Top Banner
1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI DANAU BUYAN KABUPATEN BULELENG, PROVINSI BALI I Wayan Rian Riki Saputra 1 *), I Wayan Restu 1) , Made Ayu Pratiwi 1) 1) Prodi Manajemen Sumberdaya Perairan, FKP Universitas Udayana *) Email: [email protected] ABSTRACT Buyan Lake is one of the lakes in Bali province. That located at Pancasari Village, District of Sukasada, Buleleng Regency. This lake they are many utilication of the lake such as agriculture, tourism and aquaculture activities. Those activities are considered to contribute an eutrophication in this lake. In order to investigate the effect of of floating net cages activity in Buyan Lake, the research about “The Analysis of Water Quality as a Basic Improvement of Aquaculture Management in Buyan Lake” was conducted This research method used in this study was done by observation method and took the samples in situ (at Buyan Lake site) and samples analysis was done by ex situ (at UPT. Laboratorium Kesehatan Propinsi Bali). They were 2 water quality parameters such as some physic parameters (temperature, clarity and turbidity) and chemistry parameters (pH, DO, ammonia, nitrate, BOD, COD, sulfide and phosphate). The data analysis of this research was analysis conducted by STORET index and pollution index (PI). Base on the analysis using STORET index, pollution status in Buyan Lake was heavily contaminated with average score of -82. The highest score was obtained in station 3 (-98). The results of pollution index showed that Buyan Lake has a lightly contamination with average score 3,4347 whereas the highest pollution index score was obtained in sation 4 (3.8673). Keywords: Buyan Lake; Floating Net Cages; Water Quality; Physics And Chemistry Parameters 1. PENDAHULUAN Danau Buyan merupakan salah satu danau di Bali yang terletak di Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng yang memiliki banyak potensi, baik yang berbasis alam maupun peninggalan budaya yang masih terjaga keasliannya yang saat ini dikelola dalam satu manajemen konservasi Taman Wisata Alam. Taman Wisata Alam Danau Buyan dan Danau Tamblingan mencakup areal seluas 1.491,16 hektar, berlokasi di Kecamatan Banjar seluas 442,35 hektar, Kecamatan Sukasada seluas 506,3 hektar, dan Kecamatan Baturiti seluas 542,51 hektar (Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Bali, 2010). Kawasan danau buyan saat ini telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan masyarakat untuk kepentingan pertanian, pariwisata dan perikanan sesuai dengan sejarah masyarakat agraris di Bali yang berorientasi gunung dan laut. Danau Buyan dimanfaatkan dalam bidang perikanan sebagai lahan budidaya ikan air tawar, yaitu dengan menggunakan sistem budidaya keramba jaring apung (KJA). Keramba jaring apung (KJA) merupakan suatu wadah pemeliharaan ikan berupa kantong jaring yang letaknya terapung di permukaan air. Komoditas utama yang dibudidayakan dalam KJA di Danau Buyan adalah komoditas ikan Nila (Oreocromis niloticus L). Secara umum tantangan yang berhubungan dengan sistem budidaya KJA yaitu terjadinya peningkatan kandungan nutrien di perairan yang berasal dari sisa pakan yang tidak termakan, dan feses ikan, serta kemungkinan dampak yang ditimbulkan terhadap kualitas perairan, lingkungan dan kondisi kesehatan ekosistem (Halwart dkk., 2007). Kartamiharja (2008) menambahkan, pada kegiatan budidaya KJA yang dilakukan di waduk yang berada di Jawa Barat teridentifikasi bahwa pakan yang terbuang ke perairan mencapai 30%–40%. Danau Buyan dikhawatirkan akan mengalami eutrofikasi seperti yang terjadi di danau Batur. Nastiti dkk., (2001) mengatakan bahwa perkembangan unit keramba jaring apung dan keramba jaring tancap pada areal budidaya yang kurang terkendali menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairan. Danau Buyan diduga sudah mendapat masukan zat hara yang paling tinggi dari KJA. Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian mengenai “Analisis Kualitas Air Danau Sebagai Dasar Perbaikan Manajemen Budidaya Perikanan di Danau Buyan” perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui status mutu kualitas air Danau Buyan akibat adanya keramba jaring apung, dalam rangka pengelolaan budidaya keramba jaring apung yang berkelanjutan. ECOTROPHIC 11 (1) : 1 - 7 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
85

ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

Aug 03, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

1

ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN

MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI DANAU BUYAN

KABUPATEN BULELENG, PROVINSI BALI

I Wayan Rian Riki Saputra1*), I Wayan Restu1), Made Ayu Pratiwi1)

1)Prodi Manajemen Sumberdaya Perairan, FKP Universitas Udayana*)Email: [email protected]

ABSTRACT

Buyan Lake is one of the lakes in Bali province. That located at Pancasari Village, District of Sukasada,

Buleleng Regency. This lake they are many utilication of the lake such as agriculture, tourism and aquaculture

activities. Those activities are considered to contribute an eutrophication in this lake. In order to investigate

the effect of of floating net cages activity in Buyan Lake, the research about “The Analysis of Water Quality

as a Basic Improvement of Aquaculture Management in Buyan Lake” was conducted This research method

used in this study was done by observation method and took the samples in situ (at Buyan Lake site) and

samples analysis was done by ex situ (at UPT. Laboratorium Kesehatan Propinsi Bali). They were 2 water

quality parameters such as some physic parameters (temperature, clarity and turbidity) and chemistry

parameters (pH, DO, ammonia, nitrate, BOD, COD, sulfide and phosphate). The data analysis of this research

was analysis conducted by STORET index and pollution index (PI). Base on the analysis using STORET

index, pollution status in Buyan Lake was heavily contaminated with average score of -82. The highest score

was obtained in station 3 (-98). The results of pollution index showed that Buyan Lake has a lightly

contamination with average score 3,4347 whereas the highest pollution index score was obtained in sation 4

(3.8673).

Keywords: Buyan Lake; Floating Net Cages; Water Quality; Physics And Chemistry Parameters

1. PENDAHULUAN

Danau Buyan merupakan salah satu danau di

Bali yang terletak di Desa Pancasari, Kecamatan

Sukasada, Kabupaten Buleleng yang memiliki

banyak potensi, baik yang berbasis alam maupun

peninggalan budaya yang masih terjaga keasliannya

yang saat ini dikelola dalam satu manajemen

konservasi Taman Wisata Alam. Taman Wisata

Alam Danau Buyan dan Danau Tamblingan

mencakup areal seluas 1.491,16 hektar, berlokasi di

Kecamatan Banjar seluas 442,35 hektar, Kecamatan

Sukasada seluas 506,3 hektar, dan Kecamatan

Baturiti seluas 542,51 hektar (Badan Lingkungan

Hidup Daerah Provinsi Bali, 2010). Kawasan danau

buyan saat ini telah dimanfaatkan untuk berbagai

keperluan masyarakat untuk kepentingan pertanian,

pariwisata dan perikanan sesuai dengan sejarah

masyarakat agraris di Bali yang berorientasi gunung

dan laut.

Danau Buyan dimanfaatkan dalam bidang

perikanan sebagai lahan budidaya ikan air tawar,

yaitu dengan menggunakan sistem budidaya

keramba jaring apung (KJA). Keramba jaring apung

(KJA) merupakan suatu wadah pemeliharaan ikan

berupa kantong jaring yang letaknya terapung di

permukaan air. Komoditas utama yang

dibudidayakan dalam KJA di Danau Buyan adalah

komoditas ikan Nila (Oreocromis niloticus L). Secara

umum tantangan yang berhubungan dengan sistem

budidaya KJA yaitu terjadinya peningkatan

kandungan nutrien di perairan yang berasal dari sisa

pakan yang tidak termakan, dan feses ikan, serta

kemungkinan dampak yang ditimbulkan terhadap

kualitas perairan, lingkungan dan kondisi kesehatan

ekosistem (Halwart dkk., 2007). Kartamiharja (2008)

menambahkan, pada kegiatan budidaya KJA yang

dilakukan di waduk yang berada di Jawa Barat

teridentifikasi bahwa pakan yang terbuang ke

perairan mencapai 30%–40%.

Danau Buyan dikhawatirkan akan mengalami

eutrofikasi seperti yang terjadi di danau Batur.

Nastiti dkk., (2001) mengatakan bahwa

perkembangan unit keramba jaring apung dan

keramba jaring tancap pada areal budidaya yang

kurang terkendali menimbulkan dampak negatif

terhadap lingkungan perairan. Danau Buyan diduga

sudah mendapat masukan zat hara yang paling

tinggi dari KJA. Berdasarkan uraian tersebut maka

penelitian mengenai “Analisis Kualitas Air Danau

Sebagai Dasar Perbaikan Manajemen Budidaya

Perikanan di Danau Buyan” perlu dilakukan

penelitian untuk mengetahui status mutu kualitas

air Danau Buyan akibat adanya keramba jaring

apung, dalam rangka pengelolaan budidaya keramba

jaring apung yang berkelanjutan.

ECOTROPHIC • 11 (1) : 1 - 7 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Page 2: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

2

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

2. METODOLOGI

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara

pengambilan sampel secara sistematik yaitu

pengambilan sampel yang disusun dengan lokasi

sampling dibuat dengan pola yang teratur.

Pengukuran kualitas air dilakukan dengan dua cara

yaitu secara langsung di lokasi (in situ) dan cara

pengawetan yang dilakukan di Laboratorium (ex

situ), terutama untuk sifat-sifat air yang dapat

bertahan lama dalam kondisi yang sudah diawetkan.

Analisis secara in situ dilakukan untuk parameter

kualitas air yang sifatnya cepat berubah, sehingga

harus saat itu juga langsung dilakukan pengukuran.

Penelitian ini telah dilaksanakan selama 3 Bulan

(Januari-Maret 2016) di perairan Danau Buyan.

Hasil yang telah didapat meliputi 11 parameter fisik

dan kimia perairan. Parameter fisik terdiri dari suhu,

kecerahan dan kekeruhan sedangkan parameter

kimia yaitu pH, DO, ammonia, nitrat, BOD, COD,

sulfida dan phosfat. Setelah dilakukan pengukuran

parameter kualitas air baik secara in situ (ukur

langsung di lapangan) maupun ex situ (analisis

laboratorium), dilakukan analisis mutu air dengan

mempergunakan baku mutu air yang disesuaikan

dengan Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001

tentang baku mutu air lingkungan hidup dan

kriteria baku kerusakan lingkungan hidup

menyarankan dapat dianalisis dengan metode

STORET dan indeks pencemaran (IP).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ketersedian sumber daya air untuk suatu

peruntukan sangat tergantung pada kualitas sumber

daya air tersebut. Kualitas air yang baik akan

mengakomodasi kegiatan usaha atau pembangunan

yang lebih beragam, seperti suplai air untuk

kebutuhan domestik, pertanian, perikanan, industri

maupun rekreasi (Maulana, 2001). Hasil yang didapat

meliputi 11 parameter fisik dan kimia perairan.

Parameter fisik terdiri dari suhu, kecerahan dan

kekeruhan dengan parameter kimia yaitu pH, DO,

ammonia, nitrat, BOD, COD, sulfida dan phosfat.

Berikut merupakan hasil rata-rata pengukuran

parameter fisik dan kimia perairan kualitas air di

Danau Buyan (Tabel 1.).

Analisis tingkat pencemaran dengan indeks

STORET dilakukan untuk mengetahui tingkat

pencemaran perairan di wilayah pengamatan secara

komprehensif. Penilaian dalam indeks STORET

dilakukan dengan membandingkan hasil

pengukuran dengan baku mutu Kelas III (PP No.82/

2001) untuk perikanan. Skor STORET yang bernilai

0 memiliki kriteria baik sekali, sedangkan yang

bernilai lebih rendah dari -1 menunjukkan adanya

pencemaran. Tabel 1 merupakan hasil evaluasi

berdasarkan indeks STORET.

Tingkat pencemaran di 7 stasiun yang telah

dilakukan di Danau Buyan menurut indeks STORET

tergolong dalam kategori tercemar berat. Semua

Gambar 1. Peta Lokasi Pengambilan Sampel

Page 3: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

3

stasiun pengamatan memiliki kriteria buruk dengan

status cemaran berat dengan rata-rata skor yaitu

sebesar -84. Analisis parameter kualitas air juga

dilakukan dengan menggunakan metode indeks

pencemaran (IP). Hasil evaluasi nilai IP kurang dari

1 menunjukkan kondisi baik, sedangkan nilai yang

lebih dari -1 dikategorikan telah tercemar (Lampiran

2). Hasil evaluasi berdasarkan IP di 7 stasiun yang

telah dilakukan di Danau Buyan tergolong dalam

tercemar ringan. Adapun rata-rata nilai IP dari 7

stasiun pengamatan yang telah dilakukan penelitian

yaitu sebesar 3.4337 (Tabel.2).

Analisis dengan Metode indeks STORET

menduga status kualitas air Danau Buyan tergolong

tercemar berat. Skor rata-rata yang didapat dari

analisis pada semua stasiun pengamatan sebesar -

82. Skor terburuk hasil Indeks STORET berada di

stasiun 3 sebesar -98. Kondisi Danau Buyan yang

tercemar berat didasarkan pada nilai hasil

pengukuran 7 parameter kualitas air yang melebihi

ambang baku mutu. Parameter tersebut diantaranya

Kekeruhan (-2), pH (-4), Ammonia (-20), Nitrat

(16), BOD (-20), COD (-20), dan Sulfida (-16).

Metode indeks STORET memberikan skor -2

terhadap parameter kekeruhan. Hal ini dikarenakan

nilai hasil maksimum pengukuran kekeruhan di

stasiun 3 sebesar 6.70 NTU (>baku mutu). Tingginya

nilai kekeruhan akibat dari akumulasi partikel

cemaran berbagai aktifitas di sekitar lokasi seperti

partikel total suspended solid (TSS) dan total dissolve

solid (TDS) pada saat pengukuran dilakukan. Jenie

dan Rahayu (1993), menyatakan bahwa kekeruhan

biasanya disebabkan oleh adanya bahan tersuspensi

(bahan organik, mikroorganisme dan partikel-

partikel cemaran lain). Derajat keasaman (pH) di

stasiun 3 memiliki skor Indeks STORET sebesar -4.

Nilai maksimum hasil pengukuran pH di Danau

Buyan sebesar 9.04 (>baku mutu). Nilai pH yang

tinggi karena disebabkan besarnya logam alkali dan

alkali tanah di Danau Buyan. Nilai pH yang tinggi

Analisis Kualitas Air Danau Sebagai Dasar Perbaikan Manajemen Budidaya Perikanan di Danau Buyan ..... [I W. Rian Riki Saputra, dkk.]

Tabel 1. Rata-rata Hasil Pengukuran Kualitas Air di Danau Buyan

Rata-Rata Hasil Pengukuran

Parameter Satuan

Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Titik 7 Titik Kontrol

Suhu oC 23.7556 23.7667 23.8000 24.1222 24.2556 24.4333 24.6222 24.7889

Kecerahan cm 209.3333 234.0000 185.8333 124.1667 136.3333 210.6667 198.0000 220.6667

Kekeruhan NTU 3.9344 4.6422 3.7311 4.0000 4.2211 3.8878 4.0289 4.3244

pH 8.0622 8.1867 8.2244 7.9924 8.1500 8.0689 8.1044 8.1689

DO mg/l 4.0000 4.7000 4.6222 4.6556 4.4444 4.4778 4.9667 5.0444

Ammonia mg/l 0.1173 0.0790 0.1013 0.1033 0.0870 0.0387 0.0783 0.0890

Nitrat mg/l 0.5744 0.3987 0.3341 1.1433 0.4088 0.5355 0.5710 0.4662

BOD5

mg/l 12.2000 28.1200 32.4400 19.1400 12.5067 8.1267 21.0400 11.9600

COD mg/l 32.1600 83.9467 103.2000 54.6133 31.9933 28.6933 80.5333 35.3600

Sulfida mg/l 0.0023 0.0027 0.0027 0.0037 0.0030 0.0037 0.0030 0.0063

Phosfat mg/l 0.2217 0.2158 0.2946 0.2958 0.4739 0.3639 0.4216 0.2100

Tabel 2. Skor Analisis Indeks STORET di Danau Buyan

No Lokasi Skor Menurut Kelas Keterangan

Indeks STORET

1 Stasiun 1 -78 D Tercemar Berat

2 Stasiun 2 -94 D Tercemar Berat

3 Stasiun 3 -98 D Tercemar Berat

4 Stasiun 4 -88 D Tercemar Berat

5 Stasiun 5 -90 D Tercemar Berat

6 Stasiun 6 -74 D Tercemar Berat

7 Stasiun 7 -94 D Tercemar Berat

8 Stasiun Kontrol -74 D Tercemar Berat

Rata-Rata Skor -82 D Tercemar Berat

Tabel 3. Nilai Analisis Indeks Pencemaran di Danau Buyan

No Lokasi Ci/L

i (rata-rata)C

i/L

i (maksimum)Nilai IP Keterangan

1 Stasiun 1 1.5127 4.8413 3.7427 Cemar Ringan

2 Stasiun 2 1.7161 4.3543 3.5249 Cemar Ringan

3 Stasiun 3 1.8717 4.6646 3.7925 Cemar Ringan

4 Stasiun 4 1.8721 4.7857 3.8673 Cemar Ringan

5 Stasiun 5 1.4541 4.1924 3.3019 Cemar Ringan

6 Stasiun 6 1.2553 3.1386 2.5498 Cemar Ringan

7 Stasiun 7 1.7404 3.9637 3.2992 Cemar Ringan

8 Stasiun Kontrol 1.5988 4.2418 3.3989 Cemar Ringan

Rata-Rata Nilai IP 3.4347 Cemar Ringan

Page 4: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

4

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

dapat meningkatkan konsentrasi ammonia dalam air

yang juga bersifat toksik bagi organisme air (Kordi,

2010). Hal tersebut berbanding lurus dengan rata-

rata nilai ammonia di stasiun 3 yang tergolong tinggi

sebesar 0.1013 mg/l (>baku mutu). Metode indeks

STORET memberikan skor yaitu sebesar -20 di

stasiun 3. Hal tersebut disebabkan oleh adanya proses

dekomposisi bahan organik (tumbuhan) dan biota

akuatik yang telah mati oleh mikroba dan jamur.

Selain itu keberadaan biota akuatik khususnya ikan

Nila (Oreochromis niloticus) yang dibudidayakan

dengan sistem keramba jaring apung (KJA) di Danau

Buyan juga ikut berkontribusi karena kotoran dari

biota akuatik mengeluarkan ammonia. Sisa-sisa

metabolisme atau kotoran ikan semakin banyak yang

mengendap di dasar perairan tersebut sehingga

terjadi kecenderungan tingginya kadar ammonia.

Djosetiyanto dkk., (2006) menyatakan bahwa lebih

dari 50% buangan nitrogen ikan berupa ammonia.

Kadar ammonia yang tinggi di perairan Danau Buyan

juga dapat disebabkan oleh buangan limbah domestik

dari penduduk sekitar. Maniagasi dkk., (2013),

menyatakan bahwa tingginya kadar amoniak suatu

perairan karena adanya buangan limbah domestik

dari penduduk sekitarnya.

Kadar nitrat di Danau Buyan pada stasiun 3

berdasarkan hasil analisis indeks STORET memiliki

skor -16. Rata-rata hasil pengukuran kadar nitrat

sebesar 0.3341 mg/l (>baku mutu). Tingginya kadar

nitrat disebabkan oleh sisa pakan dihasilkan oleh

KJA di Danau Buyan. Ginting (2011), menyatakan

bahwa input pakan pada kegiatan budidaya ikan KJA

mempunyai kontribusi terhadap pengkayaan nitrat

(NO3) dalam badan air dengan koefisien determinasi

sebesar 86%. Parameter selanjutnya yang melebihi

ambang baku mutu adalah Biological Oxygen

Demand (BOD) dengan nilai rata-rata sebesar 32.44

mg/l. Indeks STORET memberikan skor yaitu -20 di

stasiun 3. Danau Buyan seperti danau lainnya yang

dimanfaatkan sebagai kegiatan perikanan, hal ini

yang menjadi penyebab tingginya nilai BOD di danau

tersebut. Menurut Barus (2004), nilai BOD

merupakan parameter indikator pencemaran zat

organik, dimana semakin tinggi angkanya semakin

tinggi tingkat pencemaran bahan organik dan

sebaliknya. Skor BOD yang tinggi dari indeks

STORET inilah yang juga menyatakan Danau Buyan

tergolong dalam status tercemar berat. Nilai BOD

yang tinggi menunjukkan bahwa jumlah oksigen

yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk

mengoksidasi bahan organik dalam air tersebut

tinggi. Hal ini berarti dalam air sudah terjadi defisit

oksigen. Hasil pembuangan sisa pakan KJA

merupakan buangan bahan organik yang dapat

membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme,

sehingga hal ini akan menaikkan populasi

mikroorganisme di perairan. Keadaan ini akan

menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen

terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme dalam

mengoksidasi bahan organik.

Tingginya kadar BOD di Danau Buyan

berbanding lurus dengan tingginya kadar Chemical

Oxygen Deman (COD). Metode indeks STORET

memberikan skor -20 di stasiun 3. Nilai COD saat

penelitian di Danau Buyan pada stasiun 3 sebesar

103.20 mg/l (>baku mutu). Nilai COD yang diperoleh

pada saat penelitian lebih besar daripada nilai BOD.

Menurut Marganof (2007), hal ini disebabkan bahan

organik yang dapat diuraikan secara kimia lebih

besar dibandingkan penguraian secara biologi. Selain

dimanfaatkan untuk kegiatan KJA, wilayah di

sekitar Danau Buyan juga dimanfaatkan sebagai

lahan pertanian. Penggunaan zat-kimia dalam

aktifitas pertanian menyebabkan sisa dari zat kimia

tersebut masuk ke perairan Danau Buyan.

Parameter selanjutnya yang menyebabkan status

kualitas air Danau Buyan tercemar berat adalah

Sulfida (H2S) dengan nilai rata-rata sebesar 0.0057

mg/l (>baku mutu). Metode indeks STORET

memberikan skor -16. Walaupun tidak ada aktivitas

vulkanik, keberadaan KJA dapat menyebabkan

tingginya kadar H2S yang ada di Danau Buyan.

Tingginya kadar H2S disebabkan oleh terbentuknya

NH3, H

2S dan CH

2 terbentuk dalam kondisi bahan

organik tinggi dalam oksigen rendah. Sunarto (2003),

menyatakan bahwa kadar H2S disebabkan oleh

beberapa faktor diantaranya yaitu perubahan pH,

nitrat, nitrit, suhu dan ammonia sebagai hasil dari

proses dekomposisi yang berlangsung di perairan

dimana kegiatan budidaya berlangsung.

Hasil analisis pada Indeks Pencemaran (IP)

didapatkan bahwa status perairan Danau Buyan

tergolong dalam kategori tercemar ringan. Hal ini

berbeda dengan dengan hasil analisis indeks

STORET. Perbedaan status pencemaran pada

metode indeks STORET dan indeks pencemaran

mungkin disebabkan oleh prinsip analisis yang

berbeda. indeks STORET memiliki prinsip

pendugaan nilai pencemaran berdasarkan

perbandingan hasil pengukuran dengan baku mutu,

sedangkan Indeks Pencemaran memiliki prinsip

pendugaan untuk mengetahui tingkat pencemaran

secara relatif terhadap parameter kualitas air

tertentu (Angraheni, 2015).

Hasil analisis yang telah dilakukan dengan

menggunakan indeks pencemaran didapat rata-rata

nilai IP sebesar 3.4347. Meskipun tergolong tercemar

ringan tetapi pada beberapa stasiun didapatkan nilai

IP yang lebih tinggi dari rata-ratanya yaitu stasiun

1,2,3,4 dan 6. Nilai IP tertinggi pada lokasi penelitian

di Danau Buyan berada di stasiun 4 dengan nilai

3.8673. Parameter yang memiliki nilai IP >1

(tercemar) di stasiun 4 lokasi pengamatan adalah

Ammonia (4.5654), Nitrat (4.7857), BOD (3.5190),

COD (1.1916), dan Sulfida (2.3359). Hal ini

dikarenakan pada stasiun pengamatan 4 memiliki

Page 5: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

5

jarak yang cukup dekat dengan KJA yang ada di

Danau Buyan yaitu sejauh 150 meter kearah timur

KJA. Stasiun 4 juga merupakan stasiun terdekat

dengan lahan pertanian dan pemukiman

masyarakat. Tingginya nilai Ammonia, Nitrat, BOD,

COD dan Sulfida juga disebabkan oleh akumulasi

dari beberapa limbah pencemar yang berasal dari

sisa pakan KJA, limbah masyarakat sekitar, dan

aktifitas pertanian yang berada di sekitar Danau

Buyan. Lokasi stasiun pengamatan 4 yang dekat

dengan areal pertanian dan pemukiman

menyebabkan masuknya buangan limbah domestik

yang mengandung ammonia ke perairan Danau

Buyan. Hal ini akan menyebabkan konsentrasi nitrat

ikut tinggi dan tersebar ke beberapa stasiun

pengamatan lainnya karena adanya faktor arus yang

digerakkan oleh angin. Meskipun terdapat perbedaan

status pencemaran berdasarkan hasil analisis indeks

STORET dan Indeks Pencemaran. Namun pada

kedua metode tersebut stasiun pencemaran terendah

yaitu pada stasiun pengamatan 6 (-74 dan 2.5498).

Nilai pencemaran yang rendah pada stasiun

pengamatan 6 dapat disebabkan oleh pada stasiun

pengamatan 6 masukan bahan pencemar hanya

berasal dari limbah KJA dan tumbuhan air. Pada

stasiun pengamatan 6 tidak dipengaruhi oleh limbah

pertanian dan pemukiman.

Nilai pencemaran di stasiun pengamatan kontrol

tergolong cukup tinggi (IP : 3,3968 dan Indeks

STORET -74) dan terdapat 4 parameter (ammonia,

nitrat, BOD dan sulfida) yang melibihi ambang baku

mutu. Hal ini disebabkan pada saat pengamatan

ditemukan banyak tumbuhan air kiambang (Pastia

stratiodes) di stasiun kontrol. Adanya tumbuhan air

ini secara tidak langsung akan mempengaruhi nilai

parameter fisik dan kimia kualitas air yang diukur.

Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Kovaks (1992),

bahwa tingginya kehadiran tumbuhan air di dalam

suatu perairan baik yang sejenis ataupun berbeda

jenis menandakan daerah tersebut memiliki tingkat

kesuburan tinggi dan dapat terjadi eutrofikasi.

Tumbuhan air yang membusuk akan meningkatkan

bahan pencemar di Danau Buyan. Hal ini karena

daun kiambang yang membusuk mempunyai

kandungan N dan P yang tinggi. Pada penelitian

yang telah dilakukan daun kiambang mengandung

N sebesar 0,216 mg/l dan P sebesar 0,054 mg/l.

Sedangkan pada akar mempunyai kandungan N

sebesar 0,073 mg/l dan kandungan P sebesar 0,021

mg/l (Angga dkk., 2010). Pengaruh arus yang cukup

sedang di perairan Danau Buyan juga membawa

bahan pencemar yang berasal dari KJA maupun

limbah pertanian terbawa hingga ke titik kontrol.

Hal ini dikarenakan arus air di danau dapat bergerak

ke berbagai arah (Effendi, 2003).

Pada Danau Buyan bahan pencemar pada

umumnya berasal dari limbah domestik, pertanian,

ataupun sisa pakan yang tidak termakan sangat

mudah terakumulasi karena rendahnya kecepatan

pergantian air. Untuk mencegah semakin rendahnya

status mutu kualitas air di perairan Danau Buyan

perlu dilakukan upaya pengelolaan lingkungan

perairan. Upaya perbaikan manajemen perikanan

di Danau Buyan yang dapat dilakukan diantaranya

yaitu :

a. Perlu dilakukan peninjauan kembali

berdasarkan hasil pengukuran kualitas air yang

telah dilakukan dalam pengembangan Keramba

Jaring Apung (KJA) yang ada di Danau Buyan.

Tidak hanya fokus di satu lokasi saja.

b. Penggunaan pakan alami (Azolla Microphylla)

pada KJA di Danau Buyan. Tanaman azolla

merupakan gulma air yang tidak

termanfaatkan, tetapi memiliki kandungan

protein yang cukup tinggi, yaitu 28,12% berat

kering (Handajani, 2000). Selama ini KJA di

Danau Buyan sepenuhnya menggunakan pakan

pellet. Penggunaan pakan alami pada KJA

Danau Buyan dapat mengurangi >50% sisa

pakan pellet yang masuk ke perairan Danau

Buyan khususnya pada stasiun pengamatan 1,

2 dan 3.

c. Karena tumbuhan air mendukung keberadaan

bahan organik dengan kecepatan perkembangan

tumbuhan air yang sedemikian cepat.

Menyebabkan bahan organik yang berada di

badan Danau Buyan semakin buruk. Maka

perlu dilakukan pembersihan tumbuhan air di

Danau Buyan tidak hanya pada wilayah Utara

(Stasiun Pengamatan 1, 2, & 3). Tetapi juga pada

wilayah Timur (Stasiun Pengamatan 4 & 5) dan

wilayah Barat (Stasiun Pengamatan 6 & 7).

d. Berdasarkan hasil pengukuran bahwa BOD,

COD, H2S, Phosfat, Ammonia dan Nitrat yang

tinggi berasal dari pertanian. Maka perlu

mengurangi limbah pertanian dengan cara

menghindari penggunaan pupuk dan insektisida

yang berlebihan. Penggunaan pupuk kandang

yang tidak terkontrol akan menyebabkan

pencemaran organik yang masuk ke badan

perairan wilayah Utara (Stasiun pengamatan 1,

2 dan 3) dan Barat (stasiun pengamatan 6 dan

7) Danau Buyan.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. KESIMPULAN

Penilaian status pencemaran perairan di Danau

Buyan berdasarkan metode Indeks STORET dan

Indeks Pencemaran tergolong dalam kategori

tercemar berat dan tercemar ringan. Skor rata-rata

Indeks STORET yang didapat sebesar -82 dengan nilai

terburuk sebesar -98 (stasiun 3). Status pencemaran

yang tergolong tercemar berat ini disebabkan oleh

terdapat 7 parameter (kekeruhan, pH, ammonia,

Analisis Kualitas Air Danau Sebagai Dasar Perbaikan Manajemen Budidaya Perikanan di Danau Buyan ..... [I W. Rian Riki Saputra, dkk.]

Page 6: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

6

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

nitrat, BOD, COD, dan sulfida) yang melebihi

ambang baku mutu kualitas air di Danau Buyan.

Skor rata-rata Indeks Pencemaran yang didapat

sebesar 3.4347 dengan nilai tertinggi sebesar 3.8673

(stasiun 4). Status pencemaran yang tergolong

tercemar ringan ini disebabkan oleh 5 parameter

(ammonia, nitrat, BOD, COD, dan sulfida) yang

melebihi ambang baku mutu kualitas air di Danau

Buyan. Pada kondisi tersebut pengaruh KJA,

pertanian dan aktivitas lainnya memberikan beban

berat terhadap perairan di Danau Buyan. Hal ini

ditunjukkan dengan tingginya nilai parameter

kekeruhan, pH, ammonia, nitrat, BOD, COD dan

sulfida dari hasil pengukuran yang telah dilakukan.

Saran pengelolaan terhadap Danau Buyan dalam

usaha perbaikan kualitas perairan yaitu dengan

melakukan peninjauan kembali dalam

pengembangan KJA yang ada di Danau Buyan,

penggantian sebanyak >50% pellet dengan pakan

alami, melakukan pembersihan tumbuhan air

Kiambang (Pastia stratiodes) di bagian Utara, Timur

dan Barat Danau Buyan serta meminimalkan

penggunaan pupuk dan insektisida pada lahan

pertanian. Jika berdasarkan wilayah stasiun

pengamatan maka yang menjadi wilayah tercemar

adalah wilayah Utara (Stasiun 1, 2 dan 3) dan Timur

(Stasiun 4 dan 5). Selain dekat dengan KJA wilayah

Utara dan Timur juga dekat dengan lahan pertanian,

jadi mendapat masukan bahan pencemar lebih

banyak dibandingkan dengan wilayah Barat (Stasiun

6 dan 7).

4.2. SARAN

Mengacu pada kesimpulan, pengembangan KJA

di Danau Buyan harus dilakukan berdasarkan

pendekatan daya dukung perairan. Kalaupun sangat

strategis harus mengembangkan Keramba Jaring

Apung di Danau Buyan maka dibatasi jumlahnya

dan zonasinya harus sesuai. Pemerintah, stakeholder

dan masyarakat harus mengembangkan pertanian

berbasis organik atau sistem pertanian terpadu untuk

mengurangi beban pencemaran di Danau Buyan.

DAFTAR PUSTAKA

Angga, R.Muh, Salsabiela, Wahyu Mei S, Yuyun

Indriana dan Anggun Rina. 2010. Kajian Biologi

Gulma Mengenai Berbagai Macam Kandungan

dan

P e m a n f a a t a n G u l m a K i y a m b a n g . h t t p : / /

www.slideshare.net/RMABP_Permadi/biologi-

gulma-gulma-kiambang. Diakses tanggal 13 Juli

2016.

Anggoro, S. 1996. Dampak Pencemaran terhadap

Fisik-Kimia Air. Materi Kursus AMDAL. Pusat

Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) UNDIP.

Semarang. 1 (1) : 103.

Angraheni,W. 2015. Status Pencemaran Perairan

Pesisir Tanjung Pasir,Kabupaten Tangerang,

Banten.(Skripsi).Fakultas Kelautan dan Ilmu

Perikanan. Institut Pertanian Bogor.Bogor

[BLH]-Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali. 2010.

Kelestarian Danau Buyan Kabupaten Buleleng

Provinsi Bali. Poster Online BLH Bali. Hal : 2.

[BPS]-Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2010. Bali

dalam Angka. Katalog BPS No.1102001.51:

465p.

Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi, Studi

Tentang Ekosistem Sungai dan Danau.(Skripsi).

Jurusan Biologi Fakultas MIPA. Universitas

Sumatra Utara.Medan

Connel, D. W. dan Miller, G. J. 1995. Kimia dan

Otoksikologi Pencemaran. Cetakan Pertama.

Jakarta: Universitas Indonesia. 2 (1) : 93.

Djokosetiyanto, D., A. Sunarman dan Widanarni.

2006. Perubahan Ammonia (NH3-N), Nitrit

(NO2-N) dan Nitrat (NO3-N) pada Media

Pemeliharaan Ikan Nila Merah (Oreochromis

sp.) di dalam Sistem Resirkulasi. Jurnal

Akuakultur Indonesia. 5 (1) : 13-20.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi

Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan

Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 249 hal.

Erlania, Rusmaedi, A.B. Prasetio, J. Haryadi. 2010.

Dampak Manajemen Pakan dari Kegiatan

Budidaya Ikan Nila (Oreochromis niloticus) di

Keramba Jaring Apung Terhadap Kualitas

Perairan Danau Maninjau. Prosiding Forum

Inovasi Teknologi Akuakultur. Tanjung Raya.

Diakses tanggal 12 Juli 2016

Ginting, O. 2011. Studi Korelasi Kegiatan Budidaya

Ikan Keramba Jaring Apung dengan Pengayaan

Nutrien (Nitrat dan Fosfat) dan Klorofil-a di

Perairan Danau Toba. Jurnal Perikanan. 1 (2) :

4-25.

Goldman, C.R. and A.J. Horne, 1983. Limnology.

McGraw Hill Book Company.New York. 464

pages.

Handajani, 2000. Peningkatan Kadar Protein

Tanaman Azolla Microphylladengan Mikro-

simbion Anabaena Azollae dalam Berbagai

Konsentrasi N dan P yang Berbeda pada Media

Tumbuh.(Tesis).Program Program Pasca-

sarjana Institut Pertanian Bogor.Bogor

Halwart, M., Soto, D., & Arthur, J.R. 2007. Cage

aquaculture-regional reviews and global over-

view. FAO fisheries technical paper.241 pages.

Jenie. B.S.L & W.P. Rahayu. 1993. Penanganan

Limbah Industri Pangan: Kanisius.

Yogyakarta.172 hal

Page 7: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

7

Kartamihardja E.S., 2008, Perubahan Komposisi

Komunitas Ikan dan Faktor Faktor Penting

yang Mempengaruhi selama 40 Tahun Umur

Waduk Djuanda. Jurnal Iktiologi Indonesia. 2

(3) : 13.

Kordi, M. G dan Tancung A. B., 2005. Pengelolaan

Kualitas air. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 208

hal.

Kovaks, M. 1992. Biological indicators in

environmental protection. Ellis Horwood

Liimited, England.155 pages

Maniagasi, Richard. Sipriana S. Tumembouw, Yoppy

Mundeng. 2013. Analisis kualitas fisika kimia

air di areal budidaya ikan Danau Tondano

Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Budidaya

Perairan. 1 (2) : 12-13.

Margonof, 2007. Model Pengendalian Pencemaran

Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat.

(Tesis). Pascasarjana. Institut Pertanian

Bogor.Bogor

Nastiti, A.S., Krismono, & Kartamihardja, E.S. 2001.

Dampak Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring

Apung Terhadap Peningkatan Unsur N dan P

di Perairan Waduk Saguling, Cirata, dan

Jatiluhur. Jurnal Penelitian Perikanan.

Indonesia, Pusat Riset Perikanan Budidaya.

Jakarta, 7(2): 22-30.

Odum, E, P. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Terj. T.

Samingan & B. Sriganono Yogyakarta : Edisi

ketiga. Gajah Mada University-Press. Hal 412.

Odum, E. P. 1996. Dasar – Dasar Ekologi. Gadjah

Mada University Press. Yogyakarta. Hal 341.

Pemerintah Republik Indonesia, 2001. Peraturan

Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 Tentang

Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian

Pencemaran Air. Jakarta.

Sunarto. 2003. Peranan Dekomposisi dalam Proses

Produksi pada Ekosistem Laut, Institut

Pertanian Bogor. Bogor. 98 hal.

Analisis Kualitas Air Danau Sebagai Dasar Perbaikan Manajemen Budidaya Perikanan di Danau Buyan ..... [I W. Rian Riki Saputra, dkk.]

Page 8: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

8

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

BIODEGRADASI REMAZOL BRILIANT BLUE DALAM SISTEM BIOFILTRASI

VERTIKAL DENGAN INOKULUM BAKTERI DARI SEDIMEN SUNGAI MATI

IMAM BONJOL DENPASAR

Luh Putri Kriswidatari1*), I W Budiarsa Suyasa1), dan I Made Siaka1)

1)Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Udayana*Email : [email protected]

ABSTRACT

The biodegradation research of Remazol Brilliant Blue (RBB) has been done in vertical biofiltration

systems with bacterial inoculum that had seed from soil Mati River Imam Bonjol Denpasar. This aims of

research are to obtain the best active suspension grown from soil samples of Mati river sediment and to

determine the magnitude of the effectiveness and capacity of biosystem . The artificial waste water of RBB

has made with a concentration of 200 mg/L. In the first phase, the best active suspension is obtained by

determining the value of VSS ( Volatile Suspended Solid ) is the highest as a source of inoculum of bacteria

capable of degrading RBB. While the second phase, the effectiveness and capacity of biosystem is obtained by

determining the levels of waste of artificial RBB vertical biofiltration system (biosystem). Biofilm has made

with attached bacteria consortium in volcanic rock for 7 days. RBB subsequently incoporated into it to

determine the concentration of it and to determine the effectiveness and capacity and identified the bacteria

contained in biosystem. The results showed the best sludge active from soil sediments of the Mati River

Imam Bonjol Gang Keladian with a value of Volatile Suspended Solid (VSS) highest of 17200 mg/L when the

sreeding time of 48 hours. The results of processing using biosystem known to decreased when the processing

time from 6 hours up to 114 hours, from concentration of 200 mg/L to 19.6211 mg/L. Then the prosses has

increased again into 19.8209 mg/L at the time to 120 hours. The highest effectivity of biosystem to degrading

remazol brilliant blue of 90.19 % for 114 hours , while the highest capacity is obtained from the biosystem is

1.6525 x mg /g for 114 hours. The bacteria that act to decreased identified as Pseudomonas sp., Aeromonas

sp . and Plesiomonas sp, with Pseudomonas sp more dominant in the degrading of dye RBB. The value of the

colonists before degradation of 7.2 x CFU/gr and the value after the degradation of 2.6 x CFU/gr.

Keywords: Biodegradation ; Remazol Brilliant Blue ; Inoculum ; Bacteria ; Biosystem.

1. PENDAHULUAN

Limbah industri semakin bertambah, baik

volume maupun jenisnya. Hal ini menyebabkan

beban pencemaran lingkungan semakin berat,

sedangkan kemampuan alam untuk menerima beban

limbah terbatas. Jenis limbah industri banyak

macamnya, tergantung bahan baku dan proses yang

digunakan masing-masing industri. Setiap limbah

memerlukan penanganan tersendiri agar dapat

mencapai baku mutu yang ditetapkan oleh

pemerintah sebelum masuk ke lingkungan

(Sastrawidana et al., 2010). Salah satu limbah

industri yang menjadi kontributor utama penyebab

pencemaran air adalah limbah zat warna yang

dihasilkan dari proses pencelupan pada suatu industri

tekstil, seperti zat warna azo.

Zat warna azo disintesis untuk tidak mudah

rusak melalui perlakuan kimia maupun fotolitik.

Oleh sebab itu, bila limbah tersebut dibuang ke

perairan akan mengganggu estetika dan meracuni

biota air di dalam badan air tersebut. Hal ini

dikarenakan berkurangnya oksigen yang dihasilkan

selama proses fotosintesis akibat terhalangnya sinar

matahari untuk masuk ke dalam badan air yang

disebabkan oleh keberadaan limbah zat warna. Selain

itu perombakan zat warna azo secara aerobik pada

dasar perairan menghasilkan senyawa amina

aromatik yang kemungkinan lebih toksik

dibandingkan dengan zat warna azo itu sendiri (Zee,

2002). Remazol brilliant blue sangat tahan terhadap

oksidasi kimia karena kestabilan struktur aromatic

antaquinon.

Metode alternatif yang dapat digunakan untuk

menangani masalah di atas adalah penggunaan

mikroorganisme untuk mengolah limbah tekstil yang

disebut metode biodegradasi yang sangat berpotensi

untuk dikembangkan karena limbah tekstil dengan

kandungan bahan organik yang tinggi dapat

dimanfaatkan secara langsung maupun tidak

langsung oleh mikroorganisme sebagai nutrisi untuk

pertumbuhannya.

Metode biodegradasi ini diterapkan untuk

melenyapkan bahan pencemar yang terkontaminasi

dalam perairan. Perangkat yang digunakan dapat

berupa bioreaktor tunggal dengan menggunakan

ECOTROPHIC • 11 (1) : 8 - 14 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Page 9: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

9

pipa plastik yang didalamnya telah dihidupkan

inokulum bakteri spesifik zat warna azo remazol

brilliant blue. Metodenya dilakukan dengan

menambahkan bahan pencemar ke dalam suatu

bioreaktor tunggal (biofiltrasi vertikal) yang telah

berisi media cair untuk pertumbuhan mikroba.

Kultur mikroba yang digunakan adalah kultur

campur. Keunggulan dari proses pengolahan air

limbah dengan biofiltrasi vertikal ini adalah

pengolahannya sangat mudah, biaya operasi yang

rendah, dibandingakan dengan proses lumpur aktif,

lumpur yang dihasilkan relatif sedikit (Hefang et al.

2004).

Denpasar merupakan kota dengan aktivitas yang

padat, baik itu lalu lintasnya, penduduknya, maupun

industrinya. Dalam bidang industri, aktivitas

industri pencelupan terbilang cukup banyak dan

menghasilkan limbah yang dibuang langsung ke

sungai tanpa ditreatment terlebih daluhu. Sehingga

menimbulkan pencemaran sungai. Salah satu sungai

dengan limbah industri pencelupan dan percetakan

adalah sungai Mati yang berada di Jalan Imam Bonjol,

hal tersebut terbukti dari warna air sungai yang

selalu berubah-ubah setiap minggunya dan

menimbulkan bau yang tidak sedap dan jauh dari

nilai estetika yang baik. Maka dari itu, sungai Mati

memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan

mikroorganisme zat warna tekstil yang mengandung

zat warna sintetik khususnya remazol brilliant blue,

dimana selain itu Sungai Mati banyak mengandung

sampah, baik itu sampah organik maupun

anorganik. Sampah-sampah tersebut mengandung

limbah organik dan anorganik.

Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian

ini ditujukan untuk memperoleh suspensi aktif

terbaik yang ditumbuhkan dari sampel sedimen

tanah Sungai Mati Jalan Imam Bonjol Denpasar

sebagai sumber inokulum bakteri yang mampu

mendegradasi zat warna remazol brilliant blue dan

menentukan besarnya efektivitas dan kapasitas

biosistem yang diinokulasi suspensi aktif dalam

mendegradasi zat warna remazol brilliant blue.

2. METODOLOGI

2.1. Bahan

Bahan yang digunakan yaitu sedimen yang

berasal dari Sungai Mati Imam Bonjol,Denpasar,

glukosa ; K2HPO

4 ; KH

2PO

4 ; (NH

4)

2[Fe(SO

4)

2].6H

2O ;

MgSO4 ; FeSO

4 ; ekstrak ragi, remazol brilliant blue,

batu vulkanik steril, NPK dan aquades.

2.2. Peralatan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah

gelas ukur, gelas beker, sendok plastik, kantong

plastik, ice box, paralon, erlenmeyer, batang

pengaduk, aluminium foil, kertas saring, pipet

volume, labu ukur, pipet tetes, selang aerator,

aerator, kapas, furnace, desikator, oven, timbangan

analitik, saringan plastik, kawat, tabung biofiltrasi

vertikal dengan diameter 12 cm dan tinggi 60 cm

dan Spektrofotometer UV-Vis Shimidzu 1800.

2.3. Cara Kerja

A. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dari sedimen perairan pada

beberapa titik di sungai Mati Jalan Imam Bonjol

Denpasar diambil pada kedalaman ± 10-15 cm dari

permukaan sedimen dengan berat 100 gram dengan

menggunakan sendok plastik. Selanjutnya sampel

yang telah didapat dimasukkan ke dalam kantong

plastik lalu diberi label dan dimasukkan ke dalam

kotak es (ice box). Sampel yang telah didapat

diseeding di laboraorium Kimia FMIPA Universitas

Udayana.

B. Pembuatan media cair (Nutrien)

Komposisi media cair yang digunakan adalah

sebanyak 2,0 gram glukosa (KH) ; 0,1 gram K2HPO

4

; 0,1 gram KH2PO

4 ; 0,1 gram (NH

4)

2[Fe(SO

4)

2].6H

2O

; 0,02 gram MgSO4 ; 0,02 gram FeSO

4 ; 0,02 gram

ekstrak ragi dan 2 mg remazol brilliant blue

kemudian dilarutkan dengan aquades. Selanjutnya

campuran diaduk hingga homogen dan dimasukkan

kedalam labu ukur 2 L dan diencerkan dengan

aquades hingga tanda batas. Kemudian larutan

media cair dimasukkan ke dalam erlenmeyer 2L, lalu

Erlenmeyer ditutup dengan kapas dilapisi aluminium

voil. Media disterilisasi selama 15 menit dengan suhu

121oC lalu didiamkan pada suhu 37oC selama 5 menit,

selanjutnya media dapat disimpan dalam lemari

pendingin sampai saat diperlukan (Ginting, 2007).

C. Pembuatan Larutan Standar Remazol

Brilliant Blue dan Larutan Limbah

Remazol Brilliant Blue

Larutan induk Remazol Brilliant Blue 1000

ppm, dibuat dengan menimbang 1 gram Remazol

Brilliant Blue, dimasukkan kedalam labu takar 1000

mL kemudian dilarutkan dengan aquades hingga

tanda batas. Untuk memperoleh larutan 20, 40,

80, 120, 160 dan 200 ppm, berturut – turut dipipet

sebanyak 2, 4, 8, 12, 16 dan 20 mL larutan Remazol

Brilliant Blue 1000 ppm lalu dimasukkan ke dalam

labu takar 100 mL kemudian ditambahkan akuades

hingga tanda batas. Larutan kemudian diukur

dengan Spektrofotometer UV-Vis untuk menentukan

panjang gelombang maksimum Remazol Brilliant

Blue. Sedangkan untuk memperoleh air limbah

artificial Remazol Brilliant Blue 200 ppm, dipipet 20

mL larutan Remazol Brilliant Blue 1000 ppm lalu

dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL kemudian

ditambahkan akuades hingga tanda batas.

Biodegradasi Remazol Briliant Blue dalam Sistem Biofiltrasi Vertikal dengan Inokulum Bakteri dari Sidemen..... [L. Putri Kriswidatari, dkk.]

Page 10: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

10

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

D. Memperoleh Suspensi aktif Terbaik yang

Ditumbuhkan dari Sampel Sedimen Tanah

Aliran Sungai Jalan Imam Bonjol Denpa-

sar sebagai Sumber Inokulum Bakteri

dengan Waktu Tercepat dan VSS Terbesar

Dalam pembibitan dilakukan dengan

menyiapkan 3 buah erlenmeyer 500 mL dengan

kondisi bersih. Masing-masing sebanyak 250 mL

media cair dimasukkan ke dalam erlenmeyer A, B

dan C yang telah diisi label. Kemudian sampel

sedimen dari beberapa titik di Aliran Sungai Mati di

Jalan Imam Bonjol, Denpasar dimasukkan ke dalam

erlenmeyer berbeda dengan massa 5 gram untuk

masing – masing sampel. Setelah itu, media diaerasi

dengan menggunakan aerator yang diberi selang,

yang diletakkan di dasar erlenmeyer. Erlenmeyer

ditutup dengan kapas kemudian diaerasi dan

diinkubasi selama 3 hari. Kemudian pertumbuhan

mikroba diamati dengan mengukur nilai VSS-nya

dengan rentang waktu setiap 1 hari. Bibit yang paling

cepat tumbuh dan memiliki nilai VSS tertinggi,

maka sedimen tersebut merupakan bibit sedimen

terbaik yang akan digunakan dalam pengolahan

limbah (Suyasa, 2015).

E. Menentukan Kapasitas dan Efektivitas

Biosistem yang Diinokulasi Suspensi aktif

dalam Mendegradasi Remazol Brilliant

Blue

Disiapkan pipa plastik berdiameter 12 cm dan

tinggi 60 cm dengan dilengkapi kran di bagian

bawah. Amobilisasi inokulum bakteri mengikuti

metode yang telah dilakukan Castila, et al. (2003)

yaitu, sebanyak 800 - 1000 g batu vulkanik steril

dimasukkan ke dalam biosistem kemudian ke dalam

tabung dimasukkan bibit yang menghasilkan bibit

terbaik yang telah dilakukan pada percobaan 3.4.5

dengan cara mengambil bibit sedimen tersebut

sebanyak 25,0 gram lalu ditambahkan media cair 1

L dan ditambahkan NPK hingga mencapai volume

2 L, dimasukkan kedalam bioreaktor yang telah

dimasukkan batu vulkanik. Larutan dimasukkan

hingga batu vulkanik tersebut terendam semua. Bibit

direndam dan sambil diamati terbentuknya filamen

- filamen pada batu. Setelah perendaman selesai

dilakukan selama 7 hari, ditentukan jumlah serta

ciri koloni mikroba di Laboratorium Mikrobiologi.

Pada bioreaktor yang berisi batu dimasukkan

larutan remazol brilliant blue sebanyak 1000 mL

dengan konsentrasi 200 ppm, kemudian setiap 6 jam

kran pada bagian bawah tabung dibuka ditampung

pada botol gelap 30 mL. Larutan yang tertampung

di botol gelap diukur penurunan konsentrasinya

dengan menggunakan Spektrofotometer UV-Vis

dengan panjang gelombang maksimumnya setiap 6

jam. Setelah itu ditentukan jumlah serta ciri koloni

mikroba di Laboratorium Mikrobiologi, kemudian

efektivitas dan kapasitas biositem.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengukuran, dapat diketahui

panjang gelombang maksimum untuk larutan RBB

adalah 591,0 nm. Selanjutnya panjang gelombang

maksimum tersebut digunakan untuk pembuatan

kurva kalibrasi.

3.1. Suspensi aktif Terbaik sebagai Sumber

Inokulum Bakteri dengan VSS (Volatil

Suspended Solid) Terbesar

Sampel bibit diamati pertumbuhan mikroba

dengan mengukur nilai VSS setiap 6 jam selama

empat hari waktu aerasi (proses penambahan

oksigen) dengan perlakuan yang sama untuk masing-

masing sedimen. Aerasi berfungsi untuk mensuplai

jumlah oksigen terlarut dalam media sehingga cukup

untuk tumbuh kembang dari mikroorganisme

(Suharto, 2010). Peningkatan nilai VSS dapat dilihat

pada kurva Gambar 1.

Gambar 1. Kurva Nilai VSS rata-rata pada Tiga Titik Sungai Mati

Selama Pembibitan.

Berdasarkan kurva diatas selama 72 jam terlihat

peningkatan nilai VSS selama pembibitan yang

menyatakan adanya peningkatan biomassa.

Aktivitas mikroorganisme ditandai dengan adanya

pembelahan sel sehingga terbentuk sel baru pada

sistem suspensi aktif (Soeparno, 1992). Semakin tinggi

aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan

bahan organik maka semakin tinggi pula biomassa

yang dihasilkan. Peningkatan biomassa ini

menyatakan jumlah bahan organik yang telah

didegradasi oleh mikororganisme (Atlas and Bartha,

1987). Bibit sedimen Gang Keladian Imam Bonjol

memberikan nilai VSS tertinggi yaitu 17200 mg/L

selama pembibitan 48 jam, dibandingkan dengan

bibit sedimen Pertigaan Jalan Gunung Soputan yaitu

12400 mg/L dan bibit sedimen Pertigaan Jalan Pulau

Galang yaitu 12400 mg/L. Nilai VSS pada bibit

sedimen Titik A dan bibit sedimen Titik B rendah

dibandingkan bibit sedimen Titik C dikarenakan

pertumbuhan mikroorganisme pada bibit tersebut

lambat yang disebabkan oleh waktu adaptasi yang

lebih lama pada media selektif. Nutrien merupakan

salah satu faktor yang sangat mempengaruhi

pertumbuhan sel serta aktivitas enzim yang

dihasilkan oleh mikroorganisme dalam mendegradasi

Page 11: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

11

bahan pencemar. Jumlah mikroorganisme yang

dapat tumbuh pada proses pembibitan dipengaruhi

oleh faktor aerasi dan nutrien. Pemberian aerasi dan

nutrien yang seimbang akan memenuhi kebutuhan

mikroorganisme sebagai makanannya sehingga

dapat meningkatkan pertumbuhan yang akan

berbanding lurus dengan jumlah bahan pencemar

yang akan terdegradasi (Sudaryati et al., 2011).

Sehingga suspensi aktif yang berasal dari bibit

sedimen Sungai Mati di Gang Keladian Jalan Imam

Bonjol, Denpasar sangat baik digunakan pada

biosistem yang diinokulasi suspensi aktif untuk

mengolah limbah zat warna RBB.

3.2. Perubahan Kadar Limbah Remazol

Brilliant Blue selama Perlakuan dalam

Biosistem yang Diinokulasi Suspensi aktif.

Penentuan konsentrasi limbah RBB dalam

sistem biofiltrasi dilakukan dengan lumpur aktif

(suspensi aktif) yang telah diamobilisasi dengan batu

vulkanik untuk mengolah air limbah artificial

dengan kadar RBB 200 mg/L. Sedimen tanah yang

menghasilkan nilai VSS terbesar digunakan untuk

mengolah limbah RBB dalam biofiltrasi yang terbuat

dari pipa paralon berdiameter 12 cm dengan tinggi

60 cm. Berikut merupakan hasil konsentrasi limbah

RBB dalam biofiltrasi yang ditambahkan suspensi

aktif pada pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2. Kurva Kadar Rata-rata Limbah RBB Artificial dari jam ke-0

hingga jam ke-120.

Berdasarkan hasil pengolahan menggunakan

biosistem dengan inokulum bakteri yang

diamobiloisasi pada batu vulkanik diketahui terjadi

penurunan konsentrasi air limbah RBB artificial

dalam 6 jam pertama diketahui penurunan

konsentrasinya menjadi 160.7842 mg/L dari

konsentrasi awal 200 mg/L. Penurunan terus terjadi

hingga mencapai waktu ke 114 jam dengan

konsentrasi air limbah RBB artificial menjadi

19.6211 mg/L. Kemudian terjadi peningkatan

konsentrasi air limbah RBB artificial menjadi

19.8209 mg/L pada waktu ke 120 jam.

Mikroorganisme dengan bantuan kosubstrat seperti

glukosa berfungsi sebagai donor elektron ke zat

warna azo yang dikatalisis oleh enzim azoreductase

sehingga terjadi pemutusan ikatan azo menghasilkan

amina aromatik. Penurunan konsentrasi yang besar

menandakan bakteri mampu mendegradasi zat

warna RBB dari awal konsentrasi 200 mg/L menjadi

19.6211 mg/L. Proses perombakan zat warna azo,

khususnya RBB oleh bakteri yang terlekat pada

media batu pada dasarnya merupakan suatu reaksi

redoks yang dikatalisis oleh enzim. Pada proses

glikolisis glukosa koenzim nikotinamida adenine

dinukleotida (NAD+) dibebaskan dengan bantuan

enzim dehirogenase yang berperan sebagai pembawa

elektron dan terlibat dalam reaksi enzimatik. Pada

kondisi tidak ada oksigen, NADH mengalami reaksi

oksidasi mengasilkan NAD+ sedangkan zat warna azo

mengalami reaksi reduksi menghasilkan amina-

amina aromatik yang bersesuaian. Putusnya ikatan

azo pada zat warna azo menyebabkan warna menjadi

hilang. Namun jika terdapat oksigen, maka zat

warna azo dan oksigen berkompetisi sebagai

penerima elektron dari NADH. Ion hidrogen pada

NADH lebih mudah ditransfer ke oksigen melalui

rantai transfer elektron. Dengan demikian, pada

kondisi aerobik zat warna azo sulit direduksi

sehingga warnanya tetap. Berikut merupakan

perombakan zat warna azo dengan adanya kosubstrat

yang dilaporkan oleh Van der Zee (2002) yang

disajikan pada Gambar 3

Gambar 3. Mekanisme perombakan zat warna azo secara direct

enzymatic.

3.3. Laju Penurunan Kadar Limbah RBB Arti-

ficial selama Perlakuan dalam Biosistem

yang Diinokulasi Suspensi aktif.

Laju penurunan kadar limbah RBB artificial

dapat ditentukan dengan manerapkan data

penurunan kadar limbah RBB yang diperoleh dalam

persamaan y = 0.00834x + 0.03516, dimana y adalah

serapan dari sampel dan x adalah kadar dari limbah.

Laju penurunan tersebut dibagi menjadi tiga laju

penurunan. Pertama laju penurunan cepat, kedua

laju penurunan lambat dan yang ketiga adalah laju

penurunan stagnan (tetap). Dimana laju penurunan

cepat digambarkan pada Gambar 4.

Dari Gambar 4 terjadi proses penurunan

konsentrasi limbah RBB artificial yang cepat dari

jam ke-0 hingga jam ke-36. Dimana terjadi

penurunan yang berlangsung cepat dengan

persamaan y = = -4.001x + 185.4 dengan koefisien

regresi linier (R2) sebesar 0.958. Nilai slope yang

merupakan tetapan laju penurunan konsentrasi

Biodegradasi Remazol Briliant Blue dalam Sistem Biofiltrasi Vertikal dengan Inokulum Bakteri dari Sidemen..... [L. Putri Kriswidatari, dkk.]

Page 12: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

12

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

limbah RBB artificial (k) adalah -4.001, dari nilai

tersebut dapat dinyatakan bahwa laju penurunan

konsentrasi limbah RBB artificial dari jam ke-0

hingga jam ke-36 adalah sebesar 4.001 mg/L/jam.

Selanjutnya pada jam ke 42 hingga jam 90 jam terjadi

laju penurunan lambat dengan persamaan y = -

0.442x + 60.88 dengan koefisien regresi linier (R2)

sebesar 0.920. Nilai slope yang merupakan tetapan

laju penurunan konsentrasi limbah RBB artificial

(k) adalah -0.442, dari nilai tersebut dapat dinyatakan

bahwa laju penurunan konsentrasi limbah RBB

artificial dari jam ke-42 hingga jam ke-78 adalah

sebesar 0.442 mg/L/jam. Laju penurunan terakhir

proses penurunan konsentrasi limbah RBB artificial

yang sangat lambat atau bisa dikatakan stagnan dari

jam ke-96 hingga jam ke-120. Dimana terjadi

penurunan yang berlangsung sangat lambat dengan

persamaan y = -0.099x + 31.26 dengan koefisien

regresi linier (R2) sebesar 0.791. Nilai slope yang

merupakan tetapan laju penurunan konsentrasi

limbah RBB artificial (k) adalah -0.099 dari nilai

tersebut dapat dinyatakan bahwa laju penurunan

konsentrasi limbah RBB artificial dari jam ke-96

hingga jam ke-120 adalah sebesar 0.099 mg/L/jam.

Laju penurunan konsentrasi limbah RBB artificial

yang berlangsung cepat ini menunjukkan bahwa

proses biodegradasi limbah RBB mampu

menguraikan dengan cepat zat warna RBB. Hal ini

menandakan bahwa mikroorganisme yang terdapat

pada sedimen hasil pembibitan mampu untuk

menurunkan konsentrasi limbah RBB artificial

dengan baik. Penurunan ini juga dikarenakan

mikroorganisme di dalam biosistem mengalami fase

eksponensial dengan kandungan nutrien yang

berlimpah dan mikroorganisme melakukan

mekanisme pertahanan diri agar tetap hidup (Gadd,

1990). Sedangkan laju penurunan lambat ini

menunjukkan bahwa proses biodegradasi limbah

RBB melambat dalam menguraikan zat warna RBB.

Hal ini dikarenakan mikroorganisme mengalami

penurunan dalam melakukan mekanisme untuk

menurunkan konsentrasi limbah RBB. Selain juga

dikarenakan nutrien yang tersedia mulai berkurang

dengan jumlah mikroorganisme yang semakin

banyak. Semakin memperbesar persaingan antar

mikroorganisme untuk mendapatkan nutrien,

sehingga kemampuan mikroorganisme untuk

menurunkan konsentrasi limbah RBB semakin

menurun. Sebab nutrien merupakan salah satu

faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan sel

serta aktivitas enzim yang dihasilkan oleh

mikroorganisme untuk menurunkan konsentrasi

limbah RBB dalam larutan (Soeparno, 1992). Hal ini

dikarenakan mikroorganisme mengalami penurunan

dalam melakukan mekanisme untuk menurunkan

konsentrasi limbah RBB. Ini merupakan fase

stasioner, dimana kecepatan pertumbuhan seimbang

dengan kematian sel, tidak ada peningkatan sel,

metabolisme menurun. Selain itu juga dikarenakan

nutrien yang tersedia telah habis dengan jumlah

mikroorganisme yang semakin banyak, sehingga

kemampuan mikroorganisme untuk menurunkan

konsentrasi limbah RBB menurun dan akhirnya

stagnan.

3.4. Efektivitas Biosistem yang Diinokulasi

Suspensi aktif dalam Mendegradasi

Remazol Brilliant Blue.

Efektivitas biosistem dalam presentase

ditentukan dengan membandingkan konsentrasi

tertinggi dari hasil penurunan konsentrasi limbah

RBB artificial dengan penurunan konsentrasi limbah

RBB artificial hingga waktu akhir penurunan.

Efektivitas biosistem suspensi aktif dalam mengolah

limbah RBB artificial terbesar pada saat waktu

pengolahan sampel ke 114 jam, yaitu sebesar 90.19

%. Hal ini menunjukkan bahwa pada waktu

pengolahan ke 114 jam mikroorganisme dalam

biosistem telah dapat bekerja optimum untuk

mengolah limbah RBB artificial. Efisiensi menurun

setelah waktu pengolahan 114 jam, yang ditunjukkan

pada waktu pengolahan 120 jam dengan nilai

efektivitas sebesar 90.09 %. Penurunan efisiensi

terjadi karena meningkatnya toksisitas zat warna

terhadap bakteri yang merupakan racun bagi bakteri

dan terbloknya sisi aktif dari enzim azo reductase

oleh molekul zat warna. Selain itu mulai pada jam

ke 42 selisih efektivitas setiap jam penurunan

semakin berkurang. Hal itu terjadi karena

kemampuan bakteri dalam menguraikan limbah zat

warna RBB artificial semakin berkurang, namun

tetap meningkatkan efektivitas setiap jamnya hingga

mencapai 90.19 % pada jam ke-114.

Gambar 4 Kurva Laju Penurunan Kadar Limbah RBB Artificial dari jam

ke-0 hingga jam ke-120.

Keterangan : y1 = persamaan garis laju penurunan cepat

y2 = persamaan garis laju penurunan lambat

y3 = persamaan garis laju penurunan stagnan

Page 13: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

13

3.5. Kapasitas Biosistem yang Diinokulasi

Suspensi aktif dalam Mendegradasi

Remazol Brilliant Blue.

Kapasitas merupakan kemampuan daya serap

atau daya tampung yang dilakukan oleh biosistem

yang diinokulasi Suspensi aktif dalam mendegradasi

limbah RBB artificial. Dimana telah diketahui

konsentrasi penurunan limbah RBB artificial,

sehingga bisa ditentukan nilai kapasitas dari

biosistem tersebut. Kapasitas terbesar dari biosistem

suspensi aktif dalam menurunkan konsentrasi

limbah RBB artificial adalah sebesar 1.6925 x mg/

gram. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan

terbaik dari biosistem ditunjukkan pada pengolahan

limbah selama 114 jam. Dimana kemampuan

biosistem untuk menurunkan konsentrasi limbah

RBB cukup berhasil dengan nilai kapasitas sebesar

1.6925 x mg/gram, yang berarti kemampuan per

gram berat batu vulkanik dapat menurunkan

konsentrasi limbah RBB sebesar 1.6925 miligram.

3.6. Identifikasi Mikroorganisme yang

Berperan dalam Penurunan Konsentrasi

Limbah RBB pada Biosistem yang

diinokulasi suspensi aktif

Dari hasil uji identifikasi didapatkan hasil

jumlah masing-masing bakteri dan jumlah total

mikroorganisme, seperti pada tabel 2.

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa bakteri

yang terdapat pada biosistem adalah Coliform, E.coli,

Pseudomonas sp, Aeromonas sp., dan Plesiomonas

sp., sedangkan Vibrio sp. tidak terdapat dalam

biosistem. Dimana bakteri-bakteri tersebut mampu

mendegradasi limbah zat warna RBB yang

ditunjukkan oleh hasil dari jumlah koloni dari setiap

bakteri tersebut. Bakteri yang memberikan jumlah

koloni tertinggi tertinggi adalah bakteri

Pseudomonas sp. yang menunjukkan nilai sebelum

degradasi sebesar 7.2 x CFU/gr dan nilai sesudah

degradasi sebesar 2.6 x CFU/gr. Kedua adalah

bakteri Aeromonas sp. yang menunjukkan nilai

sebelum degradasi sebesar 6.3 x CFU/gr dan nilai

sesudah degradasi sebesar 2.0 x CFU/gr. Ketiga

adalah bakteri Plesiomonas sp. yang menunjukkan

nilai sebelum degradasi sebesar 1.4 x CFU/gr dan

nilai sesudah degradasi sebesar 8.0 x CFU/gr. Hal

ini menunjukkan bahwa bakteri Pseudomonas sp.,

Aeromonas sp. dan Plesiomonas sp. mampu

menguraikan dan tahan terhadap paparan zat warna

remazol brilliant blue.

4. SIMPULAN DAN SARAN

4.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan

maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Suspensi aktif terbaik diperoleh dari pembibitan

sampel tanah dari sedimen Sungai Mati Jalan

Imam Bonjol Denpasar dengan nilai Volatil

Suspended Solid (VSS) dari pertumbuhan

biomassa mikroorganisme terbanyak sebesar

17200 mg/L dalam 48 jam.

2. Efektivitas yang diperoleh dari biosistem yang

diinokulasi suspensi aktif dalam mendegradasi

zat warna remazol brilliant blue adalah sebesar

90.19% selama 114 jam, sedangkan kapasitas

terbesar yang diperoleh dari biosistem yang

diinokulasi suspensi aktif dalam mendegradasi

zat warna remazol brilliant blue adalah 1.6525

x mg/gram selama 114 jam.

3. Bakteri yang dapat menguraikan zat warna

remazol brilliant blue adalah Pseudomonas sp.,

Aeromonas sp. dan Plesiomonas sp, dengan

bakteri Pseudomonas sp. yang lebih dominan

dalam mendegradasi zat warna RBB yang

menghasilkan jumlah koloni awal sebelum

degradasi 7.2 x CFU/gr dan nilai sesudah

degradasi sebesar 2.6 x CFU/gr.

4.2. Saran

Dari penelitian yang telah dilakukan terdapat

beberapa hal yang menarik untuk diperhatikan lebih

lanjut, antara lain :

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai

proses pengolahan limbah zat warna tekstil

dengan sistem kombinasi anaerobik-aerobik.

2. Perlu dilakukan penelitian dengan

menggunakan parameter lain seperti Total

Suspended Solid (TSS) , COD dan BOD dengan

waktu pengolahan yang lebih lama untuk

melihat kemampuan bibit inokulum dan

efektivitasnya.

Tabel 2 Hasil Identifikasi Bakteri dalam Biosistem

Kode Coliform E.coli Pseudomonas sp. Aeromonas sp. Vibrio sp. Plesiomonas sp.

Sampel (MPN/100gr) (MPN/100 gr) (CFU/gr) (CFU/gr) (CFU/gr) (CFU/gr)

A 95 95 7.2 x 104 6.3 x 103 0 1.4 x 103

B 70 70 2.6 x 103 2.0 x 102 0 8.0 x 102

Sumber : Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA UNUD

Keterangan : A : Sampel filamen sebelum biosistem diberikan limbah

B : Sampel filamen setelah biosistem diberikan limbah

Biodegradasi Remazol Briliant Blue dalam Sistem Biofiltrasi Vertikal dengan Inokulum Bakteri dari Sidemen..... [L. Putri Kriswidatari, dkk.]

Page 14: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

14

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

3. Perlu dilakukan pemurnian bakteri

Pseudomonas sp. dan Aeromonas sp. untuk

mengetahui hasil lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Atlas, R. M and R. Bartha, 1987, Microbial Ecology

: Fundmentals and Applications 2nd ed, Menlo

Park : The Benjamin / Cummings Publ, Co., Inc.

Bollag, W. B and Bollag, J. M, 1992, Biodegradation

Encyclopedia of Microbiology, Ledergerg, J, Ed,

Academic Press Inc, Boston : 269 – 276.

Dad, 2000, Bacterial Chemistry and Physiology, John

Wiley and Sons Inc., NewYork.

Fessenden,R.J. dan J.S. Fessenden. 1999. Kimia

Organik. Jilid 1, a.b. Aloysius Hadyana Pudjaat-

maka, Erlangga, Jakarta.

Gadd, G. M., 1990, Metal Tolerance in Microbiology

of Extreme Envirenment, Edward, C., ed, Open

University Press, Milton Keynes : 178 – 210.

Ginting, P, 2007, Sistem Pengelolaan Lingkungan

dan Limbah Industri, Yrama Widya, Bandung.

Hefang, HuWenrong and LiYuezhong, 2004,

Biodegradition mechanisms and kinetics of azo

dys 4BS by a micobial consortium, Chemosphere

57:293-301.

Indrawati, 2008, Dekolorisasi Larutan Remazol

Brilliant Blue Menggunakan Ozon Hasil

Elektrolisis, Makalah Penelitian UNDIP,

Semarang.

Manurung, R & Irvan, 2004, Perombakan Zat Warna

Azo Reaktif Secara Anaerob, Jurnal Kimia USU,

Sumatera Utara.

Metcalf And Eddy, 2003, Wastewater Engineering,

Treatment and Reuse. Fourth Edition, McGraw

Hill Higher Education, New York.

Sastrawidana, I Dewa K., Bibiana W. Lay, Anas

Miftah Fauzi, Dwi Andreas Santoso, 2010,

Pengolahan Limbah Tekstil Sistem Kombinasi

Anaerobik-aerobik Menggunakan Biofilm

Bakteri Konsorsium dari Lumpur Limbah

Tekstil, Ecotrophic 3 (2) :55-60.

Soeparno, 1992, Ilmu dan Teknologi Daging, Gajah

Mada University, Yogyakarta.

Sudaryati, YS., Rahayu, SH., Setianingrum, N.,

Naiola, E, 2011, Kemampuan Bacillus

licheniformis dalam Memproduksi Enzim

Protease yang Bersifat Alkalin dan Termofilik,

Artikel, Media Litbang Kesehatan Volume 21

Nomor 2 Tahun 2011.

Suyasa, Wayan Budiarsa, 2015, Pencemaran Air dan

Pengolahan Air Limbah, Udayana University

Press, Denpasar.

Van der Zee, 2002, Anaerobic azo dye reduction,

Thesis, Wageningen University, Netherland.

Page 15: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

15

STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG MANUCOCO

BERBASIS MASYARAKAT DI KOTA ADMINISTRATIF ATAURO,

DILI TIMOR-LESTE

Ernesto Matos Soares1*), I Made Antara 2), I Made Adhika 3)

1) Direktorat Jenderal Lingkungan Hidup Timor-Leste2) Fakultas Pertanian, Universitas Udayana

3) Fakultas Teknik, Universitas Udayana

*) Email: [email protected]

ABSTRACT

Manucoco Protected Area is a mountainous conservation area which is very important for Atauro

community because it functions as water catchment areas, especially water sources, important habitat for

birds and other biodiversity, but there are still problems that occur such as deforestation, shifting cultivation,

system of slash-and-burn cultivation, area zoning is not clear, the expansion of settlements and forest fires,

all of these problems can give a less impact on ecological functions of the forest. The aims of this study are 1)

to describe the perception of the public about the conservation of natural resources Manucoco Protected Area

as a conservation area 2) to formulate management strategies for community-based Manucoco Protected

Area. The data collection techniques used questionnaires, interviews, documentation, and focus group

discussions, whereas the determination of the respondents used a purposive sampling method. To formulate

a management strategy, internal and external factors were identified by using SWOT analysis. The results

showed that the public perception of the function of the forest was that the forests had multiple functions, the

public perception related to management policies showed that people did not know the forestry legislations.

Public perception regarding the rights and obligations in the management strategy namely the public has

the perception that forests are common property. Based on the SWOT analysis produced several community-

based management strategies that can be used in the management of Manucoco protected areas as follow 1)

Maximizing the primary function of forests, (2) Increasing public knowledge through an intensive socialization

(3) Increasing the involvement or participation of the community 4) Encouraging the community-based

forests protection through HKM 5) Acceleration of area zoning 6) Increasing related department supervision

7) Performing the empowerment of communities around the protected areas 8) Preparing management

plans which needs to involve all stakeholders 9) Establishing the management unit in the village/sub-district

levels.

Keywords: Manucoco Protected Area, Pubic Perception, Conservation, Management Strategy

1. PENDAHULUAN

Kawasan lindung sebagai kawasan yang

mempunyai manfaat untuk mengatur tata air,

pengendalian iklim mikro, habitat kehidupan liar,

sumber plasma nutfah serta fungsi sosial budaya bagi

masyarakat di sekitarnya dengan demikian

pengelolaan kawasan lindung harus betul-betul

sesuai tingkat kepentinganya bagi suatu wilayah.

Pengelolaan hutan mempunyai peran penting

untuk menunjang kelangsungan hidup semua

mahluk hidup khususnya umat manusia, hutan

tidak hanya memberikan manfaat langsung (tangible

use) sebagai sumber penghasil hasil hutan berupa

kayu dan non kayu, tetapi hutan juga memberikan

manfaat tidak langsung (intangible use) sebagai

pengatur tata air, kesuburan tanah, iklim mikro,

pencegah erosi dan longsor, sehingga eksistensinya

perlu tetap dipertahankan melalui pengaturan fungsi

hutan, sehingga hutan diartikan sebagai asosiasi

masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang

didominasi oleh pohon-pohonan dengan luasan

tertentu sehingga dapat membentuk iklim mikro dan

kondisi ekologi tertentu (Suparmoko,1997). Widada

et al. (2006) bahwa hutan mempunyai beberapa

fungsi diantaranya; mengatur tata air, mencegah dan

membatasi banjir, erosi serta memelihara kesuburan

tanah selain itu juga menyediakan hasil hutan untuk

keperluan masyarakat, memberikan keindahan

alam khususnya dalam bentuk cagar alam, suaka

margasatwa,taman wisata, sebagai laboratorium

untuk ilmu pengetahuan, pendidikan dan pariwisata

fungsi lain juga sebagai salah satu unsur strategi

pembangunan nasional.

Pengelolaan berbasis masyarakat merupakan

suatu upaya pengelolaan yang dilakukan oleh

masyarakat bersama-sama dengan pemerintah

setempat, pengelolaan berbasis masyarakat

ECOTROPHIC • 11 (1) : 15 - 22 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Page 16: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

16

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

bertujuan untuk melibatkan masyarakat secara aktif

dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan

pengelolaan (Tulungen et al.2002).

Persepsi adalah pandangan atau penilaian

seseorang terhadap obyek tertentu yang dihasilkan

oleh kemampuan mengorganisasi pengamatan,

persepsi sebagai proses pengorganisasian,

penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima

oleh organism atau individu sehingga merupakan

proses yang berarti dan merupakan proses integral

dalam diri individu. Persepsi merupakan proses

penginderaan dan penafsiran rangsangan suatu

obyek atau peristiwa yang diinformasikan, sehingga

seseorang dapat memandang, mengartikan dan

menginterpretasikan rangsangan yang diterimanya

sesuai dengan keadaan dirinya dan lingkungan

dimana berada, sehingga dapat menentukan

tindakannya Walgito (dalam Boedojo, 1986)

Wilayah hutan Timor-Leste ± 869.130.41ha,

mewakili 59% dari keseluruhan luas wilayah daratan

1.493.130.41 ha, kawasan hutan Timor-Leste

diklasifikasi menjadi dua bagian yaitu hutan yang

mempunyai tutupan bagus 312,930.67 ha dan

tutupan hutannya kurang 556.199.74 ha. (MAFP,

2004). Deforestasi disebabkan sistem curah hujan dan

topografi di mana 41% dari total wilayah memiliki

lereng lebih besar dari 40% (Mota, 2002). Timor-

Leste memiliki 44 Kawasan Lindung yang telah

ditetapkan berdasarkan Peraturan UNTAET No.19

tahun 2000.

Kawasan Lindung (KL) Manucoco merupakan

kawasan konservasi pegunungan yang sangat

penting bagi masyarakat Atauro karena mempunyai

fungsi sebagai daerah resapan air terutama sumber

mata air, habitat penting bagi burung dan

keanekaragaman hayati lainnya, kawasan ini

ditetapkan oleh Pemerintah Timor-Leste mengacu

pada peraturan UNTAET No.19 tahun 2000, luas

area KL Manucoco ± 4000 ha, secara administratif

KL Manucoco terletak di Kota Administatif Atauro

dengan ketinggian 700-970 meter dpl. Keberadaan

KL Manucoco sangat penting bagi Pulau Atauro yang

kondisi geografinya kebanyakan berlereng terdapat

sedikit dataran rendah di sekitar daerah pesisir,

kondisi topografinya didominasi oleh bebatuan

karang, curah hujannya pendek sehingga daerah ini

adalah daerah kering, sehingga sangat penting untuk

dikonservasi dan dilestarikan sebagai sumber

penyedia sumber air bagi pulau tersebut karena

kebanyakan sumber air bersih yang digunakan oleh

masyarakat sumbernya dari KL Manucoco.

Belum adanya upaya pengelolaan terhadap

kawasan lindung ini sehingga terjadi berbagai

fenomena di antaranya kegiatan berladang

masyarakat, pengambilan kayu bakar sebagai

sumber energi bahan bakar dan penebangan pohon

untuk kepentingan membuat rumah dan kapal

tradisional/sampan, ladang berpindah, sistem

bercocok tanam tebas dan bakar bertambahnya

pemukiman penduduk dan kebakaran hutan semua

permasalahan tersebut erat hubungannya dengan

masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan lindung.

Keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi perlu

keterlibatan pemerintah secara aktif untuk

mengajak dan merangkul masyarakat sekitar hutan

untuk ikut menjaga keutuhan kawasan hutan dan

memberikan pemahaman betapa pentingnya fungsi

dan manfaat kawasan yang ada di sekitarnya,

masyarakat tidak dilibat dalam suatu rencana

pengelolaan maka masyarakat dihadapkan pada

posisi yang dilematis dimana di satu sisi bertindak

sebagai pelaku pembangunan dalam aktivitas

kesehariannya untuk bertindak sebagai pelindung

kelestarian hutan dan di sisi lain masyarakat juga

turut serta berpartisipasi dalam perusakan, hal ini

bisa di pengaruhi karena faktor ekonomi, sosial atau

budaya yang melatarbelangi serta faktor

pengetahuan yang minim.

Artikel ini membahas tentang dua hal pokok

yang menjadi fokus pada penelitian ini yaitu 1)

Bagaimana persespsi masyarakat tentang konservasi

sumberdaya alam KL Manucoco, 2) Bagaimana

strategi pengelolaan KL Manucoco sebagai kawasan

konservasi berbasis masyarakat.

Penelitian ini dimaksudkan untuk merumuskan

suatu strategi pengelolaan KL Manucoco berbasis

masyarakat berdasarkan persepsi masyarakat

sebagai acuan dan arahan untuk pengelolaan ke

depan.

2. METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan di KL (Kawasan

Lindung) Manucoco Kota Administratif Atauro,

terutama desa yang berdekatan dengan kawasan

lindung seperti Desa Macadade, Desa Maquili, Desa

Vila dan Desa Beloi, metode yang digunakan adalah

metode penelitian kualitatif dan kuantitatif, data

yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

primer dan data sekunder, untuk memperoleh data

persepsi masyarakat mengunakan kuisioner/angket,

analisis data mengunakan analisis deskriptif

kualitatif, dalam merumuskan strategi pengelolaan

mengunakan analisis SWOT berpedoman pada faktor

internal dan eksternal, diskusi wawancara dan

dokumentasi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Keadaan Umum KL Manucoco

KL Manucoco merupakan kawasan hutan

konservasi yang berada di Kota Administratif Atauro

Kota Madya Dili dengan luas 4000 hektar, meskipun

sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung kebijakan

Page 17: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

17

pemerintah untuk melakukan pengelolaan terhadap

kawasan tersebut belum berjalan secara maksimal,

secara keseluruhan masyarakat bersedia untuk

mendukung kebijakan pemerintah dalam

pengelolaan KL Manucoco. Potensi sumberdaya alam

KL Manucoco seperti tanaman hias (bunga

anggrek),rotan, pohon enau, bambu, kopi dan

tanaman hutan lainnya seperti pohon kayu saria

(Toona sureni), pohon kenari (Canarium reidentalia),

ai na (Ptedocarpus indicus) dan berbagai jenis pohon

lainnya, KL Manucoco sebagai habitat penting bagi

burung, observasi peneliti terhadap aktivitas

masyarakat dapat dilihat bahwa masyarakat dari

desa yang ada di sekitar kawasan lindung banyak

melakukan aktivitas perladangan untuk menanami

jagung, kacang, ketela pohon, kelapa, pisang, nenas

dan tanaman buah-buahan lainnya.

KL Manucoco memiliki berbagai fungsi yakni

fungsi sosial, fungsi ekologis dan fungsi ekonomis,

fungsi sosial hutan sebagai tempat wisata atau

rekreasi, KL Manucoco menyimpan keindahan alam

dan keanekaraman hayati baik flora maupun fauna

yang bisa dikelola sebagai obyek wisata alam, fungsi

ekologis berdasarkan pengamatan di lapangan

terlihat bahwa masyarakat Atauro umumnya

mengunakan mata air yang ada di KL Manucoco

sebagai sumber air bersih, ada beberapa sumber mata

air yang permanen atau sepanjang tahun tersedia

yaitu di Desa Maquili terdapat Mata Air Tulai dan

Mata Air Ebua, sedangkan di Desa Macadade yaitu

Mata Air di Kampung Berau, Mata Air Era Amak,

Mata Air Essuan, Mata Air Era Apak, Mata Air Eralu

dan Mata Air Asame Lolon pemanfatan sumber air

yang ada untuk kepentingan masyarakat Kota

Administratif Atauro untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari baik untuk air minum,memasak

maupun mandi. Fungsi ekonomis ialah hutan dapat

menyediakan tanah yang subur dan hasil hutan yang

bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk

mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan

hidup yaitu melakukan aktivitas sehari-hari dengan

bertani di sekitar kawasan lindung, mencari kayu

bakar dan menebang pohon yang besar untuk

membuat perahu tradisional, pengalaman hidup

sehari-hari masyarakat memberikan kontribusi

terhadap timbulnya persepsi bahwa hutan memiliki

fungsi ekonomi.

3.2. Persepsi Masyarakat Mengenai KL

Manucoco Sebagai Kawasan Konservasi

Berdasarkan data persepsi masyarakat

mengenai pelestarian KL sebagai kawasan konservasi

terbagi dalam tiga bagian, diantaranya persepsi

masyarakat mengenai fungsi KL Manucoco, persepsi

masyarakat tentang kebijakan pengelolaan, persepsi

masyarakat tentang hak dan kewajiban masyarakat

dalam pengelolaan.

Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian

Strategi Pengelolaan Kawasan Lindung Manucoco Berbasis Masyarakat di Kota Administratif Atauro...... [Ernesto Matos Soares, dkk.]

Page 18: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

18

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

3.2.1. Persepsi Masyarakat Mengenai Fungsi

Hutan KL Manucoco

A. Persepsi masyarakat mengenai fungsi hutan

Persepsi masyarakat mengenai fungsi hutan,

dianalisis bahwa hutan merupakan salah satu

komponen penting sumberdaya alam yang

mempunyai fungsi majemuk yaitu memiliki fungsi

sosial (sebagai tempat rekreasi/berlibur), fungsi

ekologis (seperti menyimpan cadangan air, mencegah

banjir/erosi dan sebagai tempat hidup fauna serta

keanekaragaman hayati lainya) dan fungsi ekonomi

(untuk mencari penghasilan), persepsi tersebut

ditunjukan dengan 60% respon den mempersepsikan

bahwa hutan memiliki banyak fungsi (majemuk)

sedangkan 40% mempersepsikan bahwa hutan

memilki fungsi tunggal.

B. Persepsi masyarakat mengenai fungsi

sumberdaya alam KL Manucoco

Pada umumnya masyarakat yang memper-

sepsikan fungsi hutan yang masih baik ditandai

dengan adanya kerapatan vegetasi, aktivitas

masyarakat yang rendah di dalam kawasan adanya

pemanfaatan jasa lingkungan serta ketersediaan

sumber mata air, masyarakat yang mempersepsikan

fungsi hutan masih baik mengindikasikan bahwa

secara sadar maupun tidak masyarakat akan

mengamati kondisi hutan seperti luas hutan dan

jumlah penduduk yang tinggal di kawasan hutan

meskipun masyarakat tidak secara spesifik

menyebutkan angka kuantitatif luas hutan dan

jumlah penduduk yang tinggal di kawasan hutan,

persepsi masyarakat dibuktikan dengan 66,67%

responden menyatakan bahwa KL Manucoco masih

berfungsi dengan baik sebagai kawasan konservasi,

17,78% menyatakan tidak berfungsi dengan baik dan

15,55 menyatakan tidak tahu, masyarakat yang

mengatakan bahwa kondisi hutan masih baik tidak

selalu bermakna fungsinya masih baik, melainkan

dapat bermakna bahwa masyarakat setempat masih

dapat menggantungkan kehidupan sosial

ekonominya akibat keberadaan hutan.

C. Persepsi masyarakat mengenai pengaruh KL

Manucoco terhadap kehidupan masyarakat

Berdasarkan hasil tabulasi terhadap persepsi

masyarakat menunjukkan bahwa 53,33%

menyatakan KL Manucoco berpengaruh terhadap

kehidup masayarakat, 20% menyatakan tidak

berpengaruh dan 26,67% tidak tahu, hasil tersebut

menunjukkan bahwa adanya interaksi masyarakat

terhadap kawasan hutan meningkat atau

kemungkinan masyarakat umumnya berprofesi

sebagai petani sehingga mau tidak mau harus

melakukan aktivitas bertani di sekitar kawasan

hutan sebagai sumber kehidupannya baik ekonomi

maupun sosial, sadar atau tidak meningkatnya

tingkat ketergantungan pada hutan akan

berpengaruh terhadap fungsi kawasan dan luasan

hutan.

3.2.2. Persepsi Masyarakat Tentang Kebijakan

Pengelolaan

A. Pengetahuan masyarakat mengenai peraturan

perundanagan

Berdasarkan hasil tabulasi pengetahuan

masyarakat tentang peraturan perundangan

menunjukkan bahwa 68,88% tidak mengetahui

tentang peraturan perundanagan kehutanandan

31,11% tahu, kondisi ini mungkin disebabkan karena

saat ini Timor-Leste belum memiliki UU Kehutanan

dan minimnya frekuensi sosialisasi.

B. Persepsi masyarakat mengenai kelembagaan

pengelolaan hutan.

Masyarakat punya persepsi bahwa lembaga

pengelola harus ditandai dengan adanya bangunan

fisik seperti tersedia kantor untuk aktivitas para

pengelola, persepsi tersebut dibuktikan dengan

71,11% responden menyatakan bahwa KL Manucoco

belum mempunyai lembaga pengelola, 6.67%

menyatakan ada dan 22,22% tidak tahu, berdasarkan

hasil tersebut secara tidak sadar masyarakat sudah

mempersepsikan bahwa hutan perlu dikelola. Belum

adanya lembaga pengelola secara psikologis terkait

dengan stimulan persepsi yang tumbuh di

masyarakat bahwa hutan merupakan teritori yang

bebas dan bisa di manfaatkan untuk kegiatan apa

saja secara bebas atau sembarangan oleh

masyarakat.

C. Persepsi masyarakat mengenai Pengelolaan

hutan membutuhkan rencana

Persepsi masyarakat mengenai perlu adanya

rencana dalam pengelolaan hutan maka baik

responden yang menjawab tahu tentang Undang-

Undang Kehutanan maupun yang tidak tahu,

semuanya menjawab bahwa dalam pengelolaan

hutan memerlukan rencana, hal ini dibuktikan

dengan 55,56% menjawab bahwa perlu adanya

rencana dalam pengelolaan sumberdaya hutan,

35,55% tidak membutuhkan rencana, 8,89% tidak

tahu, hasil ini menunjukkan masyarakat

mempersepsikan kebijakan sebagai sesuatu yang

sifatnya diberikan (given) dari pemerintah sebagai

pembuatan kebijakan tanpa diketahui masyarakat

dari mana asal kebijakan itu

D. Persepsi masyarakat mengenai peran serta

dalam pengelolaan KL Manucoco

Kebijakan yang diterapkan dengan tujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga

masyarakat menyadari bahwa kebijakan sebagai

sesuatu yang familiar bagi masyarakat, berdasarkan

Page 19: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

19

jawaban responden bahwa perlu peran serta

masyarakat dalam pengelolaan hutan, yaitu

sebanyak 64,44% responden berpendapat bahwa

masyarakat perlu dilibatkan dalam proses

pengelolaan hutan, tidak perlu 20% dan 15,56% tidak

tahu, hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada

pelibatan masyarakat akan berdampak terhadap

tidak adanya rasa memiliki dan peran sertanya

dalam pelestarian hutan sedangkan masyarakat yang

dilibatkan dalam pengelolaan hutan tentu rasa

memiliki relatif lebih tinggi dibandingkan

masyarakat yang tidak dilibatkan.

E. Persepsi masyarakat mengenai bentuk pelibatan

yang diinginkan dalam pengelolaan

Kebijakan pengelolaan hutan yang diterapkan

harus menyentuh aspek mendasar kehidupan

masyarakat yakni aspek ekonomi, pelibatan dalam

kerangka pemenuhan kesejahteraan masyarakat

sebenarnya secara otomatis dapat menjamin bahwa

masyarakat memiliki rasa tanggungjawab untuk

menjaga kelestarian hutan sebagai sumber

penghidupannya Persepsi masyarakat mengenai

bentuk pelibatan menunjukkan 57,78% responden

ingin untuk berpatisipasi dalam pengelolaan (pola

pengelolaan partisipatif) sehingga dapat memperoleh

manfaat ekonomi, turut mengawasi pengelolaan

hutan supaya tidak disalahgunakan. Bentuk

pelibatan yang diinginkan tersebut berarti

masyarakat tidak ingin sekedar dilibatkan dalam

pengelolaan hutan dalam bentuk mengawasi

kelestarian hutan, melainkan melalui keterlibatan

akan mendapatkan manfaat ekonomi, keterlibatan

tersebut berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi

masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, artinya

jika ada masyarakat yang tinggal di kawasan hutan

maka kepentingan ekonominya harus diperhatikan.

F. Persepsi masyarakat mengenai Penyuluhan/

sosialisasi instansi terkait

Penyuluhan merupakan faktor yang penting dan

sebagai salah satu bentuk tindakan dalam rangka

implementasi kebijakan pengelolaan dan pelestarian

hutan, terkait dengan penyuluhan maka 48,88%

responden menjawab bahwa penyuluhan pernah

dilakukan dan tidak pernah 26,67% dan tidak tahu

24,44%, Jawaban ini menunjukkan bahwa tidak

meratanya sosialisasi yang dilakukan instansi terkait

kepada masyarakat, program penyuluhan yang

dilakukan hanya sebagai mengejar target program

semata tanpa mengedepan manfaat dari program

tersebut.

3.2.3. Persepsi Masyarakat mengenai Hak dan

Kewajiban dalam Pengelolaan

A. Persepsi masyarakat mengenai hak dan

kewajiban dalam pengelolaan

Berdasarkan analisis persepsi masyarakat

mengenai hak dan kewajiban dalam pengelolaan

hutan merupakan satu paket kegiatan yang tidak

dapat dipisahkan satu dan lainnya dalam rangka

memenuhi rasa keadilan publik (public justice)

artinya bahwa pemenuhan kewajiban oleh

masyarakat harus disertai adanya jaminan bahwa

haknya juga dipenuhi, sesuai dengan hasil analisis

diketahui bahwa masyarakat tidak memiliki

pengetahuan yang memadai tentang peraturan

perundangan kehutanan, jawaban ini dibuktikan

dengan 62,22% responden tidak mengetahui hak dan

kewajiban dalam pengelolaan hutan dalam konteks

hukum yang ada.

B. Persepsi masyarakat mengenai tindakan

konservasi

Masyarakat memiliki persepsi bahwa tindakan

konservasi itu perlu karena di dalam tindakan

konservasi tersebut masyarakat memiliki

kepentingan sosial ekonomi,tindakan konservasi

hutan sebenarnya dalam pengertian bahwa

konservasi tersebut mensyaratkan adanya periode

penanaman dan penebangan hutan, masyarakat

mempersepsikan bahwa jika sudah menanam dan

merawat tanaman/pohon di hutan, terlepas dari

jenisnya, periode penanaman dan pemanenan hasil,

maka menurut masyarakat hal itu berarti sudah

ikut berpartispasi dalam konservasi hutan,

masyarakat berpendapat bahwa konservasi tersebut

menguntungkan karena bisa memenuhi kebutuhan

ekonominya, persepsi ini dibuktikan dengan 88,89%

responden menjawab bahwa tindakan konservasi

menguntungkan dan 11,11% tidak tahu.

C. Persepsi masyarakat mengenai aktivitas

mengubah fungsi pokok KL Manucoco

Terlepas dari pengetahuan masyarakat tentang

fungsi pokok hutan masyarakat memiliki persepsi

bahwa di kawasan hutan dimana mereka berdomisili

cenderung tidak ada aktivitas yang merubah fungsi

pokok hutan, persepsi ini dibuktikan dengan jawaban

responden 46,67% ada aktivitas mengubah fungsi KL

Manucoco, tidak ada 42,22% dan tidak tahu 11,11%,

hasil ini menunjukkan bahwa berubahnya fungsi

pokok hutan salah satunya disebabkan oleh tekanan

kebutuhan akan perumahan seiring dengan

pertumbuhan penduduk dan aktivitas budidaya.

Strategi Pengelolaan Kawasan Lindung Manucoco Berbasis Masyarakat di Kota Administratif Atauro...... [Ernesto Matos Soares, dkk.]

Page 20: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

20

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Tabel 3.1. Identifikasi Faktor Internal dan Faktor Eksternal

Faktor Internal Faktor Eksternal

Faktor Kekuatan (Strength) Faktor peluang (Opportunitties)

1. KL Manucoco sebagai kawasan konservasi 1. Adanya dukungan pemerintah lokal dalam upaya konservasi

2. Keinginan masyarakat untuk turut serta dalam pengelolaan 2. Masyarakat mendukung untuk berpartisipasi dalam pelestarian kawasan

hutan KL Manucoco lindung Manucoco

3. Sebagai daerah resapan air dan daerah penting bagi burung 3. Status sebagai kawasan lindung

4. Adanya kearifan lokal tarabandu untuk pelestarian hutan

5. Kondisi hutan primer masih baik

Faktor Kelemahan (weaknesses) Faktor Ancaman (Threats)

1. Pengetahuan masyarakat tentang peraturan perundangan 1. Penebangan pohon

kehutanan masih minim 2. Lahan berpindah

2. Kurangnya keterlibatan/swadaya masyarakat dalam pelestarian hutan 3. Adanya pemukiman warga masuk ke dalam kawasan hutan

3. Penataan kawasan belum jelas 4. Kebakaran hutan

4. Minimnya petugas kehutanan dalam pengawasan

5. Kurangnya pemberdayaan masyarakat.

6. Rendanya intensitas sosialisasi

7. Lemahnya penegakan hukum

8. Tidak ada unit/lembaga pengelola

Page 21: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

21

D. Persepsi Masyarakat Mengenai Kearifan

Lingkungan

Kearifan lingkungan atau kearifan lokal (local

wisdom) merupakan suatu kebiasaan tradisional

yang ada pada suatu daerah yang dipercaya dapat

berkontribusi dalam menjaga atau melestarikan SDA

yang ada pada suatu daerah, menurut informasi yang

dapat di lapangan bahwa dalam upaya untuk

menjaga kelestarian SDA bahwa telah dilakukan

aktivitas upacara ritual tara bandu yang

diselengarakan yang diprakarsa oleh tokoh adat

setempat dengan bantuan dari pemerintah yaitu

sebagai upaya melarang masyarakat agar tidak

merusak sumberdaya alam, hal yang dipantangkan

seperti dilarang membakar hutan, jangan

sembarang menebang pohon di sumber mata air dan

lain-lain, apa bila melanggar atau kedapatan maka

akan dikenakan sanksi, persepsi ini dibuktikan

dengan 84,44% menyatakan ada kearifan lingkungan

untuk menjaga kelestarian SDA KL Manucoco.

3.3. Strategi Pengelolaan KL Manucoco Sebagai

Kawasan Konservasi

3.3.1. Identifikasi Faktor Internal dan

Eksternal

Penyusunan strategi pengelolaan sumberdaya

hutan KL Manucoco diawali dengan pengumpulan

data faktor internal (Kekuatan dan Kelemahan) dan

faktor eksternal (Peluang dan Ancaman) untuk

merumuskan strategi-strategi pengelolaan, seperti

disajikan pada Tabel 3.1

3.3.2 Strategi Pengelolaan KL Manucoco

Sebagai Kawasan Konservasi

Berpedoman pada hasil observasi lapangan

jawaban responden diskusi dan wawancara maka

terindentifakasi faktor internal (kekuatan dan

kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman)

yang mempengaruhi pengelolaan KL Manucoco

kemudian dianalisis untuk merumuskan strategi

pengelolaan sumberdaya alam KL Manucoco sebagai

kawasan konservasi seperti pada Tabel 3.2

4. SIMPULAN DAN SARAN

4.1. Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat

dirumuskan beberapa simpulan sebagai berikut:

1. Persepsi masyarakat terhadap pelestarian

sumberdaya alam KL Manucoco sebagai

kawasan konservasi antara lain:

a) Persepsi masyarakat mengenai fungsi hutan

bahwa hutan memiliki beraneka ragam

fungsi (majemuk) yaitu fungsi ekologis,

fungsi sosial dan fungsi ekonomi.

b) Persepsi masyarakat mengenai kebijakan

pengelolaan pada umumnya masyarakat

tidak mengetahui peraturan atau regulasi

yang mengatur tentang kehutanan,

sehingga masyarakat tidak mempunyai pola

berfikir mengenai tindakan pengelolaan dan

pelestarian hutan

c) Persepsi masyarakat mengenai hak dan

kewajiban dalam pengelolaan sumberdaya

alam ialah masyarakat beranggapan bahwa

hutan merupakan barang publik (common

property) sehingga masyarakat merasa

punya hak dan kewajiban untuk

berpartisipasi untuk menjaga dan

memelihara kelestarian sumberdaya alam

yang ada, selain itu masyarakat

mempersepsikan bahwa kearifan lokal/

aturan adat sangat bermanfaat dalam upaya

pelestarian sumberdaya alam.

2. Strategi Pengelolaan KL Manucoco Berbasis

Masyarakat yang perlu dilakukan yaitu: (1)

memaksimalkan fungsi utama hutan (2)

meningkatkan program sosialisai secara intensif

(3) Menerapkan pola perlindungan dan

pengamanan hutan berbasis masyarakat (4)

meningkatkan keterlibatan atau peran serta

masyarakat dan instansi terkait dalam upaya

konservasi terhadap KL Manucoco (5) percepatan

penataan kawasan (6) meningkatkan

pengawasan terhadap pelestarian hutan (7)

meningkatkan pemberdayaan terhadap

masyarakat sekitar kawasan lindung melalui

HKM (8) penyusunan rencana/kebijakan

pengelolaan bersama perlu melibatkan semua

komponen masyarakat (stakeholder) (9)

pembentukan unit pengelola tingkat desa atau

kecamatan.

4.2. Saran

Berdasarkan pembahasan maka dapat

disarankan beberapa hal yang perlu dilakukan dalam

pengelolaan KL Manucoco sebagai berikut:

1) Para pemangku kepentingan (stakeholder)

diharapkan untuk menerapkan strategi-strategi

yang hasilkan dalam penelitian ini sebagai acuan

untuk pengelolaan KL Manucoco ke depan

2) Pemerintah perlu merampungkan proses

pembuatan Peraturan Perundangan-

Kehutanan sebagai payung hukum untuk

mengatur tata kelola Kehutanan di Timor-Leste

dan khususnya KL Manucoco

3) Perlu membentuk unit pengelola tingkat desa

atau kecamatan (UPTD/UPTK) untuk

melakukan pengelolaan atau pelestarian

terhadap KL Manucoco

Strategi Pengelolaan Kawasan Lindung Manucoco Berbasis Masyarakat di Kota Administratif Atauro...... [Ernesto Matos Soares, dkk.]

Page 22: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

22

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

4) Perlu dilakukan sosialisasi secara intensif serta

meningkatkan pemberdayaan terhadap masya-

rakat yang tinggal di sekitar kawasan lindung

5) Bagi masyarakat Atauro perlu menghidupkan

nilai kebersamaan untuk mempertahankan KL

Manucoco sebagai aset penting melalui program

konservasi secara swadaya untuk tetap menjaga

fungsi ekologis hutan

DAFTAR PUSTAKA

Boedojo.1986. Arsitektur, Manusia dan Penga-

matannya. Jakarta: Djambatan

Hadi, P.2005. Dimensi Lingkungan Perencanaan

Pembangunan. Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta.

Mota,F. (2002). Timor Leste: As novas Florestas do

Pais.Ministério da Agricultura e Pescas, Direcção

Geral de Agricultura, Divisão de Florestas.

Suparmoko,1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan

Lingkungan, BPFE: Yogyakarta

Tulungen J. Bayer. T, Dimpudus. M, Kasmidi. M,

Rotinsulu. C, Sukmara. A,

Tangkilisan N. (2002). Panduan Pembentukan dan

Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis

Masyarakat. Departemen Kelautan dan

Perikanan Jakarta

Peraturan UNTAET No. 19/2000 Tentang Penetapan

Zona Kawasan Lindung Timor-Leste

Widada, Sri Mulyati, Hirishi Kobayashi, (2006).

Sekilas Tentang Konservasi Sumberdaya Alam

Hayati dan Ekosistemnya, Jakarta: Pt. Penebar

Swadaya

Page 23: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

23

STATUS DAN STRATEGI PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERHOTELAN

DI KAWASAN KOTA MADYA DILI TIMOR - LESTE

Adalgisa D.D.G. Alvares1*), Budiarsa Suyasa2), Syamsul A. Paturusi3)

1)Kementerian Pertanian dan Perikanan Timor-Leste2)Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Udayana

3)Program Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana

* E-mail: [email protected]

ABSTRACT

The research held about to reach two goals. To find out the condition and the strategy about the

management of hotel environment at Dili. The decision of area research is held with purposive. All hotel in

Dili will be chosen as the samples, it means that it will be held with census. Next, as the respondents in this

research is the manager of the hotels. The result of this research shows that there are seven variables. They

are the loyalty for its regulation, the programme and appreciation of environment, green park and space, the

management of waste water, the management of rubbish, the management of emission, the management of

non enviromental things. The indicator of the regulation (rules) of the company can be identified by using

AMDAL document. The indicator of the programme and appreciation of environment can be identified by

using the policy and appreciation that is dotained from this environment. The indicator of waste water

management, can be recognized by using IPAL. The indicator of rubbish management can be recognized by

using its mechanism. The indicator of emission management can be recognized by using its mechanism.

The indicator of non environmental things management can be identified by using its mechanism. The level

of this implementation for the hotel environment at Dili is about 65,08 % (Fairly). The implementation of per

variable can be seen that the percentage of the loyalty for its regulation is about 74,8 % (good), the programme

and appreciation of environment is about 44 % (not good), green park and space is about 76,8 % (good), the

management of waste water is about 81,6 % (good), the management of rubbish is about 60,8 % (fairly), the

management of emission is about 63,2 % (fairly), the non enviromental things management is about 54,4 %

(fairly). The indicator supported by the environment needs the attention of hotel management which improves

the hotel image for tourist or guests in the hotel.

Key Words : Hotel, Area, Dili, Management, Condition, Strategy

1. PENDAHULUAN

Saat ini masalah lingkungan telah menjadi isu

global, ditengah-tengah proses pembangunan yang

berjalan pesat. Lingkungan alam, sangat penting

bagi manusia yang menjadi subyek pembangunan.

Protes,friksi, dan konflik yang kini terjadi dalam

proses pembangunan, karena manusia merasa telah

terdesak secara sosial,ekonomi, dan juga lingkungan.

Dampak lingkungan, bisa menyebabkan kehidupan

manusia menjadi tidak sehat,terdesak, dan tidak

mendapatkan manfaat yang wajar dari proses

pembangunan dikawasannya.

Pembangunan hotel dan infrastruktur lainnya

di Kota Dili telah menekankan pada keberlanjutan

prospek di bidang pariwisata. Hal ini tercermin pada

visi pembangunan kota Dili tahun 2011-2030 yakni

: menuju pembangunan berkelanjutan. Esensinya

adalah bahwa pembangunan Kota Dili memang

diharapkan akan menuju pada kemakmuran dan

kesejahteraan masyarakat. Namun dalam proses

untuk tujuan itu, haruslah dilandaskan pada prinsip

harmoni dan kebersamaan, sesuai dengan hakekat

konsep pembangunan nasional. Seiring dengan

penerapan strategi pembangunan pada Kawasan di

Kota Dili, maka hotel yang kini banyak dibangun di

Dili, diharapkan juga menerapkan strategi penge-

lolaan lingkungan yang baik karena pembangunan

hotel dalam proses pembangunan kepariwisataan di

Kota Dili memiliki dampak yang sangat besar.

Oleh karenanya, perlu ada penelitian tentang

status dan strategi pengelolaan lingkungan

perhotelan pada hotel-hotel di Kota Dili Timor-Leste,

Adapun tujuan pokok dari penelitian ini adalah

sebagai berikut : mengetahui status pengelolaan ling-

kungan perhotelan di Kawasan Kota Dili dan menyu-

sun strategi pengelolaan lingkungan perhotelan di

Kawasan Kota Dili.

2. METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan di Kota Madya Dili

Timor-Leste. Penelitian ini merupakan penelitian

survei yang menggunakan pendekatan secara

deskriptif kualitatif yang dikombinasikan dengan

ECOTROPHIC • 11 (1) : 23 - 28 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Page 24: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

24

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

analisis SWOT. Teknik pengumpulan data dilakukan

dengan cara observasi lapangan, wawancara

(interview) dan dokumentasi. Metode dan teknik

analisis data yang digunakan adalah analisis

deskriptif kualitatif dan analisis SWOT (Rangkuti,

2014).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kota Dili merupakan Pusat Ibu Kota Negara

Timor-Leste segala aktivitas terpusat di Kota Dili

salah satu sektor yang bergerak maju adalah sektor

pariwisata dimana Kota Dili mempunyai beberapa

Ikon pariwisata yang sangat menarik para

wisatawan untuk berkunjung ke Kota Dili.

Berdasarkan data dari Badan Pertanahan

Nasional Timor-Leste tahun (2009), luas wilayah

secara keseluruhan Kota Dili adalah 13.637,97 hektar

yang terbagi dalam 6 Kecamatan yaitu Kecamatan

Dom Aleixo, Kecamatan Cristo Rei, Kecamatan Vera

Cruz, Kecamatan Nain Feto, Kecamatan Metinaro,

Kecamatan Atauro.

Melihat kondisi riil di lapangan bahwa semua

hotel yang menjadi sampel dalam penelitian ini

terletak pada empat Kecamatan di Kota Dili Timor-

Leste yaitu pada Kecamatan Cristo Rei, Kecamatan

Dom Aleixo, Kecamatan Vera Cruz dan Kecamatan

Nain Feto

3.2 Status Pengelolaan Lingkungan Perho-

telan di Kawasan Kota Dili

Dalam kaitannya dengan penelitian tentang

status pengelolaan lingkungan perhotelan harus

dilaksanakan dengan tidak hanya untuk memahami

lingkungan fisik saja tetapi perlu juga memahami

berbagai hal yang berkaitan dengan lingkungan

manusia dan lingkungan spiritual. Hal itu

disebabkan karena hotel menampung para tamu yang

memiliki karakter yang berbeda-beda, namun

mereka memerlukan ketenangan dan harmoni

dalam kehidupannya. Dengan adanya harmoni,

maka keberlanjutan eksistensi hotel di kawasan itu

akan lebih terjamin dan para tamu yang menginap

di hotel tersebut merasa nyaman dan puas tinggal

di hotel tersebut.Semua data yang ditampilkan dalam

Tabel 1 tersebut bersumber dari data yang

dikumpulkan di lapangan dan selanjutnya di

tampilkan dalam Tabel 1.

Tabel 1. menunjukkan bahwa penerapan status

dalam pengelolaan lingkungan perhotelan di

Kawasan Kota Dili termasuk kategori cukup dengan

skor 65,08 %. Hal ini mungkin disebabkan karena

minimnya sumberdaya manusia di bidang perhotelan

dalam mengelola managemen perhotelan dan

kurangnya campur tangan pemerintah dalam

memonitoring aktivitas perhotelan di Kota Dili,

dengan demikian kesadaran tentang peranan

lingkungan yang sangat penting artinya dalam

perkembangan pariwisata perlu diperhatikan dengan

Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian

Sumber : Dili Urban Master Plan, 2015.

Page 25: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

25

baik. Oleh karena itu pihak hotel tentu saja harus

mengantisipasi permasalahan itu, dengan secara

sungguh-sungguh memperhatikan masalah

lingkungannya.

Berkaitan dengan eksistensi variabel tentang

status pengelolaan lingkungan perhotelan di kawasan

Kota Dili, maka berikut akan diuraikan penerapan

ketujuh elemen dalam status pengelolaan lingku-

ngan perhotelan sebagai berikut:

3.2.1 Status Pengelolaan Lingkungan Variabel

Perizinan

Indikator pengelolaan lingkungan diukur

dengan berbagai parameter dalam penelitian ini

parameter yang digunakan untuk mengukur adalah:

Adanya Izin Usaha, dalam penelitian ini didapatkan

skor adalah 100 % (Sangat Baik). Hal ini

menunjukkan bahwa dalam menerapkan variabel

ketaatan pada perizinan/peraturan yang ada semua

pihak hotel sudah memiliki kesadaran yang tinggi

dalam hal ini semua pihak hotel telah memiliki izin

usaha. Adanya dokumen AMDAL/UKL/UPL, ada

pelaporan pelaksanaan sesuai aturan yang berlaku,

ada pelatihan pada staf, ada program lingkungan,

ada pengelolaan lingkungan bersama masyarakat.

Adapun skor yang didapat adalah 49,6 % ( tidak

baik ). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran pihak

hotel terhadap sistem dokumen pengelolaan

lingkungan sangat minim.

3.2.2 Status Pengelolaan Lingkungan Variabel

Program dan Penghargaan Lingkungan

Berbagai indikator yang diukur dalam elemen

program dan penghargaan lingkungan adalah: (i)

Kebijakaan lingkungan; (ii) Penghargaan

lingkungan. Dalam penelitian ini didapatkan skor

adalah 57,6 % (Cukup/Sedang). Hal ini menunjukkan

bahwa dalam kegiatan operasional hotel pihak hotel

belum menerapkan kebijakan lingkungan secara

merata di lingkungan perhotelan.

Salah satu indikator yang diukur dalam

penelitian ini adalah variabel penghargaan

lingkungan dalam penelitian ini didapatkan skor

adalah 30,4 % (sangat tidak baik). Hal ini

menunjukkan bahwa dalam kegiatan operasional

hotel, pihak hotel belum secara serius

memperhatikan berbagai aspek lingkungan.

3.2.3 Status Pengelolaan Lingkungan Variabel

Taman dan RTH

Berbagai indikator yang diukur dalam variabel

taman dan RTH adalah (i) Taman di kawasan hotel,

(ii) Ruang terbuka hijau (RTH). Bahwa skor rata-

rata untuk variabel Taman dan RTH adalah sebesar

Tabel 1. Nilai Skor Rata-rata Status Pengelolaan Lingkungan Perhotelan

No Variabel Indikator Nilai Skor (%)

1 Ketaatan pada Peraturan 1.1 Adanya Izin Usaha 100

1.2 Adanya Dokumen AMDAL 49,6

Jumlah 149,6

Rata-rata 74,8

2 Program dan Penghargaan 2.1 Kebijakan Lingkungan 57,6

2.2 Penghargaan Lingkungan 30,4

Jumlah 88

Rata-rata 44

3 Taman dan RTH 3.1 Taman di kawasan Hotel 69,6

3.2 Ruang Terbuka Hijau 84

Jumlah 153,6

Rata-rata 76,8

4 Pengelolaan Air Limbah 4.1 Mekanisme IPAL 81,6

Jumlah 81,6

Rata-rata 81,6

5 Pengelolaan Sampah 5.1 Mekanisme Pengelolaan Sampah 60,8

Jumlah 60,8

Rata-rata 60,8

6 Pengelolaan Emisi 6.1 Mekanisme Pengelolaan Emisi 63,2

Jumlah 63,2

Rata-rata 63,2

7 Pengelolaan B3 7.1 Mekanisme Pengelolaan B3 54,4

Jumlah 54,4

Rata-rata 54,4

Skor Rata-rata 65,08

Sumber: Data Hasil Penelitian Hotel di Kota Dili, 2016.

Status dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Perhotelan di Kawasan Kota Madya Dili Timor - Leste [Adalgisa D.D.G.Alvares, dkk.]

Page 26: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

26

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

76,8 % (baik). Skor tertinggi dicapai oleh indikator

ruang terbuka hijau (RTH) dengan skor 84 % (sangat

baik). Skor 69,6 % (baik) dicapai oleh indikator taman

dikawasan hotel. Dengan melihat data tersebut dapat

dikatakan logis kalau pihak hotel mengutamakan

penataaan taman di kawasan hotel sebagai hal yang

penting dan diutamakan karena menyangkut citra

hotel kepada tamu-tamunya secara langsung di

kawasan hotel tersebut.

3.2.4 Status Pengelolaan Lingkungan Variabel

Pengelolaan Air Limbah

Berbagai indikator yang diukur dalam variabel

pengelolaan air limbah adalah mekanisme Instalasi

Pengolahan Air Limbah (IPAL) tercatat bahwa skor

81,6% (baik). Hal ini menunjukkan bahwa perhatian

pihak hotel dalam pengelolaan limbah sudah baik.

3.2.5 Status Pengelolaan Lingkungan Variabel

Pengelolaan Sampah

Berbagai indikator yang diukur dalam variabel

pengelolaan sampah adalah mekanisme pengolahan

sampah tercatat bahwa skor 60,8 % (cukup / sedang).

Hal ini menunjukkan bahwa perhatian pihak hotel

dalam melakukan proses pengolahan sampah di

kawasan hotel masih sangat minim.

3.2.6 Status Pengelolaan Lingkungan Variabel

Pengelolaan Emisi

Indikator yang diukur dalam variabel

pengelolaan emisi adalah mekanisme pengelolaan

emisi tercatat bahwa skor 63,2 % (cukup / sedang).

Hal ini menandakan bahwa perhatian pihak hotel

dalam pengelolaan emisi perlu terus ditingkatkan.

Pada hal masalah pengelolaan emisi adalah masalah

yang sangat penting agar lingkungan alam tetap

lestari dan eksistensi hotel akan tetap berlanjut.

3.2.7 Pengelolaan Lingkungan Variabel

Pengelolaan B3

Indikator yang diukur dalam variabel

Pengelolaan B3 adalah mekanisme pengelolaan B3

tercatat bahwa skor 54,4 % (cukup / sedang). Hal

ini menunjukkan bahwa perhatian pihak hotel dalam

pengelolaan B3 perlu diawasi oleh pihak pemerintah.

Jadi perlu perhatian serius dari pihak pemerintah

dalam memonitoring segala aktivitas operasional

hotel di Kawasan Kota Dili.

Tabel 2. Implementasi Status Pengelolaan Lingkungan pada Masing-masing Hotel.

Rata – rata Implementasi ( % ) Rata-rata

No. Nama Hotel Implementasi Keterangan

Perizinan Program Taman Limbah Sampah Emisi B3 (%)

& RTH

1. Hotel Timor 100 100 100 100 40 100 100 91,4 Sangat Baik

2. Novo Turismo 60 20 100 80 80 100 60 81,2 Baik

3. Timor Plaza 90 20 30 60 80 100 60 85,7 Sangat Baik

4. Ramelau 100 70 70 60 40 80 60 68,5 Baik

5. Terra Santa 60 20 100 80 40 100 80 68,5 Baik

6. Excel Beach 100 60 100 80 80 100 100 88,7 Sangat baik

7. JL Villa 60 20 80 80 40 20 20 45,7 Tidak baik

8. D’City 80 20 70 80 20 80 60 58,5 Cukup

9. Dili Beach 80 90 80 80 40 20 20 58,5 Cukup

10. Lecidere 60 60 60 80 100 60 20 62,8 Cukup

11. Discovery Inn 100 60 70 100 100 100 20 78,5 Baik

12. The Plaza 60 60 80 100 80 60 60 71,4 Baik

13. Diamond 60 20 100 80 40 20 20 48,5 Tidak baik

14. Santos Living 90 60 100 100 40 20 60 67,1 Cukup

15. Sakura 60 20 40 80 40 100 20 51,4 Tidak baik

16. Oceanview 60 20 80 80 40 60 20 51,4 Tidak baik

17. Kolmera 60 20 90 80 40 20 20 47,1 Tidak baik

18. Ventura 70 20 80 80 80 20 80 64,2 Cukup

19. Beachside 100 70 60 80 100 60 100 81,4 Baik

20. Novo Horizonte 60 70 60 80 80 60 60 67,1 Cukup

21. Farol 100 60 100 80 20 100 100 80 Baik

22. VilaVerde 80 80 30 80 100 20 20 58,5 Cukup

23. Fen Kong 60 20 80 80 40 20 20 45,7 Tidak baik

24. Roccela 60 20 100 80 100 100 100 80,8 Baik

25. Sorte Diak 60 20 60 80 60 60 80 60 Cukup

Page 27: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

27

3.3 Kriteria dan Implementasi Status

Pengelolaan Lingkungan pada Masing-

masing Hotel

Kriteria implementasi status pengelolaan

lingkungan perhotelan pada masing-masing hotel di

kawasan Kota Dili perlu diketahui. Hal itu penting,

agar diperoleh gambaran tentang bagaimana pihak

hotel mampu mengimplementasikan status

pengelolaan lingkungan perhotelan.

Data pada tabel 2 menunjukkan bahwa dari 25

hotel yang diteliti, enam hotel yang mengimple-

mentasikan status pengelolaan lingkungan pada

masing-masing hotel dalam kategori Tidak Baik,

delapan hotel berkategori Cukup, delapan hotel

berkategori Baik dan tiga hotel berkategori Sangat

Baik. Secara umum Implementasi status

pengelolaan lingkungan hotel di Kawasan Kota Dili

adalah cukup.

Hotel di kawasan kota Dili, yang skor

implementasinya paling tinggi adalah Hotel Timor (

91,4 % ) dengan kategori sangat baik. Sedangkan

hotel yang implementasinya paling rendah adalah

Hotel JL Villa dan Hotel Fen Kong (45,7 %) dengan

kategori tidak baik, umumnya skor yang

implementasinya paling rendah adalah penerapan

variabel program dan penghargaan lingkungan.

3.4 Deskripsi dan Implementasi Status

Pengelolaan Lingkungan Perhotelan di

Kawasan Kota Dili

Berdasarkan hasil observasi dan melalui

kegiatan wawancara mendalam baik secara individu

maupun melalui diskusi dengan pihak managemen

hotel diperoleh gambaran bahwa, hotel-hotel di

Kawasan Kota Dili harus fokus untuk

memperhatikan implementasi aktivitas operasional

hotel yang berhubungan dengan kondisi pengelolaan

lingkungan dengan lebih optimal untuk memperbaiki

kinerja hotel ke masa depan yang lebih baik, agar

wisatawan atau tamu lebih senang untuk

mengunjungi Kawasan pariwisata di Kota Dili, hal

ini perlu di perhatikan oleh pihak manajemen hotel

dan pemerintah setempat.

Faktor Internal

Faktor Eksternal Peluang

1. Terciptanya kawasan

perhotelan yang nyaman dan

bersih.

2. Terjaganya kelestarian

sumberdaya lingkungan

sekitarnya.

3. Adanya peningkatan minat

wisatawan domestik dan

mancanegara

Ancaman

1. Adanya ancaman atau sanksi

dari pemerintah

2. Adanya komplain dari

masyarakat

3. Kerusakan lingkungan

4. Turunnya minat wisatawan

Kekuatan

1. Sebagian besar hotel telah memiliki ketaatan pada

perizinan lingkungan yang lengkap

2. Beberapa hotel telah memiliki program dan

kebijakaan lingkungan yang baik tercermin pada

hotel Timor,Ramelau,Timor Plaza, Novo Turismo

3. Beberapa hotel memiliki Taman dan RTH seluas

40 % dari luas hotel tercermin pada hotel Timor,

Ramelau,Novo Turismo, Terra Santa,JL Villa,

Santos Living

4. Beberapa hotel telah memiliki sistem pengelolaan

sampah yang representatif tercermin dari

kebersihan lingkungan di hotel tercermin pada

hotel Timor, Ramelau,Novo Turismo,Timor Plaza

5. Beberapa hotel telah memiliki sistem pengelolaan

limbah, emisi dan B3 yang baik tercermin pada

hotel Timor,Ramelau,Timor Plaza, Novo Turismo

Strategi SO

1. Peningkatan penerapan sistem pengelolaan

limbah, sampah secara berkelanjutan dengan

menerapakan 3R.

2. Meningkatkan sistem pelaporan pengelolaan

lingkungan kepada pemerintah.

3. Menyediakan mekanisme insentif bagi hotel yang

menerapkan sistem pengelolaan lingkungan yang

sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Strategi ST

1. Meningkatkan program pengelolaan lingkungan

secara berkelanjutan

2. Mendorong hotel untuk tetap menjaga lingkungan

dan komunikasi yang baik dengan masyarakat

di sekitarnya secara berkelanjutan.

3. Melakukan inovasi secara terus menerus dalam

penataan lingkungan perhotelan untuk

meningkatkan kenyamanan tamu/wisatawan.

Kelemahan

1. Masih ada hotel yang belum memiliki kebijakaan

lingkungan tercermin pada hotel JL Villa, Diamond,

Sakura, Oceanview, kolmera, Fen Kong.

2. Masih ada beberapa hotel yang tidak memiliki Taman

yang memadai (luasnya< 10 % dari luas area)

3. Masih ada hotel yang belum menerapkan sistem

pengelolaan sampah yang memadai.

4. Mekanisme pengelolaan limbah,emisi dan B3 pada

beberapa hotel belum memenuhi kriteria

Strategi WO

1. Sosialisasi ketaatan terhadap implementasi perizinan

dan dokumen lingkungan pada pihak hotel

2. Penerapan mekanisme sanksi kepada hotel yang tidak

menerapkan sistem pengelolaan limbah, sampah sesuai

dengan standar yang ditetapkan.

3. Mengadakan kegiatan lomba pada sistem pengelolaan

lingkungan hotel secara periodik.

Strategi WT

1. Mendorong hotel untuk memenuhi segala bentuk

perizinan dan dokumen lingkungan yang di perlukan

2. Mendorong hotel untuk menjaga lingkungan dan

komunikasi yang baik dengan masyarakat di sekitarnya

3. Melakukan penataan lingkungan perhotelan untuk

meningkatkan kenyamanan tamu/wisatawan.

Sumber : Data Hasil Penelitian, 2016.

3.5 Analisis SWOT Strategi Pengelolaan Lingkungan Perhotelan di Kawasan Kota Dili

Status dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Perhotelan di Kawasan Kota Madya Dili Timor - Leste [Adalgisa D.D.G.Alvares, dkk.]

Page 28: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

28

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

4. SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan

Berdasarkan uraian pada hasil dan pembahasan

penelitian, dan juga dengan mengacu pada tujuan

penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Status Pengelolaan lingkungan perhotelan di

kawasan kota Dili terlihat bahwa hotel di

Kawasan Kota Dili dengan skor penerapan

status pengelolaan lingkungan tertinggi adalah

Hotel Timor dengan skor (91,4 %), Hotel Timor

Plaza dengan skor (85,7 %) dan Hotel Excel

Beach dengan skor (88,7 %) dengan kriteria

Sangat Baik. Hotel dengan penerapan status

pengelolaan lingkungan dengan Kategori Baik

adalah Hotel Novo Turismo dengan skor (81,2

%), Hotel Beachside dengan skor (81,4%), Hotel

Rocella dengan skor (80,8 %), Hotel Farol dengan

skor (80 %), Hotel Discovery Inn dengan skor

(78,5 %), Hotel the Plaza dengan skor (71,4 %),

Hotel Ramelau dengan skor (68,5 %) dan Terra

Santa dengan skor (68,5 %). Hotel dengan

penerapan status pengelolaan lingkungan

dengan Kategori Cukup adalah Santos Living

dengan skor (67,1 %), Hotel Novo Horizonte (67,1

%), Hotel Ventura dengan skor (64,2 %), Hotel

D’City dengan skor (58,5%), Hotel Dili Beach

dengan skor (58,5%) dan Hotel Vila Verde (58,5

%). Hotel dengan penerapan status pengelolaan

lingkungan dengan Kategori Tidak Baik adalah

Oceanview Hotel dengan skor (51,4%), Hotel

Sakura dengan skor (51,4 %), Diamond Villa

dengan skor (48,5%), Hotel Kolmera dengan skor

(47,1%), JL Villa (45,7%) dan Fen Kong (45,7%).

Tingkat Implementasi Status Pengelolaan

lingkungan perhotelan di Kawasan Kota Dili

adalah sebesar 65,08% dengan kategori Cukup.

2. Untuk mendorong hotel menerapkan

pengelolaan lingkungan maka diperlukan

strategi sebagai berikut:

a. Sosialisasi ketaatan terhadap implementasi

perizinan dan dokumen lingkungan pada

pihak hotel.

b. Penerapan mekanisme sanksi kepada hotel

yang tidak menerapkan sistem pengelolaan

limbah, sampah sesuai dengan standar yang

ditetapkan.

Mengadakan kegiatan lomba pada sistem

pengelolaan lingkungan hotel secara

periodik.

4.2 Saran

1. Hotel yang penerapan status pengelolaan

lingkungan, dengan kriteria belum baik, perlu

melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan

dengan implementasi status pengelolaan

lingkungan, agar kategorinya dapat meningkat.

Kegiatan yang dilakukan, sesuai dengan berbagai

indikator pada variabel program dan

penghargaan lingkungan tersebut.

2. Penerapan status pengelolaan lingkungan dalam

kategori skor tidak baik dan cukup, masih

ditemukan pada elemen program dan

penghargaan lingkungan, pengelolaan sampah,

pengelolaan emisi pada beberapa hotel. Untuk

itu perlu terus dikembangkan agar semua

variabel pengelolaan lingkungan pada hotel-hotel

di kawasan kota Dili, dapat masuk dalam

kategori minimal Baik.

3. Indikator hotel yang berbasis lingkungan

kiranya dapat terus dikembangkan lebih lanjut,

dan terus diuji pada kawasan pariwisata yang

lebih luas, sehingga dengan demikian akan

didapatkan suatu indikator yang baku di masa

yang akan datang. Dengan demikian akan dapat

dijadikan sebagai pegangan pokok dalam menilai

status dan strategi pengelolaan lingkungan pada

hotel-hotel di kawasan kota Dili

4. Penelitian ini merupakan penelitian yang baru

jadi perlu diteruskan atau dilanjutkan dalam

penelitian berikutnya karena penelitian ini

merupakan sumber informasi bagi pihak

pemerintah dan hotel untuk diketahui sejauh

mana kondisi dan strategi pengelolaan

lingkungan perhotelan pada saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Ni Putu Massuli. 2015. “ Pengelolaan

Lingkungan Hotel Berbasis Tri Hita Karana di

Kawasan Pariwisata Sanur.” (Tesis). Denpasar:

Universitas Udayana.

Kementerian Pariwisata Timor Leste, 2014. Data

Jumlah Hotel yang Beroperasi di Kota Dili.

Groiler Electronis Publising. Inc.1995. Pengertian

Hotel dan Defenisi Hotel.

Lensiana.HJ. 2010. “ Partisipasi Hotel Dalam

Pengelolaan Lingkungan di Kelurahan Ubud,

Kabupaten Gianyar.” (Tesis). Denpasar:

Universitas Udayana.

Rangkuti, Freddy. 2013. Analisis SWOT : Teknik

Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Stedmon & Kasavana.2004. Resepsionis Hotel.

Jakarta. Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Undang- Undang Lingkungan Hidup Timor – Leste

No. 26 Tahun 2012. Tentang Pengelolaan

Lingkungan hidup.

Undang-Undang No. 26 Tahun 2007. Tentang

Penataan Ruang.

Undang-undang No. 32 Tahun 2009. Tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Page 29: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

29

PENGARUH JUMLAH BAKTERI METHANOBACTERIUM DAN LAMA

FERMENTASI TERHADAP PROPORSI GAS METANA (CH4)

PADA PENGOLAHAN SAMPAH ORGANIK DI TPA SUWUNG DENPASAR

I. Putu Yudiandika 1*), I Wayan Suarna2) dan I Made Sudarma 3)

1)SMK Ilmu Komputer Ganesha Udayana2)Fakultas Peternakan Universitas Udayana

3)Fakultas Pertanian Universitas Udayana

*Email : [email protected]

ABSTRACT

A research has been conducted to find out the effect to the amount of methanobacterium bacteria and

fermentation duration toward proportion of methana (CH4) at organic waste processing at TPA Suwung

Denpasar. Methana gas produced from this organic waste will be processed become fuel of electric generation.

From this study will be expected to get all methana gas that contained at the waste so that there is no

methana gas loss to the atmosphere. This study was conducted by using 4 treatments that are without

bacteria (B0), bacteria with number of population 106 CFU/ml (B1), bacteria with population of 107 CFU/ml

(B2), and bacteria with population of 108 CFU/ml (B3). Each treatment conducted thrice (3) repeat. The four

treatments conducted measurement of gas variable after fermentation during 0 week, 3 weeks, 5 weeks, 7

weeks and 9 weeks by uisng gas analyzer GA 2000 Geotech. Data from study result then analyzed by using

complicated factorial design (RAL). From ANOVA analysis shows there was significant bacteria number and

fermentation duration toward proportion or procentage of methana gas resulted. The longer fermentation

time takes place, the bigger the proportion of the methane gas produced. However, the greater number of the

bacteria population does not always produce bigger proportion of methane gas To find out the combination

which could give best effect the researcher used Duncan test. The result of analysis from Duncan shows that

combination at the ninth weeks by number of bacteria 107 CFU/ml giving best result that was percentage of

methana gas is 55,10%.

Keywords: Methanobacterium, Fermentation duration, Organic waste, Methana, TPA Suwung.

1. PENDAHULUAN

Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari

manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat

(Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia,

2008). Jumlah atau volume sampah sebanding

dengan tingkat konsumsi manusia terhadap barang

atau material yang digunakan sehari-hari, sehingga

pengelolaan sampah tidak terlepas dari pengelolaan

gaya hidup masyarakat. Sampai saat ini

permasalahan sampah belum tertangani dengan baik

terutama di perkotaan. Sampah telah menjadi

permasalahan nasional sehingga pengelolaannya

perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu

dari hulu sampai ke hilir agar dapat memberikan

manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan

aman bagi lingkungan.

Peningkatan produksi sampah telah

menimbulkan masalah pada lingkungan seiring

dengan peningkatan jumlah penduduk perkotaan.

Sementara itu, lahan tempat pemrosesan akhir (TPA)

sampah juga semakin terbatas. Kondisi ini semakin

memburuk manakala pengelolaan sampah di

masing-masing daerah kurang efektif, efisien, dan

berwawasan lingkungan serta tidak terkoordinasi

dengan baik. Permasalahan sampah merupakan

permasalahan yang sangat sulit dan rumit

khususnya di Kota Denpasar, baik dari segi

pengumpulan, pengiriman dan pengelolaan sampah

di TPA.

Tempat pemrosesan akhir Suwung merupakan

TPA regional yang mencakup wilayah Denpasar,

Badung, Gianyar, dan Tabanan (SARBAGITA).

Tempat pemrosesan akhir Suwung terletak di Desa

Pesanggaran, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota

Denpasar. Kondisi TPA Suwung saat ini memang

sangat memprihatinkan dan sudah over load, salah

satu penyebabnya adalah pengelolaan TPA kurang

baik, minimnya kesadaran masyarakat dan

keterlibatan komponen pemerintah daerah dalam

mengelola sampah (Nawawi, 2003).

Dengan meningkatnya tumpukan sampah,

maka perlu dipikirkan cara penanganannya. Salah

satu cara yang dapat dilakukan yaitu menjadikan

sampah memiliki nilai tambah yang bermanfaat.

Nilai tambah ini bukan hanya untuk memperlambat

laju eksploitasi sumber daya alam, seperti lewat

konsep Reuse, Recycle, and Recovery, namun juga

ECOTROPHIC • 11 (1) : 29 - 33 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Page 30: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

30

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

pemanfaatan sampah dari produk proses pengolahan

sampah itu sendiri (Nugroho, 2006).

Sampah apa pun jenis dan sifatnya, mengandung

senyawa kimia yang sangat diperlukan manusia baik

secara langsung maupun tidak langsung. Namun

jika pengelolaan sampah dilakukan secara tidak

benar maka sampah akan dapat mencemari

lingkungan khususnya atmosfer karena sampah

dapat memproduksi gas berbahaya seperti metana

(CH4) dan karbon dioksida (CO

2)

yang dapat

menyebabkan pemanasan global. Jadi agar sampah

menjadi bermanfaat, yang terpenting adalah

bagaimana kita dapat menggunakan dan

memanfaatkan sampah tersebut. Pemanfaatan

sampah antara lain sebagai sumber pupuk organik,

misalnya kompos yang sangat dibutuhkan oleh petani

sebagai sumber humus. papan komposit (komposit

serbuk kayu plastik daur ulang), bahan baku dalam

pembuatan bata (briket), serta manfaat lain yang

bisa diambil dari sampah adalah bahan pembuat

biogas (Dodik, 2012).

Di TPA Suwung, penggunaan sampah untuk

penyediaan energi penggerak mesin pembangkit

listrik sudah lama dicoba. Namun masih mengalami

beberapa kendala diantaranya yaitu rendahnya gas

metana (CH4) yang dihasilkan untuk dimanfaatkan

menjadi sumber energi. Untuk mendapatkan

kandungan gas CH4 yang terus meningkat dalam

proses pengolahan sampah ditentukan oleh banyak

faktor seperti temperatur, waktu fermentasi, jumlah

bakteri (khususnya bakteri penghasil gas metana),

katalisator, kadar air bahan, serta aerasi atau

kandungan O2 dalam sampah

,( Nugroho,2006). Atas

dasar tersebut penelitian ini akan diteliti sebagian

dari faktor tersebut yaitu pengaruh penambahan

bakteri dan lamanya waktu fermentasi terhadap

produksi gas CH4 pada sampah organik di TPA

Suwung Denpasar.

2. METODOLOGI

Penelitian dilakukan di TPA Suwung Desa

Suwung Kauh Kecamatan Denpasar Selatan, Kota

Denpasar. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga

bulan yang dimulai bulan Mei sampai dengan bulan

Juli 2014. Percobaan menggunakan rancangan acak

lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 kali

pengulangan. Adapun keempat perlakuan tersebut

adalah B0 = tanpa bakteri Methanobacterium, B

1 =

dengan bakteri Methanobacterium 106 CFU/ml, B2

= dengan bakteri Methanobacterium 107 CFU/ml,

B3 = dengan bakteri Methanobacterium 108 CFU/ml.

Keempat perlakuan tersebut dilakukan pengukuran

variabel gas setelah fermentasi 0 minggu, 3 minggu,

5 minggu, 7 minggu dan 9 minggu.

Adapun bahan pada penelitian ini adalah

sampah organik dengan komposisi sampah sesuai

dengan komposisi yang ada pada TPA Suwung.

Sampah yang digunakan adalah 100% sampah

organik dengan komposisi 50% dedaunan dan

rumput, 30% dari sampah pasar seperti sisa sayur

dan buah-buahan dan 20% sampah rumah tangga

seperti nasi dan sisa makanan. Bakteri

Methanobacterium dengan jumlah populasi 106 CFU/

ml, 107 CFU/ml, 108 CFU/ml. Ember sebagai degister

dengan volume ember 20 L dan dapat menampung

sampah sebanyak 10 kg.

Penelitian ini diawali dengan pemilahan sampah

sesuai jenisnya, kemudian sampah organik

dikumpulkan. Massa sampah yang akan diproses

ditimbang sebanyak 5 kg kemudian ditempatkan

pada ember degister yang sudah dipasangi sampel

poin (keran) yang berfungsi menyalurkan gas

metana yang terbentuk dan memudahkan pada saat

melakukan pengukuran gas. Sampah tersebut

kemudian ditambahkan bakteri Methanobacterium

sebanyak 160 ml yang sudah dicampur dengan 4 L

air, 2 sendok makan urea dan 4 sendok makan gula

pasir. Tumpukan sampah ditutup rapat agar terjadi

proses anaerobik.

Analisis data hasil penelitian dengan

menggunakan model statistika faktorial yang terdiri

dari dua faktor dengan pola dasar RAL dengan faktor

W (lama fermetasi) dan B (jumlah bakteri)) adalah

sebagai berikut:

Yij = ì + W

i + B

j + WB

ij + ª

ij (1)

Keterangan:

Yij

: nilai pengamatan (respon) dari kelompok/

perlakuan ke-1 yang memperoleh taraf ke-i

dari faktor W ( minggu ke nol sampai

mingggu ke 9) dan taraf ke-j dari faktor B

(kontrol sampai jumlah bakteri 108).

ì : nilai rata-rata yang sesungguhnya (nilai

tengan populasi).

Wi

: pengamatn aditif ke-i dari faktor W

Bj

: pengamtan aditif ke-j dari faktor B

ªij

: pengaruh galat percobaan pada kelompok

ke-1 yang memperoleh kombinasiW (taraf

ke-i dari faktor W dan taraf ke-j dari faktor

B ).

Untuk mengetahui kombinasi yang memberikan

pengaruh terbesar dilakukan dengan menggunakan

uji Duncan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah

Suwung melayani pembuangan sampah dari wilayah

Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Jumlah

sampah yang terdata dan terangkut ke TPA sampah

Suwung tahun 2011 sampai 2015 disajikan dalam

Tabel 1.

Page 31: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

31

Berdasarkan komposisinya adapun sampah yang

masuk ke TPA Suwung Denpasar dapat dilihat pada

Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi Sampah TPA Suwung Denpasar.

NO. JENIS SAMPAH JUMLAH RATA RATA

1. Sampah Organik 780,12 Kg 44,29 %

2. Sampah Anorganik :

- Kertas 53,98 Kg 0,06 %

- Kayu 43,5 Kg 8 %

- Kain/Plastik 18 Kg 1,02 %

- Plastik 368,2 Kg 21 %

- Logam 6,39 Kg 0,36 %

- Karet/Kulit Tiruan 14,5 Kg 1 %

- Gelas/Kaca 6,43 Kg 0,36 %

- Tanah, Batu Pasir 54 Kg 3,06 %

3. Residu 256,16 Kg 14,54 %

J u m l a h 1061,28 Kg / 5,4 M³ 93,69 %

Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar (2015).

Berdasarkan data pada Tabel 1 jumlah sampah

yang masuk ke TPA Suwung terus mengalami

peningkatan tiap tahunnya. Sedangkan dilihat dari

komposisinya sampah organik mencapai 44,29%.

Melihat hal tersebut sangatlah potensial untuk

dikembangkan menjadi salah satu sumber energi

alternatif untuk menghasilkan listrik.

Pengolahan sampah organik menjadi listrik

diawali dengan pemilahan sampah. Setelah sampah

dipilah kemudian difermentasi selanjutnya

dilakukan pengukuran persentase gas dengan

menggunakan gas analiser tipe GA2000. Adapun

hasil pengukuran proporsi gas metana yang

dihasilkan pada berbagai waktu dan bakteri dalam

penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Proporsi Gas Metana (%) Pada Berbagai Waktu (Minggu) dan

Bakteri (CFU/ml).

Waktu

Bakteri

W0 W3 W5 W7 W9

B0 I 0.1 5.6 18.1 20.3 21.8

II 0 5.1 19.2 21.7 22.1

III 0 6.2 18.3 21.3 22.4

B1 I 0 7.9 24.3 35.2 37.6

II 0.1 8.3 26.2 35.2 38.2

III 0.1 7.7 25.8 34.6 36.8

B2 I 0 9.3 30.2 50.4 56.7

II 0 10.2 29.2 51.2 54.8

III 0.1 10.6 28.6 49.8 53.8

B3 I 0 12.5 32.8 35.6 37.4

II 0.1 12.3 31.6 34.7 36.8

III 0 11.9 32.6 35.8 37.1

Data diatas selanjutnya dianalisis statistik.

Berdasarkan analisis ANOVA didapat nilai signifikah

0,000 untuk interaksi waktu*Bakteri yang

dibandingkan dengan alpha (á) 5%, maka nilai

signifikan lebih kecil dari alpha (0,000 < 0,05) maka

tolak H0 artinya ada pengaruh interaksi antara faktor

W (lama fermetasi) dan faktor B (jumlah bakteri

terhadap proporsi gas CH4). Interkasi mana yang

memberikan pengaruh dapat dilihat dengan

menggunakan uji Duncan. Adapun hasil analisis

proporsi gas metana pada berbagai bakteri dan waktu

dengan menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada

Tabel 4.

Dari hasil analisis dapat dilihat bahwa semakin

lama waktu fermentasi maka proporsi gas metana

yang dihasilkan akan semaki banyak. Laju efektif

dari peningkatan proporsi gas metana yang

dihasilkan terjadi pada mingu ke tiga sampai dengan

minggu ke lima yaitu terjadi peningkatan persentase

Tabel 1. Volume/Jumlah Sampah Yang Terangkut Ke TPA Sampah Suwung (m3) tahun 2011-2015.

Tahun

Bulan

2011 2012 2013 2014 2015

Januari 80.146 88.872 96.712 108.135 106.118

Februari 69.048 84.892 87.805 99.954 99.086

Maret 73.075 88.418 95.405 100.448 107.239

April 73.558 84.315 92.248 96.324 106.138

Mei 75.946 83.365 95.753 106.730 100.756

Juni 72.957 82.369 93.766 105.495 107.230

Juli 78.589 85.359 102.099 105.078 109.314

Agustus 77.109 86.552 100.553 106.048 111.568

September 73.561 89.180 92.275 103.007 108.184

Oktober 78.008 86.729 103.903 103.974 112.268

November 79.960 82.903 102.175 104.469 110.467

Desember 86.248 83.987 109.614 108.086 115.968

Jumlah 918.205 1.026.941 1.179.208 1.247.769 1.294.336

Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar (2015).

Pengaruh Jumlah Bakteri Methanobacterium dan Lama Fermentasi terhadap Proporsi Gas Metana (CH4) ..... [I Putu Yudiandika, dkk.]

Page 32: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

32

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

gas metana sebesar 17,44%. Akan tetapi pengaruh

berbeda terjadi pada penambahan populasi bakteri

yang diberikan, semakin banyak populasi bakteri

yang diberikan belum tentu menghasilkan proporsi

gas metana yang semakin besar. Hal ini disebabkan

karena dalam proses pembentukan gas metana

merupakan kelanjutan dari dua proses sebelumnya

yaitu proses hidrolisis dan proses asidogenesis. Jadi

dalam pembentukan gas metana juga ditentukan oleh

peranan bakteri pembusuk pada proses hidrolisis dan

bakteri pengurai pada proses asidogenesis sehingga

berpengaruh terhadap nutrisi (asam asetat) yang

akan diubah menjadi gas metana oleh bakteri

methanobacterium.

Selain itu menurut Junus (1987) dalam proses

fermentasi jumlah bakteri asam dan bakteri

metanogenik harus bekerja dalam jumlah yang

berimbang. Kegagalan dalam produksi metana dapat

dikarenakan tidak seimbangnya populasi bakteri

metanogenik terhadap bakteri asam yang

menyebabkan lingkungan menjadi sangat asam

(pH<7) yang selanjutnya menghambat kelangsungan

hidup bakteri penghasil metana.

Dalam pembuatan biogas ada banyak faktor

yang dapat mempengaruhi produksi gas metana yang

dihasilkan diantaranya yaitu keadaan lingkungan

abiotis (kondisi anaerob), temperatur, derajat

keasaman (pH), rasio perbandingan C dan N, jumlah

bakteri, dan waktu atau lamanya fermentasi.

Meskipun demikian tidak semua faktor akan dibahas

karena keterbatasan alat yang digunakan tidak

semua faktor-faktor dapat terukur dalam proses

penelitian. Adapun faktor-faktor yang dibahas adalah

sebagai berikut:

1. Kondisi lingkungan abiotis

Menurut Sutejo (2002) proses anaerob

merupakan faktor terpenting dalam pembuatan

biogas oleh sebab itu sebisa mungkin degister

biogas tidak boleh sampai bocor. Adapun

indikator kebocoran degister biogas adalah

meningkatnya persentase gas oksigen (O2) pada

proses pengukuran dengan menggunakan gas

analiser. Pada saat pengukuran apabila

persentase gas oksigen melebihi 2% itu

menandakan degester mengalami kebocoran.

Jika terjadi kebocoran maka dipastikan

persentase gas metana akan berkurang dan

persentase gas balance akan meningkat. Jika

kebocoran ini dibiarkan maka tidak akan

terbentuk gas metana hal ini disebabkan karena

bakteri metanogenik menjadi mati sehingga

proses fermentasi tidak berjalan maksimal

terhenti hanya pada tahap hidrolisis dan

asidogenisis sedangkan proses metanogenesis

tidak terjadi. Selain itu jika terjadi kebocoran

gas maka gas metana akan bereaksi dengan

oksigen menjadi karbon dioksida dan air.

2. Temperatur/Suhu

Suhu lingkungan juga sangat menentukan

aktif tidaknya bakteri yang berperan dalam

pembuatan biogas. Perkembangbiakan bakteri

sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu yang terlalu

tinggi atau rendah dapat menyebabkan kurang

atau tidak aktifnya mikroba penghasil biogas.

Menjaga agar suhu tetap berada pada kondisi

optimal merupakan suatu hal yang sangat

penting. Kondisi optimum merupakan kondisi

dimana laju pertumbuhan mencapai maksimum

sehingga laju penguraian senyawa organik juga

akan mencapai maksimum. Produksi biogas

akan menurun secara cepat akibat perubahan

temperatur yang mendadak didalam instalasi

pengolahan biogas (Simamora,S et al. 2006) Pada

penelitian ini tidak terjadi perubahan suhu yang

terlalu tinggi pada setiap minggunya. Semua

sampel berada pada suhu ideal yaitu (270C – 370C).

3. Karbon dioksidaDalam proses pembuatan biogas keberadaan

gas karbon dioksida merupakan indikator bahwagas metana akan terbentuk. Pada minggu-ming-gu awal yaitu dari minggu ke nol sampai mingguke tiga maka persentase gas karbon dioksidaterus meningkat. Pada minggu berikutnya gaskarbon dioksida mulai menurun seiring mulaiterbentuknya gas metana. Hal ini disebabkankarena terbentuknya gas metana merupakanhasil reduksi dari gas karbon dioksida.

4. Asam sulfidaAsam sulfida merupakan salah satu

indikator bau dalam pembuatan biogas ataupun

Tabel 4. Proporsi Gas Metana (%) Pada Berbagai Bakteri (CFU/ml) dan

Waktu (Minggu) Menggunakan Uji Duncan.

Waktu Jumlah Bakteri Rata-rata

fermetasi

B0 B1 B2 B3

W0 0,03a 0,07a 0,03a 0,03a 0,04a

A A A A

W3 5,63b 7,97b 10,03b 12,23b 8,97b

A B C D

W5 18,53c 25,43c 29,33c 32,33c 26,41c

A B C D

W7 21,10d 35,00d 50,47d 35,37e 35,48d

A B C D

W9 22,10e 37,53e 55,10e 37,10e 37,96e

A B C D

Rata-rata 13,48 21,20 28,99 23,41

A B D C

Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan yang diikuti oleh hurup kecil yang

sama pada satu kolom dan hurup kapital yang sama pada

satu baris adalah tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%,

berdasarkan uji jarak berganda Duncan (Steel and Torrie.

1981).

Page 33: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

33

pengomposan sampah. Asam sulfida merupakan

hasil sampingan selain gas karbon dioksida.

Semakin besar jumlah asam sulfida dari sampah

maka akan semakin menyengat aroma atau bau

dari sampah tersebut begitu juga sebaliknya

semakin sedikit jumlah asam sulfida maka

aroma atau bau busuk dari sampah akan

berkurang. Dari hasil penelitian didapat bahwa

penambahan bakteri dapat mengurangi bau atau

aroma tidak sedap dari sampah. Jika

dibandingkan dengan sampel yang tidak

ditambahkan bakteri (B0) dimana jumlah H2S

terus mengalami peningkatan. Sampah yang

ditambahkan dengan bakteri menjadi tidak

berbau hal ini disebabkan karena hidrogen

sulfida yang terbentuk dari pembusukan

sampah organik dengan bantuan bakteri akan

diubah menjadi ion sulfat dan senyawa sulfur

oksida

5. Lama permentasi

Lama fermentasi berpengaruh terhadap

membentukan biogas karena jika waktu

fermentasi belum mencukupi biogas tidak akan

terbentuk. Dari hasil penelitian didapat bahwa

semakin lama waktu fermentasi maka proporsi

gas metana yang dihasilkan akan semakin besar.

Laju efektif dari peningkatan proporsi gas

metana yang dihasilkan terjadi pada mingu ke

tiga sampai dengan minggu ke lima yaitu terjadi

peningkatan persentase gas metana sebesar

17,44%. Menurut Hermawan dkk, (2007)

persentase gas metana akan maksimum pada

kisaran 55-75%. Jadi jika persentase gas metana

sudah mencapai maksimum, meskipun waktu

fermentasi terus diperpanjang maka persentase

gas metana tidak akan mengalami peningkatan.

4. SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan

Berdasarkan pembahasan maka adapun

simpulan pada penelitian ini adalah jumlah bakteri

Methanobacterium dan lama fermentasi berpenga-

ruh terhadap proporsi gas metana pada pengolahan

sampah organik di TPA Suwung Denpasar. Semakin

lama waktu fermentasi maka proporsi gas metana

yang dihasilkan juga semakin besar, akan tetapi

semakin banyak populasi bakteri yang diberikan

belum tentu menghasilkan proporsi gas metana yang

semakin besar. Hasil terbaik dari kombinasi kedua

faktor tejadi pada minggu ke sembilan dengan jumlah

bakteri 107 CFU/ml yaitu sebesar 55.10%.

4.2 Saran

Adapun saran yang dapat penulis sampaikan

yaitu dalam penelitian ini alat ukur yang digunakan

penulis tidak dapat mengukur volume gas yang

dihasilkan. Oleh sebab itu diperlukan penelitian lebih

lanjut untuk mengukur volume gas yang dihasilkan

dari fermentasi sampah sehingga lebih mudah

dihitung potensi daya listrik yang dihasilkan. Selain

itu semakin lama waktu fermentasi memerlukan

bakteri metanobacterium yang lebih sedikit untuk

mendapatkan produksi gas metana yang maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kebersihan dan Pertamanan. 2015. Data

Komposisi dan Volume Sampah. Denpasar :

DKP Kota Denpasar.

Dodik, P. 2012. Kompos. Avaible from : URL : http:/

/ d o d i k f a p e r t a . b l o g s p o t . c o m / 2 0 1 2 / 0 2 /

kompos.html, diakses tanggal 24 Juli 2013.

Hermawan, dkk. 2007. Pemanfaatan Sampah

Organik sebagai Sumber Biogas Untuk

Mengatasi Krisis Energi Dalam Negeri. Karya

Tulis Ilmiah Mahasiswa Universitas Lampung.

Bandar Lampung

Junus. 1987. Teknik Membuat dan Memanfaatkan

Gas Bio. Yogyakarta : Gadjah Mada UniversityPress.

Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia.

2008. Jakarta : Undang-undang Nomor 18 tahun

2008 Tentang Pengelolaan Sampah

Nawawi. S. Ir , 2003, Studi Khusus Pengolahan

Sampah Secara Tuntas Di Sarbagita – Bali.

Surabaya :PT. Heliawan Elang Perkasa.

Nugroho, A. 2006. Studi Pustaka Pemanfaatan

Proses Biokonversi Sampah Organik Sebagai

Alternatif Memperoleh Biogas. Program Studi

Pendidikan Kimia PMIPA FKIP UNS.

Simamora, S. et al. 2006. Membuat Biogas Pengganti

Bahan Bakar Minyak Dan Gas Dari Kotoran

Ternak. Jakarta: AgroMedia Pustaka.

Steel, R.G.D and J.H Torrie. 1981. Principles and

Procedures of Statistic. New York : Mc. Graw-

Hill Book Co.,Inc.

Sutejo, M. 2002. Penambahan Tepung Darah Dalam

Pembuatan Pupuk Organik Padat Limbah

Biogas dari Fases Sapi dan Sampah Organik

Terhadap Kandungan N, P dan K. Jakarta :

Rineka Cipta

Pengaruh Jumlah Bakteri Methanobacterium dan Lama Fermentasi terhadap Proporsi Gas Metana (CH4) ..... [I Putu Yudiandika, dkk.]

Page 34: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

34

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

RESIDU PESTISIDA GOLONGAN ORGANOFOSFAT

KOMODITAS BUAH CABAI MERAH (Capsicum annuum L.)

PADA BERBAGAI LAMA PENYIMPANAN

I G A Surya Utami Dewi1*), I Gede Mahardika2), Made Antara3)

1)Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Udayana2)Fakultas Peternakan, Universitas Udayana

3)Fakultas Pertanian, Universitas Udayana

*Email: [email protected]

ABSTRACT

In order to control pests and diseases in red chili plants, farmers use pesticides was over as impact

leaving residue in the chili. The purpose of this study was to determine type, dose and frequency of pesticides

used by the farmers, as well as to determine the organophospate residual in chili on different storage times.

This study was conducted in two phases namely survey to 10 respondent farmers in Baturiti district, Tabanan

regency used questioner and treatment pilot study used different storage time from 0, 1 and 3 days samples

took from Apuan Village, Baturiti, Tabanan. Class of organophosphate pesticide residue analysis conducted

in Denpasar Branch Police Forensic Laboratory. The results showed dominant pesticides used was

organophosphates profenofos (curacron) 60 % and klorpirifos (kaliandra) 20 %. Dose pesticides used was > 40

ml (> 4 bottle cover volume 10 ml) and > 40 gram (> 4 spoon) for tank volume 17 liter and also > 30 ml (> 3

bottle cover volume 10 ml) and > 30 gram (> 3 spoon) for tank volume 14 liter. Frequency of pesticides used

by farmers on 1 plant season was 90 % more than 12 times and the other 10 % used frequency 10-12 times.

Farmers do not comply dose and frequency with the pesticides used regulations. Analysis result showed that

the treatment effect of different storage time is not real to organophosphate pesticide residues groupon red

pepper. The average residues detected are indicating a trend with residue storage profenofos on day 0, 1 and

day 3 for 1,20 mg/kg, 2,70 mg/kg and 1,37 mg/kg and the amount of chlorpyrifos residues on the storage day

0, day 1 and day 3 is 0,0027 mg/kg, 0,0039 mg/kg and 0,0021 mg/kg. Profenofos and chlorpyrifos residue

content is still below the Maximum Residue Limit (MRL) under the provisions of MRL profenofos on red

pepper, which is 5 mg/kg and chlorpyrifos, which is 0,5 mg/kg.

Keywords: Pesticides Residue; Organophosphates; Profenofos; Chlorpyrifos

1. PENDAHULUAN

Dewasa ini tanaman cabai menjadi komoditi

sayuran penting di Indonesia, memiliki nilai

ekonomis yang tinggi, dan seiring dengan

pertambahan jumlah penduduk maka permintaan

akan cabai merah akan meningkat tajam

(Yusniawati, 2008). Meningkatnya permintaan

masyarakat pada komoditas cabai di Bali dapat

dilihat dari tingkat produksi cabai pada tahun 2013

yang mengalami peningkatan 20,23 % dari tahun

sebelumnya, dimana produksi sayuran cabai

mencapai 35.856 ton dari tahun sebelumnya yang

hanya mencapai 29.824 ton (BPS Bali, 2013). Namun

kendalanya dalam budidaya cabai yaitu rentan akan

serangan hama dan penyakit. Serangan hama dan

penyakit pada tanaman dapat menyebabkan

terjadinya penurunan hasil produksi serta gagal

panen. Pestisida merupakan salah satu alternatif

utama yang dipakai petani dalam menanggulangi

serangan hama dan penyakit karena dianggap lebih

efektif dibandingkan dengan penanggulangan secara

biologis dan fisik. Rata-rata peningkatan total

konsumsi pestisida per tahun mencapai 6,33 %,

namun pada kenyataanya di lapangan diperkirakan

dapat mencapai lebih dari 10-20 % (Djunaedy, 2009).

Penggunaan pestisida pada tanaman cabai paling

sering ditemukan kandungan residunya. Kandungan

residu yang ditemukan yaitu pestisida golongan

organofosfat jenis propenofos residunya melebihi batas

maksimum residu profenofos pada tanaman cabai

yaitu 5 mg/kg. Hal ini dikarenakan adanya petani

yang sering mengambil langkah praktis, mereka

langsung menyemprot dengan pestisida tanpa

memperhatikan nilai ambang ekonomi hama, dosis

anjuran dan jenis pestisida (Afriyanto, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian Soemirat (2003) residu

insektisida golongan organofosfat ditemukan pada

berbagai jenis sayuran seperti bawang merah dengan

konsentrasi 0,565-1,167 mg/kg, kentang 0,125-4,333

mg/kg. Sedangkan cabai dan wortel mengandung

profenofos 0,11 mg/kg, detakmetrin 7,73 mg/kg,

klorpirifos 2,18 mg/kg, tulubenzuron 2,89 mg/kg, dan

permetrin 1,80 mg/kg.

Struktur kimia dan cara kerja organofosfat

berhubungan erat dengan gas syaraf. Organofosfat

ECOTROPHIC • 11 (1) : 34 - 39 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Page 35: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

35

dapat menurunkan populasi serangga dengan cepat,

persistensinya di lingkungan sedang sehingga

organofosfat secara bertahap dapat menggantikan

organoklorin. Organofosfat merupakan insektisida

yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya

dan sering menyebabkan keracunan pada manusia.

Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat

menyebabkan kematian, tetapi diperlukan beberapa

milligram untuk dapat menyebabkan kematian pada

orang dewasa (Zulkarnain, 2010).

Residu pestisida pada cabai dapat berasal dari

hasil penyemprotan pada tanaman. Residu pestisida

terdapat pada semua tubuh tanaman seperti batang,

daun, buah, dan juga akar. Walaupun sudah dicuci

atau dimasak residu pestisida ini masih terdapat pada

bahan makanan. Oleh karena itu maka dibuatlah

suatu percobaan untuk mengetahui pengaruh lama

penyimpanan terhadap residu pestisida golongan

organofosfat pada komoditas buah cabai merah.

Percobaan yang dilakukan juga diperkuat dengan

data wawancara mendalam yang dilakukan kepada

petani untuk mengetahui aplikasi jenis dosis dan

frekuensi penggunaan pestisida oleh petani di

Kecamatan Baturiti, Tabanan.

2. METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober

sampai Desember 2015. Penelitian ini terdiri dari 2

tahapan yaitu penelitian tahap 1 dengan wawancara

menggunakan kuisioner kepada petani di Kecamatan

Baturiti, Kabupaten Tabanan dengan mengambil 10

orang responden secara acak masing-masing di Desa

Apuan, Desa Bangli, Desa Angsri, Desa Baturiti,

Desa Perean dan Desa Candikuning. Variabel

penelitian tahap 1 yaitu pengamatan mengenai jenis,

dosis serta frekuensi penggunaan pestisida pada

petani cabai merah. Instrumen yang digunakan

dengan prosedur kerja melakukan wawancara

langsung sekaligus mencatat jawaban responden.

Hasil wawancara selanjutnya ditabulasi.

Penelitian tahap 2 menggunakan rancangan

acak lengkap (RAL) dengan perlakuan yang

dicobakan yaitu : CO : Lama penyimpanan 0 hari

(panen); C1 : Lama penyimpanan 1 hari dan C3 :

Lama penyimpanan 3 hari. Setiap unit perlakuan

diulang sebanyak 3 kali sehingga secara keseluruhan

terdapat 9 petak percobaan. Sampel buah cabai

merah yang digunakan dalam penelitian diambil di

Desa Apuan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten

Tabanan. Variabel penelitian tahap 2 yaitu

kandungan residu pestisida golongan organofosfat

jenis profenofos dan klorpirifos pada buah cabai

merah dengan perlakuan lama penyimpanan. Untuk

mengetahui kandungan residu pestisida golongan

organofosfat pada buah cabai merah sampel buah

cabai merah dianalisis di Laboratorium Forensik

Polri Cabang Denpasar dengan gas kromatografi (GC-

MS).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Aplikasi Jenis, Dosis dan Frekuensi

Penggunaan Pestisida Oleh Petani Cabai

Merah di Kecamatan Baturiti, Tabanan

Data kuisioner menunjukkan merk dagang

insektisida yang paling banyak digunakan sejumlah

60 % yaitu Curacron 500 EC, 20 % merk Kaliandra

482 EC dan sisanya 20 % menggunakan insektisida

dengan merk yang beragam diantaranya yaitu

Winder, Decis, Bima, Matador, Metindo dan Sanval

(Tabel 1).

Curacron dengan bahan aktif profenofos memiliki

gugus brom dan klor yang dikhawatirkan akan

memiliki bahaya yang sama dengan organoklor.

Toksisitas pestisida dapat diketahui dari nilai LD 50

oral dan dermal yaitu dosis yang diberikan dalam

makanan hewan-hewan percobaan yang

menyebabkan 50 % dari hewan-hewan tersebut mati.

Nilai LD 50 profenofos yaitu LD 50 (tikus) sekitar

358 mg/kg; LD 50 dermal (kelinci) dengan kelas

toksisitas beracun sedang (IPCS, 1996). Sifat

profenofos sebagai golongan organofosfat yaitu tidak

menimbulkan kontaminasi terhadap lingkungan

untuk jangka waktu yang lama, lebih toksik

terhadap hewan-hewan bertulang belakang jika

dibandingkan dengan organoklorin, mempunyai cara

kerja menghambat fungsi enzim cholinesterase dan

berefek toksik bila tertelan (Afriyanto, 2008). Umur

residu dari profenofos ini tidak berlangsung lama

sehingga peracunan kronis terhadap lingkungan

cenderung tidak terjadi karena faktor-faktor

lingkungan mudah menguraikan senyawa-senyawa

profenofos menjadi komponen yang tidak beracun.

Walaupun demikian senyawa ini merupakan racun

akut sehingga dalam penggunaannya faktor-faktor

keamanan sangat perlu diperhatikan. Pestisida

Tabel 1. Penggunaan Jenis Pestisida Oleh Petani Cabai Merah di

Kecamatan Baturiti Tabanan

No Jenis Penggunaan Pestisida Jumlah (%)

1 Jenis pestisida yang digunakan

A. Pestisida organik/biopestisida 0

B. Pestisida anorganik 100

2 Jenis pestisida yang paling banyak digunakan

A. Herbisida 0

B. Fungisida 10

C. Insektisida 90

D. Lain-lain 0

3 Merek dagang insektisida yang paling banyak digunakan

A. Curacron 60

B. Diazinon 0

C. Kaliandra 20

D. Lain-lain 20

Residu Pestisida Golongan Organofosfat Komoditas Buah Cabai Merah (Capsicum annuum L.) pada Berbagai Lama ..... [IGA Surya Utami Dewi, dkk.]

Page 36: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

36

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

curacron merupakan pestisida yang memiliki izin

terdaftar dan beredar untuk pertanian dan

kehutanan tahun 2016 di Indonesia.

Kaliandra dengan bahan aktif klorpirifos

memiliki 3 gugus klor yang juga dikhawatirkan

dampak negatifnya. Nilai LD 50 klorpirifos yaitu LD

50 oral (tikus) sebesar 135-163 mg/kg; LD 50 dermal

(tikus)>2.000 mg/kg dengan kriteria toksisitas

beracun sedang (IPCS, 1996). Umur residu dari

klorpirifos ini sama dengan profenofos yaitu tidak

berlangsung lama sehingga peracunan kronis

terhadap lingkungan cenderung tidak terjadi karena

faktor-faktor lingkungan mudah menguraikan

senyawa-senyawa klorpirifos menjadi komponen yang

tidak beracun.

Penggunaan pestisida yang dilakukan oleh

petani dalam hasil wawancara 100 % melebihi dari

dosis pemakaian pestisida yang dianjurkan (Tabel

2). Dalam penggunaan pestisida sebagian besar petani

tidak membaca aturan pakai yang tertera dalam

kemasan pestisida. Pengukuran dosis pestisida yang

dipakai petani adalah dengan menggunakan tutup

botol pestisida atau menggunakan takaran sendok

makan. Pencampuran pestisida yang dilakukan yaitu

> 40 ml (> 4 tutup kemasan ukuran 10 ml) dan > 40

gram (> 4 sendok makan) untuk tanki ukuran 17

liter serta > 30 ml (> 3 tutup kemasan ukuran 10

ml) dan > 30 gram (> 3 sendok makan) untuk tanki

ukuran 14 liter. Hal ini tidak sesuai dosis

berdasarkan kriteria dosis dan ukuran tanki. Apabila

pestisida tersebut tidak dapat membunuh hama,

maka petani akan meningkatkan dosis

pemakaiannya. Pada saat menjelang panen dosis yang

dipakai bisa meningkat 2 kali dari dosis pemakaian

biasanya.

Petani di Kecamatan Baturiti melakukan

penyemprotan pestisida tidak sesuai dengan anjuran

dari Dinas Pertanian yang menganjurkan

penyemprotan dilakukan hanya menggunakan satu

jenis bahan pestisida. Petani di daerah ini

melaksanakan penyemprotan dengan mencampur

insektisida, fungisida, pupuk dan bahan perekat pada

saat penyemprotan dengan alasan untuk menghemat

waktu dan tenaga. Frekuensi penyemprotan

pestisida oleh petani pada tanaman cabai di

Kecamatan Baturiti dalam 1 musim tanam 90 % lebih

dari 12 kali dan sisanya 10 % dalam rentangan

frekuensi 10-12 kali. Penyemprotan dilakukan pada

saat tanaman cabai berumur 1 minggu sampai

dengan cabai siap panen. Waktu awal penanaman

cabai sampai dengan siap panen rata-rata 105 hari.

Frekuensi penyemprotan yang dilakukan berbeda-

beda, pada saat musim hujan penyemprotan pestisida

dilakukan lebih intensif yaitu 2 sampai 3 hari sekali

karena lebih rentan akan serangan hama dan

penyakit. Sedangkan pada musim kemarau

penyemprotan pestisida dilakukan 7 hari sekali.

Penyemprotan pestisida dilakukan pada pagi atau

sore hari. Interval penyemprotan yang pendek tentu

saja tidak efisien dan dapat menimbulkan dampak

negatif dari residu yang ditimbulkannya.

Tabel 2. Dosis dan Frekuensi Penggunaan Pestisida Oleh Petani Cabai

Merah di Kecamatan Baturiti Tabanan

No Dosis dan Frekuensi Penggunaan Pestisida Jumlah (%)

1 Dosis yang digunakan melebihi atau kurang dari dosis

yang dianjurkan

A. Lebih dari dosis yang dianjurkan 100

B. Kurang dari dosis yang dianjurkan 0

2 Frekuensi penyemprotan pestisida pada tanaman

dalam 1 musim tanam

A. 5-10 kali 0

B. 10-12 kali 10

C. Lebih dari 12 kali 90

3 Waktu penyemprotan pestisida terakhir sebelum panen

A. 1-2 hari menjelang panen 20

B. 3-7 hari menjelang panen 80

C. Lebih dari 1 minggu menjelang panen 0

Waktu penyemprotan pestisida terakhir yang

dilakukan sebelum panen menunjukkan hasil 80 %

dilakukan pada 3 sampai 7 hari menjelang panen

dan sisanya 20 % 1 sampai 2 hari menjelang panen.

Rekomendasi penyemprotan terakhir insektisida

berbahan aktif klorpirifos minimal 15 hari sebelum

panen (Amoako, 2012), sementara aplikasi terakhir

profenofos yang dianjurkan 14 hari sebelum panen

(Irie, 2007). Secara teori makin lama waktu aplikasi

insektisida golongan organofosfat sebelum panen

maka kadar residunya juga semakin rendah, hal

tersebut mencerminkan lebih besarnya proses

degradasi residu yang terjadi pada buah cabai akibat

pengaruh suhu dan cahaya matahari yang lebih

tinggi. Insektisida golongan organofosfat tidak tahan

terhadap suhu tinggi dan cahaya matahari,

khususnya spektrum ultraviolet (Syahbirin et al.,

2001). Penelitian Triani (2005), juga melaporkan

bahwa semakin dekat waktu antara penyemprotan

terakhir dengan waktu panen, semakin banyak residu

insektisida yang ada.

3.2 Residu Pestisida Golongan Organofosfat

Pada Buah Cabai Merah dengan Perlakuan

Lama Penyimpanan

Hasil analisis residu pestisida golongan

organofosfat jenis profenofos dan klorpirifos dengan

perlakuan lama penyimpanan pada buah cabai

merah menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.

Hasil analisis residu disajikan pada Tabel 3.

Kandungan residu profenofos dan klorpirifos pada

cabai merah menunjukkan adanya trend

berdasarkan perlakuan lama penyimpanan pestisida

yang diuji cobakan. Rata-rata residu profenofos yang

terdeteksi yaitu 1,20 mg/kg sampai 2,70 mg/kg

sedangkan rata-rata residu klorpirifos yang terdeteksi

Page 37: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

37

yaitu 0,0021 mg/kg sampai 0,0039 mg/kg. Kurva

kadar residu profenofos dan klorpirifos disajikan pada

gambar 2 dan 3.

Tabel 3. Hasil Analisis Residu Profenofos dan Klorpirifos

Jenis Perlakuan

Pestisida

Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-3

(Panen) (Penyimpanan (Penyimpanan

1 hari) 3 hari)

Profenofos 1,20 a 2,70 a 1,37 a

Klorpirifos 0,0027 a 0,0039 a 0,0021 a

Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom

yang sama, menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda

nyata pada uji Duncan.

Gambar 1. Kurva Residu Profenofos Buah Cabai Merah

CO: Residu lama penyimpanan 0 hari; C1: Residu lama penyimpanan

1 hari; C3: Residu lama penyimpanan 3 hari

Gambar 2. Kurva Residu Klorpirifos Cabai Merah

CO: Residu lama penyimpanan 0 hari; C1: Residu lama penyimpanan

1 hari; C3: Residu lama penyimpanan 3 hari

Hasil residu profenofos lebih tinggi dari residu

klorpirifos disebabkan oleh penggunaan insektisida

dengan bahan aktif klorfirifos di Desa Apuan masih

lebih rendah penggunaan dosisnya dibandingkan

dengan penggunaan insektisida dengan bahan aktif

profenofos. Residu pestisida profenofos terdeteksi lebih

tinggi juga disebabkan karena tekanan uap

profenofos sebesar 1,87 x 10 -5 Pa bersifat tidak volatil,

sehingga bahan aktifnya cenderung untuk terdeposit

dipermukaan bahan (Suardiana, 2014).

Gambar kurva 2 dan 3 menunjukkan kadar

residu rata-rata profenofos pada hari ke-0 yang

terdeteksi yaitu 1,20 mg/kg, setelah disimpan 1 hari

rata-rata residu meningkat menjadi 2,70 mg/kg dan

setelah disimpan kembali selama 3 hari rata-rata

residu turun menjadi 1,37 mg/kg. Sedangkan kadar

residu rata-rata klorpirifos pada hari ke-0 yaitu 0,0027

mg/kg, setelah disimpan selama 1 hari rata-rata

residu naik menjadi 0,0039 mg/kg dan disimpan

selama 3 hari rata-rata residu menurun menjadi

0,0021 mg/kg.

Kandungan residu profenofos dan klorpirifos pada

hari ke-0 lebih rendah dari perlakuan penyimpanan

selama 1 hari disebabkan karena pada saat hari ke-

0 kadar air yang terkandung dalam sampel cabai

merah cenderung tinggi dalam kondisi sampel masih

segar. Pada kondisi kadar air tinggi residu menurun

karena sebagian besar residu berikatan dengan air

membentuk persenyawaan.

Setelah disimpan selama 1 hari didalam karung

berongga (perlakuan sama dengan penyimpanan yang

dilakukan petani/pedagang) residu profenofos dan

klorpirifos meningkat karena kadar airnya menurun

dan berat tanaman cabai mengalami penyusutan,

inilah yang menyebabkan residu pestisida

terkonsentrasi sehingga terjadi peningkatan kadar

residu.

Pada perlakuan penyimpanan sampel cabai

selama 3 hari, residu profenofos dan klorpirifos rata-

rata menurun dari perlakuan penyimpanan selama

1 hari. Penelitian (Chairul et al, 2007) menyebutkan

bahwa penyimpanan cabai merah pada suhu 5oC

selama 7 hari dapat menurunkan kandungan residu

insektisida. Hal ini disebabkan karena senyawa

profenofos dan klorpirifos mempunyai waktu paruh

yang relatif singkat sehingga dengan dilakukannya

penyimpanan selama 3 hari sudah mampu

menurunkan kandungan residu pestisida pada buah

cabai. Penurunan residu juga disebabkan karena

pestisida golongan organofosfat mudah terdegradasi

dan mudah menguap. Degradasi untuk semua jenis

pestisida rata-rata >80 % dalam 10 hari setelah

aplikasi (Zhang et al, 2007).

Atmawidjaja (2004) juga menyebutkan pestisida

golongan organofosfat adalah pestisida yang tidak

memerlukan waktu lama untuk mengalami

penguapan. Pestisida yang menguap ke udara akan

terurai karena pengaruh suhu, kelembaban dan sinar

matahari khususnya sinar ultra violet. Penguraian

bahan pestisida tersebut tidak terjadi seketika itu

juga, melainkan sedikit demi sedikit. Perubahan

kimia yang terjadi pada residu organofosfat juga dapat

dipengaruhi oleh faktor panas, kelembaban, radiasi,

Residu Pestisida Golongan Organofosfat Komoditas Buah Cabai Merah (Capsicum annuum L.) pada Berbagai Lama ..... [IGA Surya Utami Dewi, dkk.]

Page 38: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

38

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

enzim dari tanaman atau mikroorganisme tanaman.

Pestisida golongan organofosfat umumnya mudah

terurai oleh faktor–faktor tersebut karena itu residu

yang terdeteksi rendah atau tidak terdapat sebagai

residu dalam tanaman (Spear, 1991).

Kandungan residu profenofos dan klorpirifos

masih dibawah Batas Maksimum Residu (BMR)

pestisida dengan ketentuan BMR profenofos pada

cabai merah yaitu 5 mg/kg dan klorpirifos yaitu 0,5

mg/kg. Kandungan residu pestisida organofosfat yang

rendah pada buah cabai disebabkan oleh faktor curah

hujan rata-rata daerah penelitian serta faktor

karakteristik buah cabai merah.

Pada daerah penelitian pengambilan sampel di

Desa Apuan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten

Tabanan memiliki curah hujan rata-rata mencapai

1800 mm/tahun yang tergolong sangat tinggi.

Pestisida organofosfat larut dalam air sehingga

mudah hilang dalam pencucian (Alegantina et al.,

2005). Klorpirifos hanya melekat pada permukaan

daun maupun buah sehingga kemungkinan terbasuh

air hujan sangat tinggi. Hal ini dijelaskan pula pada

hasil penelitian Zhang et al (2007) menunjukkan

bahwa hujan merupakan penyebab utama hilangnya

pestisida. Sejalan dengan hal tersebut Srikandi (2010)

menjelaskan bahwa residu permukaan dapat

menghilang karena pembilasan dan hidrolisis. Dalam

waktu 1-2 jam setelah tanaman diperlakukan dengan

pestisida kemungkinan besar 40 % deposit telah

hilang karena pencucian jika terjadi hujan, sisanya

terurai oleh sinar ultra violet. Faktor lain yang

menyebabkan residu yang terdeteksi masih dibawah

BMR yaitu karena karakteristik tanaman yang

permukaannya mempunyai malam (wax), sukar

dibasahi, sehingga absorpsinya lebih sukar dan

deposit pestisidanya sedikit. Cabai merah

mempunyai permukaan licin, pestisida yang

menempel pada kulit buah lebih sukar terabsorpsi

sehingga deposit pestisida sedikit (Amvrazi, 2011).

Walaupun hasil residu pestisida dalam buah

cabai merah masih berada dibawah BMR, tidak

menutup kemungkinan seseorang untuk mengalami

gangguan kesehatan jika terpapar terus menerus.

Organofosfat memiliki waktu paruh di dalam tubuh

selama 10-12 hari, yang kemudian akan diekresikan

lewat urine (Marbun et al., 2015). Residu insektisida

organofosfat yang terdapat pada sayuran masuk

kedalam tubuh manusia melalui mulut, maka dapat

memberikan pengaruh terhadap kesehatan manusia.

Dampak terhadap konsumen umumnya berbentuk

keracunan kronis yang tidak langsung dirasakan.

Namun, dalam waktu lama bisa menimbulkan

gangguan. Gejala keracunan ini baru kelihatan

setelah beberapa bulan atau tahun kemudian

(Djojosumarto, 2008).

4. SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan

dapat disimpulkan beberapa hal yaitu:

1. Pestisida dominan yang digunakan petani cabai

merah di Kecamatan Baturiti Tabanan adalah

insektisida golongan organofosfat dengan jenis

profenofos (curacron) 60 % dan klorpirifos

(kaliandra) 20 %. Dosis dan frekuensi

penggunaan pestisida yang digunakan petani

cabai merah di Kecamatan, Baturiti, Tabanan

tidak sesuai dengan aturan/ketentuan

pemakaian pestisida.

2. Tidak ada perbedaan yang nyata dari kandungan

residu pestisida golongan organofosfat pada

komoditas buah cabai merah di Desa Apuan,

Baturiti Tabanan yang disimpan selama 3 hari.

4.2 Saran

Adapun saran yang diajukan dalam penyususan

tesis ini yaitu sebagai berikut.

1. Perlu dilakukan kegiatan penyuluhan dan

monitoring dari pemerintah kepada petani

mengenai penggunaan pestisida yang bijaksana

sesuai dengan anjuran/aturan.

2. Perlu dilakukan pengamatan pada parameter

kadar air, suhu, kelembaban dalam penelitian

pengaruh residu pestisida terhadap lama

penyimpanan untuk mendapatkan data

penelitian yang lebih akurat.

3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai

residu pestisida golongan organofosfat dengan

perlakuan rentangan lama penyimpanan lebih

panjang untuk melihat pengaruhnya terhadap

kandungan residu pestisida.

4. Perlu dilakukan penelitian residu pestisida bahan

aktif lain selain organofosfat untuk melihat jenis

residu pestisida dominan yang terdeteksi di

lapangan.

5. Perlu adanya penelitian-penelitian mengenai

bahan alam/tanaman yang dapat dipakai mende-

gradasi pengaruh residu pestisida terhadap

lingkungan sehingga pencemaran lingkungan

akibat residu pestisida dapat dikurangi.

6. Perlu dilakukan penelitian-penelitian mengenai

biopestisida sehingga dapat digunakan sebagai

alternatif pestisida ramah lingkungan pengganti

pestisida kimia.

DAFTAR PUSTAKA

Afriyanto. 2008. “Kajian Keracunan Pestisida Pada

Petani Penyemprot Cabe di Desa Candi

Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang”

(tesis).Semarang: Universitas Diponegoro.

Page 39: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

39

Alegantina, S., Raini, M., Lastri. 2005. Penelitian

Kandungan Organofosfat Dalam Tomat dan

Selada yang Beredar di Beberapa Jenis Pasar

di DKI Jakarta. Media Litbang Kesehatan

Volume XV Nomor I.

Amoako P.K.,Kumah P. and Appiah F. 2010.

Pesticides Usage In Cabbage (Brassica olearacea)

Cultivation In The Ejisu-Juaben Municipality Of

The Ashanti Region Of Ghana. International

Journal Of Research And Chemistry And

Environment. Vol 2 Issue 3 July 2012 (26-31).

Amvrazi, EG. 2011. The Impacts Of Pesticides

Exposure. M. Stoytcheva (Ed). Fate Of Pesticide

Residues on Raw Agricultural Crops after

Postharvest Storage and Food Processing to

Edible Portions, Pesticides-Formulations, Effects,

Fate.576-588. Rijeka: Intech.

Atmawidjaja., Tjahjono., Rudyanto. 2004. Pengaruh

Perlakuan Terhadap Kadar Residu Pestisida

Metidation Pada Tomat. [cited 5 Maret 2015].

Available from: URL: http://acta.fa.itb.ac.id.

BPS Provinsi Bali. 2013. Bali Dalam Angka 2013.

Denpasar: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali

Chairul, S. M. dan . N. Kuswadi. 2007. Penurunan

Kandungan Residu Insektisida Dimetoat dalam

Cabai Merah (Capsicum annum L.) Akibat

Iradiasi Gamma. JFN 1(1):23-30.

Djojosumarto, P. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida

Pertanian. Yogyakarta: Kansius.

Djunaedy, A. 2009. Biopestisida Sebagai Pengendali

Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Yang

Ramah Lingkungan. Embryo Vol 6 No 1. ISSN

0216-0188.

IPCS, 1996. Pesticide residues in food—1991: Joint

FAO/WHO Meeting on Pesticide Residues

Evaluations 1991. Part II. Toxicology. Geneva:

World Health Organization.

Irie, M. 2007. Pesticide Residues in Food. Report of

the JMPR 2007, FAO Plant Production and

Protection Paper, 191, pp 210. pages 1357,144.

Marbun, Lulu Hotdina.,Nurmaini.,Taufik Ashar.

2015. Analisis Kadar Residu Pestisida

Organofosfat Pada Sayuran Serta Tingkat

Perilaku Konsumen Terhadap Sayuran yang

Beredar di Pasar Tradisional Pringgan

Kecamatan Medan Baru Tahun 2015. Medan:

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara.

Soemirat. 2003. Analisis Residu Pestisida Pada

Sayuran. Jurnal Pertanian Vol 45 (1), 10-14.

Spear, Robert. 1991. Recognized and Posible exposure

to Pesticides dalam Handbook of Pesticide

Toxicology, vol. I, 245- 255.

Srikandi. 2010. “Hubungan Antara Tingkat Residu

Pestisida dan Komunitas Biota Tanah pada

Lahan Padi Sawah”(tesis). Bogor: Institut

Teknologi Bogor.

Suardiana, P. P. 2014. “Analisis Residu Pestisida

Organofosfat Dalam Sayuran Dari Daerah

Pertanian Kintamani Bangli”(tesis). Denpasar:

Universitas Udayana.

Syahbirin, G., Purnama, H., Prijono, D. 2001. Residu

Pestisida pada Tiga Jenis Buah Impor. Buletin

Kimia (2001) 1, 113-118. [cited 1 April 2016].

Available from: URL:http://repository.ipb.ac.id/

b i t s t r e a m / h a n d l e / 1 2 3 4 5 6 7 8 9 / 9 7 9 0 /

Gustini_Syahbirin%20_Residu_pestisida.pdf?sequence=1.

Triani, I, G, A, L. 2005. “Residu Insektisida Sidazinon

pada Kacang Panjang (Vigna sinensis) yang

Dihasilkan di Kabupaten Tabanan” (Tesis).

Denpasar: Program Magister Ilmu Lingkungan

Universitas Udayana.

Yusniwati. 2008. Studi Regenerasi Beberapa Genotipe

Cabai (Capsicum annum L.) untuk Rekayasa

Genetika. Padang: Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan

Nasional, Pp 4-5.Vol 20.

Zhang, Z.Y.,Liu, X., Yu, X.,Zhang, C., Hong, X. 2007.

Pesticide Residue In Spring Cabbage (Brassica

Oleacea L.Var.Capitata) Grown In Open Field.

Food Conf. 18 (6): 723-730.

Zulkarnain, I. 2010. Aplikasi Pestisida dan Analisa

Residu Pestisida Golongan Organofosfat pada

Beras di Kecamatan Portibi Kabupaten Padang

Lawas Utara. (Serial Online). [cited 10 Maret

2015]. Available from: URL:http://

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16894/

5/Chapter%20I.pdf.

Residu Pestisida Golongan Organofosfat Komoditas Buah Cabai Merah (Capsicum annuum L.) pada Berbagai Lama ..... [IGA Surya Utami Dewi, dkk.]

Page 40: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

40

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

BIODEGRADASI ZAT WARNA REMAZOL BLACK B

SECARA AEROBIK- ANAEROBIK DALAM SISTEM BIOFILTRASI VERTIKAL

DENGAN MENGGUNAKAN TANAMAN TALAS (Colocasia esculenta)

Febby Hartesa W1*), I Wayan Budiarsa Suyasa1), I Nengah Simpen1)

1) Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Bali* Email : [email protected]

ABSTRACT

The research was conducted to decrease concentration of remazol black b on vertical biosystem of Colocasia

esculenta plant with and without addition of activated suspension as variable. The activated suspension was

collected from many sources such as sediment of Badung river, Serangan river, Soputan river and dying

waste treatment. The aims of this research are: 1) to determine the best activated suspension from seeding

sample from some ecosystems, 2) to determine optimal time of vertical biosystem plant to decrease concentration

of remazol black b, 3) to know effectivity and capacity of vertical biosystem plant to decrease concentration of

remazol black b, TDS and TSS. The results of research show that best activated suspension was provided

from sample Serangan river sediment, optimal time to decrease concentration of remazol black b with and

without addition of activated suspension is 60 hours and 96 hours. The effectivity system with addition

activated suspension to decrease concentration of remazol black b is 97,82% and capacity is 2,7963 ppm/

m3hours. The effectivity system with addition activated suspension to decrease concentration of TDS is

83,93% and capacity is 14,44 ppm/m3hours. The effectivity on system with addition activated suspension to

decrease concentration of TSS 89,75% and capacity is 9,1568 ppm/m3. The effectivity on system without

addition activated suspension to decrease concentration of remazol black b is 89,35% and capacity is 2,5543

ppm/m3hours. The effectivity on system without addition activated suspension to decrease concentration of

TDS is 65,71% and capacity is 11,31 ppm/m3hours. The effectivity on system without addition activated

suspension to decrease concentration of TSS is 72,29% and capacity is 7,3746 ppm/m3 hours.

Keywords : activated suspension; biosystem; Colocasia esculenta; remazol black b.

1. PENDAHULUAN

Industri tekstil merupakan salah satu industri

yang tengah berkembang di Indonesia, hal ini dapat

dilihat dari banyaknya keberadaan industri-industri

tekstil baik dalam skala besar maupun skala kecil.

Keberadaan industri tekstil semakin meningkat

seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan

pakaian. Sebagai salah satu industri yang tengah

berkembang di Indonesia saat ini, industri tekstil

menghasilkan air limbah berwarna. Perkembangan

industri tekstil terus meningkat tidak sebanding

dengan pengolahan air limbah yang dihasilkan.

Kebanyakan air limbah yang mengandung zat warna

dibuang begitu saja ke lingkungan tanpa ada

pengolahan terlebih dahulu (Daneshvar et al, 2007).

Zat warna azo paling sering digunakan pada

industri tekstil karena dapat terikat kuat pada kain,

sehingga tidak mudah luntur dan memberikan

warna yang baik. Selain itu, zat warna azo mudah

ditemukan dan memiliki variasi warna yang lebih

banyak dibandingkan pewarna alami (Pandey et al.,

2007). Zat warna azo disintesis untuk tidak mudah

rusak oleh perlakuan kimia maupun fotokatalitik,

sehingga apabila dibuang ke dalam perairan akan

merusak estetika perairan tersebut serta meracuni

biota air. Hal ini disebabkan berkurangnya oksigen

yang dihasilkan dari proses fotosintesis akibat

terhalangnya sinar matahari yang masuk ke dalam

badan air (Zee, 2002). Untuk itu, sebelum dibuang

ke lingkungan limbah zat berwarna tersebut harus

diolah terlebih dahulu untuk menghilangkan atau

menurunkan kadar bahan pencemar yang

terkandung didalamnya sehingga limbah cair aman

untuk dibuang ke badan air atau lingkungan (sesuai

dengan baku mutu yang ditetapkan).

Dalam hal penanganan pencemaran limbah yang

ditimbulkan dari industri pencelupan tekstil dapat

dilakukan pengolahan terhadap air limbah berwarna

baik secara kimia, fisika, biologi maupun gabungan

dari ketiganya. Pengolahan limbah tekstil secara

kimia dan fisika cukup efektif untuk menghilangkan

warna, namun memiliki kelemahan yaitu biaya

operasional relatif mahal. Pengolahan air limbah

yang mengandung berbagai bahan organik dan

anorganik haruslah efisien, tidak memerlukan lahan

yang luas, ekonomis, serta tidak menimbulkan

polutan baru yang dapat mencemari lingkungan.

Suatu sistem pengolahan limbah yang efektif harus

mampu menurunkan kadar bahan-bahan pencemar

dalam air limbah hingga memenuhi ketentuan yang

berlaku. Pengolahan secara biologis adalah

ECOTROPHIC • 11 (1) : 40 - 46 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Page 41: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

41

pengolahan limbah yang efektif, murah dan ramah

lingkungan. Pengolahan air limbah secara biologis

terutama diarahkan untuk mengolah bahan organik

terlarut dari air limbah, dilakukan dengan cara

anaerob, aerob atau dengan gabungan cara anaerob-

aerob (Budiyono dan Sunarso, 2007).

Biofiltrasi merupakan salah satu proses

pengolahan limbah secara biologis yang pada

prinsipnya melibatkan mikroba (bakteri pengurai)

sebagai media penghancur bahan-bahan pencemar.

Proses perombakan zat warna azo oleh bakteri pada

dasarnya merupakan reaksi redoks yang dikatalisis

oleh enzim. Koenzim nikotinamida adenin

dinukleotida (NAD+) yang dibebaskan pada proses

glikolisis glukosa dengan bantuan enzim

dehidrogenase berperan sebagai pembawa elektron

dan terlibat dalam reaksi enzimatik. Pada kondisi

tidak ada oksigen, NADH mengalami reaksi oksidasi

menghasilkan NAD+ sedangkan zat warna azo

mengalami reaksi reduksi menghasilkan amina-

amina aromatik yang bersesuaian. Putusnya ikatan

azo pada zat warna azo menyebabkan warna menjadi

hilang. Pada kondisi anaerob degradasi zat warna

tekstil menggunakan bakteri lebih cepat

dibandingkan dengan kondisi aerob, namun

kelemahannya yaitu menghasilkan amina aromatik

yang bersifat lebih toksik dibandingkan dengan zat

warna azo itu sendiri. Hasil uji toksisitas

menunjukkan degradasi limbah tekstil pada kondisi

anaerob lebih toksik dibandingkan dengan limbah

awal (Sastrawidana, 2012). Untuk itu perlu

dilanjutkan pengolahan pada tahap anaerob untuk

mengubah senyawa organik menjadi CO2, H

2O, NH

3.

Hasil penelitian Purnamawati (2015)

menyatakan bahwa, pengolahan limbah rhodamin b

dalam biofiltrasi sistem tanaman mampu

menurunkan kadar rhodamin b, TDS dan TSS

berturut-turut sebesar 51,07%, 47,60%, 50,44%.

Wibowo dan Komarawidjaja (2012) dalam

penelitiannya menggunakan tanaman talas mampu

mereduksi kandungan bahan pencemar dalam air

terutama Nitrogen (N), karbon (C), dan fosfat (PO4

3-

), sehingga talas dapat dimanfaatkan untuk

mereduksi suatu pencemar organik.Tanaman

merupakan makhluk hidup yang memerlukan

unsur-unsur hara yang esensial bagi

pertumbuhannya. Tanaman mampu menyerap zat-

zat yang terkandung dalam air limbah, seperti nitrit,

nitrat, amonium, dan sulfur dalam bentuk sulfat

(Lakitan, 2007). Oleh karena itu, pada penelitian ini

dilakukan penurunan kadar zat warna remazol black

b secara aerobik-anaerobik dalam sistem biofiltrasi

vertikal dengan menggunakan tanaman talas.

Teknik biofilter memiliki beberapa keunggulan

diantaranya pengoperasiannya mudah, lumpur yang

dihasilkan sedikit, tingkat efisiensinya tinggi, serta

dapat menghilangkan padatan tersuspensi dengan

baik. Pengolahan ini diawali dengan cara melakukan

pembibitan untuk memilih suspensi aktif terbaik

yang nantinya akan ditambahkan kedalam sistem

pengolahan. Adapun sumber suspensi aktif yang

digunakan diambil dari beberapa tempat berbeda

yaitu, sedimen Sungai Badung, sedimen Sungai yang

berlokasi di Pulau Serangan, sedimen Sungai Soputan

dan lumpur hasil pengolahan limbah tekstil.

Parameter pendukung dalam penelitian ini adalah

TSS dan TSS, pemilihan kedua parameter tersebut

adalah untuk mengetahui kemampuan sistem

biofiltrasi vertikal tanaman dalam mengurangi

padatan total serta benda padat terlarut yang

terkandung setelah pengolahan. Sistem pengolahan

ini diharapkan dapat melakukan proses pengolahan

dalam menurunkan kadar remazol black b, serta

penyisihan bahan organik terlarut dan tersuspensi

dalam limbah zat warna remazol black b.

2. METODOLOGI

2.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian

Jurusan Kimia FMIPA Unud Laboratorium Bersama

FMIPA Unud di Kampus Bukit Jimbaran. Waktu

penelitian selama 3 bulan dari bulan maret- mei.

2.2 Alat dan Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah: zat warma tekstil buatan (remazol black

b teknis), tanaman (Colocasia esculenta), sampel

tanah dari beberapa ekosistem, glukosa, K2HPO

4,

KH2PO

4, (NH

4)

2[Fe(SO

4)

2].6H

2O, MgSO

4, FeSO

4,

K2Cr

2O

4 berasal dari Merck, ekstrak ragi dari Haan,

Aqua DM dari Brataco Chemika. Alat-alat yang

diperluan dalam penelitian ini antara lain :

aluminium foil, kain kasa, kertas saring Whatman

42 dari Ajax Chemical, erlenmeyer Pyrex, gelas ukur

Approx, bola hisap, pipet tetes, pipet volume dari

Socorex, tanur, gelas beker Pyrex, aerator 6 buah,

spektrofotometer UV-VIS 1800 Shimadzu, oven dari

Memmert, desikator, labu ukur Approx, kulkas,

autoklaf All American 75x, timbangan Ohaus Galaxy

400, neraca analitik Pioneer.

Unit pengolahan biofiltrasi tanaman vertikal

dibuat dari pipa paralon berukuran diameter 12 cm

dan panjang 90 cm. Pipa diposisikan dalam keadaan

vertikal, bagian dalam pipa diisi dengan batu koral

setinggi 60 cm dari dasar permukaan pipa dan

diatasnya ditambahkan pasir setinggi 22 cm sebagai

media tumbuhnya tanaman. Di dalam pipa paralon

tersebut ditanam 1 buah Colocasia esculenta yang

memiliki daun 3 lembar dengan posisi tegak. Pada

bagian bawah pipa dibuat kran setinggi 15 cm dari

dasar pemukaan pipa untuk mengalirkan efluen air

limbah yang sudah memasuki keadaan aerobik –

anaerobik. Sistem biofilter tanaman vertikal

Biodegradasi Zat Warna Remazol Black B Secara Aerobik-Anaerobik Dalam Sistem Biofiltrasi Vertikal dengan ..... [Febby Hartesa W., dkk.]

Page 42: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

42

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Gambar 1. Sistem Biofilter Vertikal Tanaman

2.3 Prosedur Penelitian

2.3.1 Sampling Sedimen

Sedimen lumpur tercemar diambil

menggunakan sekop dengan kedalaman 10 - 20 cm

dari permukaan dasar sebanyak 100 gram. Masing-

masing lumpur diambil dengan menentukan tiga titik

sesuai arah mata angin yaitu pada bagian utara,

selatan dan barat sungai maupun bak pembuangan

limbah dengan asumsi dapat mewakili satu tempat,

lalu diletakkan sementara pada kantong plastik klip

dan disimpan pada cooler box.

2.3.2 Pembibitan (Seeding)

Pembibitan suspensi aktif dilakukan dengan

mengambil 0,5 gram sedimen lumpur dari masing-

masing ekosistem kemudian tiap sedimen dimasukan

kedalam gelas beaker yang berisi media cair sebanyak

500 mL. Media pada masing-masing gelas beaker

diaerasi dengan menggunakan aerator yang diberi

selang yang diletakan didasar gelas beaker. Gelas

beaker ditutup dengan kain kasa dan diikat dengan

karet lalu didiamkan selama 48 jam. Pada jam ke 6,

12, 28 dan 48 aerator dimatikan dan didiamkan

beberapa saat selama 10-15 menit untuk mengetahui

perkembangan isolat bakteri dengan mengukur nilai

VSS (Volatile Suspended Solid).

2.3.3 Pengolahan limbah sistem biofilter

vertikal tanaman secara aerobik –

anaerobik

Dua buah paralon disiapkan sebagai sistem

biofiltrasi vertikal tanaman. Pipa pertama dan kedua

diisi media koral, pasir serta tanaman talas yangtumbuh sehat dan baik. Pada pipa pertamadimasukkan sejumlah air limbah yang mengandungremazol black b konsentrasi 46,517 ppm sampaisistem biofilter basah oleh air limbah. Pada pipakedua, sebelum dialirkan zat warna remazol black bkonsentrasi 46,517 ppm, ditambahkan terlebihdahulu sumber bibit terbaik kemudian sumber bibitdiadaptasikan selama 12 jam pada sistem biofilter.Setelah itu sumber bibit dialirkan keluar melaluikran. Sejumlah air limbah remazol black b sebanyak3,6 L dimasukkan kedalam sistem biofilter hinggasistem basah oleh air limbah. Proses pengolahanremazol black b pada sistem biofiltrasi vertikaldilakukan selama 96 jam. Setiap selang waktu 4 jampengolahan, dilakukan pengambilan sampel airuntuk analisis penurunan konsentrasi remazol blackb dengan memplot grafik antara waktu pengolahandan penurunan konsentrasi. Kurva yang mengalamipenurunan konstan dianggap sebagai kadar akhirserta dapat ditentukan waktu optimal terhadappenurunan kadar remazol black b berdasarkan bakumutu air limbah domestik. Pengamatan sampel airjuga dilakukan dengan mengukur kadar TotalDissolved Solid (TDS), dan kadar Total SuspendedSolid (TSS). Dari pengukuran kadar remazol blackb dilakukan perhitungan mengenai tingkatefektivitas dan kapasitas sistem biofiltrasi vertikaltanaman dalam menurunkan kadar remazolblack b, TDS dan TSS sesuai baku mutu yangditetapkan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Suspensi Aktif Terbaik denganPembibitan Sampel Sedimen Sungai dariBeberapa EkosistemBerdasarkan hasil nilai VSS yang diperoleh pada

masing-masing suspensi aktif pada prosespembibitan, menunjukan bahwa suspensi aktif IIdengan komposisi lumpur yang berasal dari sedimenSungai Serangan merupakan suspensi aktif terbaik.Pemilihan suspensi aktif terbaik berdasarkan waktutercepat dalam memperoleh nilai VSS tertinggi,dimana pada waktu optimal pembibitan 12 jam nilaiVSS tertinggi ditunjukan pada suspensi aktif yangberasal dari sedimen lumpur Sungai Serangan.

Jika dilihat dari kurva pertumbuhan nilai VSSyang diperoleh suspensi aktif II pada jam ke 6 terjadipeningkatan yang sangat cepat terhadappertumbuhan biomassa. Hal ini kemungkinandisebabkan jumlah dan aktivitas mikroorganismeyang tinggi sehingga selama pembibitan terjadipertumbuhan yang cepat. Pada jam ke 12 terjadi fasestasioner dimana tidak terjadi pengingkatan maupunpenurunan terhadap pertumbuhan biomassa. Hal initerjadi karena nutrien yang dibutuhkan oleh bakteritelah berkurang. Pada jam ke 28 dan 48 terjadi fasekematian akibat nutrisi dalam media cair telah habissehingga terjadi penurunan kurva nilai VSS.

Page 43: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

43

Kecepatan kurva kematian lebih lambatdibandingkan kurva penurunan biomassa.

Dibandingkan ketiga suspensi aktif lainnya,sedimen lumpur Sungai Serangan memiliki waktutercepat, yakni 12 jam untuk mencapai nilai VSStertinggi sebesar 1600 mg/L. Kondisi lingkungandisekitar tempat pengambilan sampel SungaiSerangan merupakan perairan tercemar yangmengandung limbah domestik dengan kadar organikyang tinggi dimana apabila suatu perairan tercemarmengandung bahan organik tinggi akan terciptasuasana yang sesuai bagi mikroba untukmenggunakan bahan organik tersebut dalam prosesmetabolismenya. Aktivitas mikroba yang semakintinggi dalam menguraikan bahan organik makasemakin tinggi pula biomassa yang dihasilkan(Mukono, 2000).

3.2 Waktu Optimal Perlakuan BiosistemVertikal Tanaman Terhadap PerubahanKadar Remazol Black BPada penelitian ditentukan waktu optimal

pengolahan dengan membandingkan hasilpenurunan kadar remazol black b setiap selang 4jam dengan baku mutu air limbah domestik yangsudah ditetapkan. Adapum kurva pengukuran kadarremazol black b selama 96 jam disajikan padaGambar 3 dan Gambar 4.

Pada sistem pengolahan dengan perlakuan tanpapenambahan suspensi aktif terlihat bahwa kurvakadar remazol black b mengalami laju penurunanyang pesat diawal perlakuan hingga jam ke 12,kemudian pada rentang waktu pengolahan jam ke12 hingga jam ke 36 laju penurunan masih terlihatpesat. Hal ini dikarenakan kebutuhan nutrien bagimikroorganisme masih mencukupi untukberkembang biak serta melaksanakan aktivitaspenguraian. Ketika memasuki waktu pengolahan jam

ke 36, terlihat laju kurva penurunan kadar remazolblack b mulai melambat hingga memasuki waktupengolahan jam ke 84. Hal ini terjadi karena kondisimikroorganisme mulai kehabisan sumber nutriendan tidak ada tambahan nutrien lagi sehinggamikroorganisme tidak bisa melakukan pertumbuhandan aktivitas penguraian akan semakin menurunkarena mikroorganisme sudah berada dalam kondisijenuh yang disebut dengan keadaan stationary phase.Jika waktu pengolahan dilanjutkan diatas 96 jammaka kemungkinan besar grafik yang dihasilkanakan cenderung stabil yang menunjukkan bahwamikroorganisme sudah tidak mampu lagimelakukan aktivitasnya dalam menguraikanremazol black b akibat kekurangan nutrien sehinggalama kelamaan akan mencapai endogenous phase,yaitu suatu kondisi dimana mikroorganismemengalami kematian dengan laju kematian tinggidan terjadi cell lysis. Selain itu, pada waktuperlakuan ke 96 jam kadar remazol black b telahberada dibawah baku mutu air limbah domestikdengan konsentrasi sebesar 4,9530 ppm, sehinggawaktu optimal yang diperlukan untuk menurunkankadar remazol black b hingga berada dibawah bakumutu adalah 96 jam.

Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Biomassa Suspensi Aktif

Keterangan:

• Suspensi Aktif I = sedimen Sungai Badung

• Suspensi Aktif II = sedimen Sungai Serangan

• Suspensi Aktif III = sedimen Sungai Soputan

• Suspensi Aktif IV = lumpur limbah pencelupan tekstil

Gambar 3. Tanpa Penambahan Suspensi Aktif

Gambar 4. Penambahan Suspensi Aktif

Biodegradasi Zat Warna Remazol Black B Secara Aerobik-Anaerobik Dalam Sistem Biofiltrasi Vertikal dengan ..... [Febby Hartesa W., dkk.]

Page 44: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

44

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Berdasarkan Gambar 4. pada sistem pengolahandengan penambahan suspensi aktif terlihat bahwalaju penurunan kadar remazol black b terjadi denganpesat diawal waktu pengolahan hingga jam ke 36.Hal ini kemungkinan disebabkan adanya sumbernutrien yang mencukupi pada selang waktupengolahan tersebut sehingga menyebabkan aktivitasmikroorganisme untuk menguraikan remazol blackb akan semakin pesat. Kurva laju penurunan kadarremazol black b mulai mengalami perlambatan padajam ke 48. Hal ini menunjukan bahwamikroorganisme sudah memasuki stationary phase.Pada jam ke 84 penurunan kurva kadar remazolblack b mulai stabil, dimana dalam keadaan initerjadi endogenous phase. Pada pengolahanpenambahan suspensi aktif kurva penurunan kadarzat warna lebih cepat stabil dibandingkan dengansistem pengolahan tanpa penambahan suspensi aktif.Hal ini dikarenakan pada sistem dengan penambahansuspensi aktif mendapat tambahan mikroorganismedari luar sehingga jumlah mikroorganisme yang adalebih banyak dalam menggunakan sumber nutirensebagai makanan dalam proses menguraikan zatwarna. Waktu optimal yang diperoleh dalammenurunkan kadar remazol black b sesuai bakumutu pada sistem pengolahan dengan penambahansuspensi aktif adalah 60 jam. Perbedaan pencapaianwaktu optimal ini disebabkan karena adanyapenambahan mikroorganisme dari luar pada pipa IIdengan perlakuan penambahan suspensi aktifsehingga jumlah mikroorganisme semakin banyak,maka kemampuan aktivitas mikroorganisme dalammemutuskan ikatan azo semakin meningkat danmampu menurunkan kadar zat warna dibawah baku

mutu yang ditetapkan sebelum mikoorganismeberada dalam kondisi stationary phase.

3.3 Efektifitas dan Kapasitas PengolahanBiosistem Vertikal Tanaman dalamMenurunkan Kadar Remazol Black B, TDSdan TSSEfektivitas dari pengolahan limbah remazol

black b secara biosistem vertikal tanaman dengandan tanpa penambahan suspensi aktif dalammenurunkan kadar remazol black b, nilai TDS danTSS berturut-turut disajikan dalam Gambar 5, Tabel1, dan Tabel 2.

Pada biosistem vertikal tanaman dengan

penambahan suspensi aktif dengan waktu optimal

selama 60 jam, diperoleh nilai efektivitas sebesar

Gambar 5. Grafik Efektivitas (%) Penurunan Kadar Remazol

Black B pada Pengolahan Biosistem Tanaman

Tabel 1. Efektivitas (%) Penurunan Nilai TDS pada Pengolahan Biosistem VertikalTanaman

Waktu TDS rata-rata dengan Efektivitas (%) TDS rata-rata Efektivitas (%)perlakuan (jam) penambahan suspensi penambahan penambahan mikroorga- tanpa penambahan

aktif (mg/L) suspensi aktif nisme (mg/L) suspensi aktif

0 280 0 280 024 241 13,93 256 8,5748 196 30 208 25,7172 112 60 174 37,8596 45 83,93 96 65,71

Keterangan : Nilai TDS maksimum yang dibolehkan berdasarkan Baku Mutu Air Limbah Industri Tekstil ( Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RepublikIndonesia Nomor 5 Tahun 2014) : 50 mg/L.

Tabel 2. Efektivitas (%) Penurunan Nilai TSS pada Pengolahan Biosistem Vertikal Tanaman

Waktu TSS rata-rata dengan Efektivitas (%) TSS rata-rata dengan Efektivitas (%)perlakuan (jam) penambahan suspensi penambahan penambahan miroor- tanpa penambahan

aktif (mg/L) suspensi aktif ganisme (mg/L) suspensi aktif

0 166 0 166 024 132 20,48 156 6,0248 98 40,96 117 29,5272 66 60,24 84 49,3996 17 89,75 46 72,29

Keterangan : Nilai TSS maksimum yang dibolehkan berdasarkan Baku Mutu Air Limbah Industri Tekstil ( Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RepublikIndonesia Nomor 5 Tahun 2014) : 50 mg/L

Page 45: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

45

90,36%, sedangkan biosistem vertikal tanpa

penambahan suspensi aktif dengan waktu optimal

selama 96 jam, diperoleh nilai efektivitas sebesar

89,35%. Untuk nilai TDS, efektivitas ditentukan

berdasarkan penurunan terbaik karena nilai TDS

diawal perlakuan untuk sistem baik dengan dan

tanpa penambahan suspensi aktif sudah berada

dibawah baku mutu air limbah domestik. Untuk

biosistem vertikal tanaman dengan penambahan

suspensi aktif pemurunan nilai TDS terbaik terjadi

pada waktu perlakuan 96 jam dengan persentase

efektivitas sebesar 83,93%, sedangkan pada

biosistem vertikal tanaman tanpa penambahan

suspensi aktif penurunan nilai TDS terbaik terjadi

pada waktu perlakuan 96 jam dengan persentase

efektivitas sebesar 65,71%. Untuk nilai TSS, nilai

efektivitas pada biosistem dengan penambahan

suspensi aktif dengan penurunan 89,75% selama 96

jam, sedangkan untuk biosistem tanpa penambahan

suspensi aktif turun sebesar 72,29% dan nilai TSS

yang diperoleh untuk perlakuan dengan dan tanpa

penambahan suspensi aktif sudah berada dibawah

baku mutu yang ditentukan masing – masing

sebesar 17 mg/L dan 46 mg/L. Pada pengolahan

biosistem vertikal tanaman dengan penambahan

suspensi aktif nilai efektivitas TDS dan TSS lebih

besar dari pada biosistem vertikal tanaman tanpa

penambahan suspensi aktif, hal ini terjadi karena

adannya peranan mikroorganisme yang

ditambahkan dalam mengubah bahan organik

seperti senyawa azo menjadi ukuran yang lebih kecil

dalam proses degradasi sehingga menyebabkan

penurunan kadar TDS dan TSS lebih rendah

sehingga nilai efektivitas keduanya lebih besar.

Penurunan nilai dari ketiga parameter tersebut

menunjukan hasil yang bagus, baik dengan sistem

yang terdapat penambahan suspensi aktif maupun

tidak karena nilainya sudah berada di bawah baku

mutu air limbah domestik. Pengolahan biosistem

vertikal tanaman sangat efektif dalam menurunkan

nilai parameter TDS, TSS dengan sistem

penambahan suspensi aktif serta kadar remazol

black b untuk sistem dengan dan tanpa penambahan

suspensi aktif karena efektitivitas yang diperoleh

berada diatas 80%. Untuk sistem pengolahan tanpa

penambahan suspensi aktif terbilang efektif dalam

menurunkan nilai parameter TDS dan TSS karena

efektivitas yang diperoleh keduanya berkisar antara

50%-80%.

Penelitian dengan pengolahan biosistem vertikal

tanaman talas dengan penambahan suspensi aktif

memiliki nilai efektivitas yang lebih besar dalam

menurunkan parameter zat warna, TDS dan TSS

dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh

Sumarni (2012), dengan metode absorben kombinasi

karbon aktif dan pasir aktif dalam menurunan kadar

zat warna dan nilai TSS, dimana persentase

efektivitas yang diperoleh adalah 86,5% dan 87,9%.

Berdasarkan efektivitas pengolahan limbah

remazol black b maka dapat ditentukan kapasitas

dari pipa pengolahan biosistem vertikal tanaman

dalam menurunkan kadar remazol black b, nilai TDS

dan TSS. Dalam menurunkan kadar remazol black

b oleh pipa pengolahan biosistem vetikal tanaman

talas, diperoleh kapasitas sebesar 2,5543 ppm/m3jam

untuk pipa pengolahan tanpa penambahan suspensi

aktif dan 2,5832 ppm/m3jam untuk pipa pengolahan

dengan penambahan suspensi aktif. Jadi selama

waktu tinggal 96 jam, 1 m3 pipa pengolahan mampu

menurunkan nilai TDS sebanyak 11,31 ppm/m3jam

tanpa penambahan suspensi aktif dan 14,44 ppm/

m3jam dengan penambahan suspensi aktif. Untuk

menurunkan nilai TSS, pipa pengolahan mempunyai

kapasitas sebesar 7,3746 ppm/m3jam tanpa

penambahan suspensi aktif dan 9,1568 ppm/m3jam

untuk sistem dengan penambahan suspensi aktif.

Dari data di atas dapat dilihat bahwa biosistem

dengan penambahan suspensi aktif memiliki nilai

kapasitas pengolahan yang lebih besar dalam

menurunan kadar remazol black b, nilai TDS dan

TSS karena dengan mikroorganisme yang lebih

banyak maka senyawa organik yang dapat diuraikan

akan semakin banyak pula. Hasi penelitian ini juga

didukung oleh Putra (2015), yang menyebutkan

bahwa hasil pengolahan biosostem tanaman dengan

penambahan suspensi aktif memiliki nilai kapasitas

pengolahan yang lebih besar dalam menurunkan

kandungan surfaktan, fosfat, dan COD pada air

limbah laundri.

4. SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan

1. Suspensi aktif terbaik diperoleh pada sampel

sedimen Sungai Serangan dengan perolehan nilai

VSS tertinggi1600 mg/L pada jam ke 12.

2. Waktu optimal yang diperlukan dalam

menurunkan kadar remazol black b hingga

berada dibawah baku mutu yang ditentukan

untuk pengolahan dengan penambahan suspensi

aktif adalah 60 jam sedangkan untuk

pengolahan tanpa penambahan suspensi aktif

adalah 96 jam.

3. Efektivitas dan kapasitas pada sistem tanpa

penambahan suspense aktif untuk penurunan

kadar remazol black b adalah 89,35% dan 2,5543

ppm/m3jam. Untuk TDS sebesar 65,71% dan

11,31 ppm/m3jam dan 72,29% dan 7,3746 ppm/

m3jam untuk TSS. Efektivitas dan kapasitas

dengan penambahan suspensi aktif untuk

penurunan kadar remazol black b adalah 90,36%

dan 2,5832 ppm/m3jam. Untuk TDS sebesar

83,93% dan 14,44 ppm/m3jam dan 89,75% dan

9,1568 ppm/m3jam untuk TSS.

Biodegradasi Zat Warna Remazol Black B Secara Aerobik-Anaerobik Dalam Sistem Biofiltrasi Vertikal dengan ..... [Febby Hartesa W., dkk.]

Page 46: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

46

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

4.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan

menggunakan jenis tanaman yang berbeda

untuk menurunkan kadar remazol black b.

2. Perlu dilakukan penelitian menggunakan zat

warna yang langsung berasal dari industri

tekstil.

DAFTAR PUSTAKA

Budiyono, I. N., dan Sunarso, W., 2007,

Perkembangan Teknologi Pengolahan Air

Limbah Rumah Pemotongan Hewan (RPH),

Prosiding Nasional Fundamental dan Aplikasi

Teknik Kimia, Institut Teknologi Sepuluh

November, Surabaya

Daneshvar, N., Ayazloo, M., Khatae, A.R., and

Pourhassan, M., 2007, Biological Decolorization

of Dye Solution Containing Malachite Green

by Microalgae Cosmarium sp, Bioresource

Technology. 98 (6) : 1176- 1182

Lakitan, B, 2007, Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan,

PT. Raja Grifando Persada, Jakarta.

Mukono, H.J., 2000, Prinsip Dasar Kesehatan

Lingkungan, Airlangga University Press

Pandey, A., Singh, P., Lyengar L., 2007, Bacterial

Decolorization and Degradation of Azo Dyes,

Journal Int Biodet Biodeg, 59 : 73-84

Purnamawati, K.Y., Suyasa, I.W.B., Mahardika,

I.G., 2015, Penurunan Kadar Rhodamin B dalam

Air Limbah dengan Biofiltrasi Sistem Tanaman,

Ecotrophic: Journal of Environmental Science.,

9 (2) : 46-51

Putra, S., 2015, Biofilter Saringan Tanaman Pasir

Pada Limbah Deterjen dalam Menurunkan

Surfaktan, BOD (Biological Oxygen Demand)

dan COD (Chemical Oxygen Demand), Skripsi,

Universitas Udayana, Bali

Sastrawidana, I D. K., Maryam, S., Sukarta, I. N.

2012. Perombakan Air Limbah Tekstil

Menggunakan Jamur Pendegradasi Kayu Jenis

Polyporus Sp 56 Teramobil Pada Serbuk Gergaji

Kayu. Jurnal Bumi Lestari, 12 (2) : 382 – 389

Sumarni, 2012, Adsorpsi Zat Warna dan Zat Padat

Tersuspensi dalam Limbah Cair Batik,

Prosiding: Seminar Nasional Aplikasi Sains &

Teknologi (SNAST) Periode III, Yogyakarta, 3

November 2012

Zee, V.D., 2002, Anaerobic Azo Dye Reduction, Thesis,

Wageningen University, Netherlands

Page 47: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

47

DAMPAK KEGIATAN PERTANIAN TERHADAP TINGKAT EUTROFIKASI

DAN JENIS – JENIS FITOPLANKTON DI DANAU BUYAN

KABUPATEN BULELENG PROVINSI BALI

Ni Putu Vivin Nopiantari1*), I Wayan Arthana2) dan Ida Ayu Astarini 3)

1)Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Pesisir Universitas Udayana2)Fakultas Kelautan Dan Perikanan Universitas Udayana

3)Fakultas MIPA Universitas Udayana*Email : [email protected]

ABSTRACT

This research was conducted to find out the impact of agricultural activities in the various levels of

eutrophication and diversity of phytoplankton in Buyan Lake, Buleleng, Bali Province. Purposive sampling

method was organized to determining research station, where the sampling stations were determined based

on various considerations, such as conditions of study area, and predominant use of agricultural land in the

study area. Sampling method of phytoplankton and the lake water were done by setting the 4 stations that

represent agricultural activities around Buyan Lake. Phytoplankton samples were taken by filtering the

water on the lake surface as much as 100 liters, using the plankton net with a mesh size of 25µm. Phytoplankton

parameters was analyzed in laboratory. Data was analyzed using analysis of phytoplankton abundance,

Equity index and dominance index. Results showed that abundance of phytoplankton at each stations in

Buyan Lake was ranged between 1150 – 1791.67 cells / l. Average abundance of phytoplankton in all stations

was 1504.17 cells / l. Based on the abundance of phytoplankton, waters of Buyan Lake was classified into

water that have low fertility rate (oligotrophic). Agricultural activities around Buyan Lake resulted a moderate

eutrophication level (mesotrofik).

Keywords: Eutrophication, phytoplankton, Buyan Lake

1. PENDAHULUAN

Danau merupakan salah satu bentuk ekosistem

air tawar yang bersifat menggenang (lentic).

Ekosistem ini menempati daerah yang relatif tidak

luas pada permukaan bumi dibandingkan dengan

habitat laut dan daratan (Effendi, 2003). Danau

Buyan adalah sebuah danau yang terletak di Desa

Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten

Buleleng, Bali. Luas Danau Buyan 301.84 Ha ini

merupakan satu dari tiga danau kembar yang

terbentuk di dalam sebuah kaldera besar. Danau

Buyan diapit oleh kedua danau lainnya, yakni Danau

Tamblingan di sebelah barat dan Danau Beratan di

sebelah timur. Kedalaman Danau Buyan

diperkirakan sekitar 80 meter, dimana kedalaman

danau ini pernah mencapai 140 meter sebelum terjadi

pendangkalan dasar danau akibat erosi dan

eutrofikasi.

Pemanfaatan pupuk anorganik untuk budidaya

sayuran dan tanaman buah-buahan di sekitar Danau

Buyan, diduga sudah melewati ambang batas baku

mutu dan mengakibatkan meningkatnya pence-

maran zat kimia. Pencemaran itu menyebabkan

degradasi atau penurunan kualitas lingkungan. Hal

itu terjadi disebabkan tingginya pemakaian pupuk

kimia dan pestisida yang menyebabkan masuknya

kandungan nitrat dan fosfat. Petani di sekitar Danau

Buyan yang dikenal sebagai sentra sayuran dan buah

– buahan menggunakan pupuk anorganik untuk

meningkatkan kualitas maupun kuantitas hasil

panen. Namun penggunaan pupuk yang melebihi

dosis diduga terus meningkatkan pencemaran

perairan Danau Buyan.

Penyuburan perairan (eutrofikasi), termasuk

yang terjadi di Danau Buyan ternyata sudah menjadi

salah satu permasalahan yang rumit. Permasalahan

eutrofikasi ini terkait dengan berbagai kegiatan

aktivitas masyarakat di sekitar perairan. Penelitian

ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak

kegiatan pertanian terhadap tingkat eutrofikasi di

perairan Danau Buyan, mengetahui struktur

kumunitas fitoplankton sebagai bio indicator dan

untuk mengetahui tingkat kesuburan perairan

Danau Buyan dilihat dari kelimpahan fitoplankton.

2. METODOLOGI

Penentuan lokasi pengambilan sampel air

menggunakan metode purposive sampling yaitu

penentuan stasiun pengamatan dilakukan dengan

memperhatikan berbagai pertimbangan dan kondisi

daerah penelitian, serta kondisi dominan

pemanfaatan lahan pertanian pada lokasi penelitian.

Untuk itu ditentukan 4 stasiun yang mewakili

ECOTROPHIC • 11 (1) : 47 - 54 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Page 48: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

48

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

kegiatan pertanian disekitar Danau Buyan. Pada

masing – masing stasiun ditentukan 10 sub stasiun

pengambilan sampel, sehingga ada 40 sub stasiun.

Ke 10 sub stasiun pada masing – masing stasiun di

komposit sehingga mendapatkan sampel yang

homogen. Sampel Fitoplankton diambil dengan

menyaring air permukaan sebanyak 100 liter

menggunakan jaring plankton dengan ukuran mesh

25. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan

Februari 2014. Analisis kandungan bahan organik

dalam sampel air dilakukan di UPT Balai

Laboratorium Kesehatan Provinsi Bali. Analisis

struktur komunitas fitoplankton dilaksanakan di

UPT Laboratorium, Sumberdaya Genetika dan

Biologi Molekuler Universitas Udayana Denpasar.

Untuk identifikasi dan menghitung kelimpahan

fitoplankton berpedoman pada Yamaji (1976), dan

Davis (1995). Sedangkan untuk perhitungan

kelimpahan fitoplankton menggunakan rumus

APHA (1989)

(1)

Dimana :

N = Kelimpahan individu fitoplankton (Individu/

liter)

Z = Jumlah individu fitoplankton

X = Volume air sampel yang tersaring (50ml)

Y = Volume 1 tetes air (0,06 ml)

V = Volume air yang disaring (100l)

Indeks Keanekaragaman yang digunakan untuk

menghitung indeks ini adalah persamaan Sharon-

Wiener (Michael, 1994).

(2)

Dimana :

H1 = indeks Keanekaragaman

Pi = ni/N

ni = jumlah individu jenis ke I

N = jumlah total individu

H’<1 = komunitas biota tidak stabil atau kualitas

air tercemar berat, 1<H’<3 = stabilitas komunitas

biota sedang atau kualitas air tercemar sedang, H’>3

= stabilitas komunitas biota dalam kondisi prima

(stabil) atau kualitas air bersih.

Indeks Kesamaan menurut Michael (1994),

Indeks ini menunjukkan pola sebaran biota yaitu

merata atau tidak. Jika nilai indeks relatif tinggi

maka keberadaan setiap jenis biota di perairan dalam

kondisi merata.

(3)

Dimana :

E : Indeks kesamaan

H’ maks : Ln s ( s adalah jumlah genus)

H : Indeks keanekaragaman

E = 0-0.5, pemerataan antar spesies rendah, artinya

kekayaan individu yang dimiliki masing-masing

spesies sangat jauh berbeda. E =0.6-1, pemerataan

antar spesies relatif seragam atau jumlah individu

masing-masing spesies relatif sama.

Indeks dominansi menggambarkan komposisi

jenis dalam komonitas jenis dalam komunitas dan

spesies yang dominan dalam suatu komunitas

memperlihatkan kekuatan spesies lain (Krebs, 1978).

Indesk dominansi dapat dihitung menggunakan

persamaan Indeks Dominansi Simpson (Odum, 1993)

yaitu sebagai berikut :

(4)

Dimana :

C = Indeks dominansi Simpson

ni = Jumlah individu jenis ke-i

N = Jumlah total individu

S = Jumlah genus

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan mikroskopis menunjukkan

bahwa fitoplankton yang didapatkan di Danau Buyan

sebanyak 30 spesies (Tabel 3) yang terdiri dari 6

Divisi, yaitu Bacillariophyta (7 genus), Chlorophyta

(5 genus), Cyanophyta (3 genus), Chrysophyta (2

genus), Dinophyta (1 genus), Pyrrophycophyta (1

genus ), seperti yang terlihat pada Tabel 5.2. Jumlah

spesies yang ditemukan pada setiap stasiun, yaitu

stasiun 1 (18 spesies), stasiun 2 (10 spesies), stasiun

3 (15 spesies), dan stasiun 4 (20 spesies). Terdapat

beberapa spesies yang selalu ditemukan pada keempat

stasiun antara lain Bacillariophyta (3 spesies),

Chlorophyta (3 spesies), dan Chrysophyta (1 spesies).

Komposisi (%) Fitoplankton berdasarkan

kelimpahan masing – masing Phyllum di Danau

Buyan didominasi oleh Phyllum Bacillariophyta

sebanyak 81,7%. Selain phylum Bacillariophyta,

terdapat beberapa phylum fitoplankton lain yang

menyusun populasi plankton di Danau Buyan, seperti

Chlorophyta 13,3%, Cyanophyta 3,1%, Chrysophyta

1,7% dan Phyllum terendah 0,1% yaitu Dinophyta

dan Phyrophycophyta. Hal tersebut menunjukan

phylum Bacillariophyta memiliki penyebaran yang

luas di perairan Danau Buyan. (Gambar 1.).

Pengukuran kualitas air danau buyan dilakukan

secara in situ pada parameter Suhu, DO dan pH

sedangkan pengukuran laboratorium dilakukan pada

Page 49: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

49

parameter TDS, TSS, Amonia, Nitrit, Nitrat, BOD,

COD dan Fosfat (Tabel4)

Pola hubungan kadar nitrat dan fosfat pada

setiap stasiun pengambilan sampel. Pada stasiun 1

terlihat perbandingan nilai yang cukup tinggi dimana

nilai nitrat di stasiun 1, yaitu 5.545 mg/l dan fosfat

di strasiun 1, yaitu 1.259 mg/l. Pada stasiun 2 nilai

nitrat juga lebih tinggi dari pada nilai fosfat dan

menurun pada stasiun 3 dan 4 yaitu nilai fosfat lebih

tinggi dari pada nitrat.(Gambar 2).

Pola hubungan nitrat dan fitoplankton di Danau

Buyan dapat dilihat pada Gambar 4. Pola hubungan

Tabel 3. Jenis dan Kelimpahan rata – rata fitoplankton (ind/l) yang ditemukan di Danau Buyan

Gambar 1. Komposisi (%) Fitoplankton berdasarkan kelimpahan masing

– masing Phyllum di Danau Buyan

Dampak Kegiatan Pertanian terhadap Tingkat Eutrofikasi dan Jenis-jenis Fitoplankton di Danau Buyan ..... [Ni Putu Vivin Nopiantari, dkk.]

Page 50: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

50

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

nitrat di Danau Buyan memiliki kecenderungan

berbanding terbalik pada stasiun 1 , stasiun 3 dan

stasiun 3, yaitu ketika kadar nitrat menurun

kelimpahan fitoplankton meningkat begitu juga

sebaliknya. Ketika kadar nitrat meningkat

kelimpahan fitoplankton menurun. Sedangkan di

stasiun 2 pola hubungan nitrat dan fitoplankton

menunjukan hubungan sejalan yaitu ketika kadar

nitrat menurun kelimpahan fitoplankton juga

menurun.

Pola hubungan fosfat dan fitoplankton di Danau

Buyan dapat dilihat pada Gambar 4. Pada setiap

stasiun pengambilan sampel menunjukan pola

hubungan fosfat dan kelimpahan fitoplankton yang

sejalan. Ketika kadar fosfat menurun kelimpahan

fitoplankton juga ikut menurun dan sebaliknya.

Tabel 4. Hasil Analisis Kualitas Air Danau Buyan

Gambar 2. Pola hubungan nitrat dan fosfat di Danau Buyan

Gambar 3. Pola hubungan nitrat dan fitoplankton

Gambar 4. Pola hubungan fosfat dan fitoplankton

Page 51: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

51

Kelimpahan rata – rata fitoplankton di Danau

Buyan selama penelitian berkisar antara 1150 –

1791,67 ind/l. Kelimpahan fitoplankton tertinggi di

dapatkan pada stasiun 3. Hal tersebut kemungkinan

karena stasiun 3 merupakan tempat keramba ikan

sehingga unsur hara yang tersedia melimpah.

Fitoplankton memanfakatkan unsur hara nitrat dan

fosfat untuk mendukung pertumbuhannya. Kadar

nitrat dan fhosfat yang di dapatkan di masing – masih

stasiun penelitian cukup tinggi yaitu nilai nitrat

0,895 – 5,545 dan nilai Fosfat berkisar 1,1711 – 1,259,

sehingga fitoplankton memanfaatkan makronurien

tersebut untuk mengoptimalkan pertumbuhannya.

Hal ini di dukung oleh pendapat Mackenthun (1969),

pertumbuhan optimal fitoplankton diperoleh pada

kadar nitrat 0,9 – 3,5 mg/l dan kadar fhosfat 0,09 –

1,8 mg/l. tingginya unsur hara tersebut karena

adanya kegiatan pertanian di sekitar tepi Danau

Buyan sehingga limpasan pupuk pertanian masuk

ke badan air yang di bawa oleh aliran air hujan. Sisa

– sisa unsure hara dari aktivitas pemupukan,

terutama pemupukan urea akan terbawa melalui

saluran – saluran irigasi ataupu aliran air hujan.

Selain itu menurut, Wahyuni (2010) faktor –

faktor yang mempengaruhi kelimpahan fitoplankton

adalah ketersediaan nutrien, keberadaan cahaya

dikolom perairan dan laju grazing oleh organisme

lain selain itu tinggi rendahnya kelimpahan plankton

dipengaruhi oleh kondisi parameter fisika kimia

perairan antara lain: DO, BOD, COD, Nitrat, Nitrit,

fosfat dan Amonia. Fitoplankton adalah makhluk

renik yang melayang di permukaan air (Yatim,

2003). Menurut Nontji (2006), fitoplankton

merupakan tumbuhan yang seringkali ditemukan

di seluruh massa air pada zona eufotik, berukuran

mikroskopis dan memiliki klorofil sehingga mampu

membentuk zat organik dari zat anorganik melalui

fotosintesis. Fitoplankton sebagai organisme autotrof

menghasilkan oksigen yang akan dimanfaatkan oleh

organisme lain, sehingga fitoplankton mempunyai

peranan penting dalam menunjang produktifitas

perairan. Keberadaan fitoplankton dapat dilihat

berdasarkan kelimpahannya di perairan, yang

dipengaruhi oleh parameter lingkungan. Selain

sebagai produsen primer, fitoplankton juga sebagai

penghasil oksigen terlarut di perairan bagi organisme

lain (Kamali, 2004).

Spesies dominan dari masing-masing kelompok

fitoplankton yang ditemukan pada keempat stasiun

penelitian di Danau Buyan. Pada divisi Chlorophyta

ditemukan 2 spesies yang dengan kelimpahan

terbesar yaitu dengan rata – rata pada ke empat

Gambar 5. Peta sebaran kelimpahan fitoplankton di Danau Buyan

Dampak Kegiatan Pertanian terhadap Tingkat Eutrofikasi dan Jenis-jenis Fitoplankton di Danau Buyan ..... [Ni Putu Vivin Nopiantari, dkk.]

Page 52: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

52

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

stasiun, Synedra ulna (860.42sel/l) dan Rhizosolenia

stolterfothii (22.92 sel/l). dari hasil penelitian oleh

Samudra, dkk., (2013) yang di lakukan pada

keramba, perairan non keramba dan muara, Synedra

ulna merupakan spesies doninan yang di temukan

dengan kelimpahan keramba (970 sei/l), perairan non

keramba (485 sel/l) dan muara (4365 sel/l).

Kelimpahan rata – rata fitoplankton tertinggi di

setiap stasiun secara keseluruhan adalalah jenis

Synedra ulna. Synedra ulna adalah spesies diatom

dominan yang ditemukan pada lapisan atas, spesies

ini hadir diduga karena pengaruh akumulasi

sedimentasi yang terjadi. Diatom merupakan

mikroalga dengan persebaran yang luas dan bersifat

kosmopolitan, beberapa diatom dapat digunakan

sebagai bioindikator perubahan lingkungan masa

lampau, karena sensitifitasnya terhadap kondisi

habitatnya dan sifat diatom yang mampu terfosil

dengan baik (Hariyati dkk., 2009).

Selain itu pada divisi Chlorophyta juga

ditemukan 2 spesies dominan dengan rata – rata

kelimpahan tertinggi antara lain Staurastrum

paradoxum (102.08 sel/l) dan Chlorococcum

humicola (56.25 sel/l). kedua spesies domina tersebut

dari hasil penelitian Erdina, dkk., (2010) pada

perairan daerah pertanian juga di temukan

Staurastrum paradoxum (2,31 sel/l) dan

Chlorococcum humicola (6,93 sel/l). sekitaran Danau

Buyan juda di kelilingi oleh lahan pertanian sehingga

hal ini juga merupakan salah satu factor keberadaan

spesies dominan Staurastrum paradoxum dan

Chlorococcum humicola pada perairan Danau

Buyan.

Spesies yang mendominasi pada divisi

Cyanophyta yaitu, Gloeocapsa magma (18.75 sel/ l).

dari hasil penelitian Pratiwi (2015) di temukan

Gloeocapsa sp. (59 sel/l) di perairan laut malang.

Menurut Fachrul, dkk., (2008) Gloeocapsa sp. Juga

di temukan di perairan sungai ciliwung Jakarta.

Spesies yang dominan pada divisi Chrysophyta yaitu,

spesies Melosira granulate (16.67 sel/l). dari hasil

penelitian Hariyati, (2009) pada perairan Danau

Rawapening Semarang Jawa Tengah di temukan

Melosira sp sebanyak 153 sel / l. sedangkan pada 2

divisi Dinophyt dan Pyrrophycophyt tidak ditemukan

spesies yang terlalu dominan, namun di temukan

spesies Diplopsalis lenticula (2.08 sel /l) dan pada

divisi Pyrrophycophyt juga ditemukan spesies

Hypnodinium sphaericum (2.08 sel/l). Kelompok

dimana ditemukan kelimpahan fitoplankton yang

rendah memiliki karakteristik perairan dengan

kandungan oksigen terlarut rendah serta nitrat yang

rendah. Hal yang sama juga dijumpai pada kelompok

yang memiliki kelimpahan fitoplankton yang relatif

tinggi, dengan kandungan oksigen terlarut dan

nitrat juga ditemukan lebih tinggi. Parameter

oksigen terlarut dan nitrat memiliki peranan yang

sangat besar dalam membedakan tinggi rendahnya

kelimpahan fitoplankton di Danau Buyan. Meskipun

demikian parameter lainnya juga ikut berperan

bersama-sama tetapi dengan peranan yang relatif

lebih kecil dibandingkan dengan peranan parameter

DO dan nitrat (Meiriyani, 2013).

Indeks dominansi fitoplankton di Danau Buyan

berkisar antara 0,469 – 0,698. Nilai rata – rata Indeks

Dominansi Fitoplankton adalah 0,59. Hal tersebut

menunjukan dominansi spesies di Danau Buyan

tergolong rendah, karena nilai tersebut mendekati

0. Nilai indeks dominansi tidak jauh berbeda pada

ke empat stasiun, hal ini di sebabkan karena pada

seluruh stasiun pengambilan sampel terdapat

dominansi satu spesies yaitu Synedra ulna. Dari

hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyudiati,

(2016) Indek dominansi fitoplankton di Bendungan

Telaga Tunjung juga tergolong rendah antara 0,24 –

0,38, hal ini juga disebabkan karena terdapat satu

spesies dominan yaitu Peridinium sp. Hal ini juga

di dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh,

Jannah (2012) hasil analisis indeks dominansi

menunjukkan bahwa secara umum di wilayah

estuaria Krueng Aceh tidak didominasi oleh jenis -

jenis tertentu terlihat dari nilai indeks dominansi

yang rendah. Indeks dominansi pada Stasiun 1

adalah 0,016, pada Stasiun 2 adalah 0,045 dan pada

Stasiun 3 adalah 0,040. Hal ini diduga karena kondisi

lingkungan yang terukur selama penelitian seperti

suhu, salinitas dan kecerahan, mendukung

pertumbuhan fitoplankton.

Nilai Indeks keanekaragaman di Danau Buyan

antara 0.812 - 1.455. Nilai rata – rata indeks

keanekaragaman fitoplankton 1,09. Nilai tersebut

menunjukan keanekaragaman spesies di Danau

Buyan rendah. Menurut, Wahyudiati, (2016) Indeks

keanekaragaman dikatakan rendah jika nilainya

kurang dari 2,306. Hal ini mengindikasikan perairan

tersebut sedang mengalami tekanan ekologi. Nilai

indeks keanekaragaman terendah berada di stasiun

III dan tertinggi di stasiun IV. Hal tersebut

berbanding terbalik dengan indeks dominansi.

Indeks kesamaan di Danau Buyan berkisar

antara 0,326 – 0,662. Nilai rata – rata indeks

kesamaan fitoplankton adalah 0,47. Nilai ini tergolong

sedang, karena lebih dari 0,5. Hal ini menunjukan

penyebaran spesies merata dan komonitas

fitoplankton dalam kondisi labil. Nilai indeks yang

mendekati 1 mempunyai keanekaragaman jenis

yang tinggi, sebaliknya jika nilai indeks yang

mendekati 0 menunjukkan rendahnya keragaman

jenis yang dimiliki oleh suatu komunitas (Odum,

1993).

Eutrofikasi adalah pengkayaan perairan oleh

unsur hara, khususnya nitrogen dan fosfat sehingga

mengakibatkan pertumbuhan tidak terkontrol dari

tumbuhan air. Berdasarkan kandungan unsur

haranya, maka perairan dapat dikategorikan menjadi

oligotrofik, mesotrofik dan eutrofik. Kesuburan

Page 53: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

53

perairan merupakan pengayaan air dengan nutrient/

unsur hara berupa bahan anorganik yang dibutuhkan

oleh tumbuhan dan mengakibatkan terjadinya

peningkatan produktivitas primer perairan

(Suprapto, 2014). Kesuburan perairan juga berkaitan

dengan kelimpahan fitoplankton. Kelimpahar rata –

rata fitoplankton yaitu sebesar 1504.17 sel/l. nilai

ini menunjukan bahwa kesuburan perairan di Danau

Buyan tergolong rendah (oligotrofik). Danau di

katakana oligotrofik jika memiliki nilai kelimpahan

antara 0 – 2000 sel/l (Handayani, 2009). Menurut

Soeprobowati (2010) dari hasil penelitiannya di Danau

Rawa Pening termasuk kategori oligotrofik. Hal ini

karena kandungan klorofil-a yang terukur

merupakan ekspresi dari fitoplankton (produsen

primer). Produktivitas primer ditentukan oleh

kandungan klorofil-a. Jika di suatu perairan terjadi

blooming mikroalga, tentu saja kandungan

klorofilnya akan tinggi. Namun, yang terjadi di

Danau Rawa Pening, mikroalga kalah bersaing

dengan tumbuhan tingkat tinggi sehingga

populasinya rendah dan tumbuhan air yang

mendominasi. Itulah sebabnya kandungan klorofil-

a di Danau Rawa Pening kurang mengekspresikan

status trofik. Hal ini sesuai dengan keadaan Danau

Buyan saat penelitian yaitu banyaknya terdapat

tanaman air yang merambat di permukaan perairan

Danau Buyan.

Selain berdasarkan kelimpahan plankton, status

kesuburan perairan juga dapat diketahui dari kadar

nitrat. Kadar nitrat rata – rata di Danau Buyan

sebesar 2,31 mg/l. hal ini menunjukan tingkat

kesuburan Danau Buyan tergolong sedang

(mesotrofik). Menurut Wetzel (1983), kadar nitra 0 –

1 mg/l menujukan perairan tersebut tergolong

oligotrofik, kadar nitrat 1 – 5 mg/l tergolong dalam

perairan mesotrofik dan kadar 5 – 50 mg/l tergolong

perairan eutrofik. Hal ini sesuai dengan penelitian

yang dilakukan Aisyah (2013) hasil penelitian

menunjukkan bahwa kisaran nilai nitrat, fosfat dan

klorofil-a pada Bulan Mei dan Juni masing-masing

adalah 1,38–2,18 mg/L dan 1,32–2,12 mg/L (eutrofik);

0,013–0,030 mg/L dan 0,012–0,031 mg/L (eutrofik)

serta 4,67-7,22 mg/L dan 4,71–7,30 mg/L

(mesotrofik). Berdasarkan kelimpahan plankton dan

kadar nitrat, perairan Danau Buyan tergolong

kedalam perairan yang memiliki kesuburan sedang

(mesotrofik).

4. SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan

Kegiatan pertanian di sekitar Danau Buyan di

lihat dari kandungan nitrat mengakibatkan tingkat

eutrofikasi sedang (mesotrofik). Kelimpahan rata –

rata fitoplankton pada setiap stasiun di Danau Buyan

berkisar antara 1150-1791,7 sel/l. Berdasarkan

kelimpahan fitoplankton, perairan Danau Buyan

tergolong kedalam perairan yang memiliki

kesuburan sedang (mesotrofik).

4.2 Saran

Perlu adanya pengendalian penggunakan pupuk

anorganik disekitar perairan Danau Buyan dan

pembersihan tanaman air secara rutin yang di

lakukan oleh masyarakat sekitar danau agar tidak

menghambat kelimpahan fitoplankton, mengingat

fitoplankton merupakan suber makanan ikan.

DAFTAR PUSTAKA

APHA (American Public Health Association). 1989.

Standar Methods for The Examination of Water

and Wastewater. American Public Control

Federation. 20th edition, Washington DC.

American Public Health Asosiation.

Aisyah. 2013. Status Trofik Perairan Rawa Pening

Ditinjau Dari Kandungan Unsur Hara Nitrat

dan Fosfat Serta Klorofil-a. Pusat Penelitian

Pengelolaan Perikanan dan Konservasi

Sumberdaya Ikan.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelola

Sumber Daya dan Lingkungan Perairan.

Kanisius. Yogyakarta.

Erdina, dkk. 2010. Keanekaragaman dan

Kemelimpahan Alga Mikroskopis Pada Daerah

Persawahan di Desa Sungai Lumbah Kecamatan

Tanalalak Kabupaten Barito Kuala. Jurnal

Wahana Bio Volume III.

Fachrul, dkk. 2008. Komposisi dan Model

Kemelimpahan Fitoplankton di Perairan Sungai

Ciliwung, Jakarta Composition and abundance

model of phytoplankton in water of Ciliwung

River. Biodiversita. ISSN: 1412-033X Volume 9,

Nomor 4 Oktober 2008 Halaman: 296-

300.JurusanTeknik Lingkungan, Universitas

Trisakti.

Handayani, D. 2009. Kelimpahan dan

Keanekaragaman Plankton di Perairan Pasang

Surut Keramba Blanakan Subang. Progam

Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi.

Universitas Islam Negeri Syarif Hidaya Tullah.

Jakarta.

Hariyati, R. Trias, S.W. 2009. Struktur Komunitas

Fitoplankton sebagai Bio Indikator Kualitas

Perairan Danau Rawapening Kabupaten

Semarang Jawa Tengah. Laboratorium Ekologi

dan Biosistematika Jurusan Biologi F. MIPA

UNDIP. 5 (5) : 55-61.

Jannah., dkk. 2012. Komunitas fitoplankton di

daerah estuaria Krueng Aceh, Kota Banda Aceh

Dampak Kegiatan Pertanian terhadap Tingkat Eutrofikasi dan Jenis-jenis Fitoplankton di Danau Buyan ..... [Ni Putu Vivin Nopiantari, dkk.]

Page 54: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

54

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Phytoplankton community in estuary area of

Krueng Aceh, Banda Aceh. Depik, 1(3): 189-195

Desember 2012 ISSN 2089-7790 189. Jurusan

Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan

Perikanan, Universitas Syiah Kuala. Banda

Aceh 23111, Provinsi Aceh.

Kamali, Dzikrulloh. 2004. Kelimpahan Fitoplankton

Pada Keramba Jaring Apung Di Teluk Hurun

Lampung. Skripsi. IPB, Bogor.

Krebs, C.J., 1985. Ecology (The experimental Analysis

of Distribution and Abundance). Harper & Row

Publisher. New York.

Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan Di Bumi Tanpa

Keberadaan Plankton. Lembaga Ilmu Penge-

tahuan Indonesia Pusat Penelitian Oseanologi,

Jakarta. 248p

Mackenthum,K.M. 1969. The Practice of Water

Pollution Biology. United States Departement of

Interior, Federal Water Pollution Control

Administration Division of Technical Support.

Michael, P. 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan

Lapangan dan Laboratorium. UI press, Jakarta.

Meiriyani , dkk. 2011. Komposisi dan Sebaran

Fitoplankton di Perairan Muara Sungai Way

Belau, Bandar Lampung . Putri Program Studi

Ilmu Kelautan FMIPA Universitas Sriwijaya.

Journal 03 (2011) 69-77.

Odum, E.P., 1971. Dasar-dasar Ekologi. Gajah Mada

University Press.

Pratiwi, E.D. 2015. Hubungan Kelimpahan Plankton

Terhadap Air di Perairan Malang Rapat

Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau.

Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP

UMRAH.

Samudra, dkk. 2013. Komposisi, Kemelimpahan dan

Keanekaragaman Fitoplankton Danau Rawa

Pening Kabupaten Semarang. BIOMA. ISSN:

1410-8801 Vol. 15, No. 1, Hal. 6-13. Program

Studi Magister Biologi, Universitas Diponegoro.

Suprapto, dkk. 2014. Aquatic Productivity Analysis

based on The Relationship between Physical and

Chemical of Benthic Sediment with NO3 and PO4

in the Estuarine of Tuntang River Available

online at Indonesian Journal of Fisheries Science

and Technology (IJFST). Saintek Perikanan

(Indonesian Journal of Fisheries Science and

Technology), ISSN : 1858-4748 56.

Wahyudiati, W.D. 2016. Strutur Komonitas Plankton

dan Kualitas Perairan Di Bendungan Telaga

Tunjung Tabanan. Program Studi Kelautan.

Universitas Udayan Bukit Jimbaran Bali.

Wetzel, R.G. 1983. Limnology 2nd Edition. Saunders

College Publishing. Philadephia.

Yamaji, I. 1976. Illustration of Marine Plankton.

Japan: Hoikusha Publishing Co Ltd. 371p.

Yatim, W. 2003. Biologi Medern Biologi Sel.Tarsito.

Bandung.

Page 55: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

55

HUBUNGAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT

TUBERKULOSIS (TB) DI KECAMATAN KUTA

I Made Mudana1*), Nyoman Adiputra2), I.B.G. Pujaastawa3)

1)Dinas Kesehatan Kabupaten Badung2)Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

3)Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana*Email: [email protected]

ABSTRACT

One of the endemic infectious diseases occured in the community is tuberculosis (TB). The World Health

Organization (WHO) estimated about one third of the world’s population has been infected by the bacteria

mycobacterium tuberculosis. Badung regency as one of the districts in the province of Bali also having cases

of tuberculosis. From the report Badung Health Agency in 2015 was recorded 275 TB patients. From 6

districts in Badung district, subdistrict of Kuta occupy the highest number of cases recorded 100 patients.

tuberculosis is closely related to homes sanitation that do not meet health requirements. The purpose of this

study was to determine the relationship of home sanitation with disease incidence of tuberculosis in the

district of Kuta. Based on the type of research is observational analytic, design research is a case control

studies linking ie risk factors. (Home sanitation) with TB disease events, by comparing the case group and

the control group. The population in this study are patients with TB BTA (+) were treated working area

Puskesmas Kuta I and Puskesmas Kuta II sanitation as well as his home. The number of samples in this

study was 60 consisting of the case group and the control group. How sampling is the total population of TB

patients in the last 3 months of 2015 as well as sanitary home. Data collected from interviews, observations

and measurements and then analyzed using chi square and followed by multiple logistic regression test.

From the statistic test bivariate home sanitation with tuberculosis disease incidence 6 variables showed

that: (1) lighting p = 0,00 (p< 0,05) OR = 21, (2) humidity p = 0,00 (p< 0,05) OR = 21,36 , (3) ventilation p =

0,00 (p< 0,05)OR = 11, (4) the walls of the house p = 0,00 (p< 0,05) OR = 8,64, (5) density residential home p

= 0,00 (p<0,05) OR = 16,43 and (6) house floor p = 0,22 (p>0,05) OR = 2,143. To determine the relationship of

all independent variables simultaneously multivariate analysis with multiple logistic regression test. Based

on the results obtained that there are three independent variables significantly related (p<0,05) with the

dependent variable is the humidity (OR = 19,158, 95% CI 3,171 –115,751), ventilation (OR = 6,408, 95% CI

= 1,199 to 34,236), residential density (OR = 13,342, 95% CI = 2,261 – 78,733). Probability of people who

occupy the house with sanitation (Humidity, Ventilation and Residential density) in the district of Kuta to

contract tuberculosis (TB) is 97,08%. Based on these results, we can conclude that from the test bivariate (6

variables) are: lighting, humidity, ventilation, walls of houses, residential density and house floor associated

with the incidence of tuberculosis in the district of Kuta. While the advice may be given to: (1). people who

live in the district of Kuta in order to build or occupy a dwelling house to take into account the standard of

sanitation and healthy home. (2). Government / agencies in order to provide guidance to the public in order

to build houses of spatial attention and care homes that meet health requirements so that people who lived in

the house to feel safe, comfortable, and avoid the disease especially those stemming from poor sanitation

home.

Keywords: Sanitation, Home, Disease, Tuberculosis (TB)

1. PENDAHULUAN

Salah satu penyakit menular yang masih

endemis terjadi di masyarakat adalah penyakit

tuberkulosis (TB). Menurut World Health

Organization (WHO) diperkirakan sekitar sepertiga

penduduk dunia telah terinfeksi oleh kuman

mycobacterium tuberculosis, Pada tahun 1995

diperkirakan terdapat 9 juta pasien TB paru dan 3

juta kematian akibat TB di seluruh dunia.

Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian

akibat TB di dunia terjadi pada negara-negara

berkembang (Kemenkes RI, 2011).

Sumber penularannya adalah pasien TB BTA

positif, pada waktu batuk atau bersin pasien

menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk

percikan dahak (droplet nuclei). Percikan dapat

bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang

gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien

ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan

ECOTROPHIC • 11 (1) : 55 - 61 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Page 56: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

56

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil

pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.

Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan

kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan

dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

(Kemenkes RI, 2011).

Sejak lama telah diketahui bahwa timbulnya

penyakit tidak hanya disebabkan oleh kuman saja,

tetapi faktor lingkungan sangat berpengaruh

terhadap timbulnya suatu penyakit. Penyebaran

penyakit tuberkulosis erat kaitannya dengan sanitasi

lingkungan tempat tinggal seperti ; Pencahayaan,

kelembaban, suhu, ventilasi, kepadatan hunian,

dinding rumah dan lantai rumah. Faktor kesehatan

lingkungan rumah yang berhubungan dengan

kejadian TB Paru adalah pencahayaan (OR = 4,214),

ventilasi (OR = 4,932), kelembaban (OR = 2,571), suhu

udara (OR = 2,674), jenis lantai (OR = 1,626),

kepadatan hunian (OR = 0,820), status gizi (OR =

2,737), (Fatimah, 2008).

Kabupaten Badung sebagai salah satu destinasi

pariwisata internasional di samping memperoleh

manfaat ekonomi yang signifikan dari penerimaan

pajak hotel dan restoran (PHR), tetapi juga

dihadapkan dengan masalah kian meningkatnya

arus urbanisasi dan migrasi penduduk yang

disebabkan oleh berkembangnya sektor

kepariwisataan di daerah ini. Fenomena ini

membawa sejumlah dampak, di antaranya semakin

padatnya permukiman penduduk di daerah-daerah

kawasan pariwisata, terutama di Kawasan

Pariwisata Kuta. Meskipun di kawasan ini terdapat

berbagai fasilitas pariwisata bertaraf internasional,

namun di sisi lain juga ditemui adanya sejumlah

permukiman penduduk dengan tingkat kepadatan

yang tinggi dan terkesan kumuh. Kenyataan ini

dikhawatirkan berpotensi terjangkitnya berbagai

penyakit, termasuk penyakit tuberkulosis.

Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan

Kabupaten Badung tentang penyakit TB dalam 3

tahun terakhir yaitu tahun (2013- 2015), diketahui

bahwa jumlah kasus tuberkulosis pada tahun 2013

tercatat 128 orang pada tahun 2014 tercatat 170 orang

dan tahun 2015 tercatat 275 orang (Dinas Kesehatan

Badung, 2014, 2015, 2016). Jumlah kasus

tuberkulosis tersebut tersebar di masing – masing

puskesmas yang berada di wilayah Kabupaten

Badung. Jumlah kasus penderita TB tertinggi

terdapat di Kecamayan Kuta yang mewilayahi

Puskesmas Kuta I tercatat 80 kasus dan Puskesmas

Kuta II tercatat 20 kasus, sehingga total di

Kecamatan Kuta mencapai 100 kasus.

Tingginya jumlah kasus penderita tuberkulosis

di Kecamatan Kuta merupakan fenomena yang

cukup menarik untuk dikaji, mengingat wilayah ini

tergolong kawasan pariwisata yang cukup populer

baik di kalangan wisatawan nusantara maupun

mancanegara. Masalah tersebut akan dicoba

dijelaskan dengan menjawab pertanyaan penelitian

yang diformulasikan sebagai berikut : 1.

Bagaimanakah hubungan sanitasi rumah yang

meliputi pencahayaan, kelembaban, suhu, ventilasi,

kepadatan hunian, dinding rumah dan lantai rumah

dengan kejadian penyakit tuberkulosis di Kecamatan

Kuta ? 2. Seberapa jauh hubungan variabel sanitasi

rumah yang meliputi pencahayaan, kelembaban,

suhu, ventilasi, dinding rumah, kepadatan hunian,

dan lantai rumah dengan kejadian penyakit

tuberkulosis di Kecamatan Kuta ?

2. METODOLOGI

Berdasarkan jenisnya penelitian ini termasuk

penelitian analitik observasional, untuk menganalisis

faktor sanitasi rumah terhadap kejadian penyakit

tuberkulosis paru di Kecamatan Kuta . Rancang

bangun penelitian ini termasuk case control yaitu

penelitian yang menghubungkan faktor risiko atau

variabel bebas (sanitasi rumah) dengan kejadian

penyakit tuberkulosis dengan cara membandingkan

kelompok kasus (penderita tuberkulosis paru) dan

kelompok kontrol (bukan penderita). Jumlah sampel

yang diambil sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30

kasus dan 30 kontrol. Data yang diperoleh diolah dan

dianalisis dengan menggunakan komputer dengan

program SPSS . Sedangkan untuk analisis data yang

dilakukan meliputi analisis univariat, bivariat dan

multivariat (Yasril, 2009).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Kuta secara administrasi terdiri dari

5 desa/kelurahan dengan 33 banjar dengan luas

wilayah 17,52 km2. Secara geografis Kecamatan Kuta

terletak antara 08043’32.6" Lintang Selatan dan

115010’39.2" Bujur Timur. Wilayah Kecamatan Kuta

tergolong wilayah pesisir dengan letak ketinggian

terletak 27 m di atas permukaan laut (Badung dalam

Angka, 2015). Di wilayah Kecamatan Kuta terdapat

2 puskesmas induk yang dimenfaatkan oleh

masyarakat selain rumah sakit dan klinik yaitu

Puskesmas Kuta I dan Puskesmas Kuta II. Peta

Kecamatan Kuta dapat dilihat pada Gambar 1.

3.2 Distribusi Frekuensi Kondisi

Pencahayaan, Kelembaban, Suhu,

Ventilasi, Dinding Rumah, Kepadatan

Hunian dan Lantai Rumah

Page 57: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

57

Tabel 1. Hasil Pengukuran Sanitasi Rumah di Kecamatan Kuta

Variabel Penelitian Jumlah(n=60) Persentase

PencahayaanTidak memenuhi syarat 24 40Memenuhi syarat 36 60KelembabanTidak memenuhi syarat 27 45Memenuhi syarat 33 55SuhuTidak memenuhi syarat 0 0Memenuhi syarat 60 100VentilasiTidak memenuhi syarat 32 53,3Memenuhi syarat 28 46,7Dinding rumahTidak memenuhi syarat 24 40Memenuhi syarat 36 60Kepadatan hunianTidak memenuhi syarat 32 53,3Memenuhi syarat 28 46,7Lantai rumahTidak memenuhi syarat 14 23,3Memenuhi syarat 46 76,7

3.3 Hubungan Pencahayaan dengan Kejadian

Penyakit TB

Hasil yang didapatkan dari analisis data

penelitian terhadap variable pencahayaan dengan

kejadian penyakit TB adalah seperti pada tabel 2.

Berdasarkan Tabel 2, menunjukkan bahwa 70

% kasus penghuni rumah dengan pencahayaan yang

tidak memenuhi syarat kesehatan dan 30 % penghuni

rumah dengan pencahayaan yang memenuhi syarat

kesehatan menunjukkan bahwa secara statistik

terdapat hubungan yang bermakna pencahayaan

rumah terhadap kejadian penyakit TB. (p< 0,05)

dengan nilai odd ratio 21. Hasil penelitian ini sesuai

dengan hasil penelitian Ahmad dan Sulistyorini (2005)

yang menemukan bahwa penerangan alami

memperoleh nilai p = 0,047 (p<0,05), hasil penelitian

Dewi, (2012) yang menemukan bahwa pencahayaa

alami memperoleh nilai p = 0,003 (p<0,05). Hal ini

berarti pencahayaan mempunyai pengaruh terhadap

kejadian penyakit TB paru.

Gambar .1. Peta Kecamatan Kuta

Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis (TB) di Kecamatan Kuta [I Made Mudana, dkk.]

Page 58: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

58

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

3.4 Hubungan Kelembaban dengan Kejadian

Penyakit TB

Berdasarkan Tabel 3, menunjukkan bahwa 76,7

% kasus penghuni rumah dengan kelembaban yang

tidak memenuhi syarat kesehatan dan 23,3 %

penghuni rumah yang memenuhi syarat kesehatan.

Secara statistik terdapat hubungan yang bermakna

antara kondisi kelembaban rumah dengan kejadian

TB Paru (p< 0,05) dengan nilai odd ratio 21,36,. Hal

ini sesuai dengan hasil penelitian Maryani (2012)

yang dilakukan di Kelurahan Bandarharjo Kota

Semarang, bahwa kelembaban kamar memperoleh

nilai sig p = 0,000 (p<0,05). Hasil yang sesuai juga

diperoleh dari hasil penelitian Nindya dan

Sulistyorini (2005) bahwa kelembaban ruangan

berpengaruh terhadap ISPA pada balita. Hasil

penelitian Sujana, dkk (2013) juga diperoleh

kelembaban ruangan mempunyai pengaruh terhadap

kejadian penyakit TB paru dengan nilai p = 0,00

(p< 0,05).

3.5 Hubungan Suhu dengan Kejadian Penyakit

TB

Berdasarkan Tabel.4, terlihat bahwa suhu tidak

berpengaruh terhadap kejadian TB Paru dalam

penelitian ini. Rumah yang sehat harus mempunyai

Tabel 2. Hubungan Pencahayaan Dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB

Kejadian Penyakit TB

Pencahayaan Odd Ratio (OR) P

Kasus Kontrol

F % F %

Tidak memenuhi syarat 21 70 3 10 21 0,00

Memenuhi syarat 9 30 27 90

Total 30 100 30 100

Tabel 3. Hubungan Kelembaban Dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB

Kejadian Penyakit TB

Kelembaban Odd Ratio (OR) P

Kasus Kontrol

F % F %

Tidak memenuhi syarat 23 76,7 4 13,3 21,36 0,00

Memenuhi syarat 7 23,3 26 86,7

Total 30 100 30 100

Tabel 4. Hubungan Suhu dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB

Kejadian Penyakit TB

Suhu Odd Ratio (OR) P

Kasus Kontrol

F % F %

Tidak memenuhi syarat 0 0 0 0

Memenuhi syarat 30 100 30 100

Total 30 100 30 100

Tabel 5. Hubungan Ventilasi dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB

Kejadian Penyakit TB

Ventilasi Odd Ratio (OR) P

Kasus Kontrol

F % F %

Tidak memenuhi syarat 24 80 8 26,7 11 0,00

Memenuhi syarat 6 20 22 73,3

Total 30 100 30 100

Page 59: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

59

suhu yang diatur sedemikian rupa sehingga suhu

badan dapat dipertahankan. Jadi suhu dalam

ruangan harus dapat diciptakan sedemikian rupa

sehingga tubuh tidak terlalu banyak kehilangan

panas atau sebaliknya tubuh tidak sampai kepanasan

(Azwar, 1996).

3.6 Hubungan Ventilasi dengan Kejadian

Penyakit TB

Berdasarkan Tabel 5, menunjukkan bahwa 80%

kasus penghuni rumah dengan ventilasi rumah yang

tidak memenuhi syarat kesehatan dan hanya 20 %

yang memenuhi syarat kesehatan. Secara statistik

terdapat hubungan yang bermakna antara kondisi

ventilasi dengan kejadian penyakit TB (p< 0,05)

dengan nilai odd ratio 11. Ventilasi rumah

mempunyai fungsi (Azwar, 1999). Fungsi pertama

adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam

rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti

keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni

rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi

akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah

yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi

penghuninya menjadi meningkat.

3.7 Hubungan Dinding Rumah dengan

Kejadian Penyakit TB

Berdasarkan Tabel 6, menunjukkan bahwa 63,3

% untuk kasus penghuni rumah dengan didnding

rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan

36,7 % yang memenuhi syarat kesehatan. Secara

statistik terdapat hubungan yang bermakna antara

kualitas dinding rumah dengan kemungkinan

terjadinya TB (p < 0,05) dengan nilai odd ratio 8,64.

Ini berarti responden memiliki rumah tidak

memenuhi persyaratan dinding rumah memiliki

kemungkinan 8,64 kali lebih besar terkena penyakit

TB dibandingkan dengan responden yang memenuhi

persyaratan dinding rumah.

3.8 Hubungan Kepadatan Hunian dengan

Kejadian Penyakit TB

Berdasarkan Tabel 7, menunjukkan bahwa 83,3

% kasus penghuni rumah dengan kepadatan hunian

yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan 16,7 %

kasus dengan kepadatan hunian yang memenuhi

syarat kesehatan. Secara statistik terdapat

hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian

dengan kejadian penyakit TB (p < 0,05) dengan nilai

odd rationya 16,43. Ini berarti responden yang

memiliki rumah tidak memenuhi persyaratan

kepadatan hunian memiliki kemungkinan 16,43 kali

lebih besar untuk terkena penyakit TB dibandingkan

dengan responden yang memiliki rumah memenuhi

persyaratan kepadatan hunian Sesuai dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Sugiharto (2004), yang

menemukan bahwa adanya hubungan yang

bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian

TB paru dengan nilai OR = 2,716, sesuai pula hasil

penelitian oleh Wiasa (2009) bahwa ada hubungan

yang bermakna antara kepadatan hunian dengan

kejadian penyakit dengan nilai OR = 11,76.

Tabel 6. Hubungan Dinding Rumah dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB

Kejadian Penyakit TB

Dinding rumah Odd Ratio (OR) P

Kasus Kontrol

F % F %

Tidak memenuhi syarat 19 63,3 5 16,7 8,64 0,00

Memenuhi syarat 11 36,7 25 83,3

Total 30 100 30 100

Tabel 7. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB

Kejadian Penyakit TB

Kepadatan hunian Odd Ratio (OR) P

Kasus Kontrol

F % F %

Tidak memenuhi syarat 25 83,3 7 23,3 16,43 0,00

Memenuhi syarat 5 16,7 23 76,7

Total 30 100 30 100

Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis (TB) di Kecamatan Kuta [I Made Mudana, dkk.]

Page 60: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

60

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

3.9 Hubungan Lantai Rumah dengan Kejadian

Penyakit TB

Berdasarkan Tabel 8, menunjukkan bahwa 30

% kasus penghuni rumah dengan lantai rumah yang

tidak memenuhi syarat kesehatan dan 70 % penghuni

rumah dengan lantai rumah yang memenuhi syarat

kesehatan. Secara statistik terdapat hubungan yang

bermakna antara kualitas lantai rumah dengan

tingkat kejadian TB (p < 0,05) dengan nilai odd ratio

2,143. Ini berarti jika memiliki rumah dengan

kualitas lantai tidak memenuhi persyaratan

memiliki kemungkinan terkena penyakit TB 2,143

kali lebih besar dibandingkan dengan yaang memiliki

lantai rumah memenuhi syarat. Untuk mencegah

masuknya air ke dalam rumah, untuk rumah bukan

panggung sebaiknya tinggi lantai ± 10 cm dari

pekarangan dan 25 cm dari badan jalan (Adnani,

2011).

3.10Besar Hubungan Sanitasi Rumah dengan

Kejadian TB

Untuk mengetahui hubungan semua variable

bebas secara bersamaan dengan variable terikat

dilakukan analisis multivariate menggunakan

uji regresi logistik. Variabel yang bisa dimasukkan

ke dalam analisis regresi logistic adalah variable

yang nilainya (p< 0,25) yaitu: pencahayaan,

kelembaban, ventilasi, dinding rumah, kepadatan

hunian dan lantai rumah. Dalam penelitian ini

digunakan uji regresi logistic karena dari hasil uji

Hosmer-Lemeshow terhadap data hasil penelitian,

didapatkan nilai chi-squarenya 4,417 dengan

nilai signifikansi 0,491. Nilai signifikansi yang

didapat lebih besar dari 0,05, sehingga dapat

disimpulkan bahwa data kelompok hasil

observasi dikatakan fit dengan model regresi

logistik.

Tabel 9. Besar Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Penyakit TB

95% CI untuk ORVariabel Odd Ratio (OR) B P

Low Upp

Step 1Pencahayaan 5,130 1,635 0,212 124,084 0,314Kelembaban 16,01 2,773 0,522 490,837 0,112Ventilasi 16,32 2,792 1,543 172,555 0,020Dinding rumah 0,858 -0,153 0,111 6,649 0,884Kepadatan hunian 12,743 2,545 1,188 136,701 0,036Lantai rumah 0,187 -1,674 0,010 3,630 0,268Constant 0,014 -4,296 0,001Step 2Pencahayaan 5,075 1,624 0,318 0,209 123,422Kelembaban 14,995 2,708 0,109 0,545 412,258Ventilasi 16,007 2,773 0,020 1,543 166,081Kepadatan hunian 11,677 2,458 0,019 1,494 91,285Lantai rumah 0,2 -1,607 0,264 0,012 3,357Constant 0,014 -4,287 0,001Step 3Kelembaban 53,896 3,987 0,003 4,058 715,868Ventilasi 9,082 2,206 0,018 1,466 56,261Kepadatan hunian 17,506 2,863 0,004 2,433 125,945Lantai rumah 0,126 -2,073 0,141 0,008 1,990Constant 0,017 -4,091 0,001Step 4Kelembaban 19,158 2,953 0,001 3,171 115,751Ventilasi 6,408 1,858 0,030 1,199 34,236Kepadatan 13,342 2,591 0,004 2,261 78,733Constant 0,24 -3,718 0,000

Tabel 8. Hubungan Lantai Rumah dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB

Kejadian Penyakit TB

Ventilasi Odd Ratio (OR) P

Kasus Kontrol

F % F %

Tidak memenuhi syarat 9 30 5 16,7 2,143 0,22

Memenuhi syarat 21 70 25 83,3

Total 30 100 30 100

Page 61: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

61

Berdasarkan Tabel 9, didapatkan hasil bahwa

terdapat tiga variable bebas yang secara statistik

berhubungan secara bermakna (p < 0,05) dengan

variable terikat yaitu kelembaban (OR = 19,158, 95%

CI 3,171 – 115,751), ventilasi (OR = 6,408, 95% CI =

1,199 – 34,236), kepadatan hunian (OR 13,342, 95%

CI = 2,261 – 78,733)

4. SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan

sanitasi rumah dengan kejadian penyakit

tuberkulosis (TB) di Kecamatan Kuta, maka dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan antara sanitasi rumah

dengan kejadian penyakit tuberkulosis (TB) di

Kecamatan Kuta.

2. Variabel sanitasi rumah yang berhubungan

dengan kejadian penyakit tuberkulosis (TB) di

Kecamatan Kuta adalah : pencahayaan,

kelembaban, ventilasi, dinding rumah,

kepadatan hunian dan lantai rumah. Sedangkan

yang tidak berhubungan dengan kejadian

penyakit tuberkulosis (TB) adalah suhu .

3. Dari hasil uji statistik probabilitas orang yang

menempati rumah dengan sanitasi buruk

(kelembaban, ventilasi dan kepadatan hunian)

di Kecamatan Kuta untuk terkena tuberkulosis

(TB) adalah 97,08%.

4.2 Saran

Dari hasil kesimpulan untuk dapat menurunkan

kejadian tuberkulosis (TB) di Kecamatan Kuta yang

berhubungan dengan sanitasi rumah, maka dapat

disarankan sebagai berikut:

1. Kepada masyarakat yang tinggal di Kecamatan

Kuta agar dalam membangun atau menempati

rumah tinggal memperhatikan faktor sanitasi

dan standar rumah sehat. Untuk dapat

memenuhi standar rumah sehat maka syarat

rumah sehat wajib untuk dipenuhi seperti :

pencahayaan, kelembaban, suhu, ventilasi,

kepadatan hunian, dinding rumah dan lantai

rumah.

2. Kepada Pemerintah / SKPD terkait agar

memberikan pembinaan ataupun arahan kepada

masyarakat supaya dalam membangun rumah

memperhatikan tata ruang serta

memperhatikan rumah yang memenuhi syarat

kesehatan sehingga masyarakat yang

menempati rumah tersebut merasa aman,

nyaman dan terhindar dari bahaya penyakit

khususnya yang bersumber dari sanitasi rumah

yang buruk, seperti terjadinya kasus TB.

3. Kepada Non Government Organization (NGO)/

LSM terkait supaya dapat menjadi pendamping/

memberi masukan dalam melaksanakan

pembangunan/penataan perumahan khususnya

masalah lingkungan dan rumah yang memenuhi

standar kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Adnani, 2011. Ilmu Kesehatan Masyarakat.

Yogyakarta : Nuhu Medika.

Ahmad, Y.N, dan Lilis Sulistyorini. 2005. Hubungan

Sanitasi Rumah Secara Fisik Dengan Kejadian

ISPA Pada Balita. Jurnal Kesehatan

Lingkungan I (2) : 110-119.

Depkes R.I. 2011. Strategi Nasional Pengendalian

TB di Indonesia. Jakarta : Ditjen PPM – PLP.

Dewi, S. 2012.” Pengaruh Sanitasi Lingkungan

Rumah Penghasilan Keluarga dan Pengendalian

Terhadap Kejadian Penyakit TB Paru Pada Ibu

Rumah Tangga di Puskesmas Mulyorejo Kab.

Deli Serdang” (Tesis). Medan : Universitas

Sumatera Utara.

Dinas Kesehatan Kabupaten Badung. 2014. Laporan

Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten

Badung2013. Mangupura : Dinas Kesehatan

Kabupaten Badung.

Dinas Kesehatan Kabupaten Badung. 2015. Laporan

Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Badung

2014. Mangupura : Dinas Kesehatan Kabupaten

Badung.

Dinas Kesehatan Kabupaten Badung. 2016. Laporan

Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Badung

2015. Mangupura : Dinas Kesehatan Kabupaten

Badung.

Fatimah,S. 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan

Rumah yang berhubungan dengan Kejadian TB

paru di Kabupaten Cilacap. Tesis : Undip

Semarang.

Pemerintah Kabupaten Badung. 2015. Badung

Dalam Angka 2014. Mangupura :

Pemerintah Kabupaten Badung

Sugiharto, 2004. Hubungan Kepadatan Hunian

Rumah dengan Kejadian Penyakit TB Paru di

Puskesmas Jenggot. Tesis : Universitas

Diponegoro. Semarang

Sujana, I.K, Patra, I.M, dan Mahayan, B. I, M, 2013.

Pengaruh Sanitasi Rumah Terhadap Kejadian

Penyakit TB Paru di Wilayah Kerja UPT.

Puskesmas Mengwi I. Jurnal Kesehatan

Lingkungan 4 (1) : 93 – 98.

Wiasa, I. W, 2009. Hubungan Faktor Lingkungan

Fisik Rumah dengan Kejadian TB Paru di

Kabupaten Tabanan. Tesis. Universitas Air

Langga Surabaya.

Yasril, Kasjono, S. H. 2009. Analisis Multivariat

untuk Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Mitra

Cendikia Offset.

Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis (TB) di Kecamatan Kuta [I Made Mudana, dkk.]

Page 62: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

62

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

EFEKTIVITAS PENERAPAN AMDAL DALAM PENGELOLAAN

LINGKUNGAN HIDUP PADA PEMBANGKIT LISTRIK

DI BALI – STUDI KASUS PLTD/G PESANGGARAN

Helga Margareta Hunter1*), Made Sudiana Mahendra2), I.G.B. Sila Dharma3)

1)PT General Energy Bali, Bali, Indonesia2)Fakultas Pertanian Universitas Udayana

3)Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana*Email: [email protected]

ABSTRACT

The development and sustainability of power plant’s activity has a positive impact, such as the increasedelectricity energy which will indirectly boost the economy, but it also has negative impact, such as the risingpressure towards environment. One way to prevent it from damaging environment is to require stakeholdersand industry actors to have the environment permit including EIA (Environment Impact Assessment). Theobjective of this study was to find out the effectiveness of EIA application on power plant on PLTD/GPesanggaran. This study was conducted with a descriptive qualitative approach which used data fromobservations, interviews, questionnaires, and literatures. Location of this study was at PLT/D Pesanggaran.The data that were gathered is used to be the base for value determination from valuation categories, so thatthe value of effectiveness of EIA application in PLTD/G Pesanggaran is subsequently gained. The EIAimplementation of PLTD/G Pesanggaran as a whole was sufficient and in accordance with the environmentaldocument. Supervision of RKL-RPL implementation which was done by BLH had been carried outsystematically and effectively. The effectiveness value of EIA implementation in PLTD/G Pesanggaran was94%, which means that the EIA implementation was effective.

Keywords: EIA; power plant; effectiveness; management; supervision; environment

1. PENDAHULUAN

Kebutuhan energi listrik pada era globalisasi

menjadi kebutuhan pokok di seluruh dunia,

termasuk Indonesia. Dengan meningkatnya tingkat

kesejahteraan masyarakat, maka kebutuhan akan

energi listrik juga akan meningkat.

Seiring dengan semakin pesatnya perkem-

bangan industri pariwisata dan tata kota, kebutuhan

energi listrik di Bali meningkat dengan pesat.

Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur dan

Bali Amin Subekti mengatakan (2016), kebutuhan

energi listrik di Bali dari tahun ke tahun semakin

meningkat dan sekarang ini ketersediaan listrik di

daerah ini hanya 1.300 megawatt (MW) dengan beban

puncak 834 MW, sedangkan menurut RUPTL PLN

2016-2025 (2016), kebutuhan energi listrik di

Indonesia akan meningkat 8,2% per tahun dan di

Bali sendiri akan meningkat sebesar 7,7% per tahun.

Pemadaman listrik yang sering terjadi setahun

belakangan ini di Bali akibat rusaknya kabel

transmisi listrik bawah laut yang memasok

kebutuhan listrik di Pulau Bali dari Jawa

menunjukan adanya ketergantungan pemasokan

energi listrik di Bali dari Jawa. Pembangunan

beberapa pembangkit listrik (power plant) di Bali

dilakukan untuk mengurangi ketergantungan akan

energi litrik yang disuplai dari Jawa.

Pembangunan dan keberlangsungan kegiatan

power plant memberikan dampak positif yaitu

bertambahnya pengadaan energi listrik yang secara

tidak langsung meningkatkan perekonomian,

namun juga memberikan dampak negatif berupa

meningkatnya tekanan terhadap lingkungan.

Tekanan terhadap lingkungan dari pembangunan

yang kurang memperhatikan daya dukung dan daya

tampung lingkungan setempat, pada akhirnya akan

menyebabkan kerusakan lingkungan (Wahyono,

dkk, 2012). Kerusakan lingkungan tersebut menjadi

tanggung jawab bersama seluruh pemangku

kepentingan, termasuk masyarakat, pemerintah dan

pemrakarsa.

Sari, dkk, (2012) mengungkapkan bahwa salah

satu upaya preventif yang dilakukan untuk

menghindari kerusakan lingkungan tersebut adalah

dengan mewajibkan kepada setiap pelaku industri

untuk memiliki Izin Lingkungan dengan menyer-

takan Analisis mengenai Dampak Lingkungan

(Amdal), Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan

Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL).

Kedua studi tersebut merupakan studi kelayakan

lingkungan yang harus dibuat oleh pemrakarasa

kegiatan dan atau usaha yang baru atau belum

beroperasi, sehingga melalui dokumen ini dapat

diperkirakan dampak yang akan timbul dari suatu

kegiatan kemudian bagaimana dampak tersebut

ECOTROPHIC • 11 (1) : 62 - 69 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Page 63: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

63

dikelola baik dampak negatif maupun dampak positif.

Pasal 22 ayat (1) UUPLH menyebutkan bahwa

“setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak

penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki

Amdal” dan Pasal 34 ayat (1) bahwa “setiap usaha

dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam

kriteria wajib Amdal, wajib memiliki dokumen UKL-

UPL”. Dokumen lingkungan ini digunakan sebagai

instrumen pencegahan pencemaran yang dibuat pada

tahap perencanaan usaha dan/atau kegiatan.

Dokumen Amdal memuat Dokumen Kerangka

Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-Andal),

Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup

(ANDAL), Dokumen RencanaPengelolaan

Lingkungan Hidup (RKL), dan Dokumen Rencana

Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL). Pasal 2 ayat

(1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor

27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menetapkan

setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki

Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki Izin

Lingkungan. Pasal 53 ayat (1) huruf b mengatakan

setiap pemegang izin lingkungan memiliki kewajiban

membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan

terhadap persyaratan dan kewajiban dalam izin

lingkungan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/

walikota dan sesuai Pasal 53 ayat (2) laporan tersebut

disampaikan secara berkala setiap 6 (enam) bulan.

Menurut Sabaruddin (2007), instansi yang

bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup

mempunyai kewenangan dalam pengendalian

dampak lingkungan, pencemaran, dan kerusakan

lingkungan serta pengawasan pelaksanaan UKL-

UPL di daerahnya. Peran yang efektif dari

pemerintah diperlukan dalam dokumen lingkungan,

agar dapat lebih meningkatkan kualitas dan

integritas dokumen lingkungan (Ross, et. al., 2006).

Koordinasi/hubungan dan mekanisme kerja antar

pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sangat

diperlukan, sehingga terdapat kejelasan mandat,

untuk menghindarkan terjadinya kerancuan dan

tumpang tindihnya wewenang dan tanggung jawab

di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan

lingkungan. Sosialisasi dan komunikasi menjadi

kunci penting bagi implementasi pembangunan

berwawasan lingkungan (Sarbi, 2006).

Pada kenyataannya, studi kelayakan lingkungan

baik dalam bentuk Amdal maupun UKL-UPL yang

dijadikan usaha preventif tidak selalu berjalan dan

berhasil optimal. Menurut Rosita dalam Sambutan

Rapat Kerja Amdal tahun 2009 (Wahyono, dkk, 2012),

sampai saat ini masih banyak dokumen Amdal yang

berkualitas buruk, masih tingginya tingkat plagiasi

diantara dokumen Amdal, dan sebagainya.

Dilaporkan bahwa ada sekitar 9.000 lebih dokumen

Amdal telah disetujui oleh pemerintah, namun tidak

menjamin kerusakan lingkungan dapat

diminimalkan. Penyebabnya antara lain komisi

Amdal belum semua berfungsi dengan baik dan

lemahnya penegakan hukum lingkungan.

Revitalisasi sistem Amdal dilakukan oleh

pemerintah pada tahun 2004 karena dirasakan

terdapat banyak hal yang kurang dalam pelaksanaan

Amdal. Hal ini diperkuat dengan masukan beberapa

pakar Amdal. Ada beberapa alasan mengapa program

revitalisasi dilakukan, antara lain (Wahyono, dkk,

2012):

a. Efektivitas Amdal perlu ditingkatkan karena

Amdal belum dilakukan sebagai perangkat

pencegahan dampak lingkungan dan cenderung

hanya untuk memenuhi persyaratan

administrasi saja.

b. Kualitas Amdal masih sangat rendah. Hasil

evaluasi pada tahun 2004 menunjukan hanya

22% dari sampel Amdal yang dievaluasi memiliki

katagori baik dan sangat baik.

c. Pelaksanaan Amdal belum dilakukan dengan

serius dan konsisten.

d. Penaatan dan penegakan hukum Amdal belum

efektif atau persisnya tidak ada upaya pentaatan

hukum.

Menurut Wahyono, dkk. (2012), efektivitas

pelaksanaan Amdal juga perlu ditingkatkan karena

beberapa fakta menunjukan bahwa pada

kenyataannya:

a. Pemrakarsa baru menyusun Amdal setelah izin

mulainya kegiatan dikeluarkan, artinya Amdal

tidak berperan sebagai alat pembantu

pengambilan keputusan.

b. Pemrakarsa masih memandang Amdal sebagai

tambahan biaya ketimbang alat pengelolaan

lingkungan hidup. Pengelolaan lingkungan yang

terdapat dalam RKL-RPL belum berorientasi

pada langkah-langkah untuk penurunan biaya

produksi.

c. Perencanaan Amdal sebagai bahan studi

kelayakan masih lemah karena sering kali

terlambat dilaksanakan setelah aspek ekonomi

dan teknis dinyatakan layak. Dengan demikian

rendah sekali kemungkinan bagi hasil studi

Amdal untuk memberikan masukan perbaikan

dan masukan alternatif bagi kegiatan.

d. Amdal disusun dengan kualitas rendah dan

cenderung tidak fokus.

e. Penilai Amdal belum mampu mengarahkan

agar kualitas Amdal dapat ditingkatkan, masih

banyak dokumen yang berkualitas rendah

diloloskan juga dengan berbagai alasan.

Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui tentang efektivitas penerapan Amdal

dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup pada

pembangkit listrik di Bali - Studi Kasus PLTD/G

Pesanggaran.

Efektvitas Penerapan AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Pada Pembangkit Listrik di Bali ..... [Helga Margareta Hunter, dkk.]

Page 64: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

64

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

2. METODOLOGI

2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di PLTD/G

Pesanggaran di Kota Denpasar, Bali. Alasan

pemilihan lokasi penelitian ini adalah pembangkit

listrik tersebut telah memiliki dokumen Amdal.

Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, mulai dari

Bulan Juli sampai dengan Desember 2016.

2.2 Prosedur Penelitian

Sesuai dengan bentuk pendekatan penelitian

kualitatif dan sumber data yang akan digunakan,

maka teknik pengumpulan data yang digunakan

adalah dengan teknik observasi, wawancara,

kuesioner, dan studi pustaka.

2.3 Analisis Data

Data primer yang terkumpul melalui kuesioner

dan wawancara dilakukan pengolahan dengan

menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Data

berupa deskripsi, interpretasi maupun nilai kualitatif

akan dikelompokan tersendiri sebagai data

pendukung dalam penyusunan laporan.

Efektivitas adalah suatu keadaan yang

menunjukkan tingkat keberhasilan atau kegagalan

kegiatan dalam mencapai tujuan yang telah

ditetapkan terlebih dahulu. Dalam efektivitas

penerapan Amdal dan pelaksanaan RKL-RPL dalam

pengelolaan lingkungan hidup di Bali, Kriteria

efektivitas pengelolaan lingkungan yang dipakai

adalah (Wahyono, 2012):

0 – 33% : belum efektif

34 – 66% : cukup efektif

67 – 100% : sudah efektif

Hasil analisis data sesuai dengan permasalahan

dan tujuan penelitian disajikan dalam bentuk formal

dan informal. Dalam bentuk informal, yakni berupa

uraian kalimat secara deskriptif yang menjelaskan

semua aktivitas penelitian yang disusun secara

sistematis dalam bentuk bab-bab. Selanjutnya, dalam

bentuk formal, yakni dapat berupa tabel, yaitu

pendeskripsian tentang data hasil penelitian, baik

berupa angka maupun kata-kata; berupa gambar,

yaitu visualisasi yang melukiskan segala sesuatu

yang berkaitan dengan penelitian.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Deskripsi Kegiatan Perusahaan

PT. Indonesia Power UP Bali adalah sebuah

perusahaan yang bergerak di bidang Pembangkit

Tenaga Listrik. yang terletak di Jalan Brigjen I Gusti

Ngurah Rai nomor 535, Kelurahan Pedungan,

Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar,

Provinsi Bali. Dokumen Amdal yang dimiliki sesuai

dengan SK Amdal yang disetujui No. 371 Tahun 2004

tanggal 25 November 2004 dan adendum surat

persetujuan Kelayakan Lingkungan dari Gubernur

Bali nomor 660.1/1748/BLH/2015 tanggal 14 Agustus

2015. Luas lahan yang dimiliki lebih kurang 71.970

m2 (7,2 Ha) dan di atas lahan tersebut berdiri

bangunan gedung kantor, tangki induk BBM, tempat

parkir, taman, mesin PLTD/G 12 unit, Pembangkit

Listrik Tenaga Gas (PLTG) sebanyak 4 unit dan 1

diantaranya menggunakan pemantauan Continous

Emission Monitoring System (CEMS). Kapasitas

terpasang pada PLTG 125,45 MW dan PLTD/G 200

MW yang bisa menggunakan dua metode bahan

bakar yaitu Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Bahan

Bakar Gas (BBG).

Mesin-mesin pembangkit tersebut telah

dioperasikan sejak tahun 1974 sampai dengan

sekarang dan didukung oleh 165 personil yang terdiri

dari 1 orang General Manager, 5 Manajer Bidang

dan 180 orang staf.

3.2 Pelaksanaan Pengelolaan dan Pemantauan

PLTD/G Pesanggaran dalam melakukan

kegiatan pembangkit listrik menimbulkan dampak

terhadap lingkungan, sehingga memerlukan upaya

pengelolaan dan pemantauan lingkungan dan

pelaksanaannya dilakukan oleh perusahaan

sebagaimana tertuang dalam dokumen RKL-RPL.

Semua komponen lingkungan, baik komponen geo-

fisik kimia, biologi, sosial ekonomi, sosial budaya dan

kesehatan masyarakat, telah dilakukan upaya

pengelolaan, namun untuk pemantauan lingkungan

ada beberapa parameter yang belum dipantau.

Pelaksana pengelolaan dan pemantauan lingkungan

pada PLTD/G Pesanggaran dilakukan seluruhnya

oleh perusahaan dengan bagian terkait. Pengawasan

dari instansi/dinas mendorong pelaksanaan upaya

pengelolaan dan pemantauan lingkungan pada

PLTD/G Pesanggaran.

Seluruh responden merasakan manfaat

pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan

lingkungan pada PLTD/G Pesanggaran yang

dilakukan. Menurut hasil penelitian, manfaat yang

didapat pemrakrsa dari pelaksanaan pengelolaan dan

pemantauan lingkungan adalah lingkungan tetap

bersih dan lingkungan tidak rusak dan tercemar.

Kendala dalam pelaksanaan pengelolaan dan

pemantauan lingkungan pada PLTD/G Pesanggaran

sebagian besar adalah karena sulitnya sosialisasi ke

masyarakat sekitar yang belum memahami kaidah

lingkungan. Biaya, ketersediaan sumber daya

manusia dan tidak adanya teknologi juga menjadi

salah satu kendala pelaksanaan pengelolaan dan

pemantauan lingkungan.

PLTD/G Pesanggaran membuat laporan

semester pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan

lingkungan dan melakukan pelaporan setiap

semester atau dua kali setiap tahunnya dengan

format yang telah memenuhi ketentuan peraturan.

Page 65: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

65

PLTD/G Pesanggaran juga telah memiliki

program Coorporate Social Responsibility (CSR) dan

community development (comdev). Program CSR

yang dilakukan antara lain penanaman 3500 pohon

di sekitar Bali bekerja sama dengan BLH Kota

Denpasar, budidaya kuda laut di Pulau Serangan

dan pemberian sepeda kepada masyarakat untuk

pengembangan Ekowisata Desa Pedungan. Untuk

comdev yang dijalankan adalah mengembangkan

Koperasi dan Kelompok Usaha Kecil.

3.3 Pelaksanaan Pengawasan Pengelolaan dan

Pemantauan Lingkungan

Pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan

pemantauan lingkungan pada PLTD/G Pesanggaran

dilakukan oleh instansi pemerintah pada bidang

lingkungan dari pemerintah pusat sampai

pemerintah daerah. Instansi yang melakukan

pengawasan terhadap pengelolaan dan pemantauan

lingkungan PLTD/G Pesanggaran adalah BLH Kota

Denpasar, BLH Provinsi Bali, dan Pusat

Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Bali

Nusra (Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan Republik Indonesia). Hasil penelitian ini

didapat dari penelitian yang dilakukan terhadap BLH

Kota Denpasar mengenai pengawasan pengelolaan

dan pemantauan lingkungan di PLTD/G

Pesanggaran.

Pengawasan BLH Kota Denpasar dimulai dari

pembahasan penyusunan dokumen Amdal PLTD/G

Pesanggaran. Kegiatan pengawasan penerapan

Amdal PLTD/G Pesanggaran dilaksanakan secara

sistematis dengan mekanisme sebagai berikut:

a. Melakukan kunjungan lapangan secara rutin

dan berkala.

b. Membaca dan mencermati laporan pelaksanaan

RKL-RPL.

c. Jika ada penyimpangan dari standar baku mutu,

BLH akan memberikan saran kepada PLTD/G

Pesanggaran untuk melakukan perbaikan.

d. Melakukan pengawasan secara terus menerus

hingga tercapai standar baku mutu yang

ditetapkan.

Laporan pelaksanaan RKL-RPL secara rutin

setiap semester disampaikan PLTD/G Pesanggaran

kepada BLH Kota Denpasar. Dalam pelaksanaan

pengawasan yang dilakukan BLH Kota Denpasar,

tidak ada penyimpangan yang ditemukan baik

dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang

dilakukan PLTD/G Pesanggaran. Belum pernah ada

sanksi administratif yang diberikan BLH Kota

Denpasar kepada PLTD/G Pesanggaran.

Sempat ada informasi atau keluhan dari warga

sekitar PLTD/G ke BLH secara langsung atau tidak

langsung. Informasi atau keluhan tersebut antara

lain permasalahan mengenai perluasan lahan dan

juga suara bising dari mesin pembangkit, namun

permasalahan tersebut telah diselesaikan.

BLH Kota Denpasar sebagai pengawas

penerapan Amdal PLTD/G Pesanggaran menilai

bahwa pengelolaan dan pemantauan yang dilakukan

PLTD/G Pesanggaran sudah sesuai dan efektif.

3.4 Efektivitas Pelaksanaan Amdal

Nilai efektivitas penerapan Amdal PLTD/G

Pesanggaran didapat dari analisis deskriptif

kualitatif dari kategori penilaian efektivitas

penerapan Amdal (Wahyono, 2012) seperti terlihat

dalam Lampiran 1. Seluruh data yang didapat dari

observasi, kuesioner, dan wawancara menjadi dasar

penilaian untuk 25 indikator yang dibagi menjadi 8

bagian.

PLTD/G Pesanggaran telah memiliki cerobong

yang dilengkapi dengan tangga dan lubang sampling

yang memenuhi syarat serta telah menggunakan

CEMS, sehingga untuk indikator pertama didapatkan

nilai 4. Begitu juga untuk hasil uji laboratorium

emisi dan udara ambien dilakukan secara periodik

untuk semua parameter dan hasilnya sesuai baku

mutu yang ditetapkan, sehingga untuk indikator

kedua didapat nilai 4.

Kebisingan tertinggi di PLTD/G Pesanggaran

hanya di sekitar mesin pembangkit. Alat peredam

sudah dipasang di mesin pembangkit dan areal mesin

pembangkit sehingga suara bising mesin tidak

keluar. Penggunaan APD dan penanaman pohon

juga sudah dilakukan untuk mengurangi suara

bising, sehingga untuk indikator ketiga dan keempat

mendapat nilai masing-masing 4.

Indikator selanjutnya yaitu pengendalian

pencemaran air juga mendapat angka 4 karena

PLTD/G Pesanggaran telah memiliki IPAL yang

dilengkapi dengan pengukur debit di inlet dan outlet

serta dilakukan uji lab berkala. Pemantauan intern

untuk air juga dilakukan dan juga dilakukan

pencatatan setiap bulannya sehingga untuk indikator

pemantauan intern mendapat nilai 4.

Uji laboratorium untuk air sumur dilakukan

secara periodik, namun hasil uji laboratorium untuk

beberapa parameter ada yang melebihi baku mutu

seperti paremeter seng pada bulan Juni 2015

mencapai 0,110 mg/l sedangkan baku mutu yang

diperbolehkan hanya 0,05mg/l dan parameter sulfida

mencapai 0,009 mg/l sedangkan baku mutu yang

diperbolehkan hanya 0,002 mg/l (Laporan RKL-RPL

PLTD/G Pesanggaran, 2015). Begitu pula parameter

besi pada bulan Juni 2016 mencapai 0,112 mg/l

sedangkan baku mutu yang diperbolehkan adalah

0,1 mg/l (Laporan RKL-RPL PLTD/G Pesanggaran,

2016). Hal ini menyebabkan nilai untuk indikator

ketujuh mendapat nilai 3.

Uji laboratorium untuk air kali/sungai dan air

laut dilakukan secara periodik, namun hasil uji lab

untuk beberapa parameter air sungai melebihi baku

mutu seperti parameter amonia dan BOD pada bulan

Juni 2015 (Laporan RKL-RPL PLTD/G Pesanggaran,

Efektvitas Penerapan AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Pada Pembangkit Listrik di Bali ..... [Helga Margareta Hunter, dkk.]

Page 66: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

66

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

2015). Parameter amonia mencapai 2,767 mg/l,

sedangkan baku mutu yang ditetapkan adalah 0,5

mg/l dan parameter BOD mencapai 32,04 mg/l,

sedangkan baku mutu yang ditetapkan adalah 12

mg/l. Hal ini menyebabkan nilai untuk indikator

kedelapan dari kategori penilaian mendapat nilai 3.

Uji laboratorium terhadap biota flora dan fauna

air dilakukan secara periodik. Hasil yang ditunjukan

mengalami fluktuasi untuk jumlah jenis, jumlah

individu, dan indeks diversitas baik fauna maupun

flora seperti terlihat pada Tabel 1. Hasil uji

laboratorium terakhir (Pemantauan Biologi, 2016)

menunjukan peningkatan jumlah jenis, jumlah

individu, dan indeks diversitas sehingga untuk

indikator kategori penilaian kesembilan mendapat

nilai 4.

Pengelolaan dan pemantauan limbah PLTD/G

Pesanggaran dilakukan dengan baik. Pengelolaan

limbah cair dilakukan dengan IPAL yang

dioperasikan secara rutin. Limbah cair juga diuji

secara periodikdan hasilnya baik di bawah baku

mutu yang ditetapkan. Limbah B3 diletakan di

Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) Limbah B3

yang telah memiliki ijin, setiap limbah B3 diberi label

untuk setiap jenisnya, dan pengolahan limbah B3

akan dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak

ketiga yang telah memiliki ijin. Pengelolaan limbah

sampah/padat dilakukan dimulai dari penyediaan

tempat sampah di beberapa titik untuk selanjutnya

dibawa ke TPS untuk dipilah. Sampah organik akan

dijadikan pupuk dengan metode composting atau

bekerja sama dengan pihak ketiga. Sampah

anorganik akan dipilah untuk dimanfaatkan oleh

pihak ketiga. Berdasarkan deskripsi tersebut, nilai

untuk indikator kesepuluh-ketigabelas masing-

masing 4.

Berdasar hasil wawancara, perekrutan tenaga

lokal sudah dilakukan oleh perusahaan hanya sekitar

15-20% dan mayoritas oleh perusahaan outsource.

Tenaga kerja lainnya berasal dari luar Bali karena

perekrutan dilakukan dari pusat. Perekrutan tenaga

lokal masih berada dibawah 25% sehingga untuk

indikator keempatbelas diberi nilai 1. Pendapatan

yang diberikan kepada tenaga kerja di PLTD/G

sesuai dengan upah minimum regional (UMR). Para

pekerja juga diberikan asuransi serta tunjangan

lainnya seperti tunjangan hari raya dan tunjangan

jabatan, sehingga untuk indikator kelima belas

diberikan nilai 4.

Keberadaan usaha kecil menengah (UKM) di

sekitar PLTD/G seperti beberapa warung makan dan

warung yang menjual barang kebutuhan sehari-hari

menunjukan adanya peningkatan kesempatan

berusaha. Meski tidak banyak, tetapi UKM tersebut

tertata rapih. Indikator keenam belas tentang

peningkatan kesempatan berusaha diberi nilai 3.

Untuk program CSR, perusahaan telah memiliki

kebijakan dan secara rutin dilaksanakan sehingga

indikator ketujuh belas diberi nilai 4.

Pengelolaan gangguan K3 dilakukan dengan

menyediakan APD dan mewajibkan para pekerja

untuk mengenakan APD sesuai dengan SOP masing-

masing bagian, sehingga untuk indikator kedelapan

belas diberi nilai 4. Pengelolaan lalu lintas di sekitar

PLTD/G Pesanggaran dilakukan dengan pengadaan

lahan parkir, rambu lalu lintas, dan petugas

keamanan, sehingga nilai untuk indikator

kesembilan belas adalah 4.

Manajemen PLTD/G Pesanggaran memberikan

wewenang kepada divisi K3 Lingkungan (K3L) untuk

bertanggung jawab terhadap penerapan Amdal dan

pelaksanaan RKL-RPL. Divisi K3L akan melakukan

sosialisasi dengan divisi lain dan melakukan

koordinasi untuk pelaksanaan pengelolaan dan

pemantauan lingkungan dengan divisi yang

berkaitan. Karena pelaksanaan pengelolaan dan

pemantauan dilakukan secara periodik dan

terintegrasi maka manfaat dari pelaksanaan

pengelolaan dan pemantauan agar lingkungan tidak

tercemar dan rusak menjadi efisien dan mencapai

75-100%. Berdasarkan deskripsi tersebut, nilai untuk

indikator kedua puluh dan dua puluh satu adalah

masing-masing 4.

PLTD/G Pesanggaran secara rutin melaporkan

kegiatan pengelolaan dan pemantauan kepada BLH

Kota Denpasar dan BLH Provinsi Bali. Laporan yang

dikumpulkan antara lain Laporan Pelaksanaan RKL-

RPL yang dilakukan setiap semester, Laporan

Pemantauan Biologi yang dilakukan setiap 3 bulan,

dan Laporan pengelolaan limbah B3. Pelaksanaan

pengelolaan dan pemantauan serta pelaporan

dilakukan secara rutin sehingga menciptakan

lingkungan yang baik sehingga tidak ada sanksi

adimistratif dari pemerintah setempat untuk PLTD/

Tabel 1. Data kuantitatif fauna dan flora air PLTD/G Pesanggaran periode 2015-2016

Fauna Flora

No Parameter

Juni 2015 Des 2015 Mar 2016 Juni 2015 Des 2015 Juni 2016

1 Jumlah jenis 17 14 15 15 11 13

2 Jumlah individu 134 74 102 635 594 605

3 Indeks diversitas 2,431 2,433 2,539 1,5421 1,5563 1,7794

Sumber: Pemantauan Biologi (Fauna Air dan Flora Air) di Lingkungan PLTD/G/U Pesanggaran-Bali (2016)

Page 67: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

67

G Pesanggaran. Aduan dari masyarakat tentang

PLTD/G Pesanggaran juga tidak pernah diterima

BLH Kota Denpasar. Kerja sama dengan instansi

terkait pengelolaan lingkungan juga dilakukan

antara lain kerja sama dengan BLH Kota Denpasar

untuk membuat 1000 biopori di sekitar Pesanggaran

dan kerja sama dengan PPLH untuk pemantauan

biota. Berdasarkan deskripsi tersebut maka nilai

untuk indikator kedua puluh dua sampai dua puluh

lima masing-masing adalah 4.

Berdasarkan hasil analisa data dengan

menggunakan analisis deskriptif kualitatif,

efektivitas penerapan Amdal PLTD/G Pesanggaran

adalah 94%. Sesuai kriteria efektifitas pengelolaan

lingkungan yang dipakai Wahyono (2012), nilai

efektifitas penerapan Amdal PLTD/G Pesanggaran

berada dalam kisaran 67-100% yaitu sudah efektif.

3.5 Evaluasi Pelaksanaan RKL-RPL PT

Indonesia Power UP Bali

Berdasarkan hasil kajian pelaksanaan

pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang telah

dilaksanakan oleh PLTD/G Pesanggaran terlihat

pada Tabel 2.

Dari Tabel 2. dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Pengelolaan dampak pada kualitas udara

Pengelolaan dengan melakukan penghijauan,

pemasangan CEMS, pemasangan filter di setiap

stack , dan pemeliharaan setiap mesin

pembangkit dan mesin pendukung. Kualitas

udara dan emisi sudah dipantau secara rutin.

Pengujian udara ambien sudah dilakukan

dengan uji laboratorium dan dilaporkan dalam

laporan RKL-RPL, untuk emisi sudah dilakukan

menggunakan CEMS namun uji laboratorium

emisi belum dilakukan. Kualitas udara ambien

dan emisi di PLTD/G Pesanggaran masih berada

di bawah baku mutu yang ditetapkan peraturan

perundang-undanganan.

2) Pengelolaan dampak pada kebisingan

Pengendalian kebisingan dengan memasang alat

peredam suara pada alat dan gedung pembang-

kit, penggunaan APD, penanaman pohon di

sekitar pembangkit, dan pemeliharaan mesin

pembangkit. Pengujian terhadap kebisingan

sudah dilakukan dan sudah sesuai dengan baku

mutu yang ditetapkan peraturan perundang-

undanganan seperti ditampilkan pada Tabel 3.

Hasil uji juga sudah dilaporkan kepada instansi

melalui laporan RKL-RPL setiap semester.

3) Pengelolaan kualitas air

Pengelolaan untuk kualitas air dilakukan

dengan membuat IPAL, membuat bak

penampungan limbah cair, dan pengolahan

limbah cair. Pengujian untuk kualitas air

dilakukan secara rutin untuk air limbah, air

tanah, dan air laut sekitar. Hasil uji

laboratorium untuk air sudah dilaporkan kepada

instansi melalui laporan RKL-RPL setiap

semester. Beberapa hasil uji laboratorium untuk

air sumur di Pesanggaran dan air sungai sekitar

PLTD/G Pesanggaran melebihi baku mutu yang

ditetapkan peraturan perundang-undanganan.

4) Pengelolaan dampak pada limbah padat

Pengelolaan limbah padat dilakukan antara lain

dengan menyediakan tempat sampah terpisah,

melakukan 3R, menyimpan limbah B3 di tempat

penyimpanan yang sudah disediakan dan

bekerja sama dengan pihak lain yang memiliki

izin untuk pengolahannya, dan melakukan

composting untuk limbah padat organik.

Laporan pengolahan limbah B3 juga telah

dilaksanakan secara rutin.

Tabel 2. Evaluasi Pelaksanaan RKL-RPL PLTD/G Pesanggaran

Pelaksanaan

No Komponen lingkungan Ket

Ya Tidak

1 Kualitas udara V Belum sesuai

2 Kebisingan V Hasil sesuai

3 Kualitas air V Hasil belum sesuai

4 Limbah padat V Hasil sesuai

5 Hidrologi V Hasil sesuai

6 Pendapatan masyarakat V Hasil sesuai

7 Kenyamanan hidup V Hasil sesuai

8 Persepsi masyarakat V Hasil sesuai

9 Kesehatan masyarakat V Hasil sesuai

10 Pola lalu lintas V Hasil belum sesuai

Sumber: Analisis data (2016)

Tabel 3. Data Pengujian Intensitas Kebisingan PLTD/G Pesanggaran (Juni 2016)

Hasil Pengujian

Lokasi Pengukuran Satuan Baku Mutu

Range Rerata

Depan Kantor Pertanian (BPTP) dB.A 54,3-59,2 55,96 70

Halaman Parkir dB.A 58,7-63,3 59,68 85

Timur Pembangkit dB.A 45,9-53,9 48,38 70

Barat Pembangkit dB.A 58,4-69,1 65,10 70

Perkantoran dB.A 58,4-69,1 65,10 70

Sumber: Laporan Pemantauan dan Pengelolaan Lingkungan PLTD/G Pesanggaran (2016)

Efektvitas Penerapan AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Pada Pembangkit Listrik di Bali ..... [Helga Margareta Hunter, dkk.]

Page 68: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

68

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

5) Penurunan Biota air

Pengelolaan biota air dilakukan antara lain

dengan menyediakan waste water treatment dan

oil separator, penyediaan TPS limbah B3 untuk

oli dan sludge, dan melakukan treatment pada

air yang akan dibuang ke media lingkungan.

Pemantauan dilakukan dengan melakukan

penelitian biologi yang hasilnya dilaporkan secara

rutin kepada instansi terkait.

6) Pengelolaan dampak pada sosial ekonomi dan

budaya.

Pengelolaan dilakukan antara lain dengan

melakukan social mapping, membuat dan

menjalankan program CSR dan comdev, dan

berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat

setempat.

7) Pengelolaan dampak kesehatan

Pengelolaan lingkungan dilakukan berkaitan

dengan kecelakaan dan gangguan kesehatan

antara lain dengan penggunaan APD, penetapan

SOP, dan penanaman pohon untuk mengurangi

penyebaran polusi serta pelaksanaan jaminan

asuransi kesahatan terhadap pekerja dan

masyarakat yang terkena dampak.

8) Pelaksanaan pendukung pengelolaan lingkungan

lainnya

Selain pelaksanaan pengelolaan lingkungan yang

sesuai dengan RKL-RPL, PLTD/G Pesanggaran

juga melaksanakan pelaksanaan pengelolaan

lingkungan yang didasarkan pada ISO

14001:2004 tentang Sistem Manajemen

Lingkungan dan Sistem Manajemen

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).

PLTD/G Pesanggaran juga telah ikut dalam

Program Penilaian Peringkat Kinerja

Perusahaan (PROPER) yang merupakan salah

satu upaya Kementerian Negara Lingkungan

Hidup untuk mendorong penaatan perusahaan

dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui

instrumen informasi.

4. SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan

1. Penerapan Amdal oleh PLTD/G Pesanggaran

secara keseluruhan sudah cukup sesuai dengan

dokumen lingkungan. Beberapa kegiatan

pengelolaan dan pemantauan khususnya

kualitas limbah, air, dan emisi perlu

ditingkatkan termasuk dalam hal pelaporan

pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan.

2. Pengawasan pelaksanaan RKL-RPL yang

dilakukan oleh instansi melalui Badan

Lingkungan Hidup dilaksanakan secara

sistematis dan sudah efektif.

3. Dari hasil penelitian diketahui bahwa PLTD/G

Pesanggaran memiliki nilai efektivitas sebesar

94% dan berada pada kelompok atas dengan nilai

rentang 67–100% yang menunjukan bahwa

pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan

lingkungan sudah efektif.

4.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan

terhadap penerapan Amdal pada PLTD/G

Pesanggaran, saran yang dapat diberikan penulis

adalah pemrakarsa perlu melakukan kegiatan

pengelolaan dan pemantauan lingkungan secara

tepat waktu sesuai dengan arahan dokumen RKL-

RPL, termasuk dalam hal penyampaian pelaporan

pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan

lingkungan, khususnya terkait dengan kualitas

limbah, air dan emisi dengan bukti-bukti analisis

dan dokumen pendukung lainnya, serta pemrakarsa

harus menaati peraturan perundangan sesuai dengan

kondisi terkini secara cermat.

DAFTAR PUSTAKA

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik

Indonesia. 2016. Keputusan Menteri Energi dan

Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor

5899K/20/MEM/2016 tentang Pengesahan

Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listik PT

Perusahaan Listrik Negara (persero) Tahun 2016

s.d. 20255. Indonesia.

Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup. Lembaran Negara RI Tahun

2009, No. 140. Sekretariat Negara, Indonesia.

Pemerintah Republik Indonesia. 2012. Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun

2012 tentang Izin Lingkungan. Lembaran

Negara RI Tahun 2012, No. 48. Sekretariat

Negara, Indonesia.

Ross, W.A., A.M. Saunders, and R. Marshall. 2006.

Common Sense in Environmental Impact

Assessment: It Is Not as Common as It Should

Be. Impact Assessment and Project Appraisal,

volume 24 nomor 1.

Sabaruddin, A. K. 2007. Amdal dan Kewenangan

Bapedalda Dalam Menjaga Pelestarian Fungsi

Lingkungan Hidup di Kota Balikpapan. Risalah

Hukum Fakultas Hukum Unmul. 3 (1):13-20.

Sarbi, S. 2006. Strategi Pengembangan Kapasitas

Pengelolaan Lingkungan Hidup di Era Otonomi

Daerah Kabupaten Polmas Sulawesi Barat.

Jurnal Bumi Lestari, Volume 6 No. 2.

Page 69: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

69

Sari, Tri Fitri Puspita, Mochamad Makmur &

Mochamad Rozikin. 2014. Efektivitas

Implementasi UKL-UPL dalam Mengurangi

Kerusakan Lingkungan (Studi pada Badan

Lingkungan Hidup Kabupaten Malang dan

Masyarakat Sekitar PT Tri Surya Plastik

Kecamatan Lawang). Jurnal Administrasi

Publik (JAP). 2 (1):161-168.

Wahyono, Suntoro & Sutarno. 2012. Efektivitas

Pelaksanaan Dokumen Lingkungan Dalam

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup Di Kabupaten Pacitan Tahun 2012. Jurnal

EKOSAINS. 4 (2): 43-52.

Efektvitas Penerapan AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Pada Pembangkit Listrik di Bali ..... [Helga Margareta Hunter, dkk.]

Page 70: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

70

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

KERAGAMAN MIKOFLORA TANAH SUPRESIF

DALAM MENGENDALIKAN PENYAKIT AKAR GADA

PADA TANAMAN KUBIS (BRASSICA OLERACEA L.)

Ni Nengah Darmiati1) dan I Made Sudarma1*)

1)Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Udayana

*email: [email protected].

ABSTRACT

Cabbage (Brassica oleracea L.) was a vegetable crops cultivated in the highlands to meet the needs of the

community vegetable. The main obstacle was the cultivation of cabbage root disease outbreak mace (clubroot),

which until now have not found an effective control techniques. Clubroot disease caused by organisms that

resemble fungi: Plasmodiophora brassicae Wor. which was the soil inhibitant and soil borne pathogen.

Therefore, there must be a way to control environmentally friendly by using suppressive soil, find microbes

antagonists related to the cabbage plant habitat in the soil. The results showed that the index of diversity

both on suppressive and conducive soil of 1.2304 and 1.2811 respectively, and the index of dominance on the

suppressive and conducive soil were 0.6677 and 0.6838. Prevalence micoflora of the suppressive soil amounted

to 44.22 % and 43.06 % conducive soil all dominated by Fusarium spp. Microbial antagonist as a potential

control of P. brassicae was Trichoderma sp. Based on the analysis in the suppressive soil as much as 171 x

103 cfu /g soil, higher than on the conducive soil to 90 x 103 cfu /g soil.

Keywords: Cabbage (Brassica oleracea L.), supperessive and condussive soil, Palmodiophora brassicae,

prevalence, and soil inhibitant.

1. PENDAHULUAN

Tanaman kubis (Brassica oleracea L.) telah lama

dibudidayakan sebagai tanaman sayuran dan

merupakan sumber vitamin, mineral dan serat

(Keinath et al., 2006). Di Bali tanaman kubis-kubisan

banyak dibudidayakan didataran tinggi seperti

Baturiti-Tabanan, Candikuning-Buleleng dan

Kintamani-Bangli. Menurut Semangun (1989)

tanaman kubis-kubisan yang ditanam sekarang ini

telah menderita penyakit akar gada (clubroot) yang

disebabkan oleh jamur Plasmodiophora brassicae

Wor.). Kerugian yang disebabkan oleh penyakit akar

gada pada tanaman kubis-kubisan di Inggris,

Jerman, Amerika Serikat, Asia dan Afrika Selatan

mencapai 50-100%. Di Australia patogen ini

menyebabkan kehilangan hasil sekitar 10% setiap

tahun dengan kehilangan pendapatan sebesar US$

13 juta. Di Indonesia penyakit ini menyebabkan

kerusakan pada kubis-kubisan sekitar 88,60% dan

pada tanaman caisin sekitar 5,42-64,81% (Cicu,

2006).Usaha pengendalian terhadap penyakit akar

gada membutuhkan cara alternatif lain yang ramah

lingkungan, efisien dan efektif dibandingkan yang

hanya bertumpu pada pestisida sintetis. Untuk itu

pemanfaatan tanah supresif dengan peran mikroba

yang adadi dalamnya diharapkan lebih menjanjikan

untuk mengendalikan penyakit ini (Garbeva et al.,

2004). Mikroba di dalam tanah jumlah dan jenisnya

sangat banyak, tergantung tingkat kesuburan tanah.

Conklin (2008) menyatakan dalam satu gram tanah

terdapat bakteri 108-109 jenis. actinomycetes 107-

108 jenis per gram tanah, jamur terdapat 105-106

propagul per gram tanah. Mikroba ini (bakteri,

actinomycetes dan jamur) jumlahnya cukup besar

dalam tanah. Kalia dan Gupta (2005) menyatakan

bahwa perlu langkah konservasi apabila telah

mengetahui kegunaan dari keragaman mikroba

seperti : berperanan dalam biogeochemical dalam

siklus nutrisi, penggunaan lahan berkelanjutan,

produk mikroba untuk pertanian, biodegradasi dari

xenobiotik dan pemanfaatan untuk industri.

2. METODOLOGI

2.1.Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di dua tempat di

lapangan yaitu disentar produksi kubis Bali yakni

di Candi Kuning, tabanan dan Panca Sari, Buleleng.

Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai

dengan Juni 2015. Setelah sampel diperoleh

dilanjutkan dengan analisis mikroba tanah di

laoratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan fakultas

Pertanian Universitas Udayana.

2.2. Penelitian di Lapangan

Sampel tanah diperoleh dari habitat rizosfer

tanaman kubis sakit dan sehat yang diambil dari di

areal sentra tanaman kubis di sentra produksi kubis

ECOTROPHIC • 11 (1) : 70 - 75 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Page 71: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

71

Bali. Tanaman kubis yang sakit diamati, banyaknya

rumpun, jumlah tanaman sakit, sehingga dapat

ditentukan serangan penyakit dengan menggunakan

rumus yakni : jumlah tanaman sakit dibagi dengan

seluruh tanaman yang diamati kali 100%.

Pengambilan data tanah diambil berdasarkan hasil

survei pada sentra tanaman sehat dan sakit dengan

mengambil tanah di dekat perakaran tanaman kubis

sehat dan sakit dengan kedalam kurang lebih 20 cm

masing-masing sebanyak 100 gram, setiap tanaman

diambil 4 kali kemudian dicampur merata.

2.3. Penelitian di Laboratorium

A. Menentukan Populasi Mikoflora Tanah

Tanah sampel satu gram dilarutkan dalam air

steril kemudian dicampur dan divortek. Suspensi

tanah diencerkan sampai mencapai volume 10 ml.

Pengenceran bertingkat dilakukan 10-2 - 10-7 di

bawah kondisi steril. Suspensi diambil 1 ml

dituangkan ke dalam piring Petri bersama dengan

media biakan Media potato dextrose agar (PDA)

dengan campuran kentang 200 g, gula 15 g, agar 20

g dalam aquades 1000 ml dan livoplosaxin (antibiotik

antibakteri) dengan konsentrasi 0,1% (w/v)

digunakan untuk isolasi jamur. Lima cawan Petri

disiapkan untuk setiap larutan. Biakan diinkubasi

pada ruang gelap pada suhu 27±2oC, selanjutnya

koloni dihitung sebagai colony forming unit (CFU).

Koloni tunggal dipindahkan ke dalam cawan Petri

baru yang berisi media PDA dan diikubasi pada suhu

kamar. Isolat diidentifikasi secara makroskopis

setelah berumur 3 hari untuk mengetahui warna

koloni dan laju pertumbuhan, dan identifikasi secara

mikroskopis untuk mengetahui septa pada hifa,

bentuk spora/konidia dan sporangiofor (Samson et

al., 1981; Pitt dan Hocking, 1997; Barnett dan

Hunter, 1998; Indrawati et al., 1999).

B. Menentukan Indek Keragaman dan Dominasi

Mikroba Tanah

Keragaman dan dominasi mikroba tanah dapat

diketahui dengan menghitung indek keragaman

Shannon-Wiener (Odum, 1971) dan dominasi

mikroba tanah dihitung dengan menghitung indeks

Simpson (Pirzan dan Pong-Masak, 2008).

1) Indek keragaman mikroba

Indek keragaman mikroba tanah ditentukan

dengan indek keragaman Shannon-Wiener yaitu

dengan rumus (Odum, 1971):

(1)

Keterangan:

H’ = indek keragaman Shannon-Wiener

S = Jumlah genus

Pi = ni/N sebagai proporsi jenis ke i

(ni = Jumlah total individu jenis mikroba total

i,

N = Jumlah seluruh individu dalam total n)

Kriteria yang digunakan untuk menginter-

prestasikan keragaman Shannon-Wiener

(Ferianita-Fachrul et al., 2005) yakni: H’nilainya

< 1, berarti keragaman rendah, H’ nilainya 1 –

3 berarti keragaman tergolong sedang dan H’

nilainya > 3 berarti keragaman tergolong tinggi.

2) Indek dominasi

Indek dominasi mikroba tanah dihitung

dengan menghitung indeks Simpson (Pirzan

dan Pong-Masak, 2008), dengan rumus sebagai

berikut :S C = “ Pi2 i=1 Keterangan : C = indek

Simpson S = Jumlah genus Pi = ni/N yakni

proporsi individu jenis i dan seluruh individu (ni

= Jumlah total individu jenis i, N = Jumlah

seluruh individu dalam total n) Selanjutnya

indek dominasi spesies (D) dapat dihitung

dengan formulasi 1- C (Rad et al.2009).

Kreteria yang digunakan untuk menginter-

prestasikan dominasi jenis mikroba tanah

yakni: mendekati 0 = indek rendah atau semakin

rendah dominasi oleh satu spesies mikroba atau

tidak terdapat spesies yang secara ekstrim

mendominasi spesies lainnya, mendekati 1 =

indek besar atau cendrung didomnasi oleh

beberapa spesies mikroba (Pirzan dan Pong-

Masak, 2008).

3) Analisis Chi kuadrat

Keragaman mikroba tanah pada habitat

tanaman kubis dengan dan tanpa gejala sakit

lebih banyak atau sedikit dapat dibuktikan

dengan menggunakan analisis Chi kuadrat (X2),

atau t test dengan rumus (Gomes dan Gomes,

2007; Sugiyono, 2009):

(2)

Keterangan :

p = banyaknya kelas

ni = banyaknya satuan yang diamati yang

termasuk kelas i

Ei = banyaknya satuan yang diharapkan

termasuk ke dalam kelas i

Selanjutnya nilai Chi kuadrat hitung

dibandingkan dengan Chi kuadrat tabel, bila Chi

kuadrat hitung lebih kecil dari tabel, maka Ho

diterima dan sebaliknya.

Keragaman Mikoflora Tanah Supresif dalam Mengendalikan Penyakit Akar Gada pada Tanaman Kubis (Brassica Oleracea L.) [Nengah Darmiati, dkk.]

Page 72: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

72

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Populasi Jamur Tanah

Populasi jamur tanah di tiga lokasi baik di tanah

supresif maupun pada tanah kondusif (Gambar 1)

menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Pada

lokasi I jumlah koloni yang dapat ditemukan pada

tanah supresif sebanyak 22 x 103 cfu/g tanah, pada

tanah kondusif sebanyak 10 x 103 cfu/g tanah, pada

lokasi II tanah supresif sebanyak 90 x 103 cfu/g tanah

dan tanah kondusif 49 cfu/g tanah, pada lokasi III

pada tanah supresif sebanyak 75 x 103 cfu/g tanah,

dan pada tanah kondusif sebanyak 40 x 103 cfu/g

tanah (Gambar 2).

Hal ini menunjukkan bahwa pada tanah supresif

terdapat banyak mikoflora tanah dibadingkan pada

tanah kondusif. Berarti salah satu ada sebagai

mikroga antagonis yang menekan perkembangan

patogen penyebab penyakit akar gada di tiga lokasi

tersebut. Tanah bagi patogen tanaman adalah sebuah

rumah sakit, melalui pembatasan baik lamanya

bertahan hidup ataupun pertumbuhan patogen.

Setiap tanah diketahui menekan patogen atau

penyakit. Tanah supresif sangat ditentukan oleh

keragaman mikroba tanah, sedangkan keragaman

mikroba tanah dipengaruhi oleh tiga hal utama: (a)

tipe tanaman yang merupakan penentu utama

struktur dari komunitas mikroba dalam tanah,

seperti tanaman penyedia utama karbon dan sumber

energi, (b) tipe tanah merupakan penentu utama

komunitas mikroba, sperti kombinasi struktur dan

tekstur tanah, bahan organik, stabilitas

mikroagregat, pH, dan keberadaan hara kunci

seperti N, P, dan Fe menetukan habitat dalam tanah,

dan (c) cara mengelola pertanian yakni rotasi

tanaman, pengelohan tanah, herbisida, aplikasi

pemupukan dan irigasi juga menentukan struktur

komunitas mikroba tanah (Nannipieri, et al., 2003;

Garbeva et al., 2004).

Berdasarkan pengamatan selama penelitian

ditemukan hanya 7 spesies jamur yang

mengkolonisasi habitat tanah supresif maupun tanah

Gambar 1. Perbedaan tanah supresif (A) dan kondusif (B) yang ditanami kubis (sumber: dokumen pribadi)

Gambar 2. Jumlah koloni mikoflora tanah pada tanah supresif dan tanah kondusif

Page 73: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

73

kondusif. Ketujuh jamur tersebut antara lain:

Aspergillus spp., Aspergillus flavus, Aspergillus

niger, Fusarium spp., Penicillium spp., Rhizopus

spp., dan Trichoiderma spp. (Tabel 1).

3.2. Indek Keragaman, Dominasi dan

Prevalensi Mikoflora Tanah Supresif dan

Kondusif

Indek keragaman pada tanah supresif 1,2304

dalam kreteria rendah, dengan indek dominasi

sebesar 0,6677, prevalensi tertinggi ditemukan pada

Fusarium spp. sebesar 44,22%, sedangkan pada

tanah kondusif indek keragaman mencapai 1,2811,

dengan indek dominasi 0,6838. Prevalensi tertinggi

dicapai oleh Fusarium spp. sebesar 43,06%. Indek

keragaman menunjukkan variasi mikoflora yang

terdapat dalam habitat tanaman kubis di tiga lokasi.

Indek keragaman 1,2304 dan 1,2811 menunjukkan

indek yang rendah, yang ini diakibatkan ada

dominasi dari mikoflora lainnya yakni dalam hal ini

adalah Fusarium spp. sebesar 44,22% dan 43,06%

(Tabel 1).

Rendahnya indek keragaman disebabkan oleh

banyaknya jamur yang mendominasi pada tanah

supresif maupun tanah kondusif, dalam hal ini

adalah Fusarium spp., disamping Fusarium spp., ada

juga jamur Trichoderma spp. yang mendominasi

kedua pada tanah supresif sebesar 28,64.

Trichoderma spp. dikenal sebagai jamur mikoparasit

yang antagonis terhadap jamur lainnya dalam tanah

Ada beberapa mekanisme supresi biologi

penyakit tumbuhan meliputi: (1) antagonisme,

kemampuan dari mikroba spesifik yang

menguntungkan untuk menghasilkan antibiotic yang

dapat membunuh organism petogen, (2) kompetisi

untuk nutrisi dan energy, yakni pada beberapa kasus

organisme patogenik adalah competitor yang jelek

dalam hubungannya dengan mikroba yang

menguntungkan. Dalam nutrisi dan energy yang

terlibat dalam substrat, (3) kompetisi untuk

kolonisasi akar, hal ini berhubungan dengan penyakit

akar. Beberapa mikroba berguna memeiliki

kemampuan untuk mengadakan kolonisasi pada

akar tanaman sebelumpatogen dapat menginfeksi,

sehingga akar terlindungi, (4) induced systemic

resistence (ISR) atau systemic acquired resistence

(SAR), adalah sebuah mekanisme dimana gen

supresif aktif bekerja untuk menghadap patogen

penyebab penyakit, gen tanaman yang menyandi

senyawa ketahanan berkerja baik akibat rangsangan

mikroba berguna maupun patogen penyebab

penyakit (McKellar dan Nelson, 2003; Alexander,

2006; Singh dan Singh, 2008).

3.3. Uji Antagonistik

Hasil uji antagonistik (spora jamur Trichoderma

sp. terhadap P. brassicae pada tanaman sawi putih)

menunjukkan bahwa Trichoderma sp, dapat

menekan pertumbuhan jamur patogen P. brassicae.

Uji antagonistik dilakukan dengan cara mengamati

Tabel 1. Indek keragaman, dominasi dan prevalensi mikoflora tanah supresif dan kondusif

Tanah supresif Tanah kondusif

Nama jamur Populasi Prevalensi H’ Populasi Prevalensi H’

(x103cfu/g)** (%) (x103cfu/g) (%)

Aspergillus spp. 139 23,28 122 28,71

Aspergillus flavus 2 0,34 2 0,47

Aspergillus niger 3 0,50 1 0,24

Fusarium spp. 264 44,22 1,2304 183 43,06 1,2811

Penicillium spp. 9 1,51 25 5,88

Rhizopus spp. 9 1,51 2 0,47

Trichoderma spp. 171 28,64 90 21,18

Jumlah 597 425

**berbeda sangat nyata uji Chi kuadrat, H’ = indek keragaman

Tabel 2. Pengaruh pemberian spora jamur Trichoderma sp. sebagai jamur antagonsitik Plasmodiophora brassicae terhadap tinggi tanaman sawi putih

Perlakuan Tinggi tanaman (cm)

Tanpa Trichoderma sp. 15,50 d

Pengenceran spora Trichoderma sp. 10 ml (47,5 x 108 spora/ml) 19,67 a

Pengenceran spora Trichoderma sp. 30 ml (136 x 107 spora/ml) 18,37 b

Pengenceran spora Trichoderma sp. 50 ml (95 x 107 spora/ml) 17,73 c

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%

Keragaman Mikoflora Tanah Supresif dalam Mengendalikan Penyakit Akar Gada pada Tanaman Kubis (Brassica Oleracea L.) [Nengah Darmiati, dkk.]

Page 74: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

74

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

pertumbuhan tinggi tanaman sawi dari awal tanam

sampai dengan tanaman kontrol menampakkan

gejala akar gada. Hasil pengamatan uji antagonistik

dapat dilihat pada Tabel 2.

Pertumbuhan tinggi tanaman sawi putih pada

perlakuan dengan pemberian spora Trichoderma sp.

10 ml, menunjukkan pertumbuhan paling tinggi

yaitu 19,67 cm, dan pada perlakuan tanpa

Trichoderma sp. menunjukkan pertumbuhan yang

paling rendah yaitu 15,5 cm (Gambar 3). Dalam

analisis statistika menunjukkan pengaruh

pemberian spora jamur Trichoderma sp. nyata

terhadap pertumbuhan tanaman sawi. Tanaman

kubis tanpa perlakuan pertumbuhannya paling

rendah karena adanya serangan jamur P. brassicae

yang menyebabkan pertumbuhan tanaman sawi atau

kubis menjadi kerdil dan merana, karena adanya

pembengkakan pada sistem perakaran dari tanaman

kubis.

4. SIMPULAN DAN SARAN

4.1. Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat

disimpulkan sebagai berikut: Indek keragaman baik

pada tanah supresif maupun kondusif berturut

sebesar 1,2304 dan 1,2811, dan indek dominasi pada

tanah supresif dan kondusif berturut-turut sebesar

0,6677 dan 0,6838. Prevalensi mikoflora pada tanah

supresif sebesar 44,22% dan tanah kondusif 43,06%

semuanya dikuasai oleh Fusarium spp. Mikroba

antagonis yang potensial sebagai pengendalikan P.

brassicae adalah Trichoderma sp. Berdasarkan hasil

analisis pada tanah supresif sebanyak 171 x 103 cfu/

g tanah, lebih tinggi dibandingkan pada tanah

kondusif sebanyak 90 x 103 cfu/g tanah. Hasil uji

antagonistik dengan spora Ttrichoderma sp.

menunjukkan hasil yang signifikan dalam

mengendalikan penyakit akar gada yang telah diuji

cobakan pada sawi putih.

4.2. Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat

disarankan sebagai berikut: Sebaiknya dilakukan

analisis tanah untuk menentukan kandungan

tekstur dan struktur tanah, biologi dan kimiawi

tanah dalam mendukung data tanah supresif.

Mengingat patogen bersifat obligat, jadi agak

kesulitan dalam uji antagonistik secara buatan,

sehingga diperlukan uji antagonistik langsung di

lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, R. 2006. Compost and disease suppression,

R. Alexander Assiciates, Inc., a Copmany

specializing in organic recycled produkct and

market development, 1-5 p.

Barnett, H.L. and B.B. Hunter. 1998. Illustrated

Genera of Imperfect Fungi. APS Press. The

American Phytopathological Sociey. St Paul,

Minnesota. Pp. 218.

Cicu. 2006. Penyakit akar gada (Plasmodiphora

brassicae Wor.) pada tanaman kubis-kubisan dan

upaya pengendaliannya. Jurnal Litbang

Pertanian, 25(1): 16-21.

Conklin, A.R. 2002. Soil Microorganisms. Soil

Sediment and Water. Http://www.aehsmag.com/

issues/2002/januray/microorganisms.htm.

AEHS Magazine. Disitir tanggal 10 Oktober

2008. 2h.

Ferianita-Fachrul, M., H. Haeruman, dan L.C.

Sitepu. 2005. Komunitas Fitoplankton Sebagai

Bio-Indikator Kualitas Perairan Teluk Jakarta.

FMIPA-Universitas Indonesia Depok.

Garbeva, P., J.A. van Veen and J.D. van Elas. 2004.

Microbial diversity in soil: selection of microbial

population by plant and soil type and implications

for disease suppressiveness. Annu. Rev.

Phytopathol. 42: 243-270.

Gomes, K.A. dan A.A. Gomes, 2007. Prosedur

Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi

kedua. Penerbit Universitas Indonesia (UI-

Press).

Indrawati. G., R.A. Samson, K. Van den Tweel-

Vermeulen, A. Oetari dan I. Santoso. 1999.

Pengenalan Kapang Tropik Umum. Yayasan

Obor Indonesia. Universitas Indonesia

(University of Indonsia Culture Collection) Depok,

Indonsia dan Centraalbureau voor

Schirmmelcultures, Baarn, The Netherlands.

Kalia, A. And R.P. Gupta. 2005. Conservation and

Utilization of Microbial Diversity. NBA Scientific

Bulletin Number-1. National Biodiversity

Authority. Chennai, Tamilnadu, India. Pp: 35.

Keinath, A.P., M.A. Cubeta and D.B. Langston, Jr.

2006. Cabbage Diseases: Ecology and Control.

Encyclopedia of Pest Management DOI. Taylor

and Francis.

Page 75: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

75

McKellar, M.E., and E.B. Nelson, 2003. Compost-

Induced Suppression of Pyhthium Damping-off

is Mediated by Fatty-Acid-Metabolizing Seed-

Colonizing Mikrobial Communities. Applied and

Environemental Microbiology 69(1): 452-460.

Nannipieri, P., J. Ascher, M.T. Ceccherini, L. Landi,

G. Pietramellara and G. Renella. 2003. Micronial

diversity and soil functions. Europe Journal od

Soil Science 54:655-670.

Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. Third

Edition. W.B. Saunders Company.Philadelphia,

Toronto, London. Toppan Company, Ltd. Tokyo,

Japan.

Pirzan, A.M., dan P. R. Pong-Masak. 2008.

Hubungan Keragaman Fitoplankton dengan

Kualitas Air di Pulau Bauluang, Kabupaten

Takalar, Sulawesi Selatan. Biodiversitas, 9 (3)

217-221.

Pitt, J.I. and A.D. Hocking. 1997. Fungi and Food

Spoilage. Blackie Avademic and Professional.

Second Edition. London-Weinhein-New York-

Tokyo-Melboune-Madras.

Rad, J.E., M. Manthey and A. Mataji. 2009.

Comparison of Plant Species Diversity with

Different Plant Communities in Deciduous

Forests. Int. J. Environ. Sci. Tech, 6(3): 389-

394.

Samson, R.A., E.S. Hoekstra, and C. A.N. Van

Oorschot. 1981. Introduction to Food-Borne

Fungi. Centraalbureau Voor-Schimmelcultures.

Institute of The Royal Netherlands. Academic of

Arts and Sciences.

Semangun, H. 1989. Penyakit-penyakit Penting

Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah

Mada Press. Yogyakarta.

Sinh, D.P. and H.B. Singh. 2008. Microbial wealth

regulate crop quality and soil health. Knowledge

Treasure on ELISA. Departement of Mycology

and Plant Pathology, Institute of Agriculture

Sciences, Baranas Hindu University, 25-26 p.

Sugiyono, 2009. Statistika untuk Penelitian. Penerbit

Alfabeta. Bandung.

Keragaman Mikoflora Tanah Supresif dalam Mengendalikan Penyakit Akar Gada pada Tanaman Kubis (Brassica Oleracea L.) [Nengah Darmiati, dkk.]

Page 76: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

76

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

EVALUASI DAN PENETAPAN LAHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN

UNTUK PENCEGAHAN ALIH FUNGSI LAHAN

DI KABUPATEN BANGLI

I Made Adnyana1*), I Nyoman Puja, 1) I Dewa Made Arthagama1)

1)Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Udayana

*Email : [email protected]

ABSTRACT

The research was done in the area of paddy soil in Bangli District, Bangli Regency to identification,

evaluation, and mapping the paddy soil area that have to maintain as a sustainable agriculture. To achieve

these objectives, the research conducted through several activities, namely: soil survey and environment,

physical and chemistry of soil analysis, and mapping the model of the prevented exchangeable paddy soil

functions. Depend on plan lay out space (called RTRW) of Bangli regency, there were two models of sustainable

agriculture decision at district of Bangli, where in each model, land (Subak) mapping as subak everlasting,

subak buffer, and Subak convertion. Subak convertion was have opportunity to changing function. Subak

convertion of Model I as 158,68 ha (2011 – 2021) and Model II as 78,14 ha (2021 – 2031) respectively.

Keyword: sustainable agriculture, changing land function, land (subak) mapping

1. PENDAHULUAN

Pemerintah Republik Indonesia sudah

menghasilkan Undang Undang Republik Indonesia

Nomor 41 Tahun 2009, tentang Perlindungan Lahan

Pertanian Berkelanjutan. Ruang lingkup perlin-

dungan lahan pertanian mencakup perencanaan dan

penetapan, pengembangan, penelitian, pemanfaatan,

pembinaan, pengendalian, pengawasan, system

informasi, pemberdayaan petani, pembiayaan, dan

peran serta masyarakat. Dalam pasal 11 Undang

Undang tersebut diamanatkan perencanaan lahan

pertanian berkelanjutan disusun baik di tingkat

nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota; dengan

tujuan untuk pencegahan alih fungsi lahan pertanian

yang tidak terkontrol. Persyaratan minimum

pembangunan berkelanjutan adalah terpeliharanya

dengan baik segala sesuatu yang diberikan oleh alam

(total natural capital stock) pada tingkat yang sama

atau kalau bisa lebih tinggi dibandingkan dengan

keadaan sekarang (Saragih, 2002; dan Thuc Son, and

Quang Ha. 2002)

Kabupaten Bangli dengan luas wilayah 520,81

km2 atau 9,25% dari luas wilayah Provinsi Bali

memiliki lahan pertanian seluas 36.327 ha, terdiri

atas lahan sawah 2.886 ha dan lahan bukan sawah

33.441 ha (Bangli Dalam Angka 2016 dan Pasedahan

Agung, 2013). Lahan sawah Kabupaten Bangli tidak

hanya penting untuk produksi padi dan ketahanan

pangan, tetapi nilai-nilai budaya agrarisnya dan

lahan dengan lansekap yang indah dan eksotik

merupakan faktor yang sangat penting bagi

perkembangan pariwisata dan sektor-sektor lainnya.

Upaya mempertahankan integritas budaya dan

lansekap fisik tentu bukan hal yang mudah karena

pembangunan akan selalu membawa perubahan

terhadap ekosistem (Reijntjes, at.al, 2006 ; Nguyen

Van Bo, 2002; Adnyana, 2006, dan Adnyana, 2010)

Pembangunan pariwisata harus memperhatikan

kelestarian lingkungan, karena perkembangan

pariwisata menyebabkan kebutuhan keruangan

untuk prasarana fisik dan aktifitas sosial budaya.

Kecenderungan terlalu mengedepankan sektor favorit

pariwisata telah terbukti diberbagai tempat lainnya

sebagai akar penyebab terjadinya lingkungan yang

tidak seimbang, keindahan dan estetika lingkungan

terancam, dan pembangunan yang tidak

berkelanjutan. Untuk itu, perlu dilakukan kajian

penentuan dan penetapan lahan pertanian

berkelanjutan untuk kelestarian lingkungan

Kabupaten Bangli. Kegiatan ini sangat penting,

karena berdasarkan hasil kajian yang akan

dilakukan akan teridentifikasi dan dapat dipetakan

lahan-lahan pertanian yang harus dipertahankan

sebagai lahan pertanian berkelanjutan, tidak boleh

dialihfungsikan dengan pertimbangan komprehensif

mulai dari aspek geografis dan lokasinya strategis,

sosial-ekonomi-budaya, potensi dan kesesuaian alam,

estetika lingkungan, nice view, dan lain-lain.

2. METODOLOGI

2.1. Survei Kondisi Sawah dan Lingkungan

Penelitian dilakukan pada areal sawah yang

tersebar di Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli,

melalui metode survey yang dilakukan baik ke Dinas

Pertanian, Perkebunan, dan Perhutanan, Bappeda

ECOTROPHIC • 11 (1) : 76 - 80 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Page 77: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

77

Dan PM Kabupaten Bangli, maupun ke kelian subak.

Pada setiap subak dikumpulkan informasi sebagai

beriut : (1) kesesuaian lokasi sawah dengan RTRW,

(2) penggunaan lahan, (3) posisi subak pada DAS dan

satuan administrasinya, (4) air irigasi, (5) curah

hujan, (6) bentuk wilayah, (7) elevasi, (8) kesesuaian

lahan, (9) produktivitas lahan, (10) jarak subak dari

pusat kota, (11) luas lahan, (11) view, dan (12)

keberadaan tempat suci. Semua informasi tersebut

diberi bobot, skor dan nilai sesuai metode strategi

pengendalian alih fungsi lahan oleh Subadiyasa et

al. (2013), yang telah dimodifikasi oleh penulis

2.2. Analisis Karakterestik Tanah

Pengambilan contoh tanah dilakukan di seluruh

Subak yang tersebar di Kecamatan Bangli,

Kabupaten Bangli. Tanah diambil pada lapisan olah

sedalam 30 cm, sehingga terkumpul 46 sampel.

Contoh tanah dikering-udarakan, ditumbuk dan

diayak dengan saringan 2 mm, selanjutnya dianalisis

karakterestik tanah seperti Tabel 1. Di samping itu

dicatat pula data pendukung seperti : lereng,

kedalaman efektif, singkapan batuan, curah hujan,

kondisi banjir, dan teknik budidaya yang dilakukan

petani. Selanjutnya, berdasarkan data tersebut,

dilakukan evaluasi kesesuaian lahan, menggunakan

metode oleh Puslittanak, Bogor (1997).

Tabel 1. Analisis Laboratorim Karakterestik Tanah

No Macam Analisis Metode

1 Tekstur tanah Pipet

2 Kapasitas Tukar Kation (KTK) Ekstrak NH4Oac. pH 7

3 Kejenuhan Basa Ekstrak NH4Oac. pH 7

4 pH tanah pH meter

5 Salinitas Tanah Conductometer

6 N total Kjeldhal

7 P tersedia Bray 1

8 K tersedia Bray 1

9 C organik Black and Walkley

2.3. Pemetaan model alih fungsi lahan

pertanian

Langkah-langkah pemodelan :

1. Penyiapan Software QGIS 2.10.01 dan ArcGis

10.3, Data Citra Quickbird Tahun 2013

Kabupaten Bangli Liputan Tahun 2012 yang

telah di Orthoretrifikasi.

2. Penyiapan Data-data Spasial per parameter

dengan format shp, kemudian di registrasi dan

disamakan system proyeksi koordinatnya

menjadi UTM WGS 50 s.

3. Setelah itu masing-masing data parameter

digitas ditambahkan kolom keterangan, skor,

dan nilai, kemudian diisi sesuai dengan data

skoring parameter.

4. Melakukan proses Geoprcesing (overlay) dengan

jenis Intersect seluruh data spasial parameter.

5. Kemudian hasil overlay di tambahkan kolom

skor total dan dihitung total dalin keseluruhan

nilai parameter.

6. Database hasil overlay dipindahkan kedalam

excel, kemudian dilakukan pencarian Ring

Populasi untuk mengetahui kelompok sebaran

data hasil overlay digital.

7. Kemudian dari skor total dilakukan proses

klasifikasi (pemodelan) dengan mencari data rata-

rata, jumlah data hasil overlay digital, standar

deviasi. Klasifikasi dilakukan dengan beberapa

pemodelan dari data rata-rata dan standar

deviasi.

8. Kemudian data –data klasifikasi di input

kedalam database digital untuk dilakukan

klasifikasi spasial di Qgis. Dan didapatkan

Batas-batas Zonasi Subak dalam beberapa

pemodelan.

9. Setelah itu dilakukan pengukuran luas untuk

mendapatkan luas subak lestari, penyangga,

dan terkonversi dari setiap pemodelan zonasi

sawah.

10. Proses kartografi (layout) peta-peta (11 Peta

Parameter + 4 Peta Pemodelan).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Model Penetapan lahan Pertanian

Berkelanjutan

Kabupaten Bangli memiliki RTRW yang berlaku

mulai tahun 2011 dan berakhir pada tahun 2031.

Model penetapan lahan pertanian berkelanjutan

disusun selama periode berlakunya RTRW. Model I

berlaku mulai tahun 2011 sampai 2021 yang terdiri

dari luas Subak Lestari = 115,53 ha; luas Subak

Penyangga = 361,40 ha; dan luas Subak Terkonversi

= 158,68 ha. Model II berlaku mulai 2021 sampai

2031, yang terdiri dari luas Subak Lestari = 412,35

ha; luas Subak Penyangga = 145,13ha; dan luas

Subak Terkonversi = 78,14ha. Data selengkapnya

disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2

Berdasarkan citra satelit, luas lahan sawah di

Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli adalah 635,58

ha; sedangkan menurut RTRW, sawah yang berada

di zone pertanian adalah 458,89 ha, sawah di luar

zone pertanian adalah 176,66 ha, dan non sawah di

zone pertanian adalah 137, 99 ha. Sebaiknya alih

fungsi lahan dilakukan pada areal sawah diluar zone

pertanian atau areal non sawah, sesuai aturan

perundangan yang berlaku, serta sebaran dan

luasnya di masing masing desa bervariasi (Tabel 2).

Evaluasu dan Penetapan Lahan Pertanian Berkelanjutan Untuk Pencegahan Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Bangli [I Made Adnyana, dkk.]

Page 78: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

78

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Gambar 1. Fungsi lahan, Model I

Page 79: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

79

Gambar 2. Fungsi Lahan, Model II

Evaluasu dan Penetapan Lahan Pertanian Berkelanjutan Untuk Pencegahan Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Bangli [I Made Adnyana, dkk.]

Page 80: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

80

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

4. SIMPULAN DAN SARAN

4.1. Simpulan

Terkait dengan masa berlakunya RTRW

Kabupaten Bangli, terdapat dua model penetapan

lahan pertanian berkelanjutan di Kecamatan Bangli,

Kabupaten Bangli, dimana pada masing masing

model, lahan (subak) dirinci sebagai subak lestari,

subak penyangga, dan subak terkonversi. Lahan

pertanian (subak) terkonversi adalah lahan yang

mempunyai peluang untuk beralih fungsi. Pada

model I (2011- 2021), lahan terkonversi adalah

158,68 ha, sedangkan model II, lahan terkonversi

menjadi 78,14 ha (2021- 2031).

4.2. Saran

Penetapan lahan pertanian berkelanjutan

hendaknya dilakukan pada lahan pertanian lestari,

sedangakan alih fungsi lahan pertanian ke non

pertanian sebaiknya diprioritaskan pada lahan

pertanian terkonversi

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, I.M. 2006. Teknologi Zone Agroekologi

dalam Pembangunan Pertanian Berwawasan

Lingkungan. Jurnal lingkungan hidup. Bumi

Lestari. (6) : 1. Pusat Penelitian Lingkungan

Hidup Lembaga Penelitian Universitas

Udayana, Denpasar

Adnyana, I.M. 2010.Peningkatan kualitas tanah

dalam mewujudkan produktivitas lahan

pertanian secara berkelanjutan.Bumi Lestari.

(11) : 1. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup

Tabel 2. Sebaran dan luas sawah terkonversi (alih fungsi) di Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli

Model 1 (ha) Model 2 (ha)

No Desa Luas Sawah (ha)

Lestari Penyangga Terkonversi Lestari Penyangga Terkonversi

1 Bunutin 110.97 0 100.56 10.41 78.40 18.87 13.70

2 Taman Bali 158.63 0 142.40 16.23 95.17 38.82 24.77

3 Bebalang 132.89 0.85 0 132.04 49.97 62.38 20.54

4 Kawan 107.41 35.82 71.59 0 73.79 14.35 19.27

5 Cempaga 125.72 78.87 46.85 0 115.02 10.70 0

Total 635.62 115.54 361.4 158.68 412.35 145.12 78.28

Lembaga Penelitian Universitas Udayana,

Denpasar

Nguyen Van Bo. 2002. The role of fertilizer in modern

agriculture production in Vietnam. P 1-9. http:/

/www.fadinap.org/vietnam/fertilizer.html

Kabupaten Bangli Dalam Angka 2016. Badan Pusat

Statistik Kabupaten Bangli

Pasedahan Agung. 2013. Data Subak/Subak Abian

di Kabupaten Bangli. Dinas Pendapatan/

Pasedahan Agung Kabupaten Bangli

Reijntjes, C.; B. Haverkort and A. Water Bayer.

2006. Farming for the future. An Introduction

to low-external-input and sustainable

agriculture. The MacMillan Press Ltd, London.

Cetakan ke 8, edisi Indonesia oleh Kanisius

Saragih, B. 2002. Kebijakan Pemberdayaan Lahan

Kering untuk Mendukung Pembangunan

Pertanian Berkelanjutan.Lokakarya Kurikulum

Inti Facultas Pertanian se Indonesia. Mataram,

26-28 Mei 2002.

Thuc Son, and Quang Ha. 2002. Some feature of

fertilizer need and fertilizer production in

Vietnam. http://www.fadinap.org/vietnam/

fertilizer.html

Subadiyasa, N.N; I.Lanya; dan K. Sardiana. 2010.

Strategi pengendalian alih fungsi lahan subak

berbasis masyarakat dan upaya peningkatan

produktivitas lahan di kabupaten Tabanan, Bali.

Laporan penelitian. Universitas Udayana

Winarno, S. 2005. Kesuburan tanah. Dasar-dasar

kesehatan tanah dan kualitas tanah. Gava

Media, Yogjakarta

Page 81: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

81

PEDOMAN PENULISAN

JUDUL MANUSCRIPT

Nama Penulis1*), Nama Penulis2), Nama Penulis3)

1)Insitusi penulis pertama, alamat2)Insitusi penulis kedua, alamat3)Insitusi penulis ketiga, alamat

*)Email: [email protected]

ABSTRACT

Judul manuscript ditulis dengan huruf kapital times new roman ukuran 14 tebal, nama-nama penulis

ditulis dengan jenis huruf times new roman 12, sedangkan institusi penulis dan email penulis pertama

(correspondent author) ditulis dengan huruf times new roman 11. Abstrak ditulis dalam bahasa inggris,

huruf times new roman ukuran 12. Setelah abstrak, ditulis kata kunci (Keywords) minumum 4 kata kunci

yang dipisahkan oleh tanda titik koma (;).

Keywords: Kata Kunci; Kata Kunci; Kata Kunci; Kata Kunci

1. PENDAHULUAN

Isi teks manuscript ditulis dengan jenis huruf Times New Roman dengan ukuran huruf 12 dan

spasi 12 pt (1 spasi). Setiap paragraf baru baris pertama maju (first line) sebesar 0.25 inchi. Penulisan

Bab Manuscript atau selevelnya (Abstrak, Pendahuuan, metodologi, hasil dan pembahasan dan daftar

pustaka) ditulis dengan huruf times new roman kapital ukuran 12 dan bold, rata kiri, spasi sebelumnya

(space before) 18 pt dan setelahnya (space after) adalah 6 pt. Penulisan kutipan dan daftar pustaka

menggunakan Harvad style. Setiap penulis yang pendapatnya disitir dalam teks harus disebutkan

namanya dalam teks dan dituliskan dalam daftar pustaka. Contoh penulisan dalam teks adalah: Komar

(1983) menyatakan bahwa.... atau ..... (Komar, 1983; Eryani et al., 2009).

2. METODOLOGI

2.1. Sub Bab

Penulisan sub bab ditulis dengan huruf times new roman ukuran 12 dan bold, spasi sebelum (space

before) penulisan Sub-bab adalah 12 pt dan setelahnya (apace after) adalah 6 pt. Tabel ditulis dengan

menggunakan sistem tabel pada MS Word. Judul tabel ditulis dengan huruf times new roman ukuran

12 dan diletakan di atas tabel dengan rata tengah. Garis pada tabel hanya diisi garis horizontal pada

judul tabel dan akhir tabel (Tabel 1).

Tabel 1. Kondisi Terumbu Karang Nusa Penida Pada Kedalaman 3 Meter

Desa LCC H’ E D HC/LCC

Pajukutan 74,7 2,9 0,7 0,2 0,75

Batu Nunggul 81,3 2,2 0,6 0,4 0,84

Batu Madeg 78,7 3,0 0,8 0,2 0,81

Kutampi Kaler 60,0 2,9 0,8 0,2 0,78

Jungut Batu 83,7 2,3 0,6 0,3 0,96

Lembongan 78,3 2,8 0,7 0,2 0,94

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar dimasukan dalam teks dengan format *.jpg dan rata tengah. Gambar harus memiliki

resolusi minimal 300 dpi. Judul gambar diletakan setelah gambar dan rata tengah dengan huruf times

new roman ukuran 12 (Gambar 1). Persamaan ditulis dengan menggunakan fungsi MathType

equationpada MS Word dengan rata tengah diikuti dengan nomor persamaan tersebut rata kanan,

berupa angka yang diapit oleh kurung buka dan kurung tutup (Persaman 1).

Page 82: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

82

ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395

Gambar 1. Peta Satuan Wilayah Pengelolaan dan Titik Pengambilan Data LIT

(1)

4. SIMPULAN DAN SARAN

Penulisan daftar pustaka ditulis dengan Harvad style seperti contoh dibawah. Penulisan daftar

pustaka menggunakan huruf times new roman ukuran 12 dengan spasi setelah (after) adalah 6 pt.

DAFTAR PUSTAKA

Chen, S., Chen, L., Liu, Q., Li, X., Tan, Q. 2005. Remote sensing and GIS based integrated analysis of

coastal changes and their environmental impacts in LingdingBay, Pearl River Estuary, South China.

Ocean and Coastal Management, 6 (48): 65–83.

Eryani, I.G.A.P., Ardantha, I.M., Sinartha, I.N. 2009. Pengaruh Perubahan Iklim Global terhadap

Karakteristik Kerusakan Pantai di Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Bali, Indonesia: Pusat Penelitian

Lingkungan Hidup, WarmadewaUniversity.

Handoko, P. 2007. “Mediasi Konflik Penanganan Kerusakan Pantai: Studi kasus Penanganan Abrasi Pantai

Kuta Bali” (thesis).Semarang: DiponegoroUniversity.

Komar, P. D. 1983. Beach Processes and Erosion. In: Komar, P.D., Moore, J.R., editors. CRC Handbook of

Coastal Processes and Erosion. 3rd Ed. Boca Raton, Florida: CRC Press Inc. p.1–20.

Philander, S.G. 1990. El Niño, La Niña, and the Southern Oscillation. San Diego, CA: Academic Press. 289

pp.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. 8 Juli 2003. Jakarta,

Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 4301.

Page 83: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

83

CARA BERLANGGANAN

Untuk berlangganan Jurnal ECOTROPHIC secara berkala, dimohon mengisi formulir (dapat di fotocopy) dibawah ini, setelah dilengapi dikirik ke alamat :

Redaksi ECOTROPHICProgram Studi Magister Ilmu LingkunganProgram Pascasarjana Universitas UdayanaJl. PB. Sudirman Denpasar 80232 Bali.

Harga langganan untuk satu tahun (dua volume) termasuk ongkos cetak dan kirim adalah Rp. 35.000,- untukPulau Bali, dan Rp. 45.000,- unhtuk luar Bali.

Pembayaran dapat dilakukan melalui :- Pos wesel- Pembayaran langsung

Kepada Yth.Redaksi ECOTROPHICProgram Studi Magister Ilmu LingkunganProgam Pascasarjana Universitas UdayanaJl. PB. Sudirman Denpasar 80232 Bali.

Nama : ..................................................................................................

Instansi : ..................................................................................................

Alamat : ..................................................................................................

Edisi : ..................................................................................................

Status : a. Individu b. Instansi/Lembaga

Pembayaran : a. Transfer b. Wesel C. Langsung

Page 84: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

VOLUME 11 NO. 1 MEI 2017 p-ISSN: 1907-5626 e-ISSN: 2503-3395

ECOTROPHICJURNAL ILMU LINGKUNGAN

JOURNAL OF ENVIRONMENT SCIENCE

KETUA DEWAN REDAKSI

Prof. Dr. I Wayan Nuarsa, MSi.

REDAKTUR PELAKSANA

Prof. Sudiana Mahendra, Ph.D.

Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD.

Prof. Dr. I Wayan Budiarsa Suyasa, MS.

Prof. Dr. I Gede Mahardika, MS.

Dr. Ir. I Made Adhika, MSP.

Assoc. Prof. Dr. Takahiro Osawa

Ir. I Gusti Bagus Sila Dharma, MT, Ph.D.

Abd. Rahman As-syakur, SP,M.Si.

KESEKRETARIATAN

Ni Putu Indah Rahadiyani

I Made Karsika

KANTOR

Program Studi Magister Ilmu Lingkungan

Program Pascasarjana UniversitasUdayana

Gedung Pasca Lantai 1, Ruang 22

Jl. PB. Sudirman, 80232

phone: +62 361 261182.

e-mail: [email protected]

Ecotrophic, Journal of Environmental Science atau yang disingkat EJES,

merupakan media publikasi bagi hasil-hasil penelitian, artikel dan resensi buku dibidang ilmu

lingkungan. EJES adalah peer-reviewed, diterbitkan oleh Program Studi Ilmu Lingkungan,

Program Pascasarjana Universitas Udayana.

i

Page 85: ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI ... · 2017. 7. 5. · 1 ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA

VOLUME 11 NO. 1 MEI 2017 p-ISSN: 1907-5626 e-ISSN: 2503-3395

ECOTROPHICJURNAL ILMU LINGKUNGAN

JOURNAL OF ENVIRONMENT SCIENCE

DAFTAR ISI

ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANANDI DANAU BUYAN KABUPATEN BULELENG, PROVINSI BALI

I Wayan Rian Riki Saputra, I Wayan Restu, Made Ayu Pratiwi ....................................................................................... 1-7

BIODEGRADASI REMAZOL BRILIANT BLUE DALAM SISTEM BIOFILTRASI VERTIKAL DENGAN INOKULUM BAKTERIDARI SEDIMEN SUNGAI MATI IMAM BONJOL DENPASAR

Luh Putri Kriswidatari, I W Budiarsa Suyasa, dan I Made Siaka .................................................................................... 8-14

STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG MANUCOCO BERBASIS MASYARAKATDI KOTA ADMINISTRATIF ATAURO, DILI TIMOR-LESTE

Ernesto Matos Soares, I Made Antara, I Made Adhika ................................................................................................ 15-22

STATUS DAN STRATEGI PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERHOTELANDI KAWASAN KOTA MADYA DILI TIMOR - LESTE

Adalgisa D.D.G. Alvares, Budiarsa Suyasa, Syamsul A. Paturusi ............................................................................... 23-28

PENGARUH JUMLAH BAKTERI METHANOBACTERIUM DAN LAMA FERMENTASITERHADAP PROPORSI GAS METANA (CH

4) PADA PENGOLAHAN SAMPAH ORGANIK DI TPA SUWUNG DENPASAR

I Putu Yudiandika, I Wayan Suarna dan I Made Sudarma .......................................................................................... 29-33

RESIDU PESTISIDA GOLONGAN ORGANOFOSFAT KOMODITAS BUAH CABAI MERAH (Capsicum annuum L.)PADA BERBAGAI LAMA PENYIMPANAN

I G A Surya Utami Dewi, I Gede Mahardika, Made Antara .......................................................................................... 34-39

BIODEGRADASI ZAT WARNA REMAZOL BLACK B SECARA AEROBIK- ANAEROBIK DALAM SISTEM BIOFILTRASIVERTIKAL DENGAN MENGGUNAKAN TANAMAN TALAS (Colocasia esculenta)

Febby Hartesa W, I Wayan Budiarsa Suyasa, I Nengah Simpen ................................................................................. 40-46

DAMPAK KEGIATAN PERTANIAN TERHADAP TINGKAT EUTROFIKASI DAN JENIS – JENIS FITOPLANKTONDI DANAU BUYAN KABUPATEN BULELENG PROVINSI BALI

Ni Putu Vivin Nopiantari, I Wayan Arthana dan Ida Ayu Astarini ................................................................................ 47-54

HUBUNGAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS (TB) DI KECAMATAN KUTAI Made Mudana, Nyoman Adiputra, I.B.G. Pujaastawa ............................................................................................... 55-61

EFEKTIVITAS PENERAPAN AMDAL DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP PADA PEMBANGKIT LISTRIKDI BALI – STUDI KASUS PLTD/G PESANGGARAN

Helga Margareta Hunter, Made Sudiana Mahendra, I.G.B. Sila Dharma ...................................................................... 62-69

KERAGAMAN MIKOFLORA TANAH SUPRESIF DALAM MENGENDALIKAN PENYAKIT AKAR GADAPADA TANAMAN KUBIS (BRASSICA OLERACEA L.)

Ni Nengah Darmiati dan I Made Sudarma ................................................................................................................. 70-75

EVALUAI DAN PENETAPAN LAHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN UNTUK PENCEGAHAN ALIH FUNGSI LAHANDI KABUPATEN BANGLI

I Made Adnyana, I Nyoman Puja, I Dewa Made Arthagama ....................................................................................... 76-80

Pedoman Penulisan .............................................................................................................................................................. 81

ii