PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA 765 ANALISIS FASIES FLUVIAL PADA FORMASI KIKIM ANGGOTA CAWANG DI JALUR SUNGAI MENGHALUS, SUMATRA SELATAN Hagi Ridho Raras 1* Salahuddin Husein 1 Moch. Indra Novian 1 Rahmadi Hidayat 1 1 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No.2 Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia Tel. 0274-513668 *corresponding author: [email protected]ABSTRAK Formasi Lahat atau Formasi Kikim yang merupakan salah satu formasi pengisi di Cekungan Sumatra Selatan, mempunyai peranan yang penting di dalam petroleum system cekungan tersebut. Formasi Kikim sendiri mempunyai Anggota Cawang yang litologinya tersusun secara dominan oleh kandungan kuarsa. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lingkungan pengendapan daerah penelitian melalui analisis fasies. Hal tersebut menarik dilakukan karena terkait dengan potensi reservoir pada formasi tersebut. Analisis fasies dilakukan pada suksesi stratigrafi yang memiliki ketebalan mencapai 500 meter pada jalur pengukuran Sungai Menghalus, Sumatra Selatan. Analisis tersebut mengarah kepada pembagian fasies dengan melalui dua pendekatan, yaitu: (1) pendekatan secara deskriptif di lapangan dan (2) pembagian fasies yang mengacu pada klasifikasi Miall (1978). Pembagian fasies berdasarkan deskriptif lapangan menghasilkan 11 fasies, yaitu: fasies batupasir kerikilan-batupasir (GSS), fasies batupasir (S), fasies batulanau-batupasir silang siur (SLCBS), fasies batupasir tufan (TS), fasies konglomerat (CM), fasies batulanau-batupasir (SLS), fasies batulanau (SL), fasies batulempung-batupasir flaser (CLFS), fasies batulempung (CL), fasies batulanau-batupasir flaser silang siur (SLFCBS), dan fasies batupasir kerikilan gradasi normal-batupasir (GGSS). Sementara itu, pembagian fasies yang mengacu pada klasifikasi Miall menghasilkan 8 fasies: gravel clast graded (Gcg), gravel matrix graded (Gmg), gravel planar cross-bed (Gp), gravel horizontal (Gh), sandstone low-angle cross-bed (Sl), sandstone horizontal (Sh), fine silt mud (Fsm), dan fine mud (Fm). Asosiasi fasies yang dihasilkan dari observasi fasies terdiri dari: sandy bedform (SB), levee (Lv), crevasse splay (Cs), floodplain (FF), dan gravel bedform (GB). Lingkungan pengendapan pada daerah penelitian adalah lingkungan fluvial sistem sungai braided. Kata kunci : analisis fasies, Anggota Cawang, Miall, lingkungan fluvial 1. Pendahuluan Cekungan Sumatra Selatan, merupakan salah satu cekungan yang paling ekonomis di Indonesia. Banyak rembesan minyak yang telah diketemukan di daerah tersebut. Batuan induk dan reservoir yang menghasilkan hidrokarbon telah banyak dilaporkan (Courteny dkk., 1990; Kasim dan Amstrong, 2015). Kegiatan eksplorasi yang dimulai sejak tahun 1905 (Sarjono & Sardjito, 1989), terus berlangsung hingga saat ini untuk memenuhi kebutuhan hidrokarbon dalam negeri. Cekungan Sumatra Selata telah menghasilkan minyak mencapai 2 BBO (Billion Barrel Oil). Selain itu, cekungan tersebut juga telah menghasilkan gas yang diperkirakan mencapai lebih dari 6 TCF (Ginger & Fielding, 2005). Formasi Kikim atau yang lebih dikenal dengan Formasi Lahat (Gafoer dkk., 1993) merupakan salah satu Formasi yang mempunyai peranan yang penting di dalam sistem petroleum pada Cekungan Sumatra Selatan. Oleh karenanya, sudah banyak penelitian sebelumnya yang dilakukan pada formasi tersebut. Namun, penelitian secara detail mengenai analisis fasies, proses sedimentasi dan interpretasi lingkungan pengendapan belum dilakukan. Lebih lanjut, Anggota Cawang yang merupakan bagian dari Formasi Kikim memiliki keunikan
14
Embed
ANALISIS FASIES FLUVIAL PADA FORMASI KIKIM ANGGOTA … fileCekungan Sumatra Selata telah menghasilkan minyak mencapai 2 BBO (Billion Barrel Oil). Selain itu, cekungan tersebut juga
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
765
ANALISIS FASIES FLUVIAL PADA FORMASI KIKIM ANGGOTA CAWANG DI
JALUR SUNGAI MENGHALUS, SUMATRA SELATAN
Hagi Ridho Raras 1*
Salahuddin Husein1
Moch. Indra Novian1
Rahmadi Hidayat1
1Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No.2 Bulaksumur, Yogyakarta,
Formasi Lahat atau Formasi Kikim yang merupakan salah satu formasi pengisi di Cekungan Sumatra
Selatan, mempunyai peranan yang penting di dalam petroleum system cekungan tersebut. Formasi Kikim
sendiri mempunyai Anggota Cawang yang litologinya tersusun secara dominan oleh kandungan kuarsa. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lingkungan pengendapan daerah penelitian melalui analisis
fasies. Hal tersebut menarik dilakukan karena terkait dengan potensi reservoir pada formasi tersebut.
Analisis fasies dilakukan pada suksesi stratigrafi yang memiliki ketebalan mencapai 500 meter pada jalur pengukuran Sungai Menghalus, Sumatra Selatan. Analisis tersebut mengarah kepada pembagian fasies
dengan melalui dua pendekatan, yaitu: (1) pendekatan secara deskriptif di lapangan dan (2) pembagian
fasies yang mengacu pada klasifikasi Miall (1978). Pembagian fasies berdasarkan deskriptif lapangan
batulempung (CL), fasies batulanau-batupasir flaser silang siur (SLFCBS), dan fasies batupasir kerikilan gradasi normal-batupasir (GGSS). Sementara itu, pembagian fasies yang mengacu pada klasifikasi Miall
(Fsm), dan fine mud (Fm). Asosiasi fasies yang dihasilkan dari observasi fasies terdiri dari: sandy bedform (SB), levee (Lv), crevasse splay (Cs), floodplain (FF), dan gravel bedform (GB). Lingkungan
pengendapan pada daerah penelitian adalah lingkungan fluvial sistem sungai braided.
Kata kunci : analisis fasies, Anggota Cawang, Miall, lingkungan fluvial
1. Pendahuluan
Cekungan Sumatra Selatan, merupakan salah satu cekungan yang paling ekonomis di
Indonesia. Banyak rembesan minyak yang telah diketemukan di daerah tersebut. Batuan induk
dan reservoir yang menghasilkan hidrokarbon telah banyak dilaporkan (Courteny dkk., 1990;
Kasim dan Amstrong, 2015). Kegiatan eksplorasi yang dimulai sejak tahun 1905 (Sarjono &
Sardjito, 1989), terus berlangsung hingga saat ini untuk memenuhi kebutuhan hidrokarbon
dalam negeri. Cekungan Sumatra Selata telah menghasilkan minyak mencapai 2 BBO (Billion
Barrel Oil). Selain itu, cekungan tersebut juga telah menghasilkan gas yang diperkirakan
mencapai lebih dari 6 TCF (Ginger & Fielding, 2005).
Formasi Kikim atau yang lebih dikenal dengan Formasi Lahat (Gafoer dkk., 1993)
merupakan salah satu Formasi yang mempunyai peranan yang penting di dalam sistem
petroleum pada Cekungan Sumatra Selatan. Oleh karenanya, sudah banyak penelitian
sebelumnya yang dilakukan pada formasi tersebut. Namun, penelitian secara detail mengenai
analisis fasies, proses sedimentasi dan interpretasi lingkungan pengendapan belum dilakukan.
Lebih lanjut, Anggota Cawang yang merupakan bagian dari Formasi Kikim memiliki keunikan
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
766
khusus dengan kandungan komposisi kuarsanya yang sangat dominan. Hal ini menjadi sangat
menarik untuk dilakukan analisis fasies pada satuan batuan tersebut.
Tujuan penelitian ini nantinya untuk mengetahui perubahan fasies dan perubahan proses
sedimentasi yang terjadi pada suatu suksesi stratigrafi di Formasi Kikim Anggota Cawang. Jalur
stratigrafi yang dijadikan objek penelitian adalah Anggota Cawang pada Sungai Menghalus
(Gambar 1), Pegunungan Garba, Sumatra Selatan. Lokasi pengukuran pada jalur ini
menunjukkan susunan stratigrafi yang relatif menerus dan cukup baik digunakan untuk studi
mengenai fasies dan stratigrafi. Nantinya, studi ini bisa digunakan untuk menentukan potensi
dan peresebaran reservoir pada sistem petroleum di Cekungan Sumatra Selatan.
1.1. Tatanan Geologi Daerah Penelitian
Cekungan Sumatra Selatan merupakan salah satu cekungan back arc yang terkait dengan
proses subduksi antara lempeng Samudera Hindia dengan Lempeng Eurasia. Terbentuknya
cekungan yang berorientasi Utara Barat Daya-Selatan Tenggara ini diduga diakibatkan oleh
adanya gaya tarik regional pada Kapur Akhir hingga Tersier Awal terkait dengan perubahan
fase pergerakan lempeng oleh subduksi (De Coster, 1974). Cekungan tersebut di batasi oleh
Pegunungan Bukit Barisan di bagian barat, Tinggian Tigapuluh di bagian utara, Selat Karimata
di bagian timur, dan Tinggian Lampung di bagian Selatan (De Coster, 1974). Daerah penelitian
sendiri, yang meliputi Sungai Menghalus berada di Sub-cekungan Palembang Selatan (William
dkk., 1995; Suseno dkk., 1992, dan Bishop, 2001). Stratigrafi yang mengisi subcekungan
tersebut terdiri dari dua fase pengendapan, yaitu fase transgresi dan fase regresi (Ginger dan
Fielding, 2005). Fase transgresi ditandai dengan mulai diendapkannya Formasi Lahat/Kikim
pada lingkungan darat di atas basement yang berumur Mesozoik. Setelahnya terendapkan
formasi-formasi pada lingkungan yang semakin mendalam (secara berurutan dari yang paling
tua): Formasi Talang Akar, Formasi Batu Raja, dan diakhiri dengan pengendapan Formasi
Gumai di lingkungan laut dalam. Fase regresi dimulai dengan diendapkannya Formasi Air
Benakat pada lingkungan laut dangkal, Formasi Muara Enim pada lingkungan transisi, dan
diakhiri dengan Formasi Kasai pada lingkungan terestrial (Gambar 2).
Struktur geologi yang berada di Cekungan Sumatra Selatan diinterpretasi terbentuk akibat
tiga episode aktivitas orogenik, yaitu: Orogenik Mesozoik Tengah, Tektonisme Kapur Akhir-
Tersier Awal dan Orogenik Pliosen-Pleistosen (De Coster, 1974). Ketiga episode orogenik
tersebut menghasilkan tiga tren utama struktur pada Cekungan Sumatra Selatan (Pulunggono
dkk., 1992): Tren Lematang yang berorientasi N 300oE (TTg-BBL), tren Utara-Selatan, dan tren
yang berorientasi N 320oE (Gambar 3).
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan data primer berupa data stratigrafi terukur pada jalur Sungai
Menghalus dan ditunjang dengan studi literatur dari beberapa sumber dan peneliti terdahulu
untuk melengkapi kajian mengenai studi regional. Selain itu studi literatur juga digunakan
sebagai bahan acuan untuk menginterpretasi proses-proses sedimentasi yang terjadi dan
penentuan lingkungan pengendapan. Data primer yang berupa kolom stratigrafi terukur dipakai
untuk dilakukan analisis fasies. Analisis tersebut membagi suksesi vertikal stratigrafi di jalur
Sungai Menghalus menjadi beberapa fasies. Fasies sendiri menurut Selley (1985) dapat
dipisahkan satu dan lainnya dengan mengamati parameter litologi, geometri, struktur sedimen,
kandungan fosil dan arah purbanya. Selanjutnya fasies-fasies yang telah dihasilkan akan
diobservasi lebih lanjut untuk ditentukan asosiasi fasiesnya. Dari asosiasi fasies inilah nantinya
akan menghasilkan interpretasi proses sedimentasi dan lingkungan pengendapannya. Adapun
pembagian fasies pada penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu: pendekatan secara
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
767
deskriptif dan pendekatan yang mengacu pada Miall (1978). Pendekatan secara deskriptif
kurang lebihnya membedakan fasies yang terlihat pada observasi lapangan dengan mengacu
pada parameter yang dikemukakan oleh Selley (1985). Sedangkan pendekatan yang mengacu
pada Miall (1978) dibagi dan diberi nama berdasarkan perbedaan ukuran butir, hubungan antar
butir, dan struktur sedimen. Pembagian fasies pada penelitian ini juga didukung dengan
observasi data granulometri yang belum dapat dipublikasikan pada publikasi ini.
3. Data
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, pembagian litofasies suksesi stratigrafi pada jalur
Sungai menghalus berdasarkan pendekatan Miall menghasilkan 8 fasies. Di sisi lain, pembagian
litofasies dengan pendekatan deskriptif lapangan menghasilkan fasies sedimen sebanyak 11
fasies.
3.1. Pembagian fasies dengan pendekatan Miall
Pemberian nama fasies dengan pendekatan Miall dilakukan dengan memberikan kode.
Umumnya kode untuk nama fasies tersebut terdiri dari dua haruf. Huruf pertama menyatakan
ukuran butir, huruf kedua menyatakan struktur sedimen. Namun, pada beberapa fasies, diantara
kedua huruf tersebut ditambah satu huruf yang menyatakan hubungan anatar butir fasies
tersebut. Berikut ini adalah pembagian litofasies berdasarkan pendekatan Miall pada stratigrafi
daerah penelitian (Gambar 5):
a. Fasies Gcg (Gravel Clast supported Graded bedding).
Fasies Gcg merupakan fasies yang tersusun atas batupasir kerikilan hingga kerakal dengan
hubungan butir terdukung grain dan mempunyai struktur sedimen berupa gradasi normal.
Fasies ini mempunyai ketebalan 1-3 meter. Fasies ini banyak berkembang di bagian atas
suksesi. Fasies ini diinterpretasikan diendapkan pada aliran debris energi tinggi yang kaya
akan klastika.
b. Fasies Gmg (Gravel Matrix supported Graded bedding).
Fasies Gmg hampir serupa dengan fasies Gcg. Hanya saja pada fasies ini, hubungan antar
butir yang dominan adalah yang terdukung matriks. Tebal fasies ini pada daerah penelitian
kurang lebih mencapai 2 meter. Fasies ini berkembang pada litologi konglomerat yang
berada di bagian tengah suksesi. Fasies ini diinterpretasikan sebagai hasil dari aliran debris
dengan energi rendah yang mempunyai tingkat kekentalan tinggi.
c. Fasies Gp (Gravel Planar cross bed).
Fasies Gp tersusun atas litologi silisiklastik yang berukuran kerikil hingga berangkal
dengan struktur sedimen silang siur planar. Tebal rata-rata fasies ini adalah 1 hingga 1,5
meter. Fasies ini juga berkembang di bagian atas dari suksesi stratigrafi. Fasies ini
diinterpretasikan sebagai hasil dari proses pengisian channel yang bermigrasi.
d. Fasies Gh (Gravel Horizontal).
Fasies Gh merupakan fasies sedimen yang tersusun atas butir sedimen yang berukuran
lebih kasar dari pasir dengan struktur sedimen perlapisan. Tebal fasies ini sekitar 1-2 meter.
Berbeda dengan ketiga fasies sebelumnya, fasies ini cenderung berkembang dominan pada
bagian bawah suksesi. Keberadaannya juga dijumpai pada bagian atas suksesi dengan
jumlah yang minor. Fasies ini diinterpretasikan sebagai lag deposit dan longitudinal
bedforms dari pengendapan pada sistem sungai.
e. Fasies Sl (Sandstone Low angle cross bed).
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
768
Fasies ini tersusun atas litologi yang didominasi oleh material silisiklastik berukuran pasir
dengan struktur sedimen silang siur dengan bidang perpotongan kurang dari 15o. Tebal
fasies ini berkisar antara 1 hingga 1,5 meter. Perkembangan fasies Sl pada suksesi daerah
penelitian umum dari bawah hingga bagian tengah. Sedangkan pada bagian atas suksesi,
fasies ini hampir tidak dijumpai. Fasies ini diinterpretasikan sebagai hasil dari proses
pengisian scour dan dune-antidune.
f. Fasies Sh (Sandstone horizontal).
Fasies Sh ciri-cirinya tidak jauh berbeda dengan fasies Gh. Hanya saja butir yang
mendominasi pada fasies ini berukuran pasir. Fasies ini juga mempunyai ketebalan 1-2
meter. Perkembangan fasies pada suksesi jalur Sungai Menghalus tersebar secara merata
dari bagian bawah hingga atas. Fasies ini diinterpretasikan sebagai hasil endapan pada
aliran plane bed critical.
g. Fasies Fsm (Fine Silt Mud).
Fasies Fsm merupakan fasies yang tersusun atas perselingan litologi berukuran halus yaitu
lanau dan lempung dengan struktur yang massif. Tebal lapisan ini dapat mencapai
ketebalan satu meter. Fasies ini dominan berkembang di bagian tengah suksesi. Adapun,
Miall menginterpretasikan endapan ini sebagai hasil dari endapan pada daerah backswamp
atau abandoned channel.
h. Fasies Fm (Fine mud).
Fasies Fm ini tersusun atas litologi lempung yang strukturnya massif atau mudcrack. Tebal
lapisan ini bias mencapai 0,5 meter. Fasies ini juga dominan berkembang di bagian tengah
dari suksesi di daerah penelitian. Fasies Fm diinterpretasikan sebagai hasil dari endapan
overbank atau abandoned channel.
3.2. Pembagian fasies dengan pendekatan deskriptif lapangan
Pembagian fasies dengan pendekatan ini lebih mengutamakan observasi di lapangan yang
selanjutnya membagi fasies berdasarkan parameter yang dikemukakan oleh Selley (1985).
Adapun 11 fasies yang telah ditentukan adalah sebagai berikut (Gambar 5):