ANALISIS PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU PROVINSI SULAWESI TENGAH Ice Anugrahsari 1 , Mustofa Agung Sardjono 2 dan Fadjar Pambudhi 3 1 Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, Palu. 2 Center of Social Forestry (CSF), Unmul, Samarinda. 3 Laboratorium Biometrika Hutan Fahutan Unmul, Samarinda ABSTRACT. The Analysis of Subdistrict Government Role in Management of Lore Lindu National Park, Central Sulawesi. In general, the problem faced in management of conservation area these days was the division of Central Government and Local Government Roles. According to the National Law Nr. 32 in the year 2004 (about Local Government) and the Forestry Law Nr. 41 in the year 1999, the conservation role was on the Central Government. The Government Regulation Nr. 38 in the year 2007 (about Governmental Role and Province Role as otonomous area) also mentioned that the conservation role was on Central Government. This research was conducted in the Lore Lindu National Park (TNLL) from August 2009 up to June 2010. The research purposes were to analyze the local government role (Government of Donggala and Poso Sub- Province) related to Lore Lindu National Park management, and to analyze the role implementation of local through the study on respon and initiative policy of central government on the Lore Lindu National Park management and the priority compilation of National Park management to support the local government role on Lore Lindu National Park management. The research resulted that Central Sulawesi Province Government and also Donggala and Poso Sub-Province were very limited, even assessed did not play a part on TNLL management when evaluated from the regulation of Forestry Law and environmental conservation which go into effect. It’s mentioned because there was no good understanding about Local Government role besides the law regulation arranging about technical things of area management which it’s implementation conducted by The State of Lore Lindu National Park as Technical Unit Execution of Forestry Department. According to the research result it can be suggested that Central Government in this case Department of Forestry needs to push The State of Lore Lindu National Park to be more active to coordinate and consultancy with Local Government especially Donggala and Poso Sub-Province. Theoretically and empirically, it is not possible to handle TNLL area by itself, even the authority is on the Central Government. Each breakthrough opportunity which possible to utilized to give bigger role to Local Government must be done (flexibility), without having to impinge the rule going into effect. Kata kunci: Donggala, Poso, Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Pemerintah Indonesia telah sejak lama melakukan berbagai upaya konservasi termasuk pengendalian dan penanggulangan kerusakan lingkungan yang dapat menyebabkan penyusutan keanekaragaman hayati. Demikian pula kebijakan pemanfaatan hutan juga mengindahkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan serta pembagian keuntungan yang adil. 140
21
Embed
ANALISIS PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM …jurnalkehutanantropikahumida.zohosites.com/files/Ice, MAS, Fadjar.pdfANALISIS PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL LORE
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ANALISIS PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM
PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU
PROVINSI SULAWESI TENGAH
Ice Anugrahsari1, Mustofa Agung Sardjono
2 dan
Fadjar Pambudhi3
1Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, Palu.
2Center of Social Forestry (CSF), Unmul,
Samarinda. 3Laboratorium Biometrika Hutan Fahutan Unmul, Samarinda
ABSTRACT. The Analysis of Subdistrict Government Role in Management
of Lore Lindu National Park, Central Sulawesi. In general, the problem faced
in management of conservation area these days was the division of Central
Government and Local Government Roles. According to the National Law Nr. 32
in the year 2004 (about Local Government) and the Forestry Law Nr. 41 in the
year 1999, the conservation role was on the Central Government. The
Government Regulation Nr. 38 in the year 2007 (about Governmental Role and
Province Role as otonomous area) also mentioned that the conservation role was
on Central Government. This research was conducted in the Lore Lindu National
Park (TNLL) from August 2009 up to June 2010. The research purposes were to
analyze the local government role (Government of Donggala and Poso Sub-
Province) related to Lore Lindu National Park management, and to analyze the
role implementation of local through the study on respon and initiative policy of
central government on the Lore Lindu National Park management and the priority
compilation of National Park management to support the local government role
on Lore Lindu National Park management. The research resulted that Central
Sulawesi Province Government and also Donggala and Poso Sub-Province were
very limited, even assessed did not play a part on TNLL management when
evaluated from the regulation of Forestry Law and environmental conservation
which go into effect. It’s mentioned because there was no good understanding
about Local Government role besides the law regulation arranging about
technical things of area management which it’s implementation conducted by The
State of Lore Lindu National Park as Technical Unit Execution of Forestry
Department. According to the research result it can be suggested that Central
Government in this case Department of Forestry needs to push The State of Lore
Lindu National Park to be more active to coordinate and consultancy with Local
Government especially Donggala and Poso Sub-Province. Theoretically and
empirically, it is not possible to handle TNLL area by itself, even the authority is
on the Central Government. Each breakthrough opportunity which possible to
utilized to give bigger role to Local Government must be done (flexibility),
without having to impinge the rule going into effect.
Kata kunci: Donggala, Poso, Lore Lindu, Sulawesi Tengah.
Pemerintah Indonesia telah sejak lama melakukan berbagai upaya konservasi
termasuk pengendalian dan penanggulangan kerusakan lingkungan yang dapat
menyebabkan penyusutan keanekaragaman hayati. Demikian pula kebijakan
pemanfaatan hutan juga mengindahkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan
serta pembagian keuntungan yang adil.
140
141 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (2), OKTOBER 2010
Secara umum persoalan kritis yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan
konservasi dewasa ini adalah berkaitan dengan pembagian kewenangan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004
(tentang Pemerintah Daerah) dan Undang-undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999,
kewenangan konservasi ada di Pemerintah Pusat. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun
2007 (tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah
otonom) juga menyebutkan bahwa kewenangan konservasi ada di Pemerintah Pusat
(dalam hal ini cq Departemen Kehutanan). Tetapi kenyataan menunjukkan, bahwa
konflik kepentingan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah seringkali
terjadi karena adanya ketidaksepahaman menyangkut kewenangan pengelolaan
hutan di tingkat yang lebih rendah dan lebih spesifik lagi konflik ini tidak terkecuali
dihadapi kawasan konservasi (Darusman dan Nurrochmat, 2005). Sebagai contoh,
berdasarkan peraturan perundangan yang ada, kewenangan menetapkan kawasan
dalam pengelolaan kawasan konservasi memang menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat. Demikian halnya dengan penandatanganan kontrak dan pengelolaan uang
hasil sewa pengelolaan kawasan. Namun bagi daerah di mana ada kawasan
konservasi, mereka akan menuntut pembagian karena kehilangan kesempatan untuk
memperoleh hasil penerimaan daerah, karena kawasan tersebut tidak bisa
dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi. Perbedaan pendangan dari aspek
kewenangan tersebut bila tidak diatur secara baik, maka akan yang mempengaruhi
eksistensi kawasan konservasi, karena pengelolaannya menjadi tidak optimal yang
mendorong perusakan dan tumbuhnya berbagai gangguan. Hal tersebut menjadi
realita yang harus dilalui oleh sejumlah kawasan-kawasan konservasi antara lain
Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).
TNLL merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di Provinsi
Sulawesi Tengah dengan luas 217.991,18 ha. Kawasan ini ditetapkan sebagai
kawasan konservasi sesuai keputusan Menteri Kehutanan No. 593/Kpts-II/1993,
dengan luas kurang lebih 229.000 ha. Penunjukkan tersebut dijadikan dasar untuk
melakukan tata batas definitif hingga temu gelang dan telah dikukuhkan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan melalui keputusan No. 464/Kpts-II/1999 tanggal 23 Juni
1999 dengan luas 217.991.18 ha atau (sekitar 1,2% wilayah Sulawesi yang luasnya
189.000 km² atau 2,4% dari sisa hutan Sulawesi yakni 90.000 km²). TNLL secara admnistrasi berada di wilayah Kabupaten Donggala seluas
127.185 ha (54,3%) dan Kabupaten Poso 107.321 ha (45,7%) meliputi kurang lebih
62 desa di sekitar dan di dalam kawasan. Kawasan ini merupakan kawasan
pelestarian alam yang memiliki panorama alam yang indah dan kekayaan alam yang
sangat melimpah serta telah ditetapkan sebagai cagar biosfer dunia. TNLL memiliki
keanekaragaman hayati yang sangat tinggi termasuk di antaranya spesies endemik
Sulawesi, koleksi peninggalan seni purbakala yang melimpah, kultur budaya yang
pluralistis, serta bentang alam yang sangat elok sehingga dapat menarik minat para
wisatawan, ilmuwan dan ahli antropologi yang ingin menikmati dan meneliti
kawasan ini. Keanekaragaman hayati yang tinggi serta objek wisata alam yang unik
dan menarik, yang dilengkapi dengan keragaman budaya masyarakat sekitar menjadi
pendukung aktivitas dan pengembangan pariwisata alam yang potensial dan
berbagai sumberdaya lainnya (Anonim, 2010).
Anugrahsari dkk. (2010). Analisis Peran Pemerintah Daerah 142
Pengelolaan kawasan TNLL dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang
prinsipnya dimulai sejak penetapannya sebagai kawasan konservasi, di antaranya
adalah keterbatasan petugas, minimnya koordinasi antar instansi yang berdampak
terhadap perambahan kawasan dan pencurian sumberdaya alam yang prinsipnya
merupakan hak bagi masyarakat untuk mengakses ke dalam kawasan namun
sebaliknya merupakan suatu pelanggaran bagi pihak Balai Besar Taman Nasional
Lore Lindu (BBTNLL). Oleh karenya dituntut adanya pemahaman dan kerja sama
yang baik antara semua pemangku kepentingan dalam kawasan ini termasuk
pemerintah Kabupaten Donggala dan Kabupaten Poso sebagai regulator di tingkat
Daerah (Anonim, 2010).
Kolaborasi secara teoritis dipertimbangkan sebagai bentuk kerja sama yang
paling efektif. Kolaborasi di samping ada pertukaran informasi, perubahan aktivitas
dan pengkontribusian sumberdaya juga memungkinkan peningkatan kapasitas pihak
lainnya guna keuntungan bersama serta dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Apakah kerja sama yang bersifat kolaboratif khususnya antara pemerintah dengan
pemerintah daerah juga terjadi di TNLL, adalah pertanyaan yang perlu diperoleh
jawabannya.
Sejarah pengelolaan TNLL memperlihatkan bahwa kebijakan Pemerintah Pusat
melalui Pemerintah Kabupaten Donggala dan Poso sebenarnya telah dilaksanakan
dalam upaya mendukung pengelolaan TNLL. Beberapa kebijakan atau kegiatan
tersebut mencakup:
1. Pengembangan program transmigrasi yang cukup berhasil antara lain
memindahkan masyarakat dari dalam kawasan TNLL walaupun sebagian
masyarakat kembali pada pemukiman sebelumnya.
2. Pengusulan pelaksanaan enclave kawasan TNLL meliputi wilayah Lindu dan
Besoa yang sebenarnya diakui oleh pihak BBTNLL dan masih dalam taraf
proses diskusi hingga saat ini.
Selain itu pemerintah setempat juga telah mengupayakan beberapa program
lainnya seperti penanganan irigasi dan rencana pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Air (PLTA Lindu) yang belum direalisasikan karena ditentang oleh
masyarakat dan pihak lainnya (Anonim, 2010).
Implementasi otonomi daerah termasuk di dalamnya desentralisasi kehutanan
telah berjalan sekitar satu dasawarsa. Pembagian kewenangan (dan tanggung jawab)
atau Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota terus
disempurnakan. Tetapi pengelolaan kawasan konservasi seperti TNLL sering
membutuhkan keleluasaan administrasi politik dan finansial dikarenakan
kompleksitas dan kepentingan persoalan yang dihadapi.
Berdasarkan keseluruhan persoalan yang terjadi di TNLL sebagaimana
diutarakan di atas, pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana peran Pemerintah Daerah (dalam hal ini Kabupaten Donggala dan
Poso) berkaitan dengan pengelolaan TNLL ditinjau dari peraturan perundangan
yang ada?
2. Sejauh mana implementasi peran Pemerintah Daerah (dalam hal ini Kabupaten
Donggala dan Poso) dalam pengelolaan TNLL?
143 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (2), OKTOBER 2010
3. Adakah kemungkinan menyusun prioritas pengelolaan yang memberi peluang
peran Pemerintah Daerah yang lebih besar dalam rangka pengelolaan TNLL di
masa depan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis peran Pemerintah Daerah
(Pemerintah Kabupaten Donggala dan Poso) berkaitan dengan pengelolaan TNLL,
mengidentifikasi dan menganalisis implementasi peran Pemerintah Daerah melalui
kajian terhadap respon dan inisiatif kebijakan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan
TNLL, menyusun program strategis Pengelolaan Taman Nasional guna mendukung
peran Pemerintah Daerah dalam pengelolaan TNLL.
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah dengan teridentifikasinya porsi
dan peran Pemerintah Daerah Kabupaten dalam Pengelolaan TNLL serta tersedianya
usulan Program Pengelolaan yang dapat dilakukan, maka hasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dan bahan pertimbangan yang
bermanfaat bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan para pihak lainnya dalam
Anugrahsari dkk. (2010). Analisis Peran Pemerintah Daerah 152
Tabel 2 (lanjutan)
Aktivitas
pengelolaan hutan Pemerintahan daerah provinsi Pemerintahan daerah kabupaten/kota
Pemanfaatan Kawasan Hutan pada Hutan Lindung
Pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam lampiran (Appendix) CITES dan pemanfaatan jasa lingkungan skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja Perum Perhutani.
Pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam lampiran (Appendix) CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja Perum Perhutani.
Penerimaan Negara Bukan Pajak Bidang Kehutanan
- Pelaksanaan pemungutan penerimaan negara bukan pajak skala kabupaten/ kota.
Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove
1. Penetapan lahan kritis skala provinsi. 2. Pertimbangan teknis rencana
rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS.
3. Penetapan rencana pengelolaan rehabilitasi hutan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada Taman Hutan Raya skala provinsi.
4. Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan dan lahan di luar kawasan hutan skala provinsi.
1. Penetapan lahan kritis skala kabupaten/kota.
2. Pertimbangan teknis rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS.
3. Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan taman hutan raya skala kabupaten/kota.
4. Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/ pengelolaan hutan dan lahan di luar kawasan hutan skala kabupaten/kota.
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala provinsi.
Pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala kabupatan/kota.
Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove
1. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada Taman Hutan Raya skala provinsi.
2. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/ pengelolaan hutan, dan lahan di luar kawasan hutan skala provinsi.
1. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada Taman Hutan Raya skala kabupaten/kota.
2. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan /pengelolaan hutan, dan lahan di luar kawasan hutan skala kabupaten/kota.
Reklamasi Hutan pada Areal yang Dibebani Izin Penggunaan Kawasan Hutan
Pengesahan rencana reklamasi hutan Pertimbangan teknis rencana reklamasi dan pemantauan pelaksanaan reklamasi hutan
Reklamasi Hutan Areal Bencana Alam
Penyusunan rencana dan pelaksanaan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala provinsi
Penyusunan rencana dan pelaksanaan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan di Sekitar Hutan
Pemantauan, evaluasi dan fasilitas pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Bimbingan masyarakat, pengembangan kelembagaan dan usaha serta kemitraan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
153 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (2), OKTOBER 2010
Tabel 2 (lanjutan)
Aktivitas
pengelolaan hutan Pemerintahan daerah povinsi Pemerintahan daerah kabupaten/kota
Pengembangan
Hutan Hak dan
Aneka Usaha
Kehutanan
Pemantauan, evaluasi dan fasilitasi
hutan, hak dan aneka usaha kehutanan.
Penyusunan rencana, pembinaan
pengelolaan hutan hak dan aneka usaha
kehutanan.
Hutan Kota Pembangunan, pengelolaan,
pemeliharaan, pemanfaatan,
perlindungan dan pengamanan
hutan kota (khusus DKI), fasilitasi,
pemantauan dan evaluasi hutan kota.
Pembangunan, pengelolaan,
pemeliharaan, pemanfaatan,
perlindungan dan pengamanan hutan
kota.
Perbenihan Tanaman
Hutan
Pertimbangan teknis calon areal sumber
daya genetik, pelaksanaan sertifikasi
sumber benih dan mutu benih/bibit
tanaman hutan.
Inventarisasi dan identifikasi serta
pengusulan calon areal sumberdaya
genetik, pembinaan penggunaan
benih/bibit, pelaksanaan sertifikasi
sumber benih dan mutu benih/bibit
tanaman hutan.
Pengusahaan
Pariwisata Alam
pada Kawasan
Pelestarian Alam,
dan Pengusahaan
Taman Buru, Areal
Buru dan
Kebun Buru
Pertimbangan teknis pengusahaan
pariwisata alam dan taman buru serta
pemberian perizinan pengusahaan
kebun buru skala
provinsi.
Pertimbangan teknis pengusahaan
pariwisata alam dan taman buru serta
pemberian perizinan pengusahaan
kebun buru skala kabupaten/kota.
Pemanfaatan
Tumbuhan dan
Satwa Liar
Pengawasan pemberian izin
pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar
yang tidak dilindungi dan tidak
termasuk dalam lampiran (Appendix)
CITES.
Pemberian perizinan pemanfaatan
tumbuhan dansatwa liar yang tidak
dilindungi dan tidak termasuk dalam
lampiran (Appendix) CITES.
Lembaga Konservasi Pertimbangan teknis izin kegiatan
lembaga konservasi (antara lain kebun
binatang, taman safari) skala provinsi.
Pertimbangan teknis izin kegiatan
lembaga konservasi (antara lain Kebun
Binatang, Taman Safari) skala
kabupaten/kota.
Perlindungan Hutan 1. Pelaksanaan perlindungan hutan pada
hutan produksi, hutan lindung yang
tidak dibebani hak dan hutan adat
serta taman hutan raya skala
provinsi.
2. Pemberian fasilitas, bimbingan dan
pengawasan dalam kegiatan
perlindungan hutan pada hutan yang
dibebani hak dan hutan adat skala
provinsi.
1. Pelaksanaan perlindungan hutan pada
hutan produksi, hutan lindung yang
tidak dibebani hak dan hutan adat
serta taman hutan raya skala
Kabupaten/kota.
2. Pemberian fasilitas, bimbingan dan
pengawasan dalam kegiatan
perlindungan hutan pada hutan yang
dibebani hak dan hutan adat skala
kabupaten/kota.
Penelitian dan
Pengembangan
Kehutanan
Koordinasi dan penyelenggaraan
penelitian dan pengembangan
kehutanan di tingkat provinsi dan/atau
yang memiliki dampak antar
kabupaten/kota dan pemberian
perizinan penelitian pada hutan
produksi dan hutan lindung yang tidak
ditetapkan sebagai kawasan hutan
dengan tujuan khusus skala provinsi.
Penyelenggaraan penelitian dan
pengembangan kehutanan di tingkat
kabupaten/kota dan pemberian perizinan
penelitian pada hutan produksi serta
hutan lindung yang tidak ditetapkan
sebagai kawasan hutan dengan tujuan
khusus skala kabupaten/kota.
Anugrahsari dkk. (2010). Analisis Peran Pemerintah Daerah 154
Tabel 2 (lanjutan)
Aktivitas
pengelolaan hutan Pemerintahan daerah provinsi Pemerintahan daerah kabupaten/kota
Penyuluhan
Kehutanan
Penguatan kelembagaan dan
penyelenggaraan penyuluhan kehutanan
skala provinsi.
Penguatan kelembagaan dan
penyelenggaraan penyuluhan kehutanan
skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan
Pengendalian Bidang
Kehutanan
Koordinasi, bimbingan, supervisi,
konsultasi, pemantauan dan evaluasi
bidang kehutanan skala provinsi.
Bimbingan, supervisi, konsultasi,
pemantauan dan evaluasi bidang
kehutanan skala kabupaten/kota.
Pengawasan Bidang
Kehutanan
Pengawasan terhadap efektivitas
pelaksanaan pembinaan
penyelenggaraan oleh kabupaten /kota
dan kinerja penyelenggara provinsi
serta penyelenggaraan oleh
kabupaten/kota di bidang kehutanan.
Pengawasan terhadap efektivitas
pelaksanaan pembinaan
penyelenggaraan oleh desa/masyarakat,
kinerja penyelenggara kabupaten/kota
dan penyelenggaraan oleh desa/
masyarakat di bidang kehutanan.
B.2. Inisiatif yang timbul
B.2.1. Kebijakan pembangunan kehutanan di Kabupaten Donggala dan Kabupaten
Poso.
B.2.2. Kebijakan/kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten
Donggala dan Poso di kawasan TNLL antara lain: surat Bupati Kabupaten
Donggala tentang penyelesaian masalah Dongi-dongi, penyusunan draft
Perda enclave TNLL dan pembentukan wilayah administrasi di kawasan
TNLL.
B.3. Isu yang dihadapi
B.3.1. Permasalahan dalam TNLL. Faktor penyebab berkembangnya permasalahan
dalam pengelolaan TNLL adalah: penetapan batas TNLL tanpa melibatkan
masyarakat, prasarana jalan dan program kegiatan/kebijakan pemerintah.
B.3.2. Pengakuan hak ulayat masyarakat. Era reformasi bukan hanya mengenai
penyesuaian kekuatan dalam administrasi pemerintah formal, tetapi juga
menyangkut non formal. Seperti diketahui, bahwa desa seperti Katu, Moa dan
Toro dengan tanah adat di dalam taman nasional mendapat pengakuan
sebagai bagian dari manajemen taman nasional. Namun perlu diperhatikan
kembali kekuatan lapisan masyarakat perlu dikontrol oleh hukum yang kuat.
Hal ini dapat digambarkan di TNLL yang menderita inovasi lahan oleh
pendudukan masyarakat di Dongi-dongi yang telah menginvasi kawasan
TNLL.
B.3.2. Keterbatasan badan pengelola. Keterbatasan tersebut menyangkut
keterbatasan tenaga pengamanan kawasan TNLL. Berdasarkan data yang
diperoleh, diketahui bahwa jumlah petugas (Polhut) pengaman di BBTNLL
sebanyak 55 orang dengan luas kawasan yang harus dikelola 229.000 ha. Hal
ini merupakan suatu bentuk pengelolaan kawasan konservasi yang tidak ideal
karena keterbatasan jumlah petugas.
Hal-hal yang diangkat sebagai permasalahan adalah temuan-temuan utama
dalam studi yang dianggap sebagai kendala-kendala yang akan menghambat
pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan TNLL. Temuan-temuan dimaksud
155 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (2), OKTOBER 2010
adalah sebagai berikut: klaim wilayah Dongi-dongi oleh masyarakat, pencurian
sumberdaya alam, perambahan kawasan, perubahan fungsi kawasan dan okupasi
lahan oleh beberapa perusahaan.
Kondisi dan Prospek Pengelolaan Kawasan TNLL Secara Berkelanjutan dan
Berkeadilan, antara lain: kondisi penutupan lahan, rospek pengelolaan kawasan
TNLL, tujuan dan arah kebijakan program dan kegiatan yang perlu dilaksanakan.
Upaya memaksimalkan potensi kawasan terus dilakukan oleh pihak BBTNLL
dari waktu ke waktu. Upaya tersebut dilakukan dengan mengoptimalkan berbagai
sumberdaya yang dimiliki. Optimalisasi juga dilakukan dengan mengupayakan
berbagai program kegiatan yang mengarah pada berbagai aspek, adalah:
1. Aspek sumberdaya hutan. Secara umum tujuan pengelolaan kawasan konservasi
adalah mewujudkan kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan
ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Upaya yang dapat dilakukan agar tujuan
konservasi dapat tercapai dan ditempuh melalui beberapa kegiatan adalah:
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, pemanfaatan secara lestari sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya.
2. Aspek kelembagaan dan sumberdaya manusia. Beberapa instansi atau organisasi
yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan pengelolaan
TNLL adalah:
2.1. Balai Besar TNLL (BBTNLL). Pengelolaan TNLL tidak terlepas dari perangkat
manajemen pengelola yang mencakup beberapa komponen yaitu:
2.1.1. Kelembagaan. BBTNLL memiliki 6 seksi konservasi wilayah sebagai unit
pengelolaan di lapangan. Organisasi yang ada merupakan hasil kolaborasi
dari Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6186/Kpts-II/2002 tanggal 10
Juni 2002 dan kebutuhan BBTNLL, yang mana di bawah Sub Bagian Tata
Usaha dibentuk struktur yang menangani Umum dan Keuangan,
Kepegawaian dan Perlengkapan dan Perencanaan dan Teknis Konservasi,
sedangkan di Seksi Konservasi Wilayah, terdapat Urusan Tata Usaha dan
Teknis Konservasi.
2.1.2. Kepegawaian. BBTNLL dipimpin oleh Kepala Balai Besar yang membawahi
5 bidang eselon III dan 9 eselon IV.
2.2. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Terdapat LSM, baik di tingkat lokal
maupun internasional dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di lingkungan
TNLL yang berperan aktif membantu pengelolaan, seperti Yayasan JAMBATA,
KARSA, AG (Awam Green), Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro (OPANT),
organisasi LOHENA, STORMA-UNTAD, TNC (The Nature Conservancy), dan
UNESCO.
3. Pemerintah Kabupaten. Secara administratif pemerintahan, kawasan TNLL
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No: 593/ Kpts-ll/1993,
mempunyai luas 229.000 ha. Secara administratif terletak dalam 2 wilayah
kabupaten yaitu sebagian besar di Kabupaten Donggala dan sebagian lagi di
Anugrahsari dkk. (2010). Analisis Peran Pemerintah Daerah 156
Kabupaten Poso, maka sangat membutuhkan kerja sama dari pemerintah utamanya
dalam hal pengelolaan masyarakatnya karena di dalam kawasan TNLL sendiri
terdapat dua desa binaan yaitu Desa Toro dan Desa Katu.
4. Aspek sosial dan ekonomi. Kondisi umum kawasan TNLL berkaitan dengan
keberadaan masyarakat adalah dideskripsikan sebagai berikut:
4.1. Mata pencarian. Lahan di sekitar TNLL pada umumnya adalah daerah
pegunungan terjal yang membatasi desa-desa terhadap empat sistem utama lembah
yang mengelilingi TNLL. Kondisi lahan ini kemudian menentukan mata pencarian
desa-desa tersebut.
4.2. Pola penggunaan lahan. Persepsi responden mengenai pengetahuan tentang
pengelolaan kawasan TNLL. Data tersebut disajikan pada tabel berikut:
Tabel 3. Persepsi Masyarakat terhadap Kawasan TNLL
No. Uraian
Nama desa
Toro Katu
Frekuensi Persen Frekuensi Persen
1. Mengetahui tentang TNLL sebagai
kawasan konservasi
a. Tahu 13 86,6 12 80
b. Tidak tahu 2 13,4 3 20
Jumlah 15 100 15 100
2. Peran pemerintah/aparat daerah
a. Tidak tahu 3 20 2 13,4
c. aktif 12 80 13 86,6
Jumlah 15 100 15 100
3. Pembinaan/penyuluhan
a. Tidak tahu 3 20 6 40
c. Sudah cukup 12 80 9 60
Jumlah 15 100 15 100
Untuk mengetahui kondisi kawasan berdasarkan realita yang ada dan kondisi
ideal yang diinginkan, maka dilakukan analisis Gap. Tabel 4 menggambarkan hasil
analisis gap atau kesenjangan antara kondisi ideal yang diinginkan dan realita dalam
pengelolaan TNLL.
Tabel 4. Analisis Implementasi Pengelolaan Kawasan TNLL
Kebijakan peraturan Kondisi ideal yang
diinginkan Realisasi Analisis implementasi
A. Kebijakan Konservasi yang Berkaitan dengan Pengelolaan Kawasan TNLL
Pengelolaan lingkungan
hidup (TNLL) dilakukan
secara terpadu oleh instansi
terkait (pemerintah,
masyarakat LSM, perguruan
tinggi dan intansi lainnya).
Semua stakeholder
terlibat langsung
dalam pengelolaan
kawasan hutan.
Pengelolaan
kawasan hanya
dilakukan oleh
instansi teknis
yaitu BBTNLL.
Adanya pemahaman yang
berbeda terhadap peraturan
perundangan yang berlaku
serta kepentingan yang berbeda
terhadap kawasan.
157 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (2), OKTOBER 2010
Tabel 4 (lanjutan)
Kebijakan peraturan Kondisi ideal yang
diinginkan Realisasi Analisis implementasi
Masyarakat di dalam dan
sekitar hutan berhak
memperoleh kompensasi
karena hilangnya akses
akan hutan dan disesuaikan
kondisi mereka.
Masyarakat
memperoleh
manfaat yang
maksimal dari
hutan dan kawasan
hutan.
Masyarakat
sekitar belum
menerima
manfaat hutan
secara maksimal.
Belum ada valuasi jasa
lingkungan, sehingga
masyarakat sekitar belum
menerima kompensasi dalam
bentuk materi.
Pengelolaan kawasan
konservasi dapat dilakukan
melalui sistem kolaborasi
yang sesuai.
Masyarakat
dilibatkan dalam
pengelolaan
kawasan sesuai
kondisi.
Pelibatan
masyarakat tidak
sesuai dengan
kondisi yang
ada.
Kurang pertimbangan aspek
sosial budaya dan program
kurang berdampak positif
bagi masyarakat, sehingga
masyarakat tidak proaktif.
Kawasan Suaka
Margasatwa,
Hutan Wisata dilarang
melakukan kegiatan
apapun, kecuali kegiatan
yang berkaitan dengan
fungsinya.
Kelestarian
kawasan serta
flora dan fauna
tetap terjaga dari
kerusakan.
Dalam kawasan
terdapat
pemukiman,
lahan pertanian,
perekebunan
masyarakat dan
perusahaan.
Kurangnya pengetahuan
terhadap peraturan
perundangan yang berlaku di
dalam kawasan hutan dan
kebijakan pengelolaan
kawasan yang diberikan oleh
pemerintah.
Penentuan tapal batas
kawasan dan zona di dalam
kawasan Taman Nasional.
Setiap kawasan
dilengkapi tapal
batas dan zona
disesuaikan tipe
tutupan lahan dan
penggunaan lahan.
Sebagian
kawasan tidak
ada tapal batas
dan perambahan
zona inti oleh
masyarakat.
Adanya rencana enclave
Lindu dan Besoa serta
pengakuan ulayat
masyarakat.
B. Peraturan/Perundangan Pendukung Konservasi
Tujuan perlindungan hutan
adalah untuk menjaga
kelestarian hutan agar dapat
memenuhi fungsinya.
Kawasan hutan
tetap terjaga dari
segala bentuk
kerusakan.
Sebagian
kawasan telah
terjadi degradasi.
Perambahan kawasan dan
sumberdaya alam oleh
masyarakat dan pengusaha
sehingga degradasi kawasan.
C. Respon dan Inisiatif Pemkab Donggala dan Poso Terhadap Pengelolaan TNLL
Rehabilitasi dan kelestarian
sumberdaya alam
lingkungan hidup.
Mempertahankan
kelestarian
kawasan TNLL
dari kerusakan.
Kawasan ulayat,
rehabilitasi dan
rencana enclave.
Rencana enclave pada
kawasan yang terdapat
pemukiman masyarakat.
C. Strategi Pengelolaan TNLL
Sesuai hasil identifikasi yang dilakukan, maka dibuat matriks analisis SWOT
tentang strategi pengelolaan TNLL sebagai berikut.
Anugrahsari dkk. (2010). Analisis Peran Pemerintah Daerah 158
Tabel 5. Matriks Analisis SWOT Strategi Pengelolaan Kawasan TNLL
Faktor internal
Faktor eksternal
Kekuatan (Strengths) Kelemahan (Weakness)
1. TNLL memiliki keanekaragaman
hayati yang tinggi dan langka.
2. Aturan hukum yang jelas tentang
sanksi yang melanggar aturan di
dalam kawasan.
3. Dasar hukum yang jelas
berdasarkan SK Menteri
Kehutanan dan Perkebunan No.
464/Kpts-II/1999.
4. Adanya mitra yang terlibat dalam
kegiatan penelitian kawasan.
5. Rencana zona pemanfatan yang
menyediakan fasilitas ekowisata.
1. Kurangnya dukungan dan
koordinasi antara BTNLL
dengan Pemkab Donggala
dan Poso.
2. Pemahaman yang berbeda
antara BBTNLL dengan
Pemkab Donggala dan Poso
menyangkut pengelolaan
Kawasan TNLL.
3. Rasio antara staf/petugas
BTNLL dengan luas
kawasan masih rendah.
4. Sarana dan prasarana serta
kualitas sumberdaya
manusia BTNLL masih
kurang.
5. Kebijakan pemerintah yang
tidak konsisten dengan luas
TNLL.
Peluang (Opportunities) Isu/strategis (S – O) Isu/strategis (W – O)
1. Kawasan Konservasi adalah isu
global.
2. Adanya inisiatif politik
pemerintah dengan berbagai
kebijakan dan peraturan
tentang konservasi.
3. Kebutuhan jasa wisata alam.
4. Adanya pengembangan
penelitian keanekaragaman
hayati.
1. Optimalisasi perlindungan dan
pemanfaatan sumberdaya TNLL.
2. Pengembangan dan penguatan
kerja sama dengan lembaga luar.
1. Optimalisasi kerja sama dan
koordinasi antara Balai
Besar TNLL, Pemkab
Donggala, Poso dan
masyarakat.
2. Penguatan kelembagaan
BBTNLL dan kemitraan
dengan instansi terkait.
Ancaman (Threats) Isu/strategis (S – T) Isu/strategis (W – T)
1. Aksesibilitas jalan yang mudah
dijangkau.
2. Adanya pemukiman dan sarana
prasarna sosial dan ekonomi
masyarakat di dalam kawasan.
3. Letak kawasan yang berbatasan
langsung dengan ibukota
Kabupaten Poso dan Donggala.
1. Pengembangan peran masyarakat
dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
2. Optimalisasi komitmen
pemerintah dalam bentuk
kebijakan tata ruang yang
terencana dan transparan serta
memperhatikan aspek pelestarian
lingkungan.
3. Penataan ulang zonasi dengan
memasukkan zona khusus.
1. Peningkatan dan
perlindungan kawasan dari
berbagai bentuk kerusakan.
2. Konsistensi dan penerapan
yang tegas dari kebijakan
/aturan yang terkait dengan
pengelolaan TNLL.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Bila ditinjau dari peraturan perundangan kehutanan dan konservasi lingkungan
yang ada, maka peran Pemerintah Daerah, baik Provinsi Sulawesi Tengah maupun
Kabupaten Donggala dan Poso, dalam pengelolaan TNLL sebagai bagian dari
hutan/kawasan konservasi relatif terbatas atau bahkan kurang jelas.
159 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (2), OKTOBER 2010
Inisiatif kebijakan dan program pembangunan yang telah dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah khususnya Kabupaten Donggala dan Poso yang memiliki
keterkaitan langsung dan tidak langsung terhadap keberadaan, fungsi dan manfaat
TNLL.
Identifikasi ulang baik terhadap aspek internal (kekuatan dan kelemahan)
maupun eksternal (peluang dan ancaman) pengelolaan TNLL menunjukkan, bahwa
masih terdapat kemungkinan berbagai strategi (baik yang bersifat konservatif,
desensive, deservikatif maupun agresif) yang dapat dilakukan dan sekaligus
mensinerjikan kewenangan Pemerintah Pusat dan peran Pemerintah Daerah
(khususnya Kabupaten Donggala dan Kabupaten Poso). Pelaksanaan dari program-
program kegiatan tersebut harus bersifat kolaboratif (kerja sama antara parapihak
dengan semangat mengurangi konflik kepentingan). Begitu pula, dikarenakan isu
utama pengelolaan TNLL adalah pada aspek sosial, maka upaya-upaya pendekatan
harus bersifat komprehensif, baik bersifat vertikal (yang ada hubungannya langsung
dengan tahapan pengelolaan TNLL), horisontal (saling melengkapi atau
komplementer), fasilitasi (pendampingan masyarakat) dan sosial-kultur (dengan
meninjau aspek-aspek sosiologi masyarakat).
Saran
Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan yang dikemukakan di atas, maka dapat
disarankan beberapa tindak lanjut yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak dalam
rangka mengelola TNLL lebih baik ke depan adalah sebagai berikut:
Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan perlu terus mendorong
BBTNLL agar lebih aktif melakukan koordinasi dan konsultasi dengan Pemerintah
Daerah terutama Kabupaten Donggala dan Kabupaten Poso. Secara teoritis dan
empiris tidaklah mungkin menangani kawasan TNLL sendiri, meski kewenangan
ada di tangan Pemerintah Pusat. Setiap peluang terobosan yang mungkin dilakukan
guna memberi peran lebih besar kepada Pemerintah Daerah harus dilakukan
(fleksibilitasi), tanpa harus melanggar ketentuan yang berlaku.
Bagi Pemerintah Daerah (Kabupaten Donggala dan Kabupaten Poso)
diharapkan untuk meningkatkan kepedulian aparat maupun masyarakat terkait
dengan keberadaan, peran dan manfaat TNLL.
Parapihak lainnya yang berkepentingan terhadap keberadaan, fungsi dan
manfaat TNLL (antara lain dari kalangan lembaga non-pemerintah dan akademisi)
sudah saatnya meningkatkan kerja sama dalam rangka pengelolaan TNLL, tidak
terkecuali dalam kegiatan penelitian dan pendampingan masyarakat yang selama ini
sudah sangat banyak dilakukan, tetapi masih bersifat parsial.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu 2004-2029. Kerja sama
BBTNLL, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dan the Nature
Conservancy.
Darusman, D. dan D.R. Nurrochmat. 2005. Analisis Aspek Kebijakan dan Hukum.