Click here to load reader
Analisis Kebijakan Penguatan
Kemandirian Daerah dan Akselerasi
Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah
Tri Widodo W. Utomo
NDH 53
Dik
latp
im T
ing
ka
t II
An
gk
ata
n X
XX
I K
ela
s B
,
Jak
art
a 2
01
1
DIT
In
div
idu
al
Ka
jia
n K
eb
ija
ka
n P
ub
lik
1
LAPORAN INDIVIDUAL ISU TERPILIH KAJIAN KEBIJAKAN PUBLIK
“Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi
Pembangunan Sosial Ekonomi”
DAFTAR ISI Daftar Isi ………………………………………………………………………………. 1
A. Judul Isu Terpilih …………………………………………………………………. 2
B. Deskripsi Isu Terpilih ……………………………………………………………… 2
C. Masalah Pokok …………………………………………………………………….. 3
D. Analisis dan Pemecahan Masalah ……………………………………………….. 4
1. Identifikasi Masalah Berdasarkan Teori Gunung Es (Iceberg Theory) …… 4 2. Agenda Setting …………………………………………………………………. 6 3. Analisis Sistem Kebijakan …………………………………………………….. 8 4. Perumusan Masalah / Pengkajian Persoalan ………………………………. 9 5. Penetapan Tujuan dan Peramalan Kebijakan Publik …………………….. 11 6. Perumusan Aternatif, Penentuan Kriteria, dan Penilaian Alternatif ……… 12 7. Sinergi Antar Instansi Pemerintah Dalam Kebijakan Penguatan
Kemandirian Daerah …………………………………………………………… 14
E. Simpulan dan Rekomendasi ……………………………………………………… 15
1. Simpulan ……………………………………………………………………….. 15 2. Rekomendasi ………………………………………………………………….. 16
Daftar Pustaka …………………………………………………………………………. 16
2
LAPORAN INDIVIDUAL ISU TERPILIH
KAJIAN KEBIJAKAN PUBLIK
NAMA PESERTA : Tri Widodo Wahyu Utomo
NDH : 53
KELAS/KELOMPOK : B / B-3
INSTANSI : Lembaga Administrasi Negara
A. JUDUL ISU TERPILIH:
“Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan
Sosial Ekonomi Daerah”
B. DESKRIPSI ISU TERPILIH
Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah seluas-luasnya (pasal 1 UU No.
32/2004) telah berjalan lebih dari satu dekade. Namun tujuan kebijakan untuk
meningkatkan kemandirian daerah guna mengakselerasi pembangunan sosial
ekonomi nampaknya belum dapat diwujudkan. Fenomena empirik justru
menunjukkan gejala sebaliknya, yakni semakin tingginya tingkat ketergantungan
pemerintah daerah (khususnya kabupaten/kota) terhadap pusat. Kajian Suhendra
dan Amir (2006) atau Hirawan (2007), misalnya, menunjukkan bahwa rata-rata
ketergantungan kabupaten/kota terhadap dana perimbangan dari pusat sebesar 85
hingga 90 persen, sedangkan rata-rata ketergantungan provinsi sebesar 55 sampai
dengan 70 persen.
Ada 2 (dua) kemungkinan skenario yang terjadi sebagai akibat dari fakta
adanya ketergantungan finansial daerah terhadap pusat tersebut.
Pertama, pemerintah daerah menggali sumber-sumber pendapatan yang
potensial untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, seperti hutang luar negeri,
lobby ke kementerian tertentu untuk mendapatkan kucuran dana, atau menetapkan
pungutan-pungutan baru. Ekses atau side effect dari orientasi jangka pendek ini
3
adalah pragmatisme kebijakan di daerah. Ketika mereka melakukan perjanjian
hutang, sering tidak didahului oleh kajian mendalam mengenai kemampuan
membayar dan pemanfaatan hutang secara produktif. Demikian pula ketika mereka
menetapkan kebijakan pungutan baru, juga tidak dipertimbangkan dampak
negatifnya seperti high-cost economy atau melemahnya ekonomi sektor riil di
daerah. Kebijakan seperti ini, meskipun nampaknya efektif sebagai upaya income
generation, namun dalam jangka panjang tidak akan mampu membangun
fundamental ekonomi yang kokoh di daerah.
“Nafsu” memproduksi Peraturan Daerah tentang beraneka ragam pungutan,
ironisnya, bukannya semakin hilang, namun justru semakin menjadi-jadi. Data
Kementerian Dalam Negeri sebagaimana terlihat pada Tabel 1 dibawah ini
mengilustrasikan fenomena excessive regulation (pengaturan yang berlebihan)
tersebut.
Table 3 Jumlah Perda yang Dibatalkan Pemerintah Pusat Berdasarkan Tahun
Tahun Jumlah Perda
yang Dibatalkan
Tahun Jumlah Perda yang
Dibatalkan
2002 19 2007 173
2003 105 2008 229 2004 236 2009 876
2005 126 2010 407 2006 114 2011 (Maret) 114
Sumber: Kementerian Dalam Negeri (2011, diolah)
Skenario kedua, pemerintah daerah lebih memilih untuk melakukan efisiensi
anggaran dengan membatasi pembentukan SKPD (Satuan Kerja Pemerintah
Daerah), melakukan rekrutmen seperlunya, serta membuat skala prioritas yang
ketat dalam kebijakan alokasi dan distribusi anggaran. Selain itu, dilakukan juga
upaya pembenahan sistem perijinan yang ramah investasi (investment friendly) dan
tidak menimbulkan moral hazard terhadap kelestarian lingkungan. Dengan berbagai
upaya seperti ini, sesungguhnya pemerintah daerah tersebut tengah menyiapkan
prakondisi yang kuat untuk membangun daya saing daerah sekaligus menciptakan
iklim yang kondusif bagi tumbuhnya mesin-mesin ekonomi pada jangka panjang.
4
Sayangnya, fenomena empiris menunjukkan bahwa sebagian besar daerah
yang mengalami masalah keterbatasan kemampuan anggaran, lebih memilih
skenario pertama.
C. MASALAH POKOK
Masalah pokok yang dihadapi adalah rendahnya kemandirian pemerintah
daerah yang mengakibatkan lambatnya akselerasi pembangunan sosial ekonomi
daerah.
D. ANALISIS DAN PEMECAHAN MASALAH
1. Identifikasi Masalah Berdasarkan Teori Gunung Es (Iceberg Theory)
Dalam rangka memecahkan masalah pokok diatas, akan digunakan
analisis kebijakan berdasarkan teori William Dunn dan Mustopadidjaja. Berikut
adalah perbandingan langkah-langkah analisis kebijakan menurut tiga ahli
kebijakan, yakni William Dunn, Mustopadidjaja, dan James Anderson.
Tabel 1. Perbandingan Tahapan Analisis Kebijakan
Model William Dunn
Model Mustopadidjaja
Model James Anderson
Perumusan Masalah Pengkajian Persoalan Agenda Setting
Peramalan Penentuan Tujuan Formation
Rekomendasi Perumusan Alternatif Adoption
Pemantauan Penyusunan Model Implementation
Evaluasi Penentuan Kriteria Evaluation
Penilaian Alternatif
Perumusan Rekomendasi
Namun sebelum masuk pada tahapan analisis tersebut, penulis terlebih
dahulu akan membuat analisis berdasarkan teori gunung es (Iceberg Theory)
5
yang dikembangkan oleh Maani and Canava (2000). Teori ini sangat penting
untuk memberikan pemahaman tentang masalah yang dihadapi sebuah
organisasi, apakah termasuk masalah simptomatik yang berada di permukaan,
ataukah masalah fundamental yang sulit dikenali karena hanya menampakkan
gejala saja. Dengan memahami jenis-jenis masalah, maka akan dapat ditentukan
jenis tindakan yang diperlukan untuk merespon masalah tersebut, apakah
dibutuhkan tindakan yang bersifat reaktif, responsif, generatif, ataukah
fundamental. Selain itu, dengan kemampuan untuk membedakan antara gejala
dengan masalah yang sesungguhnya, maka akan dapat dilakukan pemecahan
masalah yang efektif sekaligus dihindari kemungkinan terjadinya “kesalahan tipe
ketiga”, yakni memecahkan masalah yang salah.
Dalam konteks judul laporan ini, maka pemetaan masalah dari masalah
pokok tersebut diatas dapat dilihat sebagai berikut:
Gambar 1 Identifikasi Masalah Berdasarkan Teori Gunung Es (Iceberg Theory)
Dari analisis gunung es tersebut dapat dibedakan tindakan mana yang
dapat dilakukan untuk mengatasi masalah simptomatik, yakni banyaknya Perda
6
yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi,
dan tindakan apa yang harus ditempuh untuk mengatasi masalah mendasar
yang menjadi biang atas munculnya masalah-masalah simptomatik.
2. Agenda Setting
Dari analisis gunung es diatas, selanjutnya dilakukan proses pencarian
dan penentuan agenda kebijakan (agenda setting). Agenda setting atau agenda
formation sendiri pada hakekatnya memuat masalah kebijakan, untuk kemudian
ditetapkan menjadi masalah institusional (istilah Anderson) atau masalah formal
(istilah Dunn). Gambar dibawah ini mengilustrasikan adanya kemiripan tahapan
dalam analisis masalah model Anderson dan model Dunn.
Gambar 2
Perbandingan Tahap Perumusan Masalah Menurut James Anderson dan William Dunn
Menurut Anderson, proses agenda setting dimulai dengan
mengidentifikasi masalah individual (private problem) yang dilanjutkan dengan
mengidentifikasi masalah kolektif (public problem). Private problem sendiri
didefinisikan sebagai problems that have a limited effect, being of concern only to
one or a few persons who are directly involved; sedangkan public problem
diartikan sebagai those that have a broad effect, including consequences for
persons not directly involved. Selanjutnya, public problems ini dikonversikan ke
7
dalam Issue, yakni suatu kondisi perbedaan pendapat yang ditemui di tengah
masyarakat tentang solusi dalam menangani masalah. Dari issue, masalah
kebijakan mengalir ke systemic agenda dan terakhir ke dalam institutional
agenda. Systemic agenda adalah semua issu yang dirasakan oleh masyarakat,
yang patut mendapat perhatian publik dan issu tersebut memang berada dalam
yurisdiksi kewenangan pemerintah.
Dalam kaitan dengan fokus pembahasan pada laporan ini, maka agenda
setting dapat dirumuskan sebagai berikut:
Gambar 3 Agenda Setting Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi
Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah
Dari gambar diatas terlihat bahwa agenda institutional atau masalah
formal yang harus dijadikan sebagai agenda kebijakan adalah penguatan
kemandirian daerah dan akselerasi pembangunan sosial ekonomi daerah. Hal ini
sesusai dengan masalah fundamental yang telah diidentifikasi sebelumnya
melalui analisis gunung es (Iceberg Theory). Selanjutnya, untuk memperkuat
hasil analisis, penulis akan menggunakan model perumusan masalah dari
William Dunn, dengan harapan dapat diperoleh hasil yang lebih obyektif.
8
3. Analisis Sistem Kebijakan
Sebagai konsekuensi dari sebuah sistem, maka masalah-masalah yang
dirumuskan diatas pada hakekatnya memiliki keterkaitan dengan elemen
kebijakan lainnya seperti pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan, kelompok
sasaran, serta kebijakan publik itu sendiri. Artinya, masalah institusional yang
telah berhasil dirumuskan pada dasarnya hidup dalam sebuah milieu atau
lingkungan kebijakan yang sangat dinamis.
Dalam hal ini, lingkungan kebijakan dicirikan oleh banyaknya
permasalahan di daerah baik dalam bidang pengembangan SDM, pelambatan
ekonomi, tarik menarik kepentingan antar actor, rendahnya kualitas pelayanan
publik, dan sebagainya. Dengan karakter lingkungan seperti itu, maka pelaku
kebijakan (policy actor) harus benar-benar dapat mencermatinya, agar dapat
dihasilkan kebijakan publik yang akurat.
Disini, kebijakan publik yang dianggap tepat untuk mengatasi masalah
formal berupa rendahnya kemandirian daerah dalam mengakselerasi
pembangunan sosial ekonomi daerah, adalah pengembangan desentralisasi
fiskal serta peningkatan kapasitas SDM (capacity building).
Gambar 5 Program Peningkatan Kemandirian Daerah Dalam Perspektif Sistem Kebijakan
9
4. Perumusan Masalah / Pengkajian Persoalan
Analisis kebijakan model Dunn sering dikenal sebagai analisis yang
berpusat pada masalah (problem centric). Tahap perumusan masalah menyita
porsi yang cukup besar dari keseluruhan rangkaian proses analisis kebijakan.
Itulah sebabnya, tidak mengherankan jika kemudian muncul sebuah adagium
bahwa jika perumusan masalah benar, maka 50% pemecahan masalah telah
tercapai.
Langkah awal dalam perumusan masalah adalah dengan mengenali
situasi atau mengenali masalah. Pengenalan situasi ini akan menghasilkan
situasi masalah. Dari situasi masalah kemudian dikembangkan dengan proses
pencarian masalah yang lebih detil dan membentuk sebuah meta masalah.
Dengan demikian, meta masalah adalah masalah diatas masalah, atau dikenal
juga sebagai “tumpukan masalah yang belum terstruktur”. Dari meta masalah ini
dilakukan pendefinisian atau pengklasifikasian masalah, sehingga menghasilkan
masalah substantif. Dari sejumlah masalah substantif yang ada, kemudian
ditentukan beberapa masalah yang akan segera ditangani sesuai dengan
kemampuan pemerintah.
Dalam bentuk siklus, model perumusan masalah William Dunn dapat
dilihat sebagai berikut.
Gambar 4 Tahap/Teknik Perumusan Masalah (William Dunn)
10
Dalam konteks substansi pembahasan judul dari laporan ini, maka rincian
permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah dengan menggunakan model
analisis Willian Dunn dilihat sebagai berikut.
Tabel 2. Perumusan Masalah
Situasi Masalah
Meta Masalah Masalah Substantif Masalah Formal
Terhambatnya pembangunan daerah
• Banyaknya Perda bermasalah dan dibatalkan Pusat;
• Banyaknya pungutan baru berupa pajak dan retribusi;
• Terbatasnya sumber PAD dan rendahnya rasio antara PAD dengan APBD;
• Besarnya alokasi APBD untuk biaya aparatur, dan rendahnya alokasi untuk belanja publik;
• Rendahnya daya kreasi dan inovasi kebijakan;
• Lemahnya kapasitas SDM;
• Ketergantungan daerah yang amat tinggi thd dana perimbangan;
• Tarik menarik kepenti-ngan Pusat & Daerah;
• High-cost economy di daerah;
• Pertumbuhan ekonomi daerah yang rendah;
• Masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran;
• Rendahnya kualitas pelayanan publik;
• Lemahnya visi kepemimpinan dan kurang tajamnya strategi pembangunan.
Aspek Ekonomi Keuangan:
• Terbatasnya sumber PAD dan rendahnya rasio antara PAD dengan APBD;
• Besarnya alokasi APBD untuk biaya aparatur, dan rendahnya alokasi untuk belanja publik;
• Ketergantungan daerah yang amat tinggi thd dana perimbangan;
• High-cost economy di daerah;
• Pertumbuhan ekonomi daerah yang rendah;
• Tingginya angka kemiskin-an & pengangguran.
Aspek SDM:
• Lemahnya kapasitas SDM;
• Rendahnya daya kreasi dan inovasi kebijakan.
Aspek Regulasi:
• Banyaknya Perda bermasalah dan dibatalkan Pusat;
• Banyaknya pungutan baru berupa pajak dan retribusi.
Aspek Kelembagaan:
• Tarik menarik kepentingan Pusat dan Daerah;
• Rendahnya kualitas pelayanan publik;
• Lemahnya visi kepemimpinan dan kurang tajamnya strategi pembangunan
• Ketergantungan daerah yang amat tinggi thd dana perimbangan;
• Lemahnya kapasitas SDM;
• Banyaknya Perda bermasalah dan dibatalkan Pusat;
• Lemahnya visi kepemimpinan dan kurang tajamnya strategi pembangunan.
11
5. Penetapan Tujuan dan Peramalan Kebijakan
Dari masalah formal yang telah ditemukan melalui teknik perumusan
masalah model William Dunn, kemudian ditentukan kebijakan publik yang
diyakini mampu memecahkan masalah tersebut serta tujuan yang diharapkan
atau target yang harus dicapai dengan ditempuhnya kebijakan tersebut. Selain
itu, seiring dengan tujuan yang ditetapkan, perlu pula dirumuskan ramalan masa
depan dan dampak yang mungkin timbul dari diimplementasikannya kebijakan
publik tersebut.
Tabel dibawah ini menggambarkan secara sistemik antara masalah formal
dan penuangannya dalam tujuan kebijakan serta ramalan masa depan dan
dampak kebijakan.
Tabel 3. Penetapan Tujuan dan Peramalan Kebijakan Publik
No Masalah Formal
Kebijakan Publik
Tujuan KP Ramalan Masa
Depan KP Dampak
Kebijakan
1 2 3 4 5 6
1 Ketergantungan daerah yang amat tinggi thd dana perimbangan
Penguatan kapasitas fiskal
Meningkatnya kemandirian pemda dalam hal kapasitas anggaran
Kemandirian pemda akan meningkat dan mengurangi ketergantungan kepada pusat
Pembangunan daerah dapat dilakukan secara lebih cepat.
2 Lemahnya kapasitas SDM
Peningkatan kapasitas SDM
Meningkatnya kapasitas SDM baik dalam hal knowledge maupun skill.
Kemampuan SDM relatif meningkat seiring meningkatnya program pengembangan SDM
Pada jangka panjang akan memberi efek meningkatkan produktivitas organisasi, namun pada jangka pendek membutuhkan investasi besar
3 Banyaknya Perda bermasalah dan dibatalkan Pusat
Evaluasi dan penataan regulasi
Terciptanya Perda yang ramah usaha dan dapat memacu iklim usaha yang kondusif
Masih cukup banyak Perda yg bermasalah hingga ketergantungan Pemda dapat ditekan
Mengendalikan jumlah Perda yang bermasalah dan menjaga iklim usaha tetap kondusif
12
4 Lemahnya visi kepemimpinan dan kurang tajamnya strategi pembangunan daerah.
Penajaman visi dan strategi pembangunan daerah
• Terbentuknya OPD yang ramping & efektif.
• Tersusunnya rencana pembangu-nan yang sesuai kebutuhan masyarakat & kemampuan APBD.
Masih sulit mewujudkan OPD yang ramping & efektif karena kendala jumlah pegawai & orientasi jabatan
Dapat meningkatkan penghematan anggaran, sehingga dapat dilakukan realokasi pada sektor2 yang lebih prioritas
6. Perumusan Aternatif, Penentuan Kriteria, dan Penilaian Alternatif
Setelah teridentifikasi tujuan dan peramalan atas 4 (empat) kebijakan
publik terpilih, maka dilakukan pembobotan untuk mengetahui mana diantara ke-
4 kebijakan publik tersebut yang harus mendapat prioritas untuk dilaksanakan.
Dalam rangka menemukan opsi kebijakan publik sesuai urutan prioritasnya,
perlu dikembangkan kriteria sebagai tolok ukurnya.
Dalam hal ini, digunakan analisis PETS, yakni Political Viability (kelayakan
secara politis), Economic Feasibility (kelayakan secara ekonomis), Technical
Feasibility (kelayakan secara teknis), serta Administrative Operability (efektivitas
implementasinya secara administratif), yang secara lebih detil dapat dilihat pada
Tabel 4 dibawah ini.
13
Tabel 4. Kriteria dalam Penetapan Prioritas Kebijakan Publik, serta Skala dan
Bobotnya
NO KRITERIA “PETS”
INTERPRETASI SKALA BOBOT
1 Political Viability
• Acceptability: Apakah alternatif tsb diterima aktor kebijakan & target-group?
• Appropriateness: Apakah alternatif tsb sesuai dengan nilai2 masyarakat?
• Responsiveness: Apakah alternatif tsb sesuai dengan kebutuhan masyarakat?
• Legal suitability: Apakah alternatif tsb didukung oleh perangkat hukum?
• Equity: Apakah efek & dampak kebijakan menjamin aspek keadilan antar kelompok masyarakat?
1 (sangat tidak tepat/sesuai) s/d 4 (sangat tepat/sesuai)
40
2 Economic Feasibility
Efficiency (biaya dan hasil): Apakah biaya yang diperlukan dapat menghasilkan tingkat efektivitas yang diharapkan?
1 (sangat tidak efisien) s/d 4 (sangat efisien)
35
3 Technical Feasibility
Effectiveness (pencapaian tujuan): Apakah alternatif kebijakan mencapai tujuan atau hasil (akibat) yang diharapkan?
1 (sangat tidak efektif) s/d 4 (sangat efektif)
10
4 Administrative Operability
• Apakah tersedia staf yang cukup?
• Apakah instansi terkait akan mendukung implementasi kebijakan?
• Apakah tersedia sarana untuk melaksanakan kebijakan?
• Apakah kebijakan dapat dilaksanakan tepat waktu?
1 (sangat tidak memungkinkan untuk dilaksanakan) s/d 4 (sangat memungkinkan untuk dilaksanakan)
15
Atas dasar kriteria diatas, maka dapat dilakukan pemilihan prioritas
kebijakan publik sebagai berikut:
14
Tabel 5. Pembobotan Alternatif Kebijakan dan Urutan Prioritanya
Kebijakan Publik
Kelayakan Teknis
Kelayakan Ekonomis
Kelayakan Politis
Implementasi Administratif Total Pilih
Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor
Penguatan kapasitas fiskal
4 40 4 140 3 120 3 45 345 1
Peningkatan kapasitas SDM
3 30 3 105 4 160 3 45 340 2
Evaluasi dan penataan regulasi
2 20 2 70 3 120 4 60 220 4
Penajaman visi dan strategi pembangunan daerah
3 30 3 105 2 80 3 45 260 3
Dari instrumen pembobotan dan prioritasi tersebut telah diketemukan
prioritas kebijakan publik yang perlu diimplementasikan untuk membangun
kemandirian daerah sekaligus mengakselerasi pembangunan sosial ekonomi
daerah. Namun urutan prioritas ini bukan berarti bahwa prioritas ketiga dan
keempat adalah urutan yang tidak penting atau tidak perlu dilaksanakan.
Keempat strategi atau kebijakan publik tersebut harus dilaksanakan secara
simultan, sehingga hasil yang diinginkan dapat terwujud lebih cepat. Selain itu,
alasan mengapa keempat strategi tersebut harus dilasanakan secara bersama-
sama adalah agar masalah yang bersifat simptomatis maupun masalah yang
bersifat fundamental dapat diatasi secara bersama-sama pula, sehingga tidak
menimbulkan masalah baru di kemudian hari.
8. Sinergi Antar Instansi Pemerintah Dalam Kebijakan Penguatan Kemandirian
Daerah
Aspek yang sangat penting dalam menjamin keberhasilan implementasi
kebijakan adalah adanya sinergi antar pelaku/aktor dan stakeholder kebijakan.
15
Demikian pula dalam konteks kebijakan penguatan kemandirian daerah dan
akselerasi pembangunan sosial ekonomi, terdapat banyak institusi yang
berkepentingan dan turut bertanggungjawab untuk melaksanakan dengan penuh
konsistensi.
Gambar 6 dibawah ini memperlihatkan institusi yang harus mengambil
peran terbesar dalam setiap kebijakan publik yang telah ditetapkan. Namun,
bukan berarti bahwa hanya institusi yang disebutkan yang paling
bertanggungjawab atas keberhasilan kebijakan termaksud. Diluar institusi
tersebut, tentu masih banyak stakeholder yang harus dilibatkan, baik pada
tataran implementasi maupun dalam konteks pengawasannya.
Gambar 6
Sinergi Antar Instansi Pemerintah Dalam Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah
E. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Simpulan
a. Dari paparan sejak latar belakang hingga analisis diatas, dapat disimpulkan
bahwa permasalahan yang terjadi terkait dengan maraknya kebijakan daerah
(Perda) yang dibatalkan sesungguhnya memiliki akar masalah yang lebih
dalam dan lebih rumit. Untuk itu, strategi atau kebijakan publik yang
dibutuhkan tidak cukup hanya untuk memecahkan masalah jangka pendek
16
dan simptomatis, pada saat yang sama juga harus dirumuskan kebijakan
yang berorientasi jangka panjang untuk memecahkan masalah
fundamentalnya.
b. Dari hasil analisis, dihasilkan 2 (dua) kebijakan yang berorientasi jangka
pendek dan dimaksudkan untuk mengatasi masalah simptomatis, yakni
evaluasi dan penataan regulasi, serta penajaman visi dan strategi
pembangunan daerah. Selain itu, dihasilkan pula 2 (dua) kebijakan yang
berorientasi jangka panjang dan dimaksudkan untuk mengatasi masalah
fundamental, yakni peningkatan kapasitas SDM aparatur, serta penguatan
desentralisasi fiskal. Dengan kebijakan tersebut, diyakini dapat mengatasi
masalah pokok yakni rendahnya kemandirian pemerintah daerah yang
mengakibatkan lambatnya akselerasi pembangunan sosial ekonomi daerah.
2. Rekomendasi
a. Kebijakan yang baik hanya dapat efektif jika baik dalam tahap
implementasinya. Oleh karena itu, adanya sinergi yang harmonis antar
pelaku/actor kebijakan dan seluruh stakeholdernya menjadi syarat mutlak
(condition sine qua non) yang harus dipenuhi. Agar sinergi ini dapat berjalan
optimal, maka masing-masing instansi harus memahami tanggungjawabnya
serta melakukan pemantauan dan pengukuran kinerja terhadap bidang tugas
yang menjadi wewenangnya.
DAFTAR BACAAN / REFERENSI
Dunn, William N., 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Terjemahan, Edisi 2, Cet.
Ke-5, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Hirawan, Susiyati Bambang, 2007, Desentralisasi Fiskal Sebagai Suatu Upaya
Meningkatkan Penyediaan Layanan Publik Bagi Orang Miskin di Indonesia,
Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Ekonomi, Universitas Indonesia.
LAN, 2011, Kajian Kebijakan Publik, Modul 2 Diklat Kepemimpinan Tingkat II, Pusdiklat
SPIMNAS Bidang Kepemimpinan.
17
Suhendra, Maman, dan Hidayat Amir, 2006, Fiscal Decentralization in Indonesia:
Current Status and Future Challenges, dalam Jurnal Keuangan Publik,
Kemenetrian Keuangan. http://mashidayat.files.wordpress.com/2008/04/08-fiscal-
decentralization-in-indonesia-current-status-and-future-challengges-jkp-sept-20061.pdf