricité de France, Perancis; 1981 : Cour d”Ete, Grenoble, Perancis; 1991 : Tokyo Intitute of Technology, Tokyo, Jepang; 2005 : Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand; 2005 − 2009 : Tenaga Ahli, Dewan Komisaris PT PLN (Persero); 2006 − 2011 : Komisaris PT EU – ITB.
231
Indeks
a ABCD, konstanta 85 admitansi 48, 64 air, tenaga 17 aliran daya 199, 203, 210, 214 angin 17 arus laut 17
b batas operasi 183 batubara 14 beban 5, 17, 18 beban, model 18 bintang, hubungan 25 biomassa 17 bus beban 200, 205 bus-generator 200, 205, 225
d daya 6, 37, 199 daya mesin sinkron 178 diagram lingkaran 94 diagram satu garis 40 distribusi 5
e efisiensi 128 energi 1, 6 energi primer 14
f fluksi bocor 117
g gas alam 15 gelombang laut 17
i impedansi 48, 55 impedansi karakteristik 75 impedansi urutan 34 induktansi 49 iterasi 206, 215, 220
j jacobian 209, 214, 220
k komponen simetris 29, 31 konfigurai saluran 7 konfigurasi ∆ 56, 69 kutub menonjol 159, 193
l lossless line 90
m mesh, hubungan 25 mesin sinkron 159 minyak bumi 15
n Newton-Raphson 206 nuklir 17
o operator a 30
p panas bumi 16 pembangkitan 3 pergeseran fasa 147 permeabilitas 47 permitivitas 47 per-unit 41, 44, 148 polifasa 21 propagasi, konstanta 74
r rangkaian ekivalen 72, 123 rangkaian ekivalen π 78 reaktansi sinkron 169 regulasi tegangan 128 resistansi 48 rotor silindris 167, 173
232 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
s sampah 17 slack bus 200, 205 stabilitas, mantap 95 struktur 3 subtransmisi 4 surge impedance loading 98 surja 101 surya, tenaga 17
t tiga-fasa 26, 29 transformator 115, 116, 118, 120, 123, 125, 130, 131 transformator polifasa 155 transformator tiga belitan 136, 138, 140, 144 transien 100, 102, 190 transmisi 4, 47, 73 transposisi 61, 70 turbin 177
u uji beban nol 126 uji hubung singkat 126 urutan negatif 29 urutan nol 29 urutan positif 29
y Ybus 203, 205, 214