ANALISIS HUKUM AKIBAT PERCERAIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Skripsi) Oleh: DEWI MUSLIMAH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018
ANALISIS HUKUM AKIBAT PERCERAIAN DALAM PERSPEKTIFHUKUM ISLAM
(Skripsi)
Oleh:
DEWI MUSLIMAH
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2018
ABSTRAK
ANALISIS HUKUM AKIBAT PERCERAIAN DALAM PERSPEKTIFHUKUM ISLAM
Oleh :Dewi Muslimah
Perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami dan istri baik dengan thalaq,khulu’, maupun fasakh, sehingga haram kembali untuk melakukan hubunganseksual keduanya sebelum rujuk atau akad nikah baru. Perceraian dalam Islammerupakan sebuah tindakan hukum yang dibenarkan oleh agama dalam keadaandarurat, sebagaimana sabda Rasulullah bahwa perbuatan halal yang dibenci Allahadalah Thalaq. Suatu perceraian akan menimbulkan akibat hukum yang diaturdalam Al-Qur’an, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, danKompilasi Hukum Islam. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian iniadalah analisis hukum akibat perceraian terhadap suami dan istri, anak, serta hartadalam perspektif hukum Islam dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatuputusan nomor: 0611/Pdt.G/2015/PA.Pas. mengenai cerai talak, nafkah istri dananak, hadhanah, serta harta bersama.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif. Tipepenelitian yang digunakan adalah deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakanadalah pendekatan normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder yangterdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersieryang kemudian dianalisis secara kualitatif. Metode pengumpulan datamenggunakan studi pustaka dan studi dokumen.
Berdasarkan hasil penelitian dalam pembahasan ini adalah akibat hukumperceraian terhadap suami dan istri, anak, dan harta menurut Al-Qur’an danKompilasi Hukum Islam adalah sama. Akibat hukum perceraian terhadap suamiatau istri menurut Al-Qur’an dan Kompilasi Hukum Islam menjelaskan secarajelas dan rinci mengenai kewajiban seorang mantan suami memberikan nafkahiddah dan mut’ah setelah terjadinya perceraian. Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 Tentang Perkawinan tidak menyebutkan macam-macam nafkah seperti yangtelah disebutkan dalam Al-Qur’an dan Kompilasi Hukum Islam. Akibat hukumperceraian terhadap anak menurut Undang-Undang Perkawinan dan KompilasiHukum Islam memiliki perbedaan yaitu dalam hal batas usia anak yang berhakmenerima hadhanah. Undang-Undang Perkawinan menyebutkan batas usia anakyaitu 18 tahun sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam menyebutkan batas usia
Dewi Muslimah
anak adalah 21 tahun atau sudah mumayyiz. Akibat hukum perceraian terhadapharta menurut Al-Qur’an, Undang-Undang Perkawinan, dan Kompilasi HukumIslam tidak menjelaskan mengenai pembagian harta bersama atau harta gono-gini,itu artinya tidak ada ketentuan yang mutlak mengenai pembagian harta bersamaapakah akan dibagi seperdua bagian atau lebih banyak ke istri atau suami, namunjika nantinya terjadi perceraian antara suami dan istri maka dalam Al-Qur’anpembagian hartanya yaitu dibagi dengan cara perdamaian yaitu kesepakatanantara suami dan istri. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan nomor:0611/Pdt.G/2015/PA.Pas. mengenai cerai talak, nafkah istri dan anak, hadhanah,serta harta bersama telah sesuai dengan putusan Majelis Hakim denganberdasarkan Al-Qur’an, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 TentangPerkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.
Kata Kunci : Perceraian, Akibat Hukum, Suami, Istri, Anak, Harta
ANALISIS HUKUM AKIBAT PERCERAIAN DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM
Oleh:
DEWI MUSLIMAH
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai GelarSARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum KeperdataanFakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2018
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis adalah Dewi Muslimah. Penulis
dilahirkan di Gedung Dalam pada tanggal 31 Juli 1996 dan
merupakan anak pertama dari dua (2) bersaudara dari
pasangan Bapak Kaderi dan Ibu Juariyah.
Penulis telah menempuh pendidikan di SDN Sidowaras yang diselesaikan pada
tahun 2008, Sekolah Menengah Pertama ditempuh di SMPN 2 Bumiratu Nuban
diselesaikan pada tahun 2011, Sekolah Menengah Atas di SMA Muhammadiyah 2
Metro pada tahun 2014.
Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung
melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada
tahun 2014 dan menerima Beasiswa Bidikmisi, penulis memfokuskan diri
mengambil bagian Hukum Keperdataan. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif
di Forum Silaturahmi dan Studi Islam (FOSSI) FH Unila dan penulis mengikuti
program Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 40 hari di Desa Negeri Katon
Kecamatan Selagai Lingga. Selama menjadi mahasiswa, penulis terdaftar di
Himpunan Mahasiswa Perdata (HIMA PERDATA).
MOTO
“Dan jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh, AllahMaha Mendengar, Maha Mengetahui”
(QS. Al-Baqarah [2] : 227)
“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rizqi kepada siapa yang Dia kehendakidan menyempitkannya, Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat
akan hamba-hamba-Nya”
(QS. Al-Isra’ [17] : 30)
PERSEMBAHAN
Atas Ridho Allah SWT dan dengan segala kerendahan hati
kupersembahkan skripsi ini kepada:
Kedua Orang tuaku tersayang Bapak Kaderi dan Ibu Juariyah yang senantiasa
mendoakan, sabar dalam mendidikku dari aku kecil hingga sekarang, memberi
semangat, tulus mencintai, menyayangi dan ikhlas bekerja keras demi membiayai
pendidikanku.
Semoga Allah SWT selalu memberi limpahan Rahmat serta Hidayah-Nya kepada
mereka dunia dan akhirat. (Amiiin)
SANWACANA
Alhamdulilahirobbil’alamin, puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT
karena atas rahmat dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
yang berjudul “Analisis Hukum Akibat Perceraian Dalam Perspektif Hukum
Islam’’ sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, saran
dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan untuk
pengembangan dan kesempurnaan skripsi ini.
Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Maroni S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
2. Bapak Dr. Sunaryo, S.H., M.Hum., Ketua Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
3. Ibu Dr. Amnawaty, S.H., M.H., Dosen Pembimbing I yang telah
membimbing, memberi saran dan waktunya kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu Elly Nurlaili, S.H., M.H., Dosen Pembimbing II telah membimbing,
memberi saran dan waktunya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
5. Ibu Hj. Wati Rahmi Ria, S.H., M.H., Dosen Pembahas I yang telah
memberikan kritik, saran serta masukan dalam penulisan skripsi ini.
6. Ibu Selvia Oktaviana, S.H., M.H., Dosen Pembahas II yang telah memberikan
kritik, saran serta masukan dalam penulisan skripsi ini.
7. Bapak Heni Siswanto S.H., M.H., Dosen Pembimbing Akademik yang telah
membantu penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, terimakasih atas ilmu-
ilmu yang telah diberikan yang bermanfaat serta membangun untuk motivasi
bagi penulis.
9. Keluarga Besarku Tercinta, Mbah Paimin, Mbah Kasiyem (Alm), dan Mbah
Muah yang selalu memberi doa, nasihat, semangat dan dukungannya.
10. Adikku Anisa Nurjanah yang selalu memberikan doa, semangat serta
dukungannya.
11. Terima kasih untuk seluruh Keluarga besar UKMF FOSSI FH Unila: Kak
Nisa, Kak Utia, Mba Dewi Nurhalimah, Mba Bela, Mba Tina, Mba Rini, Mba
Ria, Novi, Nurcahyati, Ayu Kurnia, Indri, Meri Farida, Bela, Delia, Rinida,
dst. Kalian keluarga yang luar biasa telah memberikan pengalaman serta ilmu
yang berharga.
12. Teman seperjuanganku sesama Bidikmisi: Sariani, Nur Intan Fatimah, Audy
Aminda, Fildza Addina Silmi, Hanifa Pury, Elsaday Abigail, Cici Afriyanti,
Ayu Purba, Nadya, Hardinal Cunda Dinata, Yoga Pratama, Supri Sugiarto,
Iman Fernando, Madian, Imam Fathoni, Haidir, Rado, Arli, terima kasih atas
pengalaman serta keceriannya semoga tetap terjaga silaturahmi kita.
13. Terima kasih untuk sahabat-sahabatku: Indah Sumarningsih, Ayu Dewi,
Atika Mayangsari, Aisyah Nurlia, Eka Fitri, Elva, Alpen Deva, Uswatun
Khasanah, anak kosan Arita: Ambar, Aini, Mei, Vera, Ana, Reni, Mbak Putri,
Mbak Cen, serta adik-adikku: Lili Adiningsih, Linares, Pingkan Retno
Andini, Della Arisandi, Tria Septia Ningsih, terima kasih untuk semangat,
dukungan, doa serta kasih sayangnya, semoga selalu dipersatukan dan terjaga
silaturahminya.
14. Teman-teman KKN desa Negeri Katon: Abram Ginting, Miendira Sefriadi,
M. Joefida, Danang, Satria, Elizabeth, terima kasih untuk kebersamaannya
selama 40 hari.
15. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum Universitas Lampung angkatan
2014 serta teman-teman di bagian Hukum Keperdataan, terimakasih telah
mewarnai masa-masa perkuliahanku;
16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyelesaian skripsi ini. Terimakasih atas semua bantuan dan
dukungannya;
17. Almamater Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Semoga Allah SWT menerima dan memberikan balasan atas jasa dan budi baik
yang telah diberikan kepada penulis. Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi
ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya untuk penulis dalam
mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.
Bandar Lampung, 06 Desember 2018Penulis,
Dewi MuslimahNPM 1412011103
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ......................................................................................................... iHALAMAN SAMPUL...................................................................................... iiiHALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... ivHALAMAN PENGESAHAN........................................................................... vLEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. viRIWAYAT HIDUP ........................................................................................... viiMOTO ................................................................................................................ viiiHALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................... ixSANWACANA .................................................................................................. xDAFTAR ISI...................................................................................................... xiv
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 8
C. Ruang Lingkup Penelitian............................................................................ 8
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................. 8
1. Tujuan Penelitian .................................................................................. 8
2. Kegunaan Penelitian ............................................................................. 9
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Konsep......................................................................................... 10
1. Pengertian Hukum Islam....................................................................... 10
2. Perceraian Menurut Hukum Islam ........................................................ 12
3. Pengertian istri ...................................................................................... 16
4. Anak...................................................................................................... 17
5. Nafkah .................................................................................................. 27
6. Pengertian Harta ................................................................................... 29
B. Kerangka Teori ............................................................................................ 30
C. Kerangka Pikir ............................................................................................. 32
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian............................................................................................. 34
B. Tipe Penelitian ............................................................................................. 35
C. Pendekatan Masalah..................................................................................... 35
D. Data dan Sumber Data ................................................................................. 35
E. Metode Pengumpulan Data.......................................................................... 37
F. Metode Pengolahan Data ............................................................................. 37
G. Analisis Data ................................................................................................ 38
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Akibat Hukum Perceraian Menurut Hukum Islam ...................................... 40
1. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Mantan Suami dan Istri
Menurut Hukum Islam.......................................................................... 41
a. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Mantan Suami dan
Istri Menurut Al-Qur’an................................................................. 41
b. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Mantan Suami dan
Istri Menurut Undang–Undang Nomor 1 Tahun
Tentang Perkawinan ..................................................................... 49
c. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Mantan Suami dan
Istri Menurut Kompilasi Hukum Islam.......................................... 50
2. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Anak ........................................... 53
a. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Anak Menurut
Al-Qur’an....................................................................................... 53
b. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Anak Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ....... 58
c. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Anak Menurut
Kompilasi Hukum Islam................................................................ 61
3. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta........................................... 69
a. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Menurut
Al-Qur’an....................................................................................... 69
b. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ....... 71
c. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Menurut
Kompilasi Hukum Islam................................................................ 74
B. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Nomor:
0611/Pdt.G/2015/PA.Pas. ............................................................................ 76
1. Kasus Posisi Putusan Nomor: 0611/Pdt.G/2015/PA.Pas. ..................... 76
2. Putusan Hakim Nomor: 0611/Pdt.G/2015/PA.Pas. ............................. 77
a. Cerai talak ...................................................................................... 77
b. Nafkah............................................................................................ 80
c. Hadhanah ...................................................................................... 83
d. Harta Bersama................................................................................ 84
3. Upaya yang Dilakukan Apabila Ayah Melalaikan
Nafkah Anak Sesuai Putusan Pengadilan ............................................. 85
V. KESIMPULAN
A. Kesimpulan .................................................................................................. 89
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum dalam kehidupan manusia yang
menimbulkan akibat hukum. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menyebutkan bahwa, Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup
bersama secara sah antara laki-laki dengan seorang perempuan membentuk
keluarga yang kekal, santun-menyantun, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.1
Menurut Soedharyo Saimin, Perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan
oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang
wanita dengan tujuan materil, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai
asas pertama dalam Pancasila.2
Q.S An-Nisa Ayat 21 menyatakan bahwa, “ Perkawinan adalah perjanjian yang
sangat kuat”. Dilihat dari segi sosial, Perkawinan adalah orang yang berkeluarga
atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka
1 Hj. Wati Rahmi Ria, S.H., M.H., Hukum Islam dan Islamologi, Bandar Lampung: CV.Sinar
Sakti, 2011, hlm. 129-130. 2 Prof. Dr. Jamaluddin, S.H., M.Hum., & Nanda Amalia, S.H., M.Hum., Buku Ajar Hukum
Perkawinan, Lhokseumawe: Unimal Press, 2016, hlm 16-17.
2
yang tidak kawin.3 Jika seorang perempuan dan laki-laki berkata sepakat untuk
melakukan perkawinan satu sama lain berarti mereka saling berjanji akan taat
pada peraturan hukum yang berlaku. Perkawinan dilaksanakan dengan sukarela
antara kedua belah pihak yang bersangkutan dan dalam perkawinan suami istri
mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.
Hak dan kewajiban suami istri dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu telah
ditentukan dan diberlakukan kepada keduanya. Hak dan kewajiban suami istri
dalam keluarga apabila sama-sama menjalankan tanggung jawabnya masing-
masing maka akan terwujud ketentraman dan ketenangan hati, sehingga
sempurnalah kebahagian hidup berumah tangga dan terwujud sesuai dengan
tuntutan agama, yaitu sakinah, mawaddah, dan warahmah.4 Hak dan kewajiban
bagi suami dan istri apabila dilaksanakan dengan baik maka akan mempersulit
terjadinya perceraian, karena perceraian akan mengakibatkan putusnya tali
silaturahmi antara mantan suami dan mantan istri bahkan silaturahmi kepada anak
kandungnya.
Perceraian adalah putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri baik
dengan talak, khulu’, maupun fasakh, sehingga haram kembali untuk melakukan
hubungan seksual keduanya sebelum rujuk atau akad nikah baru.5 Perceraian
dalam Islam merupakan sebuah tindakan hukum yang dibenarkan oleh agama
dalam keadaan darurat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW bahwa perbuatan
3 Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, Jakarta: Graha Ilmu, 2011, hlm 5.
4 H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap), Jakarta:
Rajawali Pers, 2014, hlm 153. 5 Dra. Hj. Nunung Rodliyah, M.A., Manusia dan Agama (Dalam Kerangka dasar Ajaran Islam),
Bandar Lampung: Gunung Pesagi, 2011, hlm. 257.
3
halal yang paling dibenci oleh Allah adalah Thalaq.6 Perceraian merupakan
masalah yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat karena merupakan jalan
terakhir ketika sudah tidak merasakan keharmonisan dalam rumah tangga. Oleh
karena itu dalam aturan hukum yang berlaku harus disertai dengan alasan-alasan
yang dapat dijadikan dalil kuat untuk melakukan suatu perceraian.
Perceraian akan menyebabkan akibat hukum yaitu akibat hukum terhadap mantan
suami dan istri, anak, dan harta. Akibat hukum terhadap anak yaitu berupa
masalah penguasaan atau pemeliharaan anak. Pemeliharaan anak menjadi salah
satu faktor penting yang harus diperhatikan oleh orang tua yang telah berpisah,
agar nantinya masa depan anak dapat terjamin dengan baik, terutama yang
menyangkut pendidikan akhlaknya bukan sekedar kebutuhan lahiriahnya saja.
Pemeliharaan anak atau pengasuhan anak dalam hukum Islam biasa disebut
dengan Hadhanah.
Hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga
dewasa atau mampu berdiri sendiri.7 Hadhanah merupakan suatu kewenangan
untuk memelihara dan mendidik anak yang masih kecil yang belum bisa
memenuhi kebutuhan sendiri dan mengasuh anak orang yang sudah dewasa akan
tetapi kehilangan akalnya atau idiot. Hukum pemeliharaan anak yaitu wajib dalam
hal masih ada ikatan perkawinan antara suami dan istri, lain halnya apabila terjadi
perceraian maka harus ditentukan terlebih dahulu hak hadhanah, sehingga
membutuhkan biaya hidup dan pemeliharaan anak.
6 Anjani Sipahutar, dkk, Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan,
USU Law Journal, Vol.4 No.1 (Januari 2016), hlm. 152. 7 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Presindo, 2004, hlm.
113.
4
Biaya hadhanah tersebut diantaranya yaitu pemeliharaan anak dan pendidikan,
seperti yang disebutkan pada Pasal 9 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yaitu, “setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya
sesuai dengan minat dan bakat.” Jadi nantinya setelah suami dan istri resmi
bercerai maka keduanya berhak atas pemeliharaan anaknya terutama untuk
seorang suami. Jika suatu saat mantan suami tidak memenuhi biaya hadhanah
serta nafkah yang harus dibayarkan setelah adanya putusan perceraian dari
pengadilan, mantan istri berhak menggugat mantan suami karena telah
menelantarkan anaknya dan melalaikan kewajibannya sebagai seorang ayah yaitu
memberi nafkah anak, sehingga anak tersebut terlantar.
Berdasarkan dari data yang diolah, anak korban penelantaran ekonomi (hak
nafkah) dari tahun 2014 yaitu sebanyak 223 anak, tahun 2015 sebanyak 182 anak
dan tahun 2016 sebanyak 124 anak.8 Sedangkan data anak terlantar (anak
penyandang masalah kesejahteraan sosial) dari tahun 2014 sebanyak 84 anak,
tahun 2015 sebanyak 74 anak, dan tahun 2015 sebanyak 63 anak.9 Anak korban
penelantaran ekonomi dan anak terlantar dari tahun 2014 sampai tahun 2016
sudah mengalami penurunan.
QS. An-Nisa‟ Ayat 9 menjelaskan bahwa Islam melarang penelantaran anak,
sebab seorang anak akan mewarisi apa yang dimiliki oleh orang tuanya, menjaga
keturunan keluarga serta harapan agama dan bangsa di masa mendatang. Anak
8 http://bank data kpai go id/tabulasi-data-perlindungan-anak, diakses pada hari sabtu 30 Juni 2018
pukul 20.06 WIB. 9 Ibid.
5
yang ditelantarkan hidupnya tidak akan bahagia bahkan anak tersebut bisa
menjadi seorang pengemis, gelandangan, pengangguran yang berdampak pada
kenakalan remaja. Perkembangan fisik dan emosional pun menjadi tidak normal,
anak mengalami gangguan bahasa dan sosial, tidak tegas, sering bolos sekolah
serta penampilannya akan tidak terawat. Dari HR Abu Daud Nasa‟i dan Hakim
yang menjelaskan bahwa “Cukup berdosa orang yang mengabaikan hak seseorang
yang menjadi tanggungannya”. Hak seseorang yang diabaikan tersebut yaitu hak
nafkah bagi anak.
Nafkah merupakan biaya yang wajib dikeluarkan oleh seseorang terhadap sesuatu
yang berada dalam tanggungannya meliputi biaya untuk kebutuhan pangan,
sandang, dan papan, termasuk juga kebutuhan sekunder seperti perabot
kerumahtanggaan.10
Nafkah dalam Islam mencakup dua aspek, yaitu nafkah lahir
dan nafkah batin. Nafkah secara umum berarti belanja, maksudnya ialah sesuatu
yang diberikan oleh seorang kepada istri, kerabat, dan miliknya sebagai keperluan
pokok mereka.11
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 39 ayat (2).
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya harus
mempertimbangkan kemaslahatan atau kebaikan dalam menjatuhkannya, setelah
itu harus adanya dua penengah dari kedua belah pihak, seperti dalam QS. An-Nisa
ayat 35 yang artinya: “dan jika kamu khawatirkan pada keduanya, maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
10
Subaidi, Konsep Nafkah Menurut Hukum Perkawinan Islam, Jurnal Studi Hukum Islam Vol.1
No.2, Juli-Desember 2014, hlm. 158. 11
Ibid.
6
niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha mengenal.”
Salah satu alasan terjadinya perceraian berdasarkan Pasal 116 KHI huruf (f)
adalah antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Perselisihan
dan pertengkaran ini biasanya disebabkan karena suami atau istri tidak
menjalankan kewajibannya yaitu istri tidak menaati perintah suami dan suami
tidak memberikan nafkah kepada istri. Hal lain yang bisa menyebabkan terjadinya
perselisihan dan pertengkaran salah satunya yaitu watak istri yang sulit untuk
dinasihati suami.
Setelah terjadinya perceraian untuk mengantisipasi kesewenang-wenangan
mantan suami terhadap mantan istri dan anaknya, maka seorang mantan istri dapat
mengajukan gugatan agar hak-hak mantan istri dan anaknya terpenuhi, seperti hak
hadhanah, nafkah istri dalam masa iddah, nafkah anak, serta pembagian harta
bersama sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 149 KHI (Kompilasi Hukum
Islam) menyatakan bahwa setelah putusnya perkawinan mantan suami wajib:
1 Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau
benda.
2 Memberi nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas istri selama dalam masa
iddah.
3 Melunasi mahar dengan masih terhutang.
4 Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun.
7
Hal tersebut diatas serupa pada kasus dalam putusan nomor:
0611/Pdt.G/2015/PA.Pas. mengenai permohonan cerai talak, gugatan nafkah istri
dan anak, serta gugatan harta bersama, Pemohon telah melangsungkan
perkawinan dengan Termohon pada tanggal 26 Juni 2011 yang dibuktikan dengan
akta nikah dan telah dikaruniai satu orang anak yang bernama Zahwa Laudzi
Aaqila lahir pada 6 Maret 2012. Kehidupan Pemohon dan Termohon awalnya
harmonis, namun sejak juni 2012 keadaannya mulai tidak harmonis dan sering
terjadi perselisihan dan pertengkaran. Alasan terjadinya pertengkaran yaitu karena
Termohon terlalu boros membelanjakan uang nafkah pemberian Pemohon. Ketika
Pemohon mengingatkan, Termohon berani marah-marah kepada Permohon.
Akibat dari pertengkaran dan perselisihan tersebut Termohon sudah tidak tinggal
lagi bersama Pemohon. Sehingga Pemohon melakukan Permohonan Cerai talak.
Sesuai dengan amar putusan Pengadilan Agama Pasuruan Pemohon/Termohon
Rekonvensi dihukum untuk membayar kepada Penggugat Rekonvensi nafkah
madliyah, mut‟ah, serta nafkah anak, dan memberikan harta bersama berupa
motor Mio Soul GT nomor polisi N 3865 XS. Terkait kasus tersebut harus ada
pertimbangan hakim mengenai akibat hukum perceraian bagi mantan suami atau
istri, anak, dan harta untuk mencegah timbulnya masalah dikemudian hari.
Berdasarkan latar belakang yang penulis kemukakan diatas, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang akan dituangkan dalam bentuk
skripsi dengan judul “Analisis Hukum Akibat Perceraian Dalam Perspektif
Hukum Islam”.
8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini ada beberapa
masalah yang dirumuskan dan dicari penyelesaiannya secara ilmiah, beberapa
masalah tersebut sebagai berikut:
1. Bagaimana akibat hukum perceraian bagi mantan suami dan istri, anak, dan
harta dalam perspektif hukum Islam?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan nomor:
0611/Pdt.G/2015/PA.Pas.?
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian penelitian ini adalah mengkaji tentang bagaimana akibat
hukum perceraian terhadap mantan suami atau istri, anak, dan harta dalam
perspektif hukum Islam, serta bagaimana pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan suatu putusan. Bidang ilmu ini adalah Hukum Perdata khususnya
hukum keluarga Islam.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis akibat hukum perceraian
bagi mantan suami atau istri, anak, dan harta dalam perspektif hukum Islam.
b. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan suatu putusan.
9
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menunjang pengembangan
ilmu pengetahuan di bidang hukum keperdataan lebih khususnya dalam
lingkup hukum keluarga Islam.
b. Kegunaan Praktis
Kegunaan penelitian skripsi ini secara praktis, yaitu:
1) Upaya pengembangan kemampuan dan pengetahuan hukum bagi peneliti
dalam lingkup hukum perdata khususnya hukum keluarga Islam.
2) Memberikan gambaran kepada pembaca mengenai akibat hukum
perceraian bagi mantan suami atau istri, anak, dan harta dalam perspektif
hukum Islam, serta pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatu
putusan.
3) Sumbangan pemikiran, bahan bacaan dan sumber informasi serta bahan
kajian bagi yang memerlukan.
4) Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Konsep
1. Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam dipahami dengan pengertian syaiah dan terkadang dipahami dengan
pengetian fiqh. Secara bahasa, kata syariah berarti “jalan ke sumber air” dan
“tempat orang-orang minum”. Adapun kata fiqh secara bahasa berarti mengetahui,
memahami sesuatu.12
Hukum Islam adalah hukum yang mengatur kehidupan
manusia didunia dalam rangka mencapai kebahagiaannya di dunia dan akhirat.
Hukum Islam mencakup semua aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu
maupun anggota masyarakat dalam hubungannya dengan diri sendiri, manusia
lain, alam lingkungan, maupun hubungannya dengan tuhan. Hukum Islam sebagai
hukum yang berasal dari wahyu Allah merupakan hukum yang tidak dapat
diragukan lagi kebenarannya, dimana hukum Islam ini mengatur segala bentuk
kehidupan manusia dalam menjalankan kehidupannya, baik dalam hubungan
dengan Allah maupun dengan sesama manusia.
Hukum Islam tidak membedakan antara hukum perdata dengan hukum publik, ini
disebabkan menurut sistem hukum Islam, pada hukum perdata terdapat segi-segi
publik dan pada hukum publik ada segi-segi perdata pula. Itulah sebabnya, dalam
12 Wati Rahmi Ria dan Muhammad Zulfikar, Ilmu Hukum Islam, Bandar Lampung: Gunung
Pesagi, 2015, hlm. 1.
11
hukum Islam tidak dibedakan kedua bidang tersebut, yang disebutkan hanya
bagiannya saja, seperti:
a. Munakahat
b. Waratsab
c. Muamalat dalam arti khusus
d. Jinayat atau ‘ukubat
e. Al-ahkam
f. Al-sulthaniyah (khalifah)
g. Mukhasamat.
Secara umum tujuan hukum Islam adalah untuk mencegah kerusakan pada
manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka. Sumber hukum Islam ada
3 yaitu:
a. Al-Qur‟an
Al-Qur‟an menurut bahasa artinya bacaan atau yang dibaca, sedangkan menurut
istilah kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad SAW, yang dapat melemahkan dengan sependeknya ayat dan
menjadi ibadah bagi pembaca.
b. Sunnah
Sunnah berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa
ucapan, perbuatan dan pengakuan (taqrir).
c. Ijtihad
Ijtihad berarti mencurahkan segala kemampuan untuk memperoleh hukum syar‟i
yang bersifat operasional dengan cara istinbath.
12
2. Perceraian Menurut Hukum Islam
Perceraian dalam Islam pada prinsipnya dilarang, meskipun tidak ada ayat Al-
Qur‟an yang mnyuruh atau melarang perceraian yang mengandung arti hukumnya
mubah atau boleh, namun perceraian termasuk perbuatan yang tidak disenangi
Nabi. Oleh karena itu perceraian mengandung arti yang hukumnya makruh atau
tercela, hal ini dapat dilihat pada hadist Rasullullah Muhammad SAW yang
diriwayatkan oleh Abu Daud Ibnu Majah dan Al hakim dari Ibnu Umar yang
menyatakan bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan halal yang paling
dibenci Allah.13
Berdasarkan hadist di atas, dengan memiliki kemaslahatan dan
kemudaratannya maka hukum talak ada empat, yaitu:14
a. Wajib
Talak dikatakan wajib apabila terjadi perselisihan antara dua suami-istri dan
kedua hakim memandang perlu supaya keduanya bercerai. Berikut ini
merupakan kategori talaq wajib adalah:15
1) Jika menurut juru damai tersebut, perpecahan antara suami istri sudah
sedemikian berat sehingga sangat kecil kemungkinan, bahkan tidak
sedikitpun terdapat celah-celah kebaikan atau kemaslahatan jika
perkawinan itu tetap dipertahankan, maka upaya bagi kemaslahatan bagi
kedua belah pihak adalah dengan cara memisahkan mereka.
13
M. Hasballah Thalib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, hlm. 101, dalam tesis: Nizam,
Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Universitas Diponegoro Semarang, 2015, hlm. 13. 14
Nizam, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Ibid. 15
Op. Cit., Wati Rahmi Ria dan Muhammad Zulfikar, Ilmu Hukum Islam, hlm. 62.
13
2) Bagi istri yang telah di Illa‟ atau disumpah oleh suaminya untuk tidak
mengadakan hubungan seksual dengan istrinya, sesudah lewat waktu 4
(empat) bulan, sedangkan suaminya tersebut tidak mau membayar kafarah
sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya.
b. Sunnah
Talak dikatakan Sunnah maksudnya yaitu dalam keadaan rumah tangga sudah
tidak dapat dilanjutkan dan seandainya dipertahankan juga kemudharatan
yang lebih banyak akan timbul.16
Misalnya apabila suami tidak sanggup lagi
membayar kewajibannya (nafkahnya) dengan cukup, atau perempuan tidak
menjaga kehormatan dirinya.
c. Haram
Talak dikatakan haram yaitu dalam dua perkara, pertama menjatuhkan talak
sewaktu si istri dalam keadaan haid, dan kedua menjatuhkan talak sewaktu
suci yang telah dicampurinya pada waktu suci itu.
d. Makruh
Makruh yaitu hukum asal dari pada yang tersebut dalam hadits Rasullulah
SAW tersebut di atas yakni perceraian dihalalkan akan tetapi dibenci oleh
Allah.17
Macam-macam perceraian dalam Islam ada 3 yaitu:18
a. Thalaq
Secara harfiyah Thalaq itu berarti melepaskan dan atau membebaskan.
Apabila dihubungkan dengan putusnya perkawinan dan menurut syariat, maka
16
Ibid, hlm. 61. 17
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, hlm. 380, dalam tesis: Ibid. hlm. 14. 18
Jamaludddin dan Nanda Amalia, Hukum Perkawinan, Sulawesi:Unimal Press, 2016, hlm. 89.
14
talak dapat diartikan dengan melepaskan isteri atau membebaskannya dari
ikatan perkawinan atau menceraikannya. Menurut hukum Islam talak adalah
suatu perkataan yang diucapkan oleh suami untuk memutuskan ikatan
pernikahan terhadap istrinya. Apabila seorang suami telah mentalak istrinya,
maka putuslah hubungan antara suami istri tersebut, baik secara lahir maupun
batin.
Cerai/talak dari segi bahasa diambil dari kata at-Thalaq, yang berarti melepas
dan meninggalkan, sedangkan menurut istilah adalah menghilangkan ikatan
perkawinan atau mengurangi keterkaitannya dengan mempergunakan ucapan
tertentu.19
Dalam Al-Qur‟an tidak terdapat ayat-ayat yang menyuruh atau
melarang perceraian, dalam Al-Qur‟an hanya terdapat banyak ayat yang
mengatur tentang Thalaq (isinya hanya sekedar mengatur bila thalaq mesti
terjadi).20
Misalnya jika ingin menthalaq seharusnya sewaktu istri itu berada dalam
keadaan yang siap untuk memasuki masa iddah, seperti dalam firman Allah:21
“Hai Nabi bila kamu menthalaq istrimu, maka thalaqlah dia sewaktu masuk
kedalam iddahnya”. Begitu juga dalam bentuk larangan, seperti firman
Allah:22
“Apabila kamu menthalaq istrimu dan sampai masa iddahnya, maka
janganlah kamu enggan bila dia nikah dengan suami lain”.
19
Dra. Hj. Nunung Rodliyah, Op.Cit., hlm. 257. 20
Hj. Wati Rahmi Ria, Op.Cit., , hlm. 141. 21
Ibid. 22
Ibid.
15
b. Fasakh
Fasakh merupakan salah satu bentuk pemutusan hubungan perkawinan yang
dapat digunakan oleh suami maupun istri untuk melakukan perceraian. Fasakh
dalam arti bahasa adalah batal atau rusak, sedangkan menurut istilah ilmu fiqh
diartikan sebagai pembatalan/pemutusan nikah dengan keputusan
hakim/muhakkam. Fasakh menurut Hasballah Thaib ialah perceraian dengan
merusak atau merombak hubungan nikah antara suami dengan istri,
perombakan ini dilakukan oleh petugas atau hakim dengan syarat-syarat
tertentu tanpa ucapan talak. Perceraian dengan fasakh ini membawa
konsekuensi bahwa hubungan perkawinan tidak dapat dirujuk kembali dalam
hal suami hendak kembali dengan istrrinya, namun untuk dapat melanjutkan
harus dilakukan dengan akad nikah yang baru.
c. Khulu’
Khulu‟ dalam bahasa Arab berarti menghilangkan atau menanggalkan. Dalam
makna syariat, khulu‟ diartikan perpisahan wanita dengan ganti dan dengan
kata-kata khusus. Khulu‟ hukumnya diperbolehkan jika diperlukan. Dasar
hukum terkait dengan khulu‟ dapat dijumpai pada QS. Al- Baqarah Ayat 229
yang artinya: “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa antara keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya”. Khulu’
dapat diajukan oleh isteri jika misalnya dia tidak dapat menunaikan dan
memenuhi hak-hak suaminya.
16
d. Taklik talak
Taklik talak merupakan salah satu cara pemutusan hubungan perkawinan
antara suami dan isteri. Putusnya perkawinan karena taklik talak jika seorang
isteri tidak dapat sabar lagi dengan kelakuan suaminya yang telah ingkar
terhadap sighat ta‟lik yang telah diikrarkan oleh suami setelah upacara nikah
dan telah ditandatanganinya. Bila isteri tidak berkeberatan atas ingkar suami
terhadap taklik talak, maka talak itu tidak jatuh.
3. Pengertian Istri (Wanita)
Istri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah wanita (perempuan) yang
telah menikah atau yang bersuami; kaum wanita yang dinikahi.23
Istri merupakan
salah satu bagian terpenting dalam menentukan terpeliharanya kehidupan keluarga
yang harmonis. Pengertian Istri menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan yaitu istri adalah sebagai ibu rumah tangga. Wanita adalah
kata yang umum digunakan untuk menggambarkan perempuan dewasa.
Perempuan yang sudah menikah juga biasa dipanggil dengan sebutan istri atau
ibu. Arti kata wanita berasal dari Akronim bahasa jawa dimaknai sebagai “wani
ing tata”. Dalam bahasa Indonesia kata “wani” artinya adalah berani, sedangkan
kata “ing tata” artinya menata.24
Istri dalam menjalankan rumah tangganya
mempunyai hak dan kewajiban yang harus ditunaikan. Hak dan kewajiban sebagai
seorang istri yaitu:25
23
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, hlm. 455. 24
Elvida Sapitri dalam skripsi tentang Pembagian Peran Antara Suami Isteri dan Implikasinya
Terhadap Keharmonisan Keluarga, hlm. 17. 25
Achmad Badarus Syamsi, Skripsi: Hak dan Kewajiban Istri Dalam Rumah Tangga, Yogyakarta,
UIN Sunan Kalijaga, 2008, hlm. 18.
17
a. Mendapat mahar
b. Mendapat nafkah, baik lahir maupun batin
c. Memelihara dan mendidik anak
d. Mematuhi suami dan menjaga kehormatannya
Pasal 83 Kompilasi Hukum islam menyebutkan bahwa:
1) Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada
suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam
2) Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari
dengan sebaik-baiknya.
Jika istri tanpa alasan yang sah tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 83 Kompilasi Hukum Islam tersebut, maka menurut Pasal
84 Kompilasi Hukum Islam, Istri dianggap nusyuz. Selama istri dalam keadaan
nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tidak berlaku, kecuali hal-hal untuk
kepentingan anaknya. Kewajiban suami tersebut berlaku kembali sesudah istri
tidak nusyuz.26
4. Anak
Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawianan
menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal tersebut memberi toleransi hukum
kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara
pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas waktu minimal usia
26
Dr. Muhammad Syaifuddin dkk, Hukum Perceraian, Jakarta, Sinar Grafika, 2014, hlm. 397.
18
kandungan.27
Sedangkan pengertian anak menurut Pasal 330 KUPerdata (Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata), yaitu seseorang yang belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin
sebelumnya.28
Anak adalah keturunan yang kedua, orang yang lahir dari rahim seorang ibu, baik
laki-laki maupun perempuan, khunsa, sebagai hasil dari persetubuhan antara dua
lawan jenis. Dalam hukum adat bahwa anak dikatakan minderjarigheid (bawah
umur), yaitu apabila seseorang berada dalam keadaan dikuasai oleh orang lain
yaitu jika tidak dikuasai oleh orang tuanya maka dikuasai oleh walinya. Dalam
Al-Qur‟an ada tiga kedudukan anak, yaitu:29
a. Anak sebagai anugerah
Anak sebagai anugerah menunjukkan aksentuasi makna positif yaitu anak yang
memperoleh hidayah oleh Allah, anak yang shalih/Shalihah, anak yang diangkat
sebagai Nabi dan Rasul oleh Allah, dan anak yang dapat menjadi penyejuk hati
orang tuanya.
b. Anak sebagai amanah.
Anak merupakan amanah Allah yang harus diemban oleh keluarga dengan cara
mendidik dan membimbing anak agar menjadi generasi bangsa yang baik dan
berkualitas. Jadi, orang tua yang mengemban amanah untuk menjaga dan
mendidik anak dimana orang tua harus memiliki perhatian khusus terhadap anak
27
Ibid. 28
Soedharyo Soimin, S.H., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 89. 29
Jamiliya Susanti, Implementasi Pemenuhan Nafkah Anak Pasca Putusnya Perkawinan Karena
Perceraian Di Pengadilan Agama Sumenep-Madura, Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim, 2016, hlm. 42-43.
19
di masa depan. Agar anak menjadi manusia yang berkualitas untuk menjadi
khalifah Tuhan di muka bumi yang mempunyai tugas untuk memakmurkan bumi.
c. Anak sebagai fitnah
Fitnah yang dimaksud yaitu sebagai ujian yang berfungsi untuk menguji sejauh
mana orang tua mampu mengemban amanah yang Allah berikan setelah ia
diberikan anak. Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak menyebutkan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara
anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun
dan belum pernah kawin. Pengertian anak menurut hukum adat atau kebiasaan
yaitu hukum adat tidak ada menentukan siapa yang dikatakan anak-anak dan siapa
yang dikatakan orang dewasa. Akan tetapi dalam hukum adat ukuran anak dapat
dikatakan dewasa tidak berdasarkan usia tetapi pada ciri tertentu yang nyata.30
MR. R. Soepomo berdasarkan hasil penelitian tentang hukum perdata Jawa Barat
menyatakan bahwa kedewasaan seseorang dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai
berikut:31
a. Dapat bekerja sendiri.
b. Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bertanggung jawab.
c. Dapat mengurus harta kekayaan sendiri.
30
https://andibooks.wordpress.com/definisi-anak/ (diakses pada tanggal 13 september 2018, pukul
10.10 WIB). 31
Ibid.
20
Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang ada dalam kandungan. Hak-hak bagi anak dijelaskan dalam
Pasal 14 Ayat 1 dan 2 yang berbunyi, “setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang
tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah
menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak
dan merupakan pertimbangan terakhir.” Pasal 1 Ayat 12 Undang-Undang
Perlindungan anak menjelaskan bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi
manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.
Hak-hak anak menurut Konvensi Hak-Hak Anak dikelompokkan dalam 4 kategori
yaitu:
a. Hak kelangsungan hidup, hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup
dan memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-
baiknya.
b. Hak perlindungan, perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, dan
keterlantaran.
c. Hak tumbuh kembang, hak memperoleh pendidikan dan hak mencapai
standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, sppritiual, moral,
dan social.
d. Hak berpartisipasi, hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang
mempengaruhi hak anak.
21
Selain itu, mengenai hak anak setelah kedua orang tuanya bercerai, maka dapat
diketahui bahwa hak anak yaitu mendapatkan biaya penghidupan dan pengasuhan
atau Hadhanah. Hadhanah (pemeliharaan anak) merupakan suatu kewenangan
untuk memelihara dan mendidik anak yang masih kecil yang belum bisa
memenuhi kebutuhan sendiri dan tentunya mengasuh anak orang yang sudah
dewasa akan tetapi kehilangan akalnya atau idiot. Berdasarkan Pasal 45 yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara
lain dijelaskan bahwa:
a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-
baiknya.
b. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai
anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus
meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Selain itu di dalam Undang-Undang Perkawinan menjelaskan mengenai biaya
penghidupan anak diatur dalam hal-hal yang berkenaan dengan:
a. Pemeliharaan atau penguasaan anak dalam perceraian.
b. Siapa yang lebih berhak menguasai anak, apakah ibu atau bapak.
c. Permasalahan mumayyiz dihubungkan asas normatif bahwa ibu lebih berhak
melakukan pemeliharaan anak dalam suatu perceraian.
d. Biaya pemeliharaan sesudah perceraian.
22
Berdasarkan pembahasan fiqh, yang dikemukakan oleh Imam Hanafi, Imam
Hambali, Imam Syafi‟i, dan Imam Maliki, masalah hadhanah meliputi:32
a. Urutan Pemegang Hak Hadhanah
Hanafiyah mengatakan bahwa hadhanah ditetapkan bagi kerabat baik laki-
laki/perempuan dengan urutan sebagai berikut: yang paling berhak adalah
ibu, ibunya ibu, nenek dari ibu, dan garis lurus ke atas, nenek dari garis ayah
ke atas, saudara perempuan ibu, saudara perempuan dari ayah.
Malikiyah berpendapat yang paling berhak adalah ibunya, ibunya ibu, dan
seterusnya dalam garis lurus ke atas, bibi dari ibu, bibinya ibu, ibunya ayah,
neneknya ayah. Menurut Syafi‟iyyah hak hadhanah dibagi menjadi tiga,
yaitu:
1) Berkumpulnya kerabat yang laki-laki dan perempuan, maka didahulukan
pihak perempuan.
2) Berkumpulnya kerabat perempuan saja, maka didahulukan ibu kemudian
ibunya ibu, nenek ibu, dan seterusnya dalam garis luruske atas, nenek
dari pihak ayah, saudara perempuan, bibi dari pihak ibu, anak bibi, dan
seterusnya.
3) Berkumpulnya kerabat laki-laki saja, maka ayah yang didahulukan,
kemudian kakek, saudara ayah, saudara ibu, paman dari ayah, paman dari
ibu, dan seterusnya.
32
Ibid, hlm. 194.
23
Menurut hanbaliyyah yang paling berhak adalah ibu, ibunya ibu, nenek ibu,
ayah, bari ibu-ibu dalam garis lurus ke atas, kakek, saudara ibu, saudara ayah
dan seterusnya.
b. Syarat Hadhanah
1) Sehat jasmani dan rohani
2) Mampu mendidik dan memelihara anak yang berada di bawah
pemeliharaannya, termasuk menjaga akhlak, pendidikan, kesehatan, dan
harta benda anak (jika si anak memilih harta).
3) Jika anak berada dalam pemeliharaan ibunya, maka hak ibu menjadi
hilang jika ia menikah lagi, kecuali jika ibu menikah kembali dengan
muhrim si anak atau dengan kerabat anak atau suami ibu (yang bukan
muhrim atau kerabat anak) mengizinkan pemeliharaan anak tersebut, dan
jika ibu bercerai maka hak hadhanah kembali pada ibu.
Menurut Syafi‟iyyah, hadhin diisyaratkan Islam. Hanafiyyah tidak
mensyaratkan Islamnya hadhin. Sebagai contohnya jika seorang pria muslim
menikah dengan wanita non muslim dan dari perkawinan tersebut lahir anak,
maka wanita tersebut berhak memelihara anaknya tetapi dengan syarat bahwa
anak tidak menjadi kafir.
c. Masa Hadhanah
Dalam mahzab Hanafiyyah, ada beberapa pendapat yang dikemukakan:
1) Sampai usia anak 7/9 tahun.
2) Bagi anak perempuan, sampai ia haidh atau baligh.
24
Menurut Malikiyyah masa Hadhanah berlaku semenjak ibu melahirkan anak
hingga ia baligh, dan anak perempuan sampai ia menikah. Sedangkan
menurut Syafi‟iyyah masa hadhanah tidak ditentukan, jika seorang anak
mumayyiz, maka ia berhak memilih untuk ikut ibu atau ayahnya, kakeknya,
neneknya atau siapa pun yang dipilih. Selain itu Hanbaliyyah berpendapat
bahwa masa hadhanah adalah 7 tahun. Jika orang tua berselisih, maka anak
berhak untuk memilih. Untuk anak perempuan, jika ia berusia tujuh tahun
atau lebih maka hak hadhanah berada di tangan ayahnya sampai ia baligh.
d. Tempat Tinggal Hadhanah
Menurut Hanafiyyah jika seorang anak tinggal dengan ibunya, kemudian
ibunya pergi keluar negeri sedang ayahnya masih ada, maka tidak
diperbolehkan kecuali dengan syarat:
1) Ibunya di-thalak bain atau thalak ruju‟ dan telah habis masa iddahnya.
2) Ayah dapat tetap berkomunikasi dengan anak, jika anak tersebut
dipelihara oleh selain ibunya, maka jika hendak pergi ke luar negeri
harus meminta izin terlebih dahulu ayahnya.
Menurut Syafi‟iyyah tidak dipermasalahkan tempat tinggal hadhin selama hal
tersebut menjadi pilihan si anak jika ia telah mumayyiz. Menurut
hanbaliyyah, jika salah seorang dari ayah atau ibu pergi ke luar negeri maka
anak tinggal bersama ayah (baik si ayah yang pergi atau tinggal) dengan
syarat kepindahannya untuk menetap (pindah kewarganegaraan), tidak
menimbulkan kemudharatan yang lain dan ada dalam situasi yang aman. Jika
ayah dan ibu berangkat bersama-sama kesuatu negara yang sama, maka ibu
yang berhak memelihara anak.
25
e. Biaya Hadhanah
Menurut Hanafiyyah biaya hadhanah dibebankan kepada ayah bersama-sama
dengan biaya untuk menyusui dan nafkah anak. Jika anak yang dipelihara
mempunyai harta, maka biaya hadhanah diambil dari harta anak. Biaya
hadhanah tidak termasuk biaya tempat tinggal jika hadhin mempunyai tempat
tinggal, kecuali jika hadhin tidak mempunyai tempat tinggal maka harus
ditetapkan biaya untuk tepat tinggal.
Seorang suami harus memberikan hak hadhanah kepada anak setelah terjadinya
perceraian agar tidak terjadi penelantaran anak. Penelantaran berasal dari kata
lantar yang memiliki arti tidak terpelihara, terbengkalai, tidak terurus.33
Penelantaran yang sering terjadi yaitu penelantaran terhadap anak. Bentuk
penelantaran pada anak umumnya dilakukan dengan cara membiarkan dalam
situasi gizi buruk, kurang gizi, tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang
memadai, memaksa anak menjadi pengemis atau pengamen, anak jalanan, buruh
pabrik, pembantu rumah tangga, pemulung, dan jenis pekerjaan lain yang
membahayakan pertumbuhan dan perkembangan anak.34
Pengertian penelantaran anak adalah sikap dan perilaku orang tua yang tidak
memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak,
misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan
33
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, dalam Skripsi: Farhan, Penelantaran Terhadap Anak
(perspektif Hukum Islam dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak), Jakarta,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2009, hlm. 27. 34
Farhan, Penelantaran Terhadap Anak (perspektif Hukum Islam dan UU No. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak), Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah,
2009, hlm. 28.
26
pendidikan dan kesehatan yang layak.35
Ketelantaran anak secara umum dibagi
dalam dua kelompok, yaitu:
1) Ketelantaran yang disebabkan kondisi keluarga yang miskin, tetapi hubungan
sosial dalam keluarga normal
2) Ketelantaran yang disebabkan kesenjangan, gangguan jiwa, dan atau
ketidakmengertian keluarga/orang tua, atau hubungan dalam keluarga tidak
normal.
Macam-macam penelantaran anak, yaitu:
1) Penelantaran fisik, keterlambatan mencari bantuan medis, pengawasan yang
kurang memadai serta tidak tersedianya kebutuhan akan rasa aman dalam
keluarga.
2) Penelantaran emosional, penelantaran secara emosi dapat terjadi misalnya
ketika orang tua tidak menyadari kehadiran anak ketika ribut dengan
pasangannya, atau orang tua memberikan perlakuan dan kasih sayang yang
berbeda diantara anak-anaknya.
3) Penelantaran pendidikan, terjadi ketika anak seakan-akan mendapat
pendidikan yang sesuai padahal anak tidak dapat berprestasi secara optimal.
4) Penelantaran fasilitas medis, hal ini terjadi karena orang tua gagal
menyediakan layanan medis untuk anak meskipun secara finansial
memadai.36
35
Ibid., hlm. 29. 36
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Penelantaran Anak, dalam skripsi: Muhammad
Syaifullah, Penelantaran Ayah Terhadap Anak (Dalam Perspektif Hukum Islam dan UU Nomor
23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga), Fakultas Syariah Dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016, hlm. 33.
27
5. Nafkah
Kata nafkah berasal dari bahasa arab Nafaqah yang berarti berkurang. Nafkah
secara etimologis berarti sesuatu yang bersikulasi karena dibagi atau diberikan
kepada orang dan membuat kehidupan orang yang mendapatkannya tersebut
berjalan lancar karena dibagi atau diberikan, maka nafkah tersebut secara fisik
habis atau hilang dari pemiliknya.37
Secara terminologi, nafkah itu adalah sesuatu
yang wajib diberikan berupa harta untuk mematuhi agar dapat bertahan hidup.38
Dalam masalah pernikahan nafkah berarti kewajiban suami terhadap istri dalam
bentuk materi. Berdasarkan pengertian tersebut maka seorang perempuan yang
sudah dinikahi secara sah oleh seorang laki-laki berhak untuk mendapatkan
nafkah dari suaminya itu.39
Hal tersebut memang harus dilakukan oleh seorang
suami terhadap istri, jika hal itu dilanggar maka suami akan digugat secara hukum
dan akan mendapat balasan dosa dari Allah.
Dalam surat At-Thalaq ayat 7 disebutkan adanya kewajiban suami untuk memberi
nafkah kepada istri, yang artinya:
“hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya dan
orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.
Begitu juga dengan yang tertuang dalam surat Al-Baqarah Ayat 233 yang
berbicara tentang nafkah, yang artinya:
37
Mardani, Op.Cit. 24 38
Ibid. 39
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh, hlm. 562 dalam skripsi Susi Armi Yenti, Nafkah Anak Akibat
Cerai Fasakh Perspektis Hukum Islam, Institut Agama Islam Negeri Batusangkar, 2017, hlm. 21.
28
“para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan, dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma‟ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anknya, dan warispun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun)
dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya, dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha
melihat apa yang kamu kerjakan.”
Ayat tersebut menunjukan bahwa seorang suami selain harus memberi nafkah
kepada istrinya, ayahpun juga harus memberi nafkah kepada anaknya yaitu
pemberian air susu, nafkah, pakaian, dan pelayanan.
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 34
disebutkan juga bahwa wajib seorang suami memberi nafkah, yaitu:
a. Suami wajib melindungi istrinya dan memberi segala sesuatu keperluan hidup
rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
b. Istri wajib mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
Selain itu dalam Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa nafkah merupakan
kewajiban suami. Hal tersebut ada di dalam Pasal 80 Ayat 4 yaitu, sesuai dengan
penghasilannya suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah, dan tempat tinggal bagi istri
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi anak dan
istri
c. Biaya pendidikan anak.
29
Kewajiban memberi nafkah juga dapat dilihat dari hadist Nabi SAW, yaitu:40
“bertaqwalah kamu kepada Allah, dalam mejaga istri-istri, jadikanlah mereka
amanat Allah. Kamu telah menikahi mereka dengan Kalimatulllah. Sesungguhnya
mereka itu untukmu, tidak boleh seseorang menggaulinya, dan seseorang tidak
diizinkan masuk kerumahmu, jika mereka berbuat demikian, maka pukullah
(didiklah) dan kamu mempunyai kewajiban memberi nafkah dan pakaian kepada
mereka dengan baik.”
6. Pengertian Harta
Harta merupakan segala seuatu yang dimanfaatkan dalam sesuatu yang legal
menurut hukum syara’ (hukum Islam) seperti jual beli, pinjaman, konsumsi dan
hibah atau pemberian. Harta dari segi bahasa disebut dengan al-mal yang berarti
condong, cenderung dan miring.41
Nasrun Haroen dengan ungkapan yang berbeda
mengungkapkan bahwa al-mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau
berpaling dari tengah ke salah satu sisi dan al-mal diartikan sebagai segala sesuatu
yang menyenangkan menusia dan mereka pelihara baik dalam bentuk materi
maupun dalam bentuk manfaat.42
Berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan membedakan harta benda dalam perkawinan
menjadi dua, yaitu:
1) Harta Bersama
Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Harta
bersama dapat berupa benda berwujud dan tidak berwujud. Harta bersama
yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak, benda
bergerak dan surat-surat berharga. Harta bersama yang tidak berwujud dapat
40
Mardani, Op.Cit. hlm. 24 41
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta, Rajawali Press, 2005, hlm. 9. 42
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 73 dalam Jurnal Penelitian: Rizal, Eksistensi Harta
Dalam Islam (Suatu Kajian Analisis Teoritis), Vol. 9, No. 1, Februari 2015, hlm. 94.
30
berupa hak maupun kewajiban. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang
jaminan dan salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
2) Harta Bawaan
Harta Bawaan adalah harta yang dibawa oleh suami dan istri ke dalam
perkawinan mereka dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan. Pasal 87 KHI Ayat 1 menyebutkan bahwa harta bawaan
dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.
Penggunaan harta bersama suami istri atau harta dalam perkawinan diatur
dalam Pasal 36 Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa
mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak. Sedangkan penggunaan harta bawaan diatur dalam Pasal
36 Ayat 2 Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan tentang hak suami
atau istri untuk membelanjakan harta bawaan masing-masing.
B. Kerangka Teori
1. Teori Kemaslahatan
Teori kemaslahatan dalam suatu perceraian dimaksudkan tidak terjadi perceraian
yang sewenang-wenang yang dilakukan oleh suami terhadap istri, adanya jaminan
untuk terpenuhi hak-hak yang dimiliki oleh istri dan anak-anaknya sebagai akibat
31
dari perceraian.43
Untuk menjamin terwujudnya kemaslahatan dalam suatu
perceraian, maka penguasa negara wajib melindungi pihak yang lemah.
Berkaitan dengan persoalan akibat hukum terhadap mantan suami atau istri, anak,
serta harta, dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan nomor:
0611/Pdt.G/2015/PA.Pas. tentang cerai talak, nafkah istri dan anak, serta harta
bersama, maka dalam penelitian ini membutuhkan teori kemaslahatan agar suami
tidak berlaku sewenang-wenang terhadap istri dan anak.
2. Teori Penerimaan Autorita Hukum
Teori ini dikemukakan oleh H.A.R Gibb, bahwa setiap hukum menyatakan prang-
orang yang terikat dengan hukum, harus bersedia mengakui otoritasnya dan
mengakui hukum tersebut mengikat, walaupun mereka dibolehkan untuk
melakukan pelanggaran terhadap aturan hukum itu, sehingga setiap orang yang
menerima Islam, maka dia harus menerima aturan hukum Islam di dalam dirinya.
Dikaitkan dengan permasalahan akibat hukum perceraian, setiap muslim memiliki
kewajiban untuk menaati apa yang dilakukan dalam hukum Islam.
3. Teori Kepastian Hukum
Teori kepastian hukum merupakan sesuatu yang dibuat pasti memiliki cita dan
tujuan. Hukum dibuat ada tujuannya yaitu keadilan untuk keseimbangan,
kepastian untuk ketetapan dan kemanfaatan untuk kebahagiaan. Berkaitan dengan
masalah akibat hukum perceraian tehadap istri dan anak, maka penelitian ini
membutuhkan teori kepastian hukum supaya hak-hak istri dan anak dapat
terpenuhi sesuai dengan peraturan yang ada
43
Jamaluddin, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum tentang Teori Maslahat Dalam Perceraian: Studi
Pasca Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Aceh, Vol. 46 No. II Juli-
Desember 2012, hlm. 479.
32
J. Kerangka Pikir
Untuk memperjelas dari pembahasan ini, maka penulis membuat kerangka pikir
sebagai berikut:
ISTRI SUAMI
ANALISIS PUTUSAN
NOMOR
0611/Pdt.G/2015/PA.Pas.
PERTENGKARAN/
PERSELISIHAN
CERAI TALAK
AKIBAT HUKUM
1. SUAMI/ISTRI
2. ANAK
3. HARTA
33
Keterangan:
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara suami dan istri untuk membentuk
keluarga yang bahagia. Tujuan perkawinan tersebut yaitu membentuk keluarga
yang bahagia apabila tidak terlaksana maka akan menimbulkan suatu
pertengkaran atau perselisihan sehingga mengakibatkan adanya perceraian.
Perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang sah di
depan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.
Perceraian hanya dapat terjadi apabila dilakukan didepan pengadilan, baik itu
karena suami yang telah menjatuhkan cerai, atau karena istri yang menggugat
cerai atau memohonkan hak talak sebab sighat taklik talak. Pada dasarnya Islam
tidak membolehkan adanya perceraian, tetapi jika suatu rumah tangga tidak lagi
harmonis dan apabila jika dilanjutkan akan menimbulkan kemudhorotan antara
suami dan istri maka percerain tersebut diperbolehkan.
Dalam Al-Qur‟an tidak terdapat ayat-ayat yang menyuruh atau melarang
perceraian, dalam Al-Qur‟an hanya terdapat banyak ayat yang mengatur tentang
Thalaq (isinya hanya sekedar mengatur bila thalaq mesti terjadi). Misalnya jika
ingin menthalaq seharusnya sewaktu istri itu berada dalam keadaan yang siap
untuk memasuki masa iddah, seperti dalam Q.S At-Thalaq ayat 1 dan Q.S Al-
Baqarah ayat 32.
Penelitian ini akan mendiskripsikan tentang akibat hukum perceraian terhadap
mantan suami dan istri, anak, dan harta dalam perspektif hukum Islam, serta
bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.
III. METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah ilmu tentang cara melakukan penelitian dengan teratur
(sistematis). Metode penelitian hukum artinya ilmu tentang cara melakukan
penelitian hukum dengan teratur (sistematis).44
Sistematis adalah berfikir dan
berbuat yang bersistem, yaitu runtun, berurutan dan tidak tumpang tindih.45
Metodologi penelitian sebagai ilmu selalu berdasarkan fakta empiris yang ada
didalam masyarakat. Fakta empiris tersebut dikerjakan secara metodis, disusun
secara sistematis, dan diuraikan secara logis dan analitis. Fokus penelitian selalu
diarahkan pada penemuan hal-hal baru atau atau pengembangan ilmu yang sudah
ada.
A. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan bersifat penelitian hukum normatif yang disebut juga
dengan penelitian hukum teoritis.46
Penelitan ini dilakukan dengan cara mengkaji
dan menganalisis dari bahan-bahan pustaka yang berupa literatur dan perundang-
undangan dan isi putusan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan
dibahas, dalam hal ini adalah berkaitan dengan akibat hukum perceraian bagi
suami atau istri, anak, dan harta, serta pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
44
Abdulkadir Muhammad, Hukum Dan Penelitian Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti,
2004, hlm. 57. 45
Ibid. hlm. 2 46
Ibid. hlm. 102.
35
putusan. Penelitian ini akan mengkaji permasalahan dengan melihat kepada
norma, peraturan perundang-undangan dan literarur yang terkait dengan hukum
penelantaran nafkah anak dan perceraian.
B. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Menurut Abdulkadir
Muhammad, penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk
memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku
ditempat tertentu dan pada saat tertentu yang terjadi dalam masyarakat.47
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi secara jelas dan rinci dalam
memaparkan akibat hukum perceraian bagi suami atau istri, anak, dan harta, serta
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.
C. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan masalah atau melalui tahap-
tahap yang ditentukan sehingga mencapai tujuan penelitian. Pendekatan masalah
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif yaitu ketentuan
hukum normatif.
D. Data dan Sumber Data
Menurut Soerjono Soekanto, data adalah sekumpulan informasi yang dibutuhkan
dalam pelaksanaan suatu penelitian yang berasal dari berbagai sumber, data terdiri
dari data lapangan dan kepustakaan.48
Data yang diperlukan dalam penelitian
47
Ibid. hlm.53. 48
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Grafindo Persada,
2004, hlm. 15.
36
hukum normatif adalah data sekunder, sumber data sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini berupa:
1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum
mengikat seperti peraturan perundang-undangan, isi dari putusan dan
peraturan lain yang berkenaan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian
ini antara lain:
a. Al-Qur‟an
b. Hadits Rasul
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
d. Kompilasi Hukum Islam;
e. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
f. Putusan Nomor: 0611/Pdt.G/2015/PA.Pas. tentang Permohonan Cerai
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer berupa literatur-literatur mengenai penelitian
ini, meliputi buku-buku ilmu hukum, hasil karya dari kalangan hukum dan
lainnya.
3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang melengkapi bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, seperti hasil penelitian, bulletin, majalah,
artikel-artikel di internet dan bahan-bahan lainnya yang sifatnya seperti karya
ilmiah berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.
37
E. Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan pendekatan masalah dan sumber data yang diperlukan, maka
pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi pustaka. Studi
pustaka merupakan studi yang dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder, dan
tersier yang membantu mengembangkan pembahasan konsep terkait akibat hukum
perceraian dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dengan cara
membaca, mengutip, mencatat, dan mengidentifikasi data yang sesuai dengan
permasalahan dan mengkolaborasikannya dengan data peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Penelitian ini juga menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi
dokumen. Studi dokumen adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum
yang tidak dipublikasikan secara umum, tetapi dapat diketahui oleh pihak tertentu,
pengkajian dan analisis informasi tertulis mengenai hukum yang tidak
dipublikasikan secara umum berupa dokumen yang berkaitan dengan pokok
bahasan penelitian ini.
F. Metode Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari studi kepustakaan selanjutnya diolah dengan
menggunakan metode sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Data (Editing)
Pemeriksaan Data (Editing) merupakan data yang diperoleh diperiksa apakah
masih terdapat kekurangan serta apakah data tersebut telah sesuai dengan
permasalahan;
38
2. Klasifikasi Data (Coding)
Klasifikasi data (Coding) merupakan pemberian tanda pada data yang
diperoleh, baik berupa penomoran ataupun penggunaan tanda, simbol atau
kata tertentu yang menunjukkan golongan, kelompok atau klasifikasi data
menurut jenis dan sumbernya dengan tujuan untuk menyajikan data secara
sempurna, memudahkan rekontruksi dan analisis data;
3. Sistematisasi Data (Systemizing)
Sistematisasi Data (Systemizing) merupakan kegiatan menabulasi atau
menyusun secara sistematis data yang sudah diedit dan diberi tanda dalam
bentuk tabel-tabel yang berisi angka-angka dan persentase apabila data itu
kuantitatif, maupun pengelompokan secara sistematis data yang sudah diedit
dan diberi tanda menurut klasifikasi data dan urutan masalah jika data itu
kualitatif.
G. Analisis Data
Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara
sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk
memperoleh suatu kesimpulan. penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dan
penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode deduktif. Analisis kualitatif
adalah menguraikan data secara bermutu, dalam bentuk kalimat yang tersusun
secara teratur, runtun, logis tidak tumpang tindih dan efektif, sehungga
memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis.49
49
Op. Cit. hlm. 127.
39
Dalam penelitian ini akan diuraikan ke dalam kalimat-kalimat yang tersusun
secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan pada akhirnya
dapat ditarik kesimpulan dengan menggunakan kesimpulan deduktif. Metode
deduktif adalah cara analisis dari kesimpulan umum atau generalisasi yang
diuraikan menjadi contoh-contoh kongkrit atau fakta-fakta untuk menjelaskan
kesimpulan generalisasi tersebut.
V. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa:
1. Akibat hukum perceraian terhadap istri, anak, dan harta diatur dalam Al-
Qur‟an, Hadist, Kompilasi Hukum Islam, dan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:
a. Akibat hukum perceraian terhadap istri mengenai nafkah iddah dan
mut‟ah menurut Al-Qur‟an dan Kompilasi Hukum Islam adalah sama
bahwa keduanya menjelaskan secara jelas dan rinci mengenai kewajiban
seorang mantan suami memberikan nafkah iddah dan mut‟ah setelah
terjadinya perceraian. Namun, berbeda dengan apa yang dijelaskan dalam
Undang-Undang Perkawinan, yaitu hanya menyebutkan bahwa
pengadilan mewajibkan suami memberikan biaya penghidupan bagi
mantan istri. Undang-Undang Perkawinan tidak menyebutkan macam-
macam nafkah seperti yang telah disebutkan dalam Al-Qur‟an dan
Kompilasi Hukum Islam.
90
b. Akibat hukum perceraian terhadap anak menurut Al-Qur‟an, Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi
Hukum Islam adalah sama. Namun ada perbedaan antara Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam mengenai batas usia anak untuk mendapatkan hak
pengasuhan (hadhanah). Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan batas
usia anak yaitu sebelum 18 tahun, sedangkan dalam Kompilasi Hukum
Islam batas usia anak yaitu belum mumayyiz atau belum berumur 12
tahun. Anak yang belum mumayyiz maka hak pengasuhannya akan jatuh
ketangan ibunya.
c. Akibat hukum perceraian terhadap harta menurut Al-Qur‟an, Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi
Hukum Islam adalah sama. Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam sama-sama menyebutkan harta terbagi menjadi dua yaitu
harta bersama dan harta bawaan. Namun, dalam Undang-Undang
Perkawinan tidak diatur mengenai pertanggungjawaban menjaga harta
bersama.
2. Putusan Hakim Nomor: 0611/Pdt.G/2015/PA.Pas. tentang Perceraian
a. Cerai Talak
Dasar pertimbangan hakim dalam putusan nomor 0611/Pdt.G/2015/PA.Pas.
dengan menjatuhkan talak satu roj‟i bagi Termohon bahwa telah ditemukan
fakta-fakta yaitu rumah tangga Pemohon dan Termohon terjadi pertengkaran
dan sudah tidak harmonis lagi. Keduanya telah melanggar tujuan dari
91
perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
b. Nafkah Istri dan Anak
Putusan nomor 0611/Pdt.G/2015/PA.Pas. mengenai akibat hukum perceraian
terhadap nafkah Istri dan Anak yaitu telah memenuhi syarat sebuah putusan.
Putusan tersebut sesuai dengan dasar pertimbangan hakim yaitu dengan
menjatuhkan putusan mengenai nafkah iddah, mut‟ah, dan nafkah anak yang
harus dibayarkan oleh Tergugat Rekonvensi kepada Penggugat Rekonvensi
dengan landasan hukum yaitu QS. Al-Baqarah ayat 241 dan QS. Al-Ahzab
ayat 49.
c. Hadhanah
Dasar petimbangan hakim pada putusan nomor 0611/Pdt.G/2015/PA.Pas.
dengan menjatuhkan putusan mengenai hadhanah yang jatuh ke tangan
ibunya atau Penggugat Rekonvensi dengan berdasarkan Pasal 105 Kompilasi
Hukum Islam yang menyatakan bahwa pemeliharaan anak yang belum
mumayyiz (belum berumur 12 tahun) adalah berada pada ibunya. Hal tersebut
karena ibunya mempunyai sifat penyabar yang sangat dibutuhkan untuk
anaknya.
d. Harta Bersama
Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan mengenai harta bersama
sudah tepat. Harta bersama yang dimiliki oleh kedua belah pihak masing-
masing berhak mendapatkan seperdua bagian.
DAFTAR PUSTAKA
A. Al-Qur’an dan Hadist
B. BUKU-BUKU
Abdurrahman, 2004, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: AkademikaPresindo.
Abidin, Imam Ali Zainal, 2004, Pandangan Islam Tentang Hak-hak AsasiManusia (Risalatul Huquq) terj. Arif Mulyadi, Jakarta: Pustaka Intermasa.
Alam, Andi Syamsu dan M. Fauzan, 2008, Hukum Pengangkatan Anak PerspektifIslam, Kencana: Jakarta.
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum,Jakarta: Rajawali Pers.
Hadikusuma, Hilman, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia MenurutPerundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju.
Hasan, M. Ali, 2006, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam Ed. I Cet. 2,Jakarta: Prenada Media Group
Jamaluddin & Nanda Amalia, 2016, Buku Ajar Hukum Perkawinan,Lhokseumawe: Unimal Press.
Mardani, 2011, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, Jakarta: GrahaIlmu.
Muhammad, Abdulkadir, 2007, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: CitraAditya Bakti.
Ramulyo, Mohd. Idris, 1996, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta:Bumi Aksara.
Ria, Wati Rahmi, 2011, Hukum Islam dan Islamologi, Bandar Lampung: CVSinar Sakti.
Ria, Wati Rahmi dan Muhammad Zulfikar, 2015, Ilmu Hukum Islam, BandarLampung: Gunung Pesagi.
Rodliyah, Nunung, 2011, Manusia dan Agama (Dalam Kerangka dasar AjaranIslam), Bandar Lampung: Gunung Pesagi.
Rofiq, Ahmad, 2013, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta, Pt. RajaGrafindo Persada.
Soedharyo Soimin, 1995, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: SinarGrafika.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, 2004, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta:Grafindo Persada.
Sudarsono, 2005, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta.
Suhendi, Hendi, 2005, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Press.
Sutisna, Aos, Nur Lailatul Musyafa’ah dkk, 2004, Peradilan Agama Di Indoneisa,Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Syarifudddin, Amir, 2007, Hukum dan Perkawinan di Indonesia: Antara FiqhMunakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta:Kencana.
Syaifuddin, Muhammad, Sri Turatmiyah dkk, 2014, Hukum Perceraian, Jakarta:Sinar Grafika,
Tihami dan Sohari Sahrani,2014, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap),Jakarta: Rajawali Pers.
Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, dalam buku Dr. MuhammadSyaifuddin dkk, 2014, Hukum Perceraian, Jakarta, Sinar Grafika.
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Kompilasi Hukum Islam.
D. JURNAL, SKRIPSI, DAN TESIS
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh, dalam skripsi Susi Armi Yenti, Nafkah Anak AkibatCerai Fasakh Perspektis Hukum Islam, Institut Agama Islam NegeriBatusangkar
Elvida Sapitri dalam skripsi tentang Pembagian Peran Antara Suami Isteri danImplikasinya Terhadap Keharmonisan Keluarga.
Huraerah, Abu, 2009, Kekerasan Terhadap Anak, dalam Skripsi: Farhan,Penelantaran Terhadap Anak (perspektif Hukum Islam dan UU No. 23tahun 2002 tentang Perlindungan Anak), Jakarta, Fakultas Syariah danHukum UIN Syarif Hidayatullah.
Haroen, Nasrun, 2015, Fiqh Muamalah, dalam Jurnal Penelitian: Rizal, EksistensiHarta Dalam Islam (Suatu Kajian Analisis Teoritis), Vol. 9, No. 1.
Farhan, 2009, Penelantaran Terhadap Anak (perspektif Hukum Islam dan UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak), Jakarta, Fakultas Syariah danHukum UIN Syarif Hidayatullah.
Jamaluddin, 2012, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum tentang Teori MaslahatDalam Perceraian: Studi Pasca Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 danKompilasi Hukum Islam, Aceh, Vol. 46 No. II.
Mughniyah, 2008, dalam jurnal Subaidi, 2014, Konsep Nafkah Menurut HukumPerkawinan Islam, Vol. 1, No. 2.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah VIII, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), dalam skripsi:Jamiliya Susanti, Implementasi Pemenuhan Nafkah Anak Pasca PutusnyaPerkawinan Karena Perceraian Di Pengadilan Agama Sumenep-Madura,Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Sipahutar, Anjani, dkk, 2016, Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap NafkahAnak Pasca Putusan, (USU Law Journal, Vol.4 No.1).
Soemitro, Irma Setyowati, Aspek Hukum Penelantaran Anak, dalam skripsi:Muhammad Syaifullah
Subaidi, 2014, Konsep Nafkah Menurut Hukum Perkawinan Islam, (Jurnal StudiHukum Islam Vol.1 No.2).
Susanti, Jamiliya, Implementasi Pemenuhan Nafkah Anak Pasca PutusnyaPerkawinan Karena Perceraian Di Pengadilan Agama Sumenep-Madura,Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Syamsi, Achmad Badarus,, 2008, Skripsi: Hak dan Kewajiban Istri Dalam RumahTangga, Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga.
Thalib, M. Hasballah, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, (Tesis) Nizam,2015, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Universitas DiponegoroSemarang.
E. INTERNET
http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data-perlindungan-anak, (diakses pada harisabtu 30 Juni 2018 pukul 20.06 WIB.)
https://andibooks.wordpress.com/definisi-anak/ (diakses pada tanggal 13september 2018, pukul 10.10 WIB).
https://almanhaj.or.id/2623-jika-suami-tidak-memberi-nafkah.html (diaksestanggal 1 Oktober 2018, Pukul 00.25 WIB).